Sample yang terpilih, dianalisis lebih lanjut untuk tipe material organik yang
dikandungnya. Jika penentuan TOC ditentukan terhadap sample inti bor, maka
pengambilan sample tersebut didasarkan pada litologi yang menarik. Sebelum
melakukan penentuan TOC, teknisi harus membuang kontaminan dan material
jatuhan. Jika terdapat lebih dari satu litologi dalam suatu sample, maka kita harus
melakukan pengambilan material tertentu saja. Pendekatan lain adalah tanpa
memilih materialnya dengan harapan agar kita mendapatkan harga yang
mencerminkan keseluruhan sample.
Metode yang dipakai adalah metode pyrolisis, dimana setelah pyrolisis diperoleh
(S1, S2, S3 dan Tmaks), maka kita bisa mendapatkan harga Hidrogen Indeks dan
Oksigen Indeks yaitu Hidrogen Indeks (HI) = S2/TOC x 100; Oksigen Indeks (OI) =
S3/TOC x 100. Harga ini kemudian diplotkan kedalam diagram Van Krevelen,
sehingga kita bisa menentukan tipe material organiknya. Dapat pula dengan
menggunakan data Tmaks dan HI, maka kita dapat mengetahui tipe material
organiknya, dan bisa menentukan lingkungan pengendapannya.
Kekurangannya ada dua, yaitu kecepatan dan biaya analisisnya yang umumnya
lebih tinggi dari kedua hal tersebut untuk pyrolisis, sedangkan hasilnya tidak
langsung memberikan kita gambaran tentang kapasitas pembentukan hidrokarbon
batuan tersebut.
Gambar 2.3. Modifikasi diagram van Krevelen untuk tipe
Para ahli berpendapat bahwa proses kematangan dikontrol oleh suhu dan waktu.
Pengaruh suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat atau suhu yang rendah dalam
waktu yang lama akan menyebabkan terubahnya kerogen minyak bumi. Jenis
minyak bumi yang terbentuk tergantung pada tingkat kematangan panas batuan
induk, semakin tinggi tingkat kematangan panas batuan induk maka akan terbentuk
minyak bumi jenis berat, minyak bumi ringan, kondensat, dan pada akhirnya gas.
Dari pengaruh suhu dan kedalaman sumur, umur batuan juga berperan dalam
proses pembentukan minyak bumi.
Dari hasil suatu riset pula, Bissada (1986) menyatakan bahwa temperatur
pembentukan minyak bumi sangat bervariasi. Dijelaskan bahwa batuan yang berusia
lebih muda relatif memerlukan temperatur yang lebih tinggi dalam pembentukan
minyak bumi. Lima tahapan zonasi pematangan minyak bumi menurut Bissada
(1986) adalah :
Zona I Di mana gas kering dapat terbentuk sebagai akibat aktivitas bakteri,
tidak ada minyak yang dapat dideteksi kecuali minyak bumi tersebut
merupakan zat pengotor atau hasil suatu migrasi.
Zona II Merupakan awal pembentukan minyak bumi. Hasil utama yang
terbentuk pada zona ini adalah gas kering, gas basah, dan sedikit kondensat.
Adanya pertambahan konsentrasi minyak akan menyebabkan minyak bumi
terus mengalami pengenceran, tetapi belum dapat terbebaskan dari batuan
induknya. Begitu titik kritis kemampuan menyimpan terlampaui, proses
perlepasan minyak bumi sebagai senyawa yang telah matang dimulai.
Zona III Merupakan zona puncak pembentukan dan pelepasan minyak bumi
dari batuan induk. Bentuk utama yang dihasilkan berupa gas dan minyak
bumi. Dengan bertambahnya tingkat pematangan maka minyak yang berjenis
ringan akan terbentuk.
Zona IV Merupakan zona peningkatan pembentukan kondensat gas basah &
gas kering.
Zona V Merupakan zona terakhir, dicirikan dengan suhu yang tinggi sehingga
zat organik akan terurai menjadi gas kering (metana) sebagai akibat
karbonisasi. Perubahan yang terjadi sebagai akibat penambahan panas dan
lamanya pemanasan pada kerogen atau batubara dapat bersifat kimia dan
fisika, seperti diuraikan oleh Bissada (1980) sebagai berikut:
Daya pantul cahaya dari partikel vitrinit akan meningkat secara
eksposnensial.
Warna kerogen akan berubah menjadi lebih gelap.
Adanya peningkatan mutu batubara, dengan kandungan volatile akan
berkurang.
Sifat kimia dari kerogen akan berubah, kandungan oksigen dan
hidrokarbon akan berkurang sehingga perbandingan dari atom
oksigen/karbon dan hidrogen/karbon akan menurun dan akhirnya hanya
akan membentuk karbon murni (grafit).
Gambar 2.4. Hubungan antara suhu dan umur batuan induk dalam zona pembentukan
minyak (Bissada, 1975).
Menurut Bissada (1974); Barker (1979), oil window terjadi pada temperatur
150°F, dan gas window terjadi pada temperatur 300°F (Gambar 2.4). Oil window
adalah suatu kondisi tertentu di mana minyak bumi terbentuk. Sedangkan gas
window adalah suatu kondisi tertentu di mana gas bumi terbentuk. Perubahan suhu
zat organik mungkin akan dimulai pada kondisi temperatur sebesar 100°C.
Perubahan temperatur yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya proses
metamorfosa dan ini akan sangat berpengaruh pada kondisi zat organik yang
terkandung dalam sedimen. Sehingga saat ini berkembang suatu cara
pengidentifikasian kematangan berdasarkan data geokimia organik dan pyrolisis.
2.3.1. Identifikasi Kematangan Berdasarkan Data Geokimia Organik (Tidak
Langsung)
a. S1 (free hydrocarbon)
S1 menunjukkan jumlah hidrokarbon bebas yang dapat diuapkan tanpa
melalui proses pemecahan kerogen. Nilai S1 mencerminkan jumlah
hidrokarbon bebas yang terbentuk insitu (indigeneous hydrocarbon) karena
kematangan termal maupun karena adanya akumulasi hidrokarbon dari
tempat lain (migrated hydrocarbon)
b. S2 (pyrolisable hydrocarbon)
S2 menunjukkan jumlah hidrokarbon yang dihasil melalui proses pemecahan
kerogen yang mewakili jumlah hidrokarbon yang dapat dihasilkan batuan
selama proses pematangan secara alamiah. Nilai S2 menyatakan potensi
material organik dalam batuan yang dapat berubah menjadi petroleum. Harga
S1 dan S2 diukur dalam satuan mg hidrokarbon/gram batuan (mg HC/g
Rock).
c. S3
S3 menunjukkan jumlah kandungan CO2 yang hadir di dalam batuan. Jumlah
CO2 ini dapat dikorelasikan dengan jumlah oksigen di dalam kerogen karena
menunjukkan tingkat oksidasi selama diagenesis.
d. Tmax
Nilai Tmax ini merupakan salah satu parameter geokimia yang dapat
digunakan untuk menentukan tingkat kematangan batuan induk. Harga Tmax
yang terekam sangat dipengaruhi oleh jenis material organik. Kerogen Tipe I
akan membentuk hidrokarbon lebih akhir dibanding Tipe III pada kondisi
temperatur yang sama. Harga Tmax sebagai indikator kematangan juga
memiliki beberapa keterbatasan lain misalnya tidak dapat digunakan untuk
batuan memiliki TOC rendah (<0,5) dan HI < 50. Harga Tmax juga dapat
menunjukkan tingkat kematangan yang lebih rendah dari tingkat kematangan
sebenarnya pada batuan induk yang mengandung resinit yang umum
terdapat dalam batuan induk dengan kerogen tipe II (Peters, 1986).
Alat yang dipergunakan untuk ini adalah rock eval. Di dalam pyrolisis, sejumlah
kecil bubuk sample (biasanya sekitar 50 – 100 mg) dipanasi secara perlahan tanpa
adanya oksigen dari temperatur awal 250° C ke temperatur maksimum 550° C.
Selama pemanasan berlangsung dua jenis hidrokarbon dikeluarkan dari batuan.
Hidrokarbon yang pertama keluar pada temperatur sekitar 250°C, merupakan
hidrokarbon yang sudah ada dalam batuan. Hidrokarbon ini setara dengan bitumen
yang dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut.
Detector pada rock eval akan merekam hal ini dan menggambarkannya dalam
bentuk S1 pada kertas pencatat. Dengan menerusnya pemanasan, aliran
hidrokarbon yang sudah ada di dalam batuan mulai berkurang. Pada temperatur
350°C jenis hidrokarbon jenis kedua mulai muncul. Aliran kedua ini mencapai
maksimum ketika temperatur pyrolisis hidrokarbon mencapai 420°C dan 460°C,
yang kemudian menurun sampai akhir pyrolisis.
Hidrokarbon kedua ini disebut S2, merupakan hidrokarbon yang terbentuk dari
kerogen didalam rock eval karena penguraian bahan kerogen. S2 dianggap sebagai
indikator penting tentang kemampuan kerogen memproduksi hidrokarbon saat ini.
Selama pyrolisis, karbondioksida juga dikeluarkan dari kerogen. Karbon dioksida ini
ditangkap oleh suatu perangkap selama pyrolisis berlangsung dan kemudian dilepas
pada detektor kedua (direkam sabagai S3) setelah semua pengukuran hidrokarbon
selesai.
Gambar 2.8. Parameter yang dihasilkan oleh Rock Eval Pyrolisis (After Merrill, 1991)
Biomarker Prazat
alkana normal ( > C22) lilin tumbuhan darat
alkana normal ( < C22) lemak alga
isoprenoid ( < C20) berbagai macam klorofil
isoprenoid ( > C20) lemak atau klorofil dari alga hipersalin
triterpana triterpenoid bakteri
sterana steroid
Triterpana dapat dibagi menjadi tiga famili yang berbeda berdasarkan jumlah
cincinnya. Triterpana yang dipelajari secara lebih mendalam memiliki lima cincin, dan
oleh karena itu disebut sebagai pentasiklik. Senyawa ini terdiri dari atom karbon 27
sampai dengan 35, walaupun kadang-kadang dilaporkan memiliki atom karbon
hingga 40. Triterpana lain yang juga dipelajari memiliki tiga cincin, dan oleh karena
itu disebut sebagai trisiklik. Senyawa ini terdiri dari atom karbon 21 sampai dengan
40, akan tetapi lebih didominasi oleh atom karbon kurang dari 25. Famili yang ketiga
adalah tetrasiklik, paling sedikit dipelajari dan sangat jelek dipahami (Waples dan
Machihara, 1991).
a. Kromatogram Triterpana (Hopana m/z 191)
Kromatografi adalah salah satu metode pemisahan kimia yang didasarkan pada
adanya perbedaan partisi zat pada fasa diam (stationary phase) dan fasa gerak
(mobile phase). Kromatografi dapat bersifat preparatif maupun analitik. Tujuan
kromatografi preparatif biasanya adalah untuk memisahkan senyawa dalam
campuran (biasanya digunakan untuk pemurnian). Kromatografi analitik
digunakan untuk mengetahui perbandingan senyawa dalam campuran. Berikut
ini adalah hasil dari kromatografi pada Hopana m/z 191 dan hasilnya berupa
urutan senyawa yang terkadung dalam sampel.
b. Kegunaan Kromatogram Triterpana (Hopana m/z 191)
Kromatogram Triterpana dapat digunakan untuk menentukan lingkungan
pengendapan. Senyawa-senyawa yang dapat menunjukkan lingkungan
pengendapan tersebut antara lain: