Oleh: Yoga Sahria, S.Kom. KH. Moehammad Moenawwir wafat Tanggal 11 Jumadil Akhir 1360 H atau bertepatan 06 Juli 1942 M yang bertepatan dengan Hari Jum’at, saat orang – orang telah melaksanakan ibadah salat jum’at sehingga rombongan pembaca surat yasin belum ada yang hadir, yang hanya ditunggui beliau Ny. Jamalah, KH. Moenawwir menghembuskan nafas terakhir setelah 16 hari lamanya menderita sakit. Selama KH. Moenawwir sakit, bacaan surat yasin 41 kali terus berkumandang disisi beliau. Hal ini dilakukan oleh rombongan – rombongan yang datang silih berganti yang tiada putusnya. Namun demikian tidak semua orang dapat berkhidmat kepada beliau karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk bertemu akan tetapi ada beberapa santri kesayangan beliau yang diperkenankan untuk menunggui beliau yaitu Munir (Kutoharjo), Usman (nganjuk), Hasan Tholabi (Wates Yogyakarta). Kurang lebih 33 tahun mengasuh pondok pesantren, KH. Moenawwir meninggalkan pondok pesantren yang merupakan tonggak pemisah suasana daerah krapyak. Maka pada waktu itu tidak mengherankan apabila para pentakziah datang tanpa henti dan sekaligus melaksanakan sholat ghaib secara bergantian yang memimpin solat ghoib pada waktu itu antara lain K.H Mansur (Popongan Solo), KH. Asnawi (Bendan Kudus), KH. Ma’shum (Saditan Lasem). Pada hari wafat KH. Moenawwir jalanpun penuh sesak dengan pentakziah yang datang dari berbagai daerah darn golongan. Jenazah beliau diantar oleh pentakziah kurang lebih sepanjang 2 km. Mulai dari Krapyak hingga makbaroh beliau di Dongkelan Krapyak Yogyakarta. Semua pentakziah saling berebut untuk dapat mengangakat jenazah beliau. Sejak wafatnya KH. Moenawwir makam beliau senantiasa dipenuhi oleh zairin yang membaca Al – Qur’an di makhbaroh yang berdatangan dari berbagai daerah bahkan sampai 7 hari wafatnya. Sungguh berat beban yang harus dipukul oleh keluarga bani moenawwir yang ditinggal oleh KH. M. Moenawwir yang menjadi figur utama keberadaan dan kemajuan pesantren Al – Munawwir pada masa itu karena belum genap 100 hari pesantren ini ditinggal, banyak santri yang gelisah, dan tidak sedikit yang kemudian pulang. Selain itu telah terjadi masa peralihan penjajahan di Indonesia termasuk Yogyakarta dari penjajah Belanda kepada penjajah Jepang. Kekalahan tentara Belanda (sekutu) melawan Jepang ini, praktis menjadikan negara indonesia dikuasai/dijajah bangsa jepang, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Problem kepemimpinan tersebut tidak berlanjut lama, sebab setelah mengetahui adanya keresahan, maka keluarga bani Moenawwir mengadakan rapat keluarga. Dari rapat tersebut diputuskan beberapa hal yaitu pertama tetap mempercayakan kepemimpinan pondok kepada putra – putri beliau dan menantu KH. M. Moenawwir sesuai dengan keahlian dan kemampuan. Kedua mengirim utusan ke Lasem, menghadap KH. Ma’shum agar beliau berkenan melepas putranya yaitu KH. Ali Ma’sum untuk diboyong ke Krapyak untuk mengelola Pesantren yang baru saja ditinggal pengasuh tunggal (KH.M. Moenawwir) untuk membantu KH. Raden Abdullah Affandi dan KH. Raden Abdul Qodir dalam membina dan mengelola pesantren. Tidak lama kemudian, datanglah utusan dari Lasem sambil memboyong KH. Ali Ma’shum. Kedatangan beliau telah membawa suasana baru dalam pengembangan dan pengajaran di Pesantren Krapyak. Dan semenjak itu, bergabungnya KH. Ali Ma’shum maka Pondok Pesantren AL – Munawwir dipimpin oleh 3 orang Kiyai. Yaitu KH. Raden Abdullah Affandi, KH. Raden Abdul Qodir dan KH. Ali Maksum ( Menantu). Ketiga ulama’ tersebut dalam memimpin mempunyai tugas masing – masing KH. Raden Abdullah Affandi sebagai pemimpin umum untuk menangani hubungan antara pesantren dengan dunia luar (ekstern), KH. Raden Abdul Qodir sebagai pengasuh pengajian Tahfid Al – Qur’an dan menangani urusan – urusan intern pondok. Sedangkan KH. Ali Ma’shum sebagai penanggung jawab pengajian – pengajian kitab (sekarang menjadi pondok Ali Ma’shum). Setelah KH. Raden Abdullah Affandi, KH. Raden Abdul Qodir meninggal kepemimpinan dipegang oleh KH. Ali Maksum (putra menantu) dibantu adik – adik ipar dan santri senior diantaranya KH. Zainal Abidin Munawwir, KH. Zaini Munawwir, KH. Dalhar Munawwir, KH. Warson Munawwir, KH. Ahmad Munawwir, KH. Mufid Mas’ud, KH. Atabik Ali, KH. Muhammad Hasbullah, KH. Raden Najib Abdul Qodir (Sampai Sekarang). Sumber: