Anda di halaman 1dari 20

Pneumokoniosis pada Pekerja Tambang

Feby Sondang Junita Siburian


102013152
Mahasiswa Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
Email : sondang_feby@yahoo.com

Pendahuluan

Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan,
proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian penyakit akibat kerja merupakan penyakit
yang artificial atau man mad disease. World Health Organization (WHO) membedakan empat
kategori penyakit akibat kerja: penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, seperti
Pneumokoniosis, penyakit yang salah satunya penyebabnya ialah pekerjaan, seperti carcinoma
Bronkhogenik, penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab diantara faktor-faktor
penyebab lainnya seperti Bronchitis kronis, penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi
yang sudah ada sebelumnya seperti asma.

Faktor penyebab Penyakit Akibat Kerja sangat banyak, tergantung pada bahan yang
digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja. Pada umumnya faktor
penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan antara lain: golongan fisik (bising), radiasi,
suhu (panas/dingin), tekanan yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik),
golongan kimiawi (bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang terdapat
dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap, gas, larutan, awan atau kabut), golongan
biologis (bakteri, virus atau jamur), golongan fisiologis (biasanya disebabkan oleh penataan tempat
kerja dan cara kerja), golongan psikososial (lingkungan kerja yang mengakibatkan stres).

1
Anamnesis

Dalam penegakan diagnosis penyakit paru lingkungan atau penyakit paru kerja, maka anamnesis
tentang riwayat pekerjaan atau lingkungan merupakan suatu alat yang amat berguna dalam
menentukan apakah suatu problem respirasi ada hubungannya dengan suatu paparan debu
tertentu.1

Anamnesis meliputi pertanyaan tentang :


 Riwayat penyakit paru dan kesehatan umum
- Adanya keluhan : sesak napas, batuk-batuk, batuk berdahak, napas bcrbunyi (mengi),
kesulitan napas.
- Adanya riwayat mcrokok, jenis rokok, jumlah rokok yang dikonsumsi rerata tiap hari.
- Problem pernapasan sebelumnya, obat-obatan yang dikonsumsi. Bagi pekerja apakah ada
hari-hari tidak dapat masuk kerja dan apa alasannya.
- Kapan kcluhan-keluhan di atas mulai dan apakah ada hubungan dengan pekerjaan.
 Riwayat penyakit dahulu
- Apakah sebelumnya menderita : asma, atopi, penyakit kardiorespirasi.
- Paparan bahan-bahan yang pernah diterimanya : kebisingan, getaran, radiasi, zat-zat
kimiawi, asbes dan sebagainya.
 Riwayat pekerjaan
- Daftar pekerjaan yang pernah dialami scjak awal (kronologis).
- Aktivitas kerja dan material yang digunakan tiap posisi (bagian tugas).
- Lama dan intensitas paparan bahan pada tiap posisi kerja.
- Alat proteksi kerja yang digunakan (respirator, sarung tangan, baju pelindung kerja dan
sebagainya).
- Kecukupan ventilasi ruang kerja.
- Selain seorang pekerja apakah pekerja-pekerja lain juga terkena paparan dan berefek pada
kesehatannya.
- Tugas tambahan lain yang dialami.
- Paparan lain (yang dialami) di luar tempat kerja
- Penyakit-penyakit yang pemah diderita (kronologis) yang ada hubungannya dengan
paparan bahan di tempat kerja atau lingkungan.

2
Pemeriksaan
1. Fisik

Sebagian besar kasus tidak menunjukkan adanya tanda gangguan fisik. Hal tersebut
tidak berarti bahwa langkah pemeriksaan fisik dapat dihilangkan atau hanya sepintas.
Observasi menyeluruh terhadap pasien akan mengungkapkan pasien yang napasnya memburu
pada waktu istirahat atau setelah melakukan tes fungsi paru. Mungkin ditemukan jari tabuh
pada kasus asbestosis, berilosis atau kanker paru. Pada auskultasi paru dapat ditemukan
krepitasi halus pada basal paru pasien dengan asbestosis atau silikosis. Mungkin terdapat
mengi atau ronkhi pada pasien dengan asma yang berhubungan dengan pekerjaan. Manifestasi
extrapulmo penyakit berilium kronis, kanker paru atau mesotelioma ganas harus dicari jika
dianggap peru. Hal ini juga penting dalam menentukan diagnosis banding atau mencari
kemuginan terjadinya komplikasi, misalnya gagal jantung ataustenosis katup mitral yang
mungkin tidak berhubungan dengan kerja.1

2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Rontgen paru2,3
 Kalsifikasi KGB hilus, yaitu perkapuran “berbentuk cangkang telur” dapat ditemukan
pada beberapa kasus silikosis.
 Pekerja terpajan asbes dapat menunjukkan adanya penebalan pleura atau kalsifikasi
atau efusi misalnya penumpulan sudut kostofrenikus.
 Dapat juga gambaran “shaggy heart” (jantung yang berbulu kasar)
 Komplikasi Tuberculosis, fibrosis masif yang progresif, dan pneumotoraks dapat
berhubungan dengan beberapakasus silikosis. Pemeriksaan rontgen paruselalu
bermanfaat pada pekerja dengan gejala pernapasan kronis, misalnya batuk, sesak napas
untuk menyaring kasus tuberkulosis, infeksi lain, atau keganasan. Diagnosis silikosis
atau asbestosis tidak boleh didasarkan pada satu foto saja; biasanya harus berdasarkan
paling sedikit dua foto dengan jarak beberapa bulan diantaranya.
 Pemeriksaan rontgen paru yang menunjukkan adanya bayangan nodular luas di kedua
lapang paru terutama daerah tengah dan atas; disingkirkannya kemungkinan penyebab
lain bayangan pada pemeriksaan rontgen paru; dan riwayat pajanan terhadap debu yang
mengandung silikon. Pemeriksaan rontgen paru juga dapat menunjukkan adanya
3
kalsifikasi kelenjar limfe hilus yang tampak seperti “kalsifikasi kulit telur”. Biopsi
menunjukkan nodul silikon dengan gambaran serat kolagen dalam susunan kosentris
yang beberapa di antaranya mungkin terbungkus hialin. Kristal Birefringent dapat
terlihat dalam nodul tersebut.

Pemeriksaan sputum3
- Pewarnaan gram dan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) adalah suatu tindakan rutin.
- Kultur mikobakteri dan jamur. Pemeriksaan ini dilakukuan pada pasien yang
didapatkan adanya kelainan foto toraks berupa infiltrate di apeks atau kavitas atau pada
pasien imunokompromis.
- Pemeriksaan sitologi dilakukan pada pasien batuk yang dicurigai juga menderita
kanker paru.
- Pemeriksaan silver pada dahak untuk mencari Pneumocystis carinii pada pasien
imunokompromis.

Tes Tuberkulin 3
- Pembacaan hasil tuberkulin dilakukan setelah 48 – 72 jam; dengan hasil positif bila
terdapat indurasi diameter lebih dari 10 mm, meragukan bila 5-9 mm. Uji tuberkulin
bisa diulang setelah 1-2 minggu.
Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu, dengan memanfaatkan fasilitas-
fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit.
Setelah diagnosis klinik ditegakkan baru dapat dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut
berhubungan dengan pekerjaan atau tidak.
1. Diagnosis Kerja
TBC resisten

TB resisten obat adalah penyakit TB yang disebabkan mycobacterium tuberculosis yang


sudah mengalami kekebalan terhadap OAT. Artinya, obat tersebut tak lagi dapat membunuh
kuman penyebab penyakitnya .TB MDR resisten terhadap 2 OAT paling poten INH dan
Rifampisin secara bersamaan atau disertai resisten pula terhadap OAT lini pertama lainnya
yaitu, etambutol, streptomisin, pirazinamid. TB resisten bisa terjadi akibat pengobatan TB

4
yang tidak tepat atau tidak standar. Misalnya akibat pasien tidak meminum obat dengan
disiplin atau menghentikan pengobatan sebelum saatnya. Bisa pula akibat petugas kesehatan
memberikan obat kurang tepat, misalnya paduannya, dosis dan lama pengobatan.4

Ada TB MDR ada pula TB XDR. Extensively drug-resistant tuberculosis TB( TB-XDR )
yang resistan terhadap obat secara luas adalah jenis langka TB MDR yang resisten terhadap
isoniazid dan rifampisin , ditambah fluorokuinolon apapun dan setidaknya salah satu dari tiga
injeksi obat lini kedua ( yaitu , amikasin , kanamisin , atau kapreomisin ) . Karena XDR TB
resistan terhadap obat TB yang paling ampuh, pilihan yang tersisa adalah pengobatan yang
jauh kurang efektif. XDR TB menjadi perhatian khusus bagi orang-orang dengan infeksi HIV
atau kondisi lain yang dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. 4

2. Diagnosis Banding

PPOK

PPOK (penyakit paru obstruktif kronik)adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri atas bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis
kronis adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3
bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya. Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.

Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting


dari penyebab lainnya. Penyebab lain adalah riwayat terpajan polusi udara (lingkungan dan
tempat kerja), hipereaktiviti bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, defisiensi
alfa-1 anti tripsin, jenis kelamin laki-laki dan ras (kulit putih lebih berisiko). 4

Kanker Paru-paru

5
Kanker paru paru adalah tumor ganas atau kanker yang tumbuh dari sel-sel paru, baik
salah satu atau kedua paru-paru. Tentu kita telah tahu bahwa paru-paru merupakan dua pasang
organ pada dada kita yang strukturnya seperti spons yang dapat mengembang dan mengempis
ketika seseorang bernafas. 4

Kanker paru-paru memiliki beberapa penyebab dan faktor risiko yang telah diketahui,
antara lain: Asap Rokok. Saya menyebut asap rokok karena sifatnya yang lebih umum, yaitu
mengenai perokok aktif maupun perokok pasif keduanya berisiko terhadap kanker paru-paru.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 10 perokok aktif
mengembangkan kanker paru-paru. Tetapi paparan asap rokok (perokok pasif dan aktif)
menyebabkan hingga 9 dari 10 kasus kanker paru-paru pada pria dan sekitar 7 dari 10 kasus
kanker paru-paru pada wanita.4

Paparan asbes. Orang yang terpapar asbes memiliki risiko yang lebih besar terkena
kanker paru-paru dibanding mereka yang tidak terpapar. Paparan yang dimaksud adalah
paparan melalui saluran nafas atau udara. Paparan zat lainnya. Kontak dengan pengolahan baja,
nikel, krom dan gas batubara juga dapat menjadi faktor risiko kanker paru-paru. Paparan
radiasi dan polusi udara lainnya, seperti asap diesel, juga meningkatkan risiko kanker paru-
paru. Tanda dan gejala kanker paru-paru Pada tahap awal kanker paru-paru biasanya tidak
menunjukkan tanda dan gejala, namun akan muncul ketika stadium atau tingkatannya sudah
lanjut. Gejala utama kanker paru-paru antara lain: Batuk kering yang baru muncul namun tak
kunjung sembuh Batuk kronis atau batuk lama terutama pada perokok. Batuk berdarah Nyeri
dada Sesak napas Penyakit pneumonia atau bronkitis yang sering berulang.4

Pajanan yang Dialami

Pengetahuan mengenai pekerjaan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah esensial
untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan
anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang mencakup:
a) Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh penderita secara
khronologis
b) Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan

6
c) Bahan yang diproduksi
d) Materi (bahan baku) yang digunakan
e) Jumlah pekerjaanya
f) Pemakaian alat perlindungan diri (masker)
g) Pola waktu terjadinya gejala
h) Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami gejala serupa)
i) Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan (MSDS, label, dan
sebagainya)

Hubungan Pajanan dengan Penyakit

Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung pendapat bahwa
pekerjaan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita. Jika dalam kepustakaan tidak
ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal tersebut di atas, maka tidak dapat
ditegakkan diagnosa penyakit akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang mendukung.
Perlu dipelajari lebih lanjut secara khusus mengenai pekerjaan sehingga dapat menentukan
penyakit yang diderita (konsentrasi, jumlah, lama, dan sebagainya).
Faktor Individu

Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya, yang dapat
mengubah keadaan pekerjaannya, misalnya penggunaan APD, riwayat adanya pekerjaan serupa
sebelumnya sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat
keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pekerjaan yang
dialami.

Faktor Lain di Luar Individu

Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Apakah penderita
mengalami pekerjaan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab penyakit. Meskipun
demikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di
tempat kerja.
Diagnosis Okupasi

7
Tidak selalu pekerjaan merupakan penyebab langsung suatu penyakit, kadang-kadang
pekerjaan hanya memperberat suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. Hal ini perlu dibedakan
pada waktu menegakkan diagnosis. Suatu pekerjaan dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit
apabila tanpa melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan
menderita penyakit tersebut pada saat ini. Sedangkan pekerjaan dinyatakan memperberat suatu
keadaan apabila penyakit telah ada atau timbul pada waktu yang sama tanpa tergantung
pekerjaannya, tetapi pekerjaannya mempercepat timbulnya penyakit.

Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa untuk menegakkan diagnosis Penyakit Akibat
Kerja diperlukan pengetahuan yang spesifik, tersedianya berbagai informasi yang didapat baik dari
pemeriksaan klinis pasien, pemeriksaan lingkungan di tempat kerja (bila memungkinkan) dan data
epidemiologis.

Pnemokoniosis

Pneumoconiosis adalah segolongan penyakit yang ditimbulkan oleh karena penimbunan debu
dalam paru-paru. Tergantung nama dari debu atau etiologinya masing-masing, maka nama dari
penyakitpun berlainan.
Jenis-jenisnya:
1. Silikosis
Silikosis adalah suatu penyakit saluran pernafasan akibat menghirup debu silika, yang
menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru. Penderita silikosis
noduler simpel tidak memiliki masalah pernafasan, tetapi mereka bisa menderita batuk
berdahak karena saluran pernafasannya mengalami iritasi (bronkitis). Silikosis konglomerata
bisa menyebabkan batuk berdahak dan sesak nafas. Mula-mula sesak nafas hanya terjadi pada
saat melakukan aktivitas, tapi akhirnya sesak timbul bahkan pada saat beristirahat.
Keluhan pernafasan bisa memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah penderita berhenti
bekerja. Kerusakan di paru-paru bisa mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang
bisa berakibat fatal. Jika terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium
Tuberculosis, penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita
tuberkulosis. 5,6

8
Pada berbagai jenis pekerjaan yang berhubungan dengan silika penyakit ini dapat terjadi,
pada:
 Pekerja tambang logam dan batubara
 Penggali terowongan untuk membuat jalan
 Pemotongan batu seperti untuk patung, nisan
 Pembuat keramik dan batubara
 Penuangan besi dan baja
 Industri yang memakai silika sebagai bahan misalnya pabrik amplas dan gelas.
 Pembuat gigi enamel
 Pabrik semen

2. Asbestosis
Asbestosis adalah fibrosis interstitialis kronis yang menyebar pada parenkim paru akibat
menghirup serat asbes. Contoh penyakit paru lainnya yang berhubungan dengan asbes adalah
plak dan kalsifikasi pleura, kanker paru, dan tumor ganas mesotelioma. Penyakit inimungkon
berhubungan dengan asbes, mungkin juga tidak.
 Pekerjaan beresiko
Derajat pajanan terhadap asbes yang tinggi dapat timbul pada pembuatan produk
berbahan semen asbes, pertambangan, dan pemrosesan serat asbes, pembongkaran gedung
dan renovasi bangunan dengan membuang bahan yang terbuat dari asbes, pekerjaan
isolasi sepertipelapisan katel uap, penggantian isolasi tungku pembakaran, dsb. Pekerja
lain yang terpaja termasuk pekerja perbaikan dan pemeliharaan d galangan kapal, kilang
minyak, stasiun tenaga listrik, dan pekerja bangunan.
 Tatalaksana
Asbestosis seperti halnya silikosis, dapat berkembang walaupun sudah disingkirkan
dari pajanan. Pengobatan bersifat simtomatis. Tindakan pencegahan dimulai dari tindakan
substitusi asbes menggunakan bahan lain, penutupan lokasi pengolahan, pemasangan
ventilasilokal, dan proteksi respirasi. Pasien yangterpajan disarankan untuk berhenti
merokok untuk memperkecil efek gabungan terhadap paru dan risiko kanker paru. 6,7

3. CWP (Coal Worker’s Pneumoconiosis) Pneumokoniosis Batubara

9
Inhalasi debu batubara  menumpuk di paru  reaksi jaringan
Pneumonitis pekerja batubara, disebut juga Coal worker pneumokoniosis (CWP) dikenal
sebagai penyakit penambang batu bara, penyakit paru hitam, antrakosis, dan asma penambang,
merupakan penyakit pulmoner nodular progresif yang bisa berbentuk sederhana (ditandai
dengan opasitas paru kecil) atau disertai komplikasi (fibrosis raksasa progresif yang ditandai
gumpalan jaringan fibrosa dalam paru). Seseorang berisiko menderita CWP tergantung pada:
 Durasi pajanan pasien terhadap debu batu bara (biasanya selama 15 tahun atau lebih)
 Intensitas pajanan (banyaknya debu, ukuran partikel)
 Kedekatannya pada tempat penambangan
 Konten silika batu bara
 Kerentanan pekerja
Jenis-jenisnya:
 Simple Coal Workers Pneumoconiosis (Simple CWP)
Gambaran klinis kelainan ini terjadi karena inhalasi debu batubara saja. Secara klinis
hampir tidak ada gejala, Simple CWP tidak akan memburuk apabila tidak ada paparan
lebih lanjut. Hal yang paling penting pada simple CWP adalah penyakit ini dapat
berkembang menjadi complicated CWP.
 Complicated Coal Workers Pneumoconiosis atau Fibrosis Masif Progresif (FMP)
Complicated CWP ditandai oleh timbulnya fibrosis yang luas dan hampir selalu
terdapat di lobus atas. Fibrosis masif progresif didefinisikan sebagai lesi dengan diameter
melebihi 3 cm, terjadi oleh karena satu atau lebih faktor berikut, yaitu:
1) Terdapat silika dalam debu batubara.
2) Konsentrasi debu batubara yang sangat tinggi.
3) Infeksi mikobakteria tipikal atau atipik.
4) Faktor imunologi penderita yang buruk.
Setiap bayangan dengan diameter lebih besar dari 1 cm terlihat pada foto
toraks pekerja tambang batubara dengan simple CWP dianggap sebagai fibrosis masif
progresif, kecuali bila terbukti ada penyakit lain seperti tuberkulosis. Gambaran Klinis
Pada stadium awal penyakit, gejala dan tanda kalaupun ada,hanya sedikit. Batuk dan
sputum menjadi lebih sering, sputum berwarna hitam (melanoptisis). Bila penyakit
berlanjut terjadi kolaps lobus, biasanya lobus atas. dan sering terjadi deviasi trakea.

10
Selanjutnya timbul gejala sesak pada waktu melakukan aktivitas, dan berkembang
menjadi gagal napas akibat obstruksi dan restriksi paru, korpulmonale, hipertensi
pulmonal dan gagal ventrikel kanan.6,7

Manifestasi Klinik

Silikosis Asbestosis CWP


Silikosis simpel : Gejala awal berupa sesak Simple CWP :
asimptomatik, kelainan pada napas saat aktivitas dan Asimptomatis, progresifitas
basal paru. batuk non produktif. pelan, faal paru masih normal,
Silikosis kompleks : Penyakitberlanjut diagnosis dari opasitas
Kelanjutan dari silikosis berkembang lanjut dan radiologis.
simpel yang terjadi bila terdapat ronki basah di basal Complicated CWP :
penyakit mengalami kedua paru dan pada Sudah terdapat sesak napas
progresivitas atau menderita keadaan lanjut terdapat jari saat aktivitas dan dapat
infeksi tuberkulosis atau tabuh. berlanjut menjadi insufisensi
jamur paru; dapat berlanjut paru, kor pulmonal kronik,
menjadi silikosis fibrosis hipertensi pulmonal atau payah
masif progresif. jantung kanan.
Sindrom Caplan :
Terdapat pada pekerja tambang
batu bara disertai rematoid
artritis dengan nodul paru besar,
bulat di daerah tepi paru.

Patofisiologi

Dengan menghirup napas, udara yang mengandung debu masuk kedalam paru-paru. Apa
yang terjadi dengan debu itu, sangat tergantung dari pada besarnya ukuran debu. Debu-debu
berukuran diantara 5-10 mikron akan ditahan oleh jalan pernafasan bagian atas, sedangkan yang
berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernapasan. Partkel-pertikel yang besarnya
diantara 1 dan 3 mikron berukuran 0,1-1 mikron tidak begitu gampang hinggap dipermukaan

11
alveoli, oleh karena debu-debu ukuran demikian tidak mengendap. Debu-debu yang partikel-
partikelnya berukuran kurang dari 0,1 mikron bermassa terlalu kecil, sehingga tidak hinggap di
permukaan alveoli atau selaput lendir, oleh karena gerakan Brown, yang menyebabkan debu
demikian bergerak ke luar masuk alveoli.5,7

Beberapa mekanisme dapat dikemukakan sebagai sebab hingga dan tertimbunnya debu
dalam paru-paru. Salah satu mekanisme itu adalah inertia atau kelembanan dari partikel-partikel
debu yang bergerak, yaitu pada waktu udara membelok ketika melalui jalan pernafasan yang tidak
lurus, maka partikel-partikel debu yang bermassa ukup besar tidak dapat membelok mengikuti
aliran udara, melainkan terus lurus dan akhirnya menumbuk selaput lendir dan akhirnya hinggap
disana. Mekanisme lain adalah sedimentasi, yang terutama benar untuk bronchi sangatkecil dan
bronchioli, sebab di tempat itu kecepatan udara pernfasan sangat kurang kira-kira 1 cm/detik
sehingga daya tarik bumi dapatbekerja terhadap partikel-partikel debu yang mengendapkannya.
Mekanisme ini ialah gerakan Brown, terutama untuk partikel-partikel yang berukuran sekitar atau
kurang dari 0,1 mikron. Partikel-partikel yang kecil ini oleh gerakan brown tadi ada kemungkinan
membentur permukaan alveoli dan tertimbun disana. 5,7

Nasib partikel-partikel debu ini tergantung dari tempatnya berada dalam paru-paru dan
sifat-sifat debu itu sendiri. Debu-debu yang mengendap dipermukaan bronchi dan bronchioli akan
dikembalikan keatas dan akhirnya keluar oleh cilia-cilia yang bergetar, dengan kecepatan 3 cm/jam
dijalan pernafasan sebelah atas dan 1 cm/jam di dalam bronchus tertius dan bronchioli. Selain itu,
juga batuk merupakan satu mekanisme untuk mengeluarkan debu-debu tersebut. Debu-debu
dialveoli mengalami beberapa kemungkinan. Salah satu kemungkinan menyusui permukaan
alveoli dan setelah berada dekat batas bronchioli tertangkap oleh cilia, yang lalu dikembalikan
kejalan pernafasan tengah dan atas, lalu keluar. Kalau bahan-bahan kimia penyusun debu mudah
larut dalam air, maka bahan-bahan itu akan larut dan langsung masuk pembuluh-pembuluh darah
kapiler alveoli. Apabila bahan-bahan tersebut tidak mudah larut, tetapi ukurannya kecil, maka
partikel-partikel itu dapat memasuki dinding alveoli, lalu kesalauran limfe atau keruang
peribronchial. Satu kemungkinan lain ialah ditelan oleh phagocyt, yang biasanya histiocyt atau inti
atau sel-sel mesenchym yang tidak berdifferrensiasi. Sel-sel phagocyt ini mungkin msuk ke dalam
saluran limfa, atau melalui dinding alveoli ke ruang peribronchial, atau ke luar dari tempat itu ke
bronchioli, lalu oleh rambut-rambut getar dikembalikan ke atas. 5,7

12
Penatalaksanaan

1. Promotif
Pada promotif dapat dilakukan penyuluhan kepada tenaga kerja seperti penggunaan Alat
Pelindung Diri (APD) saat bekerja, penyuluhan mengenai kesehatan para tenaga kerja
berdasarkan pekerjaan yang dilakukannya. Kepada pekerja perlu diberi penyuluhan
mengenai kebersihan perorangan, makanan yang nilai gizinya sesuai dengan jenis
pekerjaan, gerak badan untuk kesehatan (olahraga), pertolongan pertama pada
kecelakaan, perilaku K3 yang baik dan lain-lain. 3,9

2. Preventif

Ventilasi, baik lokal, maupun umum. Ventilasi umum antara lain dengan mengalirkan
udara ke ruang kerja melalui pintu dan jendela, tapi cara ini biasanya mahal harganya. Cara
ventilasi lokal, yang disebut pompa keluar setempat, biasanya biayanya tidak seberapa
sedangkan manfaatnya besar dalam melindungi para pekerja. Silicosis dapat dicegah dengan
memastikan kadar silika selalu di bawah ambang batas. Itu sebab, dust sampling (uji debu)
perlu dilakukan berkala untuk memantau kadar silika pada suatu area kerja. Jika ditemukan
kadar diatas ambang batas, tindakan perbaikan mesti dilakukan.Tindakan pencegahan paling
umum adalah dengan membasahi permukaan tanah dan bijih. Mesin-mesin yang berpotensi
menimbulkan debu (mis: belt conveyor) juga mesti diberi pelindung agar debu tidak tersebar.
Sedang di tambang bawah tanah, ventilasi yang cukup merupakan prasyarat penting untuk
mengurangi kadar debu. Agar perlindungan menjadi maksimal, pekerja mesti dibekali dengan
respirator (masker anti debu). Respirator dilengkapi dengan filter hingga mampu mencegah
partikel debu terhirup ke dalam paru-paru. 3,9

 Pengendalian debu

Pengendalian debu di lingkungan kerja dapat dilakukan terhadap 3 hal yaitu


pencegahan terhadap sumbernya, media pengantar (transmisi) dan terhadap manusia yang
terkena dampak.

o Pencegahan Terhadap Sumbernya

13
o Pencegahan Terhadap Transmisi
Upaya paling praktis dalam pencegahan debu adalah menggunakan air. Air dapat
digunakan untuk menyemprot coal face dan loose rock, dan pada permukaan setelah
blasting, dumping, atau berbagai rock handling process. Akan tetapi, banyak
pekerjaan underground kekurangan supply air yang cukup.

a). Memakai metode basah yaitu,penyiraman lantai dan pengeboran basah (Wet
Drilling).

Wet drilling sudah menjadi prosedur standard dalam hard rock mining dan
hal itu memiliki kontribusi yang besar dalam pencegahan pneumoconiosis, akan
tetapi beberapa pekerja masih ragu-ragu untuk menjalankannya ketika bekerja
dengan dasar kontrak karena hal tersebut melambatkan proses produksi.

b). Dengan alat berupa Scrubber,Elektropresipitator,dan Ventilasi Umum.

Ventilasi yang baik juga penting untuk mengeliminasi debu. Setiap tempat
kerja seharusnya memiliki supply udara bersih untuk mengencerkan atau
mengangkut airborne dust. Akan tetapi, underground ventilation, terutama di
negara berkembang, sering buruk akibat buruknya fasilitas.

o Pencegahan Terhadap Tenaga Kerja


i. Perlengkapan yang dipakai untuk melindungi pekerja terhadap bahaya
kesehatan yang ada di lingkungan kerja. Antara lain dengan menggunakan
Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker. Penggunaan APD merupakan
alternative lain untuk melindungi pekerja dari bahaya kesehatan. Namun APD
harus sesuai dan adekuat. Alat-alat pelindung harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Memiliki daya pencegah kuat terhadap bahaya yang ada.
b. Konstruksi dan kemampuan harus memenuhi standar yang berlaku.
c. Ringan, efisien, dan nyaman dipakai.
d. Tidak mengganggu gerakan yang diperlukan.

14
e. Tahan lama, pemeliharaan mudah, dan bagian-bagian mudah diganti atau
diperoleh.

 Pre-worker check-up
Semua penambang harus menjalani pemeriksaan medis sebelum bekerja dan berkala
dengan mengutamakan upaya untuk mendeteksi pre-existing lung disease dan
perkembangan pneumoconiosis.

 Penerangan sebelum bekerja


Suatu penjelasan agar pekerja mengetahui dan mentaati peraturan dan
undang-undang yang berlaku serta tahu adanya bahaya kesehatan di lingkungan
kerja, sehingga d apat bekerja lebih berhati-hati.
Pembatasan waktu selama pekerja terpajan terhadap zat tertentu yan g
berbahaya dapat menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan
kerja.
Kebersihan perorangan dan pakaiannya, merupakan hal yang penting,
terutama untuk para pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan bahan
kimia serta partikel lain.

 Pemeriksaan kesehatan berkala


Pemeriksaan ini bertujuan untuk menemukan dan mencegah penyakit jabatan
dalam tingkatan sedini-dininya. Prioritas diberikan kepada pekerja yang :
 bekerja di lingkungan berbahaya
 dipindahkan dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain,
 menderita penyakit menahun,
 perlu diperiksa atas permintaan dokter keluarganya, atau
keinginannya sendiri,
 bekerja lagi setelah penyakitnya sembuh,
 akan berhenti bekerja.

3. Kuratif

15
Tidak ada pengobatan khusus untuk silikosis. Untuk mencegah semakin memburuknya
penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan. Terapi suportif terdiri dari
obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah:
 Membatasi pemaparan terhadap silika
 berhenti merokok
 menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin.

Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita Tuberkulosis (TBC), sehingga


dianjurkan untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. Silika diduga mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, diberikan obat
anti TBC. 3,9

Pengobatan TBC pada orang dewasa

Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :

o Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.


Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir,
sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
o Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan
Kanamisin.

Table: Dosis obat antituberkulosis (OAT)


Obat Dosis harian Dosis 2x/minggu Dosis 3x/minggu
(mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari)

INH 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900 mg) 15-40 (maks. 900 mg)

Rifampisin 10-20 (maks. 600 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-20 (maks. 600 mg)

16
Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g)

Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g)

Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

 Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap
intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu
(tahap lanjutan). Diberikan kepada:
 Penderita baru TBC paru BTA positif.
 Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

 Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada:
 Penderita kambuh.
 Penderita gagal terapi.
 Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.

 Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada:
 Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.

4. Rehabilitatif

Pengobatan definitif terhadap silikosis tidak ada. Bila terdapat infeksi sekunder berikan
terapi yang sesuai. Infeksi pyogenik berikan antibiotik yang sesuai secara empirik, infeksi
jamur paru berikan obat anti jamur, dan terhadap tuberculosis paru berikan obat anti
tuberkulosis dosis dan lamanya disesuaikan dengan kategorinya. 7,9

 Disability limitation (membatasi kemungkinan cacat)

17
Memeriksa dan mengobati tenaga kerja secara komprehensif, mengobati tenaga
kerja secara sempurna, pendidikan kesehatan. Pindah ke bagian yang tidak terpapar.
Lakukan cara kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik.

 Rehabilitasi (pemulihan kesehatan)

Rehabilitasi dan mempekerjakan kembali para pekerja yang menderita cacat.


Sedapat mungkin perusahaan mencoba menempatkan karyawan-karyawan cacat di
jabatan-jabatan yang sesuai.9-10

Pencegahan

 Melakukan pemeriksaan foto rontgen dada para pekerja setiap tahun


 Jika ada gejala maka pekerja harus dipindah ke tempat dengan kadar debu lebih rendah
 Mendorong pekerja untuk berhenti merokok
 Pemberian vaksin pneumokoniosis dan influenza
 Membuat desain bangunan industri dengan sistem ventilasi udara yang baik
 Pekerja menggunakan masker wajah yang dapat menyaring debu di udara

Prognosis

Prognosisnya jelek, lebih-lebih kalau ada infeksi tuberkulosis (diagnosis sukar dan tentunya
berakibat pengobatan tidak tuntas). Usaha pencegahan penyakit dilakukan dengan menghindari
paparan debu dan para pekerja sulit bekerja memakai masker basah.9

Kesimpulan

Debu industry di tempat kerja dapat menimbulkan kelainan dan penyakit paru. Berbagai
factor berperan pada mekanisme timbulnya penyakit, diantaranya adalah jenis, konsentrasi, sifat
kimia debu, lama paparan dan factor individu pekerja.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit paru akibat debu industry perlu dilakukan
anamnesis yang teliti mengenai riwayat pekerjaan, identifikasi debu di tempat kerja, dan

18
pemeriksaan penunjang seperti uji faal paru dan pemeriksaan radiologis. Diagnosis kadang-kadang
sukar ditegakkan oleh karena sering butuh waktu yang lama antara terjadinya paparan dan
timbulnya penyakit. Di samping itu, penyakit paru akibat debu industry mempunyai gejala yang
sama dengan penyakit paru yang tidak disebabkan oleh debu.

Pengobatan penyakit paru akibat debu industry bersifat simptomatis dan suportif. Usaha
pencegahan merupakan langkah penatalaksanaan yang penting. Tindakan pencegahan meliputi
pengurangan kadar debu, memakai pelindung diri, deteksi dini kelaianan dan pemeriksaan sebelum
penerimaan pegawai.

Pemeriksaan faal paru dan radiologis secara berkala perlu pada jenis kerja tertentu. Pekerja
yang telah terkena penyakit akibat debu hendaklah dihindari dari paparan lebih lanjut.

Daftar Putsaka

1. Gleadle J. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga;


2007.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid2 . Edisi IV. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam fakultas
kedokteran universitas indonesia. Mei 2007;h 1025-6

19
3. Jeyaratnam J, Koh D.Buku ajar praktikum kedokteran kerja. Jakarta: EGC; 2010.h.70-87
4. Djojodibroto R. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.
5. Levy B.S, Wegman D.H. Respiratory disorder. In: Occupational Health. 2000. Lippincott
williams & wilkins publivations. 478-498
6. Kumar V, Cotran R.S, Robbins S.L. Pneumokoniosis. Dalam: Buku ajar patologi robbins
edisi ke-7 volume 1. 2007. Penerbit buku kedokteran (EGC). 301-307
7. John R. Iktisar kesehatan dan keselamatan kerja. Edisi 3.Jakarta : Penerbit Erlangga. 20
juli 2006;h 253-6
8. Suma’mur,PK. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja. Sagung Seto. 2009;h 245-59
9. Djatmiko R D. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Edisi 1. Yokyakarta: Deepubish;
2016.h.32-41

20

Anda mungkin juga menyukai