Paparan Persoalan
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 yang merupakan tindak lanjut atas
keluarnya surat edaran bersama Sekretaris Jendral Departemen Agama dan Direktur
Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen
Pendidikan Nasional Nomor: SJ/DJ.I/Kp.02/1569/ 2007 dan Nomor: 4823/F/SE/ 2007
tentang sertifikasi pendidik bagi guru agama dan guru mata pelajaran umum di madrasah
mengamanatkan adanya pemisahan pengadaan dan pengelolaan guru antara yang
Departemen Pendidikan dan Departemen Agama (sekarang kementerian), yang
keduanya sama-sama mengelola pendidikan. Dalam pasal 3 disebutkan bahwa
pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama. Otomatis di dalamnya
termasuk dalam hal sertifikasi bagi guru Agama.
Pada awal tahun 2019 sudah diberlakukan PPG (termasuk oleh Kemdikbud). Guru
PNS, GTY, maupun GTT mapel umum yang memiliki Surat Penugasan Kepala Dinas
Pendidikan telah berproses mengikuti PPG. Sedangkan Kemenag mengadakan Pretes
PPG pada akhir 2018 untuk menyeleksi calon peserta PPG 2019 dengan tetap
mempersyaratkan SK Mengajar 2005 bagi GPAI calon peserta. Itupun kuotanya sangat
terbatas, yakni hanya 2000 se-Indonesia.
Sertifikat Pendidik sangatlah berarti bagi seorang guru. Akibat ketiadaan sertifikat
pendidik, seorang guru PAI harus dihadapkan pada resiko-resiko sebagaimana berikut:
1. Secara de jure tidak akan pernah disebut dan diperlakukan sebagai pendidik
profesional. Hal ini tentu akan berdampak pada resiko cacat moral dalam suatu
lingkungan pendidikan, utamanya ketika problem ketiadaan sertifikat pendidik
tersebut hanya terjadi pada GPAI, sementara guru-guru lainnya telah memiliki
sertifikat pendidik.
3. Tidak dapat mengikuti seleksi calon kepala sekolah. Kepala Sekolah merupakan
“jabatan tertinggi‟ bagi seorang guru dalam lingkup sekolah. Meskipun kepala
sekolah hanya sebatas tugas tambahan, tetapi kewenangan yang diberikan kepada
kepala sekolah dalam mengatur pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran
sangatlah besar. Oleh karenanya, sebagian besar guru, termasuk GPAI juga
menginginkan dapat sampai pada jabatan tersebut. Tetapi bagi seorang GPAI yang
tidak memiliki sertifikat pendidik, maka jabatan itu sudah dapat dipastikan tidak akan
pernah dapat dicapainya. Sekedar contoh, hal ini dialami oleh Agus Sugiyanto,
S.Pd.I, M.Pd. guru PAI PNS SDN Joho 01 Kecamatan Mojolaban dan Indriyani,
S.Pd.I, M.Pd.I guru PAI PNS SDN Majasto 01 Kecamatan Tawangsari yang tidak
bisa mengikuti seleksi calon kepala sekolah tahun 2019 meskipun sudah berpangkat
Penata, III/c.
4. Tidak dapat ikut kompetisi sebagai guru berprestasi. Prestasi adalah suatu jenis
pencapaian dari sebuah kerja keras. Setiap orang yang berkarya pasti ingin
mendapatkan prestasi. Bagi seorang guru, prestasi yang sering kali mendapat
pengakuan dari berbagai pihak adalah memenangkan kompetisi guru berprestasi.
Namun bagi seorang GPAI yang tidak memiliki sertifikat pendidik, harapan tersebut
harus dikubur dalam-dalam.
5. Gagal sejahtera. Meskipun persoalan rizqi ada di tangan yang Maha Kuasa, tetapi
bagi seorang guru, besarnya tunjangan profesi yang dberikan kepada guru yang
telah bersertifikat pendidik, sangatlah bermakna guna menunjang totalitas
pengabdiannya dalam mencerdaskan anak bangsa. Namun bagi seorang GPAI yang
tidak memiliki sertifikat pendidik, maka untuk mendapatkan jumlah penghasilan yang
sama dengan sesama guru yang sudah sertifikasi, dia harus nyambi aktivitas/
pekerjaan lainnya. Karena meskipun beban tugas yang diemban di sekolah itu sama,
tetapi take home pay mereka berbeda secara mendasar. Dan ini merupakan benih
kecemburuan
6. Ancaman eksodus besar-besaran. Kesabaran dan daya tahan setiap orang adalah
berbeda dan ada batasnya. Bagi sebagian GPAI, mengajar adalah pengabdian dan
ibadah, tanpa harus melihat upah yang diterima. Tetapi bagi sebagian lainnya,
mengajar adalah profesi yang menuntut adanya pemenuhan hak dan kewajiban
secara berimbang. Ketika seorang GPAI di dalam satu lingkungan pendidikan
merupakan satu-satunya guru yang tidak profesional, tidak berkesempatan dalam
pengembangan diri dan karir serta jabatan, serta tidak tersejahterakan, sementara
pada saat bersamaan, dengan beban tugas yang sama, guru-guru lain mendapatkan
semuanya, maka salah satu pilihan yang diambil adalah mutasi, baik ke guru kelas
ataupun ke jabatan struktural. Ini yang telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Adapun teknis pembiayaan PPG PAI oleh pemerintah daerah menurut informasi
dari Kepala Subdirektorat Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama RI, Drs. Nurul
Huda, M.Ag. adalah sebagai berikut:
a. Adanya Surat Kesediaan Pembiayaan PPG dari Pemerintah Kabupaten Sukoharjo
ditujukan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI
tembusan kepada Kanwil. Kemenag Provinsi Jawa Tengah dan KanKemenag
Kabupaten Sukoharjo.
b. Pihak Dirjen. Pendidikan Islam Kementerian Agama menyampaikan nama-nama
calon Peserta PPG yang telah lolos seleksi akademik.
c. Pemerintah daerah menunjuk LPTK yang akan menyelenggarakan PPG dan
selanjutnya membuat MOU / Surat Perjanjian Kerja Sama.
d. Standar biaya PPG tiap peserta adalah Rp. 7.500.000,-. Menurut informasi, untuk
PPG tahun 2019 kemarin Kemenag membayar Rp. 6.100.000,-/peserta setelah
bernegosiasi dengan pihak LPTK. Kalaupun terjadi kenaikan, maksimal Rp.
6.250.000,-/peserta.
Demikian risalah ini kami susun, besar harapan kami permohonan ini bisa
dikabulkan. Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih.