Anda di halaman 1dari 8

BAB II

RINGKASAN ISI BUKU


2.1 Ringkasan Isi Buku
Bab 1 membahas mengenai tentang Profesi Keguruan menyangkut bebrapa aspek yaitu,
Menunggu Multiplier Effect Sertifikasi Pendidik. Pelaksanaan program sertifikasi pendidik bagi
sekitar 2.7 juta guru (dan juga dosen) kita di tanah air sampai saat ini telah memasuki tahun ke
empat (ketika tulisan ini pertama kali ditulis tahun 2009) sejak dicanangkan tahun 2006 yang
lalu. Menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Dr.
Baedhowi, sampai akhir tahun 2008 sudah ada sekitar 360.000 orang guru kita yang sudah
dinyatakan lulus program sertifikasi pendidik ini (baik yang lulus melalui penilaian portfolio
maupun melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Dan tahun 2009 ini, pemerintah
merencanakan kuota 200.000 guru untuk mengikuti sertifikasi pendidik tahun ini. Dengan
demikian, sampai akhir tahun 2009, diperkirakan sudah ada sekitar 560.000 guru Indonesia yang
sudah dan akan dinyatakan sebagai guru profesional.
Guru dan Kurikulum 2013
Rencana pergantian kurikulum oleh pemerintah sampai hari ini masih menuai pro dan kontra. Di
samping masih mempertanyakan beberapa ide filosofis dan konsep dasar kurikulum terbaru ini,
seperti yang disuarakan oleh majelis guru besar ITB saat membedah kurikulum ini beberapa
waktu yang lalu (13/3/2013), mereka yang menolak perubahan kurikulum ini juga berpendapat
bahwa perubahan kurikulum terkesan dipaksakan dan cenderung tergesa-gesa. Indonesia
Corruption Watch (ICW) dan sejumlah orangtua murid yang masuk Koalisi Tolak Kurikulum
2013 bahkan telah menyerahkan petisi ke kantor Kemendikbud. Petisi menolak Kurikulum 2013
yang dilakukan secara online ini digulirkan sejak 5 Desember 2012, dan saat ini telah
ditandatangani lebih 1.500 orang. Perubahan kurikulum dalam sebuah sistem pendidikan di
negara manapun sesungguhnya adalah suatu hal yang lumrah bahkan sebuah keharusan. Ini
karena memang dunia di dalam dan diluar sekolah terus mengalami perubahan yang kadang
lebih cepat dari yang diperkirakan. Perubahan kurikulum itu diperlukan dalam konteks
menjawab berbagai tantangan, permasalahan dan kebutuhan zaman yang terus berubah itu.
Namun dalam konteks Indonesia, perubahan kurikulum ini belakangan sering membawa
kegaduhan karena perubahan kurikulum dirasakan terlalu cepat dan sepertinya tidak memberi
waktu yang cukup kepada setiap stakeholder pendidikan untuk benar-benar memahami konsep
perubahan itu. Sekali lagi, masa uji publik yang singkat itu lebih terkesan basa basi pemerintah.
Di negara maju seperti Australia, misalnya, uji publik perubahan kurikulum bisa berlangsung
sampai empat tahun. Bahkan setelah dtetapkan berubahpun, biasanya juga akan ada on-going
consultation. Sementara di negeri kita, uji publik kurikulum cukup hanya beberapa bulan saja.
Jika hasrat pemerintah memang sudah tidak tertahan untuk melaksanakan kurikulum
2013 ini, maka pemerintah harus lebih serius mempersiapkan para guru ini agar bisa memahami
konsep kurikulum 2013 ini dengan baik. Intinya adalah sosialisasi dan pelatihan yang efektif. Ini
bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat luasnya wilayah jangkau pendidikan nasional kita
dengan lebih dari 2.9 juta guru yang tersebar di sekitar 208.701 sekolah di seluruh nusantara.
Tantangan yang paling berat adalah melatih para guru SD agar siap menyelenggarakan
pembelajaran tematik integratif itu. Tidak hanya karena selama ini mayoritas guru SD ini jarang
tersentuh pelatihan, juga karena kebanyakan guru SD kita sudah terbiasa dengan pembelajaran
berbasis mata pelajaran yang terpisah selama ini. Maka bisa dibayangkan betapa menantangnya
(untuk tidak mengatakan susah) ketika para guru itu harus menggabungkan semua kompetensi
dasar dari berbagai bidang studi itu (Matematika, Bahasa Indonesia, PPKn, Olahraga dan Seni,
serta Agama) dalam satu waktu pembelajaran secara kreatif.
Melatih para guru ini untuk terampil menerapkan penilai proses dan portofolio juga
adalah tantangan lain. Tidak hanya karena penilaian sejenis membutuhkan komitmen dan
kecakapan para guru dalam melaksanakannya, juga karena para guru masih ‗dihantui‘ dan
‗diganggu‘ oleh model penilaian lain yang juga dianggap penting, semisal Ujian Nasional, yang
sebenarnya secara prinsip bertentangan dengan model penilaian proses dan portfolio itu. Di atas
segalanya, tantangan paling berat itu adalah bagaimana merubah mindset para guru sebelum
menerapkan kurikulum baru ini. Pelatihan yang fokus hanya pada perubahan artifisial berupa
mengenalkan kepada para guru konsep atau skill baru yang ada dalam Kurikulum 2013, diyakini
tidak akan pernah membuat perubahan yang substantif di lapangan. Semua perubahan besar
dalam sejarah apapun diawali dari perubahan cara berfikir. Karenanya, di sini dibutuhkan metode
pelatihan dan sosialisasi yang revolusioner dengan melibatkan para pakar motivator, psikolog,
dan pedagog handal di dalamnya.
Secara umum, profesi guru mungkin masih dihormati, namun cara orangtua menghormati
guru dan kadar penghormatan mereka terhadap sosok guru mungkin telah mengalami pergeseran.
Kasus penamparan di atas adalah contoh nyata dari pergeseran penghormatan ini. Dulu, tentu
kita masih ingat tatkala kita belajar mengaji di surau atau di musala. Orangtua kita akan
mengantar kita kepada sang guru, dan mempercayakan proses belajar kita di sana sepenuhnya
kepada sang guru.
Namun, poin penting yang perlu dipertahankan dari ―filosofi rotan‖ itu adalah bahwa
tindakan tegas dalam bentuk hukuman adalah satu proses yang tidak bisa dilepaskan dari proses
pembelajaran. Seorang murid harus dididik bahwa dalam hidup itu selalu ada risiko dari setiap
tindakan yang kita lakukan. Berbuat baik akan memperoleh ganjaran yang baik (reward),
sebaliknya berperilaku tak baik juga akan menuai hukuman (punishment). Karenanya, sekali
lagi, tindakan tegas (walau tidak harus dimaknai dengan tindakan kekerasan fisik) itu perlu
dalam dunia pendidikan.
Poin penting lainnya dari ―filosofi rotan‖ itu adalah perlu adanya kepercayaan timbal
balik antara guru dan orangtua dalam proses mendidik anakanak mereka. Orangtua percaya
sepenuhnya bahwa apapun yang dilakukan guru terhadap anaknya adalah untuk kebaikan
pendidikan anaknya. Sebaliknya, sang gurupun akan bersikap bijak dalam memperlakukan
siswa, sebagai bentuk usaha si guru mengemban amanah dari orangtua. Dalam konteks kasus
pemukulan terhadap guru kemarin, kepercayaan timbal balik inilah sesungguhnya yang telah
hilang.
Dalam konteks ini, sepertinya seorang guru hari ini dituntut untuk tidak hanya memiliki
kompetensi pedagogik, kompetensi ilmu yang diajarkan, kompetensi kepribadian, dan atau
kompetensi sosial, tapi juga harus memiliki apa yang disebut oleh Robert T Kiyosaki dengan
financial intelligence (kecerdasan finansial). Selain menjalankan fungsinya sebagai pendidik
yang baik, guru mestinya juga sudah harus berpikir bagaimana memperbanyak aset kehidupan
mereka. Dengan kata lain, guru mestinya juga harus terus-menerus berpikir bagaimana secara
kreatif bisa memperbanyak alternative income (pemasukan lain) untuk menambah kolom aset
mereka.
Harapan di Balik Sertifikasi Guru
Pelaksanaan sertifikasi pendidik telah lama menjadi pembicaraan banyak pihak setelah
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Wacana itu semakin kencang
terdengar ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan yang diantara isinya menegaskan bahwa guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, serta sertifikat pendidik. Ketika ide sertifikasi pendidik
dikomunikasikan ke publik, banyak kalangan merespon positif rencana program sertifikasi ini.
Bagi para pendidik, sertifikasi ini disambut antusias karena sebagaimana dijanjikan pemerintah,
sertifikasi bisa menjadi awal meningkatnya kesejahteraan mereka. Dengan demikian, sertifikasi
ini bisa menjadi momentum yang baik bagi para pendidik kita untuk ‗memperbaiki nasib‘
mereka. Bagi kelompok pemerhati pendidikan nasional, sertifikasi ini juga ditunggu, karena
kalau dilaksanakan dengan benar, bisa menjadi starting point untuk meningkatkan kualitas
pendidikan nasional.

Sistem Penilaian Portofolio


Mengacu pada Permendiknas No. 18 Tahun 2007 di atas, teknis pelaksanaan program
sertifikasi ini akhirnya disepakati dilakukan dengan sistem penilaian portofolio. Dalam konteks
program sertifikasi, portofolio adalah kumpulan bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan
pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai seorang guru dalam waktu tertentu. Dengan
demikian, setiap guru yang akan mengikuti program sertifikasi diwajibkan mengumpulkan
semua dokumen yang dianggap bisa memberikan informasi akurat tentang berbagai pengalaman,
karya, dan prestasi dalam perjalanan karirnya sebagai guru.
Menurut panduan penyusunan portofolio yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (2007), komponen penilaian portofolio ini meliputi
sepuluh aspek penting: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman
mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan
pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam
forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10)
penghargaan yang relevan dalam bidang pendidikan.
Antara Cinta, Kreativitas, dan Profesionalisme Guru

Dalam penilaiannya, tim uji sertifikasi guru telah menetapkan bobot skor setiap
komponen yang akan dinilai. Misalnya untuk poin kualifikasi akademik, bagi peserta sertifikasi
(guru) yang telah menamatkan pendikan jenjang S1, S2, dan S3 pada bidang pendidikan yang
relevan dengan tugas mengajarnya, sang kandidat akan memperoleh skor maksimal untuk
komponen ini sebesar 525. Kemudian, bagi peserta yang telah memiliki pengalaman mengajar
lebih 25 tahun, akan memperoleh skor 160. Komponen lainnya juga sudah ditetapkan aturan
jumlah skornya. Diperkirakan total skor maksimal untuk semua komponen yang dinilai adalah
sebesar 1500. Sementara untuk bisa lolos program sertifikasi ini, seorang guru harus memiliki
skor minimal 850 atau sekitar 57% dari perkiraan skor maksimal.

Efek Positif Penilaian Portofolio


Aspek pengembangan profesi yang diantaranya menilai karya tulis dan hasil penelitian
yang dilakukan seorang guru sepanjang karirnya, misalnya, akan memacu para guru kita untuk
mulai berfikir dan berkarya nyata dalam membuat tulisan ilmiah. Harus diakui, salah satu
permasalahan terbesar kita selama ini adalah bahwa mayoritas para pendidik kita di tingkat
pendidikan dasar dan menengah tidak terbiasa melakukan penelitian dan membuat karya ilmiyah.
Kebanyakan pendidik kita, karena berbagai alasan, masih sangat jauh dengan dunia penelitian.
Padahal, seorang guru seharusnya terbiasa untuk menulis dan melakukan penelitian untuk
mengembangkan profesi keguruan mereka.
Poin penilaian prestasi yang juga cukup mendapatkan porsi penilaian cukup besar
diyakini juga akan berpengaruh positif dalam memotivasi para guru kita untuk berprestasi. Para
pendidik kita akan tersemangati untuk melakukan penemuan, mengikuti berbagai perlombaan,
berdedikasi, dan berkarya di lingkungan sekolahnya. Dengan demikian, komponen ini pada
gilirannya akan membuat guru kita beralih dari paradigma menjadi guru ‗apa adanya‘ menjadi
guru yang memiliki ‗nilai lebih‘ dan profesional.

Menjadi Guru Transformatif


Pasca pemberlakuan UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen yang diikuti oleh beberapa
kebijakan pemerintah terkait keguruan, seperti program sertifikasi pendidik yang sedang
berjalan, pelan tapi pasti, profesi guru di negeri ini akan kembali ke „khittah‟nya sebagai profesi
mulia dan terhormat di negeri ini. Ada optimisme yang sangat beralasan bahwa hari ini dan
selanjutnya profesi guru akan menjadi pilihan sangat menarik sekaligus menjanjikan bagi banyak
anak bangsa ini. Sebuah pilihan yang dilakukan dengan sadar sejak awal, dan bukan pilihan
terpaksa, karena tidak ada pilihan yang lebih baik, seperti yang terjadi selama ini.

Mengidentifikasi Ketidakjujuran Siswa dan Guru

Kasus ketidakjujuran di kalangan siswa barangkali tak lagi dianggap sebagai kejadian luar biasa
dalam dunia pendidikan kita di tanah air. Hal ini disebabkan karena kasus ketidakjujuran itu
dalam berbagai bentuk, seperti mencontek ketika ujian, sepertinya sudah menjadi bagian tak
terpisahkan dalam sejarah panjang dunia pendidikan kita. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa
mencontek telah menjadi ‗budaya‘ (baca: kebiasan buruk) dari pelaku pendidikan kita, karena
tak sedikit siswa (juga mahasiswa) yang pernah melakukan ketidakjujuran jenis ini dalam proses
belajar mengajar yang mereka lalui.

Teacher Cheating
Teacher cheating adalah bentuk ketidakjujuran yang dilakukan seorang guru ketika sebuah ujian
untuk anak didik mereka berlangsung. Seorang guru disebut terlibat dalam aktifitas cheating
yaitu ketika mereka ikut membantu anak didik mereka dalam menjawab soal selama ujian.
Biasanya fenomena teacher cheating ini terjadi ketika siswa menghadapi sebuah high-stake test,
yaitu tes yang hasilnya memiliki konsekuensi serius, tidak hanya kepada masa depan siswa, tapi
juga pada ‗nama baik‘ guru dan sekolah dimana siswa belajar. Dan dalam konteks pendidikan
Indonesia, Ujian Nasional (UN) adalah salah bentuk high-stakes testing yang dikhwatirkan bisa
memancing sebagian oknum guru berlaku tidak jujur dalam pelaksanaanya.

Membaca Angka Kelulusan Ujian Nasional


Sekarang mari kita lihat sepintas bagaimana ‗normalitas‘ hasil ujian siswa pada Ujian Nasional
(UN) yang telah diumumkan. Seperti sudah diketahui masyarakat daerah ini bahwa tingkat
kelulusan siswa SLTA di Sumatera Barat pada UN tahun ini sangat ‗menggembirakan‘. Tahun
ini angka kelululusan untuk SMA meningkat dari 93, 80 persen pada tahu lalu menjadi 95,52
persen pada tahun ini. Berarti ada peningkatan sekitar 2 persen dibanding tahu lalu (Padang
Ekspress, 13/06/2007). Dengan angka ini, tidak tertutup kemungkinan Sumbar akan tetap berada
pada level sepuluh besar peringkat nilai UN secara nasional seperti pada tahun lalu.
Dengan demikian, hanya dalam tempo beberapa bulan saja, terjadi peningkatan dan
akselerasi luar biasa pada kemampuan siswa dalam menjawab soal. Sehingga angka kelulusan
siswapun naik lebih dari seratus persen. Luar biasa! Sampai di sini, dengan mengacu teori
fluktualitas nilai secara ekstrim yang dikemukan Jacob dan Levit di atas, pantas kita bertanya
(untuk tidak menyebut ‗mempertanyakan‘) kemurnian angka kelulusan ini.
Bab 2 membahas mengenai kebijakan dan politik pendidikan.
Pendidikan dan Masa Depan Bangsa
Ketika Indonesia masih berkutat pada upaya pemerataan pendidikan lewat pembangunan SDSD
Inpres, Malaysia sudah berbicara pada tataran peningkatan kualitas pendidikan. Ketika Indonesia
masih disibukkan perdebatan soal "ganti menteri ganti kurikulum", Malaysia sudah menggagas
apa yang mereka sebut pendemokrasian pendidikan. Lalu, ketika tokoh dan birokrat pendidikan
di Indonesia sibuk berdebat tentang apa dan bagaimana sesungguhnya sistem pendidikan,
Malaysia sudah bicara tentang bagaimana strategi mewujudkan suatu sistem pendidikan bertaraf
internasional.
Dan itu tidak main-main. Keinginan untuk go international langsung dituangkan dalam
rumusan misi utama Kementerian Pendidikan Malaysia, yang berbunyi, ―Mewujudkan sistem
pendidikan bertaraf dunia bagi merealisasikan potensi sepenuhnya setiap individu, di samping
memenuhi aspirasi masyarakat Malaysia.‖ (Kompas, 29/04/2004).
Fenomena seperti itu juga mudah dipahami, karena dengan gaji 2.000 RM (1 RM = Rp
2.450) per bulan bagi guru yang baru diangkat, maka setiap guru tidak harus dipusingkan dengan
permasalahan bagaimana mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bahkan, di luar pendapatan rutin
bulanan itu, pihak kerajaan masih memberi sokongan dan berbagai kemudahan bagi guru untuk
menaikkan status sosial mereka. Pinjaman pembelian rumah dan kendaraan (baca: mobil), tentu
saja dengan bunga yang amat rendah, bias diperoleh guru setelah mengabdikan diri dalam
rentang waktu tertentu kepada kerajaan. Penghargaan masyarakat kepada guru (warga setempat
menyebutnya cikgu) juga cukup tinggi sehingga status sosial guru dalam kehidupan seharihari
mendapat tempat terhormat. Iklim yang demikian tentu amat mendukung lahirnya guru-guru
yang profesional di bidangnya. Tanpa harus digembar-gemborkan pejabat yang berwenang,
sebagaimana sering terdengar di negeri ini, profesionalitas di kalangan guru datang dengan
sendirinya setelah kebutuhan dan penghargaan terhadap mereka diberikan pihak kerajaan dan
stakeholders pendidikan. Sisi lain dari bukti komitmen pemerintah Malaysia untuk membangun
negeri mereka melalui sektor pendidikan adalah ketika pada era 1960-an hingga 1970-an,
Malaysia banyak mengirim pelajarpelajarnya ke lembaga pendidikan bergengsi di luar negeri,
seperti Inggris, Australia, dan Amerika Serikat. Umumnya, sepulang dari belajar di luar negeri,
mereka inilah yang kemudian menjadi pimpinan di banyak lembaga pemerintahan di negeri ini.

Kita Juga Bisa


Dengan anggaran yang signifikan, ditambah komitmen bersama untuk membangun negeri ini
melalaui investasi dalam jangka panjang, maka permasalahan klasik dunia pendidikan kita,
seperti kurangnya profesionalitas guru, terbatasnya sarana dan prasarana belajar, lemahnya
disiplin para pendidik, yang semuanya bermuara pada rendahnya kualitas pendidikan nasional
kita, insyaallah secara perlahan akan terminimalisir bahkan tereliminir sama sekali. Selamat
memperingati hari Pendidikan Nasional. Kita masih punya masa depan.

Megawati dan Undang-Undang Sisdiknas (Tanggapan untuk Pak Rektor)


Bapak rektor Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Ganefri, menulis di harian Padang Ekspres
(Selasa, 26 Sepetember 2017) dengan judul ‗Anugerah Doktor Honoris Causa‘. Tulisan beliau
tentu disampaikan dengan maksud memperjelas alasan universitas dan sekaligus menjawab pro
kontra yang berlangsung di masyarakat Sumatera Barat, terutama diantara alumni UNP terkait
keputusan UNP untuk memberikan gelar Doktor Honoris Causa (selanjutnya akan disingkat
DHC) kepada Presiden RI ke-5, ibu Megawati Sukarno Putri.
Tulisan pak rektor itu memuat banyak informasi penting terkait dengan apa itu DHC,
bagaimana DHC telah dipraktekkan di banyak negara dan universitas, serta contoh siapa saja
yang telah memperoleh gelar DHC itu. Tidak ada perdebatan sampai di situ. Apa yang bapak
sampaikan bersifat informatif dan normatif. Sayang sekali, tulisan pak rektor hanya menyebut
sedikit alasan mengapa ibu Megawati pantas dipilih dan dianugerahkan DHC. Padahal yang
menjadi perdebatan di banyak alumni (mungkin juga di masyarakat) bukanlah tentang apa itu
DHC, bagaimana sejarahnya, dan lain-lain, tetapi justru adalah tentang mengapa ibu Megawati
pantas dianugerahi DHC, dan mengapa mesti UNP.

UU No.20/2003 dan Megawati


Membaca tulisan Prof. Ganefri, saya bisa simpulkan bahwa ibu Megawati dianggap UNP sebagai
individu dengan prestasi luar biasa yang bermanfaat untuk banyak orang di bidang politik
pendidikan, karena di masa ibu Megawati lahir UU No 20/2003 tentang sistem pendidikan
nasional. Saya membaca dua kali tulisan pak rektor, untuk mencari alasan lain. Sepertinya inti
dari basis alasan penganugerahan ini memang hanya terkait Undang Undang Sistem Pendidikan
Nasional ini.
Adalah benar bahwa UU Sisdiknis ini adalah sebuah produk politik sangat penting yang
melahirkan paradigma baru dalam reformasi pendidikan nasional. Sekali lagi, adalah betul
bahwa Undang-Undang ini menjadi basis legal formal untuk melakukan banyak perubahan besar
dalam sistem pendidikan kita. Undang-Undang Sisdiknas ini, diantaranya, memuat perintah
konstitusi yang mewajibkan anggaran 20 persen untuk pendidikan, desentralisasi pendidikan
nasional, hilangnya dikotomi sekolah negeri dan swasta dalam politik anggaran, dan juga embrio
lahirnya profesionalisasi pendidikan di banyak sektor, termasuk profesionalisasi guru dan dosen.
Sebagaimana juga disebut oleh pak rektor, UU 14/2005 tentang guru dan dosen adalah
kelanjutan dari ruh UU Sisdiknas itu.

Kesalahan Sistem Pendidikan?


Fenemone pembelahan di atas bisa jadi disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait,
seperti faktor kepemimpinan yang gagal mengelola perbedaan dan memberi contoh yang baik,
faktor ekonomi dimana ada pihak tertentu yang menjadikan politik kebencian sebagai komoditas
yang laku untuk dijual, dan faktor sistem politik kita yang belum berhasil menciptakan kader
politik yang berjiwa kenegarawanan. Namun, sebagai seorang pendidik pada tulisan ini saya
ingin melihat fenomena itu dari aspek pendidikan.
Akarnya adalah karena sejak lama sistem pendidikan kita mengajarkan anak didik kita
untuk terus bersaing atau berkompetisi, tetapi abai mengajarkan mereka tentang sikap kesatria
itu. Nuansa kompetisi itu telah terasa sejak saat pertama kita masuk sekolah, dimana dulu kita
sudah harus mengikuti beberapa jenis tes, berkompetisi, mengalahkan yang lain untuk
memperoleh bangku di sebuah sekolah. Suasana yang sama bertahan sampai saat kita belajar di
ruang kelas, dan ketika kita akan lulus dari sekolah.
Sekali lagi, iklim kompetisi inilah yang lebih dominan kita rasakan saat kita bersekolah.
Hampir setiap hari kita didorong untuk jadi juara kelas, misalnya, mengalahkan teman yang lain.
Akibatnya tak heran jika, misalnya, salah satu yang sering ditunggu oleh siswa dan orangtua di
akhir smester adalah tengang ‗siapa juara berapa, atau siapa rangking berapa? Kita juga terus
dimotivasi untuk selalu menjadi nomor satu pada banyak keadaan: ketika kita berolahraga, saat
kita belajar menyanyi, saat kita pramuka, bahkan saat kita membaca AlQuran.

Membangun Nilai Baru


Bahwa pendidikan seharusnya bisa mengembangkan empat pilar pendidikan abad 21: 1)
Learning to know (belajar untuk tahu/memperoleh pengetahuan); 2) Learning to be (belajar
menjadi diri sendiri/membangun identitas, 3) Learning to do (belajar untuk bisa melakukan
sesuatu/memilik skill untuk bertahan hidup); 4) Learning to live together (belajar untuk hidup
bersama).
Mengikuti paradigma pendidikan UNESCO poin ke empat (learning to live together),
pada satu dekade terakhir dunia pendidikan telah mulai mengurangi iklim kompetisi dalam
proses belajar. Banyak sekolah kemudian lebih banyak mempraktekkan pendekatan cooperative
learning misalnya, termasuk dalam kurikulum nasional kita. Pendekatan ini diharapkan bisa
membantu siswa untuk belajar agar bisa hidup bersama, karena pendekatan ini menekankan
pentingnya kerjasama antar siswa selama proses belajar. Kerjasama itu, misalnya, ditandai
dengan banyaknya kegiatan yang memungkinkan siswa untuk berbagi ide dengan teman dalam
kelompok kecil, dengan teman satu kelas, atau bahkan dengan teman dari kelas yang berbeda.
Intinya, pembelajaran kooperatif mendidik siswa untuk bekerja dalam tim, berinteraksi,
bekerjasama dengan baik dan menerima keragaman di lingkungan belajarnya untuk mencapai
tujuan bersama.

Anda mungkin juga menyukai