Anda di halaman 1dari 12

Kesesuaian SNI dengan Standar Internasional dan Standar Mitra Dagang

(Ranni Resnia, Bagus Wicaksena dan Zamroni Salim)

KESESUAIAN SNI DENGAN STANDAR INTERNASIONAL DAN STANDAR


MITRA DAGANG PADA PRODUK EKSPOR PERIKANAN TUNA DAN
CAKALANG
Compatibilty of Indonesian National Standards (SNI) to International Standards and
Trading Countries Standards on Fisheries Export Products Tuna and Skipjack

Ranni Resnia, Bagus Wicaksena dan Zamroni Salim

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan


Jl. M. I. Ridwan Rais, No. 5, Jakarta Pusat 10110, DKI Jakarta - Indonesia
e-mail: ranni_resnia@yahoo.com

Diterima: 3 November 2014, Direvisi: 9 Februari 2015, Disetujui: 13 Februari 2015

Abstrak

Selama tahun 2002 – 2010, penolakan produk perikanan Indonesia di negara tujuan ekspor mencapai 80% dari
2.608 kasus penolakan terhadap produk pangan Indonesia, dimana tuna dan cakalang merupakan komoditi
utama. Permasalahan utama yang menjadi alasan penolakan adalah isu ketidaksesuaian produk perikanan
dengan standar di negara tujuan. Namun sebaliknya, impor produk perikanan selama periode 2007 – 2011 naik
40% setiap tahunnya dengan mutu yang belum tentu sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kesesuaian standar memiliki peran yang penting dalam peningkatan produk ekspor dan
pengendalian produk impor. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kebutuhan standar produk perikanan
tuna dan cakalang serta kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh
pasar ekspor untuk tuna dan cakalang beku. Dengan menggunakan analisis gap, diperoleh bahwa kriteria pada
SNI sudah sesuai dengan standar internasional dan mitra dagang. Bahkan, SNI lebih ketat terkait nilai rujukan.
Namun, syarat standar pada mitra dagang lebih banyak dan berkembang sesuai kebutuhan pasar dan
perkembangan teknologi. Dengan demikian, secara keseluruhan terdapat lebih banyak gap negatif dibandingkan
dengan gap positif pada SNI yang pada akhirnya dapat mempengaruhi daya saing, khususnya kualitas produk
ekspor.
Kata kunci : kesesuaian standar, Standar Nasional Indonesia, standar internasional, ekspor produk perikanan.

Abstract

In 2002 – 2010, rejection of Indonesian fisheries product recorded at 80% from 2.608 cases of Indonesian food
products rejection at export destination countries, of which dominated by tuna and skipjack. The major reason
was non-compliance issue with standards at export destination countries. On the other hand, between 2007-2011
imported fisheries product grew 40% per year, though the quality is not certainly comply with the Indonesian
National Standard (SNI). This condition accentuates that standard conformity playing an essential role in
promoting export as well as controlling import. This study aims to figure out the required measures for tuna and
skipjack standard and conformity existence between SNI and prevailing standardsin export destination countries.
By performing gap analysis, this study found that requirements in SNI already inline with international and export
destination countries standards, moreover reference point in SNI is stricter. However, market needs and
technology development has been well adopted in requirements of destination countries standards which leads to
dominant negative gap in SNI. Thus, this condition will have the potential to adversely affect product
competitiveness, especially for export product.
Keywords: standard conformity, Indonesian National Standard, international standard, export of fisheries
product.

1. PENDAHULUAN standar mutu untuk produk pangan menjadi


penting. Dalam kaitannya dengan perdagangan
internasional, maka produk pangan yang
Standar berfungsi untuk membantu
diperdagangkan harus memenuhi persyaratan
menjembatani kepentingan konsumen dengan
yang berlaku di negara tujuan ekspor, antara lain
kepentingan pelaku usaha atau produsen,
syarat mutu, keamanan, lingkungan, kesehatan
karena dengan cara menerapkan standar
dan lain-lain. Hal yang sama juga berlaku untuk
terhadap suatu produk yang tepat dapat
produk impor. Penerapan standar akan
memenuhi kepentingan dari kedua belah pihak.
berdampak pada terciptanya pasar yang
Seiring dengan peningkatan kebutuhan pangan,
87
Jurnal Standardisasi Volume 17 Nomor 2, Juli 2015: Hal 87 - 98

tersegmentasi, peningkatan kekuatan pasar dari dari keseluruhan kasus penolakan (Saputra dan
pelaku, serta menguatkan entry barriers (Salim, Hariyadi, 2012). Penolakan produk perikanan
2012). Dalam upaya peningkatan ekspor, tersebut antara lain disebabkan alasan kotor,
produk-produk ekspor Indonesia diharapkan kandungan salmonela, veterinary drugs, dan
memiliki kesesuaian standar mutu dengan kandungan histamine yang melebihi batas.
ketentuan yang ditetapkan negara tujuan. Padahal produk perikanan merupakan salah satu
Dalam implementasinya, produk Indonesia produk unggulan ekspor Indonesia yang
masih memiliki kendala di pasar ekspor dengan menyumbang sekitar 1,6% dari total eskpor non
alasan tidak dipenuhinya standar produk dengan migas selama periode 2007-2012 (BPS, 2013),
ketentuan yang berlaku di negara tujuan. dengan tuna dan cakalang merupakan salah
Berdasarkan data dari Food and Drugs satu produk unggulan ekspor. Ironisnya, pasar
Administration (FDA) Amerika Serikat, terdapat dalam negeri juga dibanjiri produk perikanan
2.608 kasus penolakan produk pangan impor dengan tren sekitar 40% per tahun selama
Indonesia di pasar Amerika selama periode periode 2007 – 2011 (BPS, 2013). Bahkan,
tahun 2002 – 2010 dimana produk yang paling produk impor tersebut belum terjamin mutunya
banyak ditolak adalah produk perikanan seperti sesuai dengan Standar Nasional Indonesia.
ikan, udang dan kepiting yang mencapai 80%

Tabel 1 Alasan utama penolakan produk perikanan negara-negara ASEAN.

Negara Alasan Utama Penolakan


ASEAN Australia Uni Eropa Jepang Amerika Serikat
Indonesia pelabelan logam berat cemaran lainnya higienitas
logam berat residu obat cemaran bakteri cemaran bakteri
Malaysia pelabelan cemaran bakteri cemaran bakteri higienitas
cemaran bakteri cemaran lain cemaran lain cemaran bakteri
Filipina pelabelan residu obat higienitas
cemaran bakteri
cemaran lain cemaran lain residu obat
Singapura pelabelan logam berat - higienitas
Thailand pelabelan residu obat cemaran bakteri higienitas
cemaran bakteri higienitas cemaran bakteri
Vietnam cemaran bakteri residu obat cemaran lain cemaran bakteri
pelabelan cemaran bakteri cemaran bakteri higienitas
Sumber : UNIDO, 2012

Dapat dilihat bahwa peran standar mutu 2. TINJAUAN PUSTAKA


sangat penting baik bagi produk ekspor untuk
akselerasi ekspor maupun produk impor untuk
melindungi konsumen. Adanya kasus penolakan Standar produk perikanan telah menjadi fokus
produk ekspor mengindikasikan terjadinya gap studi dalam beberapa tahun terakhir. Dari sisi
standar antara produk dalam negeri dengan ekspor, produk perikanan Indonesia masih
produk negara lain. Oleh karena itu, sangatlah mengalami hambatan terutama di pasar negara
penting untuk mengkaji kesesuaian antara maju. Disamping itu, kinerja ekspor produk
Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan perikanan Indonesia masih belum optimal.
standar internasional, standar yang berlaku di Sementara untuk pasar dalam negeri, beberapa
negara tujuan ekspor dan negara asal. Dengan kajian menitikberatkan pada penerapan standar
demikian, pertanyaan penelitian yang mendasari oleh pelaku usaha dimana kesadaran pelaku
makalah ini adalah kebutuhan standar seperti usaha dalam menerapkan standar mutu dan
apakah yang terkait produk perikanan khususnya keamanan produk masih rendah.
tuna dan cakalang beku di pasar ekspor dan Riyadi dkk. (2007) menemukan bahwa
domestik. Selanjutnya apakah terdapat terdapat penanganan produk yang tidak
kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI memenuhi kaidah keamanan dengan
dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar penggunaan bahan tambahan makanan ilegal
ekspor untuk tuna dan cakalang beku. (formalin dan peroksida) pada produk ikan segar

88
Kesesuaian SNI dengan Standar Internasional dan Standar Mitra Dagang
(Ranni Resnia, Bagus Wicaksena dan Zamroni Salim)

dan ikan asin di pantura dan Daerah Istimewa menerapkan SNI yang ada. Dengan menerapkan
Yogyakarta. Penelitian dilakukan terhadap aspek SNI sebenarnya perusahaan memperoleh
teknis (pengambilan bahan baku dan manfaat atau benefit yaitu adanya image atau
pengolahan), ekonomi, sosial budaya yang anggapan bahwa produk yang dihasilkan
meliputi pedagang dan konsumen, perusahaan yang bersangkutan merupakan
kelembagaan, dan kebijakan keamanan pangan. produk berkualitas. Sehingga secara tidak
Hasil analisis secara deskriptif menemukan langsung, kualitas yang baik dari produk yang
bahwa penanganan produk perikanan masih dihasilkannya akan mampu meningkatkan daya
kurang memperhatikan faktor sanitasi dan saing produk tersebut di pasar (Puska Dagri,
higienis. Malahan, beberapa produk perikanan 2012).
menggunakan bahan pengawet formalin yang Penerapan suatu standar, termasuk SNI
bertujuan untuk memenuhi segmen pasar seringkali dianggap sebagai suatu biaya
tertentu yang menginginkan ikan yang bertekstur tambahan (extra costs) bagi perusahaan. Hal ini
kenyal dan lebih tahan lama. Hal ini karena mereka melihat bahwa dengan SNI
menunjukkan bahwa kesadaran produsen dan mereka harus menambah biaya untuk proses
konsumen domestik terhadap mutu produk pengujian, laboratorium yang tersertifikasi. Biaya
perikanan masih rendah. Beberapa faktor yang untuk peralatan dan sertifikasi ini dianggap
menyebabkan kurangnya kesadaran produsen sebagai biaya terbesar dalam menerapkan SNI.
dalam menerapkan keamanan mutu antara lain Perlu adanya insentif dari pemerintah dalam
faktor sosial, budaya, rendahnya tingkat bentuk sarana dan prasarana Laboratorium Uji
pendidikan baik para pengolah maupun dan Sumber Daya Manusia di bidang
masyarakat konsumen. Sementara dari aspek standardisasi yang terkareditasi secara nasional
kelembagaan dikarenakan kurangnya dan internasional (Puska Dagri, 2012).
penyuluhan dan pengawasan oleh pemerintah.
Pemerintah Australia melalui Departemen
Sementara itu Yuwono, Zakaria, dan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Panjaitan (2012) menyebutkan bahwa dalam (Department of Agriculture, Fisheries and
upaya meningkatkan jaminan mutu dan Forestry) melakukan kajian terhadap sistem
keamanan produk perikanan, khususnya fillet kualitas manajemen (quality management
ikan, Kementerian Kelautan dan perikanan systems) dalam hubungannya dengan supply
memperkenalkan Good Manufacturing Practices chain management untuk komoditas dan produk
(GMP) dan Sanitation Standard Operating olahan Genetically Modified (GM) dan non-GM
Procedures (SSOP). Namun dalam prakteknya products dalam upaya untuk memenuhi
penerapan GMP dan SSOP masih belum dapat persyaratan domestik dan internasional (Lovell,
diterapkan secara maksimal. Penelitian ini Clark, dan Jeffries, 2003). Beberapa negara
dilakukan pada pabrik pengolahan fillet ikan seperti Chili, Kenya, Malaysia dan Meksiko
yang berhenti menerapkan GMP dan SSOP berupaya untuk melihat adanya gap standar
dengan tujuan untuk menemukan faktor-faktor yang terjadi dengan melakukan benchmarking
yang mempengaruhi kelangsungan proses dengan GlobalGAP khususnya untuk produk-
penerapan tersebut. Pengolahan dan analisis produk pertanian (Valk dan Roest, 2009).
data menggunakan metode deskripsi dan Beberapa negara tersebut melakukan
analisis pra syarat. Faktor-faktor yang benchmarking standar nasional mereka dengan
mempengaruhi keberlanjutan penerapan GMP GlobalGAP dalam upaya untuk meningkatkan
dan SSOP pengolahan fillet ikan antara lain akses pasar ekspor khususnya di negara-negara
disebabkan faktor internal seperti rendahnya Eropa dan Amerika Serikat. Beberapa hal yang
tingkat pengetahuan dan kurangnya dikaji adalah bagaimana karakteristik dari
pemahaman, faktor eksternal seperti kurangnya standar nasional mereka dan quality sistem dari
sosialisasi, kurangnya fasilitas air bersih, es dan produk makanan dan proses benchmarking
rantai dingin, kurangnya pembinaan, lemahnya dengan GlobalGAP.
pengawasan dan penegakan hukum, dan faktor
Negara ASEAN lain yang melakukan
karakteristik inovasi seperti rendahnya
benchmarking terhadap GlobalGAP adalah
permintaan pasar, rendahnya keuntungan yang
Thailand. Di Thailand ide pembentukan gap ini
diperoleh, dan rumitnya penerapan GMP dan
adalah datang dari pemerintah dengan Thai Q-
SSOP.
Gap dan ThaiGAP yang diusulkan oleh pihak
Pemahaman pelaku usaha terhadap eksportir swasta. Tujuan dari benchmarking yang
materi SNI (sukarela) keberadaan lembaga dilakukan Thailand adalah sama seperti negara
penunjang (lembaga sertifikasi produk, lainnya, terutama untuk meningkatkan market
supervisi/pengawas mutu) menjadi faktor share dari buah-buahan segar dan sayuran,
penentu utama bagi perusahaan dalam khususnya di pasar Eropa. Langkah bersama
89
Jurnal Standardisasi Volume 17 Nomor 2, Juli 2015: Hal 87 - 98

yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta ini menutup atau mengatasi gap (closing/bridging
adalah upaya bersama untuk mencapai the gap) yang juga penting untuk dilakukan
kesesuaian dengan standar internasional yang (Khan, Ali dan Tanveer, 2005). Dengan adanya
ada (Valk dan Roest, 2009). Meskipun, pada analisis gap, diharapkan bisa ditemukan solusi
dasarnya upaya pemenuhan gap ini bersifat untuk mencapai kondisi yang diharapkan (sesuai
sukarela seperti halnya pemenuhan persyaratan yang ada).
standardisasi pada umumnya. Analisis gap akan dilakukan untuk melihat
Rahmawaty, Rahayu, dan komponen dasar yang seharusnya ada dalam
Kusumaningrum (2014) juga menyebutkan standar produk, apakah SNI yang ada (wajib
bahwa untuk produk perikanan secara umum atau sukarela) sesuai dengan standar
memiliki masalah hygine dengan penyebab internasional yang ada ataupun persyaratan
utama Salmonella dan filthy karena praktik Good tertentu lainya seperti national standard yang
Manufacturing Process (GMP), sanitari, dan diberlakukan oleh mitra dagang. Penelitian ini
penerapan Hazard Analysis and Critical Control menganalisis gap dari dua sisi, yaitu sisi ekspor
Points (HACCP) yang buruk. Padahal, ketiga dan impor:
elemen tersebut merupakan syarat utama bagi 1. Sisi ekspor
produk perikanan untuk memasuki pasar
Mencari gap antara SNI dan standar
Amerika. Hasil penelitian Rinto (2010) juga
internasional yang berlaku (CODEX
menyebutkan bahwa kasus penolakan produk
Alimentarius dan national standard dari mitra
ekspor perikanan Indonesia di pasar Amerika
dagang).
mayoritas disebabkan oleh kandungan bakteri
pathogen dan toksin (64%), filthy dan kebersihan 2. Sisi impor
(26%), kandungan residu kimia (6%), dan Analisis akan dilakukan terhadap produk
misbranding (4%). impor yang masuk ke pasar domestik dengan
Adanya kasus penolakan produk membandingkan SNI dengan standar yang
perikanan tentunya menjadi perhatian bagi diterapkan oleh negara eksportir.
pemerintah mengingat produk perikanan Dengan adanya penolakan yang sering
merupakan komoditi ekspor utama. Padahal, terjadi terhadap produk perikanan maka penting
Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah untuk mengetahui respon perusahaan di
menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Indonesia. Bagaimana mereka bertindak bila
Perikanan Nomor 61/MEN/2009 tentang produk yang diekspor ditolak, maupun dalam hal
Pemberlakuan Wajib Standar Nasional Indonesia adanya gap antara SNI dengan standar yang
(SNI) Bidang Kelautan dan Perikanan. Dengan ada. Beberapa hal mendasar terkait dengan
demikian, pengiriman produk perikanan perilaku perusahaan/produsen yang dikaji antara
Indonesia ke pasar ekspor tentunya sudah lain: (1) Kepedulian (awareness), (2)
memenuhi kriteria SNI dimaksud. Berdasarkan Pengetahuan (knowledge), (3) Implementasi
hal tersebut, dapat diduga bahwa kasus (implementation), dan (4) Komitmen
penolakan produk perikanan Indonesia di pasar (commitment) (Gomm, 2009).
ekspor tidak hanya disebabkan ketidakmampuan
eksportir, namun adanya perbedaan interpretasi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
kebijakan ekspor di Indonesia dan di negara
tujuan.
4.1 Gap SNI dan Standar lainnya (CODEX,
3. METODOLOGI PENELITIAN Amerika Serikat, Filipina, Uni Eropa)
4.2.1 Tuna Beku
Metode analisis yang digunakan adalah analisis Dari seluruh parameter yang ada dalam SNI
deskriptif yaitu analisis gap untuk melihat mengenai ikan tuna beku, hampir seluruhnya
komponen dasar yang diperlukan oleh suatu sudah sesuai (comply) dengan parameter yang
produk untuk bisa memenuhi standar tertentu. ada dalam CODEX. Bahkan untuk dua
Analisis gap dalam standardisasi ini bisa dilihat parameter yaitu khususnya persyaratan bahan
sebagai upaya untuk melihat adanya kesesuaian baku dan penanganan dan pengolahan, SNI
atau ketidaksesuaian yang dilakukan dengan memiliki gap atau kesenjangan positif. Dalam
membandingkan antara kondisi yang sekarang SNI yang mengatur tentang persyaratan bahan
ada (real situation) dengan kondisi yang baku mensyaratkan bahwa bahan baku yang
dibutuhkan (desired situation). Di samping itu digunakan dalam pengolahan ikan tuna beku,
juga pengukuran terhadap gap yang terjadi yaitu berupa ikan tuna yang memiliki tekstur
(measuring the gap) dan juga upaya untuk elastis, padat dan kompak. Selain itu, dalam hal
90
Kesesuaian SNI dengan Standar Internasional dan Standar Mitra Dagang
(Ranni Resnia, Bagus Wicaksena dan Zamroni Salim)

penanganan dan pengolahan tuna, peralatan rincian penampakan dan kesegaran ikan serta
o
dan perlengkapan digunakan harus memenuhi suhu penyimpanan bahan baku maksimal 4,4 C.
beberapa kriteria antara lain memiliki permukaan Selanjutnya, dalam parameter penanganan dan
halus dan rata, bebas karat, bebas dari cemaran pengolahan, kriteria yang sudah sesuai dengan
jasad renik, tidak retak dan juga mudah CODEX yaitu cara sortasi, pembersihan,
o
dibersihkan. Perbandingan SNI dan standar pembekuan dengan suhu -18 C, pengemasan
negara Amerika Serikat, khususnya yang dan penyimpanannya dalam gudang beku. Lebih
bersumber dari Food and Drugs Administration lanjut, parameter utama yaitu syarat mutu dan
(FDA) untuk syarat keamanan produk perikanan, keamanan pangan dengan mempersyaratkan
menunjukkan adanya gap positif. Gap tersebut kriteria organoleptik serta ambang batas untuk
terkait dengan kadar histamin yang cemaran mikroba dan kimia juga sudah sesuai
diperbolehkan terdapat pada ikan tuna, yaitu dengan standar internasional tersebut.
maksimal 50 ppm atau 500 mg/kg. Sedangkan Parameter lainnya adalah pengemasan serta
SNI mensyaratkan kadar histamin hanya pelabelan dengan mencantumkan nama dan
diperbolehkan maksimal 100 mg/kg. alamat produsen, bahan tambahan lain, tanggal
Parameter yang sudah sesuai dengan lengkap produksi dan tanggal lengkap
CODEX antara lain syarat bahan baku dengan kadaluarsa.

Tabel 2 Analisis gap standar produk tuna beku.

Gap Standar
Gap positif CODEX
 syarat bahan baku: tekstur elastis, padat dan kompak;
 penanganan dan pengolahan: peralatan dan perlengkapan yang
digunakan;
 Amerika Serikat (FDA)
 kadar histamin : maksimal 100 mg/kg.
Gap negatif CODEX
 syarat bahan baku: kriteria penolakan produk ;
 penanganan dan pengolahan: kontrol inventory yang bagus
(regular checking);
 pengemasan: bahan kemasan harus food grade;
Filipina
 syarat bahan baku: Penggolongan Grade A, B, dan C;
Amerika Serikat
 syarat mutu dan keamanan pangan: cemaran mikroba, toksin,
logam berat dan residu obat-obatan;
Uni Eropa
 syarat mutu: tidak mengandung CO.
Keterangan: Gap (+) adalah adanya perbedaan SNI dengan standar lain, dimana SNI mempunyai unsur
lebih/persyaratan yang lebih ketat; Gap (-) adalah kekurangan yang ada dalam SNI/persyaratan
yang lebih longgar.

Pada CODEX, selain kriteria untuk bahan diharuskan tidak mencemari ikan serta harus
baku juga dirinci mengenai kriteria penolakan termasuk kategori food grade. Sedangkan jika
produk. Hal inilah yang menjadi kesenjangan dibandingkan dengan standar negara Filipina,
atau kelemahan dari SNI. Produk ikan tuna beku SNI memiliki kelemahan dalam hal grading atau
wajib ditolak jika kulit atau lendirnya berwarna pengkategorian bahan baku. Filipina
pucat atau kuning kecoklatan, insangnya mengkategorikan bahan baku ikan tuna menjadi
berwarna abu-abu kecoklatan, serta berbau tidak 4 kelas yaitu kelas A, B, dan C. Kelas A dan B
normal seperti bau ammonia, laktat susu, sulfit memiliki kriteria yang sama mengenai
atau pun bau tengik. Kemudian, CODEX juga penampakan ikan yaitu memiliki mata bersih dan
mensyaratkan control inventory yang baik dalam cerah, insangnya berwarna merah cerah, berbau
hal penyimpanan ikan. Dalam hal pengemasan, segar, dagingnya kaku, dinding perutnya utuh,
tidak hanya bersih, bahan kemasan juga warna badan cerah dan bebas dari kusam, tidak
91
Jurnal Standardisasi Volume 17 Nomor 2, Juli 2015: Hal 87 - 98

boleh ada sisik yang rusak, tidak ada luka ekspor adalah persyaratan dalam keamanan
terpotong maupun luka tusukan. Kemudian, ikan pangan, khususnya kadar cemaran dalam
tuna dikategorikan dalam Kelas C jika matanya produk. Cemaran yang paling sering bermasalah
sedikit keruh dan pupilnya kelabu, insang sedikit adalah histamine, padahal SNI sudah cukup
kusam dan mengkilap, daging, tulang dan perut ketat dalam menetapkan ambang batas
sedikit lembek, dan baunya sedikit asam. Jika amannya.
bahan baku ikan tidak dapat memenuhi
persyaratan dalam kelas A, B maupun C, maka
4.2.2 Cakalang Beku
produk tersebut harus ditolak.
Analisis perbandingan standar (SNI) ikan
Kemudian, SNI juga memiliki gap negatif
cakalang beku dengan standar di negara tujuan
jika dibandingkan dengan standar dari negara
ekspor utama yaitu Thailand menunjukkan
Amerika Serikat terkait dengan keamanan
hampir seluruh kriteria dalam kedua standar
pangan. Kekurangan SNI adalah bahwa SNI
tersebut sama. Namun demikian, SNI memiliki
tidak memasukkan beberapa cemaran sebagai
keunggulan pada salah satu parameter yaitu
persyaratan mutu sebagai berikut :
syarat mutu dan keamanan pangan pada kriteria
a. Bakteri Staphylococcus aereus: maksimal cemaran mikroba dan kimia. Untuk cemaran
10.000/gram; mikroba khususnya bakteri E.coli, SNI memiliki
b. Cemaran toksin Clostridium botulinum: tidak nilai rujukan maksimal 2 APM/gram, sedangkan
boleh terdeteksi standar Thailand mensyaratkan cemaran E.coli
c. Cemaran Polyclorinated biphenyil: maksimal 10 APM/gram. Selanjutnya SNI untuk cemaran
2 ppm; bahan kimia logam berat yaitu timbal dan
cadmium, SNI memiliki nilai rujukan masing-
d. Cemaran logam berat Methyl mercury:
masing sebanyak maksimal 0,4 dan 0,1 mg/kg
maksimal 1 ppm;
sementara kriteria tersebut pada standar
e. Residu obat-obatan hewan: tidak boleh Thailand masing-masing adalah 1 dan 0,2
terdeteksi. mg/kg. Dengan demikian, kriteria mutu dan
Hal tersebut sesuai dengan hasil survei di keamanan pangan dalam SNI untuk ikan
lapangan terhadap para pelaku usaha, cakalang beku lebih ketat atau lebih baik
khususnya eksportir. Mereka mengemukakan daripada standar Thailand.
bahwa komponen standar yang menjadi
perhatian utama di masing-masing negara tujuan

Tabel 3 Analisis gap standar produk cakalang beku.

Gap Standar
Gap positif CODEX
 syarat bahan baku: tekstur elastis, padat dan kompak;
 penanganan dan pengolahan: peralatan dan perlengkapan yang
digunakan;
Thailand
 syarat mutu dan keamanan pangan: cemaran E.coli, cemaran zat
Timbal, dan cemaran logam Kadmium;
Gap negatif CODEX
 syarat bahan baku: kriteria penolakan produk;
 penanganan dan pengolahan: kontrol inventory yang bagus (regular
checking);
 penyimpanan: temperatur dan kelembaban harus sesuai aturan,
rotasi stok harus dijaga, isi dan kemasan harus terlindung dan
terpisah untuk menghindari kontaminasi silang;
 pengemasan: bahan kemasan harus food grade;
Jepang
 syarat mutu dan keamanan pangan: cemaran mikroba.
Keterangan: Gap (+) adalah adanya perbedaan SNI dengan standar lain, dimana SNI mempunyai unsur
lebih/persyaratan yang lebih ketat; Gap (-) adalah kekurangan yang ada dalam SNI atau persyaratan
yang lebih longgar.

92
Kesesuaian SNI dengan Standar Internasional dan Standar Mitra Dagang
(Ranni Resnia, Bagus Wicaksena dan Zamroni Salim)

Seperti halnya dengan ikan tuna beku, 4.2 Respon Pelaku Usaha (Eksportir dan
standar CODEX untuk ikan cakalang beku juga Importir)
menetapkan persyaratan yang sama. Dengan Pelaku usaha, baik eksportir maupun importir,
demikian, SNI memiliki keunggulan dalam hal untuk produk tuna dan cakalang menganggap
rincian mengenai peralatan dan perlengkapan standar sangat penting karena merupakan
yang digunakan dalam pengolahan ikan yang prasyarat untuk dapat memasarkan produk
tidak dirinci dalam CODEX, yaitu permukaannya mereka. Penandaan atau pelabelan standar juga
halus dan rata, tidak mengelupas, tidak berkarat, penting sesuai dengan permintaan pembeli di
bukan merupakan sumber cemaran jasad renik, negara tujuan ekspor. Namun demikian, belum
tidak retak dan mudah dibersihkan. Sementara ada pembeli yang mensyaratkan pelabelan
untuk rincian lain mengenai penanganan dan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk.
pengolahan, SNI sudah sesuai dengan CODEX Hal ini mengindikasikan bahwa belum ada
seperti berikut : international recognition terhadap SNI.
a. Sortasi bahan baku dilakukan berdasarkan Padahal, SNI untuk tuna dan cakalang
mutu, jenis dan ukuran; beku diacu oleh seluruh responden dalam hal
b. Kepala dan isi perut ikan dibuang; pengujian mutu produk, seperti uji cemaran
c. Ikan dicuci dengan air bersih dingin yang mikroba, kimia, logam dan kadar histamin. Hal
mengalir; itu dimungkinkan karena SNI tuna beku sudah
diberlakukan wajib sehingga seluruh parameter
d. Ikan ditimbang dengan timbangan yang telah
terkait standar pada produk tuna beku harus
dikalibrasi;
dipenuhi. Selanjutnya, dalam proses produksi,
e. Pembekuan ikan dilakukan hingga suhu standar yang diacu adalah ISO 22000, Hazard
o
pusat ikan mencapai -18 C dan waktunya Analysis and Critical Control Points (HACCP)
mencapai 4 jam; dan Good Manufacturing Practices (GMP).
f. Ikan kemudian harus dikemas plastik dan Kesesuaian standar yang dipenuhi oleh eksportir
dimasukkan dalam master karton dengan tersebut merupakan ketentuan utama dalam
segera secara cepat. Dalam hal mengekspor produk ke negara tujuan. HACCP
pengemasan, CODEX mensyaratkan merupakan sistem manajemen yang menjamin
kemasannya harus food grade; prosedur keamanan pangan yang diadopsi dari
g. Ikan selanjutnya disimpan dalam gudang Standar Nasional Indonesia (SNI) di bidang
beku dengan suhu maksimal -25 C.
o perikanan. Beberapa SNI yang dijadikan acuan
dalam manual HACCP antara lain SNI 01-
Namun, produsen cakalang beku harus
2733.1-2006 tentang Cakalang Beku, SNI 01-
melakukan monitoring terhadap proses
4485.1-2006 tentang Tuna steak beku, SNI 01-
pendinginan dan pembekuan serta dilengkapi 4104.1-2006 tentang Tuna loin beku, SNI 01-
dengan kontrol persediaan (inventory) yang baik
2710.1-2006 tentang Tuna beku, dan SNI 01-
dalam rangka membunuh berbagai parasit yang
4104.1-2006 tentang Tuna loin beku. Dalam
dapat membahayakan kesehatan manusia. prosesnya, importir atau buyer mensyaratkan
Kontrol persediaan yang baik mencangkup
keharusan penerapan HACCP oleh eksportir
antara lain manajemen persediaan masuk dan yang dibuktikan dengan manual book yang
keluar, pengecekan secara teratur terhadap sudah disertifikasi oleh Balai Pembinaan dan
suhu ruang pendingin, dan rotasi stok yang Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP)
sistematis. Hal inilah yang belum tercantum
selaku perwakilan dari pemerintah. Dengan
dalam SNI. Kemudian, dibandingkan dengan demikian, buyer memastikan bahwa eksportir
standar Jepang sebagai negara asal impor, SNI
sudah menyesuaikan standar internasional yang
memiliki gap negatif dalam hal syarat mutu dan menjamin keamanan pangan (food safety
keamanan pangan khususnya cemaran mikroba requirement).
ALT dengan nilai rujukan maksimal 100/gr dan
Staphylococcus Aereus kurang dari 1.000/gram. Ikan tuna dan cakalang beku produksi
Jika Jepang menerapkan standar tersebut pada para responden diekspor ke Uni Eropa, Jepang,
ikan cakalang beku yang diekspor ke Indonesia, Timur Tengah, Amerika Serikat dan beberapa
maka dapat dikatakan bahwa standar mutu negara Asia seperti Jepang, Malaysia, Taiwan,
cakalang impor dari Jepang lebih tinggi daripada Korea dan Vietnam. Pada umumnya negara
standar mutu yang ditetapkan SNI dalam hal tujuan ekspor menerapkan standar yang sesuai
cemaran mikroba. dengan CODEX yang dikeluarkan oleh FAO dan
WHO. Dari seluruh negara tersebut, responden
mengemukakan bahwa standar yang paling
tinggi atau sulit adalah standar oleh Uni Eropa
dan Jepang. Komponen standar yang harus
93
Jurnal Standardisasi Volume 17 Nomor 2, Juli 2015: Hal 87 - 98

dipenuhi antara lain traceability, keamanan penangkapan dan ketertelusuran produk. Para
pangan (cemaran dan kandungan zat tertentu), eksportir ini berkomitmen untuk memenuhi
serta health certificate yang dikeluarkan oleh berbagai persyaratan dan parameter dalam
Dinas Kelautan dan Perikanan setempat. standar.
Sertifikat tersebut terkait dengan cara

Tabel 4 Respon pelaku usaha (eksportir dan importir) ikan tuna dan cakalang beku.
Kondisi Perdagangan Respon pelaku usaha/eksportir
Komponen standar yang  Eropa: kadar antibiotik, traceability, uji cemaran logam berat,
menjadi perhatian utama di kadar histamin, kandungan CO, kandungan salmonela;
negara-negara tujuan utama  AS: Uji mikrobiologi (salmonella), fisik ikan, kadar histamin,
dan filthy (jorok);
 Jepang: uji kadar merkuri, benda asing;
 Australia: sertifikat penangkapan;
 Timur tengah: harus bebas radiasi (uji di BATAN);
 Rusia: ditambah uji radiasi.
Komponen utama standar  Kualitas bahan baku kadang kurang konsisten;
yang belum dipenuhi  Persyaratan kandungan salmonela dan histamine.
Tindakan untuk memenuhi  Penerapan HACCP untuk proses produksi;
komponen standar  Sortasi dan grading ulang bahan baku;
 SNI digunakan sebagai pedoman untuk uji organoleptik,
cemaran kimia, mikrobiologi;
 Kesegaran bahan baku harus selalu terjamin;
 Memasukkan traceability check ke dalam sistem manajemen
mutu;
 Selalu melakukan uji keamanan pangan, cemaran kimia, dll,
 Membatasi supplier yang bermasalah;
 Menaruh alat data track untuk memantau suhu selama
perjalanan;
 Inspeksi oleh FDA dari Amerika.
Alasan penolakan  Label informasi produk kurang detail;
 kadar histamin terlalu tinggi;
 kualitas tidak sesuai permintaan;
 Penampakan (appearance) kurang baik;
 Ada benda asing misalnya pembuluh darah dan rambut pada
produk (Jepang);
 Salmonella dan kandungan CO.
Tindakan untuk mengatasi  Memperbaiki kualitas sesuai dengan permintaan;
penolakan  Untuk mengurangi kadar histamin harus ada perbaikan dalam
penanganan paska penangkapan ikan;
 Memperketat seleksi bahan baku sebelum masuk pabrik,
termasuk melakukan uji kadar logam;
 Supplier diwajibkan memiliki sertifikat (health certificate);
 Mencari pasar baru.
Hambatan dalam memenuhi Teknik penangkapan:
standar di negara tujuan  Nelayan belum semuanya memiliki kapal yang bersertifikat;
 Pola penangkapan ikan masih tradisional sehingga handling
belum konsisten;
 Kondisi alam kurang kondusif sehingga waktu merapat kapal
lebih lama menyebabkan kesegaran bahan baku berkurang;

94
Kesesuaian SNI dengan Standar Internasional dan Standar Mitra Dagang
(Ranni Resnia, Bagus Wicaksena dan Zamroni Salim)

Kondisi Perdagangan Respon pelaku usaha/eksportir


 Penanganan paska penangkapan kurang bagus karena pola
masih tradisional.
Bahan baku:
 Untuk mengganti CO dengan bahan alami diperlukan
penanganan yang relatif mahal;
 Kualitas bahan baku kurang konsisten karena habitat yang
tercemar.
Supplier:
 Pemilihan kualitas ikan masih sulit walaupun sudah melalui
kontrak dengan nelayan;
 Proses handling tidak seragam antar supplier;
 Kontrol terhadap supplier butuh waktu untuk proses auditing,
monitoring karena semuanya belum terintegrasi;
 Kualitas bahan baku kurang konsisten karena habitat yang
tercemar.
Perubahan regulasi:
 Terjadinya perubahan regulasi yang cukup sering di negara
tujuan, seperti EU dan Rusia, walaupun sudah melalui
konfirmasi pemerintah (Balai Karantina).
Informasi Tambahan  Menurut responden, SNI dan standar lain pada dasarnya
sama. Namun, standar negara lain berkembang dan
bertambah syaratnya sesuai perubahan selera konsumen dan
perkembangan teknologi. Sedangkan SNI tidak, penerapan
standar juga tidak disesuaikan dengan ketersediaan alat uji;
 Menurut responden, standar produk agak ketinggalan di sisi
hulu, untuk ikan tuna, resiko lebih besar karena resiko
cemaran logam berat sangat tinggi karena habitat tercemar
limbah industri;
 Standar yang diterapkan oleh negara/pemerintah tujuan
ekspor lebih ketat, sedangkan dari importir luar negeri lebih
fleksibel dan biasanya barang yang sudah dikirim tersebut
belum tentu dikembalikan tergantung penyebab
penolakan/komplainnya;
 Standar yang diterapkan Uni Eropa dianggap paling sulit
dibandingkan negara lain;
 Selama ini perusahaan menerapkan standar dari importir luar
negeri yang merupakan gabungan dari beberapa standar
seperti HACCP, BRC, IFS;
 Tren permintaan terbaru dari Australia adalah tuna yang
ditangkap dengan pancing, bukan dengan kapal. Kapal
menangkap tuna dengan jaring besar, sedangkan yang
menangkap dengan pancing adalah nelayan kecil yang sulit
diperoleh sertifikasi dan penerapan standarnya;
 Perwakilan RI di luar negeri harus menjadi bagian dari solusi
karena selama ini belum terlibat secara optimal.

Responden eksportir dengan volume pada penolakan produk di pelabuhan. Sebagai


ekspor 10 – 40 ton per bulan menyebutkan contoh, hampir semua responden eksportir
setidaknya terdapat empat hal yang menjadi pernah mengalami penolakan produk di negara
perhatian utama dalam pemenuhan standar, tujuan karena kandungan salmonella pada tuna
yaitu kandungan logam berat, zat kimia, dan cakalang, zat kimia tertentu (histamin), dan
mikrobiologi, dan kotoran/higienitas (filthy). kotoran seperti rambut atau pasir.
Ketidakmampuan eksportir dalam memenuhi
komponen standar tersebut akan berdampak
95
Jurnal Standardisasi Volume 17 Nomor 2, Juli 2015: Hal 87 - 98

Selain itu, terdapat beberapa ketentuan keamanan pangan dalam mengatasi kasus
khusus yang diberlakukan di negara tujuan kebocoran radioaktif di Jepang dan isu
ekspor seperti uji radiasi untuk pasar Rusia dan pemanasan global. Namun demikian, peraturan
uji kandungan karbon monoksida (CO) untuk tambahan tersebut tidak melekat pada ketentuan
pasar UE. Kedua ketentuan tersebut merupakan standar dan disampaikan melalui pemberitahuan
penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas secara resmi (notification) ke pemerintah.

Gambar 1 Proses kesesuaian standar eksportir – importir perikanan.


Sumber: Data Primer (diolah)

Gambar di atas menunjukkan proses kesesuaian standar, sehingga ikan yang dipasok kadang
standar antara eksportir dengan importir, dimana kurang sesuai spesifikasi.
setelah eksportir menerapkan standar keamanan
pangan sesuai dengan manual book HACCP, 5 KESIMPULAN
beberapa tahapan pengujian mutu dilakukan
untuk menjamin bahwa kualitas produk ekspor
sudah sesuai dengan standar negara tujuan. Secara umum, kriteria yang ada pada SNI sudah
Beberapa tahapan yang dilakukan oleh eksportir memenuhi sesuai atau memenuhi standar
adalah pengujian mutu yang terdiri dari uji internasional dan standar negara mitra dagang.
organoleptik di penampungan ikan, uji internal di Pada beberapa syarat mutu tertentu, khususnya
laboratorium eksportir, dan uji verifikasi oleh terkait nilai rujukan, SNI lebih ketat dari standar
Balai Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil yang diterapkan mitra dagang. Namun, syarat
Perikanan (BPPMHP) untuk mendapatkan standar pada mitra dagang lebih banyak dan
Health Certificate (HC) sebagai ketentuan berkembang sesuai kebutuhan pasar dan
ekspor. Selanjutnya, importir yang diwakili oleh perkembangan teknologi. Dalam SNI, terdapat
badan karantina di pelabuhan (seperti FDA di lebih banyak gap negatif dibandingkan dengan
Amerika atau CD di Uni Eropa) melakukan gap positif yang mempengaruhi daya saing,
pengujian mutu sesuai dengan ketentuan yang khususnya yang terkait kualitas produk ekspor.
berlaku di negara yang bersangkutan.
Langkah-langkah yang dilakukan DAFTAR PUSTAKA
perusahaan untuk memenuhi standar antara lain
melakukan sortasi ulang terhadap bahan baku
sebelum diolah, menguji keamanan bahan baku Badan Standardisasi Nasional. (1995). SNI 01-
0222-1995 - Bahan tambahan makanan.
dan barang jadi di laboratorium yang
terakreditasi, menjamin kesegaran (freshness) Jakarta.
bahan baku, serta melengkapi persyaratan ---------. (2006a). SNI 01-2710.1-2006 - Standar
administrasi seperti sertifikasi dan dokumen Ikan Tuna Beku : Spesifikasi. Jakarta.
lainnya. Di sisi lain, pelaku usaha masih ---------. (2006b). SNI 01-2710.2-2006.Standar
menemui beberapa hambatan dalam memenuhi Ikan Tuna Beku : Persyaratan Bahan
komponen standar yaitu nelayan masih banyak Baku. Jakarta.
yang menggunakan metode tradisonal dalam ---------. (2006c). SNI 01-2710.3-2006.Standar
melakukan penangkapan ikan sehingga sulit Ikan Tuna Beku : Penanganan dan
memenuhi syarat sertifikasi dalam hal Pengolahan. Jakarta.
penangkapan dan kelayakan kapal. Kemudian,
cara penanganan (handling) ikan setelah
ditangkap juga ada yang belum bisa memenuhi
96
Kesesuaian SNI dengan Standar Internasional dan Standar Mitra Dagang
(Ranni Resnia, Bagus Wicaksena dan Zamroni Salim)

---------. (2006d). SNI No. 01-2733.1-2006. Kementerian Perdagangan. (2013).


Standar Ikan Cakalang Beku : Spesifikasi. Pengumuman Hasil Pengawasan Tahap
Jakarta. VI oleh Wamendag. Diakses 31 Juli 2013
---------. (2006e). SNI No. 01-2733.2-2006. dari
Standar Ikan Cakalang Beku : Persyaratan http://ditjenspk.kemendag.go.id/index.php/
bahan baku. Jakarta. public/information/articles-detail/berita/91.
---------. (2006f). SNI No. 01-2733.3-2006. Kmenterian Perindustrian. (2011). Penerapan
Standar Ikan Cakalang Beku : SNI Wajib untuk Perlindungan Industri
Penanganan dan pengolahan. Jakarta. Nasional. SOLUSI, No. 34, Juni 2011
---------. (2006g). SNI 01-4485.1-2006. Standar Khan, Shaheen Rafi; Fahd Ali and Azka
Tuna Steak Beku – Bagian 1 : Spesifikasi. Tanveer. (2005). Compliance with
Jakarta. International Standards in the Marine
Fisheries Sector: A Supply Chain Analysis
---------. (2006h). SNI 01-4104.1-2006. Standar
from Pakistan. Sustainable Development
Tuna Loin Beku – Bagian 1 : Spesifikasi.
Policy Institute (SDPI). December 2005,
Jakarta.
Trade Knowledge Network (TKN).
---------. (2008). Kajian Penerapan dan
Lambaga, Arifin.(2009). Akselerasi Ekspor
Pertumbuhan SNI di Industri. Pusat
Produk Perikanan Indonesia Melalui
Peneitian dan Pengembangan
Penerapan Standar. Prosiding PPI
Standardisasi. Badan Standardisasi
Standardisasi 2009 – Makassar 3 Juni
Nasional (BSN). Laporan Akhir Penelitian.
2009
Jakarta.
Lovell, J., Clark A.,,Jeffries, D. (2003). Gap
--------. (2010). SNI 01-2326-1991 - Standar
Analysis in relation to Quality Management
metode pengambilan contoh (produk
for the Supply Chain Management of
perikanan). Jakarta.
Genetically Modified (GM) Products:
---------. (2013). Penerapan SNI Pada Dasarnya Supply chain identity preservation and
Bersifat Sukarela. Diakses 28 Juli 2013 segregation case studies. Canberra,
dari A.C.T.: Australian Government
http://web.bsn.go.id/bsn/activity.php?id=52 Department of Agriculture, Fisheries and
CODEX Alimentarius Commision. (2003). Forestry.
Recommended International Code of Rahmawaty, L., Rahayu, W.P., dan
Practice General Principles Of Food Kusumaningrum, H.D. (2014).
Hygiene, CAC/RCP 1-1969, Rev. 4-2003. Pengembangan Strategi Keamanan
Drake, Graeme. (2013). International Produk Perikanan Untuk Ekspor ke
Standardization.Materi training dalam Amerika Serikat. Jurnal Standardisasi, Vol.
International Standards Cooperation:ISO 16 (2), pp 95-102.
and other international bodies., Jakarta, Rinto. (2010). Kajian Penolakan Ekspor Produk
Indonesia September 2013. Jakarta. Perikanan Indonesia ke Amerika Serikat
European Commission. (2012). Using Standards [skripsi]. Palembang: Fakultas Pertanian,
to Support Growth, Competitiveness and Universitas Sriwijaya.
Innovation. DOI 10.2769/42198. Salim, Zamroni. ed. (2012). Standarisasi Produk
Faergemand, Jacob and Dorte Jespersen. Perikanan dan OlahannyaDalam
(2004). ISO 22000 to Ensure Integrity of Penguatan Pasar Ekspor. Lembaga Ilmu
Food Suply Chain. ISO Insider, ISO Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat
Management System, September – Penelitian Ekonomi (P2E).
October 2004. Shepherd, Ben and Nobert L Wilson. (2010).
Gomm, Moritz. (2009). Gap Analysis: Product Standard and Developing
Methodology, Tool and First Application. Country Agricultural Exports: The Case of
PARSE. Insight Workshop, Darmstadt The European Union. Department of
21st - 22nd September 2009 Agricultural Economics and Rural
Har Riyadi, Putut and Nur Bambang, Azis and Sociology, Auburn University.
Agustini, Tri Winarni. (2007). Analisis Washington, S & Ababouch, L. (2011). Private
Kebijakan Keamanan Produk Pangan Standards and Certification in Fisheries
Hasil Perikanan di Pantura Jawa Tengah and Aquaculture: Current Practice and
dan D.I.Y. Jurnal Pasir Laut, 2 (2). pp. 30- Emerging Issues. FAO Fisheries and
39. Aquaculture Technical Paper No.553.
97
Jurnal Standardisasi Volume 17 Nomor 2, Juli 2015: Hal 87 - 98

nd
Valk, Olga van der dan Joop van der Roest. Practitioners‟ Reference Book.2
(2009). National benchmarking against edition.GTZ.
GLOBALGAP: Case studies of Good Yuwono, Zakaria, dan Panjaitan. (2012). Faktor-
Agricultural Practices in Kenya, Malaysia, faktor yang Mempengaruhi Penerapan
Mexico and Chile.Report 2008.079. LEI Cara Produksi yang Baik dan Standar
Wageningen UR, The Hague Prosedur Operasi Sanitasi Pengolahan
Will, Margret and Doris Guenther. (2007). Food Fillet Ikan di Jawa. Manajemen IKM, Vol. 7
Quality and Safety Standards: as Required No.1, Februari 2012 (10 – 19).
by EU Law and the Private Industry. A

98

Anda mungkin juga menyukai