Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL PENELITIAN SKRIPSI MAHASISWA

DITUJUKAN KEPADA

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Perkembangan pencarian minyak dan gas bumi menjadikan
penelitian dan pengoptimalan studi cekungan lebih berkembang sehingga
para ilmuwan geologi memerlukan teknik yang akurat untuk menganalisis
keterdapatan hidrokarbon. Untuk mengoptimalkan eksplorasi migas, maka
perlu dilakukan suatu studi korelasi batuan induk penghasil hidrokarbon
dengan keterdapatan migas.
Salah satu metode yang telah berhasil dikembangkan adalah
metode pendekatan geokimia yang penerapannya telah diterima secara
luas sejak tahun 1900 (Waples, 1980). Metode geokimia dibangun
berdasarkan pada penerapan prinsip-prinsip kimia untuk mempelajari
asal-mula, proses migrasi, akumulasi dan alterasi migas yang berkaitan
dengan temperatur dan waktu pada batuan induk sebagai obyeknya (Eddy
Subroto, 1990).
Struktur geologi serta distribusi batuan induk dan batuan reservoir
memiliki peranan yang sangat penting dalam melakukan studi korelasi
batuan induk dengan keterdapatan migas. Dengan demikian, perpaduan
antara data geokimia dengan data seismik dan data sumur akan dapat
memberikan suatu gambaran tentang kuantitas dan kualitas hidrokarbon
pada batuan reservoir yang dihasilkan oleh batuan induk beserta jalur
migrasi dan distribusinya. Hal tersebut sangat penting dalam menentukan
target eksplorasi hidrokarbon secara lebih akurat.

II. TUJUAN
Penelitian skripsi ini bertujuan untuk memecahkan beberapa
permasalahan yang terkait dengan korelasi batuan induk dan hidrokarbon
sebagai berikut :
1. Bagaimana kualitas, kuantitas dan kematangan material organik
pada batuan induk ?
2. Apakah hidrokarbon yang terdapat pada suatu cekungan
sedimen sama tipenya dan berasal dari batuan induk yang
sama ?
3. Apakah suatu batuan induk pada cekungan sedimen dapat
menghasilkan tipe hidrokarbon yang berbeda-beda ?
4. Bagaimana jalur migrasi dari hidrokarbon yang terakumulasi ?
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
1
Solusi dari pertanyaan-pertanyaan tersebut berguna dalam
menentukan target eksplorasi dan mengembangkan konsep eksplorasi
migas di suatu tempat. Hal terpenting yang didapat dari korelasi batuan
induk dengan hidrokarbon adalah :
1. Identifikasi tipe-tipe hidrokarbon yang terakumulasi
2. Identifikasi batuan induk dari tipe-tipe hidrokarbon yang
terakumulasi.
3. Identifikasi jalur migrasi yang mungkin bagi terakumualsinya
hidrokarbon.

III. LOKASI & WAKTU PENELITIAN


Demi kelancaran administrasi dan akses data, maka kegiatan
skripsi ini direncanakan untuk dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu mulai
bulan pertengahan Febuari - April 2006 di
PT. Chevron Pacific Indonesia, Sentral Senayan 1, lt.14, Jl. Asia
Afrika No.8, Jakarta 10270
Rencana jadwal penelitian skripsi adalah sebagai berikut :

KEGIATAN Febuari Maret April Mei

TAHAP PERSIAPAN

 Studi literatur

 Pengumpulan data

TAHAP ANALISIS
GEOKIMIA

 Kuantitas material organik

 Kualitas material organik

 Kematangan material
organik

TAHAP KORELASI

 Bulk correlation

 Molecular correlation
TAHAP PENYELESAIAN
AKHIR
 Integrasi data dan evaluasi
 Pembuatan laporan akhir

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
2
TEORI DASAR

I. KONSEP DASAR GEOKIMIA MINYAK BUMI


Geokimia minyak bumi merupakan salah satu cabang ilmu geologi
yang menerapkan prinsip-prinsip kimia untuk mempelajari asal-mula,
migrasi, akumulasi dan alterasi minyak bumi. Dengan menggunakan ilmu
ini, maka akan dapat diketahui secara pasti berbagai faktor yang
mengontrol pembentukan, proses migrasi, dan akumulasi minyak bumi.

A. Pengertian Batuan Induk


Secara umum batuan induk hidrokarbon adalah suatu litologi
sedimen yang mengandung material organik dalam jumlah cukup dengan
rasio hidrogen atau karbon tertentu. Pembentukan batuan induk
dipengaruhi oleh faktor tingkat produktivitas biologis yang cukup untuk
dapat membentuk material organik dengan kuantitas yang cukup dan
kondisi pengendapan yang sesuai untuk pengakumulasian dan
pengawetan material organik tersebut. Beberapa ahli geokimia juga
memiliki pengertian sendiri mengenai batuan induk seperti yang telah
dirumuskan oleh Waples (1985), yaitu :
 Batuan induk efektif adalah batuan induk yang telah membentuk
dan mengeluarkan hidrokarbon.
 Batuan induk yang mungkin (possible) adalah setiap batuan
sedimen yang belum pernah dievaluasi potensialnya, tetapi
mempunyai kemungkinan membentuk dan mengeluarkan
hidrokarbon.
 Batuan induk potensial adalah setiap batuan sedimen belum
matang yang mempunyai kemampuan membentuk dan
mengeluarkan hidrokarbon jika kematangannya bertambah tinggi.
Selain berpegangan pada pengertian-pengertian diatas, secara
lebih singkat batuan induk didefinisikan sebagai batuan sedimen berbutir
halus (batulempung, batulanau dan serpih) bewarna kelabu gelap, hitam
atau coklat gelap yang diendapkan di lingkungan berenergi rendah.
Lingkungan tersebut merupakan tempat pengendapan material organik
berdensitas rendah yang kemudian terawetkan dan pada akhirnya mampu
menghasilkan sejumlah hidrokarbon dengan jenis dan volume tertentu.
Pendekatan geokimia yang dilakukan terhadap suatu batuan induk
dapat memberikan informasi mengenai aspek kuantitas, kualitas, dan
tingkat kematangan serta lingkungan pengendapan material organik yang
tersimpan dalam batuan tersebut. Aspek kuantitatif yang dimaksud adalah
jumlah material organik yang berhubungan dengan jumlah hidrokarbon
yang dikeluarkan. Aspek kualitatif dititikberatkan pada jenis material
organik dan kehadiran unsur hidrogen dan karbon untuk mengetahui
kecenderungan jenis hidrokarbon yang dihasilkan. Sedangkan aspek

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
3
kematangan material organik melibatkan temperatur dan sejarah
penimbunan dalam cekungan tempat material organik terakumulasi.
B. Bitumen
Bitumen merupakan fraksi material organik pada batuan yang
dapat larut dalam pelarut organik. Bitumen memiliki komposisi yang sama
seperti pada minyak bumi tetapi dengan proporsi yang berbeda, yang
meliputi hidrokarbon jenuh (saturates), hidrokarbon aromatik, dan
komponen non-hidrokarbon seperti : resin dan aspaltene.

C. Kerogen
Kerogen adalah salah satu bentuk dari geopolimer yang berasal
dari berbagai tipe molekul prazat serta mengalami polimerisasi tinggi dan
terbentuk di kondisi lingkungan yang bervariasi, sehingga terdapat
beberapa jenis kerogen dengan karakteristik tertentu pula dengan unsur-
unsur utama berupa karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan sulfur.
Secara khusus kerogen didefinisikan sebagai material organik yang
terdapat dalam batuan sedimen yang tidak larut dalam pelarut organik
biasa karena molekulnya berukuran besar (Tissot dan Welte, 1984).
1. Pembentukan Kerogen
Pembentukan kerogen secara berturut-turut terjadi dalam dua
tahap yaitu tahap polimerisasi yang melibatkan pembentukan geopolimer
dari geomonomer yang terjadi setelah organisme mati dan tahap
penyusunan kembali komposisi kerogen yang terjadi setelah geopolimer
pertama terbentuk dan akan terus berlangsung selama kerogen tetap ada.
Tahap polimerisasi dimulai pada saat perusakan dan transformasi
tubuh organisme terjadi, dimana biopolimer organik berukuran besar
(protein dan karbohidrat) akan terurai dan membentuk geopolimer baru
yang tidak memiliki struktur biologi teratur.
Tahap selanjutnya adalah pembentukan kerogen diawali dengan
terjadinya diagenesis pada kolom air, tanah dan sedimen yang
menyebabkan ukuran molekul geopolimer menjadi lebih besar dengan
susunan struktur yang lebih kompleks dan makin tidak teratur karena
hilangnya air, CO2 dan amonia dari geopolimer asalnya.
2. Komposisi dan Tipe Kerogen
Komposisi kerogen dipengaruhi oleh beberapa proses pematangan
termal yang terjadi pada material organik yaitu diagenesis, katagenesis
dan metagenesis.
Pada tahap diagenesis terjadi proses hilangnya nitrogen pada
kedalaman beberpa meter, lebih lanjut lagi terjadi pelepasan oksigen
dalam bentuk air, CO dan CO2 yang biasanya terjadi pada temperatur
<70-80o C.
Pada tahap katagenesis terjadi penghilangan hidrogen dalam
bentuk hidrokarbon :minyak berat terbentuk lebih dulu, kemudian
hidrokarbon yang lebih ringan, kondesat dan kemudian baru dihasilkan dry
gas.

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
4
Tahap metagenesis terjadi pada suhu > 150 o C, dimana terjadi
reorganisasi dari struktur aromatik pada kerogen sisa menjadi struktur
grafit. Hanya metan, H2S dan nitrogen yang terbentuk pada proses ini.

Tabel 1. Skema Pembentukan Kerogen dan Transformasi Material


Organik dalam Batuan Sedimen (Eddy S.A, 1990)

a. Kerogen Tipe I
-.Berasal dari alga danau dan terbatas pada danau anoksik
-.Memiliki kandungan hidrogen tertinggi di antara tipe kerogen yang
lain tetapi mengandung oksigen jauh lebih rendah dibandingkan
tipe III dan IV karena terbentuk dari material lemak yang miskin
oksigen, misalnya fitoplankton yang tak mengandung lignin atau
selulosa
-. Cenderung menghasilkan minyak (oil prone)
b. Kerogen Tipe II
-.Berasal dari sedimen laut dengan kondisi reduksi dengan jenis
sumber yang berbeda, yaitu dari alga laut, polen, spora, lapisan
lilin tanaman, fosil resin dan lemak tanaman
-.Kandungan hidrogen relatif tinggi dan cenderung bersifat oil prone
c. Kerogen Tipe III
-.Berasal dari material organik darat yang sedikit mengandung
lemak (fat) dan lilin (wax)
-.Memiliki kandungan oksigen karena sumber material
mengandung lignin dan selulosa
-.Kandungan hidrogen rendah dan cenderung menghasilkan gas
d. Kerogen Tipe IV

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
5
-.Terdiri dari material teroksidasi yang berasal dari berbagai sumber
dan mengandung sejumlah besar oksigen
-.Mengandung sistem aromatik dan mempunyai kandungan
hydrogen terendah, sehingga tak menghasilkan hidrokarbon

Tabel 2. Pembagian Tipe Kerogen (Waples, 1985)

3. Kematangan Kerogen
Kematangan material organik dikontrol oleh dua faktor utama yaitu
suhu dan waktu. Pengaruh suhu tinggi dalam waktu yang singkat atau
sebaliknya akan mengakibatkan kerogen terubah menjadi hidrokarbon.
Selain dua faktor tersebut, umur batuan juga terlibat karena kaitannya
dengan proses pemanasan dan jumlah panas yang diterima batuan induk.

Tabel 3. Tipe Kerogen dan Kecenderungan Jenis Hidrokarbon


yang Akan Dihasilkan Berdasarkan Indeks Hidrogen dan S2/S3
(Peters dan Cassa, 1994)
Kematangan material organik pada umumnya ditentukan dengan :
 Pemantulan vitrinit (Ro %)
Analisis ini didasari pada suatu pengertian bahwa kematangan
pada kerogen akan mengakibatkan perubahan pada fisik kerogen
yang dibarengi dengan kemampuannya memantulkan cahaya.
Vitrinit sendiri adalah jenis maseral utama penyusun batubara yang
juga tersebar luas pada sedimen. Peningkatan pantulan vitrinit
akan meningkat seiring panambahan kematangan dan kedalaman.
 Skala alterasi termal (Thermal Alteration Scale-TAS)
Merupakan salah satu analisis penentuan kematangan material
organik yang berbasis pada adanya pengaruh kematangan termal
terhadap perubahan fisik pada fosil dari kelompok spora dan polen.
 Penentuan temperature maksimum (Tmax) dan indeks produksi
minyak (Oil Production Index-OPI)
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
6
Tmax merupakan suhu maksimum pada saat pembentukan
hidrokarbon yang terjadi selama pirolisis kerogen, sedangkan indeks
produksi adalah rasio antara hidrokarbon dalam batuan dan hidrokarbon
yang dihasilkan sebagai akibat perubahan kerogen menjadi bitumen
selama pembentukan hidrokarbon. OPI akan bertambah seiring
meningkatnya material organik.

Tabel 4. Klasifikasi Tingkat Kematangan Material Organik


Berdasarkan Analisis Mikroskopis dan Rock-Eval Pyrolisis
(Peters & Cassa, 1994)

II. LINGKUNGAN PENGENDAPAN & KEMATANGAN MATERIAL


ORGANIK
Dalam penentuan lingkungan pengendapan material organik sering
digunakan parameter biomarker, dimana biomarker sendiri mengandung
pengertian senyawa organik kompleks yang terdiri dari karbon, hidrogen,
dan unsur-unsur lain yang dapat dijumpai dalam batuan dan sedimen dan
sedikit sekali menunjukkan perubahan struktur molekul dari organisme
asal. Seringkali pula biomarker digunakan sebagai indikator kematangan
material organik dalam batuan induk, sebab perubahan komponen di
dalam batuan sedimen dikontrol oleh laju perubahan temperatur dibawah
permukaan dan lama waktu yang dibutuhkan biomarker tersebut untuk
mengalami pemanasan.
Ada beberapa biomarker yang biasa digunakan dalam penentuan
lingkungan pengendapan, yaitu isoprenoid, triterpana dan sterana.
Isoprenoid adalah suatu senyawa yang terdiri dari atom karbon rantai
lurus dengan kelompok metil (CH3) terikat pada setiap atom karbon
keempat. Senyawa isoprenoid yang biasa digunakan adalah pristan dan
fitan yang berkaitan erat dengan aktivitas bakteri yang hidup dari proses
fotosintesa, berasosiasi dengan porfirin dan menunjukkan lingkungan
metasalin sampai hipersalin. Batuan induk karbonat seringkali
memperlihatkan rasio pristan dan fitan < 1 yang mengindikasikan bahwa
material organik pada batuan induk tersebut terendapkan dalam
lingkungan anoksik.

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
7
Senyawa triterpana adalah suatu senyawa yang terdiri dari lima
atom karbon segi enam yang berikatan dengan kelompok metil. Senyawa
triterpana terbentang dari C27 sampai C35, tetapi yang sering digunakan
adalah norhopana (C29) dan hopana (C30). Untuk menunjukkan lingkungan
pengendapan harus dilakukan perbandingan terhadap konsentrasi C 29 dan
C30. Jika konsentrasi C29 > C30, maka material organik berasal dari
lingkungan karbonat, sebaliknya jika konsentrasi C 29 < C30, maka material
organik berasal dari serpih yang terendapkan di lingkungan laut. Menurut
Peters dan Moldowan (1991) tingginya konsentrasi C 35 secara spesifik
menunjukkan lingkungan laut, sedangkan lingkungan karbonat atau
hipersalin ditandai dengan dominasi C34 dan C35. Dalam hal ini jika C35
>C34, maka material organik dapat diasumsikan diendapkan di lingkungan
karbonat yang berasosiasi dengan lingkungan yang sangat reduksi
(Moldowan et al, 1992). Apabila dalam fragmentogram massa terdapat
hopana panjang (C31-C35) yang semakin mengecil dengan penambahan
jumlah karbon, maka pada umumnya material organik tersebut
berasosiasi dengan kondisi lingkungan yang oksik.
Pada senyawa triterpana terdapat pula parameter kematangan,
yaitu trisnorneohopana (Ts, terdapat pada C 27 akibat proses termal) dan
trisnorhopana (Tm, terdapat pada C 27 akibat hasil biologis), dimana jika Ts
> Tm maka diasumsikan batuan sudah matang. Selain pada C 27,
parameter kematangan juga didapat pada C 31, C32 dan C33, yaitu jika S
(sinister) > R (rectus), maka batuan sudah matang.
Senyawa sterana adalah suatu senyawa yang terdiri dari tiga
lingkar atom karbon segi enam dan satu lingkar atom karbon segi lima
yang saling berikatan. Senyawa ini terdapat pada C 21, C22, C27, C28, dan
C29 pada fragmentogram massa, dimana masing-masing karbon akan
menunjukkan karakteristik dari lingkungan pengendapan tertentu (Tabel
2.4). Lingkungan karbonat atau hipersalin diketahui berdasarkan
konsentrasi C21, C22 > C27, C28, dan C29 (ten Havern et al, 1985 dan Mello
et al, 1988). C27 akan mendominasi pada material organik yang berasal
dari alga atau lingkungan laut, sedangkan kontribusi alga danau
ditunjukkan dengan kehadiran C28 < C27 dan C29. Material organik yang
berasal dari tanaman keras atau merupakan material darat ditunjukkan
dengan dominasi C29, sementara itu dominasi C30 mengindikasikan
pengaruh kondisi laut (Moldowan et al, 1985). Pada senyawa sterana juga
terdapat suatu parameter kematangan, yaitu pada C 29 yang ditunjukkan
dengan notasi 20 R dan 20 S, dimana 20R > 20 S maka batuannya belum
matang.
Selain itu untuk mengetahui tingkat kehadiran karbon dalam
material organik digunakan suatu biomarker berupa n-alkana yang
nerupakan seri hidrokarbon yang paling sederhana karena tidak memiliki
cabang yang dapat pula digunakan sebagai indikator kematangan material
organik. Tingkat kehadiran karbon (Carbon Preferences Index-CPI)
didasari pada tingkat konsentrasi karbon C 23, C24, C25, C26, C27, C28, C29,
C30, C31 dan dirumuskan sebagai berikut :
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
8
CPI = (C23 + C25 + C27 + C29) + (C25 + C27 + C29 + C31)
2 (C24 + C26 + C28 + C30)

Tabel 5. Klasifikasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Karakter


Kimia (Peters dan Moldowan, 1994)

III. APLIKASI BIOMARKER PADA GEOKIMIA PETROLEUM


Biomarker memiliki banyak kegunaan dalam eksplorasi hidrokarbon
antara lain :
1. Identifikasi jumlah relatif antara material organik yang bersifat oil-
prone dan gas-prone pada kerogen
2. Identifikasi umur source rock
3. Identifikasi lingkungan pengendapan
4. Identifikasi kematangan termal
5. Korelasi hidrokarbon dengan batuan induk
Berikut ini akan dibahas biomarker yang berguna dalam melakukan
korelasi batuan induk dengan hidrokarbon. Ada empat kelompok
biomarker utama yang sering digunakan yaitu terpane, sterane, steroid
aromatik dan porfirin.

A. Terpane
1. m/z 191 fingerprint
Sebagian besar dari senyawa golongan terpane pada hidrokarbon
berasal dari lipid pada membran bakteri. Senyawa ini meliputi beberapa
seri yang homolog seperti komponen asiklik, bisiklik (drimane), trisiklik,
tetrasiklik dan pentasiklik (mis. hopane).
Komponen terpane (m/z 191) seperti trisiklik, tetrasiklik, hopane
biasanya digunakan untuk mengkorelasikan minyak dengan batuan induk
(Seifert et al., 1980). Terpane trisiklik berkisar dari C 19 hingga C45. Trisiklik
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
9
C28 dan C29 sering digunakan untuk melakukan korelasiminyak dan
bitumen. Terpane trisiklik (<C 30) kemungkinan berasal dari isoprenoid C 30
reguler yang merupakan penyusun membran prokariotik. Diterpane trisiklik
(C19-C20) diyakini berasal dari diterpenoid seperti asam abietik yang
dihasilkan oleh tumbuhan vaskuler.
Terpane bisiklik terdapat pada hampir semua sedimen dan minyak
mentah sehingga dianggap berasal dari mikroba. Terpane tetrasiklik C 24-
C27 nampaknya merupakan hopane yang terdegradasi. Tetrasiklik terpane
lebih resistan terhadap biodegradasi dan maturasi ketimbang hopane.
Hopane merupakan triterpane pentasiklik yang biasanya
mengandung 27-35 atom karbon pada struktur naftenik yang tersusun
atas empat cincin segi enam dan satu cincin segi lima. Hopane berasal
dari prekursor membran bakteri.
2. Homohopane
Homohopane (C31-C35) diyakini berasal dari bakteriohopanetetrol
dan hopanoid C35 lain yang terdapat pada organisme prokariotik.
Homohopane sering diaplikasikan sebagai indikator potensial redoks dari
sedimen laut selama diagenesis, tetapi dipengaruhi oleh efek maturasi.
3. Rasio Pristane/Phytane
Rasio Pr/Ph yang tinggi (>3) mengindikasikan material organik
terestrial dengan kondisi oksik, sedangkan nilai yang rendah (<0.6)
mengindikasikan lingkungan anoksik, umumnya hipersalin. Rasio Pr/Ph
akan meningkat seiring dengan meningkatnya kematangan.
4. Botryococcane
Menunjukkan lingkungan lakustrin atau brackish karena berasal
dari alga Botryoccus braunii.
5. Oleanane/C30 Hopane (Indeks Oleanane)
Mengindikasikan input dari tumbuhan tingkat tinggi berumur Kapur
atau lebih muda.
6. Gammacerane
Merupakan triterpane C30 yang mengindikasikan kondisi hipersalin.
7. -Carotane
Mengindikasikan lingkungan lakustrin.
8. Cardinane
Mengindikasikan input material resin dari tumbuhan tingkat tinggi.
9. Tetrasiklik diterpane
Mengindikasikan input material organik terestrial terutama konifer.
10. Trisiklik terpane/hopane
Tahan terhadap biodegradasi. Konsentrasi yang rendah pada
minyak dan bitumen dari batuan karbonat.
11. Tetrasiklik terpane
Tahan terhadap biodegradasi. Konsentrasi C 24 yang tinggi
mengindikasikan lingkungan karbonat atau evaporit.

B. Sterane
1. Regular sterane/17(H)-hopane
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
10
Rasio sterane dengan hopane merefleksikan input dari material
eukariotik (alga dan tumbuhan tingkat tinggi) vs prokariotik (bakteri).Rasio
sterane/hopane >1 menunjukkan lingkungan marin dengan alga.
2. Sterane C27-C28-C29
Nilai C27-C28-C29 dapat diplot pada suatu diagram segitiga untuk
menentukan lingkungan pengendapan. Diaram ini dapat digunakan untuk
membedakan hidrokarbon dari batuan induk yang berbeda atau fasies
organik berbeda pada batuan induk yang sama.
3. C30/ (C27-C28-C29-C30)
Rasio sterane C30/ (C27-C28-C29-C30) jika diplot dengan rasio
oleanane/hopane akan dapat mengidentifikasi input material darat vs
marin. Lingkungan pengendapan lagoon yang salin dicirikan oleh
rendahnya rasio sterane C30/ (C27-C28-C29-C30) ketimbang rasio pada
lingkungan laut terbuka. Nilai rasio sterane C 30/ (C27-C28-C29-C30) yang nol
menunjukkan minyak nonmarin. Tidak terdapatnya sterane C 30 pada
hidrokarbon yang lebih tua dari 500 juta tahun lalu diinterpretasikan
sebagai gap evolusi saat munculnya sterol C 30 pada organisme laut atau
dominasi dari biota marin oleh spesies yang tak mengandung sterol C 30.
4. Diasterane C27-C28-C29
Aplikasi penting dari plot Diasterane C27-C28-C29 pada diagram
segitiga adalah untuk identifikasi minyak yang terbiodegradasi dimana
sterane teralterasikan, sementara diasterane tidak.
5. Diasterane/sterane
Aplikasi utamanya adalah untuk membedakan hidrokarbon yang
berasal dari material karbonat dengan yang berasal dari material klastik.
Rasio diasterane/sterane yang rendah menunjukkan batuan induk
karbonatan poor clay yang anoksik, sedangkan batuan induk yang kaya
akan clay ditunjukkan oleh rasio sebaliknya.Nilai rasio yang tinggi juga
dapat disebabkan oleh efek maturasi dan biodegradasi.

C. Steroid Aromatik dan Hopanoid


Biomarker aromatik dapat memberikan informasi input material
organik serta berguna dalam oil-source correlation dan identifikasi
maturasi termal.
1. Steroid monoaromatik (MA) C27-C28-C29
Diagram segitiga dari steroid MA dan sterane memberikan bukti
korelasi yang lebih kuat karena mempresentasikan komponen dari asal
yang berbeda, sehingga dapat memberikan bukti independen dalam
korelasi. Selain itu, lokasi plot dari diagram ini tidak berubah secara
signifikan di sepanjang oil window.
2. Steroid triaromatik (TA) C26-C27-C28
Aplikasinya serupa dengan steroid monoaromatik hanya saja
steroid TA lebih sensitif terhadap efek maturasi karena steroid TA sendiri
merupakan produk maturasi dari proses aromatisasi steroid MA.
3. Benzohopane

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
11
Benzohopane memiliki kisaran rantai karbon mulai dari C 32-C35.
Minyak dan bitumen dari batuan induk karbonat dan evaporit
menunjukkan konsentrasi benzohopane yang tinggi meskipun hanya
ditemukan sebagai trace pada batuan induk dan hidrokarbon
D. Porfirin
Porfirin merupakan komponen organometalik tetrapirolik yang
tersusun atas vanadium dan nikel pada hidrokarbon (Boduszynski, 1987).
Komponen ini cukup resistan terhadap biodegradasi. Rasio V/(V+Ni)
porfirin menunjukkan kondisi pengendapan batuan induk pada kondisi
reduksi.

IV. OIL-SOURCE CORRELATION


Oil-source correlation didefinisikan sebagai hubungan kausal
antara minyak dengan fasies batuan sumbernya berdasarkan integrasi
data geologi dan geokimia (Jones, 1987). Hubungan kausal ini didasarkan
pada kondisi saat batuan induk menghasilkan minyak, bukan didasarkan
pada perubahan yang terjadi terhadap komposisi batuan induk dan
minyak. Jadi, tugas dari seorang ahli geokimia dalam melakukan oil-
source correlation adalah untuk mengisolasi dan mengidentifikasi
perubahan komposisi yang terjadi baik pada batuan induk maupun minyak
setelah minyak meninggalkan batuan induknya serta membuat
kompensasi dari perubahan tersebut yaitu pada saat belum terjadi
perubahan komposisi (Curiale, 1993).
Suatu korelasi batuan induk dengan minyak yang baik harus dapat
memperkirakan volume minyak yang dihasilkan serta menentukan jalur
migrasinya. Apabila peta-peta lokasi dan geokimia minyak baik yang
didapat dari indikasi permukaan (oil seep), sumur, dan akumulasi minyak
yang komersial tersebut dibandingkan dan ternyata memiliki kesamaan,
maka dapat disimpulkan bahwa seluruh minyak yang terdapat di lokasi
tersebut berasal dari sumber yang sama.
Apabila data geokimia mengindikasikan hubungan genetik antara
minyak dengan batuan induk, atau jika hasil korelasinya positif, maka
dapat ditentukanlah petroleum system di suatu tempat. Peta distribusi
daripada minyak dan batuan induk ini menunjukkan lingkup stratigrafi dan
geografi dari petroleum system tersebut. Sedangkan jalur migrasi berada
diantara batuan induk dan lingkup geografi dari sistem tersebut dan
volume dari minyak yang dihasilkan dapat diperkirakan.
Dalam melakukan korelasi minyak dengan batuan induk, fosil
geokimia atau biomarker memiliki peranan yang sangat penting. Data
tersebut diperoleh dari hasil analisis Gas Chromatography-Mass
Spectrometry (GC-MS). Selain itu informasi penting untuk melakukan
korelasi juga didapat dari data rasio isotop karbon.

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
12
METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan meliputi analisis kuantitas, kualitas dan


kematangan material organik serta korelasi hidrokarbon dengan batuan
induk yang dirangkum dalam Tabel 6 berikut ini :

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
13
Tabel 6. Metode Penelitian yang Digunakan (Tissot dan Welte, 1978)

I. ANALISIS KUANTITAS MATERIAL ORGANIK


Pada prinsipnya jumlah hidrokarbon yang dihasilkan berhubungan
dengan kandungan material organik dalam batuan induk. Oleh karena itu
faktor kuantitas material organik pada metode geokimia ini sering disebut
dengan Karbon Organik Total. Tingkat kandungan organik dapat diketahui
dengan melakukan pemanasan contoh batuan pada temperatur tinggi dan

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
14
melakukan pengukuran terhadap jumlah CO 2 yang terlepaskan selama
proses tersebut.

II. ANALISIS KUALITAS MATERIAL ORGANIK


Dasar dari pentingnya mengetahui kualitas material organik yang
terkandung pada batuan adalah untuk mengetahui secara pasti
kemampuan batuan tersebut untuk menghasilkan minyak karena jenis
hidrokarbon yang dihasilkan biasanya akan berasosiasi dengan tipe
material organik.
Tipe dan kualitas material organik dapat dibedakan dan dievaluasi
dengan metode mikroskopik optikal dan fisikokimia. Metode optikal dapat
menvisualisasikan kerogen secara detil termasuk jika terjadi percampuran
material organik yang berbeda. Sedangkan metode fisikokimia memonitor
total material organik tanpa mengenali komponen dari sumber yang
berbeda.

A. Metode Mikroskopis Optikal


Pengamatan mikroskopis terhadap kerogen dapat dilakukan
dengan beberapa pendekatan antara lain : reflected light, fluoresent light,
dan transmitted light (Tabel 7).
Teknik cahaya refleksi dapat mengidentifikasi partikel dari
kelompok huminite, vitrinite dan inertinite. Kegunaan utama dari teknik ini
adalah mendiferensiasikan material organik yang bersifat humic. Selain itu
teknik ini dapat mengenali material organik opak yang mengalami rework
dari sedimen yang lebih tua.
Teknik transmitted light dalam mengobservasi kerogen didasarkan
pada pengamatan palinologi. Tipe dari material organik diidentifikasi
berdasarkan translusensi dan bentuk dari partikel. Teknik ini baik
digunakan untuk mengidentifikasi partikel dari kelompok maseral liptinite
seperti sisa-sisa alga.
Teknik fluoresensi dapat dilakukan pada transmitted light maupun
reflected light. Ultraviolet atau sinar biru digunakan untuk mengeksitasi
material organik dan spektrum fluoresensi dapat diamati. Teknik ini sangat
baik digunakan untuk mengidentifikasi material liptinitik yang bersifat
amorf.
Metode pengamatan mikroskopis hanya dapat mengobservasi
partikel kerogen yang lebih besar dari 1 m. Secara mikroskopis biasanya
kerogen tipe I terdiri atas material alga, tipe II terdiri atas material organik
sapropelik yang amorf maupun yang tidak. Sedangkan tipe 3 biasanya
tersusun atas material humic, opak hingga batubara.

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
15
Tabel 7. Pendekatan dalam Pengamatan Mikroskopis Kerogen
(Tissot, 1978)
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
16
B. Metode Pirolisis dan Analisis Elemen
Analisis ini merupakan metode pendekatan langsung terhadap
kualitas dan tipe hidrokarbon yang dilakukan dengan membakar sejumlah
kecil contoh batuan tanpa melibatkan unsur oksigen pada temperatur
tinggi untuk lebih mendekati peristiwa pembentukan hidrokarbon yang
sesungguhnya terjadi di alam.
Selama pemanasan, hidrokarbon yang sudah ada pada batuan
(S1) yang dianggap setara dengan jumlah bitumen pada batuan tersebut
akan tervolatilisasikan untuk pertama kali. Kemudian pirolisis berlanjut
hingga munculnya aliran hidrokarbon kedua dari penguraian termal (S2).
Temperatur teringgi pada saat aliran hidrokarbon S2 mencapai maksimum
disebut Tmax. S2 merupakan indikator penting dalam penentuan kualitas
material organik karena mengindikasikan kemampuan kerogen dalam
memproduksi hidrokarbon saat ini. Selain mengeluarkan hidrokarbon,
pada proses pirolisis kerogen juga mengeluarkan sejumlah karbon
dioksida (S3).

Gambar 1. Diagram Skematik Rock-Eval (Diadaptasi dari Waples,


1985)

Setelah parameter S1, S2, S3 dan Tmax didapat, maka dapat


dihitung Oxygen Index (OI) dan Hidrogen Index (HI) dalam kerogen serta
nilai Oil Production Index (OPI) dan Potential Yield (PY). Dengan memplot
nilai OI dan HI pada diagram Van Krevelen didapat jalur evolusi kerogen.
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
17
Gambar 2. Diagram Van Krevelen (Dimodifikasi dari Espitalie et al.,
1977 dalam Tissot, 1978)

C. Metode Isotop Karbon


Rasio isotop karbon yang stabil digunakan untuk menunjukkan
variasi keterdapatan 13C pada material organik baik pada kerogen maupun
pada bitumen (oil). Perbedaan dari komposisi isotop ini dapat terjadi
karena fraksinasi isotop dimana terjadi transfer karbon dari satu spesies
kimia ke spesies yang lain. Contohnya, 12C biasanya diasimilasikan oleh
tanaman selama fotosintesis dibandingkan dengan 13C. Dekomposisi oleh
bakteri terhadap tanaman menghasilkan metana yang mengandung
sedikit 13C. Kematangan termal menghasilkan hilangnya metana yang
kaya 12C dan terkonsentrasinya 13C pada kerogen residu.

III. ANALISIS KEMATANGAN MATERIAL ORGANIK


Evolusi termal dari batuan induk selama diagenesis, katagenesis
dan metagenesis dapat merubah parameter fisika dan kimia dari material
organik. Parameter tersebut dapat dianggap sebagai indikator maturasi/
kematangan yang diperoleh dari hasil pengamatan optikal dari kerogen,
analisis fisikokimia dari kerogen serta analisis kimia dari bitumen (oil).

A. Vitrinite Reflectance (Ro)


Pengukuran pemantulan vitrinit dilakukan dengan mengamati
viitrinit pada sinar langsung yang kemudian diukur pantulannya oleh
sebuah alat fotometer.
Untuk mengetahui tingkat kematangan batuan induk digunakan dua
parameter tingkat suhu pematangan (Tabel 8) berdasarkan hasil
pengukuran refleksitansi vitrinit dan suhu pematangan (Tmax) dari pirolisis
batuan.

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
18
Tingkat Pematangan
Ro ( % )
untuk minyak
immature 0.20 - 0.50
mature
early 0.50 - 0.60
peak 0.65 - 0.90
late 0.90 - 1.35
post / over mature > 1.35

Tabel 8. Parameter Kematangan Kerogen Berdasarkan Nilai Ro

B. Thermal Alteration Scale (TAS)


Spora atau pollen merupakan salah satu indikator kematangan
karena warna spora bergantung pada temperatur maksimum selama
penimbunan (burial) dan lamanya penimbunan. Pengukuran skala alterasi
termal spora dilakukan memakai mikroskop dengan media sinar langsung
(transmitted light). Warna yang didapat disebandingkan dengan standar
skala warna kematangan termal pada spora atau pollen pada Tabel 9.

Tabel 9. Skala Alterasi Termal


Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
19
Jika dalam pengamatan tidak dijumpai spora atau pollen, maka
dilakukan estimasi nilai TAS berdasarkan warna kerogen amorf seperti
pada Gambar 3.

Gambar 3. Warna Palinomorf dan Kerogen Amorf Sebagai Indikator


Kematangan

C. Penentuan Tmax pada Rock-Eval Pyrolisis


Hidrokarbon akan mulai terbentuk apabila temperatur
maksimumnya telah terapai. Oleh sebab itu temperatur maksimum dapat
digunakan sebagai salah satu indikator kematangan. Nilai Tmax diperoleh
bersamaan dengan pencatatan parameter S1, S2 dan S3 pada Rock-Eval
Pyrolisis, dimana Tmax adalah puncak S2 yang terjadi pada temperatur
sekitar 420-460 oC.

Tingkat pematangan
Tmax ( °C )
untuk minyak
immature < 435
mature
early 435 - 445
peak 445 - 450
late 450 - 470
post / over mature > 470

Tabel 10. Parameter Kematangan Kerogen Berdasarkan Nilai Tmax

D. Penentuan Carbon Preference Index (CPI)


CPI merupakan salah satu indikator kematangan material organik
yang diperoleh dari kromatografi pada bitumen. CPI adalah rasio n-alkana
bernomor ganjil dengan genap. Dominasi n-alkana nomor ganjil terdapat
pada sedimen di lingkungan dangkal. Dominasi ini akan berkurang seiring
penambahan kematangan sampai jumlah n-alkana ganjil seimbang
dengan n-alkana genap yang menunjukkan late mature - post mature.
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
20
IV. KORELASI HIDROKARBON DENGAN BATUAN INDUK
Teknik korelasi geokimia secara garis besar dapat dibagi menjadi 2
metode utama yaitu bulk methods dan molecular methods (Tabel 11). Bulk
methods meliputi karakteristik fisik, fraksinasi komposisi, konsentrasi
elemen dan rasio isotop. Sedangkan molecular method melibatkan
paramater fosil geokimia atau yang sering disebut biomarker.

Tabel 11. Parameter Oil-Source Correlation (Curiale, 1994)

Karakteristik fisik meliputi warna, nilai API gravity dan viskositas.


Penggunaan parameter karakter fisik sebagai alat korelasi memiliki
keterbatasan karena bersifat sangat kasar dan sangat terpengaruh oleh
efek non-genetic seperti biodegradasi, maturasi, migrasi dan water
washing.
Fraksinasi komposisi merupakan separasi fraksi komposisional dari
minyak dan ekstrak batuan serta perbandingan dari distribusi fraksi-fraksi
tersebut baik pada minyak maupun pada batuan sumber yang
diperkirakan menggenerasikan minyak tersebut. Tahap ini meliputi analisis
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
21
komposisi SANA (saturate, aromatic, NSO, aspalten) dan SBC
(hidrokarbon rantai lurus). Fraksi ini merupakan parameter korelasi kimia
pertama yang masih sangat rentan dipengaruhi oleh faktor non genetik
(Tabel 11), sehingga belum memadai untuk digunakan sebagai alat
korelasi.
Konsentrasi elemen cukup umum digunakan sebagai parameter
korelasi. Teknik ini merupakan pengukuran konsentrasi sulfur dan elemen
transisi lain seperti vanadium dan nikel. Meskipun teknik ini sudah umum
digunakan, tetapi konsentrasi elemen juga rentan berubah karena
pengaruh proses alterasi, sehingga penggunaan teknik ini juga harus
berhati-hati terhadap faktor biodegradasi dan alterasi termal pada
reservoir.
Dari keseluruhan parameter korelasi dengan bulk method, maka
rasio isotop adalah parameter yang paling dapat dipercaya. Rasio isotop
karbon yang stabil pada minyak, ekstrak batuan induk, kerogen, dan fraksi
kromatografi gas merupakan alat korelasi yang baik. Ada aturan yang
mengatakan bahwa minyak harus lebih ringan secara isotopis sekitar 0.5-
1.5 %o dibandingkan kerogen sumbernya (Peters et.al, 1989). Rasio isotop
karbon dari fraksi komponen yang bersifat soluble seperti hidrokarbon
aromatik relatif tidak terpengaruh oleh migrasi dan biodegradasi ringan
sampai sedang, sedangkan rasio isotop karbon dari fraksi yang lain
seperti hidrokarbon alifatik dapat bervariasi karena dipengaruhi oleh
proses non genetik (Tabel 11).
Sedangkan molecular methods yang merupakan metode yang
cukup terpercaya dalam melakukan korelasi melibatkan penggunaan
biomarker yang diperoleh dari kromatografi gas-spektrometri massa (GC-
MS). Pada dasarnya parameter biomarker untuk korelasi haruslah mudah
diisolasi dan dikarakterisasi, tetapi memiliki properti fisika dan kimia yang
serupa seperti polaritas, kelarutan dan berat molekul. Steroid dan
triterpenoid merupakan biomarker yang cukup dapat dipercaya untuk
melakukan korelasi.
Kromatografi gas-spektrometri massa merupakan metode yang
digunakan untuk mengevaluasi biomarker dengan prinsip kerja sebagai
berikut (Gambar 4) :
1. Separasi komponen oleh kromatografi gas
2. Transfer dari komponen yang terseparasi ke ruang ionisasi dari
spektrometri massa
3. Ionisasi
4. Analisis massa
5. Deteksi ion oleh electron multiplier
6. Akuisisi, pemrosesan, dan penyajian data oleh komputer
GCMS dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi
komponen berdasarkan waktu retensi, pola elusi dan pola fragmentasi
spektrum massa yang mencirikan strukturnya. Data GCMS diperoleh
dengan menggunakan kolom kapiler beresolusi tinggi (sekitar 50 m),
spektrometer massa dan rapid scanning (Peters dan Moldowan, 1993)
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
22
Gambar 4. Prinsip Kerja Gas Chromatography-Mass Spectrometry
(Peters dan Moldowan, 1993)

Pada kromatografi gas, fraksi aromatik atau jenuh disuntikan


melalui suatu syringe. Molekul yang lebih besar akan terperangkap pada
fase stasioner pada kepala GC, proses ini disebut “cold trapping”. Suhu
dinaikkan secara bertahap oleh oven sehingga komponen yang
terperangkap akan bergerak maju. Pada GC, setiap sampel yang diinjeksi
akan diuapkan dan dicampur dengan gas pembawa yang inert seperti He.
Gas ini (fase mobile) dan sampel bergerak melewati kolom kapiler
tipis yang panjang yang bagian dalamnya dilapisi film tipis dari cairan
nonvolatil (fase stasioner). Komponen-komponen akan diseparasikan saat
sampel ditangkap oleh fase stasioner dan dilepaskan ke fase mobile.
Setelah komponen dipisahkan oleh GC, maka selanjutnya akan
ditransfer ke spektrometer massa (MS) untuk dianalisis. Molekul yang
masuk akan diionisasi dengan cara ditembak oleh elektron sehingga akan
membentuk ion molekuler. Ion ini akan dianalisis berdasarkan rasio massa
dengan muatannya (m/z). Hasilnya adalah pola fragmentasi atau
spektrum massa dari molekul tersebut.
Setelah dilakukan korelasi terhadap parameter seperti pada Tabel
11, dilakukanlah integrasi dengan data seismik dan data log geokimia atau
data log geofisika untuk merekonstruksi peta distribusi source rock
(geochemical map).
Log geokimia biasanya berisi data rock-eval pirolisis, karbon
organik total (TOC), reflektansi vitrinit (R o), serta litologi yang berguna
dalam mengidentifikasi keterdapatan source rock, evolusi termal, serta
keterdapatan hidrokarbon in-situ maupun yang telah bermigrasi.
Peta distribusi source rock (geochemical map) dapat direkonstruksi
dari beberapa log geokimia yang dikombinasikan dengan data seismik.
Dengan data seismik, maka dapat diperkirakan perkiraan distribusi source
rock serta kemungkinan terjadinya migrasi sekunder baik melalui
mekanisme pensesaran (faulting) maupun perangkap stratigrafi. Tabel 12
memberikan gambaran integrasi data seismik, log dan geokimia dalam
melakukan oil-source correlation.
Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
23
Tabel 12. Diagram Integrasi Data Seismik, Log, dan Geokimia dalam
Oil-Source Correlation (Bordenave, 1993)

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
24
PENUTUP

Demikian proposal skripsi ini saya susun dengan sebaik-baiknya.


Besar harapan saya agar kiranya proposal ini dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk melaksanakan skripsi tentang geokimia di PT.
Chevron Pacific Indonesia
Kesempatan yang diberikan kepada saya tentunya tidak akan
pernah disia-siakan dan akan dimanfaatkan seoptimal mungkin serta
hasilnya akan disusun sebaik-baiknya bagi PT. Chevron Pacific
Indonesia maupun bagi kalangan akademis dalam hal ini institusi
UNPAD.
Semoga dengan adanya kesempatan ini akan terus terjalin
kerjasama erat yang akan saling menguntungkan antara industri dalam
hal ini pihak PT. Chevron Pacific Indonesia serta dari kalangan
akademis dalam hal ini Jurusan Teknik Geologi, UNPAD, Bandung.

Bandung, 22 Januari 2007


Mahasiswa Peneliti,

Heri Tanjung
D1H 030 03

Mengetahui,
Ketua Jurusan Teknik Geologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran

Dr. Ildrem Sjafrie, Ir., DEA


NIP 131 608 633

Jurusan Geologi Unpad, Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jatinangor
Telp. ( 022 ) 7796546 Fax. ( 022 ) 7796545
Email : her_geo06@yahoo.com. Contact : Heri ( 0856 8889 817 )
25

Anda mungkin juga menyukai