Anda di halaman 1dari 14

BAB I

KONSEP DASAR MEDIS


A. DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam
rongga pleura (Somantri, 2008).
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan melebihi
normal di dalam cavum pleura diantara pleura parietalis dan viseralis dapat berupa
transudat atau cairan eksudat. Efusi pleura merupakan penyakit sekunder terhadap
penyakit lain, jarang merupakan penyakit primer, secara normal ruang pleura
mengandung sejumlah kecil cairan (5-15 ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleura bergerak tanpa adanya friksi. (Puspita dkk, 2017).
B. ANATOMI FISIOLOGI PLEURA
1. Anatomi Pleura
Pleura merupakan membran serosa yang tersusun dari lapisan sel yang
embriogenik berasal dari jaringan selom intraembrional dan bersifat memungkinkan
organ yang diliputinya mampu berkembang, mengalami retraksi atau deformasi
sesuai dengan proses perkembangan anatomis dan fi siologis suatu organisme.
Pleura viseral membatasi permukaan luar parenkim paru termasuk fisura
interlobaris, sementara pleura parietal membatasi dinding dada yang tersusun dari
otot dada dan tulang iga, serta diafragma, mediastinum dan struktur servikal. Pleura
viseral dan parietal memiliki perbedaan inervasi dan vaskularisasi. Pleura viseral
diinervasi saraf-saraf otonom dan mendapat aliran darah dari sirkulasi pulmoner,
sementara pleura parietal diinervasi saraf-saraf interkostalis dan nervus frenikus
serta mendapat aliran darah sistemik. Pleura viseral dan pleura parietal terpisah oleh
rongga pleura yang mengandung sejumlah tertentu cairan pleura.
2. Fisiologi Pleura
Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang
ditimbulkan oleh rongga pleura. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas akan
menimbulkan tekanan transpulmoner yang selanjutnya akan memengaruhi
pengembangan paru dalam proses respirasi. Pengembangan paru terjadi bila kerja otot
dan tekanan transpulmoner berhasil mengatasi rekoil elastik paru dan dinding dada
sehingga terjadi proses respirasi. Jumlah cairan rongga pleura diatur keseimbangan
Starling yang ditimbulkan oleh tekanan pleura dan kapiler, kemampuan sistem
penyaliran limfatik pleura serta keseimbangan elektrolit. Ketidakseimbangan
komponen-komponen gaya ini menyebabkan penumpukan cairan sehingga terjadi
efusi pleura.
C. ETIOLOGI
Penumpukan cairan pleura dapat disebabkan oleh hal-hal berikut (Puspita dkk,
2017) :
1. Peningkatan tekanan hidrostatik di sirkulasi mikrovaskular. Studi mengatakan
bahwa peningkatan tekanan pada pembuluh kapiler adalah pemicu penting dalam
terjadinya efusi pleura pada penderita gagal jantung.
2. Penurunan tekanan onkotik dalam sirkulasi mikrovaskular karena hipoalbuminemia
yang meningkatkan penumpukan cairan dalam rongga pleura.
3. Peningkatan tekanan negatif pada rongga pleura juga membuat meningkatnya
akumulasi cairan pada rongga pleura. Hal ini dapat terjadi pada ateletaksis.
4. Peningkatan permeabilitas kapiler akibat mediator inflamasi. Hal tersebut
mengakibatkan lebih banyak protein dan cairan yang masuk dalam rongga pleura,
contohnya pada pneumonia.
5. Gangguan drainase limfatik dari permukaan pleura karena penyumbatan oleh tumor
dan fibrosis.
D. KLASIFIKASI
Efusi pleura diklasifikasikan berdasarkan jenis cairan yang dihasilkan sebagai
berikut (Tanto dkk, 2014) :
1. Efusi Transudatif
Karakteristik transudat adalah rendahnya konsentrasi protein dan molekul
besar lainnya. Terjadi akibat kerusakan/ perubahan faktor-faktor sistemik yang
berhubungan dengan pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Penyebab utama
biasanya gagal jantung ventrikel kiri dan sirosis. Penyebab lainnya diantaranya
sindrom nefrotik, hidronefrosis, dialisis peritoneal, efusi pleura maligna (atelektasis
pada obstruksi bronkial atau limfatik).
2. Efusi Eksudatif
Karakteristik eksudat, kandungan protein lebih tinggi dibandingkan
transudat. Hal ini karena perubahan faktor lokal sehingga pembentukan dan
penyerapan cairan pleura tidak seimbang. Penyebab utama yaitu pneumonia bakteri,
keganasan, infeksi virus, dan emboli paru. Selain itu, juga disebabkan oleh abses
intraabdomen, hernia diafragmatika, sfingter esofagus bawah, trauma, uremia,
radiasi, pasca CABG, hemotoraks.
E. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura parietalis dan
pleura vicelaris, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan antara 10 – 20 ml yang
merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak teratur. Cairan yang sedikit ini
merupakan pelumas antara kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu
sama lain. Diketahui bahwa cairan diproduksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di
absorbsi tersebut dapat terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis
dan tekanan osmotic koloid pada pleura viceralis. Cairan kebanyakan diabsorbsi oleh
sistem limfatik dan hanya sebagian kecil diabsorbsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal
yang memudahkan penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah terdapatnya
banyak mikrovili disekitar sel-sel mesofelial. Jumlah cairan dalam rongga pleura tetap.
Karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi. Keadan ini bisa terjadi
karena adanya tekanan hidrostatik sebesar 9 cm H2O dan tekanan osmotic koloid sebesar
10 cm H2O. Keseimbangan tersebut dapat terganggu oleh beberapa hal, salah satunya
adalah infeksi tuberkulosa paru.
Ketika terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil mikobakterium
tuberkulosa masuk melalui saluran nafas menuju alveoli, terjadilah infeksi primer. Dari
infeksi primer ini akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
local) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus (limphadinitis
regional). Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas
membran. Permebilitas membran akan meningkat yang akhirnya dapat menimbulkan
akumulasi cairan dalam rongga pleura.
F. MANIFESTASI KLINIS
Berikut manifestasi klinis efusi pleura berdasarkan Nurarif & Kusuma (2015) :
1. Sesak napas
2. Nyeri dada
3. Demam
4. Deviasi trakea
5. Fremitus melemah
6. Pada perkusi didapati daerah pekak
7. Pada auskultasi didapati vesikuler melemah dengan ronkhi.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada efusi pleura berdasarkan
Nurarif & Kusuma (2015) adalah sebagai berikut :
1. Foto Rontgen Toraks
Pada permulaan didapati menghilangnya sudut kostofrenik. Bila cairan lebih
dari 300 ml, akan tampak cairan dengan permukaan melengkung. Mungkin terdapat
pergeseran di mediastinum.
2. Ultrasonografi
Untuk mengetahui lokasi cairan untuk tujuan pungsi.
3. Torakosintesis/ Pungsi Pleura
Untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi, berat jenis.
Fungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada sela iga ke-8.
Didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak), berdarah (hemotoraks), pus
(piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa transudat
(hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).
4. Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam
(untuk TBC), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa,
amilase, laktat dehidrogenasi (LDH), protein), analisis sitologi untuk sel-sel
malignan, dan Ph.
5. Biopsi pleura mungkin juga dilakukan.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan berdasarkan penyakit dasarnya Tanto dkk (2014) sebagai
berikut :
1. Gagal Jantung
Pada pasien ini, terapi terbaik dengan diuretik. Jika setelah pemberian efusi
menetap, diagnostik torakosintesis perlu dilakukan. Selain itu, torakosintesis
dilakukan pada efusi satu sisi, disertai demam, atau nyeri dada pleuritik. Jika nilai
NT-proBNP cairan pleura > 1500 pg/cc, mengartikan bahwa efusi terjadi karena
gagal jantung.
2. Empiema atau Efusi Parapneumonia (berkaitan dengan pneumonia bakteria, abses
paru, bronkiektasis). Terapi pasien ini dengan torakosintesis, pemberian antibiotik,
dan drainase.
3. Pleuritis TB
Disertai gejala demam, penurunan BB, dispneu, dan nyeri dada pleuritis.
Penatalaksanaan dengan pemberian obat anti TB minimal 9 bulan dan kortikosteroid
dosis 0,75-1 mg/KgBB/hari selama 2-3 minggu yang mana dosis akan diturunkan
betahap, torakosintesis jika terdapat sesak atau efusi lebih tinggi dari sela iga III.
4. Kilotoraks
Penyebabnya trauma. Hasil dari torakosistesis akan terlihat cairan seperti susu
dan trigliserida ≥ 1,2 mmol/L (110 mg/dL). Penatalaksanaannya dengan pemasangan
chest tube, tidak boleh lama-lama karena bisa mengakibatkan malnutrisi dan
penurunan status imun.
5. Hemotoraks
Penyebabnya trauma. Jika dalam cairan pleura terlihat darah, perlu dilakukan
pemeriksaan hematokrit cairan pleura. Hasil hematokrit ≥ ½ dibandingkan dengan
hasil darah tepi, berarti mengarah ke hemotoraks. Tata laksana hemotorak, yaitu
dengan chest tube torakostomi. Bila perdarahan > 200 ml/jam, torakotomi atau
torakostopi menjadi pilihan pertama.
6. Keganasan
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui lokasi tumor dan jenisnya.
Urutan keganasan penyebab efusi pleura mulai dari yang tersering antara lain tumor
paru, payudara, limfoma, gastrointestinal, urogenital, dan lainnya.
7. Kateter Intrapleura
Pemasangan kateter intrapleura merupakan tata laksana utama keganasan
dengan efusi pleura massif. Kateter yang digunakan yaitu water sealed drainage,
indwelling pleural catheter atau pigtail catheter.
I. KOMPLIKASI
Efusi pleura berulang, telokalisasi; empiema, gagal napas (Tanto dkk, 2014).
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Biodata
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Nyeri dada, sesak napas.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Diawali dengan adanya tanda-tanda seperti batuk, sesak napas, nyeri
pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan lain sebagainya.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya Riwayat TB paru, pneumonia, gagal jantung, trauma, asites, dan
lain sebagainya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit pada keluarga seperti Ca paru, TB paru, asma, dan lain
sebagainya.
3. Pola Fungsional Gordon Yang Terkait
a. Pola Nutrisi
Adanya anoreksia, penurunan berat badan.
b. Pola Persepsi Sensori dan Kognitif
Adanya nyeri pleuritik, nyeri akibat tindakan drainase.
c. Pola Aktivitas dan Latihan
Kelelahan pada aktivitas minimal karena kebutuhan O2 jaringan kurang
terpenuhi akibat sesak napas.
d. Istirahat dan Tidur
Karena adanya nyeri dada, sesak napas, dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahatnya.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Pasien tampak sesak napas
b. Tingkat kesadaran : Compos mentis
c. TTV : TD = Bisa hipotensi
N = Takikardi
RR = Takipneu
S = Bisa hipertermia
d. Kepala : Mesochepal
e. Mata : Konjungtiva anemis
f. Hidung : Sesak napas, napas cuping hidung
g. Dada : Gerakan pernapasan berkurang
Pulmo (paru-paru) :
Inspeksi = Terlihat ekspansi dada asimetris, tampak sesak napas, tampak
penggunaan otot bantu napas.
Palpasi = Vokal fremitus menurun.
Perkusi = Pekak, redup.
Auskultasi = Bunyi napas menghilang atau tidak terdengan di atas bagian yang
terkena.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Rontgen Toraks
Terlihat : Sudut kostofrenik tumpul, obstruksi diafragma sebagian “putih”
komplet (opaqul densitas) pada area yang sakit.
b. Torakosentesis
Mengambil cairan efusi dan untuk melihat jenis cairannya serta adakah
bakteri dalam cairan.
c. Biopsi Pleural
Jika penyebab efusi adalah Ca untuk menunjukkan adanya keganasan.
d. GDA
Variabel tergantung dari derjat fungsi paru yang dipengaruhi gangguan
mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. PaCO2 kadang-kadang
meningkat, PaO2 mungkin normal atau menurun, saturasi O2 biasanya menurun.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru sekunder
terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kemampuan ekspansi
paru, kerusakan membran alveolar-kapiler.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan metabolisme tubuh, anoreksi.
4. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.
5. Nyeri akut berhubungan dengan proses tindakan drainase.
6. Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan drainse.
C. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi


Pola napas tidak efektif NOC: NIC:
berhubungan dengan 1. Respiratory status: ventilation 1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning
penurunan ekspansi paru 2. Respiratory status: airway patency 2. Berikan O2....l/menit, metode.....
sekunder terhadap 3. Vital sign status 3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan nafas dalam
penumpukan cairan Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan 4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan vantilasi
dalam rongga pleura. mampu mempertahankan kebersihan jalan nafas 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
dengan kriteria : 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas 7. Auskultasi suara nafas. Catat adanya suara tambahan
yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu 8. Berikan bronkodilator
(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernapas 9. Monitor status dinamik
dengan mudah) 10. Berikan pelembab udara kassa basah NaCl lembab
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (frekuensi 11. Atur intake untuk ciran mengoptimalkan
pernafasan rentang normal, tidak ada suara nafas keseimbangan
abnormal) 12. Monitor respirasu dan status O2
3. Tanda-tanda vital dalam rentang normal. 13. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
mengencerkan sekret
14. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang
penggunaan peralata: suction, O2, inhalasi.
Gangguan pertukaran NOC: NIC: AIRWAY MANAGMENT
gas berhubungan dengan 1. Respiratory status: gas exchange 1. Buka jalan napas
penurunan kemampuan 2. Respiratory status: ventilation 2. Posisi pasien untuk memaksimalkan ventilasi
ekspansi paru, kerusakan 3. Vital sign status 3. Identifikasi pasien apakah memerlukan alat napas
membran alveolar- Setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah bantu buatan
kapiler. pertukaran gas dapat teratasi dengan kriteria hasil : 4. Pasang mayo bila perlu
1. Ventilasi dan oksigenasi adekuat 5. Lakukan fisioterapi dada
2. Bebas dari tanda distress pernapasan 6. Keluarkan sekret dengan batuk efektif atau suction
3. Ekspansi paru meningkat 7. Auskultasi suara napas
4. Pasien dapat batuk efektif, suara napas kembali 8. Berikan bronkodilator bila perlu
bersih, tidak ada sianosis, tidak ada pursed lips 9. Atur intake untuk cairan
5. Tanda vital dalam rentang normal. 10. Monitoring respirasi dan saturasi oksigen.
Nyeri akut berhubungan NOC : NIC : PAIN MANAGEMENT
dengan proses tindakan 1. Pain Level, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
drainase. 2. pain control, termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
3. comfort level kualitas dan faktor presipitasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
berkurang, dengan kriteria hasil: 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, menemukan dukungan
mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi 4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
2. Tanda vital dalam rentang normal 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
3. Tidak mengalami gangguan tidur. 6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi
7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas
dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
8. Tingkatkan istirahat
9. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab
nyeri
Kolaborasi :
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri bila perlu.

Ketidakseimbangan NOC: NIC: NUTRITION MANAGEMENT


nutrisi kurang dari 1. Nutritional status: adequacy of nutrient 1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
kebutuhan tubuh 2. Nutrional status: food and fluaid intake jumlah kalori yang di butuhkan pasien
berhubungan dengan 3. Weight control 2. Monitor adanya penurunan berat badan
peningkatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan nutrisi kuran 3. Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb
metabolisme tubuh, teratasi dengan kriteria hasil: dan kadar Ht
anoreksi. 1. Albumin serum 4. Monitor mual dan muntah
2. Hematokrit 5. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan
3. Hemoglobin konjungtiva
4. Total iron binding capasity 6. Monitor intake nutrisi
5. Jumlah limfosit 7. Atur posisi semi fowler atau fowler selama makan
6. Tidak terjadi penurunan berat badan. 8. Anjurkan banyak minum
9. Pertahankan terapi IV line
10. Beri makan sedikit tapi sering
Kolaborasi : pemberian antiemetik.
Hipertermi berhubungan NOC: NIC: FEVER TREATMENT
dengan proses inflamasi. Thermoregulation 1. Monitoring suhu sesering mungkin
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan 2. Monitoring warna dan suhu kulit
masalah hipertermi teratasi dengan kriteria hasil: 3. Monitoring TTV
1. Suhu tubuh dalam rentang normal 4. Monitoring penurunan tingkat kesadaran
2. Nadi dan RR dalam rentang normal 5. Monitoring hasil lab
3. Tidak ada perubahan warna kulit 6. Monitoring intake dan output
4. Tidak ada pusing. 7. Berikan kompres
8. Selimuti pasien
9. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian tipis
10. Tingkatkan sirkulasi udara
11. Monitoring tanda hipertensi atau hipotensi
12. Anjurkan pasien meningkatkan intake cairan
Kolaborasi : pemberian antipiretik.
Risiko infeksi NOC: NIC: INFECTION CONTROL
berhubungan dengan Immune status 1. Bersihkan lingkungan sekitar pasien
tindakan drainse. Knowledge : infection control 2. Pertahankan teknik isolasi
Risk control 3. Batasi pengunjung bila perlu
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan
tidak terjadi masalah infeksi dengan kriteria hasil: 5. Gunakan sabun anti mikroba
1. Pasien bebas dari tanda gejala infeksi 6. Mencuci tangan 5 momen
2. Mendiskripsikan proses penularan terjadinya 7. Pertahankan lingkungan aseptik
penyakit dan daktor yang mempengaruhi 8. Monitor hasil lab : leukosit
3. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah 9. Inspeksi kondisi luka
terjadinya infeksi 10. Pertahankan teknik aspetik dalam melakukan
4. Menunjukkan kemampuan untuk mncegah tindakan
terjadinya infeksi 11. Dorong pasien untuk istirahat
5. Nilai leukosit dalam batas normal. 12. Dorong dalam pemasukan cairan dan nutrisi pasien
13. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi.
Kolaborasi : terapi antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, A.H. & Kusuma H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa

Medis dan NANDA NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 3. Yogyakarta: MediAction.

Puspita, I., Soleha, T. U., & Berta, G. (2017). Penyebab Efusi Pleura di Kota Metro pada

tahun 2015. Jurnal Agromedicine, 4(1), 25-32. Diakses pada tanggal 22 April 2018 dari

http://juke.kedokteran.unila. ac.id/index.php/agro/article/view/1545.

Somantri, Irman. (2008). Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan Pada Pasien

dengan Gangguan Ssistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Tanto, dkk. (2014). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ke-4. Jakarta: Media Aesculapius.

Anda mungkin juga menyukai