Anda di halaman 1dari 14

NAMA : ANISA HAWARI

NIM : 04011181823009
GRUP :6

Learning Issue

Tutorial Blok 12 – Skenario C

Homeostasis glukosa
Homeostasis glukosa di dalam darah diatur secara utama oleh kuantitas
relatif kedua hormon yang dikeluarkan oleh endokrin pankreas, yaitu insulin
dan glukagon. Kelainan pada regulasi kedua hormon ini menyebabkan
hiperglikemi pada DM. Pada kondisi normal, ketika kadar glukosa plasma
meninggi, kerja insulin mendominasi, termasuk supresi sekresi glukagon oleh
insulin. Kerja insulin meliputi glikogenesis (liver dan otot), glucose uptake
(otot), sintesis protein (otot), dan fat storage pada jaringan adiposa. Di sisi lain,
ketika kadar glukosa plasma menurun, kadar plasma insulin akan tersupresi dan
efek dari glukagon mendominasi (meningkatkan glukoneogenesis di liver dan
pembentukan badan keton). Dalam keadaan insulin yang tersupresi, pengambilan
glukosa di otot akan menurun, protein otot akan dikatabolisme, dan terjadi
lipolisis pada jaringan adiposa. Oleh karena itu, pada keadaan insulinopeni kadar
glukosa di dalam darah tidak dapat diturunkan dan kerja glukagon mendominasi
sehingga kadar glukosa tereus-menerus akan semakin tinggi.

Analisis Masalah
1. Ny. Rosa, 57 tahun, memiliki riwayat DM sejak 12 tahun yang lalu,
selama ini mendapat obat metformin 3 x 500 mg dan glimepiride 4 mg.
Sejak 4 jam yang lalu, pasien mengeluh berdebar-debar, keringat dingin,
mual-mual, dan sakit kepala, setelah pasien mengkonsumsi tablet
glimepiride 4 mg. Pasien dibawa ke IGD RS karena penurunan kesadaran
sejak 3 jam yang lalu.
a. Bagaimana mekanisme berdebar- debar pada kasus? 2d
Ketika kadar glukosa darah turun mencapai kisaran 50 sampai 70
mg/100 ml, sistem saraf pusat biasanya menjadi mudah terangsang, karena
hipoglikemia pada kisaran tersebut akan mensentisisasi timbulnya aktivitas
saraf. Kadangkala dapat terjadi berbagai macam halusinasi, namun pasien
lebih sering hanya mengalami kecemasan yang berlebihan, rasa gemetar di
seluruh tubuh, dan banyak berkeringat. Bila kadar glukosa darah turun
hingga 20 sampai 50 mg/100 ml, dapat timbul kejang kronik dan
hilangnya kesadaran.
Kondisi hipoglikemia (kadar glukosa darah rendah) menyebabkan
aktivasi pusat autonom di hipotalamus untuk melepaskan hormon
epinefrin. Epinefrin mempunyai efek menghambat sekresi insulin dan
secara langsung merangsang proses glukoneogenesis di hepar dan ginjal,
menghambat utilisasi glukosa di jaringan perifer dan merangsang proses
lipolisis. Selanjutnya proses lipolisis akan menghasilkan substrat - substrat
yang diperlukan untuk glukoneogenesis (yaitu gliserol) dan sumber energi
alternatif bagi otot (yaitu asam lemak dan benda - benda keton). Dengan
demikian tersedia bahan untuk glukoneogenesis yaitu asam amino
terutama alanin, asam laktat, piruvat, sedangkan hormon kontraregulator
yang lain berpengaruh sinergistik glukagon dan adrenalin tetapi perannya
sangat lambat. Secara singkat dapat dikatakan dalam keadaan puasa terjadi
penurunan insulin dan kenaikan hormon kontraregulator. Keadaan tersebut
akan menyebabkan penggunaan glukosa hanya di jaringan insulin yang
sensitif dan dengan demikian glukosa yang jumlahnya terbatas hanya
disediakan untuk jaringan otot. Mekanisme respon hipoglikemia pada
awalnya, tubuh secara otomatis memberikan respon terhadap rendahnya
kadar gula darah dengan melepaskan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar
adrenal dan beberapa ujung saraf. Keadaan hipoglikemia akan
menyebabkan timbulnya gejala palpitasi dan agitasi. Palpitasi adalah
menyadari atau merasakan denyutan jantung yang kuat atau keras,cepat,
tidak teratur. Keadaan palpitasi yang diakibatkan oleh hipoglikemia karena
gula dibutuhkan secara normal didalam otak sebagai sumber nutrisi
sebagai aktivitas dari sistem saraf simpatis. Sistem saraf simpatis berespon
sebagai mekanisme umpan balik negative, sehingga mengaktifkan kinerja
hormone tersebut untuk meningkatkan kontraktilitas, dan kecepatan
denyut jantung, sehingga menyebabkan kondisi jantung berdebar-debar
atau palpitasi.

b. Bagaimana mekanisme keringat dingin pada kasus?2d


Dalam keadaan normal, penurunan glukosa serum oleh karena
aktivitas hormon insulin secara akut, akan merangsang sekresi hormon
glukagon dan epinephrin yang dapat meningkatkan kadar glukosa
darah.Sekresi hormon glukagon pada penderita IDDM mengalami
gangguan, sehingga tidak dapat menaikkan kadar gula darah. Peran
hormon glucagon diasumsikan akan digantikan oleh hormon ephinephrine
untuk menaikan gula darah, dengan cara meningkatkan produksi glukosa
hepar dan menghambat sekresi hormon insulin. Akan tetapi pada penderita
IDDM sekresi hormone ephinephrine juga menurun, sebagai akibat adanya
gangguan saraf outonom. Kondisi hipoglikemia (kadar glukosa darah
rendah) menyebabkan aktivasi pusat autonom di hipotalamus untuk
melepaskan hormon epinefrin. Sehingga pelepasan hormon epinefrin
menyebabkan keringat dingin dan tachycardia.

c. Bagaimana mekanisme mual-mual pada kasus?2d


Penurunan glukosa merangsang saraf parasimpatis sehingga menyebabkan
mual.
d. Bagaimana mekanisme sakit kepala pada kasus?2d
Akibat penurunan glukosa sehingga sel kekurangan oksigen. Akibatnya
sakit kepala.
e. Apa penyebab penurunan kesadaran pada kasus? 2d
Penurunan kesadaran adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan
kepekaan atau tidak memiliki kepekaan terhadap diri sendiri,
lingkungan, kebutuhannya, dan tingkat respon terhadap stimulasi
eksternal dan internal. Penyebab gangguan kesadaran secara garis
besar dibagi menjadi dua, yaitu oleh karena kelainan otak atau
struktural (intrakranial) dan non-struktural atau sistemik (ekstrakranial).
Kelainan sistemik terdiri dari gangguan metabolisme, toksik, radang,
gangguan elektrolit atau asam basa, dan gangguan regulasi suhu.
Penurunan kesadaran yang terjadi pada penderita DM terjadi karena
gangguan metabolisme yang menyebabkan hipoglikemia, KAD, SHH,
asidosis laktat, dan uremik ensefalopati. Penilaian tingkat kesadaran dapat
dikelompokkan menjadi dua, antara lain penilaian secara kualitatif dan
kuantitatif. Penilaian tingkat kesadaran secara kualitatif dibagi menjadi
compos mentis, apatis, somnolen, sopor, dan koma, sedangkan Glasgow
Coma Scale (GCS) merupakan penilaian tingkat kesadaran secara
kuantitatif. Pada kondisi hipoglikemia mempengaruhi penurunan
eksitabilitas sel yang dapat berlanjut pada penurunan kesadaran.

2. Pemeriksaan Fisik :
Tekanan Darah : 170/90 mmHg; Frekuensi Nadi 116x/menit ; Frekuensi
Nafas 22x/ menit; suhu : 36,8o C. Pemeriksaan lain dalam batas normal.
a. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan fisik pada
kasus? 3, 2d
a. Tekanan Darah tinggi
Penyebab utamanya adalah pertambahan jumlah volume karena
peningkatan penyerapan kembali natrium ginjal dan vasokontriksi
perifer karena disregulasi faktor yang mengatur resistensi vaskuler
perifer. Aktivasi sistem renin-angiotensi-aldosteron, upregulasi
endotelin 1 (ET1), upregulasi spesies oksigen reaktif, dan
downregulasi oksida nitrat (NO) secara bersama-sama
menyebabkan hipertensi
b. Frekuensi Nadi Meningkat (Takikardia)
c. Tanda-tanda dan gejala-gejala hipoglikemi dibagi dalam 2
kategori, yaitu : otonomik dan neuroglikopenik. Tanda-tanda dan
gejala-gejala otonomik terjadi akibat aktivasi sistem syaraf otonom
melalui pelepasan epinefrin dari medulla adrenal kedalam sirkulasi
dan norepinefrin dari ujung2 syaraf simfatis postganglionic
kedalam jaringan2 target. Dalam keadaan normal, ambang
glikemik bagi pelepasan katekolamin lebih tinggi daripada
ambangnya bagi induksi gejala-gejala neuroglikopenik. Sehingga
gejala-gejala otonomik mengawali timbulnya gejala-gejala
neuroglikopenik. Gejala-gejala dan tanda-tanda yang
berhubungan dengan pelepasan katekolamin dapat berupa tremor,
muka pucat, palpitasi, takhikardia, tekanan nadi yang melebar dan
rasa cemas (ansietas). Berkeringat, rasa lapar dan parestesia juga
umum ditemukan, yang biasanya dimediasi oleh adanya pelepasan
asetilkholin. Pada orang dewasa, pengeluaran keringat lebih
mencolok, hal ini diduga akibat stimulasi oleh syaraf - syaraf
simfatis kolinergik post ganglionik.

d. Frekuensi napas meningkat (Takipneu)

3. Pemeriksaan penunjang
GDS low, Hb 8,2 mg/dl, leukosit darah 18.000/ mm3, ureum 60 mg/ dL
kreatinin 5,2 mg/ dL.
Urine : leukosit penuh
Ro toraks : kardiomegali
a. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan penunjang pada
kasus? 3, 2d
a. Urine : Leukosit penuh (meningkat)
Penyebab ISK terbanyak adalah Escherichia coli yang ditemukan
lebih dari 80% kasus. Staphylococcus saprophytius ditemukan
pada 10%-15% kasus. Enterococcus, Enterobacter sp, dan Proteus
sp. relatif jarang ditemukan. Klebsiella sp. dan Streptococcus grup
B lebih banyak ditemukan pada pasien DM (Pargavi et al.,2011).
Infeksi saluran kemih lebih sering banyak terjadi pada pasien DM
perempuan, karena secara anatomis uretra perempuan lebih pendek
dibanding laki-laki (Yunir E, 2015).
b. Kreatinin meningkat
Nilai normal : 0,6 – 1,3 mg/dL SI : 62-115 μmol/L
Pada kasus klien memiliki hasil Kreatinin sebesar 2,5 mg/dL dapat
dikategorikan tinggi.
Deskripsi :
Tes ini untuk mengukur jumlah kreatinin dalam darah. Kreatinin
dihasilkan selama kontraksi otot skeletal melalui pemecahan kreatinin
fosfat. Kreatinin diekskresi oleh ginjal dan konsentrasinya dalam
darah sebagai indikator fungsi ginjal. Pada kondisi fungsi ginjal
normal, kreatinin dalam darah ada dalam jumlah konstan. Nilainya
akan meningkat pada penurunan fungsi ginjal. Serum kreatinin berasal
dari masa otot, tidak dipengaruhi oleh diet, atau aktivitas dan
diekskresi seluruhnya melalui glomerulus. Tes kreatinin berguna
untuk mendiagnosa fungsi ginjal karena nilainya mendekati
glomerular fi ltration rate (GFR). Kreatinin adalah produk antara hasil
peruraian kreatinin otot dan fosfokreatinin yang diekskresikan melalui
ginjal. Produksi kreatinin konstan selama masa otot konstan.
Penurunan fungsi ginjal akan menurunkan ekskresi kreatinin.
Implikasi klinik :
• Konsentrasi kreatinin serum meningkat pada gangguan fungsi ginjal
baik karena gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh nefritis,
penyumbatan saluran urin, penyakit otot atau dehidrasi akut.
• Konsentrasi kreatinin serum menurun akibat distropi otot, atropi,
malnutrisi atau penurunan masa otot akibat penuaan.
• Obat-obat seperti asam askorbat, simetidin, levodopa dan metildopa
dapat mempengaruhi nilai kreatinin pada pengukuran laboratorium
walaupun tidak berarti ada gangguan fungsi ginjal.
• Nilai kreatinin boleh jadi normal meskipun terjadi gangguan fungsi
ginjal pada pasien lanjut usia (lansia) dan pasien malnutrisi akibat
penurunan masa otot.
• Kreatinin mempunyai waktu paruh sekitar satu hari. Oleh karena itu
diperlukan waktu beberapa hari hingga kadar kreatinin mencapai
kadar normal untuk mendeteksi perbaikan fungsi ginjal yang
signifikan. Kreatinin serum 2 - 3 mg/dL menunjukan fungsi ginjal
yang menurun 50 % hingga 30 % dari fungsi ginjal normal.
• Konsentrasi kreatinin serum juga bergantung pada berat, umur dan
masa otot.
Faktor pengganggu
• Olahraga berat, angkat beban dan prosedur operasi yang merusak
otot rangka dapat meningkatkan kadar kreatinin
• Alkohol dan penyalahgunaan obat meningkatkan kadar kreatinin
• Atlet memiliki kreatinin yang lebih tinggi karena masa otot lebih
besar
• Injeksi IM berulang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar
kreatinin
• Banyak obat dapat meningkatkan kadar kreatinin
• Melahirkan dapat meningkatkan kadar kreatinin
• Hemolisis sampel darah dapat meningkatkan kadar kreatinin
• Obat-obat yang meningkatkan serum kreatinin: trimetropim,
simetidin, ACEI/ARB
c. Ureum meningkat
Nilai normal : 10-50 mg/dl
Pada kasus Ureum : 55 mg/dl dapat dikategorikan tinggi
Peningkatan ureum disebabkan:
o factor prerenal
- shock
- Penurunan volume darah ke ginjal
- perdarahan
- dehidrasi
- peningkatan katabolisme protein pada hemolisis
- luka bakar, demam tinggi dan trauma
o factor renal
o factor postrenal.

d. Kardiomegali
Hipertensi ventrikel kiri dimulai dengan peningkatan kontraktilitas
miokard yang dipengaruhi oleh sistem saraf adrenergik sebagai
respon neurohumoral, kemudian diikuti dengan peningkatan aliran
darah balik vena karena vasokonstriksi di pembuluh darah perifer
dan retensi cairan oleh ginjal. Pada hipertensi ringan curah jantung
mulai meningkat, frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas
bertambah sedangkan tahanan perifer masih normal. Peningkatan
curah jantung oleh proses autoregulasi ini, berkaitan dengan
overaktivitas simpatis, akan menimbulkan peningkatan tonus
pembuluh darah perifer terjadi sebagai usaha kompensasi untuk
mencegah agar peningkatan tekanan (karena curah jantung yang
meningkat tadi) tidak disebarluaskan ke jaringan pembuluh darah
kapiler, yang akan dapat mengganggu homeostasis sel secara
substansial. (Sudoyo, 2010). Bila berlangsung lama maka
konstriksi otot polos pembuluh darah perifer ini akan menginduksi
perubahan struktural dengan penebalan dinding pembuluh darah
arteriol yang akan mengakibatkan peningkatan tahanan perifer
yang irreversible sehingga pada akhirnya kerja jantung menjadi
bertambah berat. Supaya volume sekuncup tetap stabil,
peningkatan beban tekan ini akan meningkatkan tegangan dinding
(stres dinding). Sehingga untuk mengurangi tegangan dinding ini,
sesuai dengan Persamaan Laplace, terjadi peningkatan ketebalan
dinding jantung sebagai kompensasi yang dikenal dengan hipertrofi
konsentris yang ditandai dengan sintesis sarkomer-sarkomer baru
yang berjalan sejajar dengan sarkomer lama yang menyebabkan
peningkatan tebal dinding tanpa adanya dilatasi ruang untuk
membantu memelihara kekuatan kontraksi ventrikel. (Sudoyo,
2010). Ciri hipertrofi konsentris ini berupa penebalan dinding otot
jantung, pertambahan massa jantung, volume akhir- diastol masih
normal atau sedikit meningkat, dan rasio massa terhadap volume
meningkat. Hipertrofi konsentris ini akan berlanjut dengan
hipertrofi eksentrik sebagai respon terhadap beban volume yang
ditandai dengan sintesis sarkomersarkomer baru secara seri dengan
sarkomer lama yang membuat radius ruang ventrikel membesar.
Ciri hipertrofi eksentrik ini berupa penambahan massa dan volume
jantung tetapi ketebalan dinding tidak berubah. (Sudoyo, 2010).
Hipertrofi dan dilatasi jantung ini membutuhkan suplai darah yang
lebih banyak dan seperti yang sudah dibahas terdahulu,
miokardium yang terlalu teregang justru akan menyebabkan
kekuatan kontraksi menurun, hal ini mengakibatkan suplai darah
tidak mampu menyetarakan massa otot jantung yang meningkat
sehingga akan berujung pada komplikasi jantung.

2.1 Tinjauan tentang Glimepiride sebagai Oral Antidiabetes


Obat turunan Sulfonilurea bekerja langsung dengan menstimulasi
sekresi insulin. Salah satu generasi ketiga Sulfonilurea yang dapat
menurunkan kadar gula darah pada manusia dengan menstimulasi
pelepasan insulin dari pankreas dan secara khas diresepkan untuk mengobati
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah Glimepiride. Glimepiride dipilih sebagai
model obat karena beberapa alasan yaitu glimepiride telah diakui oleh FDA
sebagai antidiabetes oral yang mempunyai absorbsi cepat dan sempurna.
Penyakit diabetes dapat mempengaruhi waktu pengosongan lambung dan
akan berpengaruh terhadap absorbsi obat. Absorbsi obat yang tidak
sempurna sering mengakibatkan bioavailabilitas yang rendah. Peningkatan
waktu tinggal dalam lambung akan memperluas absorbsi obat. Penggunaan
oral bentuk sediaan lepas lambat seperti Glimepiride akan menahan tablet
supaya tetap berada di lambung dan melepaskan bahan aktifnya dengan
perlahan, sehingga obat dapat secara terus-menerus dilepaskan pada tempat
absorbsinya yaitu di lambung bagian atas. Metode ini akan efektif dalam
pencapaian efek hipoglikemia (Febryanto et al, 2014).
Pada dosis terendah, Glimepiride dapat menghasilkan penurunan
kadar glukosa darah yang paling besar. Berbeda dengan Sulfonilurea
lainnya

Glimepiride dapat memperbaiki respons insulin fase pertama sehingga


memperbaiki hiperglikemia post prandial pada awal maupun akhir.
Diantara berbagai oral antidiabetes lainnya, Glimepiride memiliki efek
antihiperglikemia yang paling poten dengan dosis harian maksimal 8
mg/hari. Glimepiride bekerja di kanal kalsium yang tergantung ATPase
(kanal KATP) pada sel beta pankreas dengan menstimulasi pelepasan
insulin. Sulfonilurea terikat pada protein 65-kD sel beta, dan mampu
memperbaiki sekresi insulin fase pertama maupun kedua. Aktivitas penurun
glukosa dan kadar insulin maksimal dicapai dalam waktu 2-3 jam setelah
asupan glimepirid, dan efek ini dapat bertahan hingga 24 jam. Efek
Glimepiride terhadap pankreas sama dengan Sulfonilurea lainnya, yaitu
memperkuat respon jaringan perifer terhadap insulin (Febryanto et al,
2014).
2.1.1 Monografi Zat Aktif Glimepiride
a. Zat aktif : Glimepiride
b. Rumus Molekul : C24H34N4O5S
c. Berat Molekul : 490,62
d. Struktur Kimia :

Gambar 2.5 Struktur Kimia Glimepiride (Sumber : Martindale, 2009)


e. Pemerian : Serbuk; putih sampai hampir putih.
f. Kelarutan : Larut dalam dimetilformamida; sukar larut dalam metanol; agak
sukar larut dalam metilen klorida; praktis tidak larut dalam air (Ditjen POM,
2014).

2.1.2 Penggunaan Terapeutik Glimepiride


Glimepiride adalah senyawa golongan Sulfonilurea generasi ketiga yang
digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus tipe 2 yang pada dosis rendah
dapat memberikan onset cepat, durasi kerja yang lama, dan efek samping
hipoglikemia yang kecil. Glimepiride diindikasikan sebagai tambahan diet dan
olahraga untuk menurunkan glukosa darah, dapat digunakan dalam kombinasi
dengan Metformin atau insulin pada pasien yang hiperglikemia tidak dapat
dikendalikan dengan diet dan olahraga (APA, 2015).

2.1.3 Dosis Glimepiride


Dosis dewasa :
Dosis awal: 1-2 mg sekali sehari, diberikan bersama saat sarapan atau makan
pertama.
Dosis pemeliharaan: 1-4 mg sekali sehari; Setelah dosis 2 mg sekali sehari,
meningkat secara bertahap 2 mg pada interval 1 minggu 2 minggu berdasarkan
respon glukosa darah pasien,
Dosis maksimum: 8 mg sekali sehari.
Kombinasi dengan terapi insulin:
Catatan: Tingkat glukosa puasa untuk terapi kombinasi dalam kisaran > 150 mg
/dL dalam plasma atau serum tergantung pada pasien.
Dosis awal: 8 mg sekali sehari bersama saat sarapan atau makan pertama
Dosis: Lansia
Dosis awal: 1 mg / hari;
Dosis: Pediatrik: Anak 10-18 tahun (penggunaan tanpa label): Dosis awal: 1 mg
sekali sehari; Pemeliharaan: 1-4 mg sekali sehari (APA, 2015).
2.1.4 Mekanisme Kerja Glimepiride

Gambar 2.6 Mekanisme Kerja Glimepiride

(sumber : Andy E.W, 2011)

Pada gambar 2.8 dimana Glimepiride memiliki efek pankreatik dan ekstra
pankreatik. Efek pankreatik berupa sekresi insulin yaitu terjadi setelah glimepiride
berikatan dengan reseptornya di sel β pankreas dan menyebabkan penutupan
KATP channel yang sensitif pada selaput sel beta pankreas sehingga
menimbulkan depolarisasi membran sel dengan mencegah potasium keluar.
Depolarisasi yang dihasilkan membuka saluran Ca2+ yang sulit dikendalikan dan
menyebabkan masuknya kalsium ke dalam sel. Peningkatan kalsium intraseluler
menyebabkan peningkatan fungsi granula insulin dengan membran sel, sehingga
dapat meningkatkan sekresi insulin. Meskipun bekerja melalui mekanisme yang
sama, Glimepiride terikat pada reseptor yang berbeda dengan obat golongan
Sulfonilurea lainnya (Paulus W; Ignatia SM., 2014).
Glimepiride terikat pada protein dengan berat molekul 65 kD sedangkan
Sulfonilurea berikatan dengan protein dengan berat molekul 140 kD. Perbedaan
ini menyebabkan Glimepiride lebih spesifik terhadap sulfonilurea receptor
(SUR1) pada sel beta dibandingkan Glibenclamide. Akibatnya adalah turunnya
risiko iskemia miokardium. Glimepiride membutuhkan konsentrasi 3 kali lebih
besar dibandingkan Glibenclamide untuk dapat menghambat KATP channel
miokardium. Berbeda dari golongan Sulfonilurea lainnya yang meningkatkan
sekresi insulin pada fase akut, Glimepiride dikatakan dapat memperbaiki baik fase
akut maupun fase lambat sekresi insulin (Paulus W; Ignatia SM., 2014).

2.1.5 Farmakokinetik Glimepiride


Setelah pemberian oral, Glimepiride diabsorpsi dengan sempurna melalui
saluran cerna sebesar 100%. Kadar Glimepiride dalam darah akan menurun bila
diberikan bersama-sama dengan makanan. Glimepirid memiliki lama kerja obat
sekitar 24 jam dan dapat memberikan efek yang maksimal selama 2-4 jam. Studi
dengan dosis oral tunggal pada subjek normal dan dengan beberapa dosis oral
pada pasien diabetes tipe 2 telah menunjukkan penyerapan Glimepiride yang
signifikan dalam waktu 1 jam setelah pemberian dan tingkat obat puncak (Cmax)
pada 2 sampai 3 jam. Ketika Glimepiride diberikan bersama makanan, rata-rata
Tmax (waktu untuk mencapai Cmax) sedikit meningkat (12%) dan rata-rata Cmax
dan AUC (area di bawah kurva) sedikit menurun (8% dan 9% masing-masing).
Glimepirid memiliki waktu paruh eliminasi sekitar 5-9 jam. Volume distribusi
Glimepiride adalah 8,8 L dan berikatan dengan protein plasma lebih dari 99.5%.
Glimepiride mengalami metabolisme oksidasi di hati terutama oleh enzim
CYP2C9. Metabolit glimepiride diekskresi melalui urin sebesar 80-90% dan
sisanya melalui feses (APA, 2015).

2.1.6 Efek Samping Glimepiride


Efek samping yang dapat terjadi seperti kelemahan, sakit kepala,
hipoglikemia, dan gejala pada saluran cerna seperti mual. Gejala hematologic
termasuk trombositopenia, agranulositosis, dan anemia aplastik dapat terjadi
walaupun jarang. Glimepiride dapat meningkatkan Anti Diuretik Hormon
(ADH), dan dengan frekuensi sangat jarang menyebabkan hiponatremia dan
fotosensitivitas. Hipoglikemia dapat terjadi apabila penderita diabetes mellitus
mendapatkan terapi Glimepiride dengan dosis yang tidak tepat atau diet terlalu
ketat. Dapat terjadi pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi ginjal atau
hati (APA, 2015).

DAFTAR PUSTAKA
Wiernsperger N, Rapin JR "Metformin-insulin interactions: from organ to cell." Diabetes
Metab Rev 11 Suppl (1995): s3-12
Kardika IB, Sianny Herawati IW. Preanalitik Dan Interpretasi Glukosa Darah Untuk
Diagnosis Diabetes Melitus. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. 2015;1:1689-99.
Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical care untuk penyakit Diabetes Mellitus.
Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Hlm. 2005;7.
Rochmah W. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi.
2006;4:1915-8.
Yunir, E., 2015. Risiko isk penderita diabetes melitus. Dalam Semijurnal Farmasi &
Kedokteran, Ethical Digest. No.133, thn XXI, Maret, hal 56-57

Anda mungkin juga menyukai