Anda di halaman 1dari 3

RISALAH AUDIENSI

DPD ASOSIASI GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INDONESIA


(DPD AGPAII) KABUPATEN SUKOHARJO
DENGAN DPRD KABUPATEN SUKOHARJO

Paparan Persoalan

Guru haruslah seorang yang profesional. Begitulah amanat UU Nomor 14 Tahun


2005 tentang Guru dan Dosen. Untuk dapat disebut guru profesional, UU tersebut
mengamanatkan seorang guru haruslah memiliki Sertifikat Pendidik. Dari sini terlihat
bahwa seorang guru berhak atas sertifikat pendidik, sedang kewajiban memberikan
sertifikat pendidik dibebankan kepada pemerintah, baik Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dan/ ataupun Kementerian Agama Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 yang merupakan tindak lanjut atas
keluarnya surat edaran bersama Sekretaris Jendral Departemen Agama dan Direktur
Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen
Pendidikan Nasional Nomor: SJ/DJ.I/Kp.02/1569/ 2007 dan Nomor: 4823/F/SE/ 2007
tentang sertifikasi pendidik bagi guru agama dan guru mata pelajaran umum di madrasah
mengamanatkan adanya pemisahan pengadaan dan pengelolaan guru antara yang
Departemen Pendidikan dan Departemen Agama (sekarang kementerian), yang
keduanya sama-sama mengelola pendidikan. Dalam pasal 3 disebutkan bahwa
pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama. Otomatis di dalamnya
termasuk dalam hal sertifikasi bagi guru Agama.

Sejak digulirkannya Program Seritifikasi Guru, Kemenag telah melakukan PLPG


untuk guru PAI pada tahun 2008, 2010, 2011, 2012, 2013, 2015, dan 2017. Pada tahun
2013 kuota PLPG untuk Guru PAI sangat besar tapi tidak bisa diikuti oleh banyai GPAI
karena harus mengantongi SK Mengajar 2005. Point ini masih bisa dimaklumi karena
juga berlaku bagi guru-guru mapel umum di Kemdikbud. Kuota paling sedikit terjadi pada
tahun 2017. Tidak banyak kabupaten/kota yang bisa mengirim peserta PLPG. Kabupaten
Sukoharjo hanya bisa mengirim satu GPAI. Pada tahun 2017 tersebut aturan PLPG PAI
masih harus menunjukkan SK Mengajar 2005, padahal telah terbit PERMENDIKBUD
NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG SERTIFIKASI BAGI GURU YANG DIANGKAT
SEBELUM TAHUN 2016 yang secara otomatis mengganti/mencabut Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam
Jabatan (Point Permendikbud Nomor 5 Tahun 2012 salah satunya mempersyaratkan SK
2005). Guru-guru PNS maupun Guru Tetap Yayasan mapel umum mayoritas telah
mengikuti PLPG dengan mengacu pada nilai Uji Kompetensi Guru online oleh Dinas
Pendidikan dengan nilai minimal 55. Sistem UKG ini belum dilakukan oleh Kemenag.

Pada awal tahun 2019 sudah diberlakukan PPG (termasuk oleh Kemdikbud). Guru
PNS, GTY, maupun GTT mapel umum yang memiliki Surat Penugasan Kepala Dinas
Pendidikan telah berproses mengikuti PPG. Sedangkan Kemenag mengadakan Pretes
PPG pada akhir 2018 untuk menyeleksi calon peserta PPG 2019 dengan tetap
mempersyaratkan SK Mengajar 2005 bagi GPAI calon peserta. Itupun kuotanya sangat
terbatas, yakni hanya 2000 se-Indonesia.

Pada akhir tahun 2019 Kementerian Agama akhirnya menyelenggarakan Seleksi


Akademik PPG bagi Guru PAI TMT mengajar sampai 2015. Selanjutnya, Kementerian
Agama melalui surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
Republik Indonesia Nomor B-10/DJ.I/Dt.I.IV/HM.01.1/01/2020 tertanggal 3 Januari 2020
perihal Hasil Seleksi Akademik Calon Peserta PPG 2019 menyatakan bahwa kuota PPG
yang dimiliki (dialokasikan) Kemenag pada tahun 2020 hanyalah sejumlah 1000 orang
se-Indonesia, sementara jumlah kelulusan seleksi akademik calon peserta PPG 2020
sebesar 19300an guru. Angka sebesar ini belum termasuk angka kelulusan seleksi
akademik tahun 2018, yang dinyatakan tidak kurang dari 11000 guru serta guru yang
tidak lulus PLPG pada tahun 2017. Sehingga dapat dipastikan jumlah GPAI yang
memenuhi syarat PPG (sertifikasi) tetapi belum diberangkatkan dalam kuota PPG tidak
kurang dari 30000 GPAI. Kalau rata-rata tiap tahun kuota yg tersedia 1000 maka dengan
jumlah GPAI yg belum sertifikasi 30000 orang maka butuh 30 tahun untuk
menghabiskannya. Bisa-bisa sampai pensiun pun banyak GPAI tidak berkesempatan
mengikuti sertifikasi. Melalui surat edaran tersebut pula, GPAI “diarahkan (dihimbau)‟
untuk membangun komunikasi dengan masing-masing Pemda, agar dapat ikut
membiayai pelaksanaan PPG bagi GPAI.

Sertifikat Pendidik sangatlah berarti bagi seorang guru. Akibat ketiadaan sertifikat
pendidik, seorang guru PAI harus dihadapkan pada resiko-resiko sebagaimana berikut:

1. Secara de jure tidak akan pernah disebut dan diperlakukan sebagai pendidik
profesional. Hal ini tentu akan berdampak pada resiko cacat moral dalam suatu
lingkungan pendidikan, utamanya ketika problem ketiadaan sertifikat pendidik
tersebut hanya terjadi pada GPAI, sementara guru-guru lainnya telah memiliki
sertifikat pendidik.

2. Terhambat jenjang kepangkatan. Sebagaimana diamanahkan dalam Permen PAN


dan RB Nomor 16 tahun 2009, bahwa seorang guru ketika ingin mengajukan
kenaikan pangkat dan jabatan harus terlebih dahulu mengajukan kenaikan jabatan
fungsional (Jabfung), dan untuk mengajukan Jabfung, seorang guru harus dapat
menyertakan sertifikat pendidik. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Sukoharjo mempersyaratkan untuk kenaikan pangkat guru pertama kali harus
menunjukkan sertifikat pendidik.

3. Tidak dapat mengikuti seleksi calon kepala sekolah. Kepala Sekolah merupakan
“jabatan tertinggi‟ bagi seorang guru dalam lingkup sekolah. Meskipun kepala
sekolah hanya sebatas tugas tambahan, tetapi kewenangan yang diberikan kepada
kepala sekolah dalam mengatur pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran
sangatlah besar. Oleh karenanya, sebagian besar guru, termasuk GPAI juga
menginginkan dapat sampai pada jabatan tersebut. Tetapi bagi seorang GPAI yang
tidak memiliki sertifikat pendidik, maka jabatan itu sudah dapat dipastikan tidak akan
pernah dapat dicapainya. Sekedar contoh, hal ini dialami oleh Agus Sugiyanto,
S.Pd.I, M.Pd. guru PAI PNS SDN Joho 01 Kecamatan Mojolaban dan Indriyani,
S.Pd.I, M.Pd.I guru PAI PNS SDN Majasto 01 Kecamatan Tawangsari yang tidak
bisa mengikuti seleksi calon kepala sekolah tahun 2019 meskipun sudah berpangkat
Penata, III/c.

4. Tidak dapat ikut kompetisi sebagai guru berprestasi. Prestasi adalah suatu jenis
pencapaian dari sebuah kerja keras. Setiap orang yang berkarya pasti ingin
mendapatkan prestasi. Bagi seorang guru, prestasi yang sering kali mendapat
pengakuan dari berbagai pihak adalah memenangkan kompetisi guru berprestasi.
Namun bagi seorang GPAI yang tidak memiliki sertifikat pendidik, harapan tersebut
harus dikubur dalam-dalam.

5. Gagal sejahtera. Meskipun persoalan rizqi ada di tangan yang Maha Kuasa, tetapi
bagi seorang guru, besarnya tunjangan profesi yang dberikan kepada guru yang
telah bersertifikat pendidik, sangatlah bermakna guna menunjang totalitas
pengabdiannya dalam mencerdaskan anak bangsa. Namun bagi seorang GPAI yang
tidak memiliki sertifikat pendidik, maka untuk mendapatkan jumlah penghasilan yang
sama dengan sesama guru yang sudah sertifikasi, dia harus nyambi aktivitas/
pekerjaan lainnya. Karena meskipun beban tugas yang diemban di sekolah itu sama,
tetapi take home pay mereka berbeda secara mendasar. Dan ini merupakan benih
kecemburuan

6. Ancaman eksodus besar-besaran. Kesabaran dan daya tahan setiap orang adalah
berbeda dan ada batasnya. Bagi sebagian GPAI, mengajar adalah pengabdian dan
ibadah, tanpa harus melihat upah yang diterima. Tetapi bagi sebagian lainnya,
mengajar adalah profesi yang menuntut adanya pemenuhan hak dan kewajiban
secara berimbang. Ketika seorang GPAI di dalam satu lingkungan pendidikan
merupakan satu-satunya guru yang tidak profesional, tidak berkesempatan dalam
pengembangan diri dan karir serta jabatan, serta tidak tersejahterakan, sementara
pada saat bersamaan, dengan beban tugas yang sama, guru-guru lain mendapatkan
semuanya, maka salah satu pilihan yang diambil adalah mutasi, baik ke guru kelas
ataupun ke jabatan struktural. Ini yang telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Solusi yang Ditawarkan sekaligus Permohonan

Mengacu pada persoalan di atas dan merujuk pada Permendikbud Nomor 37


Tahun 2017 Pasal 8 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pelaksanaan program PPG bagi
Guru dalam Jabatan sesuai dengan kuota nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) dibiayai oleh: a. pemerintah pusat; b. pemerintah daerah; dan/atau c. satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, maka kami memohon kepada
Pimpinan DPRD dan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo berkenan untuk menganggarkan
pembiayaan PPG PAI hasil Seleksi Akademik 2019 sejumlah 106 Guru PAI pada tahun
2020 ini. Rincian calon peserta PPG PAI Tahun 2020 sebagai berikut:

No. Guru PAI Jumlah Ket.


1. PNS SD & SMP 18
2. CPNS SD & SMP 10
4. PNS SMA/SMK 5
5. GTT SD & SMP Negeri 43
6. GTT SMA/SMK Negeri 3
7. GTY SD & SMP Swasta 14
8. GTY SMA/SMK Swasta 13
Total 106

Adapun teknis pembiayaan PPG PAI oleh pemerintah daerah menurut informasi
dari Kepala Subdirektorat Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama RI, Drs. Nurul
Huda, M.Ag. adalah sebagai berikut:
a. Adanya Surat Kesediaan Pembiayaan PPG dari Pemerintah Kabupaten Sukoharjo
ditujukan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI
tembusan kepada Kanwil. Kemenag Provinsi Jawa Tengah dan KanKemenag
Kabupaten Sukoharjo.
b. Pihak Dirjen. Pendidikan Islam Kementerian Agama menyampaikan nama-nama
calon Peserta PPG yang telah lolos seleksi akademik.
c. Pemerintah daerah menunjuk LPTK yang akan menyelenggarakan PPG dan
selanjutnya membuat MOU / Surat Perjanjian Kerja Sama.
d. Standar biaya PPG tiap peserta adalah Rp. 7.500.000,-. Menurut informasi, untuk
PPG tahun 2019 kemarin Kemenag membayar Rp. 6.100.000,-/peserta setelah
bernegosiasi dengan pihak LPTK. Kalaupun terjadi kenaikan, maksimal Rp.
6.250.000,-/peserta.

Demikian risalah ini kami susun, besar harapan kami permohonan ini bisa
dikabulkan. Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih.

Sukoharjo, 1 Februari 2020

Anda mungkin juga menyukai