Anda di halaman 1dari 29

GBHN ATAU GARIS GARIS BESAR HALUAN NEGARA

GBHN atau Garis garis besar haluan negara merupakan pernyataan dari keinginan rakyat seluruh
Indonesia yang ditetapkan olel MPR untuk jangka waktu atau masa yang telah ditentukan yaitu 5
tahun sekali. Tetapi jika amandemen UUD 1945 mengalami perubahan baru tentang pelaksanaan di
MPR serta melibatkan presiden maka GBHN dinyatkan tidk berlakun lagi. Yang tertulis dalam
GBHN adalah sebuah wacana tentang haluan pembangunan negara republik indonesia yang dibuat
MPR lalu dilaksanakan dengan sebaik baiknya oleh presiden. Isi wacana yang sudah tersemat
didalam GBHN tidak diperbolehksn bersimpangan atau bertentangan dan berbeda tujuan dengan
UUD 1945.

Gbhn adalah sebagai visi dan misi tertinggi nomer kedua setelah UUD 1945 yang harus dilaksanakan
oleh semua lembaga eksekutif negara termasuk MPR , presiden dan wakil presiden. Proses
berjalannya pembangunan nasional harus didukung, disemangati dan dibantu oleh menteri menteri
yang telah di beri mandat dan kepercayaan oleh presiden. Gbhn di rancang dan disahkan oleh MPR
melalui keputusan daan ketetapaan MPR yang sebelumnya telah mempunyai tujuan utama yaitu
memperhatikan, mensejahterakan dan memberi solusi terbaik untuk segala bentuk masalah yang
terjadi dimasyarakat indonesia secara menyeluruh (dikota maupun didesa).Tidak adanya Gbhn akan
berdampak buruk pada fungsi MPR dan mengacaukan sistem untuk mewujudkan cita cita bangsa dan
negara yang berbhinneka tunggal ika dan dapat pula merubah sistem perencanaan pembangunan
nasional yang sudah ditetapkan selama puluhan tahun sejak indonesia merdeka.

Landasan atau Asas pembangunan nasional GBHN

 Asas Swadaya masyarakat indonesia


 Asas Hukum yang adil dan beradab di indonesia
 Asas Manfaat bagi segenap lapisan masyarakat indonesia
 Asas Adil dan makmur bagi seluruh rakyat indonesia
 Asas Kekeluargaan, persatuan tujuan dan goyong royong demi terwujudnya negara yang aman
dan sejahtera seperti semboyan indonesia bhinneka tunggal ika
 Asas Keimanan dan ketakwaan terhadap tuhan yang maha esa menurut agama dan kepercayaan
masing masing.

Berikut adalah beberapa fungsi GBHN :

1. Sebagai visi dan misi rakyat indonesia yang ditujukan untuk rencana pembangunan nasional dimana
proses pembangunan yang akan dijalankan harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat
secara merata adil dan makmur.
2. Sebagai tata cara , perilaku, cara bertindak dan cara pemersatu didalam pembangunan nasional tanpa
lagi melihat perbedaan suku, agama dan ras.
3. Sebagai landasan penting untuk menentukan arah dan tujuan yang tepat sasaran yaitu mewujudkana
masyarakat indonesia yang lebih demokratif, saling melindungi dan membela hak asasi manusia
selama tidak merugikan pihak lain, berkeadilan sosial, menjalankan serta menegakkan supremi

By Reza Ridhani
hukum didalam kehidupan bermasyarakat, berakhlak baik, santun, berbudaya dalam kurun waktu
lima tahun kedepan dan lima tahun selanjutnya.
4. Sebagai arah dan pondasi kuat serta strategi pembangunan nasional untuk menjadikan masyarakat
indonesia sebagai masyarakat yang makmur, bersatu dan saaling gotong royong demi terwujudnya
cita cita yang berdasarkan paancasila.
5. Pembanguanan nasional yang dilaksanakan hanya semata mata dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
kepentingan rakyat. Pelaaksanaannya mencakup beberapa aspek penting yaitu aspek kehidupan
berbangsa, politik, sosial budaya, pertahaanan keamanan dan ekonomi, dimana dilakuakan dengan
memperkuata manfaat dari sumber daya manusia, sumber daya alam dan memperkuat ketajhanan
nasional secara merata.
6. Pembangunan yang dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin masyarakat indonesia,
mencapai kemajuan disegala bidang yang saling menguntungkan, terciptanya rasa aman , keadilan,
saling mengharahgai, saling menyayangi, sama sama menciptakan lingkungan yang tentram dan
menjamin rakyatnya untuk mengeluarkan pendapatnya
7. Sebagai pemersatu Antara pemerintah dan masyarakat , agar terwujud saling mendukung, saling
bekerja sama, saling melengkapai dan saling bersatu didalam satu tujuan demi terwujudnya
pembangunan nasional yang adil dan makmur.
8. Sebagai penguat tegaknya kedaulataan masyarakat indonesia disegala bidang dan aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.
9. Sebagai pedoman untuk mewujudkan pengamalan , pelaksanaan dan pendukungan penuh terhadap
ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. agar tercipta rasa iman dan takwa kepada tuhan yang
maha esa demi persatuan seluruh indonesia yang hidup saling bertoleransi, rukun, damai dan
sejahtera seperti pada fungsi pancasila.
10. Sebagai perisai untuk menghadang segala pengaruh globalisasi yang masuk kedalam NKRI (negara
kwesatuan republik indonesia) yang diharapkan masyarakat mampu hidup dengan cara bersosial
budaya yang memakai kepribadian yang kreatif, berfikiran positif kedepan, dinamis dan dapat
menimbang manfaat serta kerrugian dari masuknya pengaruh dari luar.

Bagian Bidang Pembangunan Nasional

a. Bidang hukum

 Menyelenggarakan dan mewujudkan proses peradilan yang adil, cepat, tepat, mudah dan tidak
melibatkan unsur KKN didalaamnya.
 Melaksanakan budaya hukum dengan sebaik baiknya pada semua lapisan masyarakat untuk
mewujudkan rasa kebersamaan, kesadaran diri dan kepatuahan terhadap hukum yang berlaku.

b. Bidang Ekonomi

 Memproduksi dan meningkatkan pesainagn yang sehat dan jujur, adil dan mengabaikan sistem pasar
monopolik yang hanya menguntung salah satu pihak saja.
 Memajukan, memproduksi dan memperbanyak sistem ekonomi kerakyaratana yang berpondasi pada
pembangunan mekanisme pasar tradisional dan pasar induk.
 Mampu memaksimalkan fungsi dan penggunaan dari pinjaman luar negeri

By Reza Ridhani
 Membudayakan, mengembangkan dan memproduksi minat pengusahaa kecil yang mandiri disegala
aspek kehidupan dalam kategori menengah dan koperasi .
 Memajukan pasar modal yang adil, seimbang dan jujur yang diimbangi dengan kinerja yang
professional demi keuntungan bersama.
 Memajukan dan meningkatkan minat gotong royong untuk mewujudkan minat disektor riil yaitu para
pengusaha kecil dan menengah serta yang berada pada sektor koperasi.
 Mengurangi defisit negara secara teratur dan konsisten sesuai dengan undang undang demi pemulihan
APBN agar dapat lebih diremajakan kembali

c. Bidang politik

Politik luar negeri yang memiliki aturan :

 Melaksanaakaan dan menegaskan kemana arah tujuan politik luar negeri yang bebas aktif tetapi
berorientasi pada kebutuhan , keinginan dan kepentingan nasional.
 Dapat mengembangkan serta meningkatkan kesiapan indonesia dalam menghadapi dan menjalani
perdagangan bebas yang didalaamnya berupa WTO, APEC dan AFTA.
 Sanggup melaksanakan perjanjian berupa kerja sama yang telah disepakati bersama dengaan dunia
internasional demi kepentingan dan kebutuhan hajat hidup masyarakat disemua lapisan yang
sebelumnya DPR telah menyetujui.

Politik dalam negeri yang memiliki aturan :

 Memperkokoh dan mempererat keberadaan serta kelangsungan negara republik indonesia


 Memaksimalkan dan menyempurnakan manfaat UUD 1945 agar selalu sejalan dengan kebutuhan
bangsa dan kepentingan serta tuntutan reformasi.
 Mempertajam dan meningkatkan fungsi serta mempertebal kemadirian .

d. Bidang Agama

 Mengesahkan, melaksanakan dan menetapkan kedudukan agama sebagai pondasi terkuat dan
landasan moral, spiritual serta etika dalam penyelenggaraan pembangunan nasional dengan mematuhi
berbagai
 Memajukan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan moral dan agama.
 Mempermudah, meningkatkan persatuan didalam perbedaan dan saling menghormati pada
masyarakat untuk menjalankan ibadahnya menurut agama dan kepercayaan masing masing.
 Mengoptimalkan peran dan fungsi lembaga keagamaan didalam pelaksanaan mengatasi segala
perubahan dalam kehidupan yang memberi dampak dikemudian hari.

e. Bidang pendidikan

 Mengutamakan pemerataan disegal lapisan masyarakat untuk kesempatan memperoleh pendidikan


yang layak.

By Reza Ridhani
 Mengutamakan ketajaman kemampuan akademik dan dengan cara profesional serta menjamin
kesejahteraan daan kemakmuran tenaga pendidukan
 Meaksaanakan perubahan secar konsisten dalam sistem pendidikan
 Memperbanyak, mengutamakan dan memperdayakan lembaga sekolah dan luar sekolah sebagai pusat
pembentukan moral, perilaku, nilai nilai , sikap, pembudayaan dan mengembangkan serta
memproduksi sumber daya amanusia secara mandiri dan berkualitas disegala aspek kehidupan.

f. Bidang sosial dan budaya


Tentang kesehatan dan kesejahteraan sosial yaang adil dam merata

 Mengutamakan kualitas dn kuantitas sumber daya manusia serta lingkunganya yang sehat.
 mengutamakan peningkatan kualitas kelembagaaan dan pelayanan kesehatan disegala bidang dan
aspek masyarakat.
 Mengutamakan peningkatan sistem jaminan sosial pada tenaga kerja.
 Mengutamakan kepedulian dan pelayaanan terbaik bagi orang orang penyandang cacat.
 Mengutamkan peningkatan kualitaas kehidupan penduduk dengan jalan pengendalian lonjakan
kelahiran dan meningkatkan keberhasilan program keluarga berencana.

Peran wanita Indonesia dan soal kependudukan

 Mengutamakan peran wanita disegala aspek dan bidang menguntungkan dalam hidup berbangsa dan
bernegara
 Mengutamakan kualitas peran serta kemadirian didalam pelaksanaan organisasi kaum wanita
dimana dilandasi dengan nilai nilai perjuangan, nilai moral, nilai histori dan kecerdsaan yang
dimiliki kaum wanita .

Peran kebudayaan, dan seni serta maanfaat paariwisata

 Mengutamakan nilai nilai budaya indonesia sehingga dapat memanfaatkanya secar maksimal
didaalam kehidupan ekonomi
 Mengutamaakan keberhasilan dalam kemandirian berkreasi dan berkreatif dalam berseni.
 Mengutaamaakn seni dan budaya tradisional dalam negeri sebagai budaaya yang bernilai sejarah.
 Meningkatkan kualitas dan kuantitas pariwisata di Indonesia dengan melaksanakan sistem terpadu,
terencana dan tepat sasaran .

Peran pemuda dan olahraga

 Bersama sama meningkatkan dan membudidayakan kebiasaan untuk berolahraga agar tercipta
masyarakat indonesia yang sehat.
 Bersama sama mewujudkan dan meningkatkan pencarian bibit para olahragawan untuk masa depan
dan meningkatkan pembinaan untuk mewujudkan prestasi.
 Meningkatkaan minat dan bakat masyarakat untuyk berwirausaha dan mandiri
 Meningkatkan pelayanana berkomunikasi guna melindungi masyarakat dari penyalahgunaan obat
obatan terlarang.

By Reza Ridhani
g. Dalam bidang pertahanan dan keamanan NKRI

 Mengutamakan penataan kembali pada tugas dan fungsi TNI sebagai alat pelindung negara dari
segala bentuk ancaman kejahatan daari luar maupun dalam negeri.
 Mengutamakan dan meningkatkan kebersamaan dalam hal kerja sama bilateral TNI dalam hal
stabilitas regional
 Mengupayakan kemandirian pada polri untuk memisahkan diri dari TNI

h. Dalam bidang pembangunan daerah yang adil dan merata

 Meningkataakan kualitas otonomi daerah secara merata dan luas didalam NKRI (negara kesatuan
republik Indonesia).
 Melakukan pemeriksaan, penelitian dan penggunaan pengkajian tentang undang undang otonomi
daerah yang berlaku pad provinsi, kabupaten, diperkotaan dan dipedesaan secara merata.
 Mengupayakan kestabilan dan keseimbangan penggunaan keuangan antara pusat dan daerah, yang
harus dilaksanakan dengan adil dan jujur dan lebih mengutamakan pada otonomi daerah ternyata
masih butuh banyak perbaikan dan perkembangan .

i. Dalam bidang sumber daya alam dan Lingkungan hidup

 Memanfaatkan dan mengolah semua sumber daya alam untuk keperluan dan kebutuhan masyarakat
agar mencapai kehidupan yang lebih makmur
 Memanfaatkan kehebatan tehnologi yang ramah lingkungan dalam pengolahan sumber daya alam
 Memanfaatkan, mengelola dan menyusun sumber daya lam sebesar besarnya untuk kesejahteraan
rakyat.
 Mengutamakan kerja sama yang seimbang dan secara maksimal antara pemerintah pusat dengan
pemerintahan daerah dalam memanfaatkan apapun yang ada didalam sumber daya alam.

GBHN atau Garis garis besar haaluan negara selain berfungsi untuk mempertahankan kestabilan
pembangunan nasional juga berperan bagi misi pembanguann nasional Indonesia yaitu Sebagai
pengamalan terhadap pancasila dalaam kehidupan sehari hari dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dalam keadaan apapun dan dapat juga sebagai ondasi yang kuat bagi kedaulatan raakyat
dalam segala bidang dan aspek dimasyaraakat berbangsa dan bernegara.

By Reza Ridhani
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL

1. Makna, Hakikat dan Tujuan Pembangunan Nasional

Pengertian Pembangunan Nasional

Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang terus menerus dilakukan untuk menuju perbaikan disegala
bidang kehidupan masyarakat dengan berdasarkan pada seperangkat nilai yang dianut, yang menuntun masyarakat
untuk mencapai tingkat kehidupan yang didambakan. Pembangunan disini lebih diarahkan pada pembangunan
potensi, inisiatif, daya kreasi, dan kepribadian dari setiap warga masyarakat. Dengan pembangunan, masyarakat
diharapkan semakin mampu mengelola alam bagi peningkatan kesejahteraanya. Pembangunan menuntut orientasi
masa depan bagi kelestarian manusia dan alam.

Pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan yang dilakukan secara berkesinambungan dalam
semua bidang kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk mewujudkan tujuan nasional. Pembangunan nasional
dilakukan dalam rangka merealisasikan tujuan nasional seperti yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan segenap tumpah darah indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.

Pelaksanaan pembangunan mancakup aspek kehidupan bangsa, yaitu aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan secara berencana, menyeluruh, terarah, terpadu, bertahap dan berkelanjutan untuk memacu
peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain
yang lebih maju. Oleh karena itu, sesungguhnya pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk
terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara benar, adil, dan merata, serta
mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggara negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila.

Hakikat Pembangunan Nasional

Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya. Hal ini berarti dalam pelaksanaan pembangunan nasional adalah sebagai berikut :

1. Ada keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan kebulatan yang utuh dalam seluruh kegiatan pembangunan.
Pembangunan adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk pembangunan. Dalam pembangunan
dewasa ini dan jangka panjang, unsur manusia, unsur sosial budaya, dan unsur lainnya harus mendapat perhatian
yang seimbang.
2. Pembangunan adalah merata untuk seluruh masyarakat dan di seluruh wilayah tanah air.
3. Subyek dan obyek Pembangunan adalah manusia dan masyarakat Indonesia, sehingga pembangunan harus
berkepribadian Indonesia dan menghasilkan manusia dan masyarakat maju yang tetap berkepriadian Indonesia
pula.
4. Pembangunan dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan Pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama
pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, serta menciptakan suasana yang
menunjang. Kegiatan masyarakat dan kegiatan Pemerintah saling mendukung, saling mengisi, dan saling
melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan nasional.

Tujuan Pembangunan Nasional

Pembangunan nasional dilaksanakan untuk mewujudkan Tujuan Nasional seperti termaktub dalam Pembukaan UUD
1945 alinea IV, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

By Reza Ridhani
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial serta mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana tercantum dalam
alinea II Pembukaan UUD 1945.

Pernyataan di atas merupakan cerminan bahwa pada dasarnya tujuan Pembangunan Nasional adalah untuk
mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera, lahiriah maupun batiniah. Untuk mewujudkan hal
tersebut, maka pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia merupakan pembangunan yang
berkesinambungan, yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Pembangunan nasional yang dilakukan mengarah pada suatu tujuan. Tujuan ini terbagi atas tujuan jangka pendek dan
tujuan jangka panjang.

1. Tujuan jangka pendek dari pembangunan nasional adalah meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin adil dan merata serta meletakkan landasan yang kuat untuk tahap
pembangunan berikutnya.
2. Tujuan jangka panjang yaitu untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata, material dan
spiritual berdasarkan pancasila didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat,
bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis
dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

1. Visi dan Misi Pembangunan Nasional


Visi (impian/harapan) dan misi (hal-hal yang akan dilakukan untuk mencapai visi) tersebut merupakan dasar dan
rambu-rambu untuk mencapai tujuan bangsa dan cita-cita nasional.

Visi

1. Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara yang aman, bersatu, rukun dan damai;
2. Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak azasi
manusia; serta
3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan kehidupan yang layak serta
memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Misi

Untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan, misi yang diterapkan adalah :

1. Pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan bernegara.
2. Penegakan kedaulatan rakyat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Peningkatan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kualitas keimanan dan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan persaudaraan umat beragama yang berakhlak mulia,
toleran, rukun dan damai.
4. Penjaminan kondisi aman, damai, tertib dan ketenteraman masyarakat.
5. Perwujudan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia
berlandaskan keadilan dan kebenaran
6. Perwujudan kehidupan sosial budaya yang berkepribadian, dinamis, kreatif, dan berdaya tahan terhadap pengaruh
globalisasi.
7. Pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah dan
koperasi, dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang
berkeadilan, bersumber daya alam, dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri maju, berdaya saing dan
berwawasan lingkungan.

By Reza Ridhani
8. Perwujudan otonomi daerah dalam rangka pengembangan daerah dan pemerataan pertumbuhan dalam wadah
negara kesatuan Republik Indonesia.
9. Perwujudan kesejahteraan rakyat yang ditandai oleh meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan
bermartabat serta perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar, yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan,
pendidikan, dan lapangan kerja.
10. Perwujudan aparatur negara yang berfungsi melayani masyarakat, profesional, berdaya guna, produktif,
transparan; yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
11. Perwujudan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia,
kreatif, inovatgif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggungjawab, berketerampilan, serta
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia.
12. Perwujudan politik luar negeri yang berdaulat, bermanfaat, bebas dan proaktif bagi kepentingan nasional dalam
menghadapi perkembangan global.

2. Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Pembangunan Nasional


 Asas-Asas Pembangunan Nasional
Asas Pembangunan Nasional adalah prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam perencanan
dan pelaksanaan Pembangunan Nasional. Asas-asas tersebut adalah :

v Asas Keimanan dan Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa


Bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasioanl dijiwai, digerakkan dan dikenadalikan oleh keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan YME sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral, dan etika dalam rangka
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.

v Asas Manfaat
Bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional memberikan manfaat bagi kemanusiaan, kesejahteraan
rakyat dan pengembangan pribadi warga Negara serta mengutamakan kelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa.

v Asas Demokrasi Pancasila


Bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dilakukan dengan semangat kekeluargaan yang bercirikan
kebersamaan, gotong royong, persatuan dan kesatuan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

v Asas Adil dan Merata


Bahwa pembangunan nasional dilakukan atas usaha bersama harus merata di semua lapisan masyarakat dan di seluruh
wilayah tanah air dimana setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan berperan dan menikmati hasilnya
secara adil sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.

v Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan dalam Perikehidupan


Bahwa dalam pembangunan nasional harus ada keseimbangan antara berbagai kepentingan, yaitu keseimbangan
keserasian dan keselarasan antara kepentingan dunia dan akhirat, material dan spiritual jiwa raga, individu, masyarakat
dan Negara, pusat dan daerah serta antardaerah, kepentingan kehidupan darat, laut dan udara serta kepentingan
nasional dan internasional.

v Asas Hukum
Bahwa setiap warga Negara dan penyelenggara Negara harus taat pada hukum yang berintikan keadilan dan
kebenaran, serta Negara diwajibkan untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum.

By Reza Ridhani
v Asas Kemandirian
Bahwa pembangunan nasional berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta
bersendikan kepada kepribadian bangsa.

v Asas Kejuangan
Bahwa penyelenggara Negara dan masyarakat harus memiliki mental, tekad, jiwa dan semangat pengabdian serta
ketaatan dan disiplin yang tinggi dengan lebih mengutamakn kepentingan bangsa dan Negara di atas kepentingan
pribadi atau golongan.

v Asas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Bahwa pembangunan nasional dapat memberikan kesejahteraan rakyat lahir batin yang setinggi-tingginya,
penyelenggaraannya perlu menerapkan nilai- nilai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mendorong pemanfaatan,
pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi secara seksama dan bertanggung jawab dengan
mempertahankan nilai- nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Prinsip-Prinsip Pembangunan Nasional

Pelaksanaan pembangunan nasional dilakukan dengan berpegang pada prinsip yang dijadikan pedoman dalam
penyelenggaraannya, antara lain:

1. Kesemestaan
Bahwa pembangunan nasional bersifat komprehensif, artinya menyatukan seluruh aspek kehidupan dan
penghidupan bangsa Indonesia.

2. Partisipasi rakyat
Betapapun kulifiednya para aparat penyelenggara Negara dan matangnya program-program pembangunan yang
dicanangkan; tidak akan membawa hasil yang optimal tanpa didukung oleh partisipasi rakyat.

3. Keseimbangan
Mengandung makna bahwa pembangunan nasioanl harus seimbang.

4. Kontinuitas,
Cita-cita akhir bangsa Indonesia tidak akan tercapai dalam kurun waktu satu genersi. Hal ini berarti bahwa usaha
mewujudkannya harus diperjuangkan secara terus-menerus.

5. Kemandirian,
Pelaksanaan pembangunan nasional harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri
yang bersendikan pada kepribadian bangsa.

6. Skala prioritas,
Pelaksanaan pembangunan dibatasi oleh berbagai keterbatasan, sehingga tidak mungkin semua bidang atau
masalah dilaksanakan atau ditangani dalam waktu bersamaan.

7. Pemerataan disertai pertumbuhan


Hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai harus dapat dinikmati secara merata oleh seluruh bangsa Indonesia.

By Reza Ridhani
1. Mekanisme dan Aspek-Aspek Pembangunan Nasional di Indonesia
Pembangunan Nasional di Indonesia terdiri dari :

1. Pembangunan hukum yaitu di jelaskan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum”.
2. Pembangunan ekonomi yaitu suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan
memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur
ekonomi nasional dan pemerataan pendapatan bagi penduduk.
3. Pembangunan Politik yaitu suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan
memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur
ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara.
4. Pembangunan Agama yaitu suatu proses dimana bangsa Indonesia wajib menganut salah satu dari 5 agama yang
ada di Indonesia.
5. Pembangunan Pendidikan yaitu proses dari upaya Pemerintah dalam menerapkan wajib belajar 9 tahun.

Aspek-Aspek Pembangunan Nasional


Dalam pembahasan aspek dan gerak dinamika pembangunan nasional terdapat lima aspek komponen yang
merupakan tujuan akhir pembangunan nasional bangasa Indonesia, antara lain:
1. Kemakmuran di bidang material; diartikan sebagai kesebacukupan dalam kebutuhan fisik yang terutama terwujud
dalam bentuk tersedianya sandang, pangan dan papan.
2. Kesejahteraan mental; dikaitkan dengan tersedianya kesempatan untuk meningkatkan pendidikan dalam rangka
penambahan pengetahuan dan ketrampilan.
3. Kesejahteraan fisik dan rohaniah; berkaitan erat dengan keamanan dari berbagai jenis gangguan, baik yang
menyangkut nyawa maupun harta benda kita. Sedangkan kerohanian berkaitan dengan kebebasan menganut suatu
ajaran agama tertentu berdasarkan keyakinan seseorang serta melakukan ibadatnya menurut ajaran agama yang
dipeluknya.
4. Kebahagiaan; tidak semata-mata dalam wujud kebendaan melainkan pengakuan terhormat atas tingginya harkat
dan martabat manusia itu.
5. Masyarakat bangsa yang berkeadilan sosial; memberikan keadilan yang sama terhadap semua orang, bukan
berdasarkan kemakmuran material seseorang.

Modal Dasar dan Faktor Dominan Pembangunan Nasional


1. Modal Dasar
Modal dasar pembangunan nasional adalah keseluruhan sumber kekuatan nasional, baik yang efektif maupun
potensial, yang dimiliki dan didayagunakan bangsa Indonesia dalam pembangunan nasional, yaitu:

1. Kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia sebagai hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia.
2. Jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Wilayah nusantara yang luas dan berkedudukan di khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua
samudera dengan kondisi alamiahnya yang memiliki berbagai keunggulan komparatif.
4. Kekayaan alam yang beraneka ragam dan terdapat di darat, laut, udara,dan dirgantara yang dapat didayagunakan
secara bertanggung jawab demi kemakmuran rakyat.
5. Penduduk yang besar jumlahnya sebagai sumber daya manusia yang potensial dan produktif bagi pembangunan
nasional.
6. Rohaniah dan mental, yaitu keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan tenaga
penggerak yang tak ternilai harganya bagi pengisian aspirasi bangsa. Juga kepercayaan dan keyakinan bangsa atas
kebenaran falsafah Pancasila sebagai satu- satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, merupakan modal sikap mental yang dapat membawa bangsa menuju cita- citanya.

By Reza Ridhani
7. Budaya bangsa Indonesia yang dinamis yang telah berkembang sepanjang sejarah bangsa yang mencirikan
kebhinekaan dan keekaan bangsa.
8. Potensi dan kekuatan efektif bangsa yakni segala sesuatu yang bersifat potensial dan produktif yang telah menjadi
milik bangsa, dan yang tumbuh dari rakyat termasuk kekuatan sosial politik antara lain partai politik dan golongan
karya.
9. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagi kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik yang
tumbuh dari rakyat dan bersama rakyat menegakkan serta mengisi kemerdekaan bangsa dan negara.

2. Faktor Dominan
Faktor dominan adalah segala sesuatu yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pembangunan agar
memperlancar pencapaian sasaran pembangunan nasional, meliputi:

1. Kependudukan dan sosial budaya, termasuk pergeseran nilai dan perkembangan aspirasi rakyat yang dinamis.
2. Wilayah yang bercirikan kepulauan dan kelautan dengan lingkungan dan alam tropiknya.
3. Sumber daya alam yang beraneka ragam dan tidak merata penyebarannya, termasuk flora dan fauna.
4. Kualitas manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia dan penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi.
5. Disiplin nasional yang merupakan perwujudan kepatuhan dan ketaatan kepada hukum dan norma- norma yang
berlaku dalam masyarakat.
6. Manajemen nasional sebagai mekanisme penyeleng garaan negara dan pemerintahan
7. Perkembangan regional dan global serta tatanan internasional yang selalu berubah secara dinamis.
8. Kemungkinan pengembangan.

Factor Pendukung dan Penghambat Pembangunan Nasional


1. Faktor Pendukung Pembangunan Nasional
Suksesnya pelaksanaan pembangunan nasional didukung oleh beberapa faktor yaitu:

1. Kemerdekaan dan kedaulatan bangsa,


Untuk terselenggaranya pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, modal yang dipandang sangat penting adalah modal
yang mencerminkan harga diri dan martabat bangsa yang merupakan motivasi kuat untuk bertekad memperbaiki nasib
dengan mengandalkan kekuatan sendiri.

1. Posisi geografik negara,


 Tesedianya sumber daya alam tertentu
 Skala prioritas pembangunan ekonomi yang harus dipertimbngkan
 Jenis masalah yang diperhitungkan
 Akses kepada sumber ekonomi yang dibutuhkan, tetapi berada di luar batas wilayah negara kita adalah beberapa
implikasi atas posisi geografis Negara kita.
1. Penduduk,
Jumlah penduduk yang besar merupakan keunggulan yang luar biasa menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Bila
potensi ini dapat didayagunakan dan ditingkatkan terutama kualitas fisik dan mental intelektualnya, maka selain
merupakan sumber tenaga kerja yang besar serta menjadi konsumen bagi pasaran industri nasioanl, juga dapat menjadi
modal utama Indonesia dalam menghadapi persaingan global di dunia internasional.

1. Kekayaan alam,
Keberhasilan pembangunan ekonomi yang telah dicapai oleh Indonesia selama ini tidak terlepas dari dukungan
sumber daya alam yang dimiliki, yang menjadi modal dasar pembangunan ekonomi nasional.

1. Faktor rohaniah dan mental,

By Reza Ridhani
Keimanan dan ketaqwaa terhadap Tuhan YME serta diterimanya Pncasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
merupakan factor pendukung bisa terlaksanya pembangunan ekonomi.

1. Globalisasi ekonomi,
Tata pergaulan dunia yang melahirkan globalisasi di berbagai bidang terutama di bidang informasi dan ekonomi
memberikan peluang untuk mengenali dan memanfaatkan budaya ekonomi bangsa lain dan membuka jalan masuk
keluarnya produk dalam dan luar negeri yang akan bersaing dalam pasar internasional.

1. Kepercayaan kreditur luar negeri,


Keberhasilan pembangunan ekonomi bangsa Indonesia menambah kepercayaan kreditur luar negeri.

1. Situasi politik nasional yang stabil,


Hal ini merupakan kesadaran bahwa dalam keadaan situasi politik yang stabil pembangunan di segala bidang bisa
diselenggarakan.

2. Faktor Penghambat Pembangunan Nasional


Pelaksanaan pembangunan nasional tidak berjalan mulus seperti yang dikehendaki tetapi pelaksanaannya banyak
dihadapkan pada berbagai masalah yang merupakan penghambat pembangunan nasional. Faktor-faktor penghambat
tersebut adalah :

1. Gejolak sara; adanya perbedaan suku, ras dan agama, dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk
menimbulkan gejolak sara yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia.
2. Produktivitas penduduk yang rendah; masih tertinggalnya Indonesia di bidang produktivitas yang masih rendah
serta tingkat pertumbuhan penduduk masih cukup tinggi membuat sumber daya manusia Indonesia saat ini lebih
cenderung menjadi beban yang menghambat laju pertumbuhan Indonesia.
3. Kesenjangan sosial; kesenjangan pemerataan pendapatan, kesempatan kerja (pengangguran), pelayanan
kesehatan, kesenjangan pembangunan antar daerah dapat menyebabkan kecemburuan social.
4. Kekurangan modal dan teknologi,
5. Persaingan dan proteksi negara lain di bidang perdagangan; persaingan semakin ketat terhadap komoditas ekspor
serta tindakan proteksi Negara lain merupakan hambatan pengembangan ekspor Indonesia.
6. Tingkat pendidikan bangsa Indonesia; tingkat pendidikan bangsa Indonesia kebanyakan masih rendah serta masih
banyak ditemui penduduk yang buta aksara.

1. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional


F Pengertian Perencaan Pembangunan Nasional

Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,
perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia.

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.

F Asas Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional:

1. Perencanaan pembangunan nasional disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap
perubahan.

By Reza Ridhani
2. SPPN diselenggarakan berdasarkan asas umum penyelenggaraan negara : Asas kepastian hukum, Asas tertib
penyelenggaraan negara, Asas kepentingan umum, Asas keterbukaan, Asas proporsionalitas, Asas profesionalitas,
dan Asas akuntabilitas
F Tujuan Perencanaan Pembangunan Nasional menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, antara lain :

1. Mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan


2. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi
pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah
3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan
4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat
5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan
F Proses Perencanaan menurut UU Nomor 25 Tahun 2009, yakni:

1. Pendekatan Politik: Pemilihan Presiden/Kepala Daerah menghasilkan rencana pembangunan hasil proses politik
(public choice theory of planning), khususnya penjabaran Visi dan Misi dalam RPJM/D.
2. Proses Teknokratik: perencanaan yang dilakukan oleh perencana profesional, atau oleh lembaga/unit organisasi yang
secara fungsional melakukan perencanaan khususnya dalam pemantapan peran, fungsi dan kompetensi lembaga
perencana.
3. Partisipatif: perencanaan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholders, antara lain melalui pelaksanaa
Musrenbang.
4. Proses top-down dan bottom-up: Perencanaan yang aliran prosesnya (dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan)
yaitu dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas dalam hierarki pemerintahan.
F Ruang Lingkup Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU No 25 Tahun 2004):

1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-Nasional)

RPJP Nasional Tahun 2005-2025 adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 tahun terhitung
sejak tahun 2005 sampai dengan 2025.Landasan Idiil RPJP Nasional: Pancasila dan Landasan Konstitusional RPJP
Nasional: UUD RI Tahun 1945.

RPJP ditetapkan dengan maksud memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa
(pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi,
misi, dan arah pembangunan yang disepakati bersama, sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku
pembangunan bersifat sinergis, koordinatif, dan saling melengkapi satu dengan lainnya di dalam satu pola sikap dan
pola tindak.

v Tujuan dan Sasaran Pokok Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025

 Mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, dan adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju
masyarakat adil dan makmur dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
 Pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran pokok pembangunan:
1. Mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab:
2. Terciptanya suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis.
3. Nilai-nilai kearifan lokal akan mampu merespon modernisasi secara positif dan produktif sejalan dengan nilai-nilai
kebangsaan.
4. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing:
5. Membangun SDM yang berkualitas.
6. Memperkuat perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global.
7. Meningkatkan penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan IPTEK.
8. Membangun sarana dan prasarana yang memadai.

By Reza Ridhani
9. Melakukan reformasi hukum dan birokrasi.
10. Mewujudkan Indonesia yang demokratis berlandaskan hukum:
11. Merupakan landasan penting untuk mewujudkan pembangunan Indonesia yang maju, mandiri, dan adil.
12. Bertujuan untuk memastikan munculnya aspek-aspek positif dan menghambat aspek negatif kemanusiaan serta
memastikan terlaksananya keadilan bagi semua warga negara.
13. Menciptakan ketertiban dan keterjaminan hak-hak dasar masyarakat secara maksimal.
14. Mewujudkan Indonesia yang aman, damai, dan bersatu:
15. Bangsa dan negara Indonesia memerlukan kemampuan pertahanan negara yang kuat.
16. Terjaminnya keamanan dan adanya rasa aman bagi masyarakat merupakan syarat penting bagi pembangunan di segala
bidang.
17. Mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan
18. Meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan.
19. Mengurangi gangguan keamanan.
20. Menghapuskan potensi konflik sosial.
21. Mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari:
22. SDA dan lingkungan hidup merupakan modal pembangunan yang harus dikelola secara berkesinambungan.
23. Lingkungan hidup yang asri akan meningkatkan kualitas hidup manusia.
24. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional:
25. Diarahkan pada pola pembangunan berkelanjutan berdasarkan pengelolaan sumber daya laut berbasiskan ekosistem.
26. Meliputi aspek-aspek SDM dan kelembagaan, politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pertahanan,
keamanan, dan teknologi.
27. Mewujudkan Indonesia yang berperan aktif dalam pergaulan internasional:
28. Indonesia mempunyai peluang dan potensi untuk mempengaruhi dan membentuk opini internasional dalam rangka
memperjuangkan kepentingan nasional.
29. Indonesia sangat penting untuk berperan aktif dalam politik luar negeri dan kerjasama lainnya, baik di tingkat regional
maupun internasional dalam rangka mewujudkan Indonesia yang maju, mandiri, adil, dan makmur.
v Peran dan Fugsi RPJP

1. RPJP merupakan payung bagi seluruh lembaga tinggi negara dalam melaksanakan tugas perencanaan pembangunan.
2. Mencerminkan cita-cita kolektif yang akan dicapai oleh masyarakat beserta strategi untuk mencapainya.
3. Merupakan produk dari semua elemen bangsa, masyarakat, pemerintah, lembaga-lembaga tinggi negara, organisasi
kemasyarakatan, dan organisasi politik.
4. RPJP menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun RPJP Daerah. Dalam penyusunan RPJP Daerah
dimungkinkan adanya penekanan prioritas yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Hal ini
sesuai dengan semangat otonomi daerah.
v Gambaran tentang Hasil Pembangunan Indonesia Jangka Panjang Tahap Pertama

Dinamika pembangunan nasional tercermin dari setiap upaya dan hasil-hasil yang telah dicapai dari mulai Repelita I
sampai dengan Repelita V.

1. Repelita I : Meletakkan titik berat pada sektor pertanian dan industri yang mendukung sektor pertanian.
2. Repelita II : Meletakkan titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah bahan
mentah menjadi bahan baku.
3. Repelita III : Meletakkan titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dengan meningkatkan
industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi.
4. Repelita IV : Meletakkan titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada
pangan dengan meningkatkan industri sendiri baik industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri ringan
yang akan terus dikembangkan dalam repelita-repelita selanjutnya.

By Reza Ridhani
5. Repelita V : Meletakkan titik berat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan hasil produksi pertanian lainnya dan sekctor industri khususnya industri yang menghasilkan untuk
ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian serta industri yang dapat
menghasilkan mesin-mesin industry
2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM-Nasional)

Penyusunan RPJM berpedoman pada RPJP Nasional yang merupakan penjabaran visi, misi, dan program Presiden.

v RPJM memuat:

1. Strategi pembangunan nasional


2. Kebijakan umum
3. Program K/L dan lintas K/L
4. Program kewilayahan dan lintas kewilayahan
5. Kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh, termasuk arah kebijakan
fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
v Peran dan Fungsi RPJM

1. RPJM merupakan acuan bagi seluruh lembaga tinggi negara dalam melaksanakan tugas pembangunan.
2. RPJM berfungsi untuk menyatukan pandangan dan langkah seluruh lapisan masyarakat dalam melaksanakan prioritas
pembangunan selama 5 tahun ke depan.
3. RPJM menjadi acuan bagi setiap lembaga tinggi negara, kementerian, dan lembaga pemerintah non kementerian
dalam menyusun Renstra.
4. RPJM juga menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun RPJM Daerah. Dalam penyusunan RPJM Daerah
dimungkinkan adanya penekanan prioritas yang berbeda-beda dalam menyusun program-program pembangunan yang
sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Hal ini sejalan dengan semangat desentralisasi dalam segala aspek
kehidupan.
v Permasalahan Pokok Pembangunan (RPJM Tahun 2004-2009)

1. Pertumbuhan ekonomi masih rendah.


2. Kualitas SDM masih rendah.
3. Belum sejalannya kegiatan perlindungan lingkungan dengan kegiatan pemanfaatan SDA.
4. Kesenjangan pembangunan antardaerah yang masih lebar.
5. Terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas infrastruktur.
6. Masih belum tuntasnya konflik di beberapa daerah.
7. Masih tingginya kejahatan konvensional dan transnasional.
8. Masih kurangnya kemampuan dan jumlah personel TNI serta permasalahan alutsista yang jauh dari mencukupi.
9. Masih adanya hambatan dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif.
10. Rendahnya kualitas pelayanan umum kepada masyarakat.
11. Belum menguatnya pelembagaan politik lembaga penyelenggara negara dan lembaga kemasyarakatan.
v Permasalahan Pokok Pembangunan (RPJM Tahun 2010-2014)

1. Capaian pertumbuhan ekonomi sekitar 6% selama periode 2004-2008 belum cukup untuk mewujudkan tujuan
masyarakat Indonesia yang sejahtera.
2. Percepatan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan adalah pertumbuhan ekonomi yang mengikutsertakan sebanyak
mungkin penduduk Indonesia (inclusive growth).
3. Pertumbuhan ekonomi harus tersebar ke seluruh wilayah Indonesia, terutama daerah-daerah yang masih memiliki
tingkat kemiskinan yang cukup tinggi, untuk mengurangi kesenjangan antardaerah.

By Reza Ridhani
4. Pertumbuhan ekonomi yang tercipta harus dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya dan lebih merata ke
sektor-sektor pembangunan yang banyak menyediakan lapangan kerja untuk mengurangi kesenjangan antarpelaku
usaha.
5. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh merusak lingkungan hidup.
6. Pembangunan infrastruktur semakin penting jika dilihat dari berbagai dimensi.
7. Sumber pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan harus berasal dari peningkatan produktivitas.
8. Keberhasilan proses pembangunan ekonomi tergantung pada kualitas birokrasi.
9. Demokrasi telah diputuskan sebagai dasar hidup berbangsa.
10. Hukum harus menjadi panglima dalam sistem yang demokratis.
v Arah Kebijakan Umum Pembangunan Nasional Jangka Menengah Tahun 2010-2014

1. Melanjutkan pembangunan mencapai Indonesia yang sejahtera.


2. Memperkuat pilar-pilar demokrasi dengan penguatan yang bersifat kelembagaan dan mengarah pada tegaknya
ketertiban umum, penghapusan segala macam diskriminasi, pengakuan dan penerapan HAM serta kebebasan yang
bertanggung jawab.
3. Memperkuat dimensi keadilan dalam semua bidang, termasuk pengurangan kesenjangan pendapatan, pembangunan
antardaerah (termasuk desa-kota), dan gender.
v Arah Kebijakan Bidang-Bidang Pembangunan dalam RPJM 2010-2014

1. Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama


2. Bidang Ekonomi
3. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
4. Bidang Sarana dan Prasarana
5. Bidang Politik
6. Bidang Pertahanan dan Keamanan
7. Bidang Hukum dan Aparatur
8. Bidang Wilayah dan Tata Ruang
9. Bidang SDA dan Lingkungan Hidup
3) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) / Rencana Pembangunan Tahunan

RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional. RKP disusun untuk mencapai pilihan alokasi sumber daya nasional
secara efisien dan efektif.

v Pertimbangan dalam menyusun RKP:

1. Prioritas kegiatan harus sejalan dengan pencapaian sasaran program RPJM.


2. Bersifat operasional atau mudah untuk dilaksanakan.
3. Memperhatikan keterbatasan anggaran dalam RAPBN.

v Peran dan Fungsi RKP

1. Sebagai acuan bagi seluruh komponen bangsa yang terlibat dalam perencanaan pembangunan nasional.
2. Sebagai alat untuk menciptakan kepastian kebijakan yang bersifat mengikat.
3. Sebagai pedoman bagi penyusunan RAPBN, karena memuat gambaran perekonomian secara menyeluruh, termasuk
arah kebijakan fiskal.

By Reza Ridhani
KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH: KONSEPSI, IMPLEMENTASI DAN
MASALAH

Terlebih dulu perlu dicatat bahwa sejak awal 1990-an telah berkembang berbagai wacana diantara
para pemerhati pemerintahan tentang desentralisasi pemerintahan di Indonesia. Konsep otonomi yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mendapat sorotan dan kajian kritis. Ada dua pendapat
yang menampil dalam diskusi-diskusi itu: Pertama, bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 masih
relevan, hanya belum dilaksanakan secara konsisten. Pendapat ini kemudian mendorong lahirnya kebijakan
pemerintah berupa proyek percontohan otonomi di satu daerah tingkat II untuk masing-masing propinsi.
Kedua, bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 sudah harus diganti sama sekali. Sistem yang sarat
dengan nuansa sentralistik itu, yang selama puluhan tahun kita praktekkan, telah membawa berbagai akibat
buruk. Sistem ini dinilai telah menghambat proses demokratisasi pemerintahan.
Dalam pengamatan penulis waktu itu, dua argmumentasi ini memiliki alasan yang obyektif. Pendapat
pertama bisa berlindung dibalik alasan bahwa pemerintahan daerah yang berlaku saat itu memang belum
sepenuhnya mencerminkan konsep Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Titik berat otonomi pada daerah
tingat II (kabupaten dan kotamadya), yang merupakan amanah pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 belum terwujud. Namun argument inipun bias dikoreksi. Bukankah ini sekaligus menunjukkan
betapa rendahnya komitmen pemerintah dalam menjalankan undang-undang itu? Kenyataan bahwa
pemerintah tidak melaksanakan perintah undang-undang walaupun setelah undang-undang itu berlaku
selama lebih dari 20 tahun memang menyulitkan lahirnya consensus baru untuk pelaksanaannya.
Keengganan pemerintah pusat untuk mendelegasikan wewenang ke daerah memang berlebihan. Pada masa
itu sangat sulit bagi siapapun untuk mengubah persepsi para pejabat pusat agar menerima asumsi tentang
kemanfaatan dari kebijakan desentralisasi. Ini antara lain disebabkan karena visi tentang keterkaitan antara
sistem negara kesatuan dengan keperluan akan pendekatan yang sentralistik masih cukup dalam tertanam di
benak para pemimpin pemerintahan di pusat. Keadaan ini memperkuat argumen dari pendapat yang kedua
untuk sama sekali meninggalkan konsep otonomi yang sedang berlaku dan menggantinya dengan sesuatu
yang baru.
Konsep Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang bernuansa sentralistik itu memang harus dituduh
sebagai penyebab dari berbagai kekurangan yang menyertai perjalanan pemerintahan di daerah selama lebih
dari dua dekade terakhir. Kenyataan belum diperolehnya pemimpin dan kepemimpinan pemerintahan yang
terbaik sesuai dengan aspirasi masyarakat pada masa itu adalah akibat dari pola rekrutmen yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 itu. Pola itu telah memberi pembenaran terhadap berlakunya
rekayasa pemilihan pemimpin pemerintahan yang tidak transparan dan tidak memiliki "sense of public
accountability." Kurangnya kewenangan yang diletakkan di daerah juga telah menjadi penyebab dari
lemahnya kemampuan prakarsa dan kreatitivitas pemerintah daerah dalam menyelesaikan berbagai masalah
dan menjawab berbagai tantangan. Keleluasaan untuk menetapkan prioritas kebijakan, yang merupakan
syarat penting untuk lahirnya prakarsa dan kreativitas, memang tidak tersedia. Semua keputusan penting
hanya bisa diambil oleh pemerintah pusat. Akibatnya, selalu terjadi kelambanan dalam merespons dinamika
dan permasalahan yang terjadi di daerah. Dalam keadaan seperti ini, partisipasi masyarakat dalam proses
pembuatan kebijakan publik menjadi sangat lemah.
Secara teknis administrasi, tiadanya kewenangan daerah dalam proses rekrutmen dan promosi
pegawai, serta kakunya organisasi pemerintahan di daerah akibat diterapkannya pola uniformitas telah
menyebabkan tidak efektifnya daya kerja birokrasi. Beberapa dari unit organisasi dan institusi yang dibangun
pun sudah cenderung mubazir. Dengan kata lain, pendekatan sentralistik yang mewarnai pola pemerintahan
daerah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 itu telah memelihara inefisiensi administrasi dan
korupsi, sehingga seolah-olah hal itu telah menjadi karakter pemerintahan di daerah pada masa itu.
Pendekatan sentralistik yang dipakai seringkali dilandaskan kepada argumentasi seolah-olah ia
merupakan konsekuensi dari sistem negara kesatuan. Padahal, argumen ini tidak memiliki dasar yang kuat,
karena negara kesatuan Republik Indonesia yang dikonsepsikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sangat
menghargai hak-hak otonom dan bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa (lihat penjelasan UUD
1945). Disamping itu, secara teoretik, dengan kebhinnekaan budaya masyarakat Indonesia, keanekaragaman
kondisi geografis, dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan yang lainnya, mestinya
menyulitkan kita untuk menerapkan pendekatan yang seragam dalam proses pemerintahan. Negara kesatuan
sebagai sebuah komitmen politik tidak seyogianya digunakan sebagai justifikasi bagi pendekatan yang
seragam dan sentralistik itu.
Berdasarkan ulasan di atas, kita sampai pada kesimpulan bahwa kebijakan desentralisasi untuk
otonomi daerah adalah suatu kebutuhan yang mendesak demi menyelamatkan kelangsungan hidup bangsa

By Reza Ridhani
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 harus diubah. Hasil dari
perubahan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999.

1. Perubahan Paradigma

Dalam waktu yang cukup lama, sejak orde baru, pemerintahan Indonesia telah tergiring untuk
menjadikan paradigma pembangunan sebagai landasan nilai yang menjadi acuan dari seluruh kebijakan
pemerintahan. GBHN dan Repelita sebagai instrumen utama dari penyelenggaraan pemerintahan orde baru
sarat dengan konsep dan rencana pembangunan. Karena itu, pemerintah mengambil peran sebagai agen
utama dari pembangunan nasional. Tujuannya jelas: akselarasi pembangunan. Pilihan ini diambil karena
dibawah pemerintahan sebelumnya, ekonomi nasional Indonesia memang terpuruk, dengan tingkat
pengangguran dan kemiskinan yang sangat tinggi. Sebagai contoh, sampai saat berakhirnya pemerintahan
Presiden Soekarno di tahun 1967, inflasi sudah mencapai 650%. Sektor agraria tetap menjadi andalan utama,
tanpa sesuatu terobosan produksi yang bisa membawa rakyat ke luar dari lingkaran kemiskinan.
Pengangguran di kota-kota sangat nyata, dan investasi asing hampir-hampir nihil. Karena itu, ketika
pemerintahan orde baru terbentuk, Soeharto segera menghimpun para teknokrat ekonomi dalam
pemerintahannya dan mendeklarasikan pembangunan sebagai missi utamanya.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan paradigma pembangunan itu. Hanya saja, setelah dijalankan
dalam jangka waktu yang cukup lama, kemudian terbukti bahwa menjadikan pembangunan sebagai peran
pokok pemerintahan, seraya mengorbankan peran yang hakiki, yaitu sebagai pihak yang melayani dan
memberdayakan masyarakat, telah membawa konsekuensi-konsekuensi yang kurang baik. Peran pemerintah
yang terlalu menonjolkan pembangunan, pada tingkat pertama mengharuskan adanya suatu sistem
perencanaan yang terpusat (central planing). Kendali pemerintahan dan pembangunan berada ditangan
pemerintah pusat. Ini diperlukan agar percepatan pembangunan bias terlaksana. Perencanaan dan
pengendalian terpusat itu juga mengharuskan adanya penyeragaman sistem organisasi pemerintahan daerah
dan manajemen proyek yang dikembangkan di daerah. Tujuannya agar hasilnya mudah diukur, dikendalikan,
diawasi, dan dievaluasi.
Akibat dari penerapan pendekatan terpusat itu adalah semakin kuatnya ketergantungan daerah kepada
pemerintah pusat. Inilah akar dari hubungan pusat-daerah yang bersifat patronasi. Pada gilirannya, hal ini
kemudian mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas pemerintah dan masyarakat daerah.
Sementara itu, beban pemerintah pusat yang terus memberat serta semakin kompleksnya masalah yang
dihadapi telah menyulitkannya dalam membuat kebijakan-kebijakan yang secara tepat merespon dinamika
dan tantangan yang dihadapi. Gambaran dari kondisi yang dobel negatif ini bisa diamati melalui reaksi
pemerintah terhadap krisis moneter regional yang terjadi sekitar Juli 1997.
Jadi, ketika Thailand terkena serangan krisis moneter di bulan Juli 1997, hampir semua pejabat tinggi
Indonesia di bidang moneter, ekonomi dan pembangunan memberi reaksi yang bernada optimistik. Kata
mereka, keadaan yang menimpa Thailand tidak akan terjadi terhadap Indonesia karena fundamental ekonomi
kita cukup kuat dan cadangan devisa yang kita miliki masih mampu merespon kebutuhan transaksi berjalan.
Namun, ketika serangan itu benar datang pada bulan berikutnya (Agustus 1997), keadaan kita ternyata sama
dengan, atau bahkan lebih parah dari Thailand. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS merosot tajam, dari
40% di awal krisis ke 80% di bulan Mei 1998. Banyak perusahaan yang tutup dan jumlah penganggur
membengkak. Campur tangan IMF tidak banyak menolong. Berbagai alternatif kebijakan moneter yang
disodorkan oleh para ahli dalam dan luar negeri tidak mampu menggiring pemerintah untuk secara tegas
memilih dan melaksanakannya. Satu-satunya reaksi pemerintah yang dikover secara luas oleh media massa
adalah acara bagi-bagi nasi bungkus oleh Menteri Sosial (Mbak Tutut) kepada para penganggur dan pekerja
serabutan. Reaksi pemerintah daerah yang sudah lama kehilangan kreativitas sama saja. Mereka ikut-ikutan
membagi nasi bungkus, menciptakan pasar murah untuk sehari, atau paling jauh mengerahkan tenaga kerja
(ex-phk) untuk membersihkan selokan dan bantaran sungai.
Apa artinya illustrasi diatas? Ternyata pemerintah gagal memahami apalagi mengantisipasi gejala
krisis ekonomi dan keuangan global. Mereka gagal membaca perubahan dan berbagai kecenderungan global,
paling tidak di bidang ekonomi dan keuangan. Mengapa? Karena untuk waktu yang cukup lama, pemerimtah
pusat telah menggunakan terlalu banyak waktu dan enerjinya untuk mengurus masalah-masalah domestik
yang sebenarnya sudah bisa diurus oleh pemerintah daerah. Akibatnya, mereka tidak punya cukup waktu dan
enerji untuk mempelajari kecenderungan-kecenderungan global. Ini harga yang harus kita bayar dari
penerapan sistem pemerintahan yang sentralistik itu.
Maka, sebagai bangsa yang berupaya untuk cerdas, kita harus berani mengubah pola hubungan pusat-
daerah yang paternalistik dan sentralistik itu menjadi pola hubungan yang bersifat kemitraan dan

By Reza Ridhani
desentralistik. Itulah yang kemudian tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1999.
Dengan dua Undang-undang ini, kita meninggalkan paradigma pembangunan sebagai acuan kerja
pemerintahan. Sakralisasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya telah melahirkan
banyak korban pembangunan. Pengambil-alihan secara sepihak terhadap hak rakyat atas tanah mereka
dengan dalih untuk kepentingan pembangunan adalah contoh yang sangat nyata. Ini terjadi baik dalam kasus
pengusuran berskala kecil untuk pembangunan sebuah pasar misalnya, maupun untuk yang berskala besar,
yang seringkali disebut bedol desa. Karena itu, demi mengembalikan harga diri rakyat dan demi membangun
kembali citra pemerintahan sebagai pelayan yang adil, maka melalui kebijakan otonomi daerah tahun 1999
itu kita kembali menggunakan paradigma pelayanan dan pemberdayaan. Ini tidak berarti bahwa pemerintah
sudah tidak lagi memiliki komitmen pembangunan, tetapi mendudukkan tugas pembangunan itu diatas
landasan nilai pelayanan. Artinya, tidak akan ada lagi kebijakan pembangunan yang mengandung nilai
ketidak-adilan dan yang bersifat mematikan kreativitas masyarakat. Kebijakan semacam itu jelas
bertentangan dengan komitmen pelayanan dan pemberdayaan. Perubahan paradigma ini bisa dianggap
sebagai suatu gerakan kembali ke karakter pemerintahan yang hakiki.

2. Tujuan, Visi dan Konsep Dasar


Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi tahun 1999 itu adalah, di satu pihak, membebaskan
pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia
berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat
daripadanya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada
perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi
kewenangan pemerintahan ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan.
Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi
berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan simbol adanya "trust" dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Ini akan dengan sendirinya mengembalikan harga diri
pemerintah dan masyarakat daerah. Kalau dalam sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak
dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi ini mereka ditantang untuk secara kreatif
menemukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi.
Penulis ingin memperjelas lagi posisi kebijakan otonomi sebagai sebuah proyek pengembalian harga
diri pemerintah dan masyarakat daerah. Di masa lalu, banyak masalah terjadi di daerah yang tidak tertangani
secara baik karena keterbatasan kewenangan pemerintah daerah di bidang itu. Ini berkenaanantara lain
dengan konflik pertanahan, kebakaran hutan, pengelolaan pertambangan, perijinan investasi, kerusakan
lingkungan, alokasi anggaran dari dana subsidi pemerintah pusat, penetapan prioritas pembangunan,
penyusunan organisasi pemerintahan yang sesuai kebutuhan daerah, pengangkatan dalam jabatan struktural,
perubahan batas wilayah administrasi, pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa, serta pemilihan kepala
daerah. Sekarang, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1999, kewenangan itu didesentralisasikan ke daerah. Artinya, pemerintah dan masyarakat di
daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertangungjawab. Pemerintah pusat tidak
lagi mempatronasi, apalagi mendominasi mereka. Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini
adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Peran
ini tidak ringan, tetapi juga tidak membebani daerah secara berlebihan. Karena itu, dalam rangka otonomi
daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta kepemimpinan yang kuat dari
pemerintah pusat, dengan keleluasaan berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah daerah. Visi otonomi
daerah itu sendiri dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama: Politik, Ekonomi,
serta Sosial dan Budaya.
Di bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi,
maka ia harus difahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan
daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelengaraan pemerintahan yang
responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan
yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi
kebijakan. Artinya, untuk setiap kebijakan yang diambil, harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu,
apa tujuannya, berapa ongkos yang harus dipikul, siapa yang akan diuntungkan, apa risiko yang harus
ditanggung, dan siapa yang harus bertanggungjawab jika kebijakan itu gagal. Otonomi daerah juga berarti
kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem
dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen
pemerintahan yang efektif.
Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan
ekonomi nasional di daerah, dan di lain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan

By Reza Ridhani
kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam
konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk
menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur
yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian, otonomi daerah akan membawa
masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan
memelihara harmoni sosial diantara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Pada saat yang sama
ia juga wajib memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang besifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat
merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah yang kemudian melandasi lahirnya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, merangkum hal-hal berikut ini:

1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah.
Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan, serta
beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis-nasional, maka pada dasarnya semua
bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan. Dalam konteks ini, pemerintahan daerah tetap
terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan, yaitu daerah kabupaten dan kota yang diberi status
otonomi penuh, dan propinsi yang diberi otonomi terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi
pemerintah pusat di daerah kabupaten dan kota, kecuali untuk bidang-bidang yang dikecualikan tadi.
Otonomi terbatas berarti adanya ruang yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk melakukan operasi di
daerah propinsi. Karena itu, maka status Gubernur propinsi, selain sebagai kepala daerah otonom, juga
sebagai wakil pemerintah pusat. Karena sistem otonomi ini tidak bertingkat (tidak ada hubungan hierarki
antara pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota), maka hubungan propinsi dan kabupaten
bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan. Sebagai wakil pemerintah pusat, Gubernur
mengkoordinasikan tugas-tugas pemerintahan antar kabupaten dan kota dalam wilayahnya. Gubernur
juga melakukan supervisi terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan
pemerintah pusat, serta bertanggungjawab mengawasi penyelengaraan pemerintahan berdasarkan
otonomi daerah di dalam wilayahnya.

2. Penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah. Kewenangan DPRD dalam
menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan Kepala daerah harus dipertegas. Pemberdayaan
fungsi-fungsi DPRD dalam bidang legislasi, representasi dan penyalur aspirasi masyarakat harus
dilakukan. Untuk itu optimalisasi hak-hak DPRD perlu diwujudkan, seraya menambah alokasi anggaran
untuk biaya operasinya. Hak penyelidikan DPRD perlu dihidupkan, hak prakarsa perlu diaktifkan, dan
hak bertanya perlu didorong. Dengan demikian produk legislasi akan dapat ditingkatkan dan pengawasan
politik terhadap jalannya pemerintahan bisa diwujudkan.

3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur setempat demi menjamin tampilnya
kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
Pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD sepanjang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas
desentralisasi dan otonomi daerah perlu ditetapkan.

4. Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi
yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan, setara
dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah, serta lebih responsif terhadap
kebutuhan daerah. Dalam kaitan ini juga, diperlukan terbangunnya suatu sistem administrasi dan pola
karir kepegawaian daerah yang lebih sehat dan kompetitif.

5. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang jelas atas sumber-sumber
pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue dari sumber penerimaan yang berkait dengan
kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.

6. Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah pusat yang bersifat
"block grant," pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada
daerah (Bappeda) untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan
masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.

7. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap
upaya memelihara harmoni sosial dan solidaritas sosial sebagai satu bangsa.

By Reza Ridhani
Untuk menjamin suksesnya pelaksanaan konsep otonomi daerah tersebut, sekali lagi, diperlukan
komitmen yang kuat dan kepemimpinan yang konsisten dari pemerinah pusat. Dari pemerintah daerah juga
diharapkan lahirnya pemimpin-pemimpin pemerintahan yang demokratis, DPRD yang mampu menjembatani
antara tuntutan rakyat dengan kemampuan pemerintah, organisasi masyarakat yang mampu memobilisasi
dukungan terhadap kebijakan yang menguntungkan masyarakat luas, kebijakan ekonomi yang berpihak pada
pembukaan lapangan kerja dan kemudahan berusaha, serta berbagai pendekatan sosial budaya yang secara
terus menerus menyuburkan harmoni dan solidaritas antar warga.

Implementasi

Belum terlalu banyak hal yang bisa diangkat dalam konteks implementasi otonomi daerah, mengingat
waktu pelaksanaannya secara komprehensif baru berlaku bilangan bulan. Namun secara umum bisa dicatat
bahwa untuk bidang-bidang tertentu, seperti pemilihan kepala daerah dengan kewenangan penuh pada
DPRD dan pensahan peraturan daerah oleh DPRD, sudah berlaku sejak Januari 2000. Dalam tahun 2001 ini
juga telah diproses berlakunya kebijakan desentralisasi fiskal melalui alokasi DAU dan aplikasi pembagian
keuntungan dari sumber-sumber pendapatan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999,
realokasi pegawai pusat yang jumlahnya mencapai sekitar dua juta, realokasi aset pemerintah pusat yang ada
di daerah, serta kewenangan daerah di bidang kelembagaan dan promosi karir pegawai.
Dalam semua proses itu pasti ada masalah dan kendala yang bervariasi dari satu daerah ke daerah
lainnya. Ini merupakan tantangan yang harus dijawab melalui kepemimpinan pemerintah pusat dalam
mensupervisi pelaksanaan kebijakan tersebut.
Secara umum, implementasi kebijakan otonomi daerah masih dihadapkan pada berbagai kendala.
Banyak masalah yang harus diselesaikan sebelum kita mampumembangun harapan-harapan baru tentang
Indonesia masa depan yang lebih baik.
Diantara kendala itu, yang paling serius, menurut pengamatan saya adalah yang berkenaan dengan
pengembangan fungsi-fungsi pemerintahan melalui pemberian lebih banyak kewenangan kepada daerah.
Peningkatan kemampuan daerah untuk secara kreatif dan optimal mendayagunakan kewenangan-
kewenangan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah nasional, seperti yang terinci dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 belum efektif. Ini disebabkan hingga saat berlakunya secara penuh
pelaksanaan otonomi daerah, Januari 2001, beberapa instansi pusat belum juga siap mengalihnya
kewenangan seperti diamanahkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000. Hingga saat ini, masih
ratusan produk perundang-undangan (sebagian besar Keppres) yang diperlukan untuk menjadi landasan bagi
daerah dalam menjalankan berbagai pelayanan pemerintahan, belum tersedia. Akibatnya, salah satu tujuan
otonomi daerh yang berupa kemampuan untuk merespon dinamika masyarakat setempat secara lebih tepat,
cepat dan kreatif pun belum tampak.
Ada potensi kekisruhan yang terlihat melalui respon pemerintah daerah terhadap belum turunnya
keppres-keppres tentang standar pelayanan minimum di berbagai bidang pemerintahan. Terhadap kenyataan
ini terdapat dua kelompok daerah dengan respon yang berbeda. Kelompok pertama mengambil sikap
menunggu datangnya keppres. Mereka tidak mau membuat perda dan kebijakan apapun dalam bidang itu
selama petunjuknya belum datang. Artinya, tidak ada implementasi otonomi daerah dalam hampir semua
bidang pelayanan pemerintahan. Mereka menjalankan pelayanan publik seperti sediakala, ketika Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 belum berlaku. Kenyataan
ini terkesan selintas tanpa risiko. Padahal ada risikonya, yaitu adanya kemungkinan kevakuman pelayanan
berhubung kantor-kantor perwakilan pemerintah pusat di daerah sudah mulai berbenah untuk integrasi ke
dalam struktur pemerintahan daerah otonom. Dalam suasana keraguan tentang siapa yang berwenang
melakukan apa, sudah bisa dipastikan terganggunya proses pemerintahan di daerah.
Kelompok kedua megambil sikap proaktif. Mereka berasumsi bahwa untuk mengatasi kevakuman
pelayanan, mereka maju terus membuat perda tanpa harus dilandaskan kepada pedoman yang seharusnya
tertuang dalam Keppres. Mereka berasumsi bahwa karena kewenangan-kewenangan pemerintahan sudah
ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, maka secara legal mereka sudah bisa
mengatur. Apalagi karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 sendiri sudah ditetapkan
bahwa pemerintah pusat wajib menyiapkan semua aturan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan
kewenangan itu selambat-lambatnya enam bulan setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah itu. Artinya,
Keppres-Keppres tentang standar pelayanan minimum itu seharusnya sudah siap seluruhnya pada tanggal 7
November 2000. Risiko yang dihadapi dalam pelaksanaan kewenangan tanpa petunjuk Keppres itu adalah
luasnya kemungkinan perbenturan antara kepentingan nasional yang seharusnya terjabarkan secara jelas
dalam Keppres-Keppres dengan kepentingan daerah yang tertuang dalam perda-perda itu. Kalau ini terjadi,
kekisruhan pemerintahan menjadi tak terelakkan, sesuatu yang secara langsung akan mengganggu ketahanan
nasional kita.

By Reza Ridhani
Karena itu, pemerintah pusat tidak seyogianya melambatkan proses otonomi daerah dengan berbagai
cara. Setiap langkah yang lambat dalam melaksanakan desentralisasi akan dibayar mahal. Ia bukan saja akan
menimbulkan kecurigaan dan kekecewaan daerah terhadap pusat, tetapi juga akan memicu suasana
ketidakpastian yang luas. Pandangan dunia terhadap kualitas pemerintahan kita pun akan semakin negatif.

Masalah Strategis yang Harus Ditangani


Ada beberapa masalah yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap pelaksanaan
otonomi daerah, yang belum dapat ditangani secara memuaskan sampai saat sekarang ini, dan karena itu
seyogianya dijadikan sebagai bahan kajian kita bersama. Masalah-masalah dimaksud berkenaan dengan :
(1) Gejala krisis kepemimpinan pemerintahan;
(2) Peningkatan volume dan intensitas tindak kekerasan sosial;
(3) Penyelenggaraan fungsi-fungsi DPRRl dan DPRD, termasuk adanya ganjalan dalam hubungan antara
legislatif dan eksekutif;
(4) Kontroversi hubungan antara Daerah Propinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota sebagai konsekuensi
pemberian status otonomi penuh kepada Daerah Kabupaten dan Kota, serta
(5) Penyelenggaraan pemerintahan desa.
Ke-lima pokok masalah itu dapat dianggap bersifat strategis karena berkenaan dengan inti
penyelenggaraan pemerintahan dan berdampak langsung terhadap penampilan pemerintahan nasional dan
daerah. Penjelasan singkat atas masalah-masalah itu adalah sebagai berikut :

1.Krisis Kepemimpinan Pemerintahan


Dalam persepsi masyarakat awam, yang merupakan mayoritas dari bangsa Indonesia, pemerintahan
hasil pemilihan umum 1999 di tingkat pusat dan daerah sejauh ini baru terbatas mengesankan pergantian
figur dan perubahan tema rhetorik. Belum banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengubah
nasib rakyat. Bahkan gelombang harapan yang di awal gerakan untuk reformasi demikian besar, kini
berangsur-angsur surut. Kalau pengamatan, ini benar, maka sulit untuk mengingkari adanya gejala krisis
kepemimpinan pemerintahan, yang ditandai oleh belum mampunyai para pemimpin pemerintahan kita
melaksanakan amanah reformasi. Ini bisa diamati melalui sejumlah fakta di mana reformasi untuk
menegakkan supremasi hukum, misalnya, kini dihadapkan pada perilaku pelanggaran hukum oleh pejabat
negara dan warga masyarakat yang justru semakin vulgar dan brutal. Reformasi untuk memberantas KKN
malahan dicemari oleh praktek KKN para pelaku kekuasaan secara lebih transparan. Reformasi untuk
demokratisasi politik justru terjebak ke dalam perangkap politik uang, intrik, dan suasana paling curiga antar
elit yang semakin menjauhkan mereka dari substansi penyelesaian berbagai masalah. Reformasi ekonomi
untuk mengakhiri pemihakan kepada kelompok pengusaha konglomerat tertentu, yang telah menguras uang
negara melalui toleransi pemerintah pada praktek monopoli dan penyaluran kredit dalam jumlah besar,
terancam gagal. Ironis memang, bahwa praktek favoritisme seperti itu cenderung direproduksi. Perubahan
yang terjadi hanyalah pergantian mitra belaka.
Semua gejala ini merupakan beban yang sangat berat untuk dipikul oleh kepemimpinan dan
pemimpin pemerintahan kita saat ini. Secara tidak langsung, dengan adanya gejala krisis kepemimpinan
pemerintahan secara nasional, proses otonomi daerah juga akan terganggu. Karena seperti saya kemukakan
pada bagian lain dari tulisan ini, implementasi kebijakan otonomi daerah mempersyaratkan adanya
komitmen yang kuat dan konsisten dari para pemimpin pemerintahan di tingkat pusat, dan kesetiaan
menerima dan melaksanakan amanah tanggung jawab pelayanan public dari para pemimpin pemerintahan di
tingkat daerah. Dalam situasi krisis seperti ini, pemerintah pusat telah terbukti mengalokasikan perhatian
yang sangat terbatas untuk melakukan monitoring, supervisi, evaluasi dan pengawasan terhadap
implementasi kebijakan desentralisasi. Lahirnya kebijakan pusat yang tidak konsisten bukan saja
membuktikan lemahnya kepemimpinan dan sistem koordinasi dalam kinerja mereka, tetapi juga
merefleksikan betapa lemah pemahaman elementer mereka terhadap tujuan kebijakan otonomi yang justru
mau menyelamatkan eksistensi pemerintahan dan negara kesatuan Indonesia. Munculnya penilaian dan
statemen pejabat pusat yang justru mencurigai efektivitas pelaksanaan otonomi daerah, meragukan
kemampuan daerah melaksanakan otonomi karena alasan SDM dan PAD, kekhawatiran akan lahirnya
perilaku kekuasaan yang sewenang-wenang akibat otonomi daerah (biasanya dengan istilah raja-raja kecil),
mencari-cari kelemahan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 untuk mendorong dilakukannya revisi tanpa
rujukan yang jelas tentang pasal berapa yang harus direvisi dan kenapa, semuanya sekali lagi mengesankan
bahwa untuk pemahaman secara elementer tentang kebijakan otonomi daerah ini sekalipun, para top elit kita
di pusat masih sangat lemah. Karena itu, ironis sekali memang, berhubung mereka tidak faham bahwa semua
potensi kegagalan yang mereka rujuk itu pasti akan terjadi jika pemerintah pusat gagal dalam melakukan
supervisi dan pengawasan terhadap jalannya implementasi kebijakan desentralisasi ini. Jadi bukan
sebaliknya, seolah-olah potensi keggalan itu terletak pada substansi kebijakannya. Cara pandang terakhir ini

By Reza Ridhani
harus diluruskan, karena ia berpotensi menggiring pemerintah pusat untuk mundur dari komitmen awalnya
untuk mewujudkan otonomi daerah. cara pandang ini berbahaya, karena ia bisa mengantar eksistensi
Republik Indonesia ke akhir perjalanannya.

2.Tindak Kekerasan Sosial-Politik.


Kalau kita mengamati perkembangan dalam dua tahun terakhir ini sangat terasa semakin seringnya
terjadi tindak kekerasan di dalam berbagai antar hubungan masyarakat kita. Seolah-olah sesuatu masalah
yang melibatkan kepentingan orang banyak tidak lagi dapat diselesaikan dengan cara-cara damai.
Beritaberita tentang pembakaran terhadap kendaraan yang menabrak seseorang, pembakaran hidup-hidup
terhadap seseorang yang dicurigai sebagai pencuri, pembakaran toko, tempat ibadah, sekolah dan pasar,
sudah tidak mengejutkan kita lagi. Masyarakat cenderung bersifat emosional, tidak terkendali dan pada
tingkat tertentu dapat dianggap brutal di dalam menampilkan kepedulian sosial mereka.
Keadaan ini jelas memprihatinkan. Kebiasaan masyarakat melakukan tindak kekerasan akan
melestarikan budaya kekerasan dan menodai upaya kita membangun budaya penyelesaian masalah melalui
cara-cara damai. Citra pemerintahan kita bisa menjadi lebih negatif lagi kalau terbukti ketidakmampuannya
mencegah mobilisasi kekuatan massa untuk maksud pemaksaan kehendak politik tertentu, sehingga fungsi
dan peran lembaga-lembaga perwakilan rakyat menjadi terganggu.
Dalam situasi sosial yang sarat dengan potensi tindak kekerasan, otonomi daerah akan sulit
beroperasi, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Secara politik, tindak kekerasan akan
mematikan iklim demokrasi, sehingga proses otonomi daerah yang ditujukan untuk membangun tradisi
demokrasi di daerah akan terhambat. Secara ekonomi, tidak ada satu kebijakan ekonomi yang bisa berjalan
dalam situasi yang serba tidak pasti. Investasi selalu bergerak mencari tempat yang aman dan menjanjikan
keuntungan. Otonomi daerah yang diharapkan membangun iklim yang kondusif untuk investasi pasti gagal
jika tindak kekerasan sosial semakin marak dalam masyarakat. Secara sosial, otonomi daerah yang juga
diharapkan membangun iklim kebersamaan dan harmoni sosial di daerah akan secara langsung tertusuk oleh
setiap tindak kekerasan yang terjadi.

3. Penyelenggaraan Fungsi-fungsi DPRD


Di atas telah dijelaskan bahwa kebijakan desentralisasi merupakan bagian dari kebijakan
demokratisasi pemerintahan. Karena itu, penguatan peran DPRD, baik dalam proses legislasi maupun
pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah perlu dilakukan. Dalam Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 telah ditetapkan bahwa posisi DPRD sejajar dengan pemerintah daerah, bukan sebagai bagian dari
pemerintah daerah seperti yang berlaku sebelumnya melalui Undang-undang Nomor 5 tahun 1974.
Kewenangan DPRD dalam memilih kepala daerah, memilih anggota MPR dari utusan daerah (untuk DPRD
Propinsi), mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah; dan hak DPRD untuk meminta
pertanggung jawaban kepala daerah, melakukan penyelidikan, bahkan meminta keterangan dari pejabat
negara dan warga masyarakat tentang sesuatu hal yang menyangkut kepentingan publik (yang kalau ditolak
tanpa alasan akan berakibat seseorang bisa dikenai hukuman) adalah rangkaian dari kewenangan dan hak-
hak yang baru dilekatkan pada keberadaan DPRD melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1999.
Tujuannya, sekali lagi, adalah untuk membangun suatu sistem pemerintahan daerah yang menggambarkan
adanya keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, serta dalam jangka panjang untuk
menampilkan pemerintahan yang lebih aspiratif.
Dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi DPRD, sejauh ini, ada tiga anggapan yang selalu menampil.
Pertama, DPRD dianggap kurang mampu melaksanakan fungsinya sebagai mitra yang seimbang dan efektif
dari Kepala Daerah. Anggapan ini umumnya dianut oleh para pengamat politik yang cenderung menilai
bahwa peranan Kepala Daerah masih cukup dominan didalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kedua,DPRD dianggap terlalu jauh mencampuri bidang tugas Kepala Daerah, sehingga cenderung
menyimpang dari fungsi utamanya sebagai badan pemerintahan daerah yang menyelenggarakan fungsi
legislatif. Anggapan ini banyak dianut oleh para pejabat eksekutif daerah. Tiga, DPRD dianggap tidak
memperoleh kesempatan yang seimbang dengan Kepala Daerah untuk ikut merumuskan kebijakan
pemerintahan daerah. Anggapan ini umumnya hidup dikalangan anggota DPRD sendiri.
Tiga anggapan itu memiliki dasar-dasar pembenarannya masing-masing. Persoalannya adalah
bagaimana menempatkan fungsi DPRD secara tepat dan proporsional sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pemahaman atas segala peraturan itu yang tampak belum mantap, baik dikalangan
pengamat, pejabat pemerintah dan DPRD sendiri.
Dalam pada itu, peran DPRD dalam proses pemilihan kepala daerah juga banyak menyedot perhatian
masyarakat. Ini seiring dengan telah diserahkannya secara penuh wewenang pengajuan calon, pemilihan dan
penetapan hasil pemilihan kepada DPRD. Pada saat yang sama, persaingan diantara para kader partai politik
untuk menduduki posisi Kepala Daerah juga semakin terbuka. Aspirasi yang muncul di daerah juga semakin

By Reza Ridhani
terbuka. Aspirasi yang muncul di daerah menyangkut pencalonan Kepala Daerah juga semakin pluralistik,
sehingga kalau tidak tertangani secara baik cenderung mengambil bentuk konflik yang kurang
menguntungkan bagi upaya menggalang persatuan. Terjadinya kasus kelambatan di dalam memproses bakal
calon Kepala Daerah umumnya disebabkan oleh sulitnya membangun kesepakatan diantara para elit politik
daerah tentang siapa diantara calon-calon (yang biasanya jumlahnya sangat banyak diterima oleh suatu fraksi
dari usul-usul masyarakat) yang akan didukung bersama. Kesulitan itu bersumber dari kendala hubungan
antar fraksi di DPRD, tetapi juga tidak jarang bersumber dari kendala dalam hubungan internal suatu fraksi
sendiri. Sampai pada batas-batas tertentu, maraknya persaingan untuk merebut posisi kepemimpinan di
daerah dapat dianggap sebagai cermin kematangan politik para elit itu. Namun, jika persaingan itu
berkembang menjadi sikap ngotot-ngototan, keadaan sebaliknyalah yang tercipta. Stabilitas politik di daerah
yang bersangkutan akan terganggu dan dampaknya bisa menjangkau lapisan masyarakat luas. Keadaan ini
sudah sangat sering terjadi, terutama dikaitkan dengan tuduhan sekelompok masyarakat tentang adanya
permainan uang dibalik kemenangan seorang calon.
Mungkin karena suasana baru ini pula, maka hubungan kemitraan antara kepala daerah dan DPRD
belum sepenuhnya dapat dikembangkan. Kendalanya terutama berkenaan dengan tingkat keserasian
hubungan antara Kepala Daerah dengan unsurunsur pimpinan DPRD. Di beberapa Daerah, hubungan yang
tidak serasi itu sudah sampai pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan, karena sekaligus mengisyaratkan
adanya persaingan kekuasaan yang tidak sehat di antara mereka, dengan titik edar di seputar kursi kepala
daerah.
Menghadapi kenyataan ini agaknya diperlukan pengkajian yang komprehensif dan kritikal terhadap
aplikasi sistem representasi politik yang berlaku saat ini. Kita perlu mempertanyakan, misalnya, apakah
dengan berlakunya otonomi daerah tidak lebih tepat jika kita menerapkan sistem pemilihan umum yang
dasarnya distrik? Juga, apakah tidak lebih tepat melakukan pemilihan umum secara terpisah dan dengan
jadwal yang berbeda antara DPR-RI dan DPRD?
Pemilihan umum yang dasarnya distrik akan secara langsung membangun hubungan yang akrab
antara para anggota DPR dan DPRD dengan masyarakat pemilihnya. Keadaan ini akan menjadi landasan
bagi penguatan komitmen para wakil rakyat untuk hanya berjuang bagi kepentingan rakyat. Pemilihan umum
untuk anggota DPRD yang terpisah dan yang jadwalnya berbeda dari pemilihan untuk anggota DPRRI akan
memberi kesempatan kepada masyarakat di daerah untuk lebih cermat dalam menentukan wakil-wakilnya,
baik untuk DPR maupun DPRD. Dua hal ini sesungguhnya pernah diusulkan oleh pemerintah di tahun 1999,
namun ditolak oleh DPR-RI. Sekarang, mungkin tidak ada salahnya hal ini kembali dibahas.
Dengan sistem yang dasarnya distrik dan pemilihan yang terpisah itu, akan terjadi proses
pendewasaan demokrasi kita, karena: (1) para wakil rakyat tahu siapa konstituennya dan masyarakat tahu
siapa wakilnya; (2) hubungan yang akrab antara wakil rakyat dengan konstituen akan mengikat keduanya
secara moral untuk saling menjaga citra, sehingga akan mampu mencegah permainan uang oleh si wakil
dalam menjalankan hak dan kewajibannya; (3) mengukuhkan citra independensi DPRD dalam berhadapan
dengan DPR. Selama ini, karena sistem pemilu proporsional yang memberi peran dominan kepada partai,
dan pelaksanaan pemilihan yang bersamaan, telah terbentuk citra seolah-olah anggota DPRD adalah yunior
dari anggota DPR-RI. Terkesan bahwa anggota DPRD dipilih sebagai pelengkap belaka dari pemilihan
anggota DPR-RI.
Hubungan antara DPRD dengan DPR-RI sejauh ini lebih terlihat dalam dinamika internal masing-
masing partai politik. Hubungan fungsional kedua lembaga itu memang tidak diatur dalam konstitusi dan
undang-undang yang berlaku. Keadaan ini bukan merupakan sesuatu yang aneh. Masing-masing lembaga
perwakilan itu memiliki fungsi, ruang gerak dan mitra kerjanya sendiri. Hanya saja, untuk kepentingan
praktikal politik demokrasi dan penegakan hukum tetap diperlukan adanya mekanisme hubungan kerja yang
jelas antara DPRD dengan DPR-RI. Ini disebabkan karena dalam beberapa kasus terkesan masih adanya
kesalah-fahaman diantara kedua belah pihak. Ini bisa kita amati dalam kasus di mana DPRD membuat
tafsiran sendiri, yang kadang kala menyimpang, atas makna sesuatu undang-undang dan peraturan
pemerintah. Lihat misalnya, berapa banyak DPRD yang tidak mau menerima penafsiran resmi atas hal
laporan pertanggung jawaban kepala daerah. Lebih spesifik lagi, lihat kasus keputusan DPRD Irian Jaya
yang secara tegas menolak pelaksanaan Undang-Undang yang mengatur tentang pemekaran Irian Jaya
menjadi tiga propinsi. Dua contoh ini jelas kurang tepat dipakai sebagai simbol independensi DPRD justru
menunjukkan bahwa perilaku DPRD seperti itu telah bergerak ke luar jalur sistem hukum yang seyogianya
dipelihara.
4. Hubungan antara Daerah Propinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota
Sepintas lalu terkesan bahwa persoalan umum dalam hubungan pemerintahan hanya terbatas pada
kendala pusat dengan daerah. Kesan semacam ini terlalu disederhanakan. Dalam kenyataan, terdapat juga
kendala dalam hubungan diantara pemerintah daerah sendiri : antara Daerah Propinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota. Sebab utamanya terletak pada salah anggapan yang merasuk pada sebagian tertentu pejabat

By Reza Ridhani
pada Daerah Propinsi, seolah-olah Daerah Kabupaten/Kota merupakan bawahan dari daerah Propinsi.
Padahal, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tidak menggariskan begitu. Memang, dalam posisi
kewilayahan, pemerintah Propinsi antara lain bertanggung jawab membina pepyelenggaraan pemerintahan di
daerah, tetapi pada saat yang sama harus disadari bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota memiliki
keleluasaan yang cukup untuk mengembangkan kebijakan yang secara obyektif menguntungkan masyarakat
di daerahnya masing-masing.
Sebaliknya, ada cukup banyak pemerintah daerah kabupaten dan kota yang secara ekstrem
berpendapat bahwa karena pemerintah daerah propinsi bukan atasan mereka, maka tidak ada kewajiban
untuk memenuhi undangan apalagi melaksanakan kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah propinsi.
Pandangan seperti ini tentu saja keliru. Pertama, karena dalam kapasitasnya sebagai wakil pemerintah pusat,
pemerintah propinsi berwenang melakukan tugas kordinasi, monitoring, supervisi, evaluasi, dan pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan di daerah kabupaten dan kota dalam wilayahnya. Kedua, dalam batas
kewenangan otonomi yang dimilikinya, pemerintah propinsi berwenang mengatur dan menetapkan segala
kebijakan yang secara efektif berlaku dalam wilayah hukum daerah otonom propinsi yang bersangkutan.
Dalam pada itu, pelaksanaan otonomi penuh pada daerah Kabupaten dan Kota pun masih menghadapi
berbagai kendala. Sampai saat ini, masih terasa sekali keengganan Departemen Teknis menyerahkan
sebagian kewenangannya kepada Pemerintah Daerah. Padahal, kehadiran kantor-kantor perwakilan mereka
di daerah selama ini bukan saja telah memberi beban keuangan yang berat kepada negara dan daerah, tetapi
juga pada tingkat tertentu telah memperlambat pengambilan keputusan, menyulitkan penetapan prioritas
pembangunan, serta menciptakan berbagai kendala dalam kordinasi dan pelaksanaan pengawasan.
Kompleksitas permasalahan dalam proses perwujudan otonomi penuh pada daerah Kabupaten dan Kota ini
kemudian bermuara pada masih sangat terbatasnya kemampuan mereka melaksanakan kewenangan yang
menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, Undang-undang Nomor 25 tahun 1999, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 sudah selayaknya berada dalam ruang lingkup tanggung jawabnya.

5. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa


Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, kita telah
memiliki struktur pemerintahan desa yang sifatnya seragam. Keadaan ini disatu pihak bisa dianggap sebagai
keberhasilan menciptakan landasan bagi kesatuan langkah aparatur pemerintahan kita pada tingkat
desa/kelurahan. Namun dilain pihak, pelaksanaan Undang-undang ini juga tidak sepi dari penciptaan
berbagai masalah. Kendala sosiokultural yang melatar-belakangi keberadaan desa-desa kita tidak bisa
dihindari. Hingga saat lahirnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang menggantikan Undang-undang
Nomor 5 tahun 1979 masih banyak diantara desa-desa yang belum mampu mendayagunakan struktur
organisasi yang secara formal mereka miliki. Sekarang, prinsip uniformitas struktur itu sudah ditinggalkan.
Maksudnya, biarlah masing-masing daerah menyusun struktur organisasi pemerintahan desa yang lebih
sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dalam pada itu, kemampuan Kepala Desa untuk secara maksimal mendorong tumbuhnya
kemandirian, prakarsa, dan kreativitas masyarakat umumnya masih lemah. Jadi, walaupun secara politis
Desa dan Pemerintahan Desa sudah pernah dibebaskan dari konflik ideologis politis yang di masa lalu telah
merusak sendi-sendi kekeluargaan warga desa, kita belum sepenuhnya berhasil menjadikan desa sebagai
basis penggalangan solidaritas sosial dan pengembangan ekonomi dari mayoritas masyarakat bangsa kita.
Terus mengalirnya arus urbanisasi yang telah menciptakan berbagai kendala dalam pembangunan di kota-
kota, seyogianya dilihat sebagai isyarat dari belum efektifnya penyelenggaraan pemerintahan desa
mendorong kemandirian, prakarsa dan kreativitas ekonomi masyarakatnya. Karena itu, perlu terus
dipertimbangkan untuk mengembalikan status pemerintahan desa sebagai "self governing community
", bukan sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah untuk pelayanan administrasi pada tingkat yang
paling rendah.

By Reza Ridhani
A. Pengertian Sentralisasi
Sentralisasi adalah pengaturan kewenangan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk
mengurusi urusan rumah tangganya sendiri.
Asas sentralisasi memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi
puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di
Indonesia sebelum adanya otonomi daerah.
Ciri-ciri dari asas ini sangat mencolok yaitu pemusatan kekuasaan di pusat, yang mengurusnya adalah
pemerintah pusat.
Kekurangan Asas Sentralisasi
 Penurunan kecepatan untuk merespon perubahan lingkungan. Organisasi sangat bergantung pada
daya respon sekelompok orang saja.
 Kualitas manusia yang robotic, tanpa kreativitas dan inisiatif.
 Melahirkan suatu pemerintah yang otoriter sehingga tidak mengakui akan hak-hak daerah.
 Kekayaan nasional, kekayaan daerah telah dieksploitasi untuk kepentingan segelintir elite politik.
 Mematikan kemampuan ber-inovasi yang tidak sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat
demokrasi terbuka.
Contoh Sistem Sentralisasi
 Tentara Nasional Indonesia (TNI) NKRI dari 3 titik pusat yaitu darat, udara, dan laut.
 Bank Indonesia yang menjadi pusat dari semua pengaturan kebijakan moneter dan fiskal.

B. Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
mengurusi urusan rumah tangganya sendiri.
Desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah. Karena otonomi daerah merupakan kewenangan
suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta
bantuan dari pemerintah pusat.
Ciri-ciri desentralisasi
Asas desentralisasi diantaranya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
 Penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintahan tertentu dari pemerintah pusat
kepada daerah otonom
 Fungsi yang diserahkan dapat dirinci atau merupakan fungsi yang tersisa (residual function).
 Penerima wewenang adalah daerah otonom.

Tujuan Penyelenggaraan Desentralisasi


Pada dasarnya tujuan penyelenggaraan desentralisasi antara lain :
 Peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
 Wahana pendidikan politik masyarakat di daerah.
 Memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasi nasional.

Keunggulan Asas Desentralisasi


 Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.
 Mempunyai keterampilan interpersonal yang layak.

By Reza Ridhani
 Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehingga bisa meningkatkan efisiensi.
 Melahirkan manusia yang mempunyai kebebasan berpikir
 Bisa memecahkan masalah secara mandiri, serta bekerja dan hidup di kelompok kreatif yang
inisiatif dan empati.

Kelemahan Asas Desentralisasi


 Susah diamati oleh pemerintah pusat.
 Pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan daerah kurang jelas.
 Kemampuan keuangan daerah terbatas.
 Sumber daya manusia dan Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
 Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehilangan otoritasnya.

Contoh Asas Desentralisasi


Dinas Pendidikan menjadi pengatur bagaimana pola pendidikan yang akan dijalankan.

C. Pengertian Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah sebuah kegiatan penyerahan berbagai urusan dari pemerintahan pusat kepada
badan-badan lain.
Kewenangan politik tetap berada ditangan pemerintahan pusat. Jadi Dekonsentrasi bisa dikatakan sebagai
kombinasi antara sentralisasi dan desentralisasi.

Kelebihan Asas Dekonsentrasi


 Secara politis, eksistensi dekonsentrasi akan bisa mengurangi keluhan di daerah terhadap
kebijakan pemerintah pusat.
 Secara ekonomis, aparat dekonsentrasi bisa membantu pemerintah dalam merumuskan
perencanaan dan pelaksanaan lewat aliran informasi yang intensif yang disampaikan dari daerah ke
pusat.
 Memungkinkan adanya kontak langsung antara pemerintah dengan rakyat.
 Kehadiran perangkat dekonsentrasi di daerah bisa mengamankan pelaksanaan kebijakan
pemerintah pusat atau kebijakan nasional di bidang politik, ekonomi, dan administrasi
 Bisa menjadi alat yang efektif untuk menjamin persatuan dan kesatua nasional.

Kelemahan Asas Dekonsentrasi


 Koordinasi semakin sulit karena struktur pemerintahan bertambah kompleks.
 Keseimbangan dan keserasian antara berbagai kepentingan daerah lebih mudah terganggu.
 Mendorong timbulnya fanatisme daerah.
 Keputusan yang diambil relatif lama.
 Biaya yang dibutuhkan besar.

Contoh Sistem Dekonsentrasi


 Presiden melimpahkan semua wewenang ke Gubernur untuk melaksanakan ASEAN GAMES yang
akan diselenggarakan di daerahnya.

By Reza Ridhani
 Pelayanan Pajak di Kantor Pajak
 Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau
dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi

 Tentang Tugas Pembantuan


 Lebih lanjut Hinca Pandjaitan menjelaskan bahwa tugas pembantuan dapat juga diartikan sebagai
tugas pemerintah daerah untuk mengurusi urusan pemerintahan pusat atau pemerintah yang lebih
tinggi, dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskannya.
Pemerintah pusat dalam hal ini berwenang dan berkewajiban memberikan perencanaan umum,
petunjuk-petunjuk serta biaya. Sedangkan perencanaan lebih rinci, khusus mengenai pengawasan
dari kegiatan tersebut dipercayakan kepada pejabat atau aparatur pemerintah pusat yang ada di
daerah.

Kesimpulan
Asas Sentralisasi adalah pengaturan kewenangan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Asas Desentralisasi adalah pengaturan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Dekonsentrasi adalah penyerahan berbagai urusan dari pemerintahan pusat kepada badan-badan lain.

By Reza Ridhani
By Reza Ridhani

Anda mungkin juga menyukai