Anda di halaman 1dari 3

Suyoto Rais, orang yang kini dikenal sebagai seorang profesional global dulunya adalah anak

sulung dari keluarga kurang mampu di Desa Jojogan, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, Jawa
Timur. Sayangnya, kondisi keluarganya secara psikis juga tidak baik. Suyoto muda harus merasakan
perceraian orang tuanya semenjak SD. Masing-masing orang tuanya pun menikah lagi. Perceraian mereka
pun berdampak pada kehidupan Suyoto muda yang selanjutnya diasuh oleh kakek neneknya-orang tua
dari ibu.

Kakek nenek mendukung penuh Suyoto untuk melanjutkan pendidikan. Dengan pekerjaan
seadanya sebagai petani, mereka rela melakukan apapun agar Suyoto mampu melanjutkan sekolah.
Namun, kondisi ekonomi yang jauh di bawah kemiskinan membuat kakek nenek sudah tidak bisa lagi
membiayai pendidikan Suyoto ke jenjang SMP. Akhirnya, Suyoto bekerja sebagai pembantu di rumah
salah seorang guru sekolahnya. Tidak ada rasa malu baginya untuk tetap melanjutkan pendidikan dan
bercita-cita tinggi.

SMP mampu terselesaikan dengan baik. Namun, perjuangan masih belum berakhir. Suyoto
melanjutkan pendidikan SMA dengan menetap di pondok pesantren tua asuhan Almarhum K.H. Mawardi
secara gratis. Kyai sepuh yang cukup terkenal di Tuban ini sangat baik. Beliau mau menerima kehadiran
Suyoto meski tujuan utama Suyoto tinggal di pondok pesantren bukan untuk belajar agama.

“Yang paling dicintai Allah itu bukan orang yang pinter ngaji, bukan yang hafal Alquran dan tahu
banyak dalil-dalil. Namun, mereka yang benar-benar ikhlas menjalani kehidupan ini dengan segala ritual
yang diperlukan, dan ikhlas menolong sesamanya. Kalau semua didasari dengan ikhlas, semua akan terasa
ringan. Silahkan saja tinggal di sini selama kamu mau.”. Demikian kata bijak dari K.H. Mawardi yang masih
Suyoto ingat sampai sekarang.

Selama hidup di pondok, Suyoto sama sekali tidak mengeluarkan biaya apapun untuk melanjutkan
hidup. Makanan selalu ada donatur dari luar pondok. Sedangkan untuk masalah SPP pondok, kakeknya
sering menggadaikan sawah. Hal itu membuat Suyoto tergerak untuk membantu kakeknya dengan
nyambi berjualan es lilin sepulang sekolah. Suyoto juga pernah mengamen di sekitar Kabupaten Tuban
selama libur panjang sekolah untuk menambah uang SPP.

Satu hal yang membuat Suyoto terkesan adalah kakeknya yang merasa bangga dengan nilai rapot
Suyoto. Wajah kakek selalu berseri-seri karena konon beliau adalah orang yang dipanggil pertama kali
ketika pembagian rapot. Pujian pun selalu datang dari para guru dan wali murid lain. Pembagian rapot
saat itu memang berdasarkan urutan ranking tertinggi dan Suyoto selalu menjadi ranking satu di
sekolahnya. Tanpa sadar, pencapaian nilai Suyoto di sekolah menjadi penyemangat hidup kakeknya
sehari-hari. Tak jarang lelaki berusia 60 tahun itu duduk paling depan di antara wali murid yang lain saat
pembagian rapot itu tiba.

Karier pendidikan Suyoto melejit. Dengan ketekunan belajar tanpa lelah, Suyoto diterima di ITS
Surabaya dengan predikat lulusan terbaik di SMA-nya. Sayangnya, biaya lagi-lagi menjadi kendala.
Beruntung bantuan dan sumbangan silih berganti termasuk dari Pak Lurah dan Pak Camat setempat
karena keberhasilan Suyoto sebagai putra desa yang pertama kali diterima di perguruan tinggi negeri
papan atas. Secara tidak langsung, hal itu mengharumkan nama desa dan SMA tempat Suyoto belajar
dulu.
Masih berbekal bantuan dari orang lain, Suyoto tinggal di Surabaya dengan bantuan dari salah
satu dosen ITS berhati emas yaitu Almarhum Pak Soehardjo. Suyoto bekerja sebagai pembantu di rumah
beliau yang berada dalam kompleks perumahan dosen. Pak Soehardjo mau menerima Suyoto dengan baik
meski tidak kenal sebelumnya.

Uang sumbangan dari desa ternyata hanya cukup untuk biaya kuliah selama satu semester.
Mungkin masalah makan dan tempat tinggal sudah teratasi dengan baik, namun masih ada biaya-biaya
lain diluar perkiraan demi menunjang kegiatan kuliah termasuk biaya kuliah itu sendiri. Lambat laun,
keputusan untuk berhenti kuliah sudah tergantung di depan kepala. Suyoto berpikir bahwa berhenti
kuliah lalu bekerja adalah pilihan yang tepat untuk saat ini. Namun, mencari pekerjaan untuk lulusan SMA
bukan perkara yang mudah. Pengajuan diri dari kantor ke kantor selalu mendapat penolakan.

Di tengah situasi genting itu, Suyoto mendapat informasi beasiswa OFP (Overseas Fellowship
Program) di BPPT. Suyoto mengikuti segala prosedur dan persyaratan tes hingga nekad terbang ke Jakarta
untuk tes dengan modal pas-pasan. Dari ribuan anak yang berprestasi dari seluruh Indonesia, Suyoto
masuk dalam daftar kandidat calon penerima beasiswa OFP dan diberikan dipilihan untuk melanjutkan
pendidikan di Jepang atau Belanda. Tanpa pikir panjang, Suyoto langsung memilih Jepang sebagai
destinasi pendidikan selanjutnya.

Suyoto kuliah pada bulan April 1987 di Industrial and System Engineering, Setsunan University
dan lulus dengan gelar Bachelor of Engineer pada Maret 1991. Gelar insinyur dan impian kerja di BPPT
seperti impian Suyoto selama ini pun terwujud. Konon di desa, kakeknya sering mendapat ucapan selamat
atas kembalinya sang cucu yang sudah menjadi insinyur. Bisa dibayangkan betapa berserinya wajah kakek
karena bangga terhadap cucunya, Suyoto Rais.

Pada Februari tahun 1992, Suyoto melanjutkan pendidikannya ke Master Program of Mechanical
and System Engineering, Graduate School, Setsunan University dengan beasiswa dari BPPT. Suyoto
mengambil jurusan Mechanical System Engineering. Setelah lulus S2, Suyoto melanjutkan S3 di Osaka
Prefecture University dengan biaya sendiri. Inilah kali pertama Suyoto untuk membayar biaya
pendidikannya sendiri.

Selain cerdas dalam karier pendidikan, Suyoto juga aktif dalam berbagai organisasi yaitu
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Osaka, BINDO Fans Club (BFC) dan lain-lain. Karier kerjanya pun tak kalah
hebat. Sosok Suyoto Rais memiliki pengalaman kerja dengan berpindah dari satu perusahaan ke
perusahaan lain di Jepang untuk mencari pengalaman. Suyoto sempat bekerja di Denso, Sumitomi Electrik
Group, Nidec dan lain-lain. Apalagi ketika kinerja Suyoto sangat baik dan langsung dipercayakan untuk
menduduki posisi penting di perusahaan tersebut.

Karier kerja Suyoto yang mengudara tidak serta merta melupakan dirinya dengan Indonesia.
Suyoto mulai berpikir untuk bekerja menjadi ekspratriat di negeri sendiri. Selain itu, Suyoto menggalakkan
aktivitas Love Indonesia (LOVIN) akibat Indonesia yang mengalami krisis multinasional pada tahun 1998.
Kontribusi lain yang dilakukan Suyoto adalah mendirikan pusat produksi makanan halal Indonesia di
Jepang yang nantinya mampu mengimpor bahan baku langsung dari Indonesia.

Salah satu kritik Suyoto dalam bukunya adalah kebanyakan peneliti Indonesia saat ini lebih
mementingkan education oriented daripada market oriented. Education oriented adalah dimana struktur
jabatan peneliti lebih mementingkan gelar akademis, sertifikat dan publikasi ilmiah dalam pengembangan
iptek. Sekilas, sistem penilaian ini memacu persaingan sehat dan meningkatkan kreativitas para peneliti
untuk berprestasi memperbanyak karya ilmiah. Tetapi realitasnya di lapangan adalah karya ilmiah yang
dihasilkan hanya untuk mempercepat jenjang karier pribadi bukan untuk menghasilkan manfaat riil bagi
masyarakat luas. Sedangkan market oriented lebih memfokuskan diri pada pengembangan sumber daya
manusia seperti memberikan lapangan pekerjaan beserta pelatihan bagi masyarakat sekitar. Peneliti
marked oriented ini lebih menekankan hasil penelitiannya agar memberikan manfaat nyata bagi
masyarakat luas.

Sudah seharusnya kita menjadi pelajar sebagai aset bangsa yang siap berkontribusi demi
kemajuan Indonesia. Semangat menempuh pendidikan, meraih cita-cita dan berkontribusi untuk
Indonesia sudah Suyoto salurkan untuk generasi muda melalui buku biografinya, Seindah Sakura di Bumi
Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai