DITUJUKAN KEPADA
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Perkembangan pencarian minyak dan gas bumi menjadikan
penelitian dan pengoptimalan studi cekungan lebih berkembang sehingga
para ilmuwan geologi memerlukan teknik yang akurat untuk menganalisis
keterdapatan hidrokarbon. Untuk mengoptimalkan eksplorasi migas, maka
perlu dilakukan suatu studi korelasi batuan induk penghasil hidrokarbon
dengan keterdapatan migas.
Salah satu metode yang telah berhasil dikembangkan adalah
metode pendekatan geokimia yang penerapannya telah diterima secara
luas sejak tahun 1900 (Waples, 1980). Metode geokimia dibangun
berdasarkan pada penerapan prinsip-prinsip kimia untuk mempelajari
asal-mula, proses migrasi, akumulasi dan alterasi migas yang berkaitan
dengan temperatur dan waktu pada batuan induk sebagai obyeknya (Eddy
Subroto, 1990).
Struktur geologi serta distribusi batuan induk dan batuan reservoir
memiliki peranan yang sangat penting dalam melakukan studi korelasi
batuan induk dengan keterdapatan migas. Dengan demikian, perpaduan
antara data geokimia dengan data seismik dan data sumur akan dapat
memberikan suatu gambaran tentang kuantitas dan kualitas hidrokarbon
pada batuan reservoir yang dihasilkan oleh batuan induk beserta jalur
migrasi dan distribusinya. Hal tersebut sangat penting dalam menentukan
target eksplorasi hidrokarbon secara lebih akurat.
II. TUJUAN
Penelitian skripsi ini bertujuan untuk memecahkan beberapa
permasalahan yang terkait dengan korelasi batuan induk dan hidrokarbon
sebagai berikut :
1. Bagaimana kualitas, kuantitas dan kematangan material organik
pada batuan induk ?
2. Apakah hidrokarbon yang terdapat pada suatu cekungan
sedimen sama tipenya dan berasal dari batuan induk yang
sama ?
3. Apakah suatu batuan induk pada cekungan sedimen dapat
menghasilkan tipe hidrokarbon yang berbeda-beda ?
4. Bagaimana jalur migrasi dari hidrokarbon yang terakumulasi ?
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
1
Solusi dari pertanyaan-pertanyaan tersebut berguna dalam
menentukan target eksplorasi dan mengembangkan konsep eksplorasi
migas di suatu tempat. Hal terpenting yang didapat dari korelasi batuan
induk dengan hidrokarbon adalah :
1. Identifikasi tipe-tipe hidrokarbon yang terakumulasi
2. Identifikasi batuan induk dari tipe-tipe hidrokarbon yang
terakumulasi.
3. Identifikasi jalur migrasi yang mungkin bagi terakumualsinya
hidrokarbon.
TAHAP PERSIAPAN
Studi literatur
Pengumpulan data
TAHAP ANALISIS
GEOKIMIA
Kematangan material
organik
TAHAP KORELASI
Bulk correlation
Molecular correlation
TAHAP PENYELESAIAN
AKHIR
Integrasi data dan evaluasi
Pembuatan laporan akhir
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
2
TEORI DASAR
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
3
kematangan material organik melibatkan temperatur dan sejarah
penimbunan dalam cekungan tempat material organik terakumulasi.
B. Bitumen
Bitumen merupakan fraksi material organik pada batuan yang
dapat larut dalam pelarut organik. Bitumen memiliki komposisi yang sama
seperti pada minyak bumi tetapi dengan proporsi yang berbeda, yang
meliputi hidrokarbon jenuh (saturates), hidrokarbon aromatik, dan
komponen non-hidrokarbon seperti : resin dan aspaltene.
C. Kerogen
Kerogen adalah salah satu bentuk dari geopolimer yang berasal
dari berbagai tipe molekul prazat serta mengalami polimerisasi tinggi dan
terbentuk di kondisi lingkungan yang bervariasi, sehingga terdapat
beberapa jenis kerogen dengan karakteristik tertentu pula dengan unsur-
unsur utama berupa karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan sulfur.
Secara khusus kerogen didefinisikan sebagai material organik yang
terdapat dalam batuan sedimen yang tidak larut dalam pelarut organik
biasa karena molekulnya berukuran besar (Tissot dan Welte, 1984).
1. Pembentukan Kerogen
Pembentukan kerogen secara berturut-turut terjadi dalam dua
tahap yaitu tahap polimerisasi yang melibatkan pembentukan geopolimer
dari geomonomer yang terjadi setelah organisme mati dan tahap
penyusunan kembali komposisi kerogen yang terjadi setelah geopolimer
pertama terbentuk dan akan terus berlangsung selama kerogen tetap ada.
Tahap polimerisasi dimulai pada saat perusakan dan transformasi
tubuh organisme terjadi, dimana biopolimer organik berukuran besar
(protein dan karbohidrat) akan terurai dan membentuk geopolimer baru
yang tidak memiliki struktur biologi teratur.
Tahap selanjutnya adalah pembentukan kerogen diawali dengan
terjadinya diagenesis pada kolom air, tanah dan sedimen yang
menyebabkan ukuran molekul geopolimer menjadi lebih besar dengan
susunan struktur yang lebih kompleks dan makin tidak teratur karena
hilangnya air, CO2 dan amonia dari geopolimer asalnya.
2. Komposisi dan Tipe Kerogen
Komposisi kerogen dipengaruhi oleh beberapa proses pematangan
termal yang terjadi pada material organik yaitu diagenesis, katagenesis
dan metagenesis.
Pada tahap diagenesis terjadi proses hilangnya nitrogen pada
kedalaman beberpa meter, lebih lanjut lagi terjadi pelepasan oksigen
dalam bentuk air, CO dan CO2 yang biasanya terjadi pada temperatur
<70-80o C.
Pada tahap katagenesis terjadi penghilangan hidrogen dalam
bentuk hidrokarbon :minyak berat terbentuk lebih dulu, kemudian
hidrokarbon yang lebih ringan, kondesat dan kemudian baru dihasilkan dry
gas.
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
4
Tahap metagenesis terjadi pada suhu > 150 o C, dimana terjadi
reorganisasi dari struktur aromatik pada kerogen sisa menjadi struktur
grafit. Hanya metan, H2S dan nitrogen yang terbentuk pada proses ini.
a. Kerogen Tipe I
-.Berasal dari alga danau dan terbatas pada danau anoksik
-.Memiliki kandungan hidrogen tertinggi di antara tipe kerogen yang
lain tetapi mengandung oksigen jauh lebih rendah dibandingkan
tipe III dan IV karena terbentuk dari material lemak yang miskin
oksigen, misalnya fitoplankton yang tak mengandung lignin atau
selulosa
-. Cenderung menghasilkan minyak (oil prone)
b. Kerogen Tipe II
-.Berasal dari sedimen laut dengan kondisi reduksi dengan jenis
sumber yang berbeda, yaitu dari alga laut, polen, spora, lapisan
lilin tanaman, fosil resin dan lemak tanaman
-.Kandungan hidrogen relatif tinggi dan cenderung bersifat oil prone
c. Kerogen Tipe III
-.Berasal dari material organik darat yang sedikit mengandung
lemak (fat) dan lilin (wax)
-.Memiliki kandungan oksigen karena sumber material
mengandung lignin dan selulosa
-.Kandungan hidrogen rendah dan cenderung menghasilkan gas
d. Kerogen Tipe IV
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
5
-.Terdiri dari material teroksidasi yang berasal dari berbagai sumber
dan mengandung sejumlah besar oksigen
-.Mengandung sistem aromatik dan mempunyai kandungan
hydrogen terendah, sehingga tak menghasilkan hidrokarbon
3. Kematangan Kerogen
Kematangan material organik dikontrol oleh dua faktor utama yaitu
suhu dan waktu. Pengaruh suhu tinggi dalam waktu yang singkat atau
sebaliknya akan mengakibatkan kerogen terubah menjadi hidrokarbon.
Selain dua faktor tersebut, umur batuan juga terlibat karena kaitannya
dengan proses pemanasan dan jumlah panas yang diterima batuan induk.
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
7
Senyawa triterpana adalah suatu senyawa yang terdiri dari lima
atom karbon segi enam yang berikatan dengan kelompok metil. Senyawa
triterpana terbentang dari C27 sampai C35, tetapi yang sering digunakan
adalah norhopana (C29) dan hopana (C30). Untuk menunjukkan lingkungan
pengendapan harus dilakukan perbandingan terhadap konsentrasi C 29 dan
C30. Jika konsentrasi C29 > C30, maka material organik berasal dari
lingkungan karbonat, sebaliknya jika konsentrasi C 29 < C30, maka material
organik berasal dari serpih yang terendapkan di lingkungan laut. Menurut
Peters dan Moldowan (1991) tingginya konsentrasi C 35 secara spesifik
menunjukkan lingkungan laut, sedangkan lingkungan karbonat atau
hipersalin ditandai dengan dominasi C34 dan C35. Dalam hal ini jika C35
>C34, maka material organik dapat diasumsikan diendapkan di lingkungan
karbonat yang berasosiasi dengan lingkungan yang sangat reduksi
(Moldowan et al, 1992). Apabila dalam fragmentogram massa terdapat
hopana panjang (C31-C35) yang semakin mengecil dengan penambahan
jumlah karbon, maka pada umumnya material organik tersebut
berasosiasi dengan kondisi lingkungan yang oksik.
Pada senyawa triterpana terdapat pula parameter kematangan,
yaitu trisnorneohopana (Ts, terdapat pada C 27 akibat proses termal) dan
trisnorhopana (Tm, terdapat pada C 27 akibat hasil biologis), dimana jika Ts
> Tm maka diasumsikan batuan sudah matang. Selain pada C 27,
parameter kematangan juga didapat pada C 31, C32 dan C33, yaitu jika S
(sinister) > R (rectus), maka batuan sudah matang.
Senyawa sterana adalah suatu senyawa yang terdiri dari tiga
lingkar atom karbon segi enam dan satu lingkar atom karbon segi lima
yang saling berikatan. Senyawa ini terdapat pada C 21, C22, C27, C28, dan
C29 pada fragmentogram massa, dimana masing-masing karbon akan
menunjukkan karakteristik dari lingkungan pengendapan tertentu (Tabel
2.4). Lingkungan karbonat atau hipersalin diketahui berdasarkan
konsentrasi C21, C22 > C27, C28, dan C29 (ten Havern et al, 1985 dan Mello
et al, 1988). C27 akan mendominasi pada material organik yang berasal
dari alga atau lingkungan laut, sedangkan kontribusi alga danau
ditunjukkan dengan kehadiran C28 < C27 dan C29. Material organik yang
berasal dari tanaman keras atau merupakan material darat ditunjukkan
dengan dominasi C29, sementara itu dominasi C30 mengindikasikan
pengaruh kondisi laut (Moldowan et al, 1985). Pada senyawa sterana juga
terdapat suatu parameter kematangan, yaitu pada C 29 yang ditunjukkan
dengan notasi 20 R dan 20 S, dimana 20R > 20 S maka batuannya belum
matang.
Selain itu untuk mengetahui tingkat kehadiran karbon dalam
material organik digunakan suatu biomarker berupa n-alkana yang
nerupakan seri hidrokarbon yang paling sederhana karena tidak memiliki
cabang yang dapat pula digunakan sebagai indikator kematangan material
organik. Tingkat kehadiran karbon (Carbon Preferences Index-CPI)
didasari pada tingkat konsentrasi karbon C 23, C24, C25, C26, C27, C28, C29,
C30, C31 dan dirumuskan sebagai berikut :
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
8
CPI = (C23 + C25 + C27 + C29) + (C25 + C27 + C29 + C31)
2 (C24 + C26 + C28 + C30)
A. Terpane
1. m/z 191 fingerprint
Sebagian besar dari senyawa golongan terpane pada hidrokarbon
berasal dari lipid pada membran bakteri. Senyawa ini meliputi beberapa
seri yang homolog seperti komponen asiklik, bisiklik (drimane), trisiklik,
tetrasiklik dan pentasiklik (mis. hopane).
Komponen terpane (m/z 191) seperti trisiklik, tetrasiklik, hopane
biasanya digunakan untuk mengkorelasikan minyak dengan batuan induk
(Seifert et al., 1980). Terpane trisiklik berkisar dari C 19 hingga C45. Trisiklik
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
9
C28 dan C29 sering digunakan untuk melakukan korelasiminyak dan
bitumen. Terpane trisiklik (<C 30) kemungkinan berasal dari isoprenoid C 30
reguler yang merupakan penyusun membran prokariotik. Diterpane trisiklik
(C19-C20) diyakini berasal dari diterpenoid seperti asam abietik yang
dihasilkan oleh tumbuhan vaskuler.
Terpane bisiklik terdapat pada hampir semua sedimen dan minyak
mentah sehingga dianggap berasal dari mikroba. Terpane tetrasiklik C 24-
C27 nampaknya merupakan hopane yang terdegradasi. Tetrasiklik terpane
lebih resistan terhadap biodegradasi dan maturasi ketimbang hopane.
Hopane merupakan triterpane pentasiklik yang biasanya
mengandung 27-35 atom karbon pada struktur naftenik yang tersusun
atas empat cincin segi enam dan satu cincin segi lima. Hopane berasal
dari prekursor membran bakteri.
2. Homohopane
Homohopane (C31-C35) diyakini berasal dari bakteriohopanetetrol
dan hopanoid C35 lain yang terdapat pada organisme prokariotik.
Homohopane sering diaplikasikan sebagai indikator potensial redoks dari
sedimen laut selama diagenesis, tetapi dipengaruhi oleh efek maturasi.
3. Rasio Pristane/Phytane
Rasio Pr/Ph yang tinggi (>3) mengindikasikan material organik
terestrial dengan kondisi oksik, sedangkan nilai yang rendah (<0.6)
mengindikasikan lingkungan anoksik, umumnya hipersalin. Rasio Pr/Ph
akan meningkat seiring dengan meningkatnya kematangan.
4. Botryococcane
Menunjukkan lingkungan lakustrin atau brackish karena berasal
dari alga Botryoccus braunii.
5. Oleanane/C30 Hopane (Indeks Oleanane)
Mengindikasikan input dari tumbuhan tingkat tinggi berumur Kapur
atau lebih muda.
6. Gammacerane
Merupakan triterpane C30 yang mengindikasikan kondisi hipersalin.
7. -Carotane
Mengindikasikan lingkungan lakustrin.
8. Cardinane
Mengindikasikan input material resin dari tumbuhan tingkat tinggi.
9. Tetrasiklik diterpane
Mengindikasikan input material organik terestrial terutama konifer.
10. Trisiklik terpane/hopane
Tahan terhadap biodegradasi. Konsentrasi yang rendah pada
minyak dan bitumen dari batuan karbonat.
11. Tetrasiklik terpane
Tahan terhadap biodegradasi. Konsentrasi C 24 yang tinggi
mengindikasikan lingkungan karbonat atau evaporit.
B. Sterane
1. Regular sterane/17(H)-hopane
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
10
Rasio sterane dengan hopane merefleksikan input dari material
eukariotik (alga dan tumbuhan tingkat tinggi) vs prokariotik (bakteri).Rasio
sterane/hopane >1 menunjukkan lingkungan marin dengan alga.
2. Sterane C27-C28-C29
Nilai C27-C28-C29 dapat diplot pada suatu diagram segitiga untuk
menentukan lingkungan pengendapan. Diaram ini dapat digunakan untuk
membedakan hidrokarbon dari batuan induk yang berbeda atau fasies
organik berbeda pada batuan induk yang sama.
3. C30/ (C27-C28-C29-C30)
Rasio sterane C30/ (C27-C28-C29-C30) jika diplot dengan rasio
oleanane/hopane akan dapat mengidentifikasi input material darat vs
marin. Lingkungan pengendapan lagoon yang salin dicirikan oleh
rendahnya rasio sterane C30/ (C27-C28-C29-C30) ketimbang rasio pada
lingkungan laut terbuka. Nilai rasio sterane C 30/ (C27-C28-C29-C30) yang nol
menunjukkan minyak nonmarin. Tidak terdapatnya sterane C 30 pada
hidrokarbon yang lebih tua dari 500 juta tahun lalu diinterpretasikan
sebagai gap evolusi saat munculnya sterol C 30 pada organisme laut atau
dominasi dari biota marin oleh spesies yang tak mengandung sterol C 30.
4. Diasterane C27-C28-C29
Aplikasi penting dari plot Diasterane C27-C28-C29 pada diagram
segitiga adalah untuk identifikasi minyak yang terbiodegradasi dimana
sterane teralterasikan, sementara diasterane tidak.
5. Diasterane/sterane
Aplikasi utamanya adalah untuk membedakan hidrokarbon yang
berasal dari material karbonat dengan yang berasal dari material klastik.
Rasio diasterane/sterane yang rendah menunjukkan batuan induk
karbonatan poor clay yang anoksik, sedangkan batuan induk yang kaya
akan clay ditunjukkan oleh rasio sebaliknya.Nilai rasio yang tinggi juga
dapat disebabkan oleh efek maturasi dan biodegradasi.
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
11
Benzohopane memiliki kisaran rantai karbon mulai dari C 32-C35.
Minyak dan bitumen dari batuan induk karbonat dan evaporit
menunjukkan konsentrasi benzohopane yang tinggi meskipun hanya
ditemukan sebagai trace pada batuan induk dan hidrokarbon
D. Porfirin
Porfirin merupakan komponen organometalik tetrapirolik yang
tersusun atas vanadium dan nikel pada hidrokarbon (Boduszynski, 1987).
Komponen ini cukup resistan terhadap biodegradasi. Rasio V/(V+Ni)
porfirin menunjukkan kondisi pengendapan batuan induk pada kondisi
reduksi.
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
12
METODE PENELITIAN
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
13
Tabel 6. Metode Penelitian yang Digunakan (Tissot dan Welte, 1978)
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
14
melakukan pengukuran terhadap jumlah CO 2 yang terlepaskan selama
proses tersebut.
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
15
Tabel 7. Pendekatan dalam Pengamatan Mikroskopis Kerogen
(Tissot, 1978)
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
16
B. Metode Pirolisis dan Analisis Elemen
Analisis ini merupakan metode pendekatan langsung terhadap
kualitas dan tipe hidrokarbon yang dilakukan dengan membakar sejumlah
kecil contoh batuan tanpa melibatkan unsur oksigen pada temperatur
tinggi untuk lebih mendekati peristiwa pembentukan hidrokarbon yang
sesungguhnya terjadi di alam.
Selama pemanasan, hidrokarbon yang sudah ada pada batuan
(S1) yang dianggap setara dengan jumlah bitumen pada batuan tersebut
akan tervolatilisasikan untuk pertama kali. Kemudian pirolisis berlanjut
hingga munculnya aliran hidrokarbon kedua dari penguraian termal (S2).
Temperatur teringgi pada saat aliran hidrokarbon S2 mencapai maksimum
disebut Tmax. S2 merupakan indikator penting dalam penentuan kualitas
material organik karena mengindikasikan kemampuan kerogen dalam
memproduksi hidrokarbon saat ini. Selain mengeluarkan hidrokarbon,
pada proses pirolisis kerogen juga mengeluarkan sejumlah karbon
dioksida (S3).
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
18
Tingkat Pematangan
Ro ( % )
untuk minyak
immature 0.20 - 0.50
mature
early 0.50 - 0.60
peak 0.65 - 0.90
late 0.90 - 1.35
post / over mature > 1.35
Tingkat pematangan
Tmax ( °C )
untuk minyak
immature < 435
mature
early 435 - 445
peak 445 - 450
late 450 - 470
post / over mature > 470
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
24
PENUTUP
Heri Tanjung
D1H 030 03
Mengetahui,
Ketua Jurusan Teknik Geologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
25