Anda di halaman 1dari 5

Proses perencanaan partisipatif sendiri diawali saat terjadinya gempa bumi tahun 2006 lalu.

Saat
terjadinya gempa bumi beberapa tahun silam tersebut, Serut memang merupakan salah satu
wilayah yang cukup parah kerusakannya. Walaupun sebenarnya Serut telah lama menjadi dusun
percontohan di Kabupaten Bantul bahkan nasional terutama yang terkait dengan pertanian organik
dan partisipasi masyarakat.

salah satu hasil dari pelaksanaan perencanaan partisipatif tersebut yaitu adanya Pos-daya Edelweys.
Posdaya yang dirintis pascagempa 2006 ini bertujuan untuk meningkatkan program di bidang
pendidikan dan pembangunan, serta membentuk kebersamaan dengan gotong royong untuk
menuju tujuan abad millenium tahun 2015. Posdaya Edelweys sendiri terbagi dalam beberapa
bidang kelompok kegiatan, seperti bidang ekonomi, bidang sosial, bidang pendidikan dan bidang
keagamaan.

Dalam pengamatan dan analisis penulis saat kuliah ekskursi tanggal 21 Mei 2012 lalu, Posdaya
Edelweys memang merupakan induk dari segala aktivitas unit kegiatan usaha yang ada di Dusun
Serut. Kegiatan yang dilaksanakan oleh unit-unit kegiatan yang tergabung dalam Posdaya Edelweys,
memang boleh dikatakan sangat mengacu dan menyukseskan Master Development Goal’s (MDG’s)
dan MP3EI. Setidaknya hal itu juga diakui oleh Kepala Dusun Serut, Rahmat Tobadiana.

Bicara mengenai prestasi, Dusun Serut telah lama menjadi dusun yang berprestasi di
Kabupaten Bantul. Pada tahun 2009 misalnya, Unit Usaha Pelayanan Jasa Alat/Mesin Perta-
nian (UPJA) ‘Ngupaya Boga’ yang merupakan unit bagian dari Posdaya Edelweys. Menjadi
10 besar bersama kelompok lainnya yang menerima penghargaan dari Presiden RI pada
Jambore Pertanian Nasional di Boyolali. Sebagai kelompok yang mendukung para petani
untuk meningkatkan produk pertanian.

Penulis juga menilai bahwa apa yang terjadi di Dusun Serut kini, merupakan bentuk dari
penyesuaian antara kearifan lokal (localwisdom) yang dimiliki bangsa ini dengan arus
globalisasi informasi dan teknologi. Kemandirian Dusun Serut yang mengedepankan azas
kekeluargaan dan prinsip kegotongroyongan berdasarkan ilmu pengetahuan, pada akhirnya
merupakan buah manis dari akulturasi antara perilaku budaya lokal dengan pemanfaatan
teknologi yang dilakukan oleh masyarakat.

Keberhasilan Dusun Serut dalam mengelola lingkungannya juga sebenarnya tidak lepas dari
kemitraan yang terjalin antara Dusun Serut dengan perguruan-perguruan tinggi yang ada di
Yogyakarta. Seperti yang dikatakan Tobadiana, bahwa beberapa unit kegiatan yang ada di
Dusun Serut merupakan hasil kerjasama dengan perguruan tinggi. Instalasi Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA) misalnya, merupakan bentuk kerjasama dengan Pusat Studi
Lingungan Hidup (PSLH) UPN “Veteran” Yogyakarta. Perguruan tinggi lainnya yang
bekerjasama di bidang yang lain pula di antaranya yaitu UGM, UMY, dan USD Yogyakarta.
Keberhasilan Dusun Serut dalam mengelola lingkungannya secara mandiri dengan tujuan
menyejahterakan masyarakatnya. Tentu tidak lepas dari pengaruh sosok pemimpin di
dalamnya, adalah Rahmad Tobadiana, S.Pd., Kepala Dusun Serut yang telah menjabat sejak
tahun 1991 merupakan sosok yang paling berpengaruh dalam kemajuan Dusun Serut. Dari
analisis psikis yang dilakukan penulis, memang Tobadiana selaku Kepala Dusun merupakan
sosok yang visioner dan ambisius. Salah satu bentuk ambisiusitasnya terlihat dari programnya
yang menginginkan pada tahun 2015 nanti, seluruh rumah warga di Dusun Serut berpagarkan
Bunga Anggrek dan tanaman lainnya.

Sejak ia memimpin 21 tahun silam dan akan memimpin sampai 18 tahun kedepan, Serut telah
berubah drastis terutama di bidang lingkungan dan seringkali menjadi dusun percontohan di
Kabupaten Bantul. Sehingga tidak salah kiranya jika pada tahun 2012 ini, Rahmad Tobadiana
menjadi nominator penerima penghargaan Kalpataru kategori Pembina Lingkungan yang
diusulkan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul.

Di sisi yang lain, penulis melakukan penilaian yang bersifat kritis komparatif atas apa yang
terjadi di Dusun Serut dengan tempat-tempat lainnya yang pernah dikunjungi oleh penulis
pribadi dalam kesempatan yang berbeda. Bahwa pelbagai kegiatan pemberdayaan di Dusun
Serut sebenarnya juga telah dilakukan oleh beberapa tempat atau dusun lainnya. Di Dusun
Sukunan, Gamping, Sleman misalnya, masyarakat di sana dikenal dan berprestasi karena
keberhasilannya mengelola pelbagai permasalahan lingkungan yang ada di dusun tersebut.

Pun demikian dengan Dusun Karanganyar di Kota Makassar yang berhasil menjadi Dusun
Percontohan Tingkat Nasional dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup. Atau Dusun
Karangmalang, Sleman, yang menekankan pada pemberdayaan ibu-ibu muda dan kaum
lansia. Namun, kelebihan dari Dusun Serut bahwa apa yang dimiliki dan dilakukan oleh
masyarakat setempat melalui Posdaya Edelweys lebih lengkap dan kompleks dibandingkan
dengan dusun-dusun lain di Indonesia. Poin penulis pada bagian ini bahwa apa yang
dilakukan oleh masyarakat di Dusun Serut merupakan contoh kecil dari keberhasilan dan
kemampuan sekelompok masyarakat yang mampu mengelola lingkungannya sendiri
secara sustainable dan serius sehingga berdampak positif pada pemberdayaan anggotanya.

Perlahan tapi pasti, matahari bergerak terus kebarat. Cahaya matahari tidak lagi
terasa. Dari atas motor, saya tidak lagi melihat entah dimana posisi matahari.
Kumajaya terus saja (partner riset saya) melajukan motornya. Akhirnya sampai juga
di Kecamatan Palbapang Sore itu.

Karena baru pertama ke Dusun Serut jadi agak susah mencarinya. Hanya bermodal
informasi dari Pak Pence, seorang aktivis lingkungan (daur ulang sampah) di daerah
Magelang saat kami bertemu di acara jogongan media rakyat, di Jogja National
Museum, bilangan Wirobrajan, Jogja. Informasinya pun tidak banyak. Hanya
menyebut nama pak Rohmat Tobadiana dan kampung hijaunya. “Kamu cari saja
pak Toba. Danau Toba namanya” ujarnya singkat. Ya, cuman modal itu saja.
Suasana langit yang seolah menutup singkapnya, menuju malam menyambut saya di
dusun itu. “Biar tidak salah kita tanya penduduk saja ya Kum” ajakku kepada Kuma.
“Ok bro” jawabnya. Setelah dua kali bertanya akhirnya sampai juga dirumah pak
Toba.

Pintu rumah saya ketuk. “Kulonuwun Pak” ujar Kuma. Sejurus kemudian seorang
perempuan keluar dari ruang tengah ke pintu.

“Ada apa dek”? tanyanya.

“Mau ketemu pak Toba, beliau ada” jawabku.

“Oh iya, tunggu ya, dia lagi sholat maghrib” jawabnya kemudian sambil
mempersilakan duduk di bangku teras rumah.

Setelah pak Toba sholat dia pun menemui kami dan mengajak diskusi di joglo yang
terletak kira-kira 10 meter dari rumahnya. “Bagaimana konsep kampung hijau dan
kenapa itu yang terpikir di benak pak Toba” usikku dengan sebuah pertanyaan. Ia
lalu bercerita mengenai kampung hijau.

“Begini pak Mul, kampung hijau itu berangkat dari tiga filosopi yaitu ekologi, sosial
dan ekonomi. Ekologi berkaitan dengan bagaimana masyarakat didusun ini
mengelola sumberdaya yang ada berdasarkan prinsip-prinsip keharmonisan dan
rahmatan lil alamin. Artinya didasarkan pada daya dukung lahan dan kondisi
lingkungan. Singkat mungkin bisa disebut memperhatikan aspek lingkungan hidup.
Kedua, sosial berkaitan dengan budaya dan masyarakat setempat. Ketiga, aspek
ekonomi, ini berkaitan dengan dampak dari penerapan dua filosopi awal tadi.
Artinya pelaksanaan prinsip-prinsip ekologi dan sosial ternyata memiliki implikasi
positif bagi perekonomian warga dusun serut. Sehingga atas prinsip-prinsip itulah,
maka kami menyebut kampung hijau, tidak ikut-ikutan dengan desa wisata” urai
alumni jurusan sejarah Universitas PGRI Yogyakarta ini.

Semuanya bermula tatkala gempa bumi memporak-porandakan Bantul tahun 2006


silam. Tapi pak Toba sudah merintis jalan ini sesungguhnya saat pertama kali ia
diangkat menjadi kepala dusun. Tahun 2000-an, ia sudah mengajak warganya
bertani dengan pendekatan organik, tapi masih susah merubah kultur bertani yang
sudah mapan. Tapi sudah ada lumbung padi yang menjadi penyangga pangan ketika
gempa terjadi. “Waktu itu saya masih kuliah, dilokasi KKN pak Mul, saya dipaksa
oleh Lurah jadi kepala dusun lewat orang tua saya, ya akhirnya pasrah saja” papar
pak Toba mengenang saat-saat ia memulai debutnya sebagai kepala dusun.

Dari momentum gempa itulah masyarakat dusun Serut bangkit. Untuk menghibur
masyarakatnya, pak Toba menginisiasi panen raya ditengah-tengah masyarakat yang
masih susah dan masih memikirkan rumah, dan kerusakan-kerusakan fisik lainnya.
Ia berhasil menghadirkan Bupati Bantul, HM Idhan Samawi untuk memanen padi
yang dibudidayakan oleh warga Serut dan diliput oleh media massa secara luas.
“Ketika gempa mas, saya teringat dengan Hirosima dan Nagasaki. Kebetulan saya
kuliah dijurusan sejarah. Itu yang menjadi pemicu saya bersama-sama dengan
masyarakat disini” tandasnya.

Untuk mensiasati tingginya biaya usahatani, pak Toba memotivasi warganya untuk
beralih kepertanian organik. Alat-alat mesin pertanian disediakan oleh kelompok,
jadi petani tidak perlu beli lagi. Cukup mereka menyewa dan kasnya untuk
kelompok.

Di Serut, kaum difabel (cacat) diberdayakan oleh pak Toba untuk memproduksi
pupuk organik. Sementara kandang-kandang ternak yang umumnya dirumah,
direlokasi menjadi terpadu dengan pengolahan kompos.

Kini kampung hijau tumbuh menjadi kampung yang banyak dilirik oleh wisatawan,
ilmuan, dan mereka yang mau belajar pengelolaan sampah, koperasi tani, pertanian
organik dan berbagai kegiatan alternatif lainnya. Kampung ini dikunjungi rata-rata
100 orang dalam seminggu. Pengunjungnya dari seluruh Indonesia bahkan sudah
kurang lebih 10 negara yang pernah magang pertanian organik di kampung hijau.
Pemerintah pun mengapresiasi kampung ini dan menjadikannya sebagai pusat
pelatihan pedesaan dan pertanian swadaya (P4S).

Pengunjung yang mau berwisata atau mau belajar pertanian organik tidak di pungut
biaya, syaratnya mereka harus tinggal dirumah penduduk, bergaul, bersosialisasi,
makan dan minum. Wisman atau mereka yang magang akan disuguhi dengan
berbagai menu organik. Untuk sarapan harganya Rp. 5.000 dan untuk makan siang
atau malam Rp. 15.000.

“Kami bersyukur, bahwa apa yang kami anjurkan beberapa tahun yang lampau, kini
pelan-pelan masyarakat mulai menyadari setelah banyak sekali orang yang datang
kesini. Obsesi saya ialah, kedepan menjadikan kampung ini betul-betul dikelilingi
oleh pepohonan. Karena itu, setiap orang yang datang kesini wajib menanam pohon
satu orang satu batang pohon” ujarnya.

Ketok Tular Strategi


Ketika saya tanya kenapa anda tidak memasang harga seperti halnya tempat-tempat
yang lain, di bank sampah misalnya. “Cerita orang tentang kampung kami jauh lebih
mahal mas dari pada harus memungut biaya. Yang lebih penting itu ketersambungan
batin” ungkapnya. Lebih jauh ia menjelaskan, kalau orang datang lalu saya pungut
biaya dia pulang sudah selesai. Karena kami sudah dibayar. Tetapi kalau mereka
datang kita sambut baik-baik, disuguhi ala kadarnya mungkin akan berkesan. Paling
tidak mereka akan menceritakan bahwa untuk belajar pertanian organik, pengolahan
sampah, atau koperasi keluarga miskin tanpa harus banyak keluar uang, ya
datanglah ke kampung hijau.

Dalam ilmu pemasaran yang saya pelajari di UGM, pendekatan ketok tular ini
disebut dengan word of mouth strategy alias mulut ke mulut. Dalam kasus kampung
hijau, pendekatan ini terbilang sangat efektif dieksekusi oleh pak Toba.

Anda mungkin juga menyukai