Anda di halaman 1dari 5

ALYA BATRISIYA

1706024444
Paralel – Penyusunan Kontrak Dagang

MOU DAN PERJANJIAN JUAL BELI


A. Nota Kesepahaman
Nota Kesepahaman atau juga biasa disebut dengan Memorandum of Understanding
("MoU") atau pra-kontrak, pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di
Indonesia. Akan tetapi dalam praktiknya, khususnya bidang komersial, MoU sering digunakan
oleh pihak yang berkaitan.
MoU merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek hukum) untuk
menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang ditawarkannya ataupun yang
dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan,
yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi
kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat
para pihak pada nantinya. Berdasarkan definisi MoU dalam Black’s Law Dictionary, dapat
dipahami bahwa MoU melingkupi hal-hal sebagai berikut:
1. MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian);
2. Content/isi materi dari MoU hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja;
3. Dalam MoU memilki tenggang waktu, dengan kata lain bersifat sementara;
4. MoU pada kebiasaannya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang
memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci; dan
5. Karena masih terdapatnya keraguan dari salah satu pihak kepada pihak lainnya, MoU
dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan. 1

B. Perjanjian
Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu di dalam
Pasal 1313 yang berbunyi: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. 2Berdasarkan hal tersebut di
atas, maka dapat dipahami bahwa suatu perjanjian mengandung unsur sebagai berikut:
a) Perbuatan

1
Bimo Prasetio dan Asharyanto. Perbedaan antara Perjanjian dengan MoU.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt514689463d4b2/perbedaan-antara-perjanjian-dengan-mou/
diakses pada 16 Februari 2020.
2
Sri Soesilowati Mahdi, et al. Hukum Perdata (Suatu Pengantar). (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm
134
Frasa “Perbuatan” tentang Perjanjian ini lebih kepada “perbuatan hukum” atau
“tindakan hukum”.Hal tersebut dikarenakan perbuatan sebagaimana dilakukan oleh
para pihak berdasarkan perjanjian akan membawa akibat hukum bagi para pihak yang
memperjanjikan tersebut.
b) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Perjanjian hakikatnya dilakukan paling sedikit oleh 2 (dua) pihak yang saling berhadap-
hadapan dan saling memberikan pernyataan satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang
atau badan hukum (subjek hukum).
c) Mengikatkan diri
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada
pihak yang lain. Artinya, terdapat akibat hukum yang muncul karena kehendaknya
sendiri.
Adapun suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak maka perjanjian
dimaksud haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 – 1337
KUHPer, yang pada intinya menyatakan:
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakikat barang
yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam
persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut;.
2. Cakap untuk membuat perikatan.
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak tekualifikasi sebagai
pihak yang tidak cakap hukum untuk membuat suatu perikatan sebagaimana diatur
dalam Pasal 1330 KUHPer.
Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap sebagaimana
tersebut di atas, maka Perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPer).
3. Suatu hal tertentu.
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Dalam hal suatu perjanjian
tidak menentukan jenis objek dimaksud maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Sebagaimana Pasal 1332 KUHPer menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian. Selain itu, berdasarkan Pasal
1334 KUHPer barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4. Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian
tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang. Sebagaimana Pasal 1335 KUHPer menyatakan suatu perjanjian yang tidak
memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

C. Perjanjian Pengikatan Jual Beli


Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak ada perbedaan dengan perjanjian pada
umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir akibat
adanya sifat terbuka dari Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), yang
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Menurut R. Subekti dalam bukunya,
Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli
sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk
jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum
terjadinya pelunasan harga.3 Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian
pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/utama biasanya adalah berupa janji-janji dari
para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati untuk sahnya
melakukan perjanjian utamanya.

D. Perbedaan MoU dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli


Sejatinya, MoU belumlah melahirkan suatu Hubungan Hukum karena MoU baru
merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan secara tertulis. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan, MoUyang dituangkan secara tertulis baru menciptakan suatu awal yang menjadi
landasan penyusunan dalam melakukan hubungan hukum/perjanjian. Kekuatan mengikat dan
memaksa MoU pada dasarnya sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara
khusus tidak ada pengaturan tentang MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para
pihak yang membuatnya. Di samping itu, walaupun MoU merupakan perjanjian
pendahuluan, bukan berarti MoU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa
bagi para pihak untuk mentaatinya dan/atau melaksanakannya.

3
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Penerbit Intermasa, 1998), hal 49
Terkadang, ada perjanjian yang diberi nama MoU. Artinya, penamaan dari dokumen
tersebut tidak sesuai dengan isi dari dokumen tersebut. Sehingga MoU tersebut memiliki
kekuatan hukum mengikat sebagaimana perjanjian. Untuk mengetahui kedudukan MoU
sehingga dapat diketahui apakah suatu MoU bisa dikatakan kontrak atau bukan, ada beberapa
hal yang harus diperhatikan yaitu :
1. Materi/substansi dalam MoU
Mengetahui materi atau substansi yang diatur dalam pasal-pasal MoU sangat penting,
karena apakah dalam materi yang terdapat dalam MoU tersebut terdapat unsur-usnur
yang akan membuat salah satu pihak dirugikan, apabila ada salah satu materi dalam
MoU tersebut yang diingkari. Berdasarkan teori mengenai wanprestasi yaitu tentang
hilangnya keuntungan yang diharapkan, dimana salah satu pihak merasa rugi dan
merasa kehilangan suatu keuntungan yang besar dari pembatalan MoU yang telah
secara rinci dibuat, maka MoU yang telah dibuat tesebut dapat dikategorikan suatu
kontrak atau setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata.
2. Ada tidaknya sanksi
Untuk menentukan suatu MoU itu suatu kontrak atau bukan maka harus dilihat apakah
MoU tersebut telah memuat sanksi atau tidak. Kalau dalam MoU tidak memuat suatu
sanksi yang tegas maka MoU tersebut tidak dapat dikatakan suatu kontrak. Kemudian
apabila hanya memuat sanksi moral maka MoU tidak bisa dikatakan suatu kontrak
berdasarkan Teori Holmes yang menyatakan bahwa tidak ada sanksi moral dalam suatu
kontrak.4
Apabila MoU telah dibuat secara sah, memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian
sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUHPer, maka kedudukan dan/atau keberlakuan MoU
bagi para pihak dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang mempunyai kekuatan
mengikat dan memaksa. Tentu saja pengikat itu hanya menyangkut dan sebatas pada hal-hal
pokok yang termuat dalam MoU.
Maka berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa mengenai
kekuatan hukum dari MoU dapat mengikat para pihak, apabila content/isi dari MoU tersebut
telah memenuhi unsur perjanjian sebagaimana telah diuraikan di atas, dan bukan sebagai
pendahuluan sebelum membuat perjanjian, sebagaimana maksud pembuatan MoU
sebenarnya.

4
Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). (Bandung : PT. Citra Aditya).
2001, hal 38.

Anda mungkin juga menyukai