Anda di halaman 1dari 61

GBHN

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah haluan negara tentang penyelenggaraan
negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan
terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Dengan adanya Amendemen
UUD 1945 dimana terjadi perubahan peran MPR dan presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Sebagai
gantinya, UU no. 25/2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang
menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat
dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka
Panjang). Skala waktu RPJP adalah 20 tahun, yang kemudian dijabarkan dalam RPJM (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan dengan skala waktu 5 tahun, yang
memuat visi, misi dan program pembangunan dari presiden terpilih, dengan berpedoman pada
RPJP. Di tingkat daerah, Pemda harus menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah, dengan
merujuk kepada RPJP Nasional.
10 Fungsi GBHN dalam Pembangunan Nasional
GBHN atau Garis garis besar haluan negara merupakan pernyataan dari keinginan rakyat
seluruh Indonesia yang ditetapkan olel MPR untuk jangka waktu atau masa yang telah
ditentukan yaitu 5 tahun sekali. Tetapi jika amandemen UUD 1945 mengalami perubahan baru
tentang pelaksanaan di MPR serta melibatkan presiden maka GBHN dinyatkan tidk berlakun
lagi. Yang tertulis dalam GBHN adalah sebuah wacana tentang haluan pembangunan negara
republik indonesia yang dibuat MPR lalu dilaksanakan dengan sebaik baiknya oleh presiden. Isi
wacana yang sudah tersemat didalam GBHN tidak diperbolehksn bersimpangan atau
bertentangan dan berbeda tujuan dengan UUD 1945. (baca : tugas dan fungsi MPR)
Gbhn adalah sebagai visi dan misi tertinggi nomer kedua setelah UUD 1945 yang harus
dilaksanakan oleh semua lembaga eksekutif negara termasuk MPR , presiden dan wakil
presiden. Proses berjalannya pembangunan nasional harus didukung, disemangati dan dibantu
oleh menteri menteri yang telah di beri mandat dan kepercayaan oleh presiden. Gbhn di
rancang dan disahkan oleh MPR melalui keputusan daan ketetapaan MPR yang sebelumnya
telah mempunyai tujuan utama yaitu memperhatikan, mensejahterakan dan memberi solusi
terbaik untuk segala bentuk masalah yang terjadi dimasyarakat indonesia secara menyeluruh
(dikota maupun didesa).Tidak adanya Gbhn akan berdampak buruk pada fungsi MPR dan
mengacaukan sistem untuk mewujudkan cita cita bangsa dan negara yang berbhinneka tunggal
ika dan dapat pula merubah sistem perencanaan pembangunan nasional yang sudah ditetapkan
selama puluhan tahun sejak indonesia merdeka.
Landasan atau Asas pembangunan nasional GBHN
 Asas Swadaya masyarakat indonesia
 Asas Hukum yang adil dan beradab di indonesia
 Asas Manfaat bagi segenap lapisan masyarakat indonesia
 Asas Adil dan makmur bagi seluruh rakyat indonesia
 Asas Kekeluargaan, persatuan tujuan dan goyong royong demi terwujudnya negara yang
aman dan sejahtera seperti semboyan indonesia bhinneka tunggal ika.
 Asas Keimanan dan ketakwaan terhadap tuhan yang maha esa menurut agama dan
kepercayaan masing masing.
Berikut adalah beberapa fungsi GBHN :
1. Sebagai visi dan misi rakyat indonesia yang ditujukan untuk rencana pembangunan
nasional dimana proses pembangunan yang akan dijalankan harus sesuai dengan apa
yang dibutuhkan masyarakat secara merata adil dan makmur.
2. Sebagai tata cara , perilaku, cara bertindak dan cara pemersatu didalam pembangunan
nasional tanpa lagi melihat perbedaan suku, agama dan ras.
3. Sebagai landasan penting untuk menentukan arah dan tujuan yang tepat sasaran yaitu
mewujudkana masyarakat indonesia yang lebih demokratif, saling melindungi dan
membela hak asasi manusia selama tidak merugikan pihak lain, berkeadilan sosial,
menjalankan serta menegakkan supremi hukum didalam kehidupan bermasyarakat,
berakhlak baik, santun, berbudaya dalam kurun waktu lima tahun kedepan dan lima
tahun selanjutnya.
4. Sebagai arah dan pondasi kuat serta strategi pembangunan nasional untuk menjadikan
masyarakat indonesia sebagai masyarakat yang makmur, bersatu dan saaling gotong
royong demi terwujudnya cita cita yang berdasarkan paancasila.
5. Pembanguanan nasional yang dilaksanakan hanya semata mata dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk kepentingan rakyat. Pelaaksanaannya mencakup beberapa aspek penting
yaitu aspek kehidupan berbangsa, politik, sosial budaya, pertahaanan keamanan dan
ekonomi, dimana dilakuakan dengan memperkuata manfaat dari sumber daya manusia,
sumber daya alam dan memperkuat ketajhanan nasional secara merata.
6. Pembangunan yang dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin masyarakat
indonesia, mencapai kemajuan disegala bidang yang saling menguntungkan, terciptanya
rasa aman , keadilan, saling mengharahgai, saling menyayangi, sama sama menciptakan
lingkungan yang tentram dan menjamin rakyatnya untuk mengeluarkan pendapatnya
7. Sebagai pemersatu Antara pemerintah dan masyarakat , agar terwujud saling
mendukung, saling bekerja sama, saling melengkapai dan saling bersatu didalam satu
tujuan demi terwujudnya pembangunan nasional yang adil dan makmur.
8. Sebagai penguat tegaknya kedaulataan masyarakat indonesia disegala bidang dan aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara.
9. Sebagai pedoman untuk mewujudkan pengamalan , pelaksanaan dan pendukungan
penuh terhadap ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. agar tercipta rasa iman
dan takwa kepada tuhan yang maha esa demi persatuan seluruh indonesia yang hidup
saling bertoleransi, rukun, damai dan sejahtera seperti pada fungsi pancasila.
10. Sebagai perisai untuk menghadang segala pengaruh globalisasi yang masuk kedalam
NKRI (negara kwesatuan republik indonesia) yang diharapkan masyarakat mampu hidup
dengan cara bersosial budaya yang memakai kepribadian yang kreatif, berfikiran positif
kedepan, dinamis dan dapat menimbang manfaat serta kerrugian dari masuknya
pengaruh dari luar.
Bagian Bidang Pembangunan Nasional
a. Bidang hukum
 Menyelenggarakan dan mewujudkan proses peradilan yang adil, cepat, tepat, mudah
dan tidak melibatkan unsur KKN didalaamnya.
 Melaksanakan budaya hukum dengan sebaik baiknya pada semua lapisan masyarakat
untuk mewujudkan rasa kebersamaan, kesadaran diri dan kepatuahan terhadap hukum
yang berlaku.
b. Bidang Ekonomi
 Memproduksi dan meningkatkan pesainagn yang sehat dan jujur, adil dan mengabaikan
sistem pasar monopolik yang hanya menguntung salah satu pihak saja.
 Memajukan, memproduksi dan memperbanyak sistem ekonomi kerakyaratana yang
berpondasi pada pembangunan mekanisme pasar tradisional dan pasar induk.
 Mampu memaksimalkan fungsi dan penggunaan dari pinjaman luar negeri
 Membudayakan, mengembangkan dan memproduksi minat pengusahaa kecil yang
mandiri disegala aspek kehidupan dalam kategori menengah dan koperasi .
 Memajukan pasar modal yang adil, seimbang dan jujur yang diimbangi dengan kinerja
yang professional demi keuntungan bersama.
 Memajukan dan meningkatkan minat gotong royong untuk mewujudkan minat disektor
riil yaitu para pengusaha kecil dan menengah serta yang berada pada sektor koperasi.
 Mengurangi defisit negara secara teratur dan konsisten sesuai dengan undang undang
demi pemulihan APBN agar dapat lebih diremajakan kembali. (baca : fungsi APBN)

c. Bidang politik
Politik luar negeri yang memiliki aturan :
 Menlaksanaakaan dan menegaskan kemana arah tujuan politik luar negeri yang bebas
aktif tetapi berorientasi pada kebutuhan , keinginan dan kepentingan nasional.
 Dapat mengembangkan serta meningkatkan kesiapan indonesia dalam menghadapi dan
menjalani perdagangan bebas yang didalaamnya berupa WTO, APEC dan AFTA. (baca :
fungsi WTO)
 Saanggup melaksanakan perjanjian berupa kerja sama yang telah disepakati bersama
dengaan dunia internasional demi kepentingan dan kebutuhan hajat hidup masyarakat
disemua lapisan yang sebelumnya DPR telah menyetujui.
Politik dalam negeri yang memiliki aturan :
 Memperkokoh dan mempererat keberadaan serta kelangsungan negara republik
indonesia
 Memaksimalkan dan menyempurnakan manfaat UUD 1945 agar selalu sejalan dengan
kebutuhan bangsa dan kepentingan serta tuntutan reformasi.
 Mempertajam dan meningkatkan fungsi serta mempertebal kemadirian fungsi partai
politik.
d. Bidang Agama
 Mengesahkan, melaksanakan dan menetapkan kedudukan agama sebagai pondasi
terkuat dan landasan moral, spiritual serta etika dalam penyelenggaraan pembangunan
nasional dengan mematuhi berbagai macam macam norma.
 Memajukan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan moral dan agama.
 Mempermudah, meningkatkan persatuan didalam perbedaan dan saling menghormati
pada masyarakat untuk menjalankan ibadahnya menurut agama dan kepercayaan
masing masing.
 Mengoptimalkan peran dan fungsi lembaga keagamaan didalam pelaksanaan mengatasi
segala perubahan dalam kehidupan yang memberi dampak dikemudian hari.
e. Bidang pendidikan
 Mengutamakan pemerataan disegal lapisan masyarakat untuk kesempatan memperoleh
pendidikan yang layak.
 Mengutamakan ketajaman kemampuan akademik dan dengan cara profesional serta
menjamin kesejahteraan daan kemakmuran tenaga pendidukan
 Meaksaanakan perubahan secar konsisten dalam sistem pendidikan
 Memperbanyak, mengutamakan dan memperdayakan lembaga sekolah dan luar
sekolah sebagai pusat pembentukan moral, perilaku, nilai nilai , sikap, pembudayaan
dan mengembangkan serta memproduksi sumber daya amanusia secara mandiri dan
berkualitas disegala aspek kehidupan.
f. Bidang sosial dan budaya
Tentang kesehatan dan kesejahteraan sosial yaang adil dam merata
 Mengutamakan kualitas dn kuantitas sumber daya manusia serta lingkunganya yang
sehat.
 mengutamakan peningkatan kualitas kelembagaaan dan pelayanan kesehatan disegala
bidang dan aspek masyarakat.
 Mengutamakan peningkatan sistem jaminan sosial pada tenaga kerja.
 Mengutamakan kepedulian daan pelayaanan terbaik bagi orang orang penyandang
cacat.
 Mengutamkan peningkatan kualitaas kehidupan penduduk dengan jalan pengendalian
lonjakan kelahiran dan meningkatkan keberhasilan program keluarga berencana.
Peran wanita Indonesia dan soal kependudukan
 Mengutamakan peran wanita disegala aspek dan bidang menguntungkan dalam hidup
berbangsa dan bernegara
 Mengutamakan kualitas peran serta kemadirian didalam pelaksanaan organisasi kaum
wanita dimana dilandasi dengan nilai nilai perjuangan, nilai moral, nilai histori
dan kecerdsaan yang dimiliki kaum wanita .
Peran kebudayaan, dan seni serta maanfaat paariwisata
 Mengutamakan nilai nilai budaya indonesia sehingga dapat memanfaatkanya secar
maksimal didaalam kehidupan ekonomi
 Mengutamaakan keberhasilan dalam kemandirian berkreasi dan berkreatif dalam
berseni.
 Mengutaamaakn seni dan budaya tradisiobal dalam negeri sebagai budaaya yang
bernilai sejarah.
 Meningkatkan kualitas dan kuantitas pariwisata di Indonesia dengan melaksanakan
sistem terpadu, terencana dan tepat sasaran .
Peran pemuda dan olahraga
 Bersama sama meningkatkan dan membudidayakan kebiasaan untuk berolahraga agar
tercipta masyarakat indonesia yang sehat.
 Bersama sama mewujudkan dan meningkatkan pencarian bibit para olahragawan untuk
masa depan dan meningkatkan pembinaan untuk mewujudkan prestasi.
 Meningkatkaan minat dan bakat masyarakat untuyk berwirausaha dan mandiri
 Meningkatkan pelayanana berkomunikasi guna melindungi masyarakat dari
penyalahgunaan obat obatan terlarang.
g. Dalam bidang pertahanan dan keamanan NKRI
 Mengutamakan penataan kembali pada tugas dan fungsi TNI polri dan sebagai alat
pelindung negara dari segala bentuk ancaman kejahatan daari luar maupun dalaam
negeri.
 Mengutamakan dan meningkatkan kebersamaan dalam hal kerja sama bilateral TNI
dalam hal stabilitas regional
 Mengupayakan kemandirian pada polri untuk memisahkan diri dari TNI

h. Dalam bidang pembangunan daerah yang adil dan merata


 Meningkataakan kualitas otonomi daerah secara merata dan luas didalam NKRI (negara
kesatuan republik Indonesia).
 Melakukan pemeriksaan, penelitian dan penggunaan pengkajian tentang undang
undang otonomi daerah yang berlaku pad provinsi, kabupaten, diperkotaan dan
dipedesaan secara merata.
 Mengupayakan kestabilan dan keseimbangan penggunaan keuangan antara pusat dan
daerah, yang harus dilaksanakan dengan adil dan jujur dan lebih mengutamakan pada
otonomi daerah yang ternyata masih butuh banyak perbaikan dan perkembangan .
i. Dalam bidang sumber daya alam dan Lingkungan hidup
 Memanfaatkan dan mengolah semua sumber daya alam untuk keperluan dan
kebutuhan masyarakat agar mencapai kehidupan yang lebih makmur
 Memanfaatkan kehebatan tehnologi yang ramah lingkungan dalam pengolahan sumber
daya alam
 Memanfaatkan, mengelola dan menyusun sumber daya lam sebesar besarnya untuk
kesejahteraan rakyat.
 Mengutamakan kerja sama yang seimbang dan secara maksimal antara pemerintah
pusat dengan pemerintahan daerah dalam memanfaatkan apapun yang ada didalam
sumber daya alam. (baca : fungsi pemerintahan daerah)
GBHN atau Garis garis besar haaluan negara selain berfungsi untuk mempertahankan kestabilan
pembangunan nasional juga berperan bagi misi pembanguann nasional
Indonesia yaitu Sebagai pengamalan terhadap pancasila dalaam kehidupan sehari hari dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam keadaan apapun dan dapat juga sebagai
ondasi yang kuat bagi kedaulatan raakyat dalam segala bidang dan aspek dimasyaraakat
berbangsa dan bernegara.

OPERASI TRIKORA

Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk
menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno
(Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai
panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan
operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia
mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun, pihak
Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda.
Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka
selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan
Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian
dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam
Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan
mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam
jangka waktu 1 tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak
merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat
sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali
menyerang Papua bagian barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua bagian
barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut
yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus
1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau
Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23
September 1956.
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh
pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani
perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga
di Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.
Persiapan
Indonesia mulai mencari bantuan senjata dari luar negeri menjelang terjadinya konflik antara
Indonesia dan Belanda. Indonesia mencoba meminta bantuan dari Amerika Serikat, namun
gagal. Akhirnya, pada bulan Desember 1960, Jenderal A. H. Nasution pergi ke Moskwa, Uni
Soviet, dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah Uni
Soviet senilai 2,5 miliar dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran jangka panjang.
Setelah pembelian ini, TNI mengklaim bahwa Indonesia memiliki angkatan udara terkuat di
belahan bumi selatan. [1] Amerika Serikat tidak mendukung penyerahan Papua bagian barat ke
Indonesia karena Bureau of European Affairs di Washington, DC menganggap hal ini akan
"menggantikan penjajahan oleh kulit putih dengan penjajahan oleh kulit coklat". Tapi pada
bulan April 1961, Robert Komer dan McGeorge Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB
memberi kesan bahwa penyerahan kepada Indonesia terjadi secara legal. Walaupun ragu,
presiden John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena iklim Perang Dingin saat itu dan
kekhawatiran bahwa Indonesia akan meminta pertolongan pihak komunis Soviet bila tidak
mendapat dukungan AS.
Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan
ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap
MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MiG-21, 12 kapal
selam kelas Whiskey, puluhan korvet, dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi
nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom,
terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh
TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali
anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat
26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-
12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika
Serikat.[1]
Landasan Udara
Untuk mencapai keunggulan udara, persiapan-persiapan pertama yang dilakukan AURI adalah
memperbaiki pangkalan-pangkalan udara yang rusak akibat perang, yang akan dipergunakan
untuk operasi - operasi infiltrasi maupun menghadapi operasi terbuka di daratan Irian Barat.
Pangkalan Udara dan Landing Strip yang banyak terdapat di sepanjang perbatasan Maluku dan
Irian Barat, adalah peninggalan Jepang. Pangkalan Udara dan Landing Strip tersebut terakhir
dipergunakan pada tahun 1945, dan setelah itu sudah tidak dipakai lagi. Keadaan Pangkalan
Udara dan Landing Strip tersebut tidak terawat dan banyak yang rusak serta ditumbuhi ilalang
dan pohon-pohon. Kesiapan operasional pangkalan udara dan landing strip itu pada akhir tahun
1961 adalah sebagai berikut :
 PAU Morotai
 PAU Amahai
 PAU Letfuan
 PAU Kendari
 PAU Kupang
 PAU Gorontalo
 PAU Jailolo
 PAU Pattimura
 PAU Liang
 PAU Lahat
 PAU Namlea
 PAU Langgur
 PAU Dokabarat
 PAU Selaru
Diplomasi
Indonesia mendekati negara-negara seperti India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Thailand,
Britania Raya, Jerman, dan Perancis agar mereka tidak memberi dukungan kepada Belanda jika
pecah perang antara Indonesia dan Belanda. Dalam Sidang Umum PBB tahun 1961, Sekjen PBB
U Thant meminta Ellsworth Bunker, diplomat dari Amerika Serikat, untuk mengajukan usul
tentang penyelesaian masalah status Papua bagian barat. Bunker mengusulkan agar Belanda
menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu 2 tahun.
Ekonomi
Pada tanggal 27 Desember 1958, presiden Soekarno mengeluarkan UU nomor 86 tahun 1958
tentang nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang
dinasionalisasi seperti:
1. Perusahaan Perkebunan
2. Nederlandsche Handel-Maatschappij
3. Perusahaan Listrik
4. Perusahaan Perminyakan
5. Rumah Sakit (CBZ) manjadi RSCM
Dan kebijakan-kebijakan lain seperti:
1. Memindahkan pasar pelelangan tembakau Indonesia ke Bremen (Jerman Barat)
2. Aksi mogok buruh perusahaan Belanda di Indonesia
3. Melarang KLM (maskapai penerbangan Belanda) melintas di wilayah Indonesia
4. Melarang pemutaran film-film berbahasa Belanda
Konfrontasi Total
Sesuai dengan perkembangan situasi Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar
Komodor Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang isinya sebagai
berikut:
 Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan
mengembalikan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia.
 Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat sesuai dengan perjuangan di bidang
diplomasi dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat dapat
secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah
daerah Republik Indonesia.
Strategi yang disusun oleh Panglima Mandala guna melaksanakan instruksi tersebut.
 Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962),yaitu dengan memasukkan 10 kompi
di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat
sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah
dengan membawa serta rakyat Irian Barat.
 Tahap Eksploitasi (awal 1963),yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk
militer lawan dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
 Tahap Konsolidasi (awal 1964),yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan
kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi
Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah dari presiden
untuk menghentikan tembak-menembak.
Konflik Bersejata
Soekarno membentuk Komando Mandala, dengan Mayjen Soeharto sebagai Panglima
Komando. Tugas komando Mandala adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan
menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan
Indonesia. Belanda mengirimkan kapal induk Hr. Ms. Karel Doorman ke Papua bagian barat.
Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) menjadi tulang punggung pertahanan di perairan
Papua bagian barat, dan sampai tahun 1950, unsur-unsur pertahanan Papua Barat terdiri dari:
 Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda)
 Korps Mariniers
 Marine Luchtvaartdienst[2]
Keadaan ini berubah sejak tahun 1958, di mana kekuatan militer Belanda terus bertambah
dengan kesatuan dari Koninklijke Landmacht (Angkatan Darat Belanda) dan Marine
Luchtvaartdienst. Selain itu, batalyon infantri 6 Angkatan Darat merupakan bagian dari Resimen
Infantri Oranje Gelderland yang terdiri dari 3 batalyon yang ditempatkan di Sorong, Fakfak,
Merauke, Kaimana, dan Teminabuan.[2]
Operasi-operasi Indonesia
Sebuah operasi rahasia dijalankan untuk menyusupkan sukarelawan ke Papua bagian barat.
Walaupun Trikora telah dikeluarkan, namun misi itu dilaksanakan sendiri-sendiri dalam misi
tertentu dan bukan dalam operasi bangunan.
Hampir semua kekuatan yang dilibatkan dalam Operasi Trikora sama sekali belum siap, bahkan
semua kekuatan udara masih tetap di Pulau Jawa. Walaupun begitu, TNI Angkatan Darat lebih
dulu melakukan penyusupan sukarelawan, dengan meminta bantuan TNI Angkatan Laut untuk
mengangkut pasukannya menuju pantai Papua bagian barat, dan juga meminta bantuan TNI
Angkatan Udara untuk mengirim 2 pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan menuju target
yang ditentukan oleh TNI AL.
Misi itu sangat rahasia, sehingga hanya ada beberapa petinggi di markas besar TNI AU yang
mengetahui tentang misi ini. Walaupun misi ini sebenarnya tidaklah rumit, TNI AU hanya
bertugas untuk mengangkut pasukan dengan pesawat Hercules, hal lainnya tidak menjadi
tanggung jawab TNI AU.
Kepolisian Republik Indonesia juga menyiapkan pasukan Brigade Mobil yang tersusun dalam
beberapa resimen tim pertempuran (RTP). Beberapa RTP Brimob ini digelar di kepulauan
Ambon sebagai persiapan menyerbu ke Papua bagian barat. Sementara itu Resimen Pelopor
(unit parakomando Brimob) yang dipimpin Inspektur Tingkat I Anton Soedjarwo disiagakan di
Pulau Gorom. Satu tim Menpor kemudian berhasil menyusup ke Papua bagian barat melalui
laut dengan mendarat di Fakfak. Tim Menpor ini terus masuk jauh ke pedalaman Papua bagian
barat melakukan sabotase dan penghancuran objek-objek vital milik Belanda.
Pada tanggal 12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Pesawat Hercules
kembali ke pangkalan. Namun, pada tanggal 18 Januari 1962, pimpinan angkatan lain melapor
ke Soekarno bahwa karena tidak ada perlindungan dari TNI AU, sebuah operasi menjadi gagal. [3]
Pertempuran laut Aru

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pertempuran Laut Aru


Pertempuran Laut Aru pecah pada tanggal 15 Januari 1962, ketika 3 kapal milik Indonesia yaitu
KRI Macan Kumbang, KRI Macan Tutul yang membawa Komodor Yos Sudarso, dan KRI Harimau
yang dinaiki Kolonel Sudomo, Kolonel Mursyid, dan Kapten Tondomulyo, berpatroli pada posisi
4°49' LS dan 135°02' BT. Menjelang pukul 21:00 WIT, Kolonel Mursyid melihat tanda di radar
bahwa di depan lintasan 3 kapal itu, terdapat 2 kapal di sebelah kanan dan sebelah kiri. Tanda
itu tidak bergerak, di mana berarti kapal itu sedang berhenti. Ketika 3 KRI melanjutkan laju
mereka, tiba-tiba suara pesawat jenis Neptune yang sedang mendekat terdengar dan
menghujani KRI itu dengan bom dan peluru yang tergantung pada parasut. [3]
Kapal Belanda menembakan tembakan peringatan yang jatuh di dekat KRI Harimau. Kolonel
Sudomo memerintahkan untuk memberikan tembakan balasan, namun tidak mengenai
sasaran. Akhirnya, Yos Sudarso memerintahkan untuk mundur, namun kendali KRI Macan Tutul
macet, sehingga kapal itu terus membelok ke kanan.[3] Kapal Belanda mengira itu merupakan
manuver berputar untuk menyerang, sehingga kapal itu langsung menembaki KRI Macan Tutul.
Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang
terkenal, "Kobarkan semangat pertempuran".
Operasi penerjunan penerbang Indonesia
Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Mayjen Soeharto melakukan operasi infiltrasi udara
dengan menerjunkan penerbang menembus radar Belanda. Mereka diterjunkan di daerah
pedalaman Papua bagian barat. Penerjunan tersebut menggunakan pesawat angkut Indonesia,
namun operasi ini hanya mengandalkan faktor pendadakan, sehingga operasi ini dilakukan pada
malam hari. Penerjunan itu pada awalnya dilaksanakan dengan menggunakan pesawat angkut
ringan C-47 Dakota yang kapasitas 18 penerjun, namun karena keterbatasan kemampuannya,
penerjunan itu dapat dicegat oleh pesawat pemburu Neptune Belanda. [1]
Pada tanggal 19 Mei 1962, sekitar 81 penerjun payung terbang dari Bandar Udara Pattimura,
Ambon, dengan menaiki pesawat Hercules menuju daerah sekitar Kota Teminabuan untuk
melakukan penerjunan. Saat persiapan keberangkatan, komandan pasukan menyampaikan
bahwa mereka akan diterjunkan di sebuah perkebunan teh, selain itu juga disampaikan sandi-
sandi panggilan, kode pengenal teman, dan lokasi titik kumpul, lalu mengadakan pemeriksaan
kelengkapan perlengkapan anggotanya sebelum masuk ke pesawat Hercules. Pada pukul 03:30
WIT, pesawat Hercules yang dikemudikan Mayor Udara T.Z. Abidin terbang menuju daerah
Teminabuan.
Dalam waktu tidak lebih dari 1 menit, proses pendaratan 81 penerjun payung selesai dan
pesawat Hercules segera meninggalkan daerah Teminabuan. Keempat mesin Allison T56A-15 C-
130B Hercules terbang menanjak untuk mencapai ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh
pesawat Neptune milik Belanda.[1]
TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi
amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia.[4] Lebih dari 100 kapal perang dan
16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.
Akhir dari konflik
Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konfik ini,
Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini,
tercapailah persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Pemerintah Australia yang
awalnya mendukung kemerdekaan Papua, juga mengubah pendiriannya, dan mendukung
penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.[5][6]
Persetujuan New York
Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di
Markas Besar PBB di New York. Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan
Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Isi dari Persetujuan New
York adalah:
 Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA), yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB.
UNTEA kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada Indonesia.
 Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan.
 Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara Sekretaris
Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah.
 UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani keamanan. Tentara Belanda dan
Indonesia berada di bawah Sekjen PBB dalam masa peralihan.
 Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Papua
bagian barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui
1. musyawarah dengan perwakilan penduduk Papua bagian barat
2. penetapan tanggal penentuan pendapat
3. perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak
penduduk Papua untuk
 tetap bergabung dengan Indonesia; atau
 memisahkan diri dari Indonesia
4. hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta dalam
penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan standar internasional
 Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.
Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada
Indonesia. Ibukota Hollandia dinamai Kota Baru, dan pada 5 September 1963, Papua bagian
barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan
Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang oleh
banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1965. Untuk
meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan
pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pengeboman udara. Menurut Amnesty
International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri
juga memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan kekerasan.
Penentuan Pendapat Rakyat
Pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diatur oleh
Jenderal Sarwo Edhi Wibowo. Menurut anggota OPM Moses Werror, beberapa minggu
sebelum Pepera, angkatan bersenjata Indonesia menangkap para pemimpin rakyat Papua dan
mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan ancaman untuk memilih penggabungan
dengan Indonesia.[7][8]

Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua setelah 200
suara (dari 1054) untuk integrasi.[9] Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan Indonesia,
namun keputusan ini dicurigai oleh Organisasi Papua Merdeka dan berbagai pengamat
independen lainnya. Walaupun demikian, Amerika Serikat, yang tidak ingin Indonesia
bergabung dengan pihak komunis Uni Soviet, mendukung hasil ini, dan Papua bagian barat
menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama Irian Jaya.
Setelah penggabungan
Patung di Jakarta untuk merayakan "pembebasan" Papua barat.
Setelah Papua bagian barat digabungkan dengan Indonesia sebagai Irian Jaya, Indonesia
mengambil posisi sebagai berikut:
1. Papua bagian barat telah menjadi daerah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945
namun masih dipegang oleh Belanda
2. Belanda berjanji menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia dalam Konferensi
Meja Bundar
3. penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut kembali
daerah Indonesia yang dikuasai Belanda
4. penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua.
Hal ini diajarkan di sekolah dan ditulis dalam buku teks sejarah nasional. [1][2]
Setelah Jenderal Soeharto menjadi Presiden Indonesia, Freeport Sulphur adalah perusahaan
asing pertama yang diberi izin tambang dengan jangka waktu 30 tahun mulai dari tahun 1981
(walaupun tambang ini telah beroperasi sejak tahun 1972), dan kontrak ini diperpanjang pada
tahun 1991 sampai tahun 2041. Setelah pembukaan tambang Grasberg pada tahun 1988,
tambang ini menjadi tambang emas terbesar di dunia. Penduduk setempat dengan bantuan
Organisasi Papua Merdeka memprotes berbagai tindakan pencemaran lingkungan hidup dan
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Freeport dan pemerintah Indonesia dengan
berbagai cara, termasuk peledakan pipa gas dan penculikan beberapa pegawai Freeport dari
Eropa dan Indonesia pada tahun 1996. Dalam kejadian ini, 2 tawanan dibunuh dan sisanya
dibebaskan.
Pada tahun 1980-an, Indonesia memulai gerakan transmigrasi, di mana puluhan ribu orang dari
pulau Jawa dan Sumatera dipindahkan ke provinsi Irian Jaya dalam jangka waktu 10 tahun.
Penentang program ini mencurigai usaha Indonesia untuk mendominasi provinsi Irian Jaya
dengan cara memasukkan pengaruh pemerintah pusat.[10][11][12] Pada tahun 2000, presiden
Abdurrahman Wahid memberi otonomi khusus kepada provinsi Papua untuk meredam usaha
separatis. Provinsi ini kemudian dibagi dua menjadi provinsi: Papua dan Irian Jaya Barat
(sekarang Papua Barat) melalui instruksi Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001.
Tujuan Trikora – Pemerintah melakukan banyak upaya dengan tujuan mengembalikan Irian
Barat menjadi bagian dari Indonesia. Dalam Trikora banyak persiapan yang dilakukan
pemerintah, mulai dari persiapan militer, melakukan diplomasi, kebijakan ekonomi, dan
konfrontasi total.
Dari segi militer, persiapan Indonesia yaitu mencari bantuan senjata dari luar negeri menjelang
terjadinya konflik antara Indonesia dan Belanda.
Dari segi diplomasi, persiapan Indonesia yaitu mendekati berbagai negara seperti Australia,
India, Pakistan, Selandia Baru, Thailand, Jerman, Britania Raya, dan Perancis agar tidak
memberi dukungan kepada Belanda jika pecah perang antara Indonesia dan Belanda.
Dari segi ekonomi, pada tanggal 27 Desember 1958, presiden Soekarno mengeluarkan undang-
undang nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia.
Pengertian Trikora
Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk
menggabungkan wilayah Papua bagian barat.
Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun
Utara Yogyakarta.
Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai
panglima.
Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi
militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.
Isi Trikora
Trikora memuat 3 isi yaitu:
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan tanah air dan bangsa.
Disini menurut saya, sangat terlihat jelas bahwa tujuan trikora yaitu untuk mengembalikan Irian
Barat ke Indonesia. Dan isi trikora diatas juga mengandung tujuannya sekaligus.
Selain persiapan yang disebutkan diatas, konflik bersenjata juga terjadi. Ada 3 operasi yaitu:
 Operasi-operasi Indonesia
 Pertempuran laut Aru
 Operasi penerjunan penerbangan Indonesia
Akhir dari konflik Irian Barat ini selesai setelah Persetujuan New York antara Indonesia dan
Belanda dilakukan.
Kemudian pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diatur
oleh Jenderal Sarwo Edhi Wibowo.
Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua setelah 200
suara (dari 1054) untuk integrasi.
Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan Indonesia, namun keputusan ini dicurigai oleh
Organisasi Papua Merdeka dan berbagai pengamat independen lainnya.

Orde Lama (1959–1965)


Orde Lama dalam sejarah politik Indonesia merujuk kepada masa pemerintahan Soekarno
(1945-1965). Istilah ini tentu saja tidak digunakan pada saat itu, dan baru dicetuskan pada masa
pemerintahan Soeharto yang disebut juga dengan Orde Baru.
Sejarah Indonesia (1959-1966) adalah masa di mana sistem "Demokrasi Terpimpin"
sempat at berjalan di Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana
seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, kala itu Presiden
Soekarno. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden
Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Latar belakang
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :
1. Dari segi keamanan nasional: Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi liberal,
menyebabkan ketidakstabilan negara.
2. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi
liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat
dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
3. Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan
UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran
Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD
1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante.
Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota
konstituante . Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari
pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :
 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945
 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal ini
disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai
2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekret yang disebut Dekret
Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959 :
1. Tidak berlaku kembali UUDS 1950
2. Berlakunya kembali UUD 1945
3. Dibubarkannya konstituante
4. Pembentukan MPRS dan DPAS

Era 1950-1959 atau juga disebut Orde Lama adalah era di mana presiden Soekarno memerintah
menggunakan konstitusi UUDS Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung mulai dari 17
Agustus 1950 sampai 6 Juli 1950.
Pada masa orde lama, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan.
Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial, parlementer, demokrasi
liberal, dan sistem pemerintahan demokrasi terpimpin. Berikut penjelasan sistem
pemerintahan masa Ir. Soekarno:
Masa Pemerintahan Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi
parlementer. Dimana dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden memiliki fungsi ganda,
yaitu sebagai badan eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan legislatif.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno ini juga terjadi penyimpangan UUD 1945. Berikut
Penyimpangan UUD 1945 yang terjadi pada masa orde lama:
Fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berubah, dari pembantu presiden menjadi
badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan
wewenang MPRI.
Konstituante
Konstituante diberikan tugas untuk membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat
UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru.
Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil
pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang
Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini
dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante
hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil
memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi
baru sampai berlarut-larut. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret
Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi kembali berlakunya UUD 1945.
Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekret 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante.
Kabinet-kabinet
Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil.
Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini.
1950-1951 - Kabinet Natsir
Program kerja kabinet Natsir atau masa kerja:
1. Mempersiapkan dan menyelengarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan
Konstituante
2. Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan negara
3. Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketentraman
4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat
5. Menyempurnakan organisasi angkatan perang
6. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat
Akan tetapi, belum sampai program tersebut terlaksana, kabinet ini sudah jatuh pada 21 Maret
1951 dalam usia 6,5 bulan. Jatuhnya kabinet ini karena kebijakan Natsir dalam rangka
pembentukan DPRD dinilai oleh golongan oposisi terlalu banyak menguntungkan Masyumi.
1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo
Program kerja kabinet Sukiman :
1. Menjalankan berbagai tindakan tegas sebagai negara hukum untuk menjamin
keamanan dan ketentraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan
negara
2. Membuat dan melakukan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk
mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat dan mempercepat usaha penempatan
bekas pejuang dalam pembangunan
3. Menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante dan
menyelengarakan pemilu itu dalam waktu singkat serta mempercepat terlaksananya
otonomi daerah
4. Menyiapkan undang-undang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,
penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh
5. Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
6. Memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952. Penyebab
jatuhnya kabinet ini adalah karena diserang oleh kelompok sendiri akibat kebijakan politik luar
negeri yang dinilai terlalu condong ke Barat atau pro-Amerika Serikat. Pada saat itu, kabinet
Sukiman telah menendatangani persetujuan bantuan ekonomi, teknologi, dan persenjataan
dengan Amerika Serikat. Dan persetujuan ini ditafsirkan sebagai masuknya Indonesia ke Blok
Barat sehingga bertentangan dengan program kabinet tentang politik luar negeri bebas aktif.
1952-1953 - Kabinet Wilopo
Program kerja kabinet Wilopo :
1. Mempersiapkan pemilihan umum
2. Berusaha mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan RI
3. Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
4. Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
5. Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif
Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan dalam mengatasi timbulnya gerakan-gerakan
kedaerahan dan benih-benih perpecahan yang akan menggangu stabilitas politik Indonesia.
Ketika kabinet Wilopo berusaha menyelesaikan sengketa tanah perusahaan asing di Sumatera
Utara, kebijakan itu ditentang oleh wakil-wakil partai oposisi di DPR sehingga menyebabkan
kabinetnya jatuh pada 2 Juni 1953 dalam usia 14 bulan.
1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I
Program kerja Kabinet Ali-Wongsonegoro :
1. Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah
2. Melaksanakan pemilihan umum
3. Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
4. Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat, antara lain
munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh, dan Kahar Muzakar di
Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan, kabinet Ali-Wongsonegoro berhasil
menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu, kabinet Ali-Wongsonegoro ikut
terangkat namanya. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh pada bulan Juli 1955 dalam usia
2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-Wongsonegoro adalah perselisihan
pendapat anatara TNI-AD dan pemerintah tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf TNI-AD
1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap
Program kerja Kabinet Burhanuddin :
1. Mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan
Darat dan masyarakat
2. Akan dilaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan
pemberantasan korupsi
3. Perjuangan mengembalikan Irian Barat
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, dilaksanakan pemilihan umum pertama di Indonesia.
Kabinet ini menyerahkan mandatnya setelah DPR hasil pemilihan umum terbentuk pada bulan
Maret 1956.
1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Program kerja Kabinet Ali II :
1. Menyelesaikan pembatasan hasil KMB
2. Menyelesaikan masalah Irian Barat
3. Pembentukan provinsi Irian Barat
4. Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
Kabinet Ali II ini pun tidak berumur lebih dari satu tahun dan akhirnya digantikan oleh kabinet
Juanda.
1957-1959 - Kabinet Djuanda
Program kerja Kabinet Karya disebut Pancakarya yang meliputi :
1. Membentuk Dewan Nasional
2. Normalisasi keadaan RI
3. Melanjutkan pembatalan KMB
4. Memperjuangkan Irian Barat kembali ke RI
5. Mempercepat pembangunan
Dekret Presiden 5 Juli 1959
Dekret Presiden 5 Juli 1959 ialah dekret yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan
kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.

Pengertian Zaken Kabinet


Pengertian Zaken Kabinet adalah suatu kabinet yang jajarannya diisi oleh para tokoh ahli di
dalam bidangnya dan bukan merupakan representatif dari partai politik tertentu.
Fungsi dan Tujuan Zaken Kabinet
Zaken Kabinet memilki fungsi dan tujuan diantaranya untuk :
 Fungsi dari Zaken Kabinet adalah untuk menghindari malfungsi kabinet.
 Tujuanya juga guna menghindari dari terjadinya korupsi para pejabat.
 Selain itu adalah untuk memaksimalkan kinerja dari jajaran menteri.
Contoh Zaken Kabinet
Setelah mempelajari pengertian, fungsi dan tujuan dari Zaken Kabinet, berikut adalah contoh
dari Zaken Kabinet :
Kabinet Natsir
Kabinet Natsir merupakan Zaken Kabinet yang didirikan pada 6 September 1950 sampai dengan
21 Maret 1951.
Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo merupakan Zaken Kabinet yang didirikan pada 3 April 1952 sampai dengan 3
Juni 1953.
Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda merupakan Zaken Kabinet yang didirikan tanggal 9 April 1957 sampai dengan 5
Juli 1959.

GAPI
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) adalah suatu organisasi payung dari partai-partai dan
organisasi-organisasi politik. GAPI berdiri pada tanggal 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian
organisasi nasional di Jakarta.
Walaupun tergabung dalam GAPI, masing-masing partai tetap mempunyai kemerdekaan penuh
terhadap program kerjanya masing-masing dan bila timbul perselisihan antara partai-partai,
GAPI bertindak sebagai penengah.
Organisasi
Untuk pertama sekali pimpinan dipegang oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amir
Syarifuddin, Abikoesno Tjokrosoejoso.
Di dalam anggaran dasar di terangkan bahwa GAPI berdasar kepada:
1. Hak untuk menentukan diri sendiri
2. Persatuan nasional dari seluruh, bangsa Indonesia dengan berdasarkan kerakyatan
dalam paham politik, ekonomi dan sosial.
3. Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia
Sejarah
Di dalam konfrensi pertama GAPI tanggal 4 Juli 1939 telah dibicarakan aksi GAPI dengan
semboyan "Indonesia berparlemen".
September 1939 GAPI mengeluarkan suatu pernyataan yang kemudian dikenal dengan nama
Manifest GAPI. Isinya mengajak rakyat Indonesia dan rakyat negeri Belanda untuk bekerjasama
menghadapi bahaya fasisme dimana kerjasama akan lebih berhasil apabila rakyat Indonesia
diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan. Yaitu suatu pemerintahan dengan
parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat, dimana pemerintahan tersebut bertanggungjawab
kepada parlemen tersebut.
Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, GAPI menyerukan agar perjuangan GAPI disokong
oleh semua lapisan rakyat Indonesia.
Seruan itu disambut hangat oleh pers Indonesia dengan memberitakan secara panjang lebar
mengenai GAPI bahkan sikap beberapa negara di Asia dalam menghadapi bahaya fasisme juga
diuraikan secara khusus.
GAPI sendiri juga mengadakan rapat-rapat umum yang mencapai puncaknya pada tanggal 12
Desember 1939 dimana tidak kurang dari 100 tempat di Indonesia mengadakan rapat
memprogandakan tujuan GAPI.
Selanjutnya GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Kongres Rakyat Indonesia
diresmikan sewaktu diadakannya pada tanggal 25 Desember 1939 di Jakarta. Tujuannya adalah
"Indonesia Raya" bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempatan cita-citanya.
Dalam kongres ini berdengunglah suara dan tututan "Indonesia berparlemen".
Keputusan yang lain yang penting diantaranya, penerapan Bendera Merah Putih dan Lagu
Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia dan peningkatan pemakaian
bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia.
Walaupun berbagai upaya telah diadakan oleh GAPI namun tidak membawa hasil yang banyak.
Karena situasi politik makin gawat akibat Perang Dunia II, pemerintah kolonial Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan inheemse militie dan memperketat izin mengadakan rapat.

Kumpulan Perjanjian
Kemerdekaan Indonesia berhasil dipertahankan dengan penuh perjuangan. Kemerdekaan
bukanlah hadiah dari penjajah, melainkan hasil perjuangan yang gigih dan karunia dari Tuhan
Yang Maha Kuasa. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, namun belanda ingin kembali menguasai Indonesia, sehingga ketegangan antara
Indonesia dengan Belanda yang semakin panas mendorong Inggris merasa bertanggung jawab
mencari jalan keluar dari komflik tersebut dengan jalan mengadakan perundingan. Adapun
perundingan tersebut yang dilakukan antara lain
1. Perundingan Linggarjati
Perlawanan rakyat Indonesia terhadap Belanda dalam mempertahankan kemerdekaannya, dari
hari ke hari semakin sulit untuk diselesaikan, sehingga pemerintah Inggris berusaha menjadi
perantara antara Indonesia dengan Belanda untuk menyelesaikan komflik mereka dengan cara
damai melalui perundingan. Pada bulan Oktober 1945, perundingan pertama diadakan akan
tapi perundingan tersebut mengalami kegagalan sebab kedua belah pihak masih berpegang
teguh pada pendiriannya.

Kemudian dilanjutkan lagi perundingan yang ditempatkan di Kota Hooge Valuwe negeri
Belanda, yang menghasilkan keputusan berupa Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara
de facto meliputi wilayah Jawa dan Madura, sedangkan pemerintah Indonesia menolak kalau
wilayah Indonesia masih di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda. Untuk menyelesaikan
pertikaian antara Indonesia dan Belanda tersebut, pada tanggal 10 November 1946 diadakan
Perundingan Linggarjati.
Perundingan di Linggarjati dihadiri oleh beberapa tokoh juru runding, antara lain sebagai
berikut:
1. Inggris, sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killeam.
2. Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir (Ketua), Mohammad Roem (anggota), Mr. Susanto
Tirto-projo, S.H. (anggota), Dr. A.K Gani (anggota).
3. Belanda, diwakili Prof. Schermerhorn (ketua), De Boer (anggota), dan Van Pool
(anggota).
Hasil Perundingan Linggarjati
Perundingan di Linggarjati tersebut menghasilkan keputusan yang disebut perjanjian
Linggarjati.
Isi Perjanjian Linggarjati.
1. Belanda mengaku secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de
facto paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.
2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Serikat
dengan nama RIS. Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI, Kalimantan dan Timur
Besar. Pembentukan RIS akan diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1949.
3. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda sebagai ketua.
Perjanjian Linggarjati ditandatangangi oleh Belanda dan Indonesia pada tanggal 25 Maret 1947
dalam satu upacara kenegaraan di Istana Negara Jakarta. Perjanjian Linggarjati bagi Indonesia
ada segi positif dan negatifnya.
Segi positifnya ialah adanya pengakuan de facto atas RI yang meliputi Jawa, Madura, dan
Sumatera. Sedangkan segi negatifnya ialah bahwa wilayah RI dari Sabang sampai Marauke,
yang seluas Hindia Belanda dulu tidak tercapai.
2. Perundingan Renville
Dengan jatuhnya Kabinet Syahrir III, Presiden Seokarno menunjuk tiga formatur kabinet, Mr.
Amir Syarifuddin, Dr. Soekiman, dan A.K. Gani untuk membentuk Kabinet Koalisi. Akhirnya
Presiden Soekarno mengangkat Mr. Amir Syarifuddin, namun hanya berumur sekitar 7 bulan.
Pada saat itu , pengolakan antar partai tidak dapat dihindarkan. Akibatnya adalah
terjadi permusuhan antarpartai. Kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk
melanggar
hasil perundingan Linggarjati dengan melancarkan Agresi Militer Belanda I. Hasil dari
penyerangan Belanda tersebut adalah menduduki beberapa wilayah yang mereka sebut dengan
"daerah garis van Mook". Setelah itu, Belanda menyatakan kesediannya kembali untuk
berunding dengan Kabinet Amir Syarifuddin, sedangkan pihak Belanda diwakili oleh Abdulkadir
Wijoyoatmojo. Perundingan tersebut dilakukan di atas Kapal Amerika Serikat yang bernama
Renville. Oleh sebab itu, perjanjian ini dikenal dengan nama Perundingan Renville.
Dengan adanya agresi militer ke II dari Belanda, maka dewan keamanan PBB mengirimkan
komisi jasa baik yang terdiri atas Australia, Belgia, dan Amerika Serikat sebagai perantara
perundingan.
Tempat Perundingan
Perundingan dilakukan disebuah kapal milik Amerika serikat, yang bernama USS Renvilla. Dan
delegasi Indonesia diketuai Perdaana Menteri Amir Syarifuddin dan belanda menempatkan
seorang Indonesia bernama R.Abdul Kadir Wijoyowatmojo sebagai ketuanya.
Hasil Perundingan Renville
1. Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS, RI sejajar kedudukannya dengan
Belanda
2. RI menjadi bagian dari RIS, dan akan diadakan pemilu untuk membentuk konstituante
RIS
3. Selain itu, tentara Indonesia di daerah Belanda (daerah kantong) harus dipindahkan ke
wilayah RI
4. Penghentian tembak menembak
5. Daerah-daerah di belakang garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI
Perundingan Roem Royen
Atas prakarsa komisi PBB untuk Indonesia atau UNCI / United Nations Comissions For
Indonesia. Indonesia-Belanda berhasil dibawah kemeja perundingan yang disebut perundingan
Roem Royen. Pada tanggal 17 April 1949 dimulailah perundingan pendahuluan di Jakarta.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr.Mohammad Roem, sedangkan dari belanda dipimpin oleh
Dr.Van Royen. Jadi nama perundingan tersebut diambil dari nama masing-masing perwakilan.
Pertemuan tersebut dipimpin oleh Marie Cohran dari UNCI berasal dari Amerika Serikat. Dalam
perundingan tersebut, masing-masing delegasi mengeluarkan pernyataan sendiri-sendiri.
Adapun pernyataan-pernyataan dari masing-masing delegasi sebagai berikut :
* Pernyataan delegasi Indonesia
1. Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogjakarta
2. Kesedian mengadakan penghentian tembak menembak
3. Kesediaan mengikuti komfrensi Meja Bundar setelah pengembalian pemerintah RI ke
Yogjakarta
4. Bersedia bekerja sama dm memulihkan perdamaian dan tertib hukum
* Pernyataan delegasi Belanda
1. Menghentikan gerakan militer dan membebaskan tahanan politik
2. Menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogjakarta
3. Menyetujui RI sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat
4. Berusaha menyelenggarakan konfrensi Meja Bundar.
Pada tanggal 6 Juli 1949, Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogjakarta, pengembalian
Yogjakarta ke tangan RI, diikuti dengan penarikan mundur tentara Belanda dari Yogjakarta.

Sejarah dan Latar Belakang Konferensi Meja


Bundar

Konferensi Meja Bundar atau Perjanjian KMB merupakan merupakan sebuah pertemuan
(konferensi) yang bertempat di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus sampai 2 November 1949
antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg),
yang mewakili beberapa negara yang diciptakan oleh Belanda di kepulauan Indonesia.
Sebelum konferensi ini berlangsung, sebenarnya Indonesia dan Belanda telah melakukan tiga
perjanjian besar, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian
Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan setujunya Belanda untuk menyerahkan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Latar Belakang Terjadinya Konferensi Meja Bundar
Usaha untuk menggagalkan kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan
kegagalan. Dunia international mengutuk perbuatan Belanda tersebut. Belanda dan Indonesia
lalu mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi,
lewat perjanjian Linggarjati dan perjanjian Renville.
Pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan (PBB) Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan
resolusi yang mengecam serangan militer yang dilakukan Belanda terhadap tentara Republik di
Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintahan Republik Indonesia. Lalu diaturlah
kelanjutan perundingan untuk menemukan solusi damai antara dua belah pihak.
Pada tanggal 11 Agustus 1949, dibentuk perwakilan Republik Indonesia untuk menghadapi
Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Tujuan Diadakannya Konferensi Meja Bundar

1. Perjanjian ini dilakukan untuk mengakhiri perselisihan antara Indonesia dan Belanda
dengan cara melaksanakan perjanjian-perjanjian yang sudah dibuat antara Republik
Indonesia dengan Belanda. Khususnya mengenai pembentukan Negara Indonesia
Serikat.
2. Dengan tercapainya kesepakatan Meja Bundar, maka Indonesia telah diakui sebagai
negara yang berdaulat penuh oleh Belanda, walaupun tanpa Irian Barat.
Perwakilan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar
Pada Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Denhaag Pada tanggal 23 Agustus 1949
sampai 2 November 1949, Indonesia diwakili oleh:
1. Drs. Hatta (ketua)
2. Nir. Moh. Roem
3. Prof Dr. Mr. Supomo
4. Dr. J. Leitnena
5. Mr. Ali Sastroamicijojo
6. Ir. Djuanda
7. Dr. Sukiman
8. Mr. Suyono Hadinoto
9. Dr. Sumitro Djojohadikusumo
10. Mr. Abdul Karim Pringgodigdo
11. Kolonel T.B. Simatupang
12. Mr. Muwardi
Perwakilan BFO ini dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. Perwakilan Belanda dipimpin
oleh Mr. van Maarseveen dan UNCI diwakili Chritchley.
Isi dari Konferensi Meja Bundar
1. Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai sebuah negara
yang merdeka.
2. Status Provinsi Irian Barat diselesaikan paling lama dalam waktu setahun, sesudah
pengakuan kedaulatan.
3. Dibentuknya Uni Indonesia-Belanda untuk bekerja sama dengan status sukarela dan
sederajat.
4. Republik Indonesia Serikat akan mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan
hak-hak konsesi serta izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda.
5. Republik indonesia Serikat harus membayar semua utang Belanda yang dari tahun 1942.
Sementara itu, pada tanggal 29 Oktober 1949 dilakukan pengesahan dan tanda tangan bersama
piagam persetujuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat antara Republik Indonesia dan BFO.
Di samping itu, hasil keputusan Konferensi Meja Bundar disampaikan kepada Komite Nasional
indonesia Pusat (KNIP). Selanjutnya, KNIP melakukan sidang dari tanggal 6-14 Desember 1949
untuk membahas hasil dari KMB.
Pembahasan hasil keputusan KMB oleh KNIP dilakukan dengan cara pemungutan suara dari
para peserta, hasil akhir yang dicapainya adalah 226 suara setuju, 62 suara menolak, dan 31
suara meninggalkan ruang sidang.
Dengan demikian, KNIP resmi menerima hasil KMB. Lalu pada tanggal 15 Desember 1949
diadakan pemilihan Presiden Republik Indonesia Serikat(RIS) dengan caIon tunggal Ir. Soekarno
yang akhirnya terpilih sebagai presiden.
Kemudian Ir. Soekarno dilantik dan diambil sumpahnya pada tanggal 17 Desember 1949.
Kabinet RIS di bawah pimpinan Drs. Moh. Hatta.
Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai perdana menteri oleh Presiden Soekarno pada tanggal 20
Desember 1949. Setelahnya pada tanggal 23 Desember 1949 perwakilan RIS berangkat ke
negeri Belanda untuk menandatangani akta penyerahan kedaulatan.
Pada tanggal 27 Desember 1949, pada kedua negara, Indonesia dan negeri Belanda
dilaksanakan upacara penandatanganan akta penyerahan kedaulatan.
Dampak dari Konferensi Meja Bundar
Penyerahan kedaulatan Indonesia yang dilakukan di negeri Belanda bertempat di ruangan
takhta Amsterdam.
Ratu Juliana, Menteri Seberang Lautan A.M.J.A. Sasseu, Perdana Menteri Dr. Willem Drees dan
Drs. Moh. Hatta adalah tokoh yang terlibat dalam melakukan penandatanganan akta
penyerahan kedaulatan.
Pada saat yang bersamaan di Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Tinggi
Mahkota Belanda, A.H.S. Lovink menandatangani naskah penyerahan kedaualatan dalam suatu
upacara di Istana Merdeka.
Penyerahan kedaulatan itu berarti Belanda telah mengakui berdirinya Republik Indonesia
Serikat dan mengakui kekuasaan Indonesia di seluruh bekas wilayah jajahan Hindia – Belanda
secara formal kecuali Irian Barat. Irian barat diserahkan oleh Belanda setahun kemudian.
Sebulan kemudian, tepatnya pada tanggal 29 Januari 1950, Jenderal Besar Sudirman yang telah
banyak berjuang terutama pada perang gerilya ketika agresi militer Belanda akhirnya wafat
pada usia 34 tahun. Beliau merupakan panutan bagi para anggota TNI.

Volksraad
Pembukaan Volksraad oleh gubernur-jendral Van Limburg Stirum tanggal 18 Mei 1918
Anggota Volksraad pada tahun 1918 : D. Birnie (ditunjuk), Kan Hok Hoei (ditunjuk), R. Sastro
Widjono (dipilih) dan Mas Ngabehi Dwidjo Sewojo (ditunjuk)
Gedung Volksraad pada tahun 1925
Volksraad yang diambil dari bahasa Belanda dan secara harafiah berarti "Dewan Rakyat",
adalah semacam dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda. Dewan ini dibentuk pada tanggal 16
Desember 1916 oleh pemerintahan Hindia Belanda yang diprakarsai oleh Gubernur-Jendral J.P.
van Limburg Stirum bersama dengan Menteri Urusan Koloni Belanda; Thomas Bastiaan Pleyte.
Pada awal berdirinya, Dewan ini memiliki 38 anggota, 15 di antaranya adalah orang pribumi.
Anggota lainnya adalah orang Belanda (Eropa) dan orang timur asing: Tionghoa, Arab dan India.
Pada akhir tahun 1920-an mayoritas anggotanya adalah kaum pribumi.
Awalnya, lembaga ini hanya memiliki kewenangan sebagai penasehat. Baru pada tahun 1927,
Volksraad memiliki kewenangan ko-legislatif bersama Gubernur-Jendral yang ditunjuk oleh
Belanda. Karena Gubernur-Jendral memiliki hak veto, kewenangan Volksraad sangat terbatas.
Selain itu, mekanisme keanggotaan Volksraad dipilih melalui pemilihan tidak langsung. Pada
tahun 1939, hanya 2.000 orang memiliki hak pilih. Dari 2.000 orang ini, sebagian besar adalah
orang Belanda dan orang Eropa lainnya.
Selama periode 1927-1941, Volksraad hanya pernah membuat enam undang-undang, dan dari
jumlah ini, hanya tiga yang diterima oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Sebuah petisi Volksraad yang ternama adalah Petisi Soetardjo. Soetardjo adalah anggota
Volksraad yang mengusulkan kemerdekaan Indonesia.
Dominasi kolonial pada masa itu hampir mencakup semua aspek, sampai pada forum-forum
resmi harus menggunakan Bahasa Belanda, padahal sejak Kongres Pemuda II (1928) bahasa
Indonesia disepakati sebagai bahasa persatuan yang menjadi salah satu alat perjuangan
kalangan pro-kemerdekaan. Untuk itulah Mohammad Hoesni Thamrin mengecam pedas
tindakan-tindakan yang dianggap mengecilkan arti bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa
Indonesia dalam sidang-sidang Volksraad diperbolehkan sejak Juli 1938.
Jahja Datoek Kajo
Perkecualian berbahasa Indonesia diperoleh Jahja Datoek Kajo, yang menjadi anggota
Volksraad pada tahun 1927. Sejak 16 Juni 1927, dalam semua pidato-pidatonya di Volksraad,
Jahja selalu menggunakan bahasa Indonesia. Jahja meminta kepada para hadirin yang mau
menyela pembicaraannya agar menggunakan bahasa Indonesia. Dia berterus terang bahwa di
dalam sidang majelis Volksraad lebih suka dengan bahasa Indonesia karena merasa seorang
Indonesier. Pidatonya yang berapi-api dengan bahasa Indonesia di Volksraad membuat wakil-
wakil Belanda marah. Atas keberaniannya itu, koran-koran pribumi memberinya gelar "Jago
Bahasa Indonesia di Volksraad".[1]
Tokoh
Tokoh-tokoh yang dikenal aktif di Volksraad antara lain
 H.O.S. Cokroaminoto
 H. Agus Salim
 Chester Sim-Zecha
 Hok Hoei Kan
 Khouw Kim An, Majoor der Chinezen
 Abdoel Moeis
 Soetardjo Kartohadikoesoemo
 Loa Sek Hie
 Han Tiauw Tjong
 Mohammad Hoesni Thamrin
 Wiranatakoesoema V
 Otto Iskandardinata
 Jahja Datoek Kajo
 Dr. Radjiman Wedyodiningrat
 R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN adalah pertemuan puncak antara pemimpin-pemimpin
negara anggota ASEAN dalam hubungannya terhadap pengembangan ekonomi dan budaya
antar negara-negara Asia Tenggara.[2]
Sejak dibentuknya ASEAN telah berlangsung 14 kali KTT resmi, 4 KTT tidak resmi, dan 1 KTT Luar
Biasa.
Lokasi Pertemuan
KTT ASEAN diselenggarakan oleh 10 negara Asia Tenggara setiap tahunnya.
KTT Asean di Hanoi, Vietnam pada 28-30 Oktober 2010

Pertemuan Tahunan Anggota ASEAN.

Tanggal Negara Tuan rumah

1 23‒24 Februari 1976 Indonesia Bali

2 4‒5 Agustus 1977 Malaysia Kuala Lumpur

3 14‒15 Desember 1987 Filipina Manila

4 27‒29 Januari 1992 Singapura Singapura

5 14‒15 Desember 1995 Thailand Bangkok

6 15‒16 Desember 1998 Vietnam Hanoi

7 5‒6 November 2001 Brunei Bandar Seri Begawan

8 4‒5 November 2002 Kamboja Phnom Penh

9 7‒8 Oktober 2003 Indonesia Bali

10 29‒30 November 2004 Laos Vientiane

11 12‒14 Desember 2005 Malaysia Kuala Lumpur

12 11‒14 Januari 20071,2 Filipina Cebu

13 18‒22 November 2007 Singapura Singapura

14 27 Februari-1 Maret 2009[3]3 Thailand Cha Am, Hua Hin

15 23 Oktober 2009 Thailand Cha Am, Hua Hin

16 8-9 April 2010 Vietnam Hanoi

17 28-30 Oktober 2010 Vietnam Hanoi

18 4-8 Mei 2011 Indonesia Jakarta


19 17-19 November 2011 Indonesia Bali

20 3-4 April 2012 Kamboja Phnom Penh

21 17-20 November 2012 Kamboja Phnom Penh

22 24-25 April 2013 Brunei Bandar Seri Begawan

23 9-10 Oktober 2013 Brunei Bandar Seri Begawan

24 10–11 Mei 2014 Myanmar Naypyidaw

25 12–13 November 2014 Myanmar Naypyidaw

26 26–27 April 2015 Malaysia Kuala Lumpur/Langkawi

27 18–22 November 2015 Malaysia Kuala Lumpur


1
Ditunda dari tanggal sebelumnya 10‒14 Desember 2006 akibat Badai Seniang
2
Menjadi tuan rumah setelah Myanmar mundur karena ditekan AS dan UE
3
Ditunda dari tanggal sebelumnya 12‒17 Desember 2008 akibat krisis politik Thailand 2008.
Pertemuan pada Maret kemudian dibatalkan akibat aksi unjuk rasa di lokasi pertemuan.

Konferensi Tingkat Tinggi Tak Resmi ASEAN

Tanggal Negara Tuan rumah

1 30 November 1996 Indonesia Jakarta

2 14‒16 Desember 1997 Malaysia Kuala Lumpur

3 27‒28 November 1999 Filipina Manila

4 22‒25 November 2000 Singapura Singapura

Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa ASEAN

Tanggal Negara Tuan rumah

1 6 Januari 2005 Indonesia Jakarta


Hasil dari KTT Resmi ASEAN
KTT ke-1
 Deklarasi Kerukunan ASEAN; Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara
(TAC); serta Persetujuan Pembentukan Sekretariat ASEAN.
KTT ke-2
 Pencetusan Bali Concord 1.
KTT ke-3
 Mengesahkan kembali prinsip-prinsip dasar ASEAN.
 Solidaritas kerjasama ASEAN dalam segala bidang.
 Melibatkan masyarakat di negara-negara anggota ASEAN dengan memperbesar peranan
swasta dalam kerjasama ASEAN.
 Usaha bersama dalam menjaga keamanan stabilitas dan pertumbuhan kawasan ASEAN.
KTT ke-4
 ASEAN dibentuk Dewan ASEAN Free Trade Area (AFTA) untuk mengawasi, melaksanakan
koordinasi.
 Memberikan penilaian terhadap pelaksanaan Skema Tarif Preferensi Efektif Bersama
(Common Effective Preferential Tariff/CEPT) menuju Kawasan Perdagangan Bebas
ASEAN.
KTT ke-5
 Membicarakan upaya memasukan Kamboja, Laos, Vietnam menjadi anggota serta
memperkuat identitas ASEAN.
KTT ke-6
 Pemimpin ASEAN menetapkan Statement of Bold Measures yang juga berisikan
komitmen mereka terhadap AFTA dan kesepakatan untuk mempercepat pemberlakuan
AFTA dari tahun 2003 menjadi tahun 2002 bagi enam negara penandatangan skema
CEPT, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand.
KTT ke-7
 Mengeluarkan deklarasi HIV/AIDS.
 Mengeluarkan deklarasi Terorisme, karena menyangkut serangan terorisme pada
gedung WTC di Amerika.
KTT ke-8
 Pengeluaran deklarasi Terorisme, bagaimana cara-cara pencegahan.
 Pengesahan ASEAN Tourism Agreement.
KTT ke-9
 Pencetusan Bali Concord II yang akan dideklarasikan itu berisi tiga konsep komunitas
ASEAN yang terdiri dari tiga pilar, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN (ASC), Komunitas
Ekonomi ASEAN (AEC) dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASSC).
KTT ke-10
 Program Aksi Vientiane (Vientiane Action Program) yang diluluskan dalam konferensi
tersebut menekankan perlunya mempersempit kesenjangan perkembangan antara 10
negara anggota ASEAN, memperluas hubungan kerja sama dengan para mitra untuk
membangun sebuah masyarakat ASEAN yang terbuka terhadap dunia luar dan penuh
vitalitas pada tahun 2020.
KTT ke-11
 Perjanjian perdagangan jasa demi kerja sama ekonomi yang komprehensif dengan Korea
Selatan, memorandum of understanding (MoU) pendirian ASEAN-Korea Center, dan
dokumen hasil KTT Asia Timur yang diberi label Deklarasi Singapura atas Perubahan
Iklim, Energi, dan Lingkungan Hidup.
KTT ke-12
 Membahas masalah-masalah mengenai keamanan kawasan, perundingan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO), keamanan energi Asia Tenggara, pencegahan dan
pengendalian penyakit AIDS serta masalah nuklir Semenanjung Korea.
KTT ke-13
 Penandatanganan beberapa kesepakatan, antara lain seperti perjanjian perdagangan
dalam kerangka kerjasama ekonomi dan penandatangan kerjasama ASEAN dengan
Korea Center, menyepakati ASEAN Center.
KTT ke-14
 Penandatanganan persetujuan pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-
Australia-Selandia Baru
Hasil dari KTT Tidak Resmi ASEAN
KTT Tidak Resmi ke-1
 Kesepakatan untuk menerima Kamboja, Laos, dan Myanmar sebagai anggota penuh
ASEAN secara bersamaan.
KTT Tidak Resmi ke-2
 Sepakat untuk mencanangkan Visi ASEAN 2020 yang mencakup seluruh aspek yang ingin
dicapai bangsa-bangsa Asia Tengara dalam memasuki abad 21, baik di bidang politik,
ekonomi maupun sosial budaya.
KTT Tidak Resmi ke-3
 Kesepakatan untuk mengembangkan kerja sama di bidang pembangunan ekonomi,
sosial, politik dan keamanan serta melanjutkan reformasi struktural guna meningkatkan
kerja sama untuk pertumbuhan ekonomi di kawasan.
KTT Tidak Resmi ke-4
 Sepakat untuk pembangunan proyek jalur kereta api yang menghubungkan Singapura
hingga Cina bahkan Eropa guna meningkatkan arus wisatawan.
KTT Luar Biasa (Jakarta 6 Januari 2005)
 Pembahasan bagaimana penanggulangan dan solusi menghadapi Gempa atau Tsunami.

ORDE BARU
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde
Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[1] Orde Baru berlangsung
dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang
pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.
Latar belakang
Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang
relatif tidak stabil.[2] Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya
persaingan di antara kelompok-kelompok politik.[2] Keputusan Soekarno untuk mengganti
sistem parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan memperuncing
persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu berniat
mempersenjatai diri.[2] Sebelum sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30 September terjadi
dan mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari Indonesia.[2] Sejak saat itu,
kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.[3]
Supersemar dan kebangkitan Soeharto
Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun
1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya.[1] Orde Baru bertujuan meletakkan kembali
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang
berlangsung.[4] Di tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat
pasukan yang tidak dikenal.[1] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden
Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr.
Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr
Subandrio, dan Waperdam III Chaerul Saleh.[4] Leimena sendiri menyusul presiden segera
setelah sidang berakhir.[4]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden.[4] Segera
setelah mendapat izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan
tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa ABRI,
khususnya AD, dalam kondisi siap siaga.[4] Namun, mereka juga memohon agar Presiden
Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.[4]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.[4] Perumusan surat perintah ini sendiri
dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal
M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan
Pengawal Presiden Cakrabirawa.[4] Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat
Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.[4]
Pemberangusan Partai Komunis Indonesia
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan
yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang
bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah
Indonesia.[4] Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI
ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.[5] Keputusan pembubaran Partai
Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena
merupakan salah satu realisasi dari Tritura.[5]
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut
dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan
Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[5] Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang
disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-
orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.[5] Keanggotaan Partai Komunis Indonesia
dalam MPRS dinyatakan gugur.[5] Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai dengan
UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya.[6] Di DPRGR sendiri, secara total ada 62
orang anggota yang diberhentikan.[5] Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR
dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai
menteri.[5]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil
sebagai berikut:
 Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan
Supersemar.[7]
 Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara
Tingkat Pusat dan Daerah.[7]
 Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas
Aktif.[7]
 Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.[7]
 Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang
Bertentangan dengan UUD 1945.[7]
 Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan
Perundang-undangan di Indonesia.[7]
 Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia
dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi
Terlarang di Indonesia.[7]
Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai
berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai Komunis
Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.[7]
Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga dibantai
khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa.[8] Pembantaian ini tidak hanya
dilakukan oleh angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai.[8] Selain
kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan
dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia.[8]
Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku.[9] Pada tanggal 30
September setiap tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai
Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji.[2]
Pembentukan Kabinet Ampera
Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan MPRS
No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera.[10] Tugas
utama Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau
dikenal dengan nama Dwidarma Kabinet Ampera.[10] Program kerja yang dicanangkan Kabinet
Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[10]
1. memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan
MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai
dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk
dan manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.[10] Akibatnya, muncul dualisme
kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.[10]
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan
dilemahkan.[3] Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat,
keberatan dengan kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis
Indonesia.[3] Mengalirnya bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin menambah
kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak menjadi negara komunis.[3]
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak kala
itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto.[10] Penyerahan ini
tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20
Februari 1967.[10] Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang
menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi
sebagai pemegang jabatan presiden.[10] Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan
keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan
kekuasaan.[10] Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan
agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional.[10] Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa
MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat
Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil
pemilihan umum.[10]
Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang
ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.[11] Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh
rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS,
tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik
yang terjadi di akhir pemerintahan Soekarno[11]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan
usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan
sandang.[12] Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat
dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan
meningkat.[12]
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang disebut
sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[12] Repelita pertama yang mulai
dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan
pengembangan iklim usaha dan investasi.[12] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas
untuk memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.[12] Pembangunan
antara lain dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan,
teknologi pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit perbankan.[12] Petani juga dibantu
melalui penyediaan sarana penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.[12]
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat
ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974.[12] Repelita II (1974-1979) dan
Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan
pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.[12] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil
mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor
beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[12] Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V
(1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai
bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang menghasilkan barang
ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri
yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[13]
Swasembada beras
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan
sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan
ekonomi dan politik.[14] Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai
prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan
bisnis.[14] Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga
yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[14]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam.[14] Pada tahun
1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton.[14] Jumlah ini berhasil
ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi
beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[14] Prestasi ini merupakan
sebuah prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[14]
Pemerataan kesejahteraan penduduk
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan
kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan,
peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar,
penyediaan air bersih, dan pembangunan perumahan sederhana.[14] Strategi ini dilaksanakan
secara konsekuen di setiap pelita.[15] Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari
angka 60% pada tahun 1970-an ke angka 15% pada tahun 1990-an.[15] Pendapatan perkapita
masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat menjadi
600 dolar per tahun pada tahun 1993.[14]
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang
tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992.[14] Dalam kurun waktu yang
sama, angka kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi
63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.[14] Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui
program Keluarga Berencana (KB).[14] Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk
mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat diturunkan menjadi
2,0% per tahun.[14]
Penataan Kehidupan Politik
Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Organisasi masanya
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto
sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:[butuh rujukan]
 Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat
dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
 Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang di Indonesia
 Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat
Gerakan 30 September 1965.
Penyederhanaan Partai Politik
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai- partai
politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak
didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial
politik itu adalah:[butuh rujukan]
 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII,
dan PERTI
 Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik,
Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
 Golongan Karya
Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam
upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada
masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi
dimasa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi
serta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan
memenangkan Pemilu.[butuh rujukan]
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR dan
PPP memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi.[butuh rujukan]
Sedangkan PDI mengalami
kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal disebabkan adanya
konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi PDI
Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan
Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik.[butuh rujukan]
Apalagi Pemilu berlangsung
dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalam kenyataannya, Pemilu
diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan
Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan
pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah
memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena
pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban,
rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan
MPR dan DPR tanpa catatan.[butuh rujukan]
Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Pada masa Orde Baru, ABRI menjadi institusi paling penting di Indonesia. Selain menjadi
angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik
terbesar di negara. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI.
Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah
tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah
sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui
Pemilu.[butuh rujukan] Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada
fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator. Peran dinamisator sebenarnya telah diperankan
ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya
dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah ditahan Belanda.
Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan
setelah Gerakan 30 September, yang melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri.[16] Banyak perwira, khususnya mereka
yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI.[16]
Masuknya pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu
mempelajari strategi militer berkurang.[16]
Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.[16] Saat
itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari
ABRI.[16] Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding
Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%).[16] Pendanaan yang didapatkan ABRI
pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata
Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%.[16] Selain itu, peralatan dan perlengkapan
yang dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan.[16]
Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P7)
Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya
Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).[butuh rujukan] Untuk
mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara
menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk
pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman
yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat
akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.[butuh rujukan] Sehingga
sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan
berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila.
Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk
indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan
sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh
karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem
ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan
sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh
diperdebatkan.[butuh rujukan]
Penataan Politik Luar Negeri
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional, seperti
pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.[butuh rujukan]
Kembali menjadi anggota PBB
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar
bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-
1964.[butuh rujukan] Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara
Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai
Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkan
hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya
yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
Normalisasi Hubungan dengan Negara lain
Pemulihan Hubungan dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia
dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah
Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri
Lee Kuan Yew.[butuh rujukan] Lalu pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan
untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pemulihan Hubungan dengan Malaysia
Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di
Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian
tersebut adalah:[butuh rujukan]
 Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka
ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
 Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
 Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan
Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak
(Malaysia).
Pembekuan Hubungan dengan RRT
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia membekukan hubungan
diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Keputusan tersebut dilakukan karena RRT
telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada
Gerakan 30 September baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya
pemberontakan tersebut.[butuh rujukan]
Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan
tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota
Keduataan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah memberikan
perlindungan kepada tokoh-tokoh Gerakan 30 September di luar negeri, serta secara terang-
terangan menyokong bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia. Melalui media massanya
RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Pada 30 Oktober 1967, Pemerintah
Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.[butuh rujukan]
Penataan Kehidupan Ekonomi
Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama,
pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:
 Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini
didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.[butuh rujukan]
 MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan serta
program stabilisasi dan rehabilitasi.
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti
mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Rehabilitasi ekonomi
adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah
pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke
arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut
adalah:
 Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan
kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut
adalah:
1. Rendahnya penerimaan negara.
2. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
3. Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
5. Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan
prasarana.
 Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian
 Berorientasi pada kepentingan produsen kecil
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru
menempuh cara:[butuh rujukan]
 Mengadakan operasi pajak
 Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan
maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
 Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta
menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.
 Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Pemerintah Orde Baru
berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan
pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968,
pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak
harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi
nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun
1969 dapat dikendalikan pemerintah.[butuh rujukan]
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama
sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan
kerusakan pada prasarana sosial dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi,
dan perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok
kepentingan tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan fungsinya
sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]
Kerjasama Luar Negeri
 Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2 - 2,7 miliar, sehingga
pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran
kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia
mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan]
Pemerintah
Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan
digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-
bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Perundinganpun
dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:[butuh rujukan]
1. Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai
dengan 1999.
2. Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama
besarnya.
3. Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
4. Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap
negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.
 Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang
bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan
pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI
(Intergovernmental Group for Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut
untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi
ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan.[butuh rujukan]
Di samping mengusahakan
bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga telah berusaha mengadakan penangguhan serta
memperingan syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang peninggalan
Orde Lama.[butuh rujukan]
Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil
mengusahakan bantuan luar negeri.
Pembangunan Nasional
 Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang
ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan
nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka
pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan] Pambangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam
rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan
Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian
upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan
masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya
mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:[butuh rujukan]
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
2. Meningkatkan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman
pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut
adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang
stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :[butuh rujukan]
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:[butuh rujukan]
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan
perumahan.
2. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi
muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
 Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka
Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru,
pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:[butuh rujukan]

o Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal
pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah
pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan
tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang
pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.[butuh rujukan]

o Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II
ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan
rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil.
Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil
ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.[butuh rujukan]

o Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.[butuh rujukan] Pelaksanaan
Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan
adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.

o Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah
sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV
ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi.[butuh rujukan]
Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan
pembangunan nasional dapat berlangsung terus.

o Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan
pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada
posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun.[butuh rujukan]
Posisi
perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan
ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.

o Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini
ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang
sebagai penggerak pembangunan.[butuh rujukan]
Namun pada periode ini terjadi krisis moneter
yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan
peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses
pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga
pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai
secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski
kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep
obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin.[butuh rujukan] Mereka
pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin
dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk
memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh
militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja
juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan
pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air.[butuh rujukan] Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan
dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.[butuh rujukan]
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru
Pada masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap
hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan
bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi
dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke
Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.[butuh rujukan] Namun dampak negatif yang tidak
diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat
dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan
pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang
sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk
konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[17] Sementara itu gejolak di Papua yang
dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber
alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
 Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada
1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565[butuh rujukan]
 Sukses transmigrasi
 Sukses KB
 Sukses memerangi buta huruf
 Sukses swasembada pangan
 Pengangguran minimum
 Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
 Sukses Gerakan Wajib Belajar
 Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
 Sukses keamanan dalam negeri
 Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
 Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri[butuh rujukan]
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
[butuh rujukan]

1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme


2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan
antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar
disedot ke pusat
3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua
4. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh
tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
5. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si
kaya dan si miskin)
6. Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
9. Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius"
10. Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang,
hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti
hancur.[butuh rujukan]
12. Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
13. Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang
oleh swasta
Krisis finansial Asia
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas
lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga
minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.[butuh rujukan] Rupiah jatuh, inflasi
meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin
para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa
yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR
melantiknya untuk masa bakti ketujuh.[butuh rujukan]
Soeharto kemudian memilih sang Wakil
Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".[butuh rujukan] Masih adanya tokoh-tokoh
penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering
membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena
itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke
Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan
Yugoslavia.[butuh rujukan]
Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi
baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.

Anda mungkin juga menyukai