Anda di halaman 1dari 18

MODUL 1

ANALISIS BATUAN INDUK


2.1. Pendahuluan
Batuan induk (source rock) merupakan batuan yang mempunyai banyak
kandungan material organik. Batuan ini biasanya batuan berbutir halus dan
terendapkan pada lingkungan reduksi, sehingga mampu mengawetkan kandungan
material organik di dalamnya, seperti batulempung dan batuserpih atau batuan yang
memilki banyak kandungan material organik seperti batugamping atau batubara.
Material organik yang terdapat di dalam batuan mengandung 90 % kerogen dan
10% bitumen, (Hunt, 1979).

Kerogen adalah komplek molekul organik yang mengalami polimerisasi tinggi,


terdapat di batuan sedimen yang tidak larut dalam pelarut organik biasa. Kerogen
tidak larut karena memiliki molekul yang berukuran besar. Kerogen merupakan
sumber dari sebagian besar minyak bumi dan gas, terdiri dari partikel yang berbeda-
beda yang disebut maseral. Maseral adalah material organik, hubungannya terhadap
kerogen sama dengan hubungan mineral terhadap batuan. Sedangkan bitumen atau
extractable organic matter (EOM) adalah material organik yang larut dalam pelarut
organik biasa.

2.1.1. Analisa Jumlah Material Organik Dalam Batuan Induk

Jumlah material organik yang terdapat di dalam batuan sedimen dinyatakan


sebagai Total Organic Carbon (TOC). Analisis ini cukup murah, sederhana, dan
cepat. Dalam melakukan analisa ini, sample yang digunakan dapat berupa inti
batuan, serbuk pemboran, dan sample dari singkapan batuan. Biasanya memerlukan
satu gram batuan, tetapi jika sample banyak material organik, jumlah yang lebih
kecil dari satu gram sudah cukup. Analisis TOC biasanya dilakukan dengan suatu alat
penganalisis karbon, Leco Carbon Analyzer (Gambar 2.1) dimana tekniknya cukup
sederhana, yaitu dengan membakar sample yang berbentuk bubuk, bebas mineral
karbonat pada temperatur tinggi dengan bantuan oksigen. Unsur karbonat yang
terkandung dalam batuan harus dihilangkan karena unsur tersebut merupakan
karbon anorganik sehingga tidak boleh dimasukkan dalam perhitungan total organik
karbon. Selain batuan yang mengandung unsur karbonat, batuan yang
terkontaminasi oleh lumpur pemboran dengan bahan dasar minyak (Oil Base Mud/
OBM) juga perlu mendapat perlakuan khusus karena dapat terbaca sebagai material
organik dan menghasilkan nilai perhitungan total karbon organik yang lebih tinggi
daripada yang sebenarnya. Dasar pengerjaan alat ini adalah menggunakan sistem
pembakaran (combustion), yaitu dengan memanaskan sample batuan sampai suhu
1200 – 1500°C yang dibantu oleh katalisator, sehingga seluruh material karbon
organik di dalam sample batuan terbakar dan terubah seluruhnya menjadi CO2, dan
jumlah CO2 inilah yang kemudian terbaca detektor sebagai hasil pembakaran dari
material organik. Sample dengan kandungan TOC rendah biasanya dianggap tidak
mampu membentuk hidrokarbon yang komersial, maka sample tersebut tidak
dianalisis lebih lanjut. Titik batas didiskualifikasikannya suatu sample biasanya tidak
merata, tetapi pada umumnya antara 0,5 dan 1 % TOC.

Sample yang terpilih, dianalisis lebih lanjut untuk tipe material organik yang
dikandungnya. Jika penentuan TOC ditentukan terhadap sample inti bor, maka
pengambilan sample tersebut didasarkan pada litologi yang menarik. Sebelum
melakukan penentuan TOC, teknisi harus membuang kontaminan dan material
jatuhan. Jika terdapat lebih dari satu litologi dalam suatu sample, maka kita harus
melakukan pengambilan material tertentu saja. Pendekatan lain adalah tanpa
memilih materialnya dengan harapan agar kita mendapatkan harga yang
mencerminkan keseluruhan sample.

Gambar 2.1. Skema diagram Lecco carbon analizer (Waples, 1985)


Gambar 2.2. Persentase nilai TOC (Peters & Cassa, 1994)

2.2. Metode Evaluasi Tipe Material Organik

2.2.1. Metode Langsung

Metode yang dipakai adalah metode pyrolisis, dimana setelah pyrolisis diperoleh
(S1, S2, S3 dan Tmaks), maka kita bisa mendapatkan harga Hidrogen Indeks dan
Oksigen Indeks yaitu Hidrogen Indeks (HI) = S2/TOC x 100; Oksigen Indeks (OI) =
S3/TOC x 100. Harga ini kemudian diplotkan kedalam diagram Van Krevelen,
sehingga kita bisa menentukan tipe material organiknya. Dapat pula dengan
menggunakan data Tmaks dan HI, maka kita dapat mengetahui tipe material
organiknya, dan bisa menentukan lingkungan pengendapannya.

2.2.2. Metode tidak langsung

Sangat berbeda dengan metode langsung, metode ini mengamati potensial


sumber dari suatu kerogen dengan mengamati karakteristik fisik dan kimia yang
diperkirakan kaitannya dengan potensial sumber. Teknik tak langsung yang
umumnya digunakan adalah analisis mikroskopis dan analisis unsur.

a. Analisis mikroskopis. Studi partikel kerogen di bawah mikroskop dengan


menggunakan sinar transisi sudah merupakan bagian integral geokimia
organik. Kerogen dikonsentrasikan atau diisolasi dan kemudian ditempatkan
didalam sayatan mikroskopik. Beberapa macam partikel kerogen, seperti
spora, pollen, acritachs, resin, dan material dari lapisan lilin tanaman dapat
dikaitkan dengan prazat biologisnya. Partikel lain yang telah mengalami
transformasi eksistensif sering dilakukan untuk membedakan kerogen amorf
yang berpotensial membentuk minyak dari kerogen amorf yang berpotensial
membentuk gas (tidak berflouresen).
b. Analisis unsur. Parameter penting di dalam analisis unsur untuk evaluasi
batuan induk adalah rasio H:C suatu kerogen. Karena hidrogen merupakan
reagen terbatas dalam pembentukan hidrokarbon, maka jumlah asal hidrogen
menentukan jumlah maksimum hidrokarbon yang terbentuk oleh suatu
kerogen. Metode tidak langsung merupakan metode yang berguna dalam
penetuan potensial batuan induk meskipun kepopuleran metode ini tergeser
oleh kepopuleran metode pyrolisis batuan induk. Walaupun demikian,
disarankan agar setiap evaluasi batuan induk dilakukan analisis unsur atau
mikroskopik untuk mengecek hasil pyrolisis. Kelebihan dari metode ini adalah
kita dapat memperoleh gambaran tentang komposisi kimia dan sejarah suatu
kerogen, sehingga kita dapat mengerti semua masalah geologi dan geokimia
yang mempengaruhi kualitas batuan induk. Kelebihan lainnya ialah kita akan
mendapatkan data yang akhirnya akan kita bandingkan dengan metode
langsung.

Kekurangannya ada dua, yaitu kecepatan dan biaya analisisnya yang umumnya
lebih tinggi dari kedua hal tersebut untuk pyrolisis, sedangkan hasilnya tidak
langsung memberikan kita gambaran tentang kapasitas pembentukan hidrokarbon
batuan tersebut.
Gambar 2.3. Modifikasi diagram van Krevelen untuk tipe

kerogen menggunakan parameter HI dan OI.

2.3. Analisis Kematangan Batuan Induk

Para ahli berpendapat bahwa proses kematangan dikontrol oleh suhu dan waktu.
Pengaruh suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat atau suhu yang rendah dalam
waktu yang lama akan menyebabkan terubahnya kerogen minyak bumi. Jenis
minyak bumi yang terbentuk tergantung pada tingkat kematangan panas batuan
induk, semakin tinggi tingkat kematangan panas batuan induk maka akan terbentuk
minyak bumi jenis berat, minyak bumi ringan, kondensat, dan pada akhirnya gas.
Dari pengaruh suhu dan kedalaman sumur, umur batuan juga berperan dalam
proses pembentukan minyak bumi.

Umur suatu batuan erat kaitannya dengan lamanya proses pemanasan


berlangsung serta jumlah panas yang diterima batuan induk, sehingga suatu batuan
induk yang terletak pada kedalaman yang dangkal, pada kondisi temperatur yang
rendah dapat mencapai suhu pembentukan minyak bumi dalam suatu skala waktu
tertentu. Dari hasil suatu riset, Bissada (1986) menyatakan bahwa batuan yang
berusia lebih muda relatif memerlukan suhu yang relatif lebih tinggi dan batuan
induk yang terletak pada kedalaman yang relatif dangkal dapat mencapai suhu
pembentukan minyak bumi dalam suatu waktu yang relatif lebih lama.

Dari hasil suatu riset pula, Bissada (1986) menyatakan bahwa temperatur
pembentukan minyak bumi sangat bervariasi. Dijelaskan bahwa batuan yang berusia
lebih muda relatif memerlukan temperatur yang lebih tinggi dalam pembentukan
minyak bumi. Lima tahapan zonasi pematangan minyak bumi menurut Bissada
(1986) adalah :

 Zona I Di mana gas kering dapat terbentuk sebagai akibat aktivitas bakteri,
tidak ada minyak yang dapat dideteksi kecuali minyak bumi tersebut
merupakan zat pengotor atau hasil suatu migrasi.
 Zona II Merupakan awal pembentukan minyak bumi. Hasil utama yang
terbentuk pada zona ini adalah gas kering, gas basah, dan sedikit kondensat.
Adanya pertambahan konsentrasi minyak akan menyebabkan minyak bumi
terus mengalami pengenceran, tetapi belum dapat terbebaskan dari batuan
induknya. Begitu titik kritis kemampuan menyimpan terlampaui, proses
perlepasan minyak bumi sebagai senyawa yang telah matang dimulai.
 Zona III Merupakan zona puncak pembentukan dan pelepasan minyak bumi
dari batuan induk. Bentuk utama yang dihasilkan berupa gas dan minyak
bumi. Dengan bertambahnya tingkat pematangan maka minyak yang berjenis
ringan akan terbentuk.
 Zona IV Merupakan zona peningkatan pembentukan kondensat gas basah &
gas kering.
 Zona V Merupakan zona terakhir, dicirikan dengan suhu yang tinggi sehingga
zat organik akan terurai menjadi gas kering (metana) sebagai akibat
karbonisasi. Perubahan yang terjadi sebagai akibat penambahan panas dan
lamanya pemanasan pada kerogen atau batubara dapat bersifat kimia dan
fisika, seperti diuraikan oleh Bissada (1980) sebagai berikut:
 Daya pantul cahaya dari partikel vitrinit akan meningkat secara
eksposnensial.
 Warna kerogen akan berubah menjadi lebih gelap.
 Adanya peningkatan mutu batubara, dengan kandungan volatile akan
berkurang.
 Sifat kimia dari kerogen akan berubah, kandungan oksigen dan
hidrokarbon akan berkurang sehingga perbandingan dari atom
oksigen/karbon dan hidrogen/karbon akan menurun dan akhirnya hanya
akan membentuk karbon murni (grafit).

Gambar 2.4. Hubungan antara suhu dan umur batuan induk dalam zona pembentukan
minyak (Bissada, 1975).

Menurut Bissada (1974); Barker (1979), oil window terjadi pada temperatur
150°F, dan gas window terjadi pada temperatur 300°F (Gambar 2.4). Oil window
adalah suatu kondisi tertentu di mana minyak bumi terbentuk. Sedangkan gas
window adalah suatu kondisi tertentu di mana gas bumi terbentuk. Perubahan suhu
zat organik mungkin akan dimulai pada kondisi temperatur sebesar 100°C.
Perubahan temperatur yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya proses
metamorfosa dan ini akan sangat berpengaruh pada kondisi zat organik yang
terkandung dalam sedimen. Sehingga saat ini berkembang suatu cara
pengidentifikasian kematangan berdasarkan data geokimia organik dan pyrolisis.
2.3.1. Identifikasi Kematangan Berdasarkan Data Geokimia Organik (Tidak
Langsung)

a. Analisis pantulan vitrinit


Analisis ini berdasarkan pada kemampuan daya pantul cahaya vitrinit.
Kerogen yang telah matang akan membawa perubahan pada vitrinit dan hal
ini akan diiringi dengan kemampuan partikel tersebut untuk memantulkan
cahaya yang jatuh padanya. Tingkat kematangan yang teramati dari nilai
pemantulan vitrinit akan bertambah secara teratur dengan bertambahnya
kedalaman. Besarnya pantulan vitrinit merupakan petunjuk langsung untuk
tingkat kematangan zat organik, terutama humus yang cenderung
membentuk gas dan merupakan petunjuk tidak langsung untuk sapronel
kerogen yang cenderung membentuk minyak (Cooper, 1977). Kemampuan
daya pantul ini merupakan fungsi temperatur artinya dengan perubahan
waktu pemanasan dan temperatur akan menyebabkan warna vitrinit berubah
di bawah sinar pantul. Cara penganalisaan pantulan vitrinit ini yaitu dengan
mengambil contoh batuan dari kedalaman tertentu diletakkan diatas kaca
preparat dan direkatkan dengan epoxyresin. Kemudian digosokkan dengan
kertas korondum kasar sampai halus dan terakhir dengan menggunakan
alumina. Selanjutnya contoh batuan tersebut diuji dalam minyak immersi
(indeks bias = 1,516) dengan menggunakan mikroskop dan suatu micro
photomultiplier dan digital voltmeter attachment. Kemudian dilakukan
kalibrasi terhadap vitrinit berdasarkan suatu standart yang terbuat dari gelas.

Gambar 2.5. Data kematangan menurut (Peters & Cassa, 1994).


b. Analisis indeks warna spora

Analisis ini untuk mengetahui tingkat kematangan zat organik dengan


menggunakan mikro fosil dari sekelompok spora dengan serbuk sari. Analisis
ini dilakukan dengan cara contoh kerogen yang diperlukan dari keratan bor
diuraikan dengan cairan asam kemudian contoh spora atau tepung sari ini
diletakkan pada kaca preparat dan diamati tingkat warnanya dengan suatu
skala warna melalui mikroskop. Kesulitan dalam analisis indeks warna spora
ini terkadang timbul dalam hal membandingkan tingkat warna dari suatu
contoh spora atau tepung sari dengan warna standart tertentu karena
penentuan secara subjektif tergantung pengamat. Keterbatasan lainnya
adalah bahwasannya tingkat warna spora akan sangat tergantung pada
ketebalan dindingnya, pada beberapa jenis spora efek panas yang
mengenainya terkadang tidak selalu tercermin dari perubahan warnanya.

c. Thermal Alteration Index (TAI)

Metode ini mempergunakan penentuan warna secara visual dari pollen


(serbuk kepala putik) dan zat organik lainnya, dari warna kuning, coklat,
sampai hitam. Klasifikasi ini dihubungkan langsung dengan pembentukan atau
pematangan dari minyak dan gas bumi. Pengukuran ini telah distandardisasi
dengan nilai kematangan Ro% pada setiap laboratorium.

Gambar 2.6. Korelasi dari beberapa indikator kematangan (Bissada, 1979).


2.3.2. Identifikasi Kematangan Berdasarkan Pyrolisis (Metode Langsung)

Rock-Eval Pyrolisis (REP) adalah analisis komponen hidrokarbon pada batuan


induk dengan cara melakukan pemanasan bertahap pada sampel batuan induk
dalam keadaan tanpa oksigen pada kondisi atmosfer inert dengan temperatur yang
terprogram. Pemanasan ini memisahkan komponen organik bebas (bitumen) dan
komponen organik yang masih terikat dalam batuan induk (kerogen) (Espitalie et al.,
1977).

Gambar 2.7. Proses Rock Eval Pyrolysis (After Waples, 1985)

Analisis Rock-Eval Pyrolisis menghasilkan beberapa parameter-parameter :

a. S1 (free hydrocarbon)
S1 menunjukkan jumlah hidrokarbon bebas yang dapat diuapkan tanpa
melalui proses pemecahan kerogen. Nilai S1 mencerminkan jumlah
hidrokarbon bebas yang terbentuk insitu (indigeneous hydrocarbon) karena
kematangan termal maupun karena adanya akumulasi hidrokarbon dari
tempat lain (migrated hydrocarbon)
b. S2 (pyrolisable hydrocarbon)
S2 menunjukkan jumlah hidrokarbon yang dihasil melalui proses pemecahan
kerogen yang mewakili jumlah hidrokarbon yang dapat dihasilkan batuan
selama proses pematangan secara alamiah. Nilai S2 menyatakan potensi
material organik dalam batuan yang dapat berubah menjadi petroleum. Harga
S1 dan S2 diukur dalam satuan mg hidrokarbon/gram batuan (mg HC/g
Rock).
c. S3
S3 menunjukkan jumlah kandungan CO2 yang hadir di dalam batuan. Jumlah
CO2 ini dapat dikorelasikan dengan jumlah oksigen di dalam kerogen karena
menunjukkan tingkat oksidasi selama diagenesis.
d. Tmax
Nilai Tmax ini merupakan salah satu parameter geokimia yang dapat
digunakan untuk menentukan tingkat kematangan batuan induk. Harga Tmax
yang terekam sangat dipengaruhi oleh jenis material organik. Kerogen Tipe I
akan membentuk hidrokarbon lebih akhir dibanding Tipe III pada kondisi
temperatur yang sama. Harga Tmax sebagai indikator kematangan juga
memiliki beberapa keterbatasan lain misalnya tidak dapat digunakan untuk
batuan memiliki TOC rendah (<0,5) dan HI < 50. Harga Tmax juga dapat
menunjukkan tingkat kematangan yang lebih rendah dari tingkat kematangan
sebenarnya pada batuan induk yang mengandung resinit yang umum
terdapat dalam batuan induk dengan kerogen tipe II (Peters, 1986).

Alat yang dipergunakan untuk ini adalah rock eval. Di dalam pyrolisis, sejumlah
kecil bubuk sample (biasanya sekitar 50 – 100 mg) dipanasi secara perlahan tanpa
adanya oksigen dari temperatur awal 250° C ke temperatur maksimum 550° C.
Selama pemanasan berlangsung dua jenis hidrokarbon dikeluarkan dari batuan.
Hidrokarbon yang pertama keluar pada temperatur sekitar 250°C, merupakan
hidrokarbon yang sudah ada dalam batuan. Hidrokarbon ini setara dengan bitumen
yang dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut.

Detector pada rock eval akan merekam hal ini dan menggambarkannya dalam
bentuk S1 pada kertas pencatat. Dengan menerusnya pemanasan, aliran
hidrokarbon yang sudah ada di dalam batuan mulai berkurang. Pada temperatur
350°C jenis hidrokarbon jenis kedua mulai muncul. Aliran kedua ini mencapai
maksimum ketika temperatur pyrolisis hidrokarbon mencapai 420°C dan 460°C,
yang kemudian menurun sampai akhir pyrolisis.
Hidrokarbon kedua ini disebut S2, merupakan hidrokarbon yang terbentuk dari
kerogen didalam rock eval karena penguraian bahan kerogen. S2 dianggap sebagai
indikator penting tentang kemampuan kerogen memproduksi hidrokarbon saat ini.
Selama pyrolisis, karbondioksida juga dikeluarkan dari kerogen. Karbon dioksida ini
ditangkap oleh suatu perangkap selama pyrolisis berlangsung dan kemudian dilepas
pada detektor kedua (direkam sabagai S3) setelah semua pengukuran hidrokarbon
selesai.

Jumlah karbondioksida yang didapat dari kerogen yang dikorelasikan dengan


jumlah oksigen tinggi berkaitan dengan material yang berasal dari kayu selulosa
atau oksida tinggi selama diagenesis, maka kandungan oksigen tinggi di dalam
kerogen merupakan indikator negatif potensial sumber hidrokarbon.

Gambar 2.8. Parameter yang dihasilkan oleh Rock Eval Pyrolisis (After Merrill, 1991)

Kombinasi parameter – parameter yang dihasilkan oleh Rock-Eval Pyrolisis dapat


dipergunakan sebagai indikator jenis serta kualitas batuan induk, antara lain :

a. Potential Yield (S1 + S2)


Potential Yield (PY) menunjukkan jumlah hidrokarbon dalam batuan baik yang
berupa komponen volatil (bebas) maupun yang berupa kerogen. Satuan ini
dipakai sebagai penunjuk jumlah total hidrokarbon maksimum yang dapat
dilepaskan selama proses pematangan batuan induk dan jumlah ini mewakili
generation potential batuan induk.
b. Production Index (PI)
Nilai PI menunjukkan jumlah hidrokarbon bebas relatif (S1) terhadap jumlah
total hidrokarbon yang hadir (S1 + S2). PI dapat digunakan sebagai indikator
tingkat kematangan batuan induk. PI meningkat karena pemecahan kerogen
sehingga S2 berubah menjadi S1.
c. Hydrogen Index (HI) dan Oxygen Index (OI)
HI merupakan hasil dari S2 x 100/TOC dan OI adalah S3 x 100/TOC. Kedua
parameter ini harganya akan berkurang dengan naiknya tingkat kematangan.
Harga HI yang tinggi menunjukkan batuan induk didominasi oleh material
organik yang bersifat oil prone, sedangkan nilai OI tinggi mengindikasikan
dominasi material organik yang bersifat gas prone. Waples (1985)
menyatakan nilai HI dapat digunakan untuk menentukan jenis hidrokarbon
utama dan kuantitas relatif hidrokarbon yang dihasilkan.
2.4. Atribut Organofasies (Biomarker)
Kebanyakan senyawa-senyawa dan kelas senyawa yang ditemukan dalam
minyak dan bitumen disebut sebagai biomarker yang merupakan kependekan dari
biological marker. Senyawa ini, yang berasal dari molekul perintis biogenik, pada
dasarnya merupakan fosil molekul. Kegunaan terpenting dari biomarker adalah
sebagai indikator dari organisme tempat bitumen atau minyak berasal, atau sebagai
indikator kondisi diagenetik pada saat material organik terpendam. Pada beberapa
keadaan tertentu, prazat tertentu atau molekul dapat diidentifikasi, sedangkan pada
keadaan lain kita hanya dapat membatasi kemungkinan prazatnya menjadi beberapa
jenis saja. Pada kebanyakan keadaan, bagaimanapun juga, walaupun kita
mengetahui secara pasti bahwa molekul biomarker adalah biogenik, kita tidak dapat
menggunakannya sebagai fosil indeks untuk organisme tertentu.

Biomarker Prazat
alkana normal ( > C22) lilin tumbuhan darat
alkana normal ( < C22) lemak alga
isoprenoid ( < C20) berbagai macam klorofil
isoprenoid ( > C20) lemak atau klorofil dari alga hipersalin
triterpana triterpenoid bakteri
sterana steroid

2.4.1 Studi Kasus Triterpana


Sumber organisme untuk biomarker triterpana dipercaya berasal dari bakteri.
Berbagai macam triterpenoid mengandung beberapa hal seperti grup –OH dan 27
ikatan ganda yang telah dikarakterisasi sebagai unsur pokok yang penting dari
membran sel pada bakteri. Suatu triterpenoid yang luas kemungkinan dihasilkan
oleh di antara banyak tipe dari mikro organisme saat ini dalam lingkungan
pengendapan yang berbeda, walaupun banyak hal-hal detail yang belum diketahui
hingga saat ini. Secara khusus, terdapat perbedaan yang signifikan antara bakteri
aerobik dan bakteri anaerobik, terutama metanogen. Transformasi dari triterpenoid
menjadi triterpana kemungkinan terjadi bersamaan dengan transformasi dari sterol
menjadi sterana. Arsitektur molekul umum dari triterpana pada umumnya sedikit
dipengaruhi oleh proses diagenesis. Transformasi stereokimia pertama yang perlu
diperhatikan adalah pembentukan pada saat awal diagenesis dari isomer
17α(H),21β(H). Geometri ini, yang stabil pada keadaan tertentu, memiliki hidrogen
yang menyisip pada C-17 di konfigurasi alfa dan hidrogen pada C-21 di konfigurasi
beta. Hopana dengan konfigurasi 17β(H),21β(H) (hopanaββ) hanya hadir pada
conto yang kurang matang, dan seperti sterana yang kurang matang, menjadi
kurang penting di dalam dunia geokimia minyak.

Triterpana dapat dibagi menjadi tiga famili yang berbeda berdasarkan jumlah
cincinnya. Triterpana yang dipelajari secara lebih mendalam memiliki lima cincin, dan
oleh karena itu disebut sebagai pentasiklik. Senyawa ini terdiri dari atom karbon 27
sampai dengan 35, walaupun kadang-kadang dilaporkan memiliki atom karbon
hingga 40. Triterpana lain yang juga dipelajari memiliki tiga cincin, dan oleh karena
itu disebut sebagai trisiklik. Senyawa ini terdiri dari atom karbon 21 sampai dengan
40, akan tetapi lebih didominasi oleh atom karbon kurang dari 25. Famili yang ketiga
adalah tetrasiklik, paling sedikit dipelajari dan sangat jelek dipahami (Waples dan
Machihara, 1991).
a. Kromatogram Triterpana (Hopana m/z 191)
Kromatografi adalah salah satu metode pemisahan kimia yang didasarkan pada
adanya perbedaan partisi zat pada fasa diam (stationary phase) dan fasa gerak
(mobile phase). Kromatografi dapat bersifat preparatif maupun analitik. Tujuan
kromatografi preparatif biasanya adalah untuk memisahkan senyawa dalam
campuran (biasanya digunakan untuk pemurnian). Kromatografi analitik
digunakan untuk mengetahui perbandingan senyawa dalam campuran. Berikut
ini adalah hasil dari kromatografi pada Hopana m/z 191 dan hasilnya berupa
urutan senyawa yang terkadung dalam sampel.
b. Kegunaan Kromatogram Triterpana (Hopana m/z 191)
Kromatogram Triterpana dapat digunakan untuk menentukan lingkungan
pengendapan. Senyawa-senyawa yang dapat menunjukkan lingkungan
pengendapan tersebut antara lain:

Senyawa Asal Makhluk Hidup Lingkungan


C35 17α ,21β(H) – Bakteri Reduksi sampai
hopana anoksik

C27-C29 Sterana Alga (C27), Alga dan Bervariasi


tanaman tinggi (C29)

Gammaserana Protozoa ? Bakteri Hipersalin

18α (H)-oleanana Angiospermae Kapur dan Lebih


muda

Norhopana (C29 Bervariasi Karbonat/evaporit


hopana)

Selain itu beberapa senyawa juga dapat digunakan sebagai indikator


kematangan sebagai berikut:
a. Adanya hopana β β
b. Rasio C31 22S/22R ~ 150% atau 22S/(22S+22R) ~ 60%
c. Rasio moretana/hopana untuk C30 ~ 0,1 atau 10%
d. Rasio Ts/Tm
Ts: 18 α (H),21 β (H)-22,29,30-trisnorneohopana
Tm: 17 α (H),21 β (H)-22,29,30-trisnorhopana
e. Rasio oleanana (α-OL lebih stabil dari β-OL)

Alat yang harus dipersiapkan:


1. Alat tulis
2. Kertas HVS A4
3. Diagram van Krevelen
4. Tabel Parameter Geokimia (Tmax dan TOC) menurut Peters dan Cassa

Anda mungkin juga menyukai