Anda di halaman 1dari 2

Kerajaan Sriwijaya Muncul Abad ke-7, Jadi Bukan

Fiktif Seperti Kata Kong Ridwan


Djulianto Susantio
Kalau mau cepat dikenal, buatlah pernyataan yang kontroversial. Beberapa tahun lalu ada
'ilmuwan' yang menyatakan Candi Borobudur dibangun oleh Nabi Sulaiman. Sontak
pendapatnya ramai dibicarakan. Meskipun tulisannya berbau mitos dan dongeng, namun tetap
saja banyak orang percaya.

Ada lagi pendapat adanya beberapa gerbong emas di Gunung Padang. Semuanya bisa untuk
membayar hutang negara. Ini pun ramai diperbincangkan sehingga didengar tim khusus
kepresidenan dan jadilah proyek cari duit.

Beberapa hari lalu, muncul pendapat dari Bapak Ridwan Saidi yang menyatakan
Kerajaan Sriwijaya hanya dongeng atau fiktif. Tidak ada jejaknya di Nusantara, katanya lagi.
Bahkan Sriwijaya hanya sebatas kelompok bajak laut dari Koromandel. Pendapat engkong atau
babe itu ditayangkan dalam dua video.

Karena ada media sosial, video tersebut menjadi viral. Mungkin telah diakses lebih dari
100.000 kali. Padahal, untuk video sejenis yang berkategori 'waras' diakses 1.000 kali pun
sudah termasuk luar biasa.

Banyak arkeolog dan sejarawan tidak menerima 'teori' tersebut. Engkong dianggapnya lagi
'pikun'. Apalagi ia tidak berkapasitas sebagai peneliti sejarah Palembang. Entah atas dasar apa
engkong berpendapat begitu.

"Jelas ngawur, sebuah temuan harus diuji oleh forum ilmuan sebidang agar ada pengakuan,
tidak bisa asal berpendapat," kata Farida, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumatera
Selatan. Begitu saya kutipkan sepenggal berita dari www.cnnindonesia.com.
Kecaman juga datang datang dari Retno Purwanti, arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera
Selatan. Apalagi engkong berpendapat Prasasti Kedukan Bukit, salah satu sumber utama
Sriwijaya, ditulis menggunakan bahasa Armenia. Padahal, prasasti tersebut beraksara Palawa
dan berbahasa Melayu Kuno.

Pertanggalannya 604 Saka atau identik dengan 682 Masehi. Prasasti antara lain menyebutkan
seorang bernama Dapunta Hyang yang berangkat dari Minanga Tamwan naik perahu bersama
bala tentara, kemudian tiba di Matayap, dan akhirnya membangun kota Sriwijaya setelah
berhasil menaklukkan beberapa daerah. Demikian informasi dari Kamus Arkeologi Indonesia
2, 1985.

Engkong menuding kebanyakan peneliti sejarah dan arkeologi salah dan ngelantur memahami
aksara dan bahasa dalam prasasti. Hehehe...rupanya engkong ahli epigrafi nih.

Hampir tidak diragukan lagi Palembang pernah menjadi lokasi pusat Kadatuan Sriwijaya pada
abad ke-7 Masehi. Sebagian besar prasasti batu dari abad ke-7---8 Masehi ditemukan di
Palembang. Selain itu ditemukan 30 prasasti pendek di sekitar Telaga Batu, Sabokingking di
Palembang Bagian Timur.

Penggalian arkeologis, sebagaimana buku Ekspedisi Sriwijaya (Balai Arkeologi Palembang,


2010), dilakukan pada 1974, dilanjutkan secara intensif pada 1986-1992 oleh Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.

"Sebagian besar situs tersebar di sepanjang Sungai Musi sampai jarak lima kilometer dari tepi
sungai. Konsentrasi aktivitas zaman Sriwijaya terdapat di daerah Bukit Seguntang,
Karanganyar, dan kawasan Sabokingking-Gedingsuro," demikian arkeolog Nurhadi Rangkuti.

Seingat saya, engkong sering memberikan pendapat yang nyeleneh. Beberapa tahun lalu, ia
pernah mengritik soal ulang tahun Jakarta 22 Juni. Menurut engkong, seharus 3 September saat
Jakarta ditetapkan sebagai Kota Praja pada 3 September 1945 oleh Bung Karno.

Memang yang saya tahu, hasil 22 Juni merupakan 'hitungan' dari Prof. Hoesein Djajadiningrat.
Nama Jayakarta diberikan pada 22 Juni 1527. Sebaliknya Prof. Soekanto berpendapat dalam
bukunya Dari Jakarta ke Jayakarta (1954), perubahan nama Jayakarta dilakukan pada 17
Desember 1526. Sayang sudah ada keputusan politis bahwa Jakarta lahir pada 22 Juni 1527.

Menurut engkong, pada 22 Juni 1527 pasukan gabungan Kesultanan Demak dan Cirebon
memerangi bangsa Portugis sekaligus membantai penduduk asli Sunda Kalapa, yakni orang-
orang Betawi.

Sebenarnya yang saya baca, nama Jakarta dikenal pada zaman pendudukan Jepang. 'Saudara
tua' kita itu berusaha membuang segala hal yang berbau Belanda. Lalu menggantinya dengan
istilah Indonesia atau Jepang.

Saya pernah baca iklan kecil pada koran lama bahwa pemerintah Jepang memberi maklumat
mulai 8 Desember 1942 nama Batavia diubah menjadi Jakarta Tokubetsu Shi. Tanggal itu
diambil dari perayaan Hari Perang Asia Timur Raya. Informasi demikian saya peroleh juga
dari buku Jakartaku, Jakartamu, Jakarta Kita (Lasmijah Hardi, 1987).

Batujaya
Sekali waktu engkong pernah berceloteh bahwa kerajaan tertua di Jawa Barat bukan di
Batujaya tapi bernama Salakanagara. Salakanagara berdiri pada abad ke-2, sementara situs
Batujaya diperkirakan berasal dari abad ke-3 atau ke-4.

"Pendapat Hasan Djafar itu salah," katanya yakin. Namun klaim Salakanagara lemah karena
tidak ada bukti fisik. Yang ada hanya berupa catatan perjalanan dari Tiongkok. Sebaliknya di
situs Batujaya dan sekitarnya ditemukan beberapa candi bata dan artefak Buddha lain.

Sungguh disayangkan kalau generasi milenial dan masyarakat awam disesatkan oleh pendapat
yang tidak berdasar. Untuk itu arkeolog dan sejarawan harus banyak menulis populer. Ini untuk
memberi pemahaman kepada masyarakat awam akan berita-berita hoaks.

Anda mungkin juga menyukai