Anda di halaman 1dari 10

PROPOSAL SKRIPSI

KORELASI BATUAN INDUK PENGHASIL


HIDROKARBON DENGAN
KETERDAPATAN MIGAS

BIDAN STUDI
PELAPORAN GEOLOGI

BY:
IRDANTYO NUGRAHA PUTRA
270110150129
SELASA, 25 OKTOBER 2016
KELAS B

UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Perkembangan pencarian minyak dan gas bumi menjadikan
penelitian dan pengoptimalan studi cekungan lebih berkembang sehingga
para ilmuwan geologi memerlukan teknik yang akurat untuk menganalisis
keterdapatan hidrokarbon. Untuk mengoptimalkan eksplorasi migas, maka
perlu dilakukan suatu studi korelasi batuan induk penghasil hidrokarbon
dengan keterdapatan migas.
Salah satu metode yang telah berhasil dikembangkan adalah
metode pendekatan geokimia yang penerapannya telah diterima secara
luas sejak tahun 1900 (Waples, 1980). Metode geokimia dibangun
berdasarkan pada penerapan prinsip-prinsip kimia untuk mempelajari
asal-mula, proses migrasi, akumulasi dan alterasi migas yang berkaitan
dengan temperatur dan waktu pada batuan induk sebagai obyeknya (Eddy
Subroto, 1990).
Struktur geologi serta distribusi batuan induk dan batuan reservoir
memiliki peranan yang sangat penting dalam melakukan studi korelasi
batuan induk dengan keterdapatan migas. Dengan demikian, perpaduan
antara data geokimia dengan data seismik dan data sumur akan dapat
memberikan suatu gambaran tentang kuantitas dan kualitas hidrokarbon
pada batuan reservoir yang dihasilkan oleh batuan induk beserta jalur
migrasi dan distribusinya. Hal tersebut sangat penting dalam menentukan
target eksplorasi hidrokarbon secara lebih akurat.

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH


Dalam menentukan target eksplorasi hidrokarbon secara akurat,
diperlukan identifikasi terhadap masalah-masalah yang didapat dari
korelasi batuan induk dengan hidrokarbon yaitu:
1. Identifikasi kualitas material organik pada batuan induk.
2. Identifikasi tipe-tipe hidrokarbon yang terakumulasi.
3. Identifikasi batuan induk dari tipe-tipe hidrokarbon yang
terakumulasi.
4. Identifikasi jalur migrasi yang mungkin bagi terakumualsinya
hidrokarbon.

1.3 TUJUAN
Penelitian skripsi ini bertujuan untuk memecahkan beberapa
permasalahan yang terkait dengan korelasi batuan induk dan hidrokarbon
sebagai berikut :
1. Bagaimana kualitas, kuantitas dan kematangan material organik
pada batuan induk ?
2. Apakah hidrokarbon yang terdapat pada suatu cekungan
sedimen sama tipenya dan berasal dari batuan induk yang
sama ?
3. Apakah suatu batuan induk pada cekungan sedimen dapat
menghasilkan tipe hidrokarbon yang berbeda-beda ?
4. Bagaimana jalur migrasi dari hidrokarbon yang terakumulasi ?

1.4 KEGUNAAN
Manfaat penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan teori-teori
diperkuliahan secara praktis tentang dasar-dasar analisis geokimia dan
memahami berbagai faktor yang mengontrol pembentukan, proses
migrasi, dan akumulasi minyak bumi.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP DASAR GEOKIMIA MINYAK BUMI


Geokimia minyak bumi merupakan salah satu cabang ilmu geologi
yang menerapkan prinsip-prinsip kimia untuk mempelajari asal-mula,
migrasi, akumulasi dan alterasi minyak bumi. Dengan menggunakan ilmu
ini, maka akan dapat diketahui secara pasti berbagai faktor yang
mengontrol pembentukan, proses migrasi, dan akumulasi minyak bumi.

A. Pengertian Batuan Induk


Secara umum batuan induk hidrokarbon adalah suatu litologi
sedimen yang mengandung material organik dalam jumlah cukup dengan
rasio hidrogen atau karbon tertentu. Pembentukan batuan induk
dipengaruhi oleh faktor tingkat produktivitas biologis yang cukup untuk
dapat membentuk material organik dengan kuantitas yang cukup dan
kondisi pengendapan yang sesuai untuk pengakumulasian dan
pengawetan material organik tersebut. Beberapa ahli geokimia juga
memiliki pengertian sendiri mengenai batuan induk seperti yang telah
dirumuskan oleh Waples (1985), yaitu :
 Batuan induk efektif adalah batuan induk yang telah membentuk
dan mengeluarkan hidrokarbon.
 Batuan induk yang mungkin (possible) adalah setiap batuan
sedimen yang belum pernah dievaluasi potensialnya, tetapi
mempunyai kemungkinan membentuk dan mengeluarkan
hidrokarbon.
 Batuan induk potensial adalah setiap batuan sedimen belum
matang yang mempunyai kemampuan membentuk dan
mengeluarkan hidrokarbon jika kematangannya bertambah tinggi.
Selain berpegangan pada pengertian-pengertian diatas, secara
lebih singkat batuan induk didefinisikan sebagai batuan sedimen berbutir
halus (batulempung, batulanau dan serpih) bewarna kelabu gelap, hitam
atau coklat gelap yang diendapkan di lingkungan berenergi rendah.
Lingkungan tersebut merupakan tempat pengendapan material organik
berdensitas rendah yang kemudian terawetkan dan pada akhirnya mampu
menghasilkan sejumlah hidrokarbon dengan jenis dan volume tertentu.
Pendekatan geokimia yang dilakukan terhadap suatu batuan induk
dapat memberikan informasi mengenai aspek kuantitas, kualitas, dan
tingkat kematangan serta lingkungan pengendapan material organik yang
tersimpan dalam batuan tersebut. Aspek kuantitatif yang dimaksud adalah
jumlah material organik yang berhubungan dengan jumlah hidrokarbon
yang dikeluarkan. Aspek kualitatif dititikberatkan pada jenis material
organik dan kehadiran unsur hidrogen dan karbon untuk mengetahui
kecenderungan jenis hidrokarbon yang dihasilkan. Sedangkan aspek
kematangan material organik melibatkan temperatur dan sejarah
penimbunan dalam cekungan tempat material organik terakumulasi.
B. Bitumen
Bitumen merupakan fraksi material organik pada batuan yang
dapat larut dalam pelarut organik. Bitumen memiliki komposisi yang sama
seperti pada minyak bumi tetapi dengan proporsi yang berbeda, yang
meliputi hidrokarbon jenuh (saturates), hidrokarbon aromatik, dan
komponen non-hidrokarbon seperti : resin dan aspaltene.

C. Kerogen
Kerogen adalah salah satu bentuk dari geopolimer yang berasal
dari berbagai tipe molekul prazat serta mengalami polimerisasi tinggi dan
terbentuk di kondisi lingkungan yang bervariasi, sehingga terdapat
beberapa jenis kerogen dengan karakteristik tertentu pula dengan unsur-
unsur utama berupa karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan sulfur.
Secara khusus kerogen didefinisikan sebagai material organik yang
terdapat dalam batuan sedimen yang tidak larut dalam pelarut organik
biasa karena molekulnya berukuran besar (Tissot dan Welte, 1984).
1. Pembentukan Kerogen
Pembentukan kerogen secara berturut-turut terjadi dalam dua
tahap yaitu tahap polimerisasi yang melibatkan pembentukan geopolimer
dari geomonomer yang terjadi setelah organisme mati dan tahap
penyusunan kembali komposisi kerogen yang terjadi setelah geopolimer
pertama terbentuk dan akan terus berlangsung selama kerogen tetap ada.
Tahap polimerisasi dimulai pada saat perusakan dan transformasi
tubuh organisme terjadi, dimana biopolimer organik berukuran besar
(protein dan karbohidrat) akan terurai dan membentuk geopolimer baru
yang tidak memiliki struktur biologi teratur.
Tahap selanjutnya adalah pembentukan kerogen diawali dengan
terjadinya diagenesis pada kolom air, tanah dan sedimen yang
menyebabkan ukuran molekul geopolimer menjadi lebih besar dengan
susunan struktur yang lebih kompleks dan makin tidak teratur karena
hilangnya air, CO2 dan amonia dari geopolimer asalnya.
2. Komposisi dan Tipe Kerogen
Komposisi kerogen dipengaruhi oleh beberapa proses pematangan
termal yang terjadi pada material organik yaitu diagenesis, katagenesis
dan metagenesis.
Pada tahap diagenesis terjadi proses hilangnya nitrogen pada
kedalaman beberpa meter, lebih lanjut lagi terjadi pelepasan oksigen
dalam bentuk air, CO dan CO 2 yang biasanya terjadi pada temperatur
<70-80o C.
Pada tahap katagenesis terjadi penghilangan hidrogen dalam
bentuk hidrokarbon :minyak berat terbentuk lebih dulu, kemudian
hidrokarbon yang lebih ringan, kondesat dan kemudian baru dihasilkan
dry gas.
Tahap metagenesis terjadi pada suhu > 150 o C, dimana terjadi
reorganisasi dari struktur aromatik pada kerogen sisa menjadi struktur
grafit. Hanya metan, H2S dan nitrogen yang terbentuk pada proses ini.

Tabel 1. Skema Pembentukan Kerogen dan Transformasi Material


Organik dalam Batuan Sedimen (Eddy S.A, 1990)

a. Kerogen Tipe I
-.Berasal dari alga danau dan terbatas pada danau anoksik
-.Memiliki kandungan hidrogen tertinggi di antara tipe kerogen yang
lain tetapi mengandung oksigen jauh lebih rendah dibandingkan
tipe III dan IV karena terbentuk dari material lemak yang miskin
oksigen, misalnya fitoplankton yang tak mengandung lignin atau
selulosa
-. Cenderung menghasilkan minyak (oil prone)
b. Kerogen Tipe II
-.Berasal dari sedimen laut dengan kondisi reduksi dengan jenis
sumber yang berbeda, yaitu dari alga laut, polen, spora, lapisan
lilin tanaman, fosil resin dan lemak tanaman
-.Kandungan hidrogen relatif tinggi dan cenderung bersifat oil
prone
c. Kerogen Tipe III
-.Berasal dari material organik darat yang sedikit mengandung
lemak (fat) dan lilin (wax)
-.Memiliki kandungan oksigen karena sumber material
mengandung lignin dan selulosa
-.Kandungan hidrogen rendah dan cenderung menghasilkan gas
d. Kerogen Tipe IV
-.Terdiri dari material teroksidasi yang berasal dari berbagai sumber
dan mengandung sejumlah besar oksigen
-.Mengandung sistem aromatik dan mempunyai kandungan
hydrogen terendah, sehingga tak menghasilkan hidrokarbon

Tabel 2. Pembagian Tipe Kerogen (Waples, 1985)

3. Kematangan Kerogen
Kematangan material organik dikontrol oleh dua faktor utama yaitu
suhu dan waktu. Pengaruh suhu tinggi dalam waktu yang singkat atau
sebaliknya akan mengakibatkan kerogen terubah menjadi hidrokarbon.
Selain dua faktor tersebut, umur batuan juga terlibat karena kaitannya
dengan proses pemanasan dan jumlah panas yang diterima batuan induk.

Tabel 3. Tipe Kerogen dan Kecenderungan Jenis Hidrokarbon


yang Akan Dihasilkan Berdasarkan Indeks Hidrogen dan S2/S3
(Peters dan Cassa, 1994)
Kematangan material organik pada umumnya ditentukan dengan :
 Pemantulan vitrinit (Ro %)
Analisis ini didasari pada suatu pengertian bahwa kematangan
pada kerogen akan mengakibatkan perubahan pada fisik kerogen
yang dibarengi dengan kemampuannya memantulkan cahaya.
Vitrinit sendiri adalah jenis maseral utama penyusun batubara yang
juga tersebar luas pada sedimen. Peningkatan pantulan vitrinit
akan meningkat seiring panambahan kematangan dan kedalaman.
 Skala alterasi termal (Thermal Alteration Scale-TAS)
Merupakan salah satu analisis penentuan kematangan material
organik yang berbasis pada adanya pengaruh kematangan termal
terhadap perubahan fisik pada fosil dari kelompok spora dan polen.
 Penentuan temperature maksimum (Tmax) dan indeks produksi
minyak (Oil Production Index-OPI)
Tmax merupakan suhu maksimum pada saat pembentukan
hidrokarbon yang terjadi selama pirolisis kerogen, sedangkan indeks
produksi adalah rasio antara hidrokarbon dalam batuan dan hidrokarbon
yang dihasilkan sebagai akibat perubahan kerogen menjadi bitumen
selama pembentukan hidrokarbon. OPI akan bertambah seiring
meningkatnya material organik.

Tabel 4. Klasifikasi Tingkat Kematangan Material Organik


Berdasarkan Analisis Mikroskopis dan Rock-Eval Pyrolisis (Peters
& Cassa, 1994)

2.2 LINGKUNGAN PENGENDAPAN & KEMATANGAN MATERIAL


ORGANIK
Dalam penentuan lingkungan pengendapan material organik sering
digunakan parameter biomarker, dimana biomarker sendiri mengandung
pengertian senyawa organik kompleks yang terdiri dari karbon, hidrogen,
dan unsur-unsur lain yang dapat dijumpai dalam batuan dan sedimen dan
sedikit sekali menunjukkan perubahan struktur molekul dari organisme
asal. Seringkali pula biomarker digunakan sebagai indikator kematangan
material organik dalam batuan induk, sebab perubahan komponen di
dalam batuan sedimen dikontrol oleh laju perubahan temperatur dibawah
permukaan dan lama waktu yang dibutuhkan biomarker tersebut untuk
mengalami pemanasan.
Ada beberapa biomarker yang biasa digunakan dalam penentuan
lingkungan pengendapan, yaitu isoprenoid, triterpana dan sterana.
Isoprenoid adalah suatu senyawa yang terdiri dari atom karbon rantai
lurus dengan kelompok metil (CH3) terikat pada setiap atom karbon
keempat. Senyawa isoprenoid yang biasa digunakan adalah pristan dan
fitan yang berkaitan erat dengan aktivitas bakteri yang hidup dari proses
fotosintesa, berasosiasi dengan porfirin dan menunjukkan lingkungan
metasalin sampai hipersalin. Batuan induk karbonat seringkali
memperlihatkan rasio pristan dan fitan < 1 yang mengindikasikan bahwa
material organik pada batuan induk tersebut terendapkan dalam
lingkungan anoksik.
Senyawa triterpana adalah suatu senyawa yang terdiri dari lima
atom karbon segi enam yang berikatan dengan kelompok metil. Senyawa
triterpana terbentang dari C27 sampai C35, tetapi yang sering digunakan
adalah norhopana (C29) dan hopana (C30). Untuk menunjukkan lingkungan
pengendapan harus dilakukan perbandingan terhadap konsentrasi C 29 dan
C30. Jika konsentrasi C29 > C30, maka material organik berasal dari
lingkungan karbonat, sebaliknya jika konsentrasi C 29 < C30, maka material
organik berasal dari serpih yang terendapkan di lingkungan laut. Menurut
Peters dan Moldowan (1991) tingginya konsentrasi C 35 secara spesifik
menunjukkan lingkungan laut, sedangkan lingkungan karbonat atau
hipersalin ditandai dengan dominasi C34 dan C35. Dalam hal ini jika C35
>C34, maka material organik dapat diasumsikan diendapkan di lingkungan
karbonat yang berasosiasi dengan lingkungan yang sangat reduksi
(Moldowan et al, 1992). Apabila dalam fragmentogram massa terdapat
hopana panjang (C31-C35) yang semakin mengecil dengan penambahan
jumlah karbon, maka pada umumnya material organik tersebut
berasosiasi dengan kondisi lingkungan yang oksik.
Pada senyawa triterpana terdapat pula parameter kematangan,
yaitu trisnorneohopana (Ts, terdapat pada C 27 akibat proses termal) dan
trisnorhopana (Tm, terdapat pada C 27 akibat hasil biologis), dimana jika Ts
> Tm maka diasumsikan batuan sudah matang. Selain pada C27,
parameter kematangan juga didapat pada C 31, C32 dan C33, yaitu jika S
(sinister) > R (rectus), maka batuan sudah matang.
Senyawa sterana adalah suatu senyawa yang terdiri dari tiga
lingkar atom karbon segi enam dan satu lingkar atom karbon segi lima
yang saling berikatan. Senyawa ini terdapat pada C 21, C22, C27, C28, dan
C29 pada fragmentogram massa, dimana masing-masing karbon akan
menunjukkan karakteristik dari lingkungan pengendapan tertentu (Tabel
2.4). Lingkungan karbonat atau hipersalin diketahui berdasarkan
konsentrasi C21, C22 > C27, C28, dan C29 (ten Havern et al, 1985 dan Mello
et al, 1988). C27 akan mendominasi pada material organik yang berasal
dari alga atau lingkungan laut, sedangkan kontribusi alga danau
ditunjukkan dengan kehadiran C28 < C27 dan C29. Material organik yang
berasal dari tanaman keras atau merupakan material darat ditunjukkan
dengan dominasi C29, sementara itu dominasi C30 mengindikasikan
pengaruh kondisi laut (Moldowan et al, 1985). Pada senyawa sterana juga
terdapat suatu parameter kematangan, yaitu pada C 29 yang ditunjukkan
dengan notasi 20 R dan 20 S, dimana 20R > 20 S maka batuannya belum
matang.
Selain itu untuk mengetahui tingkat kehadiran karbon dalam
material organik digunakan suatu biomarker berupa n-alkana yang
nerupakan seri hidrokarbon yang paling sederhana karena tidak memiliki
cabang yang dapat pula digunakan sebagai indikator kematangan material
organik. Tingkat kehadiran karbon (Carbon Preferences Index-CPI)
didasari pada tingkat konsentrasi karbon C 23, C24, C25, C26, C27, C28, C29,
C30, C31 dan dirumuskan sebagai berikut :

CPI = (C23 + C25 + C27 + C29) + (C25 + C27 + C29 + C31)


2 (C24 + C26 + C28 + C30)

Tabel 5. Klasifikasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Karakter


Kimia (Peters dan Moldowan, 1994)

BAB 3
METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan meliputi analisis kuantitas, kualitas dan


kematangan material organik serta korelasi hidrokarbon dengan batuan
induk yang dirangkum dalam Tabel 6 berikut ini :
Tabel 6. Metode Penelitian yang Digunakan (Tissot dan Welte, 1978)

Anda mungkin juga menyukai