Pendahuluan
Dalam tinjauan pustaka ini akan membahas sesosok mayat yang dikirimkan ke Bagian
Kedokteran Forensik FKUI / RSCM oleh sebuah Polsek di Jakarta. Ia adalah tersangka pelaku
pemerkosaan terhadap seorang remaja putri yang kebetulan anak dari seorang pejabat
kepolisian. Berita yang dituliskan di dalam surat permintaan visum et repertum adalah bahwa
laki-laki ini mati karena gantung diri di dalam sel tahanan Polsek. Pemeriksaan yang dilakukan
keesokan harinya menemukan bahwa pada wajah mayat terdapat pembengkakan dan memar,
pada punggungnya terdapat beberapa memar berbentuk dua garis sejajar (railway hematome)
dan di daerah paha di sekitar kemaluannya terdapat beberapa luka bakar berbentuk bundar
berukuran diameter kira-kira satu sentimeter. Di ujung penisnya terdapar luka bakar yang
sesuai dengan jejas listrik. Sementara itu terdapat pula jejas jerat yang melingkari leher dengan
simpul di daerah kiri belakang yang membentuk sudut ke atas.pemeriksaan bedah jenazah
menemukan resapan darah yang kuas di kulit kepala, perdarahan yang tipis di bawah selaput
keras otak, sembab otak besar, tidak terdapat resapan darah di kulit leher tetapi sedikit resapan
darah di otot leher sisi kiri dan patah ujung rawan gondok sisi kiri, sedikit busa halus di dalam
saluran napas, dan sedikit bintik-bintik perdarahan di permukaan kedua paru dan jantung.
Tidak terdapat patah tulang. Dokter mengambil beberapa contoh jaringan untuk pemeriksaan
laboratorium. Keluarga korban datang ke dokter dan menanyakan tentang sebab-sebab
kematian korban karena mereka mencurigai adanya tindakan kekerasan selama di tahanan
Polsek. Mereka melihat sendiri adanya memar-memar di tubuh korban.
Pembahasan
Aspek hukum
Sesuai dengan kasus yang diberikan, dapat kita temukan berbagai aspek hukum yang
terkait mengenai kejadian perkara tersebut. Berikut beberapa aspek hukum mengenai perkara
pembunuhan atau penganiayaan yang termasuk pula didalamnya disertakan pasal-pasal hukum
terkait,1
Pasal 133 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan
diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Autopsi
Pasal 134 KUHAP
(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga
korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Visum et Repertum
Pasal 184 KUHAP
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Tempat kejadian perkara (TKP) adalah tempat ditemukannya benda bukti dan/atau
tempat terjadinya peristiwa kejahatan atau yang diduga kejahatan menurut suatu kesaksian.
Meskipun kelak terbukti bahwa di tempat tersebut tidak pernah terjadi suatu tindak pidana,
tempat tersebut tetap disebut sebagai TKP. Peranan dokter di TKP adalah membantu penyidik
dalam mengungkap kasus dari sudut kedokteran forensi. Pada dasarnya semua dokter dapat
bertindak sebagai pemeriksa di TKP, namun dengan perkembangan spesialisasi dalam ilmu
kedokteran, akan lebih baik bila dokter ahli forensik atau dokter kepolisian yang hadir.2
Bila korban telah mati, tugas dokter adalah menegakkan diagnosis kematian,
memperkirakan saat kematian, meperkirakan sebab kematian, memperkirakan cara kematian,
menemukan dan mengamankan benda bukti biologis dan medis. Beberapa tindakan dapat
mempersulit penyidikan, seperti memegang setiap benda di TKP tanpa sarung tangan,
mengganggu bercak darah, membuat jejak baru, atau memeriksa sambil merokok. Pemeriksaan
dimulai dengan membuat foto dan sketsa TKP, termasuk penjelasan mengenai letak dan posisi
korban, benda bukti dan interaksi lingkungan. Mayat yang ditemukan dibungkus dengan plastic
atau kantuing plastic khusus untuk mayat setelah sebelumnya kedua tangan di bungkus plastic
sebatas pergelangan tangan. Pemeriksaan sidik jari oleh penyidik dapat dilakukan
sebelumnya.2
Benda bukti yang ditemukan dapat berupa pakaian, bercak mani, bercak darah, rambut,
obat, anak peluru, selongsong peluru, benda yang diduga senjata diamankan dengan
memperlakukannya sesuai prosedur, yaitu di ‘pegang’ dengan hati-hati serta dimasukkan ke
dalam kantong plastic, tanpa meninggalkan jejak sidik jari baru. Sedangkan benda bukti
bersifat cair dimasukkan ke dalam tabung reaksi kering. Semua benda bukti harus diberi label
dengan keterangan tentang jenis benda, lokasi penemuan, saat penemuan dan keterangan lain
yang diperlukan. Mayat dan benda bukti biologis/medis, termasuk obat atau racun, dikirimkan
ke Instalasi Kedokteran Forensik atau ke Rumah Sakit Umum setempat untuk pemeriksaan
lanjutan, apabila tidak tersedia sarana pemeriksaan laboratorium forensic, benda bukti dapat
dikirim ke Laboratorium Kepolisian atau ke Bagian Kedokteran Forensik. Benda bukti bukan
biologis dapat langsung dikirim ke Laboratorium Kriminal/Forensik Kepolisian Daerah
setempat.2
Identifikasi Forensik
Pengertian identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup
maupun mati, berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut. Identifikasi forensik
merupakan usaha untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan
forensik, yaitu kepentingan proses peradilan. Tujuan dilakukan identifikasi forensik adalah
untuk kebutuhan etis dan kemanusiaan, pemastian kematian seseorang secara resmi dan
yuridis, pencatatan identitas untuk keperluan administratif dan pemakaman, pengurusan klaim
di bidang hukum publik dan perdata, pembuktian klaim asuransi, pensiun, dan lain-lain, serta
upaya awal dalam suatu penyelidikan kriminal (bila ada). Identifikasi dapat dilakukan pada
orang hidup,3
1. Secara visual dilakukan oleh keluarga atau rekan memperhatikan korban, terutama
wajah. Cara ini dapat dilakukan dengan syarat korban dalam keadaan utuh. Kelemahan
cara identifikasi ini adalah sangat dipengaruhi faktor sugesti dan emosi.
2. Pengamatan pakaian dengan mencatat model, bahan, ukuran, inisial nama, dan tulisan
pada pakaian. Sebaiknya simpan pakaian atau potongan pakaian (20x10cm), serta foto
pakaian.
3. Pengamatan perhiasan dengan mencatat jenis (anting, kalung, gelang, cincin dll), bahan
(emas,perak, kuningan dll), inisial nama bila ada. Sebaiknya simpan perhiasan dengan
baik.
4. Dokumen, seperti KTP, SIM, kartu golongan darah, dll.
5. Medis dengan melakukan pemeriksaan fisik, berupa tinggi badan, berat badan, warna tirai
mata, adanya luka bekas operasi, tato, dan lain-lain.
6. Odontologi dilakukan dengan melihat bentuk gigi dan rahang. Merupakan salah satu
pemeriksaan yang khas dan sangat penting bila jenazah dalam keadaan rusak atau
membusuk
7. Sidik jari, karena tidak ada dua orang yang memiliki sidik jari yang sama. pemeriksaan
ini dapat dilakukan dengan mudah dan murah.
8. Serologi digunakan untuk menentukan golongan darah dengan memeriksa darah dan
cairan tubuh korban.
9. Pemeriksaan DNA, sangat akurat, tetapi biayanya cukup mahal.
10. Ekslusi, biasanya digunakan pada korban kecelakaan masal, menggunakan data atau
daftar penumpang.
Autopsi
Autopsi berasal dari kata auto = sendiri dan opsis = melihat. Sehingga autopsi adalah
pemeriksaan terhadap tubuh mayat meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun bagian
dalam dengan tujuan untuk menemukan proses penyakit dan atau cedera, melakukan
interpretasi atas penemuan-penemuan tesebut, menrangkan penyebabnya serta mencari
hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.
Jika pada pemeriksaan ditemukan beberapa jenis kelainan bersama-sama maka dilakukan
penentuan kelainan mana yang merupakan penyebab kematian, serta apakah kelainan yang lain
juga memiliki andil dalam terjadinya kematian tersebut. Berdasarkan tujuannya, dikenal dua
jenis autopsi yaitu autopsi klinik dan autopsi forensik atau medikolegal.4
Autopsi klinik dilakukan terhadap mayat seseorang yang menderita penyakit, dirawat di
rumah sakit tetapi kemudian meninggal. Pada autopsi klinik mutlak diperlukan izin dari
keluarga terdekat mayat yang bersangkutan.
Autopsi forensik atau autopsi medikolegal dilakukan terhadap mayat seseorang
berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan tujuan membantu dalam hal penentuan
identitas mayat, menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan cara kematian, serta
memperkirakan saat kematian, mengumpulkan serta menggali benda-benda bukti untuk
penentuan identitas benda penyebab serta identitas pelaku kejahatan, membuat laporan tertulis
yang obyektif dan berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum, dan melindungi orang
yang tidak bersalah dan membantu dalam penentuan identitas serta penuntutan terhadap orang
yang bersalah.4
Dalam melakukan autopsi forensik, diperlukan suatu surat permintaan pemeriksaan /
pembuatan visum et repertum dari yang berwenang, dalam hal ini pihak penyidik. Izin keluarga
tidak diperlukan, bahkan apabila ada seseorang yang menghalang-halangi dilakukannya
autopsi forensik, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Selain itu, dalam melakukan autopsi forensik, mutlak diperlukan pemeriksaan yang
lengkap meliputi pemeriksaan tubuh bagian luar, pembukaan rongga tengkorak, rongga dada,
dan rongga perut / panggul serta pemeriksaan seluruh organ. Seringkali perlu pula dilakukan
pemeriksaan penunjang lainnya antara lain pemeriksaan toksikologi forensik, histopatologi
forensik, serologi forensik, dan sebagainya. Pemeriksaan yang tidak lengkap seperti autopsi
parsial atau needle necropsy dalam rangka pemeriksaan ini tidak dapat dipertanggungjawabkan
karena tidak akan mencapai tujuan dari autopsi forensik.
Autopsi forensik harus dilakukan oleh dokter dan tidak dapat diwakilkan pada mantri
atau perawat. Dalam autopsi diperlukan ketelitian yang maksimal sehingga kelainan yang
sekecil apapun harus tetap dicatat. Autopsi juga harus dilakukan sedini mungkin karena dengan
berjalannya waktu, tubuh mayat akan mengalami perubahan yang dapat menyulitkan dalam
interpretasi kelainan yang ditemukan.4
Persiapan Sebelum Autopsi
Terdapat empat teknik autopsi dasar yaitu teknik Virchow, teknik Rokistansky, teknik
Letulle, dan teknik Ghon. Teknik Virchow merupakan teknik tertua dan kurang baik untuk
autopsi forensik karena hubungan anatomik antar organ dapat hilang. Teknik Rokistansky
dilakukan dengan membuat irisan organ in situ kemudian baru dikeluarkan. Teknik Letulle
mengeluarkan organ leher, dada, diafrgama dan perut sekaligus (en masse) dan merugikan
karena memerlukan pembantu untuk dilakukan. Teknik Ghon mengangkat organ sebagai tiga
kumpulan yaitu organ leher dan dada, organ pencernaan bersama hati dan limpa, serta organ
urogenital.
Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan tubuh mayat sebelah luar, untuk kepentingan forensik, pemeriksaan
harus dilakukan dengan cermat, meliputi segala sesuatu yang telihat, tercium maupun terba,
baik terhadap benda yang menyertai mayat, pakaian, perhiasan, sepatu dan lain-lain juga
terhadap tubuh mayat itu sendiri. Agar pemeriksaan dapat terlaksana dengan secermat
mungkin, pemeriksaan harus mengikuti suatu sistematika yang telah ditentukan.5
1. Label mayat
Mayat yang dikirimkan untuk pemeriksaan kedokteran forensik seharusnya
diberi label dari pihak kepolisian, biasanya merupakan sehelai karton yang diikatkan
pada ibu jari kaki mayat serta dilakukan penyegelan pada tali pengikat tersebut, untuk
menjamin keaslian dari benda bukti. Label mayat ini harus digunting pada tali
pengikatnya, serta disimpan bersama berkas pemeriksaan. Perlu dicatat warna dan
bahan label tersebut. Dicatat pula apakah terdapat materai atau segel pada label ini,
yang biasanya terbuat dari lak berwarna merah dengan cap dari kantor kepolisisan yang
mengirim mayat. Isi dari label mayat ini juga dicatat selengkapnya. Adalah kebiasaan
yang baik, bila dokter pemeriksa dapat meminta keluarga terdekat dari mayat untuk
sekali lagi melakukan pengenalan atau pemastian identitas.
2. Tutup dan bungkus mayat
Mayat dikirim kepada pemeriksa bisa dalam keadaan ditutup atau dibungkus.
Penutup atau pembungkus dicatat jenis bahan, warna, corak, serta adanya pengotoran
dicatat pula bahan dan letaknya.
3. Pakaian
Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas sampai
di bawah, dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi bahan, warna dasar,
warna dan corak tekstil, bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit, cap binatu,
monogram/inisial, dan tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak dan ukuran pakaian
bila terdapat adanya bercak/pengotoran atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya.
4. Perhiasan
Mencatat perhiasan yang dipakai oleh mayat, meliputi jenis, bahan, warna,
merek, bentuk serta ukiran nama atau inisial pada benda perhiasan tersebut.
5. Benda di samping mayat
Mencatat benda di samping mayat misalnya tas ataupun bungkusan. Biasanya
benda di sekitar mayat akan disertakan pada saat membungkus mayat.
6. Tanda kematian
Mencatat perubahan tanatologi.
7. Identifikasi umum
Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan umur,
warna kulit, status gizi, tinggi badan, berat badan, disirkumsisi/tidak, striae albicantes
pada dinding perut.
8. Identifikasi khusus
Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas khusus,
meliputi rajah/tatoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit, anomali dan cacat pada
tubuh, kalau perlu di foto.
9. Pemeriksaan rambut
Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut. Jika pada
mayat terdapat rambut yang mempunyai sifat berlainan, perlu untuk disimpan jika suatu
saat perlu.
10. Pemeriksaan mata
Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda kekerasan,
kelainan. Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata, warna, cari pembuluh
darah yang melebar, bintik perdarahan, atau bercak perdarahan. Kornea jernih/tidak,
adanya kelainan fisiologik atau patologik. Catat keadaan dan warna iris serta kelainan
lensa mata. Catat ukuran pupil, bandingkan kiri dan kanan.
11. Pemeriksaan daun telinga dan hidung
Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung.
12. Pemeriksaan mulut dan rongga mulut
Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi dengan
lengkap, termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu, kelainan letak,
pewarnaan, dan sebagainya.
13. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan
Pada pria dicatat kelainan bawaan yang ditemukan, keluarnya cairan, kelainan
lainnya. Perhatikan bentuk lubang pelepasan, perhatikan adanya luka, benda asing,
darah dan lain-lain.
14. Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus, sianosis,
edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain pada tubuh.
15. Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap. Setiap luka pada tubuh
harus diperinci dengan lengkap, yaitu jenis luka, lokasi bentuk, ara, tepi, sudut, dasar,
ukuran, dan lain-lain. Dalam luka diukur dan panjang luka diukur setelah kedua tepi
ditautkan. Lokalisasi luka dilukis dengan mengambil beberapa patokan, antara lain
garis tengah melalui tulang dada, garis tengah melalui tulang belakang, garis mendatar
melalui kedua puting susu, dan garis mendatar melalui pusat.
16. Pemeriksaan ada tidaknya patah tulang, serta jenis/sifatnya.
Pemeriksaan dalam bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti insisi I, insisi Y dan
insisi melalui lekukan suprasternal menuju simphisis pubis. Insisi I dimulai di bawah tulang
rawan krikoid di garis tengah sampai prosesus xifoideus kemudian 2 jari paramedian kiri dari
puat sampai simfisis, dengan demikian tidak perlu melingkari pusat. Insisi Y pula merupakan
salah satu teknik khusus autopsi. Pada pemeriksaan dalam, organ tubuh diambil satu persatu
dengan hati-hati dan dicatat5
a. Ukuran
Pengukuran secara langsung adalah dengan menggunakan pita pengukur. Secara
tidak langsung dilihat adanya penumpulan pada batas inferior organ. Organ hati yang
mengeras juga menunjukkan adanya pembesaran.
b. Bentuk
c. Permukaan
d. Konsistensi
Diperkirakan dengan cara menekan jari ke organ tubuh tersebut.
e. Kohesi
Merupakan kekuatan daya regang antar jaringan pada organ.
f. Potongan penampang melintang
Dicatat warna dan struktur permukaan penampang organ yang dipotong.
Pemeriksaan khusus juga bisa dilakukan terhadap sistem organ tertentu, tergantung dari
dugaan penyebab kematian.
Pemeriksaan organ atau alat tubuh biasanya dimulai dari lidah, kerongkongan, batang
tenggorok, dan seterusnya sampai meliputi seluruh alat tubuh. Otak biasanya diperiksa terakhir.
1. Lidah
Perhatikan permukaan lidah, adakah kelainan bekas gigitan, baik yang baru
maupun yang lama. Bekas gigitan ini dapat pula terlihat pada penampang lidah.
Pengirisan lidah sebaiknya tidak sampai teriiis putus, agar setelah selesai autopsi, mayat
masih tampak berlidah utuh.
2. Tonsil
Perhatikan permukaan maupun penampang tonsil, adakah selaput, gambaran
infeksi, nanah, tanda bekas tonsilektomi, dan sebagainya.
3. Kelenjar gondok
Perhatikan ukuran dan beratnya. Periksa apakah permukaannya rata, catat
warnanya, adakah perdarahan berbintik atau resapan darah. Lakukan pengirisan di
bagian lateral pada kedua baga kelenjar gondok dan catat perangai penampang kelenjar
ini.
4. Kerongkongan (oesophagus)
Perhatikan adanya benda-benda asing, keadaan selaput lendir serta kelainan
yang mungkin ditemukan.
5. Batang tenggorok (trachea)
Dimulai dari epiglotis. Perhatikan adakah edema, benda psing, perdarahan dan
kelainan lain Perhatikan pula pita suara dan kotak suara. Sementara pada trachea
perhatikan adanya benda asing, busa, darah, serta keadaan selaput lendirnya.
6. Tulang lidah (os hyoid), rawan gondok (cartilago thyroidea) dan rawan cincin
(cartilago cricoidea)
7. Arteria carotis interna
Perhatikan adanya tanda kekerasan pada sekitar artena ini, buka pula artena ini.
8. Kelenjar kacangan (thymus)
Perhatikan akan adanya perdarahan berbintik serta kemungkinan adanya
kelainan lain.
9. Paru-paru.
Kedua paru masing-masing diperiksa tersendiri.
10. Jantung
Perhatikan besarnya jantung, bandingkan dengan kepalan tinju kanan mayat
Perhatikan akan adanya resapan darah, luka atau bmtik-bintik perdarahan. Pada autopsi
jantung, ikuti sistematika pemotongan dinding jantung yang dilakukan dengan
mengikuti aliran darah di dalam jantung.
11. Aorta thoracalis
Perhatikan kemungkinan terdapatnya deposit kapur, ateroma atau pembentukan
aneurisma Kadang-kadang pada aorta dapat ditemukan tanda kekerasan merupakan
resapan darah atau luka
12. Aorta abdominalis
Perhatikan dinding aorta terhadap adanya penimbunan perkapuran atau
atheroma
13. Anak ginjal (glandula suprarenalis)
Kedua anak ginjal harus dicari terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan
lanjut pada area alat rongga perut dan panggul.
14. Ginjal, ureter dan kandung kencing
15. Hati dan kandung empedu
Kandung empedu dibuka dengan gunting untuk memperlihatkan selaput
lendirnya yang seperti beludru berwarna hujau-kuning
16. Limpa dan kelenjar getah bening
Limpa dilepaskan dan sekitarnya. Limpa yang normal menunjukkan permukaan
yang berkeriput, berwarna ungu dengan perabaan lunak kenyal. Buatlah irisan
penampang limpa, limpa normal mempunyai gambaran limpa yang jelas, berwarna
coklat-merah dan bila dikikis dengan punggung pisau, akan ikut jaringan penampang
limpa, Jangan lupa mencatat ukuran dan berat limpa. Catat pula bila ditemukan kelenar
getah bening regional yang membesar.
17. Lambung, usus halus dan usus besar
Perhatikan selaput lendir lambung terhadap kemungkinan adanya erosi,
ulserasi, perdarahan/resapan darah. Usus diperiksa akan kemungkinan terdapat darah
dalam lumen serta kemungkinan terdapatnya kelainan bersifat ulceratif, polip, dan lain-
lain.
18. Kelenjar liur peiut (pancreas)
Pertama-tama lepaskan lebih dahulu kelenjar liur perut ini dari sekitarnya.
Kelenjar liur perut yang normal mempunyai wama kelabu agak kekuningan, dengan
permukaan yang berbelah-belah dan perabaan yang kenyal. Perhatikan ukuran serta
beratnya.
19. Otak besar, otak kecil dan batang otak
20. Alat kelamin dalam (genitalia interna)
Visum et Repertum
Visum et repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter, berisi temuan dan
pendapat berdasarkan keilmuannya tentang hasil pemeriksaan medis terhadap manusia atau
bagian dari tubuh manusia baik yang hidup maupun mati atas permintaan tertulis (resmi) dari
penyidik yang berwenang yang dibuat atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah untuk
kepentingan peradilan. Hal ini sesuai dengan KUHAP pasal 133 ayat 1 dan 2 serta pasal 184.
Visum et repertum tergolong ke dalam alat bukti surat. Visum et repertum ini dibutuhkan dalam
kasus luka, keracunan, dan mati, sehingga penyidik akan mencantumkan dalam surat
permintaan visumnya, visum apa yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan atas keterangan
yang mereka perlukan.6,7
Visum et repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap. Pertama adalah kata Pro justitia yang
diletakkan di bagian atas. Kata ini menjelaskan bahwa visum et repertum khusus dibuat untuk
tujuan peradilan. Visum et reprtum tidak memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai
alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum. Kedua, adalah bagian
pendahuluan. Bagian ini tidak diberi kudul “Pendahuluan”. Pendahuluan merupakan uraian
tentang identitas dokter pemeriksa, instansi pemeriksa, tempat dan waktu pemerikaan, isntansi
peminta visum, nomor dna tanggal surat permintaan, serta indentitas korban yang diperiksa
sesuai dengan permintaan visum et repertum tersebut. Ketiga adalah hasil pemeriksaan. Bagian
ini diberi judul “Hasil Pemeriksaan”. Pada bagian ini dijelaskan semua hasil pemeriksaan
terhadap “barang bukti” yang dituliskan secara sistematis, jelas, dan dapat dimengerti oleh
orang yang tidak memiliki latar belakang kedokteran. Keempat adalah bagian kesimpulan.
Bagian ini diberi judul “Kesimpulan”. Kesimpulan berisi kesimpulan pemeriksa atas hasil
pemeriksaan dengan berasarkan keilmuan / keahliannya mengenai jenis perlukaan / cedera yan
ditemukan dan jenis kekerasan atau zat penyebabnya serta derajat perlukaan atau sebab
kematiannya. Pada kejahtan susial, diterangkan juga apakah telah terjadi persetubuhan dna
kapan perkiraan kejadiannya, serta usia korban atau kepantasan korban untuk dikawin.
Terakhir adalah bagian penutup. Bagian ini tidak diberi judul dan berisi uraian kalimat penutup
yang menaytakan bahwa visum et repertum dibuat dengan sebenarnya berdasarkan keilmuan
serta mengingat sumpah dan sesuai dengan KUHAP. Contoh bagian penutup berisi tulisan
sebagai berikut “Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya
berdasarkan keilmuan saya dan dengan menginat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana”.7
Tatacara penulisan visum et repertum adalah selayaknya dokumen legal. Tujuan adanya
tatacara ini adalah untuk menghindari manipulasi. Tatacara penulisannya antara lain, diketik di
atas kertas dengan kepala surat sesuai instansi pemeriksa, diberi nomor sesuai dengan tatacara
penomoran di instansi pemeriksa, diberi tanggal sesuai pembuatan visum, diketik satu spasi,
rata kiri dan kanan, huruf yang digunakan adalah huruf yang resmi dnegan ukuran normal
(umumnya menggunakan Times New Roman, 12pt), angka ditulis dengna huruf dan bila
kalimat yang dibuat tidak sampai pada ujung batas baris, maka dibuat garis penutup, dan bila
terdapat lebih dari satu halaman maka dicantumkan tiga kata pertama dari halaman berikutnya
di bagian bawah kanan, setiap lembar diberi nomor visum (umumnya di sisi kanan atas), dan
dicantumkan nomor halaman serta jumlah total halaman (umumnya di sisi kanan atas di bawah
nomor visum).
Sebab Kematian, Cara Kematian, dan Mekanisme Kematian
Sebab mati adalah penyakit atau cedera atau luka yang bertanggungjawab atas
terjadinya kematian. Cara kematian adalah macam kejadian yang menimbulkan penyebab
kematian. Bila kematian terjadi akibat suatu penyakit semata-mata maka cara kematian adalah
wajar (natural death). Bila kematian terjadi sebagai akibat cedera atau luka, atau pada
seseorang yang semula telah mengidap suatu penyakit kematiannya dipercepat oleh adanya
cedera atau luka, maka kematian demikian adalah kematian tidak wajar (unnatural death).
Kematian tidak wajar ini dapat terjadi sebagai akibat kecelakaan, bunuh diri atau pembunuhan.
Kadangkala pada akhir suatu penyidikan, penyidik masih belum dapat menentukan cara
kematian dari yang bersangkutan, maka dalam hal ini kematian dinyatakan sebagai kematian
dengan cara yang tidak tertentukan. Mekanisme kematian adalah gangguan fisiologik dan atau
biokimiawi yang ditimbulkan oleh penyebab kematian sedemikian rupa sehingga tidak dapat
terus hidup.5
2. Arah kekerasan
Pada luka lecet jenis geser dan luka robek, arah kekerasan dapat ditentukan. Hal
ini sangat membantu pihak yang berwajib dalam melakukan rekonstruksi terjadinya
perkara.
Luka biasanya terdapatnya beberapa buah yang distribusinya tidak tertaur, sekalipun
tidak jarang ditemukan kasus pembunuhan hanya terdiri dari satu luka saja tanpa si korban
sempat melakukan perlawanan apapun. Dengan menentukan arah kekerasan pada luka yang
ditemukan, dapat dilakukan rekonstruksi terjadinya peristiwa. Pada pembunuhan dengan
menggunakan senjata api, penembakan dapat dilakukan dari berbagai jarak dan luka yang
ditemukan dapat merupakan luka tembak masuk jarak dekat, sangat dekat atau luka tembak
masuk jarak jauh da jarang luka tembak tempel.5
Pada seseorang yang bunuh diri dengan jalan menjatuhkan diri dan ketinggian atau
menabrakkan diri pada kendaraan akan ditemukan luka-luka akibat kekerasan tumpul.
Penentuan cara kematian bunuh diri tidak dapat dilakukan hanya dengan pemeriksaan terhadap
mayat saja, tetapi perlu mendapat dukungan data pemeriksaan tempat kejadian, keterangan
saksi mata dan sebagainya.5
Pada orang yang melakukan bunuh diri dengan benda tajam, luka bunuh diri seringkali
merupakan luka yang mengelompok pada tempat tertentu, antara lain pergelangan tangan,
leher, atau daerah prekordial. Luka-luka biasanya terdiri dari beberapa buah yang berjalan
kurang lebih sejajar dan dangkal (luka-luka percobaan, tentative wounds) dengan sebuah luka
dalam yang mematikan.
Kematian akibat asfiksi mekanik
Tanda-tanda asfiksi tidak akan ditemukan bila kematian terjadi melalui mekanisme non-
asfiksi. Untuk menentukan peristiwa mana yang terjadi pada korban, perlu diketahui cirri khas
bagi masing-masing peristiwa tersebut.
5. Mati tergantung
Pada kasus gantung, jerat pada leher menahan berat badan korban dan
mengakibatkan tertekannya leher. Jerat pada leher menunjukkan cirri khas berupa arah
yang tidak mendatar, tetapi membentuk sudut yang membuka kea rah bawah serta letak
jerat yang tinggi. Bila korban berada cukup lama dalam posisi gantung, distribusi lebam
mayat akan menunjukkan pengumpulan darah di ujung tangan dan kaki. Sama halnya
dengan kasus penjeratan, jenis simpul tidak selalu dapat mengungkapkan cara
kematian. Pada pembedahan, akan dapat ditemukan resapan darah bawah kulit serta
pada otot dan alat leher di tempat yang sesuai dengan letak jejas jerat pada kulit.
Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan logos
(ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang mempelajari kematian
dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan
tersebut.
1. Mati somatis disebut juga mati klinis yang terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem
penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan sistem
pernapasan, yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG
mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan
suara nafas tidak terdengar pada auskultasi.
2. Mati suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem kehidupan
di atas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan peralatan kedokteran
canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati suri
sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.
3. Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul
beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau
jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan
tidak bersamaan. Pengetahuan ini penting dalam transplantasi organ.
4. Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak
dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskular
masih berfungsi dengan bantuan alat.
5. Mati otak (mati batang otak) adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neronal
intrakranial yang irreversible, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya
mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat
dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang berupa
tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan tersebut dapat
timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya kerja jantung dan
peredaran darah berhenti, pernapasan berhenti, refleks cahaya dan refleks kornea mata
menghilang, kulit pucat dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul perubahan pascamati
yang jelas yang memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal
sebagai tanda pasti kematian berupa lebam mayat (hipostasis atau lividitas pascamati), kaku
mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh, pembusukan, mummifikasi dan adiposera.
Tanda kematian tidak pasti, antara lain :
1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, auskultasi).
2. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin terjadi
spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit
menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih muda.
Kelemasan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi primer. Hal ini mengakibatkan
pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya daerah belikat dan bokong pada mayat
yang terlentang.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian. Segmen-
segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan kemudian menetap.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat
dihilangkan dengan meneteskan air.4
Tanda pasti kematian, antara lain :
1. Lebam mayat (livor mortis)
Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat gaya
tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak berwarna merah ungu
(livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang tertekan alas keras. Darah
tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah. Lebam
mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit pasca mati, makin lama intensitasnya bertambah
dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat masih
hilang (memucat) pada penekanan dan dapat berpindah jika posisi mayat diubah. Memucatnya
lebam akan lebih cepat dan sempurna apabila penekanan atau perubahan posisi tubuh tersebut
dilakukan dalam 6 jam pertama setelah mati klinis. Tetapi, walaupun setelah 24 jam, darah
masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah masih dapat mengalir dan membentuk lebam
mayat di tempat terendah yang baru. Kadang-kadang dijumpai bercak perdarahan berwarna
biru kehitaman akibat pecahnya pembuluh darah. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh
bertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain
itu, kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut.
Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian; memperkirakan sebab
kematian, misalnya lebam berwarna merah terang pada keracunan CO atau CN, warna
kecoklatan pada keracunan anilin, nitrit, nitrat, sulfonal; mengetahui perubahan posisi mayat
yang dilakukan setelah terjadinya lebam mayat yang menetap; dan memperkirakan saat
kematian.
Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum menetap
dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah beberapa saat akan terbentuk
lebam mayat baru di daerah dada dan perut. Lebam mayat yang belum menetap atau masih
hilang pada penekanan menunjukkan saat kematian kurang dari 8-12 jam sebelum saat
pemeriksaan.
Mengingat pada lebam mayat darah terdapat di dalam pembuluh darah, maka keadaan
ini digunakan untuk membedakannya dengan resapan darah akibat trauma (ekstravasasi). Bila
pada daerah tersebut dilakukan irisan dan kemudian disiram dengan air, maka warna merah
darah akan hilang atau pudar pada lebam mayat, sedangkan pada resapan darah tidak
menghilang.
2. Kaku mayat (rigor mortis)
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat
seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi.
Energi ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka
serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi
tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku.
Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak
kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke arah dalam
(sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah
mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian
menghilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut
otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku
mayat terbentuk akan terjadi pemendekan otot.
Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik sebelum
mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot-otot kecil dan suhu lingkungan
tinggi. Kaku mayat dapat dipergunakan untuk menunjukkan tanda pasti kematian dan
memperkirakan saat kematian.
Terdapat kekakuan pada mayatyang menyerupai kaku mayat, antara lain :
a) Cadaveric spasm (instantaneous rigor), adalah bentuk kekauan otot yang terjadi pada saat
kematian dan menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul
dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah
akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis
karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal. Cadaveric spasm ini
jarang dijumpai, tetapi sering terjadi dalam masa perang. Kepentingan medikolegalnya
adalah menunjukkkan sikap terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan yang menggenggam
erat benda yang diraihnya pada kasus tenggelam, tangan yang menggenggam senjata pada
kasus bunuh diri.
b) Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot
berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada
korban mati terbakar. Pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek sehingga
menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk sikap petinju. Perubahan sikap
ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara
kematian.
c) Cold stiffening, yaitu kekauan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi pembekuan
cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, sehingga
bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.
6. Mummifikasi
Mummifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup
cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan
pembusukan. Jaringan berubah menjadi keras dan kering, berwarna gelap, berkeriput dan tidak
membusuk karena kuman tidak dapat berkembang pada lingkungan yang kering. Mummifikasi
terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi dan
waktu yang lama (12-14 minggu). Mummifikasi jarang dijumpai pada cuaca yang normal.
LUKA AKIBAT KEKERASAN BENDA TUMPUL
Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit/kutis akibat pecahnya
kapiler dan vena, yang disebabkan oleh kekrasan benda tumpul. Luka memar kadangkala
memberi petunjuk tentang bentuk benda penyebabnya, misalnya jejas ban yang sebenarnya
adalah suatu perdarahan tepi (marginal haemorrhage).8 Letak, bentuk dan luas memar
dipengaruhi oleh berbagai factor seperti besarnya kekerasan, jenis benda penyebab (karet,
kayu, besi), kondisi dan jenis jaringan (jaringan ikat longgar, jaringan lemak), usia, jenis
kelamin, corak dan warna kulit, kerapuhan pembuluh darah, penyakit (hipertensi, penyakit
kardio vascular, diathesis hemoragik). Akibat gravitasi, lokasi hematom mungkin terletak jauh
dari letak benturan, misalnya kekerasan benda tumpul pada dahi menimbulkan hematom
palpebra atau kekerasan benda tumpul pada paha dengan patah tulang paha menimbulkan
hematom pada sisi luar tungkai bawah. Umur luka memar secara kasar dapat diperkirakan
melalui perubahan warnanya. Pada saat timbul, memar berwarna merah, kemudian berubah
menjadi ungu atau hitam, setelah 4 sampai 5 hari akan berwarna hijau yang kemudian akan
berubah menjadi kuning dalam 7 sampai 10 hari, dan akhirnya menghilang dalam 14 sampai
15 hari. Perubahan warna tersebut berlangsung mulai dari tepi dan waktunya dapat bervariasi
tergantung derajat dan berbagai faktor yang mempengaruhinya.8 Dari sudut panjang
medikolegal, interprestasi luka memar dapat merupakan hal yang penting, apalagi bila luka
memar tersebut disertai luka lecet aau laserasi. Dengan perjalanan waktu, baik pada orang
hidup maupun mati, luka memar akan memberi gambaran yang makin jelas.
Hematom ante-mortem yang timbul beberapa saat sebelum kematian biasanya akan
menunjukan pembengkakan dan infiltrasi darah dalam jaringan sehingga dapat dibedakan dari
lebam mayat dengan cara melakukan penyayatan kulit. Pada lebam mayat (hypostasis
pascamati) darah akan mengalir keluar dari pembuluh darah yang tersayat sehingga bila dialiri
air, penampang sayatan tetap berwarna merah kehitaman. Tetapi harus diingat bahwa pada
pembusukan juga terjadi ekstravasasi darah yang dapat mengacaukan pemeriksaan ini. Luka
lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda yang memiliki
permukaan kasar atau runcing., misalnya pada kejadian kecelakaan lalu lintas, tubuh terbentur
aspal jalan, atau sebaliknya benda tersebut yang bergerak dan bersentuhan dengan kulit.8
Manfaat interprestasi luka lecet ditinjau dari aspek medikolegal seringkali diremehkan,
padahal pemeriksaan luka lecet yang teliti disertai pemeriksaan di TKP dapat mengungkapkan
peristiwa yang sebenarnya terjadi. Misalnya suatu luka lecet yang semula diperkirakan sebagai
akibat jatuh dan terbentur aspal jalanan atau tanah, seharusnya dijumpai pula aspal atau debu
yang menempel di luka tersebut. Bila sesudah dilakukan pemeriksaan yang teliti ternyata tidak
dijumpai benda asing tersebut, maka harus timbul pemikiran bahwa luka tersebut bukan terjadi
akibat jatuh ke aspal/tanah, tapi mungkin akibat tindak kekerasan.
Sesuai dengan mekanisme terjadinya, luka lecet dapat diklasifikasikan sebagai luka
lecet gores (scratch), luka lecet serut (graze), luka lecet tekan (impression, impact abrasion)
dan luka lecet geser (friction abrasion).
Luka lecet gores diakibatkan oleh benda runcing (misalnya kuku jari yang menggores
kulit) yang menggeser lapisan permukaan kulit (epidermis) di depannya dan menyebabkan
lapisan tersebut terangkat sehingga dapat menunjukkan arah kekerasan yang terjadi.
Luka lecet serut adalah variasi dari luka lecet gores yang daerah persentuhannya dengan
permukaan kulit lebih lebar. Arah kekerasan ditentukan dengan melihat letak tumpukan epitel.
Luka lecet tekan disebabkan oleh penjejakan benda tumpul pada kulit. Karena kulit
adalah jaringan yang lentur, maka bentuk luka lecet tekan belum tentu sama dengan bentuk
permukaan benda tumpul tersebut, tetapi masih memungkinkan identifikasi benda penyebab
yang mempunyai bentuk yang khas misalnya kisi-kisi radiator mobil, jejas gigitan dan
sebagainya.
Gambaran luka lecet tekan yang ditemukan pada mayat adalah daerah kulit yang kaku
dengan warna lebih gelap dari sekitarnya akibat menjadi lebih padatnya jaringan yang tertekan
serta terjadinya pengeringan yang berlangsung pasca mati.
Luka robek merupakan luka terbuka akibat trauma benda tumpul, yang menyebabkan
kulit teregang ke satu arah dan bila batas elastisitas kulit terlampaui, maka akan terjadi robekan
pada kulit. Luka ini mempunyai ciri bentuk luka yang umumnya tidak beraturan, tepi atau
dinding tidak rata, tampak jembatan jaringan antara kedua tepi luka, bentuk dasar luka tidak
beraturan, sering tampak luka lecet atau luka memar di sisi luka. Kekerasan tumpul yang cukup
kuat dapat menyebabkan patah tulang. Bila terdapat lebih dari satu garis patah tulang yang
saling bersinggungan maka garis patah yang terjadi belakangan akan berhenti pada garis patah
yang telah terjadi sebelumnya.
Pada cedera kepala, tulang tengkorak yang tidak terlindung oleh kulit hanya mampu
menahan benturan sampai 40 pound/inch2. Tetapi bila terlindungi oleh kulit maka dapat
menahan sampai 425 900 pound/inch2. Selain kelainan pada kulit kepala dan patah tulang
tengkorak, cedera kepala dapat pula mengakibatkan perdarahan dalam rongga tengkorak
berupa perdarahan epidural, subdural dan subarachnoid, kerusakan selaput otak dan jaringan
otak.
Perdarahan epidural sering terjadi pada usia dewasa sampai usia pertengahan, dan
sering dijumpai pada kekerasan benda tumpul di daerah pelipis (kurang lebih 50%) dan
belakang kepala (10-15%) akibat garis patah yang melewati sulcus arteria meningea, tetapi
perdarahan epidural tidak selalu disertai patah tulang.
Perdarahan subdural terjadi karena robeknya sinus, vena jembatan (brudging vein),
arteri basilaris atau berasal dari perdarahan subarachnoid.
Perdarahan subarachnoid biasanya berasal dari focus kontusio/ laserasi jaringan otak.
Perlu diingat bahwa perdarahan ini juga bias terjadi spontan pada sengatan matahari (heat
stroke), leukemia, tumor, keracunan CO dan penyakit infeksi tertentu.
AFIKSIA
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbon dioksida (hiperkapnia). Dengan demikian organ tubuh mengalami
kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Berdasarkan penyebabnya,
asfiksia dapat dibagi menjadi asfiksia yang alamiah, trauma mekanik, dan keracunan. Pada
pembahasan pada kasus kali ini akan dibahas secara lanjut untuk asfiksia yang merupakan
trauma mekanik.9
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan yang terhalang
ketika memasuki saluran napas oleh berbagai macam kekerasan seperti kekerasan yang
menyebabkan penutupan saluran pernapasan bagian atas, penekanan dinding saluran napas,
penekanan dinding dada dari luar maupun pada beberapa kasus seperti tenggelam yang
menyebabkan saluran pernapasan yang terisi air.9
1. Fase dispneu.
Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan
merangsang pusat pernapasan di medula oblongata, sehingga amplitudo dan frekuensi
pernapasan akan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai nampak
tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan.
2. Fase konvulsi.
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf
pusat sehingga terjadi peristiwa kejang, yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi
kemudian berubah menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil
berdilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah menurun merupakan efek yang
timbul karena terjadinya paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan
O2.
3. Fase apnea.
Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan melemah dan dapat berhenti.
Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan
sperma, urin, dan tinja.
4. Fase akhir.
Terjadi paralisis pusat pernapasan lengkap. Pernapasan berhenti setelah kontraksi
otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat
setelah pernapasan berhenti.
Masa dari asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya,
kisarannya adalah 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung kurang dari 3-4 menit, tergantung dari
tingkat kadar oksigen yang terhalang. Apabila oksigen yang terhalang kurang dari 100% maka
waktu kematian dapat tertunda lebih lama sehingga tanda-tanda asfiksia akan terlihat lebih
jelas.
Pada kasus, ditemukan adanya busa, busa disini merupakan hasil dari peningkatan
akitifitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas.
Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang
kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
Kesimpulan
Sebab kematian pada kasus ini adalah trauma tumpul di bagian kepala dan adanya perdarahan
di otak.
Daftar pustaka
1. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2014. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.3-26.
2. Budiyanto, A. Hertian, S. Mun’im, T.W.A. Sampurna, B. Sidhi, dkk. 1997. Ilmu kedokteran
forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.3-48.
3. Idries, A.M. 2002. Pedoman ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Binarupa Aksara.
4. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Teknik autopsi forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2000.h.1-6.
5. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2000. Teknik autopsi forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.1-44,56-81.
6. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu kedokteran
forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
1997.h.5-16.
7. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Mudah membuat visum et repertum kasus luka. Jakarta: Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2014.h.1-41.
8. Bagian kedokteran forensic FKUI. Ilmu kedokteran forensic. Jakarta: FKUI; 1997.h. 37-
44.
9. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran. Jakarta:
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2014.h.25-36.