Anda di halaman 1dari 13

Pembahasan Mosi

17. Bahwa guru wajib mengikuti Program Pendidikan Profesi Guru

POSITIF

Menurut UU No 20/2003 tentang SPN pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang
mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.
Pendidikan Profesi Guru (PPG) yaitu program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1 PGSD
dan S1/DIV kependidikan non PGSD dan S1 Psikologi yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar menguasai
kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik
profesional (sesuai UU No. 14/2005) pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.
Terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat dalam segala aspek kehidupan akibat dari gelombang globalisasi serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan serangkaian tantangan baru yang perlu disikapi dengan cermat
dan sistematis. Perubahan tersebut secara khusus berdampak terhadap tuntutan akan kualitas pendidikan secara umum, dan
kualitas pendidikan guru secara khusus untuk menghasilkan guru yang profesional melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Guru profesional adalah guru yang dalam melaksanakan tugasnya mampu menunjukkan kemampuannya yang ditandai
dengan penguasaan kompetensi akademik kependidikan dan kompetensi substansi dan/atau bidang studi sesuai bidang
ilmunya. Calon guru harus disiapkan menjadi guru profesional melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Menurut Undang-
Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah
program sarjana yang mempersiapkan mahasiswa didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.

Tujuan.. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87


TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI GURU PRAJABATAN
Pasal 2
a. untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam
merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran;
b. menindaklanjuti hasil penilaian dengan melakukan pembimbingan, dan
pelatihan peserta didik; dan
c. mampu melakukan penelitian dan mengembangkan profesionalitas secara
berkelanjutan.

permendiknas dengan nomor 8 pada tahun 2009, disebutkan bahwa PPG memiliki tujuan untuk mengembangkan
profesionalitas secara berkala dan berkelanjutan, menghasilkan guru yang memiliki berbagai kompetensi dalam pelaksanaan
serta perancangannya, menilai evaluasi belajar, memberikan bimbingan serta pelatihan kepada murid ketika sedang
melakukan penelitian, dan terakhir menindaklanjuti hasil penilaian dari kegiatan belajar berlangsung.

Pendidikan profesionalisme guru memiliki syarat dan ketetapan. Yang pertama ialah harus mempunyai kualifikasi akademik
sarjana atau minimal diploma empat dari prodi atau program studi yang telah terakreditasi, kecuali untuk prodi PGPAUD
dan PGSD. Selanjutnya, mau mengajar pada satuan pendidikan yang berada dibawah naungan kementrian pendidikan
nasional. Kemudian menjadi guru PNS untuk mengajar dalam satuan pendidikan yang telah diselenggarakan pemerintah
daerah atau menjabat sebagai guru yang akan dipekerjakan dengan satuan pendidikan namun yang menyelenggarakan adalah
masyarakat. Guru non PNS sebagai guru tetap dalam naungan yayasan, memiliki NUPTK dan memiliki masa kerja minimal
lima tahun sebagai guru.

Pendidikan profesi guru dapat ditemui dalam surat-surat ketentuan yang telah tercantum dalam permendiknas dalam nomor,
8 dan 9, serta permendikbud nomor 05, mengenai program PPG jabatan maupun pra jabatan.

terjadi ketimpangan antara lulusan kependidikan dan lulusan non kependidikan. Sehingga sampai saat ini keberadaan PPG
masih menjadi kontroversi. Namun dilain sisi PPG sebetulnya dapat mempersempit lapangan kerja karena lulusan dari non
kependidikan dapat menjadi guru. Sehingga orang yang tidak sebenarnya bercita-cita menjadi guru bisa mengalihkan
profesinya untuk menjadi guru. Tetapi dilain pihak ada yang mendukung adanya PPG. Dengan memerhatikan dampak yang
luas dalam sistem pendidikan di tanah air, formulasi pendidikan profesional guru tidak boleh dilakukan seenaknya, hanya
untuk memenuhi target proyek. Dalam hal ini, kita perlu lebih bijaksana karena kini saatnya menata Pendidikan Profesional
Guru secara cermat dan sungguh-sungguh untuk menuai generasi guru baru yang lebih berkompenten dalam mengubah mutu
pendidikan, mengubah menjadi lebih baik, dan bukan merusaknya.

Kesimpulan
1. Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk lulusan S1 Kependidikan dan
S1/D-IV non Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar mereka dapat menjadi guru yang profesional
serta memiliki berbagai kompetensi secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan dan dapat memperoleh sertifikat
pendidik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Penyelenggaraan PPG berdasarkan undang-undang dan peraturan adalah: PPG pasca S-1 kependidikan yang masukannya
berasal dari lulusan S1 kependidikan dengan struktur kurikulum subject specific paedagogy (pendidikan bidang studi) dan
PPL (Program Pengalaman Lapangan) Kependidikan.
4. PPG pasca S-1/D-IV non kependidikan yang masukannya berasal dari lulusan S-1/D-IV non kependidikan, dengan
struktur kurikulum matakuliah akademik kependidikan (paedagogical content), subject specific paedagogy (pendidikan
bidang studi), dan PPL Kependidikan.

NEGATIF

Para guru di Kota Tasikmalaya mengaku keberatan jika harus kembali mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) seperti
yang disarankan Bidang Kepegawaian Dinas Pendidikan untuk bisa memenuhi jam mengajar selama 24 jam.
Kalau harus PPG lagi itu berat bagi kami. Selain hasil yang akan diberikan kepada murid bisa tidak akan maksimal, ujar
salah seorang guru di SMPN 5 Tasikmalaya Dani Heryana saat ditemui Radar,kemarin (3/4).
Dia menjelaskan, dirinya tidak setuju dengan dengan cara kembali PPG. Karena waktu penyesuaian untuk pelajaran baru
tidak sesuai dengan sertifikatnya, dan itu akan membutuhkan waktu lama untuk penyesuaiannya. Selain dari sisi mengejar
materi pelajaran hasilnya tidak akan maksimal. Pendidikan memang tidak rugi, tapi waktu?. Kalau pendidikan lagi waktu
yang singkat belum tentu memahami sepenuhnya pelajaran baru, tuturnya.
Permasalahan lain, jika harus mengikuti PPG yakni dari sisi pembiayaan untuk mengikuti PPG tersebut. Kalau mengikuti
pendidikan otomatis tunjangan sertifikasi diberhentikan atau seperti apa, katanya.
Saat ini, kata dia, untuk memenuhi jam sesuai target selama 24 jam. Dirinya terpaksa mencari ke daerah Kabupaten
Tasikmalaya. Kalau sekarang beda. Dulu ke depag bisa masuk kalau sekarang tidak bisa karena tidak valid dengan sistem
dapodik, terangnya.
Guru lainnya, Adid Suryadi mengungkapkan bila PPG yang disarankan Dinas Pendidikan meruapakan salah satu solusi
untuk mendapatkan jam mengajar selama 24 jam dirinya hanya bisa menurut saja. Tapi idealisme bertolak belakang.
Karena dasar kompetensi awal kita berbeda nantinya, ujar dia.
Menurutnya, bila usulan kembali melaksanakan PPG diwajibkan dalam memenuhi kebutuhan jam mengajar. Dirinya sangat
menyayangkan, karena belum tentu guru olahraga setelah mengikuti PPG kemudian mengajar Bahasa Indonesia akan
mampu menguasai. Jangan sampai keahlian guru di satu bidang dipaksakan untuk bisa menjara di bidang lain. Ini saya rasa
tidak efektif, tuturnya.
Sebelumnnya,Bidang Kepegawaian Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya menyarankan, agar guru yang tidak kebagian
jadwal mengajar selama 24 jam diminta untuk kembali ikut Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan mengambil mata pelajaran
yang saat ini jarang terisi di sekolah. Jadi saya sarankan agar tunjangan sertifikasi gurunya tetap aman. Lebih baik para guru
kembali ikut PPG, ujar Kasubag Kepegawaian Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya Padil. (gna)

Pendidikan Profesi Guru (PPG) sedang menjadi perdebatan. Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) itu dianggap ngawur oleh banyak kalangan, terutama para pemerhati pendidikan, guru-guru, mahasiswa,
juga sebagian masyarakat umum.

Hal itu tidak heran. Sebab, dalam kebijakan tersebut jelas tersurat, bahwa profesi guru terbuka bagi semua lulusan program
studi (prodi), baik kependidikan maupun non- kependidikan, asal yang bersangkutan lulus PPG. Aturan ini dinilai tidak adil
bagi lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).

Empat tahun proses pendidikan yang mereka tempuh di LPTK, seperti tidak ada artinya, karena disetarakan dengan lulusan
non-LPTK yang juga memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti PPG. Baik dari lulusan LPTK maupun non-LPTK,
sama-sama harus menempuh PPG selama 1 atau 2 semester --bergantung prodi PPG yang dipilih-- bila mereka ingin
menjadi guru.

Guru profesional adalah guru yang dalam melaksanakan tugas mampu menunjukkan kemampuannya, yang ditandai dengan
penguasaan kompetensi akademik kependidikan dan kompetensi substansi dan/atau bidang studi sesuai bidang ilmunya.
Calon guru harus disiapkan menjadi guru profesional melalui pendidikan profesi guru.

Menurut Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan profesi adalah pendidikan
tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian
khusus. Sesuai pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun 2009 tentang Pendidikan Profesi
Guru, program Pendidikan Profesi Guru Prajabatan (PPG Prajab) adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk
mempersiapkan lulusan S-1 kependidikan dan S-1/D-IV non kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar
menguasai kompetensi guru secara utuh sesuai dengan standar nasional pendidikan. Setelah menempuh PPG, peserta
memperoleh sertifikat pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
PPG sebenarnya sudah disiapkan sejak lama. Paling tidak sejak tahun 2008/2009, tim PPG pusat dari Dikti sudah melakukan
berbagai kegiatan, mulai menyusun naskah akademik, buku panduan, dan merancang kurikulum. Pada saat itu, fokus
persiapan selain untuk PPG Prajab, juga untuk PPG dalam Jabatan (PPG Daljab). PPG Daljab direncanakan segera
dilaksanakan dengan salah satu misi mempercepat penuntasan sertifikasi guru. Mempertimbangkan jumlah guru yang belum
tersertifikasi dan target penuntasan sertifikasi guru pada tahun 2015, diprediksi target tersebut tidak akan tercapai bila hanya
mengandalkan jalur portofolio dan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG).
Karena itu, pada tahun yang sama dipaculah LPTK negeri maupun swasta untuk menyusun proposal penyelenggaraaan PPG.
Berbagai komponen yang harus ada dalam proposal di antaranya adalah izin penyelenggaraan prodi yang dikeluarkan oleh
Dikti, bukti akreditasi prodi (minimal harus terakreditasi B), rancangan kurikulum PPG yang diusulkan, SDM (minimal 2
doktor dan 4 magister), rasio jumlah dosen dan mahasiswa, dan sebagainya.

Selain itu, sarana/prasarana dan keberadaan unit PPG serta jaringan kemitraan dengan sekolah. Juga mesti disiapkan. Visitasi
dalam rangka verifikasi lapangan pada semua prodi yang mengajukan proposal dilakukan pada menjelang akhir tahun 2009,
dengan melibatkan asesor dosen-dosen LPTK yang dinilai berkompeten dan memang sudah terlibat sejak awal penyiapan
program PPG. Serangkaian workshop penyusunan Buku Pedoman PPG, Kurikulum PPG, dan perangkat workshop dan
asesmen, juga dilaksanakan, baik secara lokal oleh masing-masing LPTK maupun secara nasional dengan Dikti sebagai
penyelenggaranya.

Berdasarkan hasil penilaian proposal dan visitasi, maka diterbitkanlah Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
(Kepmendiknas) Nomor 126/P/2010 tentang LPTK Penyelenggara PPG dalam Jabatan. Ada sebanyak 56 LPTK negeri dan
swasta di seluruh Indonesia yang dinilai layak sebagai penyelenggara PPG Daljab. Dalam Kepmendiknas tersebut juga
sudah ada penetapan kuota untuk peserta PPG tahun 2010, 2011, dan 2012, yaitu sejumlah 13.020 peserta/tahun.

Menanggapi Kepmendiknas tersebut, semua LPTK yang telah ditetapkan sebagai penyelenggara PPG berbenah. Dikti juga
mengucurkan sejumlah dana pada LPTK untuk revitalisasi PPG. Dana tersebut dialokasikan untuk penyiapan kurikulum,
perangkat pembelajaran, pengadaan buku-buku referensi, dan sistem penjaminan mutu PPG. Setiap prodi juga menyusun
Buku Pedoman PPG Daljab dengan memanfaatkan dana tersebut.

Sosialisasi PPG Daljab dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media dan forum, baik melalui website masing-masing
LPTK, mengirimkan pemberitahuan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota dan bahkan langsung ke sekolah-sekolah.
Demikian juga, diundang para kepala dinas dan guru-guru khusus dalam rangka sosialisasi PPG, dan sebagainya.

Pada saat itu, Dikti mengalokasikan juga sejumlah dana untuk membantu biaya pendidikan peserta, yang jumlah nominalnya
telah dihitung dan disepakati bersama-sama dengan LPTK penyelenggara PPG. Namun, kepastian tentang dana tersebut
tidak kunjung datang sampai akhir tahun 2010. Berbagai kegiatan persiapan yang telah dilakukan LPTK seperti tak berarti,
meskipun optimisme tetap ada, bahwa PPG akan dilaksanakan tahun 2011. Puluhan pertanyaan seputar kapan pendaftaran
PPG, apa persyaratannya, kapan dilaksanakan, dan seterusnya terlontar dari berbagai pihak, terutama guru-guru. Namun
yang bisa dijawab oleh LPTK adalah bahwa PPG yang sedianya akan dilaksanakan pada tahun 2010 itu ditunda, mungkin
dimulai tahun 2011.

Pada tahun 2011 terbitlah Kepmendiknas Nomor 052/P/2011 tentang Perubahan atas Kepmendiknas Nomor 126/P/2010
tentang LPTK Penyelenggaran PPG Dalam Jabatan. Tidak ada yang berubah dari Kepmen tersebut, kecuali tahun untuk
kuota PPG Daljab, yaitu untuk tahun 2011, 2012, dan 2013. Jumlah LPTK Penyelenggara PPG daljab dan jumlah kuota
peserta sama dengan Kepmen sebelumnya.

Dengan semangat baru, LPTK kembali melakukan berbagai kegiatan persiapan dan sosialisasi. Pada saat itu diinformasikan,
bahwa PPG Daljab mungkin akan dilaksanakan pada Maret 2011.Ternyata sampai pada akhir Maret, belum juga ada
kepastian, begitu juga pada bulan-bulan selanjutnya. Hingga pada minggu kedua Agustus, Dikti mengumumkan adanya
perekrutan PPG Daljab, yang pendaftarannya secara online melalui SIM-PPG pada laman http://ksg.dikti.go.id/ppg.

Bahkan pada saat itu pun, kepastian tentang beasiswa PPG belum ada kejelasan, namun LPTK didorong untuk membuka
pendaftaran. Beberapa LPTK menyambut himbauan itu dengan bersemangat. Mereka gencar melakukan sosialisasi agar
banyak guru yang mendaftarkan diri. Sebagian LPTK menanggapi dengan setengah hati, melakukan sosialisasi dan
rekrutmen dengan semangat yang biasa-biasa saja. Pendaftaran itu dibuka sampai minggu kedua November, dan seleksi
administrasi serta seleksi akademik dilaksanakan pada minggu-minggu berikutnya. Pelaksanaan PPG Daljab direncanakan
pada minggu pertama Desember 2011.

Pada saat itu, Dikti juga meluncurkan program yang lain, yaitu SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Tertinggal,
dan Terluar), program S1 KKT (S1 Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan), program PPGT (Pendidikan Profesi
Guru Terintegrasi), dan beberapa program yang lain. Konon, karena dana yang digunakan adalah dana APBN-P, sehingga
kepastian cairnya selalu menjelang tahun anggaran tutup. Maka hampir semua LPTK yang ketiban sampur untuk
melaksanakan program itu benar-benar kepontal-pontal. Hanya beberapa LPTK yang akhirnya bisa melaksanakan PPG
Daljab, dengan menarik lebih dulu biaya pendidikan dari peserta PPG, dan biaya itu dijanjikan akan dikembalikan bila
beasiswa dari Dikti telah cair.

Tahun 2012 memberikan harapan baru untuk penyelenggaraan PPG Daljab. Kabar terbaru menginformasikan, bahwa dana
PPG di-DIPA-kan ke LPMP melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penjaminan Mutu Pendidikan
(BPSDM-PMP). Artinya, dana itu tidak lagi melalui Dikti seperti tahun-tahun sebelumnya. Maka,LPTK pun kembali
berbenah dengan semangat tinggi.

Di Jawa Timur, LPTK Penyelenggaran PPG sebanyak 8 perguruan tinggi,yakni Unesa, UM, Unej, Unipa, Unmuh Malang,
Unisma Malang , IKIP PGRI Madiun, dan Universitas Nusantara PGRI Kediri. Kedelapan perguruan tinggi tersebut
menghimpun diri, berunding di bawah koordinasi LPMP Jawa Timur, dan membentuk Forum Pelaksana PPG Jawa Timur.
Berbagai kesepakatan diperoleh dalam pertemuan pada pertengahan Januari 2012 tersebut, termasuk penetapan beasiswa
untuk setiap peserta PPG. Direncakan pendaftaran PPG akan dimulai pada Februari-Maret 2012.

Namun, setelah menunggu dengan penuh harapan, tiba-tiba Kepala LPMP menginformasikan, bahwa dana yang sedianya
untuk penyelenggaraan PPG Daljab dialihkan untuk pelaksanaan UKA (Uji Kompetensi Awal). Padahal, sebagaimana pada
tahun-tahun sebelumnya, semua LPTK telah melakukan persiapan dan sosialisasi sedemikian rupa, dengan memberikan
keyakinan bahwa PPG Daljab akan segera dilaksanakan.

Apa boleh buat. Untuk yang kesekian kalinya, LPTK, lagi-lagi, harus menjawab puluhan bahkan ratusan pertanyaan tentang
penyelenggaraan PPG dengan satu kata kunci: ditunda. Sampai kapan? Tidak ada yang bisa memastikan. Berkaca pada
pengalaman-pengalaman sebelumnya, memang sebaiknya, tidak perlu memberikan kepastian.

Program SM-3T

Sejak tahun 2011, Dikti meluncurkan program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia Salah satunya adalah program SM-
3T. Program SM-3T ditujukan kepada para sarjana pendidikan yang belum bertugas sebagai guru. Mereka ditugaskan selama
satu tahun pada daerah 3T. Program SM-3T dimaksudkan membantu mengatasi kekurangan guru, sekaligus mempersiapkan
calon guru profesional yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap sesama, serta memiliki jiwa untuk
mencerdaskan anak bangsa. Program ini merupakan Program Pengabdian Sarjana Pendidikan untuk berpartisipasi dalam
percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T selama satu tahun sebagai penyiapan pendidik profesional yang akan
dilanjutkan dengan Program Pendidikan Profesi Guru.

SM-3T seperti mengobati luka kecewa karena gagalnya PPG Daljab yang sudah digadang-gadang selama bertahun-tahun.
Lepas dari apakah ini merupakan program tiruan dari Indonesia Mengajar-nya Anis Baswedan, harus diakui bahwa program
SM-3T memberikan manfaat yang luar biasa, tidak hanya bagi pemerintah daerah 3T yang memang kondisi pendidikannya
sangat memprihatinkan, juga bagi para sarjana pengabdi tersebut.

Berbagai tantangan dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan yang harus dihadapi oleh para sarjana, dalam segala
keterbatasan sarana prasarana, daya dukung masyarakat dan sekolah yang sangat rendah, di antara perbedaan latar belakang
kultur dan agama; menjadikan mata mereka terbuka lebar. Kepedulian dan ketangkasan pun terasah, dan kemampuan
memecahkan masalah semakin terbangun. Bekal sebagai guru profesional benar-benar mereka peroleh secara langsung,
nyata, sering harus berdarah-darah, dan semuanya mereka hayati sebagai bagian dari proses menuju cita-cita sebagai guru
yang profesional.

Melihat begitu besar manfaat SM-3T dalam rangka mengembangkan guru yang profesional, maka sejak tahun 2012, Dikti
mengeluarkan kebijakan. Isinya, perekrutan peserta PPG Prajab dilakukan melalui SM-3T. Program ini hanya untuk lulusan
prodi pendidikan dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya IPK; lulus tes administrasi, tes akademik,
dan tes wawancara; dan berbagai persyaratan lain, termasuk pengalaman keorganisasian selama menjadi mahasiswa.

Kebijakan ini tentu saja menjaga kredibilitas LPTK. Bahwa profesi sebagai guru seharusnyalah diemban oleh mereka yang
memang dari awal sudah dipersiapkan sebagai guru. Sebagaimana profesi-profesi yang lain; dokter, pengacara, notaris,
akuntan, dan sebagainya, yang tidak setiap orang bisa memasukinya.

PPG merupakan upaya pemerintah untuk memuliakan profesi guru. Pendidikan yang ditempuh selama empat tahun masa
kuliah adalah pendidikan akademik, dan untuk menjadi guru, seseorang harus menempuh pendidikan profesi (PPG). Sama
halnya sarjana akuntansi yang tidak bisa secara otomatis menjadi akuntan, sarjana hukum yang tidak bisa secara langsung
disebut pengacara, notaris, dan sebagainya; melainkan mereka harus menempuh pendidikan profesi lebih dulu.

Namun di sisi lain, kebijakan yang memungkinkan peserta PPG bisa berasal dari sarjana nonpendidikan, seolah bertentangan
dengan upaya pemuliaan guru itu sendiri. Memang ada perbedaan persyaratan antara sarjana pendidikan dan
nonpendidikan dalam mengikuti PPG Prajab. Sarjana nonpendidikan harus menempuh matrikulasi bidang kependidikan
sebelum mengikuti PPG, sedangkan sarjana pendidikan tidak dikenakan persyaratan tersebut. Selebihnya sama. Kurikulum,
masa pendidikan, proses pendidikan, dan sebagainya, tidak ada perbedaan.

Pertanyaannya: bagaimana mungkin proses panjang selama sekitar delapan semester menempuh pendidikan disejajarkan
hanya dengan paling lama satu semester kegiatan matrikulasi? Bukankah proses membentuk kompetensi guru yang
profesional itu memerlukan waktu yang panjang, dan oleh sebab itu sudah harus dimulai sejak awal semester dalam delapan
semester tersebut? Tidak sekadar lulus beberapa mata kuliah matrikulasi dan bisa melakukan praktik mengajar secara
instan? Lantas apa gunanya LPTK bila pada akhirnya siapa pun bisa menjadi guru, hanya dengan menempuh pendidikan
profesi selama satu atau dua semester?
Dalam naskah akademik PPG dinyatakan, kompetensi guru merupakan sesuatu yang utuh, sehingga proses pembentukannya
tidak bisa dilakukan secara instan, karena guru merupakan profesi yang akan menghadapi individu-individu, yakni pribadi
unik yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Tuntutan untuk menghasilkan guru yang profesional
mengharuskan LPTK penyelenggara memiliki visi yang jelas dengan dilandasi prinsip good governance dan memiliki
kapasitas yang menjamin keprofesionalan lulusannya. Dengan demikian, kualitas input menjadi sangat penting untuk
menegakkan prinsip good governance, selain kualitas SDM, sarana/prasarana, dan sebagainya. Namun dengan kebijakan
terkait dengan input PPG seperti saat ini, mungkinkah?

Di sisi lain, kita harus menyadari, saat ini di Indonesia terdapat lebih 200 LPTK negeri dan swasta dalam berbagai bentuk
dan tersebar di seluruh negeri , yang pemetaannya belum sepenuhnya dilakukan secara detil. Terjadi disparitas kualitas,
rentangan kualitas LPTK-LPTK tersebut sangat lebar, ditambah lagi sebarannya yang tidak merata. PPG merupakan salah
satu jalan keluar untuk mengendalikan mutu guru yang dihasilkan dari semua LPTK tersebut.

Lebih jauh, perkembangan bidang-bidang pengetahuan dan keahlian yang cukup pesat juga menuntut tersedianya tenaga
guru yang kompeten pada bidangnya. Masih banyak bidang-bidang yang guru-gurunya belum dihasilkan oleh LPTK.
Beberapa contohnya adalah pada bidang kejuruan, misalnya pertanian, peternakan, perkapalan, perhotelan dan pariwisata,
dan sebagainya; sampai saat ini belum ada satu pun LPTK yang menghasilkan guru-guru dalam bidang tersebut. Maka, PPG
menjadi salah satu jalan keluar, karena sarjana pada bidang-bidang tersebut dimungkinkan untuk menjadi guru, mengisi
kebutuhan dalam bidang-bidang yang relevan, dengan lebih dulu menempuh PPG.

LPTK perlu didorong untuk membuka program studi baru sesuai dengan tuntutan perkembangan pendidikan di lapangan.
Mengingat ada cukup banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengajukan usulan pendirian program studi baru,
salah satunya adalah ketersediaan SDM dosen yang memiliki latar belakang pendidikan yang linier dengan prodi yang akan
diusulkan (tentu saja untuk bidang-bidang yang dicontohkan di atas, persyaratan ini tidak mudah dipenuhi), maka perlu
strategi khusus dalam pengembangan SDM perguruan tinggi.

Selain itu, kerja sama dengan praktisi dalam bidang-bidang yang akan dikembangkan juga menjadi tuntutan mutlak. Dengan
demikian diharapkan, ke depan, bidang apa pun ada LPTK-nya. Guru bidang perkapalan dihasilkan oleh Prodi Pendidikan
Teknik Perkapalan, bidang perhotelan dihasilkan oleh Prodi Pendidikan Perhotelan, dan sebagainya. Selama bidang-bidang
tersebut tidak ada LPTK-nya, maka PPG mungkin akan tetap menjadi jalan keluar terbaik.

Surabaya, 29 Agustus 2012

*) Prof Dr Luthfiyah Nurlaela MPd, Ketua PPG Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
Begitu profesi guru "diprofesionalkan", ada konsekuensi yang awalnya belum terpikirkan oleh calon, mahasiswa, dan
lulusan S1 kependidikan: mereka harus menempuh pendidikan profesi! Nah, Terbatasnya kuota PPG Pra-jabatan oleh Dikti
bagi LPTK penyelenggara juga meimbulkan kegamangan, quo vadis penyediaan tenaga guru yang profesional? Idealnya,
tiap tahun paling tidak harus ada 60.000 orang yang ikut dan lulus PPG Prajabatan (sebagai pengganti guru yang pensiun).

18. Bahwa pendidikan merupakan sektor terjadinya korupsi


POSITIF

Tak hanya aspek kuantitas, kualitas pelaku korupsi pun meningkat. Menurut penilaian mayoritas responden (78,8 persen)
jajak pendapat, pejabat negara yang tertangkap terlibat korupsi menduduki posisi yang semakin tinggi dari waktu ke waktu.

KOMPAS.com - Publik menilai korupsi telah sampai pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Meskipun publik
mengapresiasi kiprah pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, hukuman yang dijatuhkan
bagi koruptor dinilai publik belum mampu memberikan efek jera para koruptor dan mencegah calon koruptor.

Seluruh dunia akan memperingati Hari Antikorupsi Internasional pada 9 Desember mendatang. Peringatan tersebut
menegaskan kembali tentang kesadaran internasional bahwa korupsi harus diperangi semua pihak. Hasil Jajak Pendapat
Kompas pekan lalu kembali memperkuat pandangan itu. Nyaris seluruh responden (94 persen) menyatakan, perilaku
korupsi, khususnya di tingkat elite, sudah sangat parah kondisinya dan mengkhawatirkan.

Tak hanya aspek kuantitas, kualitas pelaku korupsi pun meningkat. Menurut penilaian mayoritas responden (78,8 persen)
jajak pendapat, pejabat negara yang tertangkap terlibat korupsi menduduki posisi yang semakin tinggi dari waktu ke waktu.

Sementara itu, satu dari dua responden memandang bahwa tindak korupsi dilakukan politisi dan aparat birokrasi dengan
rentang usia semakin muda. Ada regenerasi koruptor di negeri ini. Saat ini tindak pidana korupsi telah bertransformasi
menjadi kejahatan kaum profesional (white collar crime). Kongkalikong antara pejabat negara dan kaum profesional
semakin hari makin sistematik.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2013 menunjukkan, kasus korupsi di sektor pendidikan meningkat pesat dalam
kurun satu dasawarsa (2003-2013). Selama satu dasawarsa telah diungkap 296 kasus korupsi yang menyeret 479 tersangka
dengan total nilai kerugian mencapai Rp 619 miliar. Angka kerugian negara meningkat empat kali lipat pada 2013 menjadi
Rp 99,2 miliar jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Puncak kasus korupsi terjadi pada 2007 dengan 84 kasus dan
kerugian negara mencapai Rp 151 miliar.

Koruptor untung

Menurut publik, hal penting yang harus dilakukan kepada koruptor adalah bentuk hukuman yang membuat jera. Salah
satunya adalah memperberat hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku korupsi agar calon-calon koruptor lainnya menjadi
berpikir seribu kali sebelum melakukan aksi kejahatan korupsi.

Bentuk hukuman yang paling pantas dikenakan bagi koruptor dan ditengarai memberikan efek jera adalah memiskinkan
koruptor. Seluruh harta hasil korupsi harus disita sehingga koruptor tak bisa membuat kalkulasi secara ekonomi dari perilaku
jahatnya merampok uang negara. Selain itu, dengan tambahan hukuman penjara, pelaku akan merasakan penderitaan
masyarakat yang kesejahteraannya telah mereka renggut.

Di Indonesia, hukuman bagi koruptor bervariasi, mulai dari hukuman 1 tahun penjara hingga 20 tahun penjara. Namun,
denda paling banyak adalah Rp 1 miliar. Jika nilai uang yang dikorupsi melebihi Rp 1 miliar, tentu secara kasatmata
koruptor masih untung. Bentuk hukuman penjara, apalagi dengan waktu singkat, tanpa disertai pemiskinan koruptor sama
sekali, dinilai tidak efektif selain tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Bentuk hukuman yang berat bagi pelaku korupsi
cenderung disetujui publik jajak pendapat, termasuk menerapkan hukuman penjara seumur hidup.

Merujuk temuan Rimawan Pradiptyo, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada yang memaparkan hasil penelitian
P2EB FEB UGM, berdasarkan putusan Mahkamah Agung tahun 2001-2012, biaya penanganan korupsi telah mencapai Rp
168,19 triliun, sementara nilai hukuman yang harus dibayar koruptor hanya Rp 15,09 triliun. Dengan demikian, selisih biaya
sebesar Rp 153,1 triliun harus ditanggung masyarakat. Dengan kata lain, di negeri ini, koruptor disubsidi masyarakat.
Lengkap sudah penderitaan rakyat, terutama yang berpenghasilan rendah, karena subsidi yang menjadi hak mereka justru
dinikmati si kaya (Kompas, 18 Juni 2013).

Fakta ini memberikan penyadaran bahwa selama ini hukuman bagi koruptor tidak berhasil memberikan efek jera kepada
mereka yang akan korupsi. Di China, koruptor bisa diganjar hukuman mati, sedangkan di Hongkong para koruptor selain
divonis hukuman penjara dan denda juga disertai penyitaan kekayaan. Adapun di Belanda, para koruptor divonis hukuman
kerja sosial.

Belum maksimal

Meskipun apresiasi kepada kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagian
publik menyatakan upaya tersebut belum maksimal. Hal itu terutama terkait dengan kasus-kasus kakap yang melibatkan
sejumlah pejabat tinggi negara.

Lebih dari separuh responden sangsi pengungkapan sejumlah kasus kakap akan berhasil membongkar kejahatan korupsi
hingga tuntas. Enam dari sepuluh responden secara spesifik menyatakan pesimistis penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan kasus Bank Century akan tuntas. Demikian pula kasus proyek Hambalang dan suap mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar.

Di sisi lain, kiprah KPK tidak disertai peningkatan kinerja lembaga penegak hukum lainnya dalam memberantas korupsi.
Beberapa kali pengumpulan pendapat yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan penilaian negatif terhadap kinerja
kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam membongkar kasus-kasus korupsi.

Sejumlah kasus yang dibongkar KPK memperlihatkan bahwa aparat penegak hukum merupakan bagian dari jaringan pelaku
korupsi, mulai dari aparat kepolisian, jaksa, hingga hakim. Sejumlah hakim ikut serta melemahkan hukuman bagi koruptor
dengan modus menerima suap dari tersangka. Beberapa di antaranya bahkan berusaha memutarbalikkan proses
pengungkapan oleh KPK melalui upaya kriminalisasi KPK.

Penilaian terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sendiri bisa dilihat dari angka Indeks Korupsi Indonesia
selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2011 misalnya, dari 182 negara yang dievaluasi, Indonesia berada di peringkat ke-
100 dengan angka indeks 3 dari skala 0 yang terendah dan 10 yang tertinggi. Tahun 2012 peringkat Indonesia ada di angka
118 dari 176 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Brunei, dan Malaysia, angka
indeks Indonesia tergolong sangat rendah, yakni di bawah 5.
Laporan ICW tentang korupsi di sektor pendidikan menunjukkan ironi pemberantasan korupsi di negeri ini. Dalam proses
memberantas kejahatan ekonomi tersebut, institusi pendidikan merupakan salah satu pilar penting mencegah tindak korupsi.
Pendidikan tentang kejujuran dan nilai-nilai kesederhanaan bisa dimulai dari bangku sekolah. Ironisnya, korupsi di sektor itu
tidak kurang masif dibandingkan dengan sektor lain dan bahkan bisa menjadi langkah kontraproduktif untuk menangkal
tindak korupsi.

Peringatan hari antikorupsi pekan depan merupakan tonggak bagi masyarakat untuk merapatkan kembali barisan pencegahan
dan pemberantasan korupsi di negeri ini. (LITBANG KOMPAS)

Korupsi dunia pendidikan merupakan masalah besar buat bangsa ini. Perlu diluruskan korupsi tidak hanya menyangkut
masalah keuangan. Namun masalah lainnya. Secara harfiah korupsi memiliki makna penyimpangan.

Penyimpangan dunia pendidikan mencakup masalah yang kompleks. Mulai dari korupsi anggaran pendidikan sampai kepada
korupsi waktu mengajar. Hal ini sering terjadi dalam proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi.

Dalam hal korupsi yang merugikan kekayaan negara, Komisi Pemberantasan Korupsi masih mencatat tingkat pengaduan
yang cukup tinggi terkait dugaan korupsi di ranah pendidikan.

Menurut Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Haryono Umar,
pengaduan yang berkaitan pendidikan itu tidak hanya berasal dari pendidikan dasar saja, namun, ada juga yang berhubungan
dengan pendidikan tinggi.

Kasus korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional, salah satu bukti nyata buat kita semua bahwa pendidikan menjadi
sasaran buat para koruptor. Cukup masuk akal karena anggaran pendidikan lebih besar dari anggaran lainnya. Yakni 20%
dari APBN. Tentunya peluang korupsi terbuka lebar di institusi tersebut.

Korupsi dunia pendidikan tidaklah sejalan dengan tujuan pendidikan. Pendidikan sarana mencerdaskan kehidupan bangsa
bukan sarana memperkaya para koruptor. Sungguh ironis jika penyelenggara pendidikan justru melakukan korupsi. Padahal
tanggungjawabnya turut mengkampanyekan anti korupsi melalui bangku pendidikan. Apakah yang akan terjadi terhadap
pendidikan kedepannya?. Apakah cita-cita founding father dapat terwujud?

Ketika dalam dunia pendidikan tumbuh budaya korupsi. Maka kemajuan pendidikan akan jauh api dari panggang. Kita
dapat melihat, saat ini pendidikan Indonesia membutuhkan dana besar. Banyak sekolah yang masih memprihatikan. Seperti
sekolah-sekolah di pelosok nagari (red-desa). Butuh gedung baru dan buku bacaan yang masih kurang.

Korupsi Bertingkat

Tidak dapat dipungkiri, korupsi dunia pendidikan dimulai dari pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Hal ini terlihat
ketika pengambilan rapor. Orangtua murid sering dibebankan untuk memberikan sumbangan sukarela. Sukarela dengan
sedikit paksaan.

Sebagai pengganti keringat wali kelas. Sumbangan pasti diberikan walaupun terkadang tak pernah ikhlas. Selain itu uang
kas kelas yang dikumpulkan siswa setiap bulannya acapkali tidak digunakan dan akhirnya diserahkan kepada wali kelas.
Bukankah ini korupsi kecil-kecilan.

Tidak sampai disitu, kewajiban membeli seragam sekolah perlu menjadi catatan bersama. Karena seragam tersebut dijual
dengan harga yang jauh berbeda dengan harga pasaran. Sebahagian guru juga menjual buku wajib dengan harga yang mahal
dan wajib dibeli oleh siswa. Dengan dalih tak ada buku tak bisa belajar.

Walaupun tidak semua sekolah atau melakukan hal yang sama. Namun hal ini cukup menggambarkan kepada kita bahwa
pendidikan dasar dan menengah telah berada di tepi jurang kehancuran.

Dalam hal ini kesejahteraan guru harus mendapat perhatian. Bisa saja praktek korupsi di sekolah tak lepas dari terlalu rumit
masalah ekonomi yang dihadapi guru. Perlu pengkajian. Sejauh mana sertifikasi guru dapat mengatasi permasalahan.
Kenaikan gaji kecil ditengah mahalnya biaya hidup dinegeri ini.

Penulis melihat sampai hari ini masih banyak guru yang hidup dibawah berkecukupan. Padahal mereka pintu terdepan dalam
menwujudkan cita-cita bangsa.Sehingga perlu diprioritaskan.

Perguruan Tinggi (PT) pun tak jauh berbeda. Bahkan lebih parah. Pendidikan tertinggi ini sering terjadi praktek KKN. Tidak
hanya korupsi tetapi juga nepotisme. Pemberian beasiswa, penerimaan mahasiswa, penerimaan dosen tak lepas dari praktek
tersebut.

Pemberian beasiswa kurang mampu seringkali tidak tepat sasaran. Justru diterima mahasiswa yang mampu. Bahkan
mahasiswa tersebut pergi kekampus menggunakan mobil. Hal ini tak lepas karena sang mahasiswa merupakan anak dosen
atau orangtuanya alumni terpandang dikampus. Bukankah ini sebuah nepotisme. Lebih ironisnya, mahasiswa mampu
tersebut justru yang mengajukan diri untuk mendapatkan beasiswa kurang mampu. Halalkah beasiawa tersebut mereka
terima?.

Di saat tahun ajaran baru PT memanfaatkannya untuk memeras mahasiswa. Ini terjadi dalam penerimaan jalur khusus.
Jalur masuk PT Negeri selain UMB dan SNMPTN. Apalagi banyak PT Negeri yang menetapkan kuota jalur khusus lebih
besar dari dua jalur tersebut. Mahasiswa dari kalangan mampu tentu punya peluang besar dibandingkan mahasiswa miskin.

Apabila gagal dalam seleksi UMB dan SNMPTM, mereka yang mampu akan mencoba jalur khusus tersebut. Dan pihak
kampus dapat memanfaatkan untuk mencari keuntungan dengan menetapkan biaya masuk yang besar. Akhirnya mereka
yang mampulah yang diprioritaskan. Sehingga disparitas dan diskriminasi pendidikanpun tak dapat terhindarkan.

Lain halnya dengan penerimaan dosen. Penerimaan dosen sering dipengaruhi oleh kekuasaan. Apabila calon dosen dekat
atau bersaudara dengan pimpinan, peluang untuk menjadi dosen terbuka lebar.

Jika calon dosen memiliki kemampuan dan layak tidak menjadi masalah. Hal itu pasti dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa
bantuan pimpinan mereka pasti layak menjadi dosen. Tapi bagaimanakah sebaliknya?. Ternyata dosen tersebut tidak
memiliki pengetahuan dan tidak mampu menjadi dosen. Hanya riwayat pendidikan di universitas ternama yang dibanggakan.
Apakah proses pendidikan mahasiswa dapat berjalan?. Jawabannya pasti tidak. Mahasiswa tidak akan mendapatkan ilmu
apa-apa.

Contoh-contoh diatas tentulah tidak baik buat bangsa ini. Bangsa yang tengah berpacu dalam memperbaiki pendidikan.
Mengejar ketertinggalan dari negara lain. Bahkan dari negara tetangga yang sebelumnya jauh berada dibawah kita.

Transparansi Pendidikan

Lahirnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), tentu membawa harapan bagi masyarakat. UU KIP
dapat dijadikan payung hukum dalam menuntut transparansi pendidikan. Terutama dana pendidikan. Selama ini dana APBN
yang dianggarkan untuk pendidikan tidak jelas kemana muaranya.

Selain transparansi dana pendidikan, transparansi penerimaan beasiswa, mahasiswa serta penerimaan dosen di perguruan
tinggi harus dipenuhi.Hal ini dapat meminimalisir praktek KKN. Agar mahasiswa tidak mampu tidak dirampas haknya
meperoleh beasiswa. Sehingga dapat membiayai kuliahnya dan tidak putus ditengah jalan. Dan tentunya tidak ada lagi
praktek KKN dalam penerimaan mahasiswa maupun dosen.

Bayangkan jika pendidikan diserahkan kepada dosen yang tidak memiliki kemampuan layak dalam mengajar. Namun
diberikan kepercayaan untuk mendidik mahasiswa. Hal ini akan memperburuk perguruan tinggi. Perguruan tinggi tidak akan
mampu menghasilkan kaum intelektual muda.

Perlindungan hak masyarakat atas anggaran pendidikan adalah sebuah kewajiban. Masyarakat berhak tahu kemanakah
anggaran pendidikan digunakan. Apakah anggaran tersebut telah dimaksimalkan atau sebaliknya. Setidaknya masyarakat
dapat menjalankan sistem kontrolnya terhadap pemerintah terkait penggunaan anggaran pendidikan. Karena DPR selama ini
gagal dalam mewakili rakyat mengawasi pendidikan.

Perlu diakui saat ini transparansi pendidikan masih sulit didapatkan. Banyak pihak yang enggan memberikannya. Seperti ada
ketakutan yang disimpan. Baik sekolah maupun perguruan tinggi. Baik dekanat maupun fakultas. Perlu tindakan tegas yang
diberikan kepada pihak yang menutupi-menutupi anggaran tersebut.

Jika hal ini terus dibiarkan, dunia pendidikan Indonesia akan menjadi lahan baru bagi para koruptor. Mulai dari institusi
terbawah yaitu pendidikan dasar sampai kepada institusi tertinggi yaitu Kementerian Pendidikan Nasional. Lalu, akankah
kita biarkan?

Dikutip dari situs www.antikorupsi.org , berdasarkan hasil pemantauan ICW diketahui dalam kurun waktu 2003-2013,
penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan KPK) berhasil menindak kasus korupsi pendidikan sebanyak 296 kasus dengan
jumlah tersangka 479 orang dan indikasi merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 690,0 miliar.

Dilihat dari objek korupsi, DAK (Dana Alokasi Khusus) merupakan dana pendidikan yang paling sering dikorupsi dengan
jumlah 84 kasus dan merugikan Negara terbesar hingga 265,1 miliar. BOS (Bantuan Oprasional Sekolah) menjadi kasus
terbanyak kedua dengan jumlah kasus 48. Korupsi terkait sarpars PT jumlahnya 9, namun merugikan Negara hingga Rp.
57,7 miliar. Modus yang palig sering digunakan dalam 106 kasus yaitu penggelapan. Hampir 50% dari kasus korupsi yang
terjadi pada DAK dan BOS bermodus penggelapan karena merupakan dana yang mudah diselewengkan.

Dinas pendidikan merupakan tempat terjadinya kasus korupsi paling banyak dengan 151 kasus dan indikasi kerugian Negara
sebanyak Rp. 365,5 miliar. Selanjutnya disusul oleh lembaga seperti kemendikbud dan perguruan tinggi yang menjadi
tempat paling banyak dikorupsi. Meski jumlah kasus korupsi yang terjadi kemendikbud dan perguruan tinggi tidak begitu
banyak secara kuantitas, namun mengakibatkan kerugian Negara sebanyak Rp. 397,1 miliar.

Disektor ini, Jawa Barat merupakan provinsi paling banyak terjadi korupsi yaitu 33 kasus, namun bukan paling banyak
merugikan Negara yaitu Rp. 22,7 miliar. Justru provinsi Banten yang paling banyak merugikan keuangan Negara hingga Rp.
209,0 miliar .

Masih maraknya korupsi sektor pendidikan adalah masih minimnya penerapan perbaikan tata kelola, yaitu transparansi,
partisipasi dan akuntabilitas, ujar pihak ICW yang diwakilkan Tari selaku divisi monitoring pelayanan public.

Kata Mereka.

Sebagian besar orang terbiasa mendengar kasus korupsi yang dilakukan para politikus atau tokoh politik. Sementara itu,
jarang media yang memberitakan kasus korupsi didunia pendidikan. Seperti yang telah dijelaskan, korupsi didunia
pendidikan tidak sebanyak kasus korupsi yang dilakukan elit politik. Namun Negara mengalami kerugian yang tidak sedikit
di sector pendidikan ini.

Pakar Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Drs. Mahi Hikmat mengatakan, Anggaran negara yang dialokasikan oleh
pemerintah pusat mencapai 20% dari total APBN yang dikeluarkan pemerintah dalam berbagai sektor. Hal tersebut secara
tidak langsung ikut memperbesar kesempatan bagi para oknum yang tak bertanggung jawab, untuk melakukan tindakan
penyelewengan (korupsi) saat ditemui Suaka pada 16 Januari lalu.

Menanggapi hasil pantauan ICW, dosen di Fakultas Adab dan Humaniora ini mengatakan bahwa ada banyak faktor yang
melandasi terjadinya korupsi diberbagai sektor terutama di bidang pendidikan, yaitu kulaitas suprastruktur yang belum
memadai, moralitas pejabat lembaga pendidikan, SDM yang belum mampu mengelola administrasi, dan pelaksanaan UU
No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Selain itu, peran serta masyarakat dalam mengawasi lembaga publik serta penananman kultur transparansi yang masih
minim dilakukan badan publik seperti legislative, eksekutif maupun yudikatif hingga lembaga atau perusahaan milik Negara
maupun swasta. Apabila UU KIP ini dimaksimalkan oleh seluruh elemen masyarakat, secara tidak langsung, masyarakat
turut serta dalam pengawasan program-program yang dicanangkan lembaga publik. Disisi lain, masyarakat berhak meminta
transparansi dari setiap kebijakan yang dibuat, khususnya dalam pengalokasian anggaran. Hal ini tentu saja bertujuan untuk
meminimalisir penyelewengan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.

Di Indonesia, permasalahan transparani memang belum menjadi kultur yang membudaya di lingkungan lembaga maupun
masyarakat sipil. Walaupun UU tentang transparansi sudah lama diundangkan, namun tampaknya masalah transparansi
belum bisa diselesaikan . Lembaga publik justru terkesan antipati dengan transparansi, apalagi jika berhubungan dengan
masalah anggaran.

Bukan hanya kerugian dalam bentuk materi saja yang dihasilkan dari korupsi, secara tidak disadari, korupsi bisa
memengaruhi mental seseorang. Seperti yang dikatakan guru besar pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof.
Ahmad Tafsir , Sebetulnya sifat korupsi itu yang berdampak membuat orang malas, kerja kurang loyal. Dalam
pembangunan, seandainya APBN itu dikorup tiga puluh persen, pembangunan masih jalan! Sifat korupnya ini yang
membuat loyalitas seseorang itu mundur.

Kasus korupsi yang terjadi didunia pendidikan memang tidak memiliki pengaruh besar secara langsung terhadap proses
pembelajaran yang ada di sekolah atau lembaga pendidikan. Namun, hal ini bisa menyebabkan rusaknya mental seseorang
terhadap pola pikirnya. Orang yang bekerja puluhan tahun sesuai dengan ketentuan (jujur), bisa menjadi malas ketika
melihat seseorang yang baru bekerja beberapa tahun namun bisa menghasilkan ini-itu dalam waktu yang singkat dan tidak
masuk akal padahal gaji yang diterima tidak jauh beda. Pada akhirnya bisa jadi produktifitas kerja seseorang akan berkurang.
Pilihannya, ia akan ikut dalam lingkaran setan tersebut (ambil bagian dalam praktik korupsi) atau membiarkannya tanpa ada
perlawanan karna faktanya justru banyak orang justru memilih terlibat. Jika hal ini diabaikan, moral anak bangsa hanya
tinggal menunggu kehancuran.

Rusaknya moral berawal dari pemahaman agama yang masih minim. Andai saja setiap orang memiliki pemahaman agama
yang baik serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Sebesar apapun godaannya, kecil kemungkinan orang
tersebut masuk dalam lingkaran setan mematikan tersebut. Sayangnya, pemahaman tentang agama yang lemah sehingga
akhlak pun berbadingan lurus.

Kesalahan pendidikan di kita itu dari dulu, dari awal-awal dalam UU pasal 2 dan 3 itu tidak disebut akhlak sebagai fokus
pendidikan, melainkan kecerdasan sebagai fokus pendidikan. Kalau Indonesia mau maju, ubahlah pasal tiga itu, bahwa fokus
pendidikan Indonesia itu adalah akhlak. Jadi akhkkak ini pondasinya, kata dosen di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Gunung Djati Bandung.

Pendidikan setinggi apapun tidak akan berguna jika akhlaknya tidak baik. Sudah terbukti, justru banyak koruptor yang
ternyata berpendidikan tinggi. Pada dasarnya, pendidikan formal belum cukup membentuk kepribadian individu yang
baik. Korupsi yang merupakan gejala mental sejak usia dini melibatkan aspek kognisi.Pendidikan tinggi bukanlah jaminan
seseorang untuk tidak melakukan tindak korupsi, ujar dosen Fakultas Psikologi, Dr. Hj. Ulfiah, M.Si. Ia juga
menambahkan, dalam hal ini, korupsi dipengaruhi oleh perasaan ingin menguasai dengan menghalalkan segala cara tanpa
ada super ego yang kuat. Korupsi yang merupakan gejala mental yang tidak sehat, pada akhirnya dapat membentuk
kebiasaan-kebiasaan tidak baik.

Apa yang harus dilakukan ?

Nasi memang sudah menjadi bubur dan bubur tak mungkin kembali menjadi nasi. Menjadikan bubur yang enak adalah
solusi terbaik daripada harus menggutuki yang teah terjadi. Begitupun dengan maraknya kasus korupsi yang terjadi di
Indonesia. Perlawanan terhadap tindak korupsi sudah pasti, namun bagaimana kita harus memulai?

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menanggulangi dan mencegah perkembangnya praktik korupsi. Jika faktor
permasalahan korupsi dari transparansi, maka pemerintah harus meningkatkan kualitas SDM yang mengelola lembaga
publik diberbagai sektor. Selain itu UU No. 14 tahun 2008 tentang KIP juga harus diaplikasikan oleh setiap badan publik
yang dibiayai sepenuhnya maupun sebagian oleh dari APBN maupun APBD. Masyarakat juga harus dilibatkan sebagai
pihak yang ikut mengawasi kebijakan yang dijalankan suatu lembaga publik., ujar Drs. Mahi Hikmat yang mengambil gelar
doktor komunikasi politiknya di UNPAD.

Hal tersebut diamini oleh Tari, Jika anggaran pendidikan tidak dikelola dengan tata kelola yang baik, maka korupsi di
sektor pendidikan masih akan terjadi.

Pengelolaan anggaran pendidikan harus disertai dengan peningkatan pengawasan dan partisipasi publik. Hal ini juga harus
berbanding lurus dengan lembaga publik yang juga menerapkan asas transparansi mulai dari membuka perecanaan kebijakan
publik dan anggarannya pada masyarakat. Selain mendapat pengawasan dari masyarakat, BPK harus lebih aktif dalam
melakukan audit terhadap dana-dana pendidikan. Karena hal ini mampu meningkatkan pengawasan terhadap dana tersebut.

Sementara itu, menurut dilihat dari perspektif pendidikan, ada dua hal yang harus dilakukan dalam mengatasi krisis
moralitas ini. pertama sistem pendidikan harus diperbaiki. Bukan hanya pendididkan disekolah, tapi pendidikan di
lingkungan masyarakat pun harus diperbaiki. Mulai dari mengubah paradigm hingga tingkah laku. Selain itu focus
pendidikan harus diubah dari kecerdasan menjadi akhlak. Akhlak tidak banyak dibentuk dari pemikiran, tapi lewat
peneladanan, pemotivasian dan penegakkan aturan. Inti dari permasalahan di Indonesia adalah kemerosotan akhlak.,
tambah Prof. Ahmad Tafsir yang ditemui Suaka pada 22 Januari silam di Gedung Pasca Sarjana.

Tingginya kerugian negara dari sektor investasi pemerintah, salah satunya karena investasi pemerintah di bidang pendidikan
terbukti merupakan kasus korupsi terbanyak sepanjang tahun 2011.

Tingginya korupsi di bidang pendidikan merupakan hal baru karena pada tahun 2010, korupsi tertinggi berasal dari
infrastuktur, diikuti sektor keuangan, kemudian pendidikan.

"Ini bisa disebabkan oleh peningkatan jumlah anggaran pendidikan di APBN. Koruptor itu seperti semut, di mana ada gula
(uang) di situ mereka berada," ungkap Agus Sunaryanto, koordinator divisi investigasi ICW, dalam jumpa pers di kantor
ICW, Jakarta, Minggu (5/2/2012).

Menurut ICW, sektor pendidikan dengan angka kejadian korupsi paling tinggi perlu mendapat perhatian serius dari
pemerintah. Penting bagi jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dinas-dinas pendidikan di daerah, BPK atau
BPKP, serta aparat penegak hukum untuk mengawasi penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran pendidikan.

Selain itu, kerugian negara tertinggi berdasarkan tempat terjadinya korupsi atau berdasarkan lembaga yakni berasal dari
semua lembaga dalam jajaran pemerintah kabupaten (pemkab) dengan jumlah 264 kasus.

Selanjutnya, kelembagaan dalam naungan pemerintah kota (pemkot) dengan jumlah 56 kasus, dan terakhir dalam jajaran
pemerintah provinsi (pemprov) dengan jumlah 23 kasus.

Kerugian negara akibat korupsi di lingkungan pemkab mencapai Rp 657,7 miliar, lembaga BUMN Rp 249,4 miliar, dan
pemkot Rp 88,1 miliar.

Untuk itu, ICW merekomendasikan agar APH menghentikan penggunaan dana bansos dan hibah untuk kepentingan
pemenangan pilkada oleh kandidat yang berposisi petahana.

Adapun Kementerian Dalam Negeri harus menggunakan wewenang dan otoritasnya untuk melarang penggunaan dana
bansos atau hibah menjelang pilkada sehingga membuat APBD lebih efektif dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan
daerah dibandingkan harus dipakai sebagai alat politik bagi petahana dalam mobilitas suara pemilih.

"APH juga harus menempatkan penanganan kasus korupsi dana bansos atau hibah secara lebih serius, terutama pada konteks
kesegeraan, mengingat praktik penggunaan dana bansos atau hibah untuk kepentingan pilkada merupakan praktik yang
bukan hanya melanggar hukum (korupsi), melainkan juga telah membusukkan proses demokrasi prosedural," kata Agus.

NEGATIF

Sektor pendidikan untuk memintarkan orang. Bukan dijadikan alat untuk pemuas diri dengan berkorupsi ria. Pemerintah,
tidak cukup memberikan alokasi APBN 20% untuk pendidikan. Lebih dari itu, pengetatan pemanfaatan angaran sektor ini
harus lebih extra ketat. Ingat: Filosopi pendidikan adalah: Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan
bagi kepentingan masyarakat.

Lihat, berapa banyak siswa yang mau bersekolah susah. Harus menerjang jembatan yang nyaris rubuh dan mengancam
jiwanya. Kasus korupsi di sektor pendidikan sangat ironis jika merujuk pada apa yang menjadi tugas Kementerian
Pendidikan Nasional yang antara lain Meningkatkan Kualitas/Mutu dan Relevansi Layanan Pendidikan.

Misi Kemendiknas 2014 dikemas dalam 5K


1. Meningkatkan Ketersediaan Layanan Pendidikan

2. Memperluas Keterjangkauan Layanan Pendidikan

3. Meningkatkan Kualitas/Mutu dan Relevansi Layanan Pendidikan

4. Mewujudkan Kesetaraan dalam Memperoleh Layanan Pendidikan

5. Menjamin Kepastian Memperoleh Layanan Pendidikan


Indonesia Corruption Watch (ICW) hari ini mengumumkan Tren Penegakan Hukum Kasus Korupsi 2011. Laporan ini
disusun sebagai evaluasi kinerja aparat penegak hukum (APH) dalam menangani kasus korupsi di Indonesia.

Dalam laporan ICW terdapat tiga besar sektor yang paling merugikan negara akibat korupsi. Pertama, sektor investasi
pemerintah, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 439 miliar.

Kedua, sektor keuangan daerah dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 417,4 miliar. Ketiga, sektor sosial
kemasyarakatan, yakni korupsi yang kasusnya berkaitan dengan dana-dana bantuan yang diperuntukkan bagi masyarakat,
yang diperkirakan mencapai Rp 299 miliar.

19. Bahwa UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi layak untuk dihapuskan

POSITIF

Ada beberapa pokok permasalahan inti dalam substansi UU No. 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi yang dapat disimpulkan secara garis besar, yaitu :

Adanya campur tangan dan penetrasi asing yang menginjeksikan kepentingan tertentu.

Hal ini dapat dilihat dari semangat substansi UU No. 12 Tahun 2012 yang mengarah kepada
globalisasi, liberalisasi, pro-pasar, swastanisasi, dan komersialisasi pendidikan Nasional.
Sangat kental ditunjukkan pada pasal 50, pasal 90 dan pasal-pasal yang menunjukkan
semangat otonomi.

Adanya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan Pendidikan.

Hal ini ditunjukkan melalui masih digunakannya sistem otonomi, Badan Hukum, kerjasama,
dan hal-hal lainnya yang berpotensi menutup akses hak rakyat atas pendidikan dengan
semakin tidak terjangkaunya Pendidikan Tinggi. Tentunya pelepasan tanggung jawab
pemerintah ini bertentangan dengan UUD 1945 dan dapat menciderai tujuan pendidikan
Nasional. Tercitrakan pada pasal 62, pasal 63, pasal 64, pasal 65, pasal 73, pasal 74, pasal 76,
pasal 84, pasal 86, dan pasal 88

Adanya ketidakpastian hukum yang berpotensi munculnya wajah-wajah regulasi baru.

Hal ini dapat ditinjau dari banyaknya pasal dimana ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri ataupun aturan-aturan lainnya. Tercatat kurang
lebih sekitar 40 pasal yang masih butuh penjelasan lebih lanjut yang akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, atau peraturan-peraturan lainnya.

NEGATIF

bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada
Pemerintah untuk mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dan akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia;

bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem


pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora
serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa
Indonesia yang berkelanjutan;

Anda mungkin juga menyukai