Anda di halaman 1dari 12

A.

Pengertian Puisi
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang dinilai paling tua, karena karya-karya besar
yang bersifat monumental ditulis dalam bentuk puisi (Waluyo,1991:1). Samuel Taylor
Coleridge (dalam Pradopo, 2010:6) memberi defenisi bahwa puisi itu adalah kata-kata
yang terindah dalam susunan terindah. Kemudian, menurut Waluyo (1991:25), puisi
adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara
imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan
pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Puisi diciptakan dengan berbagai
unsur bahasa dan estetika yang saling melengkapi sehingga puisi terbentuk dengan berbagai
makna yang saling bertautan. Dengan demikian, puisi merupakan gagasan yang dibentuk
dengan sususan, penegasan dan gambaran semua materi dan bagian-bagian yang menjadi
komponen dan merupakan satu kesatuan yang indah (Abrams dalam Djojosuroto, 2005:11).
Puisi diminati oleh pembaca karena keindahan yang ditimbulkan oleh puisi itu sendiri
melalui bahasa sebagai media penyampaiannya.
Puisi merupakan karya yang dalam proses penciptaannya dipengaruhi oleh perasaan
penyair. Sejalan dengan hal itu, Waluyo (1991:121) mengemukakan bahwa suasana perasaan
penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Dalam proses membuat
puisi penyair satu dengan penyair lainnya memiliki perasaan yang berbeda-beda meskipun
pada konteks yang sama. Perasaaan yang menjiwai puisi adalah perasaan gembira, sedih,
terharu, terasing, tersinggung, patah hati, sombong, tercekam, cemburu, kesepian, takut dan
menyesal (Waluyo, 1991:21). Selain itu, Djojosuroto (2005:26) juga berpendapat bahwa
puisi dapat mengungkapkan perasaan gembira, sedih, terharu, takut, gelisah, rindu,
penasaran, benci, cinta, dendam, dan sebagainya.
Secara etimologi kata puisi berasal dari bahasa Yunani ‘poema’ yang berarti membuat,
‘poesis’ yang berarti pembuat pembangun, atau pembentuk. Di Inggris puisi disebut poem atau
poetry yang artinya tak jauh berbeda dengan to make atau to create, sehingga pernah lama sekali
di Inggris puisi disebut maker. Puisi diartikan sebagai pembangun, pembentuk atau pembuat,
karena memang pada dasarnya dengan mencipta sebuah puisi maka seorang penyair telah
membangun, membuat, atau membentuk sebuah dunia baru, secara lahir maupun batin
(Tjahyono, 1988: 50). Sulit membuat batasan yang memuaskan terhadap pengertian puisi.
Namun demikian perlu diterangkan beberapa definisi atau pendapat dari beberapa ahli sastra
tentang puisi, untuk memperluas pandangan mengenai pengertian puisi. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia pengertian puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra,
rima serta penyusunan lirik dan bait (Depdikbud, 1988).
HB. Jassin (1991) mengatakan puisi adalah pengucapan dengan perasaan. Seperti
diketahui selain penekanan unsur perasaan, puisi juga merupakan penghayatan kehidupan
manusia dan lingkungan sekitarnya di mana puisi itu diciptakan tidak terlepas dari proses berfikir
penyair. Bahkan aktivitas berfikir dalam puisi merupakan keterlibatan yang sangat tinggi, seperti
yang diungkapkan Matheew Arnold yang dikutip Situmorang : “Poetry is the highly organized
form of intellectual activity” (Situmorang, 1983). Lebih lanjut Matheew Arnold mengatakan
puisi adalah satu-satunya cara yang paling indah, impresif, dan yang paling efektif
mendendangkan sesuatu. Demikian pula yang dinyatakan oleh John Dryen, puisi adalah musik
yang tersusun rapi. Puisi adalah nada yang penuh keaslian dan keselarasan menurut Isaac
Newton (Situmorang, 19919). Thomas Chalye yang dikutip Waluyo mengatakan puisi
merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikal (Waluyo, 1991).
Selain unsur musikal, puisi juga merupakan ekspresi pikiran dan ekspresi perasaan yang
bersifat imajinatif. Hal-hal seperti yang dinyatakan para ahli yang dikutip H.G Tarigan dalam
bukunya “Prinsip-Prinsip Dasar Sastra” sebagai berikut: (a) Samuel Johnson : puisi adalah seni
pemaduan kegairahan dengan kebenaran, dengan mempergunakan imajinasi sebagai pembantu
akal pikiran, (b) William Wordsworth : puisi adalah luapan spontan dari perasaan yang penuh
daya, memperoleh rasanya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali ke dalam kedamaian,
(c) Lord Byron : Puisi adalah lavanya imajinasi, yang letusannya mampu mencegah adanya
gempa bumi, (d) Lescelles Abercrombie : Puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang
hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang
diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat dirumuskan bahwa puisi adalah bentuk karangan
kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan mengekspresikan perasaan, yang merangsang
imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama secara imajinatif, dengan menggunakan
unsur musikal yang rapi, padu dan harmonis sehingga terwujud keindahan. Jadi puisi adalah cara
yang paling indah, impresif dan yang paling efektif dari pikiran manusia dalam bahasa emosional
dan berirama.
B. Unsur-Unsur Lahir Puisi
Puisi merupakan karya sastra yang tidak terlepas dari struktur atau unsur
pembangunnnya. Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin yang
berarti bentuk atau bangunan (Ratna, 2009:88). Struktur atau unsur di dalam puisi dibagi
menjadi dua yaitu struktur lahir dan struktur batin. Sejalan dengan itu, Boulton (dalam
Atmazaki, 1993:21) menyebutkan bahwa unsur atau struktur pembangun puisi disebut
dengan unsur fisik dan unsur mental. Selain itu, Waluyo (1991:66) menyebutkan struktur
lahir dengan istilah struktur fisik atau struktur kebahasaan.
Pada hakikatnya istilah-istilah yang digunakan sebagai struktur pembangun puisi
memiliki pengertian dan arti yang sama. Struktur lahir puisi adalah segala unsur yang
terlihat jika sajak dituliskan atau yang dapat didengarkan ketika sebuah saja dibacakan,
sedangkan struktur batin merupakan unsur yang tidak dapat dilihat atau di dengarkan,
melainkan unsur yang ditimbulkan oleh struktur lahir (Boulton dalam Atmazaki, 1993:21).
Struktur lahir dan struktur batin merupakan kedua elemen yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya saling melengkapi dan saling berhubungan. Struktur batin tidak dapat dilihat
apabila struktur lahir tidak ada, keduanya merupakan kesatuan yang utuh dan tetap. struktur
lahir merupakan unsur yang membangun struktur luar dari puisi yang meliputi; diksi,
pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi, dan tata wajah puisi (tipografi)
(Waluyo, 1991:71).
1. Diksi
Puisi merupakan satu-satunya karya sastra yang sangat mempertimbangkan pilihan
kata yang akan digunakan. Dalam struktur puisi, baik lisan maupun puisi tulis, pilihan kata
atau diksi merupakan sesuatu yang sangat esensial sebagai wahana ekpresi utama (Harun,
2012:255). Diksi atau pilihan kata adalah media puisi sebagai pengalaman estetis dengan cara
memilih, memilah dan menentukan kata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan
(Sutardi, 2012:27).
Di dalam puisi, seorang penyair akan memilih kata-kata yang dapat mewakili
keinginan dan mewakili perasaan penyair. Pemilihan kata-kata yang terdapat di dalam puisi
dilakukan dengan proses yang sangat selektif. Keraf (2005:24), mengemukakan bahwa
pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk
menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat
atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan
dalam suatu situasi.
Sebuah puisi yang dituliskan oleh penyair diharapkan mampu dipahami dan
dirasakan oleh setiap pembacanya. Penyair juga bermaksud membagikan pengalaman-
pengalaman puitis sehingga dapat dirasakan, didengar dan seolah-olah dilihat oleh pembaca.
Kemampuan penyair memamfaatkan segala sarana kepuitisan dengan baik akan menimbulkan
kilasan bayangan dalam pikiran pembaca yang disebut dengan imaji (Atmazaki, 1993:95).
Waluyo (1987: 73) membahas hal-hal yang menyangkut pilihan kata yakni
“Perbendaharaan kata, urutan kata-kata, dan daya sugesti dari kata-kata”
a. Perbendaharaan kata
Perbendaharaan kata yang dimiliki penyair sangat penting dalam proses kreativitas
menulis puisi. Semakin banyak perbendaharaan kata yang dimiliki, semakin kaya dan ekspresif
pula puisi yang dihasilkan. Hal yang turut mempengaruhi perbendahraan kata penyair di
antaranya adalah kebiasaan membaca. Penyair yang suka membaca tentu memiliki perbendahaan
kata yang lebih banyak dari pada penyair yang jarang membaca.
b. Urutan Kata (word order)
Urutan kata puisi bersifat beku, dalam artian tetap dan tidak bisa dipindah-pindah atau
dibolak-balik susunannya. Urutan itu merupakan ciri khas penyair yang membedakannya dengan
penyair lain. Hal itu ditegaskan oleh Waluyo (1987: 75) yang menyatakan “Penyair telah
memperhitungkan secara matang susunan kata-kata itu. Jika diubah urutannya, maka daya magis
kata-kata itu akan hilang.”
Perhatikan puisi karya Ade Batari berikut.
Selasar Zaman
Di selasar zaman tangan tak lagi menengadah.
Barat Timur tak pula berbeda sebab matahari lupakan waktu.
Seruan Tuhan tak lagi dikumandangkan hingga pagi ke pagi yang silih berganti.
Tuhan tak lagi dicari sebab diri dirasa berkendali.

Di selasar zaman, pesolek renta mempercantik diri,


pernak-pernik memenuhi lekukan tubuh, gelamor songsong zaman.
Poles keriput berbedak menor.
Tua jadi simbol kemegahan menua. (Jambi, 18 Agustus 2011).
(“Warna-warni Kehidupan, 2011: 34)
Puisi di atas diawali dengan kata keterangan “di selasar zaman”, baru kemudian subjek
“tangan”. Urutan itu beku, tidak boleh dibolak-balik menjadi misal: tangan di selasar zaman tak
lagi menengadah. Pembolak-balikan kata akan menghilangkan daya magis dan fokus makna
yang hendak disampaikan penyair.
c. Daya Sugesti Kata-Kata
Penyair memilih kata-kata dengan mempertimbangkan daya sugesti dalam kata-kata
tersebut. Waluyo (1987: 77) menerangkan bahwa, daya sugesti itu ditimbulkan oleh makna kata
yang dipandang sangat tepat mewakili perasaan penyair. Karena ketepatan pilihan kata dan
ketepatan penempatannya, maka kata-kata itu seolah-olah memancarkan daya gaib yang mampu
memberikan sugesti kepada pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, marah, dan
sebagainya.
Perhatikan penggalan bait puisi “Prolog Beringin Tua” karya Bunga Hening Maulidina berikut.
Kian jauh… samar-samar kudengar tangis
Dibelai sekumpulan mega menjelma gerimis
Hujan kian deras mengguyur kabut tipis
Seperti isak dalam hati sang gadis manis

Rabbi…ingin kuusap air matanya dan berpuisi


“Saat kau mengenal patah hati
Saat itulah kau belajar cinta haqiqi”
Sayang sekali…
Aku hanyalah beringin sunyi
Saksi bisu tentang cita cinta dan mimpi
(“Warna-warni Kehidupan, 2011: 32-33)
Larik-larik puisi di atas menampakan perasaan sedih, iba, belas kasih, sang penyair
terhadap seorang gadis yang patah hati. Kata-kata penyair mampu mensugesti pembaca untuk
ikut merasakan apa yang dirasakan penyair.
2. Pengimajian
Pengimajian adalah kata atau susunan kata yang dapat memperjelas atau
memperkonkret apa yang dinyatakan penyair, melalui pengimajian apa yang digambarkan
seolah-olah dapat dilihat, di dengar dan di rasa (Waluyo, 2005:10). Menurut S. Effendi
(dalam Waluyo, 1991:80), pengimajian dalam sajak adalah usaha penyair untuk menciptakan
atau menggugah timbulnya imaji dalam diri pembacanya sehingga pembaca tergugah untuk
menggunakan mata hati melihat benda-benda, warna, dengan telinga hati mendengar bunyi-
bunyian, dan dengan perasaan hati kita menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan
warna.
Adapun cara untuk menangkap imaji atau citra yang dipantulkan sajak, seseorang
harus mengetahui kata-kata yang ada di dalam sajak tersebut dari arti kata yang meliputi
makna konotasi dan denotasi. Menurut Alternbernd dan Lewie (dalam Sayuti dkk, 2003:37),
imaji dapat dihasilkan dengan jalan menampilkan nama-nama, deskripsi-deskripsi, irama-
irama, asosiasi intelektual atau beberapa di atas ditampilkan bersama-sama.
Makna kiasan banyak digunakan di dalam karya sastra. Akan tetapi, karya sastra
yang paling banyak menggunakan kiasan adalah puisi. Hampir semua jenis puisi
menggunakan kiasan. Artinya, kiasan adalah suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari
puisi. Kiasan yang dimaksudkan di sini mempunyai makna yang lebih luas dengan gaya
bahasa kiasan karena mewakili apa yang secara tradisional disebut gaya bahasa secara
keseluruhan (Waluyo, 1991:84).
Menurut Gumiati dan Mariah (2010: 20-23) berdasarkan indra yang digunakan pengimajian
dapat dibedakan menjadi enam yakni, citraan pendengaran (auditory imagery), citraan
penglihatan (visual imagery), citraan perabaab (tactil/thermal imagery), citraan gerak
(movement imageri atau kinestik imajery), citraan penciuman, dan citraan pencecapan.

a. Citraan Pendengaran (Auditory Imagery)


Penyair menggunakan kata-kata yang mengandung citraan pendengaran dengan maksud agar
pembaca seolah-olah bisa ikut mendengarkan sesuatu yang ingin diperdengarkan penyair.
Akhirnya Kita ’Kan Kembali PadaNya
Faricha Hasan
Pagi
Aku berjalan di titian embun dini hari
Menapaki setiap inchi bayang mentari
Sayup samar terdengar alunan melodi elegy
(Kepingan Kehidupan #1, 2011: 86)

b. Citraan Penglihatan (Visual Imagery)


Kata-kata yang mengandung citraan penglihatan membuat pembaca seakan-akan melihat
sesuatu yang bergerak-gerak sehingga objek yang digambarkan penyair dalam puisi tampak jelas
di depan mata.
Kembara Masa
Talitha Huriyah
Dalam remang lentera kamar
Pandangan nanar berdebur gemetar
Menyibak lembaran masa dalam kalbu
Patahan pucuk-pucuk asoka di sela mega biru
Ricik kali dendang camar terbang
Tapak-tapak kaki kecil merekah riang
(Kepingan Kehidupan #2, 2011: 32)

c. Citraan Perabaan (Tactil/thermal imagery)


Penyair dengan menggunakan kata-kata yang mengandung citraan perabaan menggiring
pembaca seakan-akan dapat merasakan, menyentuh, dan meraba ketika membaca puisi yang
ditulisnya.
Menjemput cahaya-Mu
Daud Al Insyirah
Siang yang terang, membuatku tersesat
Meraba pintu hati yang tersembunyi
Dan menjemput cahaya-Mu di siang ini.
Ya Rabb, jangan biarkan aku tersesat
(Kepingan Kehidupan #2, 2011: 38)

d. Citraan Gerak (Movement imagery atau Kinetetik imagery)


“Citraan ini menggambarkan sesuatu yang sebetulnya tidak bergerak, tapi digambarkan
seolah-olah bergerak” (Gumiati dan Mariah, 2010: 22).

Jejak
Efriany Susanty
Pekik tangis mengangkasa dikala fajar, seketika ruh baru mengabdi
Mengukir jejak dalam hitungan waktu, merayap, merangkak, berjalan, berlari, berkelana
bertemankan langit bersahabatkan bumi
(Kepingan Kehidupan #1, 2011: 67)

e. Citraan Penciuman
Kata-kata yang digunakan penyair berhubungan dengan indra penciuman sehingga
mempengaruhi pemabaca seakan-akan mencium aroma sesuatu.

Awal tangis, akhir tersenyum, Awal tangis, akhir merana


Asri Bestari Rayawari

Dan dia pulang…


Jiwa yang tenang berpulang
Dan semerbak harum mengiringinya
Tersenyum dalam Ridho Illahi
(Kepingan Kehidupan #1, 2011: 41)

f. Citra Pencecapan
Kata-kata yang disajikan penyair dalam puisinya membuat pembaca seolah-olah
merasakan sesuatu dengan lidahnya, misalnya rasa pahit, manis, asin dan lain sebagainya.
Ayahku, ustadzku
Sarip Hidayat
waktu berlalu
aku dewasa,
ayah di usia senja
Langkahku jauh melaju
Pahit, manis dunia kurasakan
(Kepingan Kehidupan #1, 2011: 81)
3. Gaya Bahasa
Menurut Keraf (2005:113), gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan
pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis
(pemakai bahasa). Kemudian, menurut Dale (dalam Tarigan, tanpa tahun:5), gaya bahasa
adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan
memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau
hal lain yang lebih umum, artinya penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta
menimbulkan konotasi tertentu.
Kiasan atau gaya bahasa di dalam puisi lebih sering ditemukan dari pada karya
sastra lainnya. Akan tetapi, terdapat beberapa gaya bahasa yang dominan digunakan di dalam
puisi. Menurut Atmazaki (1993:50), bahasa kiasan yang pemakaiannya lebih dominan di
dalam puisi, yaitu metafora, perbandingan, metonimi, sinekdot, personifikasi, dan alegori.
a. Perbandingan/ perumpamaan (simile)
Perbandingan atau perumpamaan (simile) ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan
hal yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, bak, semisal,
seumpama, laksana dan kata-kata pembanding lainnya.
b. Metafora
Bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding seperti
bagai, laksana dan sebagainya. Metafora melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain
(Becker, 1978). Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga denan
yang lain yang sesungguhnya tidak sama.
c. Personifikasi
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia. Benda-benda mati dibuat dapat berbuat,
berfikir dan sebagainya. Seperti halnya manusia dan banyak dipergunakan penyair dulu sampai
sekarang. Personifikasi membuat hidup lukisan di samping itu memberi kejelasan
beberan,memberikan bayangan angan yang konkret.
d. Hiperbola
Kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu
agar mendapat perhatian yang lebih seksama dari pembaca.
e. Metonimia
Bahasa kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya. Metonimia ini dalam bahasa Indonesia
sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah
obyek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat hubungannya dengan mengganti obyek
tersebut.
f. Sinekdoki (Syneadoche)
Bahasa kiasan yang menyebutkan sesuatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda
atau hal itu sendiri. Sinekdoke ada dua macam :
- Pars Prototo : sebagian untuk keseluruhan
- Totum Proparte : keseluruhan untuk sebagian
(Pradopo, 1990).
g. Allegori
Cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengkiaskan hal lain
atau kejadian lain. Perlambangan yang dipergunakan dalam puisi:
1) Lambang warna
2) Lambang benda : penggunaan benda untuk menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan.
3) Lambang bunyi : bunyi yang diciptakan penyair untuk melambangkan perasaan tertentu.
4) Lambang suasana : suasana yang dilambangkan dengan suasana lain yang lebih konkret.
4. Rima
Rima merupakan salah satu aspek yang mampu menimbulkan nilai estetika di dalam
puisi. Kata-kata di dalam sebuah puisi tentunya telah dipertimbangkan oleh seorang penyair.
Pemilihan kata tersebut terkadang diperhatikan sampai kepada bunyi dari sebuah kata.
Pemilihan kata di dalam sebuah baris puisi maupun dari satu baris ke baris lain
mempertimbanngkan kata-kata yang mempunyai persamaan bunyi yang harmonis (Waluyo,
2005:7).
Bunyi-bunyi yang berulang di dalam sebuah puisi dapat menciptakan nilai estetika.
Selain itu, bunyi tersebut dapat menimbulkan kekuatan bahasa atau yang disebut daya gaib
kata seperti di dalam mantra. Dalam mantra, bunyi merupakan hal yang sama pentingnya
dengan makna. Damono (2014:19-20), mengatakan bahwa bunyi merupakan bahan pengawet
utama yang menyebabkan mantra bisa bertahan beratus-ratus tahun lamanya tanpa
mengalami perubahan bahan yang berarti. Sajak yang memuat rima dari susunan kata-kata
menimbulkan bunyi sama jelas terdengar indah. Bunyi-bunyi yang sama tersebut
menciptakan nilai keindahan tersendiri dari sebuah puisi.
Bunyi di dalam puisi merupakan suatu elemen yang berharga. Bunyi juga bisa
memancarkan energi lain dari sebuah puisi. Sejalan dengan hal itu, Damono (2014:22)
berpendapat bahwa bunyi merupakan warisan berharga dalam puisi tulis. Persamaan bunyi
dalam satu baris sajak dapat berupa persamaan bunyi vokal, dan persamaan bunyi
konsonan.
5. Tipografi
Salah satu ciri yang membedakan puisi dengan karya sastra lain pada bentuk
tulisannya atau tata wajah. Melalui indera mata tampak bahwa puisi tersusun atas kata-kata yang
membentuk larik-larik puisi. Larik-larik itu disusun ke bawah dan terikat dalam bait-bait.
Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh keseluruhan makna puisi yang ingin
dituliskan penyair. Dengan demikian satu bait puisi bisa terdiri dari satu kata bahkan satu huruf
saja. Dalam hal cara penulisannya puisi tidak selalu harus ditulis dari tepi kiri dan berakhir di
tepi kanan seperti bentuk tulisan umumnya. Susunan penulisan dalam puisi disebut tipografi
(Pradopo, 1990).
Struktur fisik puisi membentuk tipografi yang khas puisi. Tiprografi puisi merupakan
bentuk visual yang bisa memberi makna tambahan dan bentuknya bisa didapati pada jenis puisi
konkret. Tipografi bentuknya bermacam-macam antara lain berbentuk grafis, kaligrafi, kerucut
dan sebagainya. Jadi tipografi memberikan ciri khas puisi pada periode angkatan tertentu.
Tipografi (tata wajah) merupakan pembeda antara puisi dan prosa. Tipografi adalah gambaran
nyata bagaimna puisi dituliskan. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang
disebut paragraf, namun membentuk bait. Bari puisi tidak bermula dari tepi kiri ke kanan. Tepi
kanan dan tepi kiri halaman yang emuat puisi belum tentu dipenuhi tulisan (Waluyo,
1991:97). Siswanto (2008:113-114), mengatakan bahwa perwajahan adalah pengaturan atau
penulisan kata, larik, dan bait dalam puisi. Sebagian para penyair mengangap bahwa
tipografi adalah hal yang sangat penting.

Anda mungkin juga menyukai