125555387
125555387
Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan tertentu untuk
menjamin kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan.
1. Pengamatan (Inspeksi).
a. Gaya berjalan dan tingkah laku.
b. Simetri tubuh dan ektremitas.
c. Kelumpuhan badan dan anggota gerak. dll.
d. Gerakan Volunter.
Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa,
misalnya :
a. Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu.
b. Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti.
c. Mengepal dan membuka jari-jari tangan.
d. Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul.
e. Fleksi dan ekstensi artikulus genu.
f. Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki.
g. Gerakan jari- jari kaki.
2. Palpasi otot.
a. Pengukuran besar otot.
b. Nyeri tekan.
c. Kontraktur.
d. Konsistensi ( kekenyalan ).
Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada.
- Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis, HNP.
- Kelumpuhan jenis UMN ( spastisitas ).
- Gangguan UMN ekstrapiramidal ( rigiditas ).
- Kontraktur otot.
Konsistensi otot yang menurun terdapat pada.
- Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot.
- Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di ”motor end plate”.
e. Tonus otot.
Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa kemudian
ekstremitas tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi pada sendi siku dan
lutut. Pada orang normal terdapat tahanan yang wajar.
- Flaccid : tidak ada tahanan sama sekali ( dijumpai pada
kelumpuhan LMN).
- Hipotoni : tahanan berkurang.
- Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal
gerakan , ini dijumpai pada kelumpuhan UMN.
- Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada Parkinson.
f. Kekuatan otot.
Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan otot ada dua
cara:
- Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksa
menahan gerakan ini.
- Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh
menahan.
Gerakan involunter.
Gerakan involunter ditimbulkan oleh gejala pelepasan yang bersifat positif, yaitu
dikeluarkan aktivitas oleh suatu nukleus tertentu dalam susunan ekstrapiramidalis yang
kehilangan kontrol akibat lesi pada nukleus pengontrolnya. Susunan ekstrapiramidal ini
mencakup kortex ekstrapiramidalis, nuklues kaudatus, globus pallidus, putamen, corpus
luysi, substansia nigra, nukleus ruber, nukleus ventrolateralis thalami substansia retikularis
dan serebelum.
- Tremor saat istirahat : disebut juga tremol striatal, disebabkan lesi pada corpus
striatum (nukleus kaudatus, putamen, globus pallidus dan lintasan lintasan
penghubungnya) misalnya kerusakan substansia nigra pada sindroma Parkinson.
- Tremor saat bergerak ( intensional ) : disebut juga tremor serebellar, disebabkan
gangguan mekanisme “feedback” oleh serebellum terhadap aktivitas kortes
piramidalis dan ekstrapiramidal hingga timbul kekacauan gerakan volunter.
- Khorea : gerakan involunter pada ekstremitas, biasanya lengan atau tangan,
eksplosif, cepat berganti sifat dan arah gerakan secara tidak teratur, yang hanya
terhenti pada waktu tidur. Khorea disebabkan oleh lesi di corpus striataum,
substansia nigra dan corpus subthalamicus.
- Athetose : gerakan involenter pada ektremitas, terutama lengan atau tangan atau
tangan yang agak lambat dan menunjukkan pada gerakan melilit lilit , torsi
ekstensi atau torsi fleksi pada sendi bahu, siku dan pergelangan tangan.
Gerakan ini dianggap sebagai manifestasi lesi di nukleus kaudatus.
- Ballismus: gerakan involunter otot proksimal ekstremitas dan paravertebra, hingga
menyerupai gerakan seorang yang melemparkan cakram. Gerakan ini
dihubungkan dengan lesi di corpus subthalamicus, corpus luysi, area prerubral dan
berkas porel.
- Fasikulasi: kontrasi abnormal yang halus dan spontan pada sisa serabut otot yang
masih sehat pada otot yang mengalami kerusakan motor neuron. Kontraksi
nampak sebagai keduten keduten dibawah kulit.
- Myokimia: fasikulasi benigna. Frekwensi keduten tidak secepat fasikulasi dan
berlangsung lebih lama dari fasikulasi.
- Myokloni : gerakan involunter yang bangkit tiba tiba cepat, berlangsung sejenak,
aritmik, dapat timbul sekali saja atau berkali kali ditiap bagian otot skelet dan
pada setiap waktu, waktu bergerak maupun waktu istirahat.
Tandem walking.
Jalan mundur
Hopping.
- Hemiplegik gait: gaya jalan dengan kaki yang lumpuh digerakkan secara
sirkumduksi.
- Spastik ( scissors gait ): gaya jalan dengan sirkumduksi kedua tungkai, misalnya
spastik paraparese.
- Tabetic gait: gaya jalan pada pasien tabes dorsalis.
- Steppage gait: gaya jalan seperti ayam jago, pada paraparese flaccid atau paralisis
n. Peroneus.
- Waddling gait: gaya berjalan dengan pantat dan pinggang bergoyang berlebihan,
khas untuk kelemahan otot tungkai proksimal, misalnya otot gluteus.
- Parkinsonian gait: gaya berjalan dengan sikap tubuh agak membungkuk, kedua
tungkai berfleksi sedikit pada sendi lutut dan panggul. Langkah dilakukan
setengah diseret dengan jangkauan yang pendek-pendek.
CARA PEMERIKSAAN SISTIM SENSORIK.
- Bila hasil ya: timbul rasa nyeri ini berarti terjadi lesi irritatif.
- Bila hasil nya timbul kesemuten ini berarti adanya regenerasi saraf perifer.
b. Rasa Gramestesia.
Untuk mengenal angka, aksara, bentuk yang digoreskan diatas kulit pasien,
misalnya ditelapak tangan pasien.
c. Rasa Barognosia.
Untuk mengenal berat suatu benda.
d. Rasa topognosia.
Untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh pasien.
a. Rasa eksteroseptif.
– Hilangnya rasa raba : ANESTESIA.
– Berkurangnya rasa raba : HIPESTESIA.
– Berlebihnya rasa raba : HIPERTESIA.
b. Rasa Nyeri.
– Hilangnya rasa nyeri : ANALGESIA.
– Berkurangnya rasa nyeri : HIPALGESIA.
– Berlebihnya rasa nyeri : HIPERGESIA.
c. Rasa suhu.
– Hilangnya rasa suhu : THERMOANESTHESIA.
– Berkurangnya rasa suhu : THERMOHIPESTHESIA.
– Berlebihnya rasa suhu : THERMOHIPERESTHESIA.
d. Rasa abnormal dipermukaan tubuh.
– kesemuten : PARESTHESIA.
– nyeri panas dingin yang tidak keruan : DISESTHESIA
e. Rasa Propioseptif = Rasa Raba Dalam.
a. rasa gerak : KINESTHESIA.
b. rasa sikap : STATESTESIA.
c. rasa getar : PALESTHESIA.
d. rasa tekan : BARESTHESIA.
f. Rasa DISKRIMINATIF
Mengenal bentuk dan ukuran sesuatu dengan jalan perabaan.
a. STEREOGNOSIS.
– Mengenal dan mengetahui berat sesuatu : BAROGNOSIS.
– Mengenal tempat yang diraba : TOPESTESIA, TOPOGNOSIS.
– Mengenal angka, aksara,bentuk yang digoreskan di atas kulit
b. GRAMESTESIA.
– Mengenal diskriminasi 2 titik : DISKRIMINASI SPASIAL.
– Mengenal setiap titik dan daerah tubuh sendiri : AUTOTOPOGNOSIS.
CARA PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS.
Cara pemeriksaan :
1. Pemeriksaan penglihatan ( visus ) Ketajaman penglihatan diperiksa dengan :
a. Menutup mata yang tidak dilakukan pemeriksaan
b. Dengan jarak 6 meter pasien dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan kartu
Snellen, dan dilihat sampai barisan mana pasien dapat membaca huruf-huruf
pada kartu Snellen tersebut.
c. Apabila pasien tidak bisa membaca huruf teratas pada kartu Snellen, lakukan
pemeriksaan hitung jari, dengan menggunakan jari-jari pemeriksa yang
digerakkan, nilai sejauh mana jarak pasien dapat menghitung jari pemeriksa.
Pada orang normal test hitung jari harus dapat dilihat dalam jarak 60 meter.
contoh visus = 2/60 pasien hanya dapat melihat pergerakan jari pada jarak 2
meter
d. Apabila pasien tidak dapat menghitung jari pemeriksa dengan jarak terdekat
(1/60), maka dilakukan pemeriksaan lambaian tangan.
Untuk gerakan tangan, pada orang normal dapat dilihat pada jarak 300 meter.
Jika kemampuannya hanya sampai membedakan adanya gerakan , maka
visusnya ialah 1/300. Contoh Visus = 3/300 pasien hanya dapat melihat
pergerakan tangan pada jarak 3 meter.
e. Namun jika pasien juga tidak dapat melihat adanya gerakan tangan, dapat
dilakukan pemeriksaan cahaya. Apabila pasien hanya dapat membedakan antara
gelap dan terang maka visus nya 1/~, bila dengan sinar lampu masih belum
dapat melihat maka dikatakan visus pasien tersebut adalah nol.
Ada bagian bagian visual field yang buta dimana pasien tidak dapat melihatnya, ini
disebut dengan SKOTOMA.
d. Refleks akomodasi.
Caranya, pasien diminta untuk melihat telunjuk pemeriksa pada jarak yang
cukup jauh, kemudian dengan tiba – tiba dekatkanlah pada pasien lalu
perhatikan reflek konvergensi pasien dimana dalam keadaan normal kedua
bola mata akan berputar kedalam atau nasal.
Reflek akomodasi yang positif pada orang normal tampak dengan miosis
pupil.
e. Refleks ciliospinal.
Rangsangan nyeri pada kulit kuduk akan memberi midriasis (melebar) dari
pupil homolateral. keadaan ini disebut normal
f. Refleks okulosensorik.
rangsangan nyeri pada bola mata/daerah sekitarnya, normal akan memberikan
miosis atau midriasis yang segera disusul miosis.
g. Refleks terhadap obat-obatan.
Atropine dan skopolamine akan memberikan pelebaran pupil/midriasis.
Pilocarpine dan acetylcholine akan memberikan miosis.
h. Pemeriksaan gerakan bola mata
Lihat ada/tidaknya nystagmus ( gerakan bola mata diluar kemauan pasien).
Pasien diminta untuk mengikuti gerakan tangan pemeriksa yang digerakkan
kesegala jurusan. Lihat apakah ada hambatan pada pergerakan matanya.
Hambatan yang terjadi dapat pada satu atau dua bola mata. Pasien diminta
untuk menggerakan sendiri bola matanya.
Pharese
M.Oblique inf (N.III)
M.Rectus superior (NIII)
M. Rectus med
M. Rectus lat
NIII
(NVI)
M.Rectus inf
M.Obliquesup NIII
(NIV)
C. SARAF OTAK V ( NERVUS TRIGEMINUS ).
Cara pemeriksaan :
Pemeriksaan motorik.
a. Pasien diminta merapatkan gigi sekuatnya, kemudian meraba m .
masseter dan m. Temporalis. Normalnya kiri dan kanan kekuatan,
besar dan tonus nya sama.
Pemeriksaan refleks.
a. Refleks kornea ( berasal dari sensorik Nervus V).
Kornea disentuh dengan kapas, bila normal pasien akan menutup
matanya atau menanyakan apakah pasien dapat merasakan.
b. Refleks masseter / Jaw reflex ( berasal dari motorik Nervus V).
Dengan menempatkan satu jari pemeriksa melintang pada bagian tengah
dagu, lalu pasien dalam keadaan mulut setengah membuka dipukul
dengan ”hammer refleks” normalnya didapatkan sedikit saja gerakan,
malah kadang kadang tidak ada. Bila ada gerakan nya hebat yaitu
kontraksi m.masseter, m.temporalis, m pterygoideus medialis yang
menyebabkan mulut menutup ini disebut refleks meninggi.
c. Refleks supraorbital.
Dengan mengetuk jari pada daerah supraorbital, normalnya akan
menyebabkan mata menutup homolateral ( tetapi sering diikuti dengan
menutupnya mata yang lain )
Pasien diperiksa dalam keadaan istirahat. Perhatikan wajah pasien kiri dan kanan apakah
simetris atau tidak. Perhatikan juga lipatan dahi, tinggi alis, lebarnya celah mata, lipatan kulit
nasolabial dan sudut mulut. Kemudian pasien diminta untuk menggerakan wajahnya antara
lain:
- Dilakukan pada 2/3 bagian lidah depan. Pasien disuruh untuk menjulurkan lidah,
kemudian pada sisi kanan dan kiri diletakkan gula, asam,garam atau sesuatu yang
pahit. Pasien cukup menuliskan apa yang terasa diatas secarik kertas. Bahannya
adalah:Glukosa 5 %, Nacl 2,5 %, Asam sitrat 1 %, Kinine 0,075 %.
b. Pemeriksaan Weber.
Maksud nya membandingkan transportasi melalui tulang ditelinga kanan dan kiri
pasien.Garpu tala ditempatkan didahi pasien, pada keadaan normal kiri dan kanan
sama keras ( pasien tidak dapat menentukan dimana yang lebih keras ). Pendengaran
tulang mengeras bila pendengaran udara terganggu, misal: otitis media
kiri , pada test weber terdengar kiri lebih keras. Bila terdapat ” nerve deafness”
disebelah kiri , pada test weber dikanan terdengar lebih keras .
Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut lateralisai
ke kanan.
Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya:
1. Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah
kanan.
2. Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga
kanan lebih hebat.
3. Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu,
maka di dengar sebelah kanan.
4. Tuli persepsi pada kedua telinga, tetapi sebelah kiri lebih hebat dari
pada sebelah kanan.
c. Pemeriksaan Rinne.
Maksudnya membandingakn pendengaran melalui tulang dan udara dari pasien.
Pada telinga yang sehat, pendengaran melalui udara didengar lebih lama dari pada
melalui tulang. Garpu tala ditempatkan pada planum mastoid sampai pasien tidak
dapat mendengarnya lagi. Kemudian garpu tala dipindahkan kedepan meatus
eksternus. Jika pada posisi yang kedua ini masih terdengar dikatakan test positif.
Pada orang normal test Rinne ini positif. Pada ”Conduction deafness” test Rinne
negatif.
d. Pemesiksaan Schwabach.
Pada test ini pendengaran pasien dibandingkan dengan pendengaran pemeriksa yang
dianggap normal. Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan didekat telinga
pasien. Setelah pasien tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu tala ditempatkan
didekat telinga pemeriksa. Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka
dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek (untuk konduksi udara ). Kemudian garpu
tala dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid pasien. Dirusuh
ia mendengarkan bunyinya. Bila sudah tidak mendengar lagi maka garpu tala
diletakkan ditulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarkan
bunyinya maka dikatakan Schwabach ( untuk konduksi tulang ) lebih pendek.
Pemeriksaan N. Vestibularis.
a. Test Romberg.
Pada pemeriksaan ini pasien berdiri dengan kaki yang satu didepan kaki yang
lainnya. Tumit kaki yang satu berada didepan jari kaki yang lainnya, lengan dilipat
pada dada dan mata kemudian ditutup. Orang yang normal mampu berdiri dalam
sikap Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih.
Fungsi koordinasi.
Tujuan pemeriksaan ini untuk menilai aktivitas serebelum. Serebelum adalah pusat yang
paling penting untuk mengintegrasikan aktivitas motorik dari kortex, basal ganglia, vertibular
apparatus dan korda spinalis. Lesi organ akhir sensorik dan lintasan-lintasan yang
mengirimkan informasi ke serebelum serta lesi pada serebelum dapat mengakibatkan
gangguan fungsi koordinasi atau sering disebut “Cerebellar sign “
Bila telinga kiri diberi air dingin timbul nistagmus ke kanan. Bila telinga kiri diberi
air hangat timbul nistagmus ke kiri. Nistagmus sesuai dengan fasenya : fase cepat dan
fase pelan. Bila nistagmus kekiri maka fase cepat kekiri.
Proses penciuman dimulai dari sel-sel olfakrorius di hidung yang serabutnya menembus
bagian kribiformis tulang ethmoid di dasar di dasar tengkorak dan mencapai pusat
penciuman lesi atau kerusakan sepanjang perjalanan impuls penciuman akan
mengakibatkan anosmia.
Orang yang buta kedua sisi tidak mempunyai lapang pandang, istilah untuk buta ialah
anopia atau anopsia. Apabila lapang pandang kedua mata hilang sesisi, maka buta
semacam itu dinamakan hemiopropia.
Berbagai macam perubahan pada bentuk lapang pandang mencerminkan lesi pada
susunan saraf optikus.
a. Trauma Kepala
b. Tumor serebri (kraniofaringioma, tumor hipfise, meningioma, astrositoma)
c. Kelainan pembuluh darah
Misalnya pada trombosis arteria katotis maka pangkal artera oftalmika dapat ikut
tersumbat jug. Gambaran kliniknya berupa buta ipsilateral.
d. Infeksi.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat dilihat hal-hal sebagai berikut:
Atrofi optik
Dapat disebabkan oleh papiledema kronik atau papilus, glaukoma, iskemia,
famitral, misal: retinitis pigmentosa, penyakit leber, ataksia friedrich.
e. Neuritis optik.
a. Ptosis, disebabkan oleh paralisis otot levator palpebra dan tidak adanya perlawanan
dari kerja otot orbikularis okuli yang dipersarafi oleh saraf fasialis.
b. Fiksasi posisi mata, dengan pupil ke arah bawah dan lateral, karena tak adanya
perlawanan dari kerja otot rektus lateral dan oblikus superior.
c. Pupil yang melebar, tak bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi.
Jika seluruh otot mengalami paralisis secara akut, kerusakan biasanya terjadi di
perifer, paralisis otot tunggal menandakan bahwa kerusakan melibatkan nukleus
okulomotorius.
Penyebab kerusakan diperifer meliputi; a). Lesi kompresif seperti tumor serebri,
meningitis basalis, karsinoma nasofaring dan lesi orbital. b). Infark seperti pada
arteritis dan diabetes.
Ketika pasien melihat lurus kedepan atas, sumbu dari mata yang sakit lebih tinggi
daripada mata yang lain. Jika pasien melihat kebawah dan ke medial, mata berotasi
dipopia terjadi pada setiap arah tatapan kecuali paralisis yang terbatas pada saraf
troklearis jarang terjadi dan sering disebabkan oleh trauma, biasanya karena jatuh pada
dahi atu verteks.
Jika ketiga saraf motorik dari satu mata semuanya terganggu, mata tampak melihat
lurus keatas dan tidak dapat digerakkan kesegala arah dan pupil melebar serta tidak
bereaksi terhadap cahaya (oftalmoplegia totalis). Paralisis bilateral dari otot-otot mata
biasanya akibat kerusakan nuklear. Penyebab paling sering dari paralisis nukleus adalah
ensefelaitis, neurosifilis, mutiple sklerosis, perdarahan dan tumor.
Penyebab yang paling sering dari kelumpuhan otot-otot mata perifer adalah meningitis,
sinusistis, trombosis sinus kavernosus, anevrisma arteri karotis interna atau arteri
komunikantes posterior, fraktur basis kranialis.
Gangguan nervus trigeminus yang paling nyata adalah neuralgia trigeminal atau tic
douloureux yang menyebabkan nyeri singkat dan hebat sepanjang percabangan saraf
maksilaris dan mandibularis dari nervus trigeminus. Janeta (1981) menemukan bahwa
penyebab tersering dari neurolgia trigeminal dicetuskan oleh pembuluh darah. Paling
sering oleh arteri serebelaris superior yang melingkari radiks saraf paling proksimal
yang masih tak bermielin.
Kelainan berapa lesi ensefalitis akut di pons dapat menimbulkan gangguan berupa
trismus, yaitu spasme tonik dari otot-otot pengunyah. Karena tegangan abnormal yang
kuat pada otot ini mungkin pasien tidak bisa membuka mulutnya.
Lesi LMN : Penyebab pada pons, meliputi tumor, lesi vaskuler dan siringobulbia.
Pada fosa posterior, meliputi neuroma akustik, meningioma, dan meningitis kronik.
Pada pars petrosa os temporalis dapat terjadi Bell’s palsy, fraktur, sindroma Rumsay
Hunt, dan otitis media.
Penyebab hilangnya rasa kecap unilateral tanpa kelainan lain dapat terjadi pada lesi
telinga tengah yang meliputi Korda timpani atau nervus lingualis, tetapi ini sangat
jarang.
8. Saraf Vestibulokoklearis
Kelainan pada nervus vestibulokoklearis dapat menyebabkan gangguan pendengaran
dan keseimbangan (vertigo).
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nervus VIII antara lain:
Tuli saraf dapat disebabkan oleh tumor, misal neuroma akustik. Degenerasi misal
presbiaskusis. Trauma, misal fraktur pars petrosa os temporalis, toksisitas misal
aspirin, streptomisin atau alkohol, infeksi misal, sindv rubella kongenital dan sifilis
kongenital.
Tuli konduktif dapat disebabkan oleh serumen, otitis media, otoskleroris dan
penyakit Paget.
Gangguan Keseimbangan dengan penyebab kelainan vestibuler
Pada labirin meliputi penyakit meniere, labirinitis akut, mabuk kendaraan,
intoksikasi streptomisin.
Pada vestibuler meliputi semua penyebab tuli saraf ditambah neuronitis
vestibularis.
Pada batang otak meliputi lesi vaskuler, tumor serebelum atau tumor ventrikel IV
demielinisasi.
Pada lobus temporalis meliputi epilepsi dan iskemia.
9. Saraf Glosofaringeus (N. IX) dan Saraf Vagus (N. X)
Gangguan pada komponen sensorik dan motorik dari N. IX dan N. X dapat
mengakibatkan hilangnya refleks menelan yang berisiko terjadinya aspirasi paru.
Kehilangan refleks ini pada pasien akan menyebabkan pneumonia aspirasi, sepsis dan
acute respiratory distress syndome (ARDS) kondisi demikian bisa berakibat pada
kematian. Gangguan nervus IX dan N. X menyebabkan persarafan otot-otot menelan
menjadi lemah dan lumpuh. Cairan atau makanan tidak dapat ditelan ke esofagus
melainkan bisa masuk ke trachea langsung ke paru-paru.
Kelainan pada nervus asesorius dapat berupa robekan serabut saraf, tumor dan iskemia
akibatnya persarafan ke otot trapezius dan otot stemokleidomastoideus terganggu.
Pada kerusakan N. XII pasien tidak dapat menjulurkan, menarik atau mengangkat
lidahnya. Pada lesi unilateral, lidah akan membelok kearah sisi yang sakit saat
dijulurkan. Saat istirahat lidah membelok ke sisi yang sehat di dalam mulut
DAFTAR PUSTAKA
1. Baehr, M. dan M. Frotscher. Diagnosis Topik dan Neurologi DUUS, Anatomi Fisiologi
Tanda Gejala. Jakarta: EGC. 2010.
2. Bickley, Lynn; Szilagui, Peter (2007). Bates' Guide to Physical Examination and History
Taking (9th ed.). Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 0-7818-6718-0.
4. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.
5. http://informatics.med.nyu.edu/modules/pub/neurosurgery/cranials.html
6. http://informatics.med.nyu.edu/modules/pub/neurosurgery/motor.html
7. http://informatics.med.nyu.edu/modules/pub/neurosurgery/sensory.html
REFRESHING
DISUSUN OLEH :
DOKTER PEMBIMBING:
2013