Anda di halaman 1dari 8

A.

Perkawinan Dan Nilai Keluarga Dalam Berbagai Budaya Di Sumatera Barat


Beragam suku bangsa yang ada di Indonesia maka beragam pula tradisi atau
hukum yang ada dalam masyarakat, termasuk dalam hal perkawinan. Pada masyarakat
Minangkabau terdapat prinsip eksogami suku dan eksogami kampung. ( P, putriyah nola ;
wahib, A. B. 2015 )
Seseorang yang ingin menikah dituntut untuk mencari pasangan di luar sukunya
seperti anggota masyarakat yang mempunyai suku Caniago tidak boleh kawin sesama
suku Caniago. Larangan kawin sesuku sudah merupakan ketentuan yang sudah diterima
secara turun temurun di masyarakat yang dise- but perkawinan pantang. Penerapan kawin
pantang ini tidak sama antar wilayah Minangkabau. Hal ini sesuai dengan pepatah
Minangkabau "lain lubuk lain ikannya, lain nagari lain pula adat istiadatnya". ( P,
putriyah nola ; wahib, A. B. 2015 )
Begitu juga dengan adat istiadat yang dipakai oleh masyarakat Ampang Kuranji
tentang pemahaman kawin sesuku tersebut. Masyarakat di nagari ini membolehkan
terjadinya perkawinan satu suku asalkan datuak antara laki- laki dan perempuan tersebut
berbeda. Namun demikian, aturan kawin pantang di nagari Ampang Kuranji seperti di
atas tidaklah dipraktekkan secara kaku. Masyarakat nagari Ampang Kuranji masih sangat
kental dengan ungkapan "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah, Syara'
Mangato Adat Ma- makai", yang berarti masyarakat masih menganggap adanya
hubungan yang erat antara adat dan agama. ( P, putriyah nola ; wahib, A. B. 2015 )
Dalam agama Islam, hukum perkawinan seperti ini diperbolehkan. Begitu juga
larangan ini tidak mutlak dilarang. Pasangan yang melanggar adat dengan melang-
sungkan perkawinan satu datuak ini dikenakan sanksi adat. Dimana, pihak laki-laki
dipindahkan kepesukuan datuak.“ Perpindahan datuak tersebut ditandai dengan
membayar denda berupa kambing saasam sagaram. ( P, putriyah nola ; wahib, A. B. 2015
)
Dalam budaya minangkabau dikenal dengan sebutan datuak. Datuak bisa juga
disebut dengan penghulu suku yakni seseorang yang mempunyai tugas dan wewenang di
suatu Nagari terhadap kaumnya. Peran datuak di nagari Ampang Kuranji ini sangat
penting, ia ibarat hakim dan pendamai di dalam kaumnya. ( P, putriyah nola ; wahib, A.
B. 2015 )
Larangan perkawinan satu datuak di Nagari Ampang Kuranji Masyarakat di
nagari Ampang Kuranji menggunakan sistem kekerabatan matrilineal dan bentuk
perkawinan yang digunakan ialah eksogami. Perkawinan eksogami menuntut seseorang
untuk mencari pasangan hidupnya di luar suku / klan / marga. Dengan artian, dilarangnya
perkawinan antara seseorang yang mempunyai suku yang sama. Sistem Masyarakat
nagari Ampang Kuranji membagi larangan perkawinan menjadi tiga, di antar nya:
a. Nikam Bumi
ialah larangan melakukan perkawinan sebagaimana yang telah diatur agama
Islam. Wanita yang dilarang untuk dinikahi di dalam agama Islam juga dilarang untuk
dinikahi dalam aturan adat di nagari Ampang Kuranji. Baik itu wanita yang dilarang
untuk dinikahi sementara maupun wanita yang dilarang untuk selama - lamanya. ( P,
putriyah nola ; wahib, A. B. 2015 )
b. Cegak telu
ialah larangan melaku- kan perkawinan terhadap seseorang yang beda agama. ( P,
putriyah nola ; wahib, A. B. 2015 )
c. Pecah Pinggan
ialah perkawinan pantang yang merupakan larangan adat yakni larangan perkawinan
satu suku. ( P, putriyah nola ; wahib, A. B. 2015 )
Selaim itu, antara perempuan yang mempunyai suku Caniago datuak Mangku
Marajo tidak boleh kawin dengan laki-laki yang bersuku Caniago datuak Mangku Marajo
pula. Akan tetapi, dibolehkan kawin dengan suku dan datuak yang lainnya asalkan bukan
dari datuak yang sama yaitu datuak Mangku Marajo. ( P, putriyah nola ; wahib, A. B.
2015 )
Jika perkawinan itu tetap terjadi maka mem- pelai laki-laki dibuang dari
kampung. Dibuang dari kampung di sini maksudnya bukan dikeluarkan dari nagari
tersebut namun, seorang mempelai laki-laki dipindahkan ke datuak lain. Artinya, setiap
yang melanggar perkawinan satu datuak ini maka pihak laki-laki akan dipindahkan ke
suku Caniago datuak lainnya. ( P, putriyah nola ; wahib, A. B. 2015 )
Masyarakat Ampang Kuranji sangat taat terhadap adat yang ada. Dapat dilihat
dari Sistem larangan kawin satu datuak ini dipakai untuk mengekalkan kekerabatan
matrilineal. Selain itu untuk menjaga keutuhan hubungan pasukuan satu datuak agar
hubungan tidak retak. Bila terjadi perkawinan satu datuak, seandainya dalam membina
rumah tangga terjadi permasalahan yang berujung perceraian (talak), mengakibatkan
retak pula hubungan antara rumah (kaum) laki-laki dengan rumah (kaum) si istri. Padahal
mereka berasal dari satu datuak yang dianggap berdunsanak (bersaudara). ( P, putriyah
nola ; wahib, A. B. 2015 ).
Larangan perkawinan satu datuak ini mengandung beberapa hikmah, di
antaranya:"
a. Mempererat tali silaturrahmi. Seseorang yang mengikat diri dalam ikatan suci
perkawinan berarti dia bukannya hanya terikat hubungan dengan pasangannya saja.
Akan tetapi, dengan keluarga ma- sing-masing pasangan. Dengan menyatu- nya dua
insan yang berbeda datuak maka dapat mempererat tali silaturrahmi. ( P, putriyah
nola ; wahib, A. B. 2015 )
b. Memperluas keturunan. Bertemunya dua keluarga yang mempunyai datuak yang
berbeda maka akan memperbanyak keturunan yang ada. Apabila perkawinan antara
mempelai yang mempunyai datuak yang sama maka keturunannya juga tidak akan
berkembang secara garis matrilineal. ( P, putriyah nola ; wahib, A. B. 2015 )
c. Menjaga keselamatan fisik anak keturunan. Alasan larangan perkawinan satu datuak
ini salah satunya adalah untuk menghindari perkawinan dengan kerabat dekat.
Seseorang yang menikah dengan kerabat dekatnya dikhawatirkan akan melahirkan
keturunan yang lemah. ( P, putriyah nola ; wahib, A. B. 2015 )

B. Kehamilan Dalam Konteks Budaya Di Sumatera


Perempuan memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak. Sejak masa
kehamilan, biasanya para perempuan sudah menyiapkan dan mengatur segala macam hal
yang berkaitan dengan perkembangan calon anaknya. Beragam upaya dilakukan demi
menjaga sang buah hati agar senantiasa terlahir sehat dan normal. Tidak jarang juga hal
tersebut berupa kepercayaan adat yang terkadang tidak logis dan ilmiah (Adiyah, 2018)
Hampir semua adat dan budaya memiliki kepercayaan atau mitos yang berkaitan
dengan perempuan pada masa kehamilan, termasuk juga di Minangkabau, khususnya di
Nagari Guak Panjang Koto Baru Kabupaten Solok. Meskipun secara ilmiah tidak ada
kaitannya namun tetap dilakukan karena jika dilanggar akan menimbulkan efek yang
negatif (Adiyah, 2018)
Berikut ini adalah beberapa temuan mitos kehamilan perempuan perempuan
yang ditemukan di Nagari Guak Panjang Koto Baru Kabupaten Solok :

1. Indak buliah duduak di pintu atau di jendela (Tidak boleh duduk di pintu
atau di jendela) (Adiyah, 2018)
Mitos diatas berhubungan dengan larangan terhadap perempuan hamil
untuk duduk di pintu maupun di jendela. Masyarakat Nagari Guak Panjang Koto
Baru Kabupaten Solok meyakini jika perempuan hamil melaksanakan kegiatan
tersebut, maka ia akan kesulitan nantinya dalam proses melahirkan. Jendela dan
pintu merupakan simbol tempat keluarnya bayi ketika dilahirkan. Jika
perempuan hamil duduk di pintu atau jendela, masyarakat setempat meyakini bahwa
nantinya bayi akan tersendat berada di pintu dalam waktu yang lama dan
memberikan kesulitan kepada perempuan dalam melahirkan. (Adiyah, 2018)
Namun jika kita lihat dalam sudut pandang budaya, mitos tersebut
berhubungan dengan nilai sikap dan kesopanan.

2. Pakai saruang indak buliah pucuak ka bawah (Memasang sarung tidak boleh pucuk
ke bawah) (Adiyah, 2018)
Mitos ini berhubungan dengan larangan terhadap perempuan hamil dalam
mengenakan kain sarung harus dari atas (Jamalie, 2014; Nadesul, 2001).
Artinya ketika hendak menggunakan sarung, perempuan harus memasangnya melalui
kepala setelah itu baru diikatkan di pinggang. Jika perempuan hamil melanggar ini,
masyarakat Nagari Guak Panjang Koto Baru meyakini posisi janin dalam kandungan
akan sunsang dan dililit tali pusat. Namun jika kita lihat dalam sudut pandang budaya,
memasang sarung dari bawah terlihat tidak baik dipandang, karena dalam
pemasangannya, perempuan akan mengangkat kakinya sehingga ditakutkan akan
terbukanya aurat yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain. Oleh karena itu,
nilai yang terkandung dalam mitos ini berhubungan dengan nilai sikap dan
kesopansantunan. (Adiyah, 2018)
3. Indak buliah kalua maghrib (Tidak boleh keluar di waktu maghrib) (Adiyah,
2018)

Mitos ini berhubungan dengan larangan kepada perempuan hamil untuk


keluar rumah di hari petang atau pada waktu maghrib. Jika perempuan hamil
melanggarnya, masyarakat Nagari Guak Panjang Koto Baru meyakini bahwa akan
banyak makhluk halus yang mengganggu janin dalam kandungan perempuan tersebut.
Mereka juga meyakini janin dalam kandungan akan mengalami kecacatan jika diganggu
oleh makhluk halus. Namun jika kita lihat dalam sudut pandang budaya, tidak pantas
bagi seorang perempuan untuk keluar rumah petang hari. Karena dikhawatirkan
perempuan akan menjadi korban kejahatan dari orang-orang yang tidak bertanggung
jawab yang beraksi pada malam hari. (Adiyah, 2018)

4. Indak buliah manundoan kayu atau tungkek di tungku jo kaki (Tidak boleh
mendorong kayu atau tongkat di tungku dengan kaki)
Mitos ini berhubungan dengan larangan perempuan hamil untuk mendorong kayu
di tungku dengan kaki (Gaol, 2012; Murniati, 2004). Masyarakat Nagari Guak Panjang
Koto Baru meyakini bahwa jika perempuan hamil melanggarnya, maka hal tersebut
akan mengakibatkan sakitnya bagian payudara dan didorong oleh harimau. Jika kita lihat
dalam sudut pandang budaya, hal ini berkaitan dengan resiko yang akan diperoleh
perempuan hamil saat mendorong kayu dengan kaki di tungku. Hal tersebut dapat
mengakibatkan terbakarnya bagian tubuh karena pada tungku terdapat api yang sedang
menyala. (Adiyah, 2018)

Minangkabau, kegiatan ini dipandang tidak sopan dan tidak baik di pandang.
Oleh karena itu, nilai yang terkandung dalam mitos ini adalah nilai kesopansantunan.
(Adiyah, 2018)

5. Indak buliah duduak di batu lakek (batu alam), lakek anak (Tidak boleh duduk di
batu) (Adiyah, 2018)
Mitos ini berhubungan dengan larangan bagi perempuan hamil untuk duduk di
batu atau lantai tanpa alas. Masyarakat meyakini jika hal ini dilakukan maka akan
mengakibatkan perempuan tersebut kesulitan saat melahirkan karena janin menempel
pada bagian rahim. Jika dikaitkan dengan budaya, kegiatan ini tidak bagus
dilakukan karena berhubungan dengan tatakrama. (Adiyah, 2018)
Kemudian hal ini juga mengakibatkan pakaian kotor dan kuman yang terdapat
di lantai bisa saja menempel dan tinggal kulit perempuan hamil. Oleh karena itu, nilai
yang terkandung dalam mitos ini merupakan nilai kesehatan dan kesopansantunan.
(Adiyah, 2018)

6. Indak buliah kalua masuak kalua masuak pas hamil (Tidak boleh keluar masuk
ketika hamil) (Adiyah, 2018)

Mitos ini berhubungan dengan larangan perempuan hamil untuk bolak- balik
dalam melaksanakan sesuatu (Andheska, 2018). Masyarakat meyakini jika ini dilakukan
oleh perempuan hamil, maka perempuan tersebut akan mengalami kesulitan saat
melahirkan. Bayinya juga seperti bolak- balik ketika hendak dilahirkan oleh ibunya.
(Adiyah, 2018)

7. Indak buliah maota nyalang ka lalok (Tidak boleh mengobrol menjelang tidur)
(Adiyah, 2018)
Mitos ini berhubungan dengan larangan bagi perempuan hamil untuk mengobrol
sebelum tidur (Subhan, 2004). Masyarakat Nagari Guak Panjang Koto Baru
meyakini bahwa jika hal ini dilakukan oleh perempuan hamil maka bayi yang dilahirkan
nanti akan nakal. Jika dipandang dalam sudut yang berbeda, mengobrol sebelum tidur
merupakan hal yang dilarang oleh agama, karena hal tersebut bersifat sia- sia. (Adiyah,
2018)

8. Indak buliah basiua siua di ateh rumah (Tidak boleh bersiul di rumah) (Adiyah,
2018)
Mitos ini berhubungan dengan larangan perempuan hamil untuk bersiul
(Nurmalina, 2015). Masyarakat Nagari Guak Panjang Koto Baru meyakini bahwa jika
bersiul akan mengakibatkan ular datang. Dalam budaya Minangkabau, perempuan
memang tidak pantas untuk bersiul. Hal ini dianggap tidak sopan. Kemudian bersiul juga
dapat mengganggu orang lain. Oleh karena itu nilai yang terkandung dalam mitos ini
merupakan nilai kesopansantunan (Adiyah, 2018)

Melalui mitos-mitos di atas dapat dilihat bahwa masyarakat Minangkabau


memberikan pengajaran dan pemahanan norma-norma terhadap keturunannya secara
implisit. Perempuan hamil mendapat perhatian khusus karena banyaknya mitos yang
ditujukan kepadanya. Perempuan hamil tetap harus menjaga bahasa dan sikapnya. Hal
ini sesuai dengan kedudukan perempuan Minangkabau, sumarak anjuang nan tinggi.
Artinya, perempuan menyemarakkan rumah gadang dengan kebijaksanaannya, dengan
kemanisan budi bahasanya, dan kehalusan budi pekertinya (Adiyah, 2018)
Daftar pustaka
P, putriyah nola ; wahib, A. B. ( 2015 ).perkawinan eksogami : larangan perkawinan satu datuak
di nagari ampang kuranji, sumatera barat.8(2), halaman 175 – 188).
Didapatkan dari : http://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/Ahwal/article/view/935/871
diakses tanggal 17 februari 2020.
Adiyah, Fauziatussa. (2018). Mitos Kehamilan Dalam Budaya Masyarakat Nagari Guak
Panjang Koto Baru Kabupaten Solok, 8(1), Halaman 85-93.
Didapatkan dari:
https://www.researchgate.net/publication/332087425_MITOS_KEHAMILAN_DALAM_
BUDAYA_MASYARAKAT_NAGARI_GUAK_PANJANG_KOTO_BARU_KABUPAT
EN_SOLOK diakses tanggal 17 februari 2020

Anda mungkin juga menyukai