Anda di halaman 1dari 155

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG CATHETER-


ASSOCIATED URINARY TRACT INFECTIONS
DI INTENSIVE CARE UNIT

SKRIPSI

“Untuk memenuhi Persyaratan mencapai Sarjana Keperawatan”

Oleh

TRIARINI WARAWIRASMI

NIM 22020110120041

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG, JULI 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT
PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG CATHETER-
ASSOCIATED URINARY TRACT INFECTIONS
DI INTENSIVE CARE UNIT

SKRIPSI

“Untuk memenuhi Persyaratan mencapai Sarjana Keperawatan”

Oleh

TRIARINI WARAWIRASMI

NIM 22020110120041

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG, JULI 2014

ii
SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya susun adalah hasil

karya sendiri. Tidak ada karya ilmiah atau sejenisnya yang diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan atau sejenisnya di Perguruan Tinggi manapun

seperti karya ilmiah yang saya susun.

Sepengetahuan saya juga, tidak terdapat karya ilmiah atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah karya ilmiah yang saya susun ini dan disebutkan dalam daftar

pustaka.

Apabila pernyataan tersebut terbukti tidak benar maka saya bersedia

menerima sanksi sesuai dengan ketentuan akademik yang berlaku.

` Semarang, Juli 2014

Triarini Warawirasmi

NIM 22020110120041

iii
SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:


Nama : Triarini Warawirasmi
NIM : 22020110120041
Fakultas/Jurusan : Kedokteran / Ilmu Keperawatan
Judul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan
Perawat tentang Catheter-Associated Urinary Tract
Infections di Intensive Care Unit

Dengan ini menyatakan bahwa saya menyutujui untuk :


1. Memberikan hak bebas royalti kepada Perpustakaan Jurusan Keperawatan Undip
atas penulisan karya ilmiah saya, demi pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Memberikan hak menyimpan, mengalih mediakan/mengalih formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (data base), mendistribusikannya, serta
menampilkannya dalam bentuk soft copy untuk kepentingan akademik kepada
Perpustakaan Jurusan Keperawatan Undip, tanpa perlu minta ijin dari saya selama
tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.
3. Bersedia dan menjamin untuk mananggung secara pribadi tanpa melibatkan pihak
Perpustakaan Jurusan Keperawatan Undip dari semua bentuk tuntutan hukum
yang timbul atas pelanggaran hak cipta dalam karya ilmiah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan semoga dapat digunakan
sebagaimana semestinya.

Semarang, 17 September 2014


Yang Menyatakan,

Triarini Warawirasmi

iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:


Nama : Triarini Warawirasmi
NIM : 22020110120041
Fakultas/Jurusan : Kedokteran / Jurusan Keperawatan
No. HP/Telephone : 08562621739
Judul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Pengetahuan Perawat tentang Catheter-Associated
Urinary Tract Infections di Intensive Care Unit

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penelitian saya yang


berjudul " Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Perawat
tentang Catheter-Associated Urinary Tract Infections di Intensive Care Unit "
bebas dari plagiarisme dan bukan hasil karya orang lain.
Apablia dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian dari penelitian dan
karya ilmiah dari hasil-hasil tersebut terdapat indikasi plagiarisme, saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar tanpa unsur paksaan dari
siapapun.

Semarang, 17 September 2014


Yang membuat peryataan,

Triarini Warawirasmi

HALAMAN PERSETUJUAN

v
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa

Riset Keperawatan yang berjudul :

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGETAHUAN


PERAWAT TENTANG CATHETER-ASSOCIATED URINARY TRACT
INFECTIONS DI INTENSIVE CARE UNIT

Dipersiapkan dan disusun oleh :

Nama : Triarini Warawirasmi

NIM : 22020110120041

Telah disetujui untuk dapat dipertahankan dihadapan Tim Penguji

Pembimbing,

Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep. M.Sc


NIP 198212312008122001

vi
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa


Skripsi yang berjudul :

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGETAHUAN


PERAWAT TENTANG CATHETER-ASSOCIATED URINARY TRACT
INFECTIONS DI INTENSIVE CARE UNIT

Dipersiapkan dan disusun oleh :


Nama : Triarini Warawirasmi
NIM : 22020110120041
Telah diuji pada tanggal 4 Juli 2014 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana keperawatan

Penguji 1

Ns. Nana Rochana, S.Kep.,MN


NIK 201307111040

Penguji 2

Ns. Henni Kusuma, S.Kep.,M.Kep.,Sp.Kep.M.B


NIK 201209111039

Penguji 3

Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep.,M.Sc


NIP 198212312008122001

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan

karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Tingkat Pegetahuan Perawat tentang Catheter-Associated Urinary Tract

Infections di Intensive Care Unit” ini dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa

penulis sampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah

memberikan bantuan dan perhatian baik secara langsung maupun tidak langsung

dalam proses penyelesaian skripsi ini. Secara khusus, penulis menyampaikan

terima kasih kepada:

1. Ibu Wahyu Hidayati, S.Kp., M.Kep., Sp. KMB selaku ketua Program Studi

Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro.

2. Ibu Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep., MSc., sebagai pembimbing, atas segala

bimbingan, saran, dan semangat yang diberikan selama proses penyusunan

proposal penelitian ini.

3. Ibu Ns. Nana Rochana, S.Kep., MN dan Ibu Ns. Henni Kusuma, S.Kep.,

M.Kep., Sp.Kep.M.B selaku penguji skripsi.

4. Orang tua saya, Bapak Munhamir dan Ibu Yekti Puspalanti atas doa yang

tulus dan sebagai motivasi terbesar saya untuk terus belajar.

5. Kakak-kakak dan adik tercinta, Werdha Candratrilaksita, Dwisa Wukir

Hernusada, dan Acha Nadifah Azzahra atas perhatian, doa, dan dukungan

yang tidak ternilai harganya.

6. Rahmat Hidayat atas dukungan dan perhatian yang selalu diberikan.

viii
7. Yudea Atalia, Rara Shizuka, Hayu Naafi Hidayanti, dan Henricha Evalina

Sinaga sebagai sahabat terbaik yang selalu memberikan warna dalam hidup

saya.

8. Sahabat penghuni “Wisma L”, Ela, Indah, Eno, Danny, Intan, Dini, Dian,

Cindy, Ricka yang selalu memberikan semangat positif setiap harinya.

9. Farida Maera Rosita, Anita N. Fauziah, Norma Anggelina, Layar Mutiara, dan

Arniati Dwikatsari atas diskusi dan kebersamaan selama proses

pembimbingan dan penyusunan skripsi.

10. Sahabat Alifah Anggun Pratiwi atas bantuan yang diberikan selama penelitian.

11. Teman-teman seperjuangan A.10.1 yang banyak memberi semangat dan tawa.

Penulis menyadari karena keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki, masih

terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik

dan saran serta masukan berbagai pihak sangat diharapkan. Peneliti berharap

semoga penelitian ini kelak dapat bermanfaat bagi kita semua.

Semarang, Juli 2014

Penulis

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN i

SAMPUL.................................................................................... ii

HALAMAN JUDUL....................................................................................... iii

SURAT PERNYATAAN................................................................................ iv

SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA v

ILMIAH......................... vi

PERNYATAAN BEBAS vii

PLAGIARISME................................................... viii

HALAMAN x

PERSETUJUAN........................................................................ xiv

HALAMAN PENGESAHAN... xv

…………………………………………….. xvii

KATA xviii

PENGANTAR..................................................................................... i

DAFTAR xix

ISI.................................................................................................... xx

DAFTAR GAMBAR...................................................................................... 1

DAFTAR 1

TABEL............................................................................................ 5

DAFTAR 6

SINGKATAN................................................................................. 7

x
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... 9

ABSTRAK………………………………………...…………………... 9

……..

ABSTRACT……………………………………………………………..

……

BAB I

PENDAHULUAN……………………………………………………

A. Latar Belakang

Masalah....................................................................

B. Perumusan

Masalah..........................................................................

C. Tujuan

Penelitian..............................................................................

D. Manfaat

Penelitian............................................................................

BAB II TINJAUAN

PUSTAKA…………………………………………….

A. Tinjauan

Teori...................................................................................
1. Catheter-Associated Urinary Tract Infections (CAUTI) 9

………. 11

a. Definisi……………………………………...................... 12

b. Patogenesis...……………..…………………………........ 13

c. Manifestasi Klinis…………...……………………………. 14

xi
d. Faktor Risiko……………….…………...………………... 17

e. Pencegahan CAUTI…………………………..…………... 28

2. Pengetahuan………………………………………................. 28

a. Definisi……………………………………………….…… 29

b. Proses Adopsi Perilaku…….…………………………..…. 30

c. Tingkatan Pengetahuan…………………………………… 32

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan.. 34

e. Sumber Pengetahuan Keperawatan………...………….…. 35

3. Penelitian Terkait………………………………………...…… 38

B. Kerangka Teori....................................................................... 39

C. Kerangka Konsep.................................................................... 39

D. Hipotesis……………………….………………………………….. 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................... 40

A. Jenis dan Rancangan Penelitian................................................. 41

B. Populasi Penelitian.................................................................. 41

C. Sampel Penelitian................................................................... 42

D. Tempat dan Waktu Penelitian................................................... 43

E. Variabel Penelitian………………...………………..................... 46

F. Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data...............................


1. Alat 46

Penelitian............................................................................. 48

2. Uji Validitas dan 53

Reliabilitas...................................................... 55

3. Metode Pengumpulan 59

xii
Data......................................................... 61

G. Teknik Pengolahan dan Analisa 61

Data............................................... 61

H. Etika 65

Penelitian................................................................................. 67

BAB IV HASIL 67

PENELITIAN……………………………………………..

A. Analisa Univariat…………………………………….…………. 68

1. Karakteristik Responden…………………...…………………. 68

2. Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI….……………. 69

B. Analisa Bivariat……………………………………………..

……... 70

1. Hubungan antara Usia dengan Tingkat Pengetahuan…….. 70

…… 78

2. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat

Pengetahuan………………………………………….. 80

………..

3. Hubungan antara Lama Bekerja dengan Tingkat 82

Pengetahuan…………………………………………………...

. 84

4. Hubungan antara Kepemilikan Sertifikat dengan Tingkat

Pengetahuan……. 86

xiii
……………………………………………... 87

BAB V 90

PEMBAHASAN…………………………………………………….. 90

A. Gambaran Karakteristik Demografi Responden……………. 91

……..

B. Gambaran Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI….

……..

C. Hubungan Antara Usia dengan Tingkat Pengetahuan tentang

CAUTI………………………….……………...……………..……

D. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat

Pengetahuan tentang CAUTI…………………...

……………….....

E. Hubungan Antara Lama Bekerja dengan Tingkat Pengetahuan

tentang CAUTI…….

……………………………………………….

F. Hubungan Antara Kepemilikan Sertifikat dengan Tingkat

Pengetahuan tentang CAUTI…...…………………………………

G. Keterbatasan Penelitian………………………….………………...

BAB VI KESIMPULAN DAN

SARAN…………………………………….

A. Kesimpulan…………………………………...……………………

B. Saran……………………………….………………………………

DAFTAR PUSTAKA

xiv
LAMPIRAN

xv
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

Gambar
1 Kerangka Teori 38
2 Kerangka Konsep 39

xvi
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

Tabel
3.1 Definisi Operasional Penelitian 44

3.2 Tingkat Reliabilitas Berdasarkan Nilai Alpha 52

3.3 Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov 57

4.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di 61

ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta

4.2 Distribusi Frekuensi Usia Responden di ICU dan 62

ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta

4.3 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden 62

di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta

4.4 Distribusi Frekuensi Lama Bekerja Responden di 63

ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta

4.5 Distribusi Frekuensi Jabatan Responden di ICU dan 63

ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta

4.6 Distribusi Frekuensi Kepemilikan Sertifikat terkait 64

Infeksi Nosokomial maupun Perawatan Intensif

Responden di ICU dan ICVCU RSUD Dr.

Moewardi Surakarta

4.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Perawat 64

tentang CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr.

xvii
Moewardi Surakarta

4.8 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Perawat 65

tentang CAUTI Berdasarkan Karakteristik

Responden di ICU dan ICVCU RSUD Dr.

Moewardi Surakarta

4.9 Hubungan antara Usia dengan Tingkat Pengetahuan 66

Perawat tentang CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD

Dr. Moewardi Surakarta

4.10 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan 67

Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI di

ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta

4.11 Hubungan antara Lama Bekerja dengan Tingkat 67

Pengetahuan Perawat tentang CAUTI di ICU dan

ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta

4.12 Hubungan antara Kepemilikan Sertifikat terkait 68

Infeksi Nosokomial maupun Perawatan Intensif

dengan Tingkat Pengetahuan Perawat tentang

CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi

Surakarta

DAFTAR SINGKATAN

xviii
ARDS Acute Respiratory Distress Syndrome 
CAUTI Catheter-Associated Urinary Tract Infection
CLAB Central Line-Associated Bloodstream Infection
GAG Glikosaminoglikan
ICU Intensive Care Unit
ILO Infeksi Luka Operasi
IN Infeksi Nosokomial
INICC International Nosocomial Infection Control Consortium
ISK Infeksi Saluran Kemih
UTI Urinary Tract Infection
VAP Ventilator-Associated Pneumonia
WHO World Health Organization

xix
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Keterangan

Lampiran
1 Waktu Pelaksanaan Penelitian
2 Permohonan Ijin Pengkajian Data Awal Proposal

Penelitian
3 Permohonan Uji Expert Kuesioner Penelitian

4 Permohonan Uji Validitas dan Reliabilitas

Kuesioner Penelitian

5 Perijinan Uji Validitas Kuesioner Penelitian

6 Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian

7 Hasil Reliabilitas Instrumen Penelitian

8 Ethical Clearance

9 Permohonan Ijin Penelitian

10 Pengantar Penelitian

11 Permohonan Penelitian

12 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

13 Kuesioner Penelitian

14 Hasil SPSS Penelitian

xx
Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Semarang, Juli 2014

ABSTRAK

Triarini Warawirasmi
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Perawat tentang
Catheter-Associated Urinary Tract Infections di Intensive Care Unit

Catheter-Associated Urinary Tract Infections (CAUTI) merupakan salah satu bentuk


infeksi yang berkaitan dengan pemakaian kateter yang dapat meningkatkan angka
kematian, perpanjangan waktu rawat di rumah sakit, dan peningkatan biaya yang
dikeluarkan selama perawatan. Tingkat pengetahuan perawat terkait CAUTI dapat
mempengaruhi sikap perawat dalam pencegahan CAUTI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
pengetahuan perawat tentang Catheter-Associated Urinary Tract Infections (CAUTI).
Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dan teknik pengambilan sampel
dengan total sampling. Total responden berjumlah 52 perawat.

Hasil penelitian menunjukkan prosentase terbanyak adalah responden berjenis kelamin


wanita (73,1%), memasuki usia dewasa awal (71,2%), berpendidikan DIII Keperawatan
(53,8%), memiliki masa kerja >10 tahun (38,5%), bekerja sebagai perawat pelaksana
(73,1%), dan memiliki sertifikat pelatihan (51,9%). Responden yang memiliki
pengetahuan baik yaitu sebanyak 27 responden (51,9%) dan 25 responden (48,1%)
memiliki pengetahuan kurang. Hasil uji chi square diperoleh faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI adalah lama bekerja (p
value=0,003). Sedangkan, faktor yang tidak memiliki pengaruh adalah usia (p
value=0,020), tingkat pendidikan (p value=0,416), dan kepemilikan sertifikat (p
value=0,262).

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik


tentang CAUTI. Lama bekerja dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan responden
tentang CAUTI. Berdasarkan hasil tersebut diharapkan setiap perawat untuk senantiasa
meningkatkan pengetahuan tentang CAUTI, baik melalui pelatihan, workshop, atau
seminar.

Kata Kunci: CAUTI, pengetahuan perawat, faktor yang mempengaruhi

xxi
School of Nursing
Faculty of Medicine
Diponegoro University
Semarang, July 2014

ABSTRACT

Triarini Warawirasmi
Factors Affecting Nurses Knowledge Level about Catheter-Associated
Urinary Tract Infections in Intensive Care Units

Catheter-Associated Urinary Tract Infections (CAUTI) is one form of infection


associated with the use of catheters that can increase mortality, extra time of
hospital stay, and costs incurred during treatment. Therefore, the level of nurses'
knowledge related to CAUTI may affect attitudes of nurses in the prevention of
CAUTI.

This study aims to determine the factors that may affect the level of nurses'
knowledge about Catheter-Associated Urinary Tract Infections (CAUTI). This
study uses cross-sectional method and total sampling techniques. Total of
respondent are 52 nurses.

The results showed that the highest percentage of respondents were female
(73.1%), early adulthood (71.2%), Diploma degree (53.8%), have length of work
> 10 years (38.5%), working as nurses associate (73.1%), and have a certificate of
training (51.9%). There were 27 respondents (51.9%) who have a good
knowledge and 25 respondents (48.1%) have less knowledge. Factors that affect
the level of nurses' knowledge is working experience (p value = 0.003).
Meanwhile, there is no influence of age (p value = 0.020), education level (p
value = 0.416), and a certificate of ownership (p value = 0.262) with the level of
nurses' knowledge about CAUTI.

In conclusion, the majority of critical nurse in Moewardi Hospital had a good


knowledge of CAUTI. Working experience affect the level of knowledge. It is
recommended for nurses to continuously increase the knowledge of CAUTI for
the better, either through training, workshops, or seminars.

Keywords: CAUTI, nurses' knowledge, factors that affect

xxii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang

mandiri, dengan staf dan perlengkapan yang khusus ditujukan untuk

observasi perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit akut,

cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial

mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih

reversible.1 Pasien-pasien kritis dengan sakit berat atau dengan kondisi medis

tidak stabil yang memerlukan pemantauan kontinu serta pengelolaan fungsi

sistem organ tubuh secara terkoordinasi akan mendapatkan perawatan total di

ICU.1,2

Kelompok pasien dalam ICU perlu dipantau secara khusus untuk

mengevaluasi dan menjaga kestabilan kondisi kesehatannya secara periodik,

dimana pemantauan tersebut harus didasarkan pada pelayanan yang

profesional dan berkualitas dengan mengedepankan keselamatan pasien,

sehingga setiap perawatan yang diberikan harus menjunjung tinggi prinsip-

prinsip sterilitas.1 Pemantauan yang dilakukan antara lain adalah pemantauan

dari fungsi miksi, yaitu memantau pengeluaran urin setiap jam serta

menentukan perubahan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien

1
2

buang air kecil. Pemantauan fungsi miksi tersebut dilakukan dengan

menggunakan kateter mengingat kondisi pasien ICU dengan bedrest total.3

Kateterisasi perkemihan adalah tindakan memasukkan selang karet atau

plastik melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan air

kemih yang terdapat di dalamnya.4 Tindakan ini harus dilakukan

menggunakan prinsip steril karena terdapat resiko bahaya masuknya

mikroorganisme ke dalam kandung kemih. 5 Pemasangan kateter akan

menurunkan sebagian besar daya tahan pada saluran kemih bagian bawah

dengan menyumbat saluran di sekeliling uretra, mengiritasi mukosa kandung

kemih dan menimbulkan jalur masuknya kuman ke dalam kandung kemih

yang dapat menyebabkan urinary tract infection (UTI).3

Urinary tract infection pasca kateterisasi merupakan salah satu bentuk

infeksi nosokomial yang berkaitan dengan pemakaian kateter dan sistem

drainase kemih atau prosedur atau peralatan urologis lainnya. Kurang lebih

80% UTI nosokomial disebabkan oleh penggunaan kateter uretra. 6,7 Hal ini

dapat menimbulkan tanda dan gejala pada pasien, seperti demam, nafsu

makan menurun, kencing tidak lancar, jumlah koloni bakteri dalam kultur

urin menunjukkan 100.000 CFU /mL atau lebih, adanya leukosit, yeast, dan

pertumbuhan jamur pada preparat sampel urin.8–10 Kejadian UTI terkait

kateterisasi pada pasien rawat inap tersebut juga dapat meningkatkan angka

kematian secara substansial, hal ini terkait dengan terjadinya urosepsis.7,11,12

Selain itu, kejadian tersebut bertanggungjawab atas 10-15% perpanjangan


3

waktu rawat di rumah sakit, dimana hal tersebut berkaitan dengan

peningkatan biaya yang dikeluarkan selama perawatan.9,11,13

Infeksi saluran kemih masih merupakan masalah umum di dalam

praktik pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit.

International Nosocomial Infection Control Consortium (INICC) melaporkan

bahwa pada tahun 2004-2009, tingkat infeksi saluran kemih terkait dengan

penggunaan kateter (CAUTI) adalah 6,3% dalam 1000 penggunaan kateter

per hari. Tingkat terjadinya UTI tersebut merupakan urutan ketiga setelah

tingkat terjadinya pneumonia terkait ventilator (VAP) dan infeksi aliran darah

(CLAB) di 36 negara di benua Amerika Latin, Asia, Afrika, dan Eropa.14

Tingginya infeksi setelah pemasangan kateter dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu lamanya penggunaan kateter; jenis kelamin, pada wanita

mempunyai resiko yang lebih besar daripada pria karena uretra wanita lebih

pendek dan lebih dekat dengan rektal; usia, lansia dan anak-anak beresiko

lebih besar; penyakit yang telah ada; dan penggunaan antibiotik dalam jangka

waktu panjang. Hal tersebut juga dapat sebagai akibat dari kurangnya

pengontrolan dan praktik perawatan dalam pemeliharaan kateter pada

penderita yang memerlukan pemasangan kateter yang lama. 6,15–18 Prosentase

kejadian infeksi nosokomial saluran kemih pada responden yang terpasang

dower kateter dan dilakukan perawatan kateter yang kurang, lebih besar

dibandingkan dengan responden yang dilakukan perawatan dengan kualitas

yang cukup dan baik.19


4

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sebuah rumah sakit di Kota

Semarang, diperoleh hasil bahwa kejadian infeksi nosokomial saluran kemih

masih ditemukan pada kualitas perawatan kateter yang baik, yaitu sebesar

22,22%. Sedangkan, pada tingkat kualitas perawatan kateter cukup, angka

kejadian infeksi sedikit lebih tinggi 4,45%, yaitu sebesar 26,67%. Angka ini

semakin meningkat mencapai tiga kali lipat (83,33%) pada tingkat kualitas

perawatan kateter yang kurang.19 Dari hasil penelitian tersebut, dapat

disimpulkan bahwa kualitas perawatan kateter berpengaruh terhadap kejadian

infeksi saluran kemih pada pasien yang terpasang kateter. Data PPI sebuah

rumah sakit di Kota Semarang pada tahun 2012 juga menunjukkan angka

kejadian UTI berada pada urutan kedua terbanyak setelah infeksi luka operasi

(7,56%), yaitu sebesar 6,25%.

Peran perawat dalam pencegahan CAUTI sangat penting, karena rata-

rata setiap harinya 7-8 jam perawat melakukan kontak dengan pasien,

sehingga peluang CAUTI yang terjadi akibat kontak pasien dengan perawat

cukup besar. Peran perawat dalam mengikuti pelatihan dan pendidikan terkait

CAUTI dapat meningkatkan pengetahuan perawat yang juga akan

meningkatkan kinerja dan sikap perawat.20,21 Hal ini selaras dengan hasil

sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dapat

mempengaruhi sikap.22,23 Jadi, pengetahuan dan pemahaman perawat yang

cukup terkait CAUTI serta pencegahan CAUTI akan mempengaruhi sikap

perawat terhadap pencegahan terjadinya CAUTI pada pasien. Namun, belum


5

terdapat penelitian yang terkait dengan pengetahuan perawat tentang CAUTI

yang dapat mempengaruhi sikap.

Berdasarkan teori Notoatmodjo disebutkan bahwa tingkat pengetahuan

seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti pendidikan, pengalaman,

sumber informasi, lingkungan, dan usia. Hal ini didukung oleh penelitian

yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

(pendidikan, pengalaman, dan sumber informasi) berhubungan secara

keseluruhan dengan tingkat pengetahuan.24

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi

Surakarta, menjelaskan bahwa semua pasien ICU wajib terpasang kateter

karena kaitannya dengan pemantauan balance cairan pasien, kecuali pada

pasien sadar yang menolak untuk terpasang kateter. Perawat menjelaskan

bahwa perawatan kateter pada pasien di ICU masih kurang. Menurut

beberapat perawat di ICU dan ICVCU, perawatan kateter hanya dilakukan

dengan mengganti kateter setiap tujuh hari sekali tanpa ada perawatan yang

lain. Disamping itu, terdapat perawat yang menyatakan bahwa terdapat protap

(SOP) perawatan kateter, namun jarang ada perawat yang melaksanakan

prosedur sesuai SOP yang ada. Pendidikan perawat terendah di ICU dan

ICVCU RSUD Dr. Moewardi adalah DIII Keperawatan.

B. Perumusan Masalah

Angka kejadian UTI akibat dari pemasangan kateter banyak terjadi pada

pasien rawat inap maupun pasien yang menjalani perawatan intensif di ICU.
6

Hal ini mengindikasikan bahwa kurangnya tindakan, baik dalam prosedur

pemasangan kateter yang benar maupun tindakan perawatan kateter yang

dilakukan oleh perawat dalam pencegahan terjadinya CAUTI. Sikap dan

kinerja perawat yang kurang dalam perawatan kateter tersebut, dapat

dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh perawat.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya didapatkan bahwa pendidikan,

pengalaman, dan sumber informasi mempengaruhi tingkat pengetahuan. Studi

pendahuluan yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta didapatkan

fenomena bahwa terdapat tingkat pendidikan yang beragam pada perawat

ICU dan ICVCU, dan tingkat pendidikan terendah adalah DIII Keperawatan.

Mengingat adanya berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi

tingkat pengetahuan seseorang, maka rumusan masalah yang dapat diambil

dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana tingkat pengetahuan perawat dan apa

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat tentang

Catheter-Associated Urinary Tract Infections di RSUD Dr. Moewardi

Surakarta?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat

pengetahuan perawat tentang Catheter-Associated Urinary Tract

Infections (CAUTI).
7

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan karakteristik perawat yang meliputi jenis kelamin,

usia, tingkat pendidikan, lama bekerja menjadi perawat, jabatan

struktural, dan kepemilikan sertifikat terkait pelatihan infeksi

nosokomial maupun sertifikat perawatan intensif.

b. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI.

c. Mengidentifikasi hubungan antara usia dengan tingkat pengetahuan

perawat tentang CAUTI.

d. Mengidentifikasi hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat

pengetahuan perawat tentang CAUTI.

e. Mengidentifikasi hubungan antara lama bekerja dengan tingkat

pengetahuan perawat tentang CAUTI.

f. Mengidentifikasi hubungan antara kepemilikan sertifikat terkait

pelatihan infeksi nosokomial maupun perawatan intensif dengan

tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi:

1. Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi pada rumah sakit

tentang tingkat pengetahuan perawat dan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi tingkat pengetahuan mengenai CAUTI. Sehingga, dapat

dijadikan landasan dalam merancang strategi pencegahan CAUTI.


8

2. Perawat

Sebagai bahan masukan, khususnya bagi perawat dalam

mengevaluasi tingkat pengetahuan terkait CAUTI dan praktik

pencegahan terjadinya CAUTI pada pasien yang terpasang kateter.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan informasi mengenai tingkat pengetahuan perawat di

rumah sakit terkait CAUTI dan faktor-faktor yang berpengaruh. Hal ini

berfungsi agar institusi pendidikan mempunyai fokus dalam memperkaya

khasanah teori peserta didik khususnya dalam hal CAUTI, sehingga dapat

menghasilkan perawat yang professional nantinya.

4. Bagi Peneliti

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menambah wawasan di

bidang keperawatan dan memberikan gambaran mengenai tingkat

pengetahuan perawat tentang CAUTI serta sebagai data awal untuk

penelitian selanjutnya, misalnya sebagai data awal untuk penelitian yang

bertujuan untuk mengetahui keefektifan seminar dalam meningkatkan

tingkat pengetahuan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

Tinjauan teori berisi mengenai teori-teori yang berkaitan dengan

topik/masalah penelitian. Tinjauan teori dalam penelitian ini meliputi teori

mengenai CAUTI dan pengetahuan yang diambil dari berbagai literatur.

Buku, artikel penelitian, dan hasil riset keperawatan dijadikan sebagai

literatur dalam penelitian ini.

1. Catheter-Associated Urinary Tract Infection (CAUTI)

Seorang pasien yang masuk rumah sakit untuk menjalani perawatan

tentu berharap mendapat kesembuhan atau perbaikan penyakitnya,

setidaknya mendapat keringanan keluhannya. Namun, ada kalanya,

terutama pada pengidap penyakit kronik atau yang keadaan umumnya

buruk, justru seorang pasien acap terkena infeksi baru yang menyebabkan

penyakitnya bertambah berat dan mungkin menyebabkan kematian.

Infeksi yang didapat di rumah sakit tersebut dikenal sebagai Infeksi

Nosokomial (IN).25

Angka infeksi nosokomial pada suatu rumah sakit yang mempunyai

ICU akan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah sakit yang tidak

mempunyai ICU. Kejadian infeksi nosokomial juga lebih tinggi di rumah

sakit pendidikan oleh karena lebih banyak dilakukan tindakan

pemeriksaan (diagnostik) dan pengobatan yang bersifat invasif.25–27

9
10

Dari penelitian klinis, IN terjadi terutama disebabkan karena infeksi

dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran napas, infeksi kulit,

infeksi luka operasi, dan septikemia. Infeksi nosokomial merupakan suatu

problem besar yang banyak terjadi di ruang perawatan intensif pada kasus

pasca bedah dan kasus dengan pemakaian/pemasangan infus dan kateter

lama.25

Lebih dari 25% dari pasien rawat inap di rumah sakit menggunakan

kateter uretra dan hampir 100% dari pasien yang mendapat perawatan di

Critical Care Unit atau Intensive Care Unit terpasang kateter selama

perawatannya, meskipun terkadang pasien terpasang kateter tanpa

indikasi yang tepat. Hal ini merupakan penyebab hingga 80% dari infeksi

saluran kemih berhubungan dengan penggunaan kateter jangka

panjang.14,28,29 Infeksi saluran kemih terkait kateter (CAUTI) yang dapat

meningkatkan pengeluaran biaya rumah sakit dan berhubungan dengan

peningkatan morbiditas dan mortalitas, merupakan kejadian infeksi

nosokomial tertinggi ketiga setelah ventilator-associated pneumonia

(VAP) dan central line-associated bloodstream infection (CLAB).14,28

Pemasangan kateter jangka panjang pada pasien merupakan faktor

risiko utama untuk CAUTI. Penggunaan kateter indwelling yang lama

memungkinkan akses berkelanjutan organisme ke dalam kandung kemih.

Analisis multivariat telah menekankan bahwa durasi kateterisasi

merupakan faktor risiko yang paling penting dalam menimbulkan

bakteriuria terkait kateter.29


11

a. Definisi

Spesimen urin yang memperlihatkan bakteri >105 CFU/mL

ditetapkan sebagai kriteria bakteriuria pada pasien yang terpasang

kateter uretra.10,19 Diagnosis UTI yang disebabkan oleh penggunaan

kateter uretra ditegakkan apabila dalam kultur urin terdapat 100

CFU/mL kuman atau lebih. Mikroorganisme yang diidentifikasi

dalam urin pada pasien yang menggunakan kateter uretra dapat

berkembang cepat dengan konsentrasi kuman >105 CFU/mL dalam

waktu 72 jam jika tidak menggunakan antibiotik.7,28,30

Mikroorganisme patogen yang menyebabkan infeksi traktus

urinarius yang berkaitan dengan kateter mencakup: Escherichia coli,

Klebsiella, Proteus, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter,

Serratia, Candida spp, dan Enterococcus spp.3,31,32 Banyak

mikroorganisme ini merupakan bagian dari flora endogenus atau flora

usus normal, atau didapat melalui kontaminasi silang oleh pasien atau

petugas rumah sakit atau melalui kontak dengan peralatan yang tidak

steril.3

b. Patogenesis

Terbentuknya UTI yang disebabkan oleh penggunaan kateter

uretra terjadi secara bertahap. Pemasangan kateter akan menurunkan

sebagian besar daya tahan alami pada traktus urinarius inferior

dengan menyumbat duktus periuretralis, mengiritasi mukosa kandung

kemih dan menimbulkan jalur artifisial untuk masuknya kuman ke


12

dalam kandung kemih. Pada pasien yang menggunakan kateter,

mikroorganisme dapat menjangkau traktus urinarius melalui tiga

lintasan utama, yaitu: 1) dari uretra ke dalam kandung kemih pada

saat kateterisasi; 2) melalui jalur dalam lapisan tipis cairan uretra

yang berada di luar kateter ketika kateter dan membran mukosa

bersentuhan; 3) cara yang paling sering, melalui migrasi ke dalam

kandung kemih di sepanjang lumen internal kateter setelah kateter

terkontaminasi.3

Kateter uretra juga dapat menghambat atau memotong

mekanisme pertahanan tertentu yang biasanya akan mencegah atau

meminimalkan interaksi sel bakteri-epitel, misalnya lapisan

glikosaminoglikan (GAG) dan pembentukan biofilm. Biofilm

merupakan kumpulan mikroorganisme pada suatu permukaan yang

dikelilingi matrik ekstraseluler terbuat dari material terutama

polisakarida. Biofilm menyebabkan mikroorganisme melekat pada

permukaan kateter uretra.30,33

Bakteri dapat masuk ke saluran kemih pada pasien yang

terpasang kateter secara ekstraluminer dengan inokulasi langsung

pada saat pemasangan kateter atau dengan migrasi pada selubung

seperti lendir di sekeliling permukaan luar kateter uretra. Hal ini,

terutama sering terjadi pada pasien dengan kebersihan perineum dan

uretra distal yang kurang. Koloni bakteri perineum akan naik ke

uretra setelah pemasangan kateter uretra.7,33


13

Bakteri juga dapat masuk pada kateter uretra melalui jalan

intraluminer yang terjadi karena kegagalan sistem drainase tertutup

atau kontaminasi kantong penampung urin. Bakteri yang masuk

seringkali merupakan hasil transmisi silang dari tangan orang yang

merawat. Jalan intraluminer menunjukkan pendakian bakteri yang

lebih cepat (32-48 jam) daripada ekstraluminal (72-168 jam).

Kantong drainase urin umumnya menjadi terkontaminasi saat

dilakukan pembukaan reguler saat mengalirkan urin maupun

penempatan kantong drainase yang tidak tepat. Bakteri yang terdapat

pada kantong drainase urine tersebut dapat bermigrasi pada kateter,

kemudian dapat masuk ke dalam kandung kemih. Pemutusan kateter

dari tabung drainase juga telah terbukti menyebabkan kontaminasi

dari sistem.33

c. Manifestasi Klinis

Pasien yang mengalami CAUTI akan mengalami demam (suhu >

38oC), menggigil, perubahan status mental, malaise atau kelesuan

yang terjadi ketika infeksi memburuk, nyeri pinggang, nyeri

suprapubik, dan rasa terbakar selama berkemih (disuria) ketika urin

mengalir melalui jaringan yang meradang setelah kateter dilepas.

Kandung kemih yang teriritasi menyebabkan timbulnya sensasi ingin

berkemih yang mendesak dan sering. Iritasi pada kandung kemih dan

mukosa uretra menyebabkan darah bercampur dalam urin


14

(hematuria). Urin tampak pekat dan keruh (lekosituria) karena adanya

sel darah putih atau bakteri.4,9,34,35

Tanda dan gejala yang lainnya yaitu terdapat perasaan nikuria

(anyang-anyangan), biakan urin porsi tengah (midstream) > 105

kuman per ml urin dengan jenis kuman tidak lebih dari 2 spesies,

analisis dipstick positif atau leukosit esterase (leukosit ≥ 3/LPB atau

≥ 10 leukosit per ml.26

d. Faktor Resiko

Diketahui terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan

kejadian infeksi saluran kemih pada pasien yang terpasang kateter,

yaitu faktor yang berhubungan dengan usia, jenis kelamin, lama

pemasangan, diagnosa penyakit, prosedur pemasangan dan perawatan

kateter, ukuran kateter, dan kebersihan ruangan.3,4,15–18,25,33,36

1) Usia

UTI dapat terjadi pada semua kalangan, baik pada bayi, anak-

anak, remaja, dewasa, maupun pada usia lanjut. Namun, pada

pasien bayi dan pasien dengan karakteristik usia lanjut merupakan

pasien yang beresiko tinggi, karena berhubungan dengan

kerentanan terhadap infeksi.

2) Jenis kelamin

Dari kedua jenis kelamin antara wanita dan pria, ternyata

wanita lebih sering dari pria dengan angka populasi umum kurang

lebih 5-15%. Hal ini dipengaruhi oleh faktor anatomi, dikarenakan


15

uretra wanita lebih pendek dan terletak lebih dekat pada anus dan

perubahan hormonal yang mempengaruhi pelekatan bakteri pada

mukosa. Sedangkan, uretra laki-laki bermuara saluran kelenjar

prostat dan sekret prostat dikenal sebagai anti bakteri yang kuat.

3) Lamanya terpasang kateter

Lamanya pasien terpasang kateter sangat berpengaruh

terhadap timbulnya UTI. Apalagi apabila kateter dipasang tanpa

alasan yang tepat dan pelepasan kateter yang tidak dilakukan

meskipun indikasi berakhir. Hal ini dikarenakan kateter dapat

menimbulkan terjadinya iritasi mukosa uretra dan sebagai pintu

masuk mikroorganisme, sehingga semakin lama kateter terpasang

menetap, akan semakin tinggi resiko terjadinya UTI.

4) Diagnosa penyakit

Pasien dengan diagnosa penyakit infeksi juga beresiko tinggi

terjadinya infeksi saluran kemih pada pemasangan kateter. Begitu

juga pada pasien dengan penyakit kronis, daya tahan tubuh yang

menurun, dan penggunaan imunosupresan. Pasien diabetes sangat

beresiko karena peningkatan kadar glukosa dalam urin

menyebabkan suatu infeksi akibat lingkungan pada traktus

urinarius. Kehamilan dan gangguan neurologi juga meningkatkan

resiko UTI karena kondisi ini menyebabkan pengosongan

kandung kemih yang tidak lengkap dan stasis urin.3,37


16

5) Prosedur pemasangan dan perawatan kateter

Prosedur pemasangan dan perawatan kateter harus sesuai

dengan standar yang telah ditentukan. Resiko terjadinya UTI akan

semakin tinggi apabila prosedur pemasangan kateter dan

perawatan kateter menetap tidak dilakukan sesuai dengan standar.

6) Ukuran kateter

Trauma uretra harus diminimalkan dengan menggunakan

pelumas yang adekuat dan menggunakan kateter yang paling

kecil. Ukuran kateter yang terlalu besar dan ketat dalam meatus

dapat menyebabkan nekrosis pada meatus, sehingga dianjurkan

menggunakan ukuran kateter sekecil mungkin tetapi aliran tetap

lancar dan tidak ada kebocoran dari samping. Semakin besar

ukuran kateter dan semakin ketat kateter terpasang dalam meatus

semakin meningkatkan resiko terjadinya UTI.

7) Kebersihan ruangan

Kejadian infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh kuman

yang berasal dari benda atau bahan tidak bernyawa yang berada di

ruangan perawatan. Semakin bersih kondisi ruangan akan semakin

kecil resiko terjadinya infeksi nosokomial, termasuk UTI.

e. Pencegahan CAUTI

Tingkat CAUTI yang tinggi dapat dicegah dengan

memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan pemasangan dan

perawatan kateter urin, yaitu:


17

1) Peningkatan fokus pada CAUTI

Penelitian terbaru menunjukkan pencegahan CAUTI telah

menjadi prioritas rendah dibandingkan dengan jenis infeksi lain

yang didapat di rumah sakit. Hal ini ditunjukkan dengan banyak

rumah sakit yang belum mempunyai strategi dasar dalam

pencegahan CAUTI. Peningkatan perhatian pada infeksi saluran

kemih terkait kateter (CAUTI) dan pencegahannya akan

meningkatkan perawatan pasien, sehingga akan mengurangi

resiko terjadinya CAUTI. Salah satu upaya dalam meningkatkan

fokus terkait CAUTI adalah dengan meningkatkan kinerja para

pemberi perawatan, yaitu:28,38

a) Kepatuhan terhadap program pendidikan maupun pelatihan

terkait kateter.

b) Kepatuhan dalam mendokumentasikan tanggal pemasangan

dan pelepasan kateter.

c) Kepatuhan terhadap dokumentasi indikasi untuk pemasangan

kateter.

2) Mengurangi pemasangan/penggunaan kateter yang tidak perlu

Kateterisasi dapat diindikasikan untuk berbagai alasan.

Apabila waktu kateterisasi pendek dan upaya meminimalkan

infeksi merupakan suatu prioritas, maka metode kateterisasi

intermiten adalah yang terbaik. Sedangkan, kateterisasi menetap


18

digunakan jika diperlukan pengosongan kandung kemih dalam

jangka panjang.39

Indikasi pemasangan kateter, yaitu:39,40

a) Indikasi kateterisasi intermiten

(1) Tidak mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi.

(2) Retensi akut setelah trauma uretra.

(3) Tidak mampu berkemih akibat obat sedatif atau

analgesik.

(4) Cedera tulang belakang.

(5) Degenerasi neuromuskular secara progresif.

(6) Untuk mengeluarkan urine residual.

b) Indikasi kateterisasi indwelling

(1) Pasien memiliki retensi urin akut atau obstruksi kandung

kemih.

(2) Penggunaan perioperatif untuk prosedur bedah yang

dipilih:

(a) Pasien yang menjalani operasi urologi atau lainnya

pada struktur yang berdekatan saluran genitourinari.

(b) Diduga durasi operasi berkepanjangan, kateter

dimasukkan karena alasan ini harus dihapus dalam

unit perawatan post anesthesia.

(c) Pasien diantisipasi untuk menerima infus volume

besar atau diuretik selama operasi.


19

(d) Perlu untuk pemantauan intraoperatif output urin.

(3) Obstruksi uretra.

(4) Inkontinensia dan disorientasi berat.

(5) Perlu untuk pengukuran yang akurat dari output urin pada

pasien kritis.

(6) Untuk membantu penyembuhan luka terbuka sakral atau

perineal pada pasien inkontinensia.

(7) Pasien memerlukan imobilisasi lama (misalnya, toraks

atau lumbar tulang belakang berpotensi tidak stabil,

beberapa luka-luka traumatis seperti patah tulang

panggul).

(8) Untuk meningkatkan kenyamanan bagi perawatan pasien

end of life jika diperlukan.

CAUTI dapat dikurangi dengan intervensi yang memfasilitasi

penghapusan pemasangan kateter yang tidak perlu. Penggunaan

kateter yang sesuai:28,38,40–42

a) Penggunaan kateter hanya untuk indikasi yang tepat.

(1) Meminimalkan penggunaan kateter urin dan jangka

waktu penggunaan pada semua pasien, terutama pasien

yang berisiko tinggi untuk terkena CAUTI atau kematian

akibat kateterisasi seperti perempuan, orang tua, dan

pasien dengan kekebalan tubuh yang menurun.


20

(2) Menghindari penggunaan kateter urin pada pasien usia

lanjut untuk manajemen inkontinensia.

(3) Menggunakan kateter urin pada pasien operasi hanya

seperlunya, tidak secara rutin.

(4) Untuk pasien operasi yang diindikasikan terpasang

kateter, pelepasan kateter sesegera mungkin pasca operasi

dalam waktu 24 jam dianjurkan, kecuali terdapat indikasi

yang tepat untuk penggunaan kateter jangka panjang.

b) Mempertimbangkan untuk menggunakan alternatif untuk

kateterisasi indwelling pada pasien tertentu pada saat yang

tepat.

(1) Mempertimbangkan untuk menggunakan kateter

eksternal sebagai alternatif pada pasien laki-laki tanpa

retensi urin atau obstruksi kandung kemih.

(2) Mempertimbangkan alternatif untuk kateter indwelling

kronis, seperti kateter kondom, kateter suprapublik, dan

kateterisasi intermiten (pada pasien cedera tulang

belakang).

(3) Kateterisasi intermiten lebih baik digunakan pada pasien

dengan disfungsi dalam mengosongkan kandung kemih.

(4) Mempertimbangkan kateterisasi intermiten pada anak-

anak dengan myelomeningocele dan kandung kemih


21

neurogenik untuk mengurangi risiko kerusakan saluran

kemih.

Sistem drainase tertutup merupakan tindakan yang esensial

dilakukan apabila pemasangan kateter indwelling tidak bisa

dihindari. Sistem drainase ini harus dirancang untuk mencegah

agar kateter yang sudah terpasang tidak lepas dan dengan

demikian akan mengurangi resiko kontaminasi. Sistem seperti ini

dapat terdiri atas kateter indwelling, saluran konektor, dan

kantong penampung urin yang dikosongkan melalui katup

drainase, atau kateter indwelling triple-lumen yang dihubungkan

dengan sistem drainase tertutup yang steril. Pada kateter triple-

lumen, drainase urin terjadi melalui satu saluran, balon untuk

menahan kateter dikembangkan dengan menyemprotkan air steril

atau udara lewat saluran kedua, dan kandung kemih secara

kontinyu diirigasi dengan larutan antibakteri melalui saluran

ketiga.3,4

3) Penggunaan teknik yang tepat dalam pemasangan kateter33,41

a) Cuci tangan sebelum dan segera setelah insersi atau

manipulasi perangkat kateter.

b) Pemasangan kateter hanya dikerjakan oleh tenaga yang betul-

betul memahami dan terampil dalam teknik pemasangan

kateter secara aseptik dan perawatan kateter.


22

c) Melakukan pemasangan kateter urin menggunakan teknik

aseptik dan peralatan steril.

(1) Menggunakan sarung tangan steril, tirai, spons, cairan

steril atau antiseptik yang tepat untuk pembersihan

periuretral, dan penggunaan pelumas jelly untuk

pemasangan.

(2) Penggunaan rutin pelumas antiseptik tidak diperlukan.

d) Menjaga kateter indwelling dengan benar untuk mencegah

gerakan dan traksi uretra dengan memfiksasi kateter.

e) Melakukan kateterisasi secara berkala untuk mencegah

kelebihan distensi kandung kemih apabila menggunakan

kateterisasi intermiten.

f) Mempertimbangkan dalam menggunakan perangkat

ultrasound portabel untuk menilai volume urin dan

mengurangi insersi kateter yang tidak perlu pada pasien yang

menjalani kateterisasi intermiten.

4) Perawatan kateter yang tepat

Kateter urin antimikroba dapat mencegah bakteriuria pada

pasien rawat inap selama kateterisasi jangka pendek, tergantung

pada lapisan antimikroba dan beberapa variabel lain dibandingkan

dengan kateter standar.42 Kateterisasi urin dilakukan dengan

memasukkan selang karet atau plastik melalui uretra ke dalam

kandung kemih untuk mengeluarkan air kemih yang terdapat di


23

dalamnya.4Kateterisasi dapat menjadi tindakan yang

menyelamatkan jiwa, khususnya bila traktus urinarius tersumbat

atau pasien tidak mampu melakukan urinasi maupun apabila

pasien tidak mampu mengontrol perkemihan. Kateter juga

menjadi alat untuk mengkaji haluaran urin per jam pada pasien

yang status hemodinamiknya tidak stabil.3,4

Teknik yang tepat dalam perawatan kateter urin adalah:26,33,41

a) Setelah pemasangan kateter dengan sistem aseptik,

pertahankan sistem drainase tertutup. Jika dalam penggunaan

teknik aseptik terhenti atau kebocoran terjadi, ganti kateter

dan kumpulkan semua peralatan dengan menggunakan teknik

aseptik dan peralatan steril.

b) Mempertahankan aliran urin agar tidak terhalang.

(1) Menjauhkan urine bag di bawah tingkat kandung kemih

setiap saat. Jangan meletakkan urine bag di lantai.

(2) Mengosongkan urine bag secara teratur menggunakan

wadah terpisah, membersihkan wadah pengumpul urin

untuk setiap pasien, menghindari cipratan, dan mencegah

kontak keran kantong drainase (urine bag) dengan wadah

pengumpul urin non steril.

c) Menggunakan standar kewaspadaan, termasuk penggunaan

sarung tangan dan celemek yang sesuai dalam setiap

manipulasi kateter atau pengumpulan urin.


24

d) Sistem drainase kemih Complex (memanfaatkan mekanisme

untuk mengurangi masuknya bakteri seperti katrid rilis

antiseptik di drainase urin) tidak diperlukan untuk penggunaan

rutin.

e) Mengganti kateter atau urin bag secara rutin. Interval yang

tetap tidak dianjurkan. Sebaliknya, disarankan untuk

mengganti kateter dan urin bag berdasarkan indikasi klinis,

seperti infeksi, obstruksi, atau ketika sistem tertutup

dikompromikan.

f) Kecuali ada indikasi klinis (misalnya, pada pasien dengan

bakteriuria atas penghapusan pasca bedah urologi kateter),

penggunaan antimikroba sistemik secara rutin untuk

mencegah CAUTI pada pasien yang membutuhkan

kateterisasi, baik jangka panjang maupun pendek tidak

diperlukan.

g) Membersihkan daerah periuretral dengan antiseptik untuk

mencegah CAUTI selama terpasang kateter tidak dianjurkan.

Kebersihan rutin (misalnya, pembersihan permukaan meatus

saat mandi) menggunakan sabun dan air adalah cara yang

tepat untuk membersihkan daerah periuretral.

h) Kecuali obstruksi diantisipasi (misalnya, yang mungkin terjadi

dengan perdarahan setelah operasi prostat atau kandung

kemih) irigasi kandung kemih tidak dianjurkan. Jika obstruksi


25

diantisipasi, irigasi terus menerus tertutup disarankan untuk

mencegah obstruksi.

i) Irigasi rutin kandung kemih dengan antimikroba tidak

dianjurkan. Irigasi hanya dilakukan apabila diperkirakan

terdapat sumbatan aliran misalnya karena bekuan darah pada

operasi prostat atau kandung kemih. Gunakan semprit besar

steril untuk irigasi dan setelah irigasi selesai semprit dibuang

secara aseptik. Jika keteter sering tersumbat dan harus sering

diirigasi, maka kateter harus diganti.

j) Penggunaan rutin solusi antiseptik atau antimikroba ke dalam

urine bag tidak dianjurkan.

k) Klem kateter sebelum melepas kateter tidak diperlukan.

5) Memperhatikan penggunaan bahan kateter

Pemilihan kateter yang berbahan tepat bertujuan untuk

menunda timbulnya bakteriuria dan untuk mencegah perlekatan

dan pertumbuhan bakteri.

a) Mempertimbangkan untuk menggunakan antimikroba/

antiseptik kateter.

b) Hidrofilik kateter mungkin lebih baik daripada kateter standar

untuk pasien yang memerlukan kateterisasi intermiten.

c) Kateter berbahan silicone lebih baik digunakan pada pasien

yang memerlukan kateterisasi jangka panjang untuk

mengurangi risiko kerak pada kateter.


26

6) Manajemen Obstruksi

Tidak ada konsensus mengenai waktu di mana perubahan

kateter rutin harus dilakukan. Periode yang lebih pendek mungkin

diperlukan jika ada kerusakan atau kebocoran kateter. Secara

umum, kateter jangka panjang harus diganti sebelum

penyumbatan terjadi atau mungkin terjadi. Waktu penggunaan

kateter indwelling berbeda pada setiap pasien. Beberapa pasien

membentuk deposito di lumen kateter sangat cepat. Orang-orang

ini ('blocker') perlu memiliki kateter perubahan lebih sering

daripada 'non-blocker', yaitu mingguan atau bahkan dua kali

seminggu.

7) Specimen Collection

a) Mendapatkan sampel urin secara aseptik.

b) Bahan pemeriksaan urin segar dalam jumlah kecil dapat

diambil dari bagian distal kateter, atau jika lebih baik dari

tempat pengambilan bahan yang tersedia, dan sebelum urin

diaspirasi dengan jarum dan semprit yang steril, tempat

pengambilan harus didesinfektasi.

c) Bila diperlukan volume besar urin untuk analisis khusus, maka

urin harus diambil secara aseptik dari kantong drainase.

d) Kultur urin rutin pada pasien dengan kateter asimtomatik tidak

dianjurkan.
27

f. Peran perawat

Peran perawat dalam pengendalian infeksi adalah menyediakan

layanan konsultasi mengenai semua aspek pencegahan dan

pengendalian infeksi dengan menggunakan metode yang berdasarkan

bukti penelitian, praktisi, dan keefektifan biaya.43 Pelaksanaan praktik

asuhan keperawatan untuk pengendalian infeksi nosokomial adalah

bagian dari peran perawat.44

WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired

Infection menyatakan bahwa peran perawat pelaksana dalam

pengendalian infeksi nosokomial yaitu: (1) menjaga kebersihan

rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan

praktik keperawatan; (2) pemantauan teknik aseptik termasuk cuci

tangan dan penggunaan isolasi; (3) melapor kepada dokter jika ada

masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian

layanan kesehatan; (4) melakukan isolasi jika pasien menunjukkan

tanda-tanda dari penyakit menular; (5) membatasi paparan pasien

terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, staf rumah sakit,

pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau

asuhan keperawatan; (6) mempertahankan keamanan peralatan, obat-

obatan, dan perlengkapan perawatan di ruangan dari penularan infeksi

nosokomial.44

2. Pengetahuan
28

a. Definisi

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang

diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan

yang dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. 45 Pengetahuan adalah

hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia

untuk memahami suatu objek yang dihadapinya, hasil usaha manusia

untuk memahami suatu objek tertentu.46

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah

seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yaitu indera

penglihatan, pendengaran, penghidu, perasa, dan peraba. Tetapi,

sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat

penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).47

b. Proses Adopsi Perilaku

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku

yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebelum seseorang mengadopsi

perilaku yang baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut

terjadi proses yang berurutan, yaitu:47

1) Timbul kesadaran (awareness), yakni orang tersebut menyadari

(mengetahui) stimulus terlebih dahulu.


29

2) Ketertarikan (interest), yakni orang tersebut mulai tertarik kepada

stimulus.

3) Mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation), yakni

sikap orang tersebut sudah lebih baik lagi.

4) Mulai mencoba (trial), yakni orang tersebut memutuskan untuk

mulai mencoba perilaku baru.

5) Mengadaptasi (adoption), yakni orang tersebut telah berperilaku

baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya

terhadap stimulus.

Apabila penerimaan baru atau adopsi perilaku melalui proses

seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang

positif, maka perilaku tersebut akan bertahan lama (long lasting).

Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan

kesadaran, maka tidak akan berlangsung lama.

c. Tingkatan Pengetahuan

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai

enam tingkatan sebagai berikut:47,48

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai pengingat akan suatu materi yang

telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan

tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang

spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang

telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat


30

pengetahuan paling rendah. Ukuran bahwa seseorang tahu tentang

apa yang dipelajari, adalah ia dapat: menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, dan menyatakan. Contohnya, seorang perawat

dapat menyebutkan cara pencegahan CAUTI.

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang

telah paham terhadap objek atau materi tersebut harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, dan menyimpulkan objek

yang dipelajari. Contohnya, seorang perawat dapat menjelaskan

kepada pasien mengapa harus makan makanan yang bergizi pada

masa postpartum.

3) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan

hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip dalam konteks atau

situasi yang lain. Contohnya, seorang peneliti dapat menggunakan

rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian.

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di


31

dalam satu struktur objek tersebut dan masih ada kaitannya satu

sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari ukuran

kemampuan, seperti dapat menggambarkan, membuat bagan,

membedakan, memisahkan, dan mengelompokkan.

5) Sintesis (synthetic)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu

bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah

suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-

formulasi yang telah ada. Pada tingkatan ini, seseorang dapat

menyusun, merencanakan, meringkaskan, dan menyesuaikan

terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

Contohnya, seorang mahasiswa dapat meringkas materi kuliah

menjadi intisarinya.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Penilaian-penilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria yang

ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah

ada. Contohnya, seorang mahasiswa keperawatan dapat

membedakan asuhan keperawatan yang baik dan benar pada

penderita pascaoperasi apendiktomi.


32

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-

faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan, antara lain:24,49–51

1) Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha untuk mempengaruhi orang lain

melalui kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan

kemampuan yang berlangsung seumur hidup sehingga mereka

dapat melakukan apa yang diharapkan. Dari batasan ini, terdapat

unsur-unsur pendidikan yakni: input yang meliputi obyek

pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan pendidik

(subyek pendidikan); proses (upaya yang direncanakan untuk

mempengaruhi orang lain); dan output (meningkatknya

pengetahuan). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka

akan semakin tinggi pula tingkat kemampuan orang tersebut

menangkap informasi.

2) Pengalaman

Pengetahuan dapat terbentuk dari pengalaman dan ingatan

yang didapat sebelumnya. Seorang anak akan memperoleh

pengetahuan bahwa apa itu panas adalah setelah memperoleh

pengalaman tangan atau kakinya terkena panas. Seorang perawat

akan melakukan upaya pencegahan terhadap suatu penyakit

setelah salah satu rekannya tertular penyakit tertentu.


33

3) Sumber informasi

Sumber informasi selalu berkaitan dengan pengetahuan, baik

dari orang yang menerima maupun media yang digunakan dalam

menyampaikan. Sumber informasi dari seseorang akan

mempengaruhi pengetahuan seseorang, yang dipengaruhi antara

lain: masyarakat, baik teman bergaul maupun tenaga kesehatan.

Kemajuan teknologi yang ada saat ini juga sangat

memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi yang ada.

Masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan informasi melalui

media massa, seperti televisi, koran, radio, maupun internet.

Sumber informasi ini akan mampu meningkatkan tingkat

pengetahuan seseorang dalam upaya peningkatan pengetahuan.

4) Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar

individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial.

Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan

ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini

terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang

akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

5) Usia

Usia berpengaruh terhadap daya tangkap dan pola pikir

seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang


34

pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang

diperolehnya semakin membaik.

e. Sumber Pengetahuan Keperawatan

Menurut Moule dan Goodman, pengetahuan dalam ilmu

keperawatan bersumber pada berbagai sumber yang melakukan

pengembangan bidang keperawatan, seperti pengetahuan ilmiah dari

penelitian para ahli, pengalaman perawat, serta pemahaman individu

dari seorang profesi perawat.

Pengalaman kerja perawat dapat berasal dari intuisi atau trik

yang dilakukan oleh perawat dalam melaksanakan praktik sehari-hari.

Pengetahuan yang berasal dari pengalaman intuisi dan trik dapat

dibangun melalui pengetahuan personal (personal knowledge).

Pengetahuan personal merupakan pengetahuan yang berasal dari

intuisi dan pengalaman pribadi terkait dengan berbagai situasi dan

kejadian-kejadian tertentu dalam praktik keperawatan.

3. Penelitian Terkait

a. Preventing Catheter-Associated Urinary Tract Infection in the Zero-

Tolerance Era52

Penelitian yang dilakukan oleh Alexandre R. Marra, MD, Thiago

Zinsly Sampaio Camargo MD, et.al ini bertujuan untuk menguji

pengaruh dari serangkaian intervensi yang diimplementasikan dalam

ICU dan SDU untuk mengurangi kejadian CAUTI dan untuk

menganalisis perbedaan tingkat CAUTI dan mikroorganisme


35

penyebab CAUTI dalam 2 tahap studi. Penelitian ini dilakukan ke

dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan antara Juni 2005 dan

Desember 2007 dengan menerapkan beberapa Centers for Disease

Control dan praktek berbasis bukti pencegahan yang disarankan.

Sedangkan, tahap kedua dilakukan antara Januari 2008 dan Juli 2010

dengan melakukan intervensi untuk meningkatkan kepatuhan dengan

praktek intervensi dan peneliti menerapkan bundle kandung kemih

untuk semua ICU dan pasien SDU yang membutuhkan kateter urin.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya penurunan yang

signifikan secara statistik pada tingkat CAUTI di ICU, dari 7,6 per

1.000 kateter-hari sebelum intervensi menjadi 5,0 per 1.000 kateter-

hari setelah intervensi dan juga terdapat penurunan yang signifikan

secara statistik pada tingkat CAUTI di SDU, dari 15,3 per 1.000

kateter-hari sebelum intervensi menjadi 12,9 per 1.000 kateter-hari

setelah intervensi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

mengurangi tingkat CAUTI dalam ICU dan SDU merupakan proses

yang kompleks yang melibatkan beberapa ukuran kinerja dan

intervensi yang dapat diterapkan.

b. Indwelling urinary catheter management and catheter-associated

urinary tract infection prevention practices in Nurses Improving Care

for Healthsystem Elders hospitals53

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kepatuhan perawat

terhadap praktek-praktek pencegahan CAUTI yang berkaitan dengan


36

intervensi keperawatan, termasuk manajemen kandung kemih,

perawatan dan pengawasan kateter menetap (IUC). Penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan survei elektronik untuk memeriksa

praktek-praktek perawatan IUC untuk pencegahan CAUTI di 3

bidang: (1) peralatan, alternative, penyisipan, dan pemeliharaan

teknik; (2) personil, kebijakan, pelatihan, dan pendidikan; dan (3)

dokumentasi, pengawasan, dan pengingat penghapusan pada 75

rumah sakit perawatan akut dalam sistem Nurses Improving Care for

Healthsystem Elders (NICHE).

Praktek-praktek pencegahan CAUTI yang dilakukan adalah

mengenakan sarung tangan, mencuci tangan, mempertahankan

penghalang steril, dan menggunakan teknik steril (no-touch) dalam

penyisipan kateter. Perawatan meatus uretra diberikan setiap hari oleh

43% dari rumah sakit dan lebih sering diberikan oleh 41% dari rumah

sakit.

Berdasarkan penelitian ini didapatkan hasil bahwa terdapat

praktik-praktik dalam upaya pencegahan CAUTI yang ditekankan di

rumah sakit yang didasarkan pada bukti-bukti klinis. Namun, masih

adanya hambatan-hambatan dalam menerapkan praktik-praktik

pencegahan tersebut. Sehingga, diperlukan penelitian lebih lanjut

untuk menyelidiki hambatan-hambatan tersebut.


37

c. Hubungan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan dengan

Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Perubahan Fisik dan

Psikososial Pada Masa Pubertas Di SMU Negeri 2 Medan24

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan faktor-faktor

yang mempengaruhi pengetahuan dengan tingkat pengetahuan remaja

tentang perubahan fisik dan psikososial pada masa pubertas di SMU

Negeri 2 Medan dengan menggunakan desain deskripsi korelasi.

Sampel penelitian diambil dari siswa siswi SMU Negeri 2 Medan

sebanyak 102 orang dimana sampel dibagi menjadi tiga tingkatan

yaitu kelas 1, 2 dan 3 dengan masing-masing 34 orang. Untuk

menganalisa hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi

pengetahuan dengan tingkat pengetahuan remaja tentang perubahan

fisik dan psikososial pada masa pubertas digunakan metode analisis

korelasi regresi linear ganda.

Hasil analisis regresi linier ganda dengan metode backward

dalam penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi pengetahuan (pendidikan, pengalaman, dan sumber

informasi) berhubungan secara keseluruhan dengan tingkat

pengetahuan remaja.
38

B. Kerangka Teori

Faktor-faktor yang Faktor Resiko CAUTI


mempengaruhi tingkat 1. Faktor kateter
pengetahuan Ukuran kateter
1. Pendidikan (tingkat 2. Faktor lingkungan
pendidikan) Kebersihan
2. Pengalaman (lama 3. Faktor pasien
bekerja) Usia, jenis kelamin,
3. Sumber informasi diagnosa medis
(kepemilikan
sertifikat)
4. Lingkungan (jabatan
struktural) Kateteri
5. Usia sasi

Tingkat pengetahuan Catheter-


perawat tentang Sikap Associated
prosedur pemasangan perawat Urinary
kateter, prosedur dalam Tract
perawatan kateter, dan pencegahan Infection
penetapan lamanya CAUTI (CAUTI)
terpasang kateter

Gambar 1: Kerangka Teori3,4,11,20,24

C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dibuat berdasarkan kerangka teori dengan variabel

penelitian dan hubungan yang akan diteliti sebagai acuan penyusunan metode

penelitian. Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai

berikut.
39

Karakteristik Responden
Usia Tingkat pengetahuan perawat
Tingkat pendidikan ICU tentang Catheter-
Lama bekerja Associated Urinary Tract
Infection (CAUTI)
Kepemilikan sertifikat

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2: Kerangka Konsep

D. Hipotesis

1. Ada hubungan antara usia dengan tingkat pengetahuan perawat tentang

CAUTI.

2. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan

perawat tentang CAUTI.

3. Ada hubungan antara lama bekerja dengan tingkat pengetahuan perawat

tentang CAUTI.

4. Ada hubungan antara kepemilikan sertifikat terkait pelatihan infeksi

nosokomial maupun pelatihan perawatan intensif dengan tingkat

pengetahuan perawat tentang CAUTI.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif non eksperimental.

Sedangkan, desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian

deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik adalah penelitian yang

bertujuan untuk menjelaskan pengaruh antara variabel independen dengan

variabel dependen dengan pendekatan yang telah dirumuskan.55,56 Metode

penelitian ini perlu dilakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan,

seberapa besar hubungan dan pengaruh antar variabel yang ada. Oleh karena

itu, pada penelitian ini perlu adanya hipotesis.57

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan

pendekatan cross-sectional study. Pendekatan cross-sectional adalah

pendekatan dimana variabel-variabelnya diobservasi sekaligus pada waktu

yang sama pada sampel penelitian yang merupakan bagian dari populasi.55,58

Sedangkan, jenis penelitian yang digunakan adalah non experimental dengan

explanatory research design, yaitu memantau dan mengamati objek yang

diteliti dengan menggunakan instrumen penelitian yang berupa

kuesioner.55,56,59

40
41

B. Populasi Penelitian

Populasi adalah setiap subjek yang memenuhi kriteria yang telah

ditetapkan.60 Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari subjek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh perawat ICU dan ICVCU di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta yang berjumlah 53 perawat, dengan jumlah perawat ICU

sebanyak 30 orang dan perawat ICVCU sebanyak 23 orang.

C. Sampel Penelitian

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian

jumlah dari karakteristik yang dimiliki populasi dan dianggap mewakili

seluruh populasi.55 Teknik sampling merupakan suatu proses seleksi sampel

yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah

sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada.61

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan total sampling atau pengambilan sampel jenuh, yaitu

menggunakan seluruh populasi penelitian sebagai sampel penelitian. 57

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang

bekerja di ruang ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, yaitu

berjumlah 53 perawat.

Supaya hasil penelitian sesuai dengan tujuan, maka penentuan sampel

yang dikehendaki harus sesuai dengan kriteria tertentu yang ditetapkan.


42

Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan memperhatikan kriteria

inklusi dan eksklusi.60 Kriteria inklusi adalah karakteristik yang umum pada

subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan

diteliti, dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam sampel penelitian

yang memenuhi syarat sebagai sampel.61 Namun, tidak ada kriteria inklusi

dalam penelitian ini karena semua karakteristik perawat dapat dijadikan

sampel penelitian.

Kriteria eksklusi merupakan kriteria untuk menghilangkan subjek yang

tidak memenuhi kriteria inklusi dari studi karena beberapa alasan. Kriteria

eksklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili

sampel karena tidak memenuhi syarat penelitian, menolak menjadi partisipan

atau suatu keadaan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penelitian.57

Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah perawat yang sedang mengambil

cuti atau mengikuti pelatihan saat penelitian dilakukan.

Terdapat seorang perawat yang termasuk dalam kriteria eksklusi

dikarenakan sedang mengambil cuti. Sehingga, sampel dalam penelitian ini

berjumlah 52 perawat.

D. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi

Surakarta. Waktu penelitian dilakukan setelah mendapatkan ijin dari tempat

penelitian yang dituju. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 30 Mei sampai 4

Juni 2014.
43

E. Variabel Penelitian

1. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah sifat atau karakteristik subyek penelitian

yang bertransformasi atau berubah dari satu subyek ke subyek yang lain.62

a. Variabel Independen (Bebas)

Variabel independen adalah variabel yang nilainya menentukan

variabel lain, dengan kata lain variabel independen merupakan

variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel

dependen. Variabel bebas akan diamati dan diukur untuk diketahui

hubungannya atau pengaruhnya terhadap variabel lain.55,57 Variabel

independen dalam penelitian ini adalah karakteristik responden, yaitu

usia, tingkat pendidikan, lama bekerja, jabatan struktural, dan

kepemilikan sertifikat.

b. Variabel Dependen (Terikat)

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau

menjadi akibat karena variabel independen, variabel ini tergantung

pada variabel independen terhadap perubahan.55,62 Variabel dependen

dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan perawat ICU tentang

Catheter-Associated Urinary Tract Infection (CAUTI).

2. Variabel Penelitian, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran


44

Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian


Definisi Hasil Skala
Variabel Alat Ukur
Operasional Ukur Ukur
A. Variabel
Independen
Karekteristik
Responden
1. Jenis Istilah yang Kuesioner 1. Pria Nominal
kelamin mengacu pada data 2. Wanita
status biologis demografi
responden,
terdiri dari
tampilan fisik
yang
membedakan
antara pria
dengan wanita.

Lamanya waktu Kuesioner 1. Dewasa Nominal


2. Usia hidup yang data Awal
terhitung sejak demografi (21-35
responden tahun)
dilahirkan 2. Dewasa
sampai waktu Tengah
saat menghitung (36-55
umur. tahun)
3. Dewasa
Akhir
(> 55
tahun)
Suatu kondisi Kuesioner Ordinal
jenjang data 1. Diploma
3. Tingkat pendidikan yang demografi (DIII)
pendidikan dilimiliki 2. Sarjana
responden (DIV,
melalui S1,
pendidikan Ners)
formal. 3. S2 Nominal
Lamanya waktu Kuesioner 4. S3
yang responden data
lalui untuk demografi 1. < 5
4. Lama bekerja menjadi tahun
bekerja perawat di 2. 5-10
rumah sakit. tahun
3. > 10 Ordinal
45

Kedudukan Kuesioner tahun


responden di data
tempat ia demografi
bekerja. 1. Kepala
5. Jabatan ruang
struktural 2. Ketua Nominal
Sertifikat Kuesioner tim
pelatihan terkait data 3. Perawat
infeksi demografi pelaksana
nosokomial,
kateter maupun 1. Ya
6. Kepemilikan perawatan 2. Tidak
sertifikat intensif yang
dimiliki
responden.

Ordinal
Pengetahuan Kuesioner
merupakan hasil yang terdiri
pemahaman atau dari 43
B. Variabel penalaran pertanyaan
Dependen perawat terhadap dengan nilai Mampu
Pengetahuan obyek atau 1 untuk menjawab
Perawat materi tertentu jawaban benar:
tentang yang dalam hal benar dan 0 1. Baik,
CAUTI ini adalah untuk jika x >
pengetahuan jawaban median
perawat tentang salah. Median=
Catheter- 30,5
Associated 2. Kurang,
Urinary Tract jika x <
Infection median
(CAUTI) yang Median=
meliputi definisi, 30,5
etiologi, faktor
resiko,
manifestasi
klinis, dan
pencegahan
CAUTI.

F. Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

1. Alat Penelitian
46

Alat penelitian atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini

adalah menggunakan kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan

tertulis yang telah dirancang dan disusun oleh peneliti yang digunakan

untuk memperoleh informasi dari responden.55,63 Kuesioner yang

digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner yang belum baku,

karena merupakan kuesioner yang dibuat secara pribadi oleh peneliti dan

belum pernah digunakan dalam penelitian. Lembar kuesioner yang

digunakan terdiri dari dua bagian, yaitu:

a. Kuesioner I

Lembar kuesioner pertama berisi kode responden dan data

demografi yang meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan,

lama bekerja, jabatan responden, dan kepemilikan sertifikat.

b. Kuesioner II

Lembar kuesioner kedua berisi pertanyaan terkait CAUTI.

Tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI diukur dengan

pertanyaan dalam bentuk kuesioner sebanyak 43 soal yang dibagi

dalam dua tipe. Tipe pertama berisi 26 pernyataan mengenai definisi,

etiologi, faktor resiko, manifestasi klinis, dan pencegahan CAUTI

dengan pilihan jawaban “benar” dan “salah”. Tipe yang kedua hanya

berisi 17 pertanyaan mengenai pencegahan CAUTI dengan tipe

jawaban memilih jawaban yang paling benar. Setiap jawaban yang

benar akan diberi skor 1 dan yang salah diberi skor 0.


47

Pernyataan nomor 1 hingga 4 adalah pernyataan tentang definisi

CAUTI. Pernyataan nomor 5 hingga 12 merupakan pernyataan yang

terkait dengan etiologi CAUTI. Pernyataan tentang faktor resiko

terjadinya CAUTI terdapat pada nomor 13 hingga 19. Pernyataan

tentang manifestasi klinis CAUTI pada nomor 20 hingga 24.

Sedangkan, untuk pernyataan nomor 25 dan 26, serta pertanyaan

nomor 27 hingga 43 merupakan soal tentang pencegahan CAUTI.

Proses pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan

kuesioner tertutup. Kuesioner tertutup merupakan suatu kuesioner yang

dibuat sedemikian rupa, sehingga responden atau sampel penelitian hanya

memilih atau menjawab pertanyaan pada jawaban yang telah tersedia.57

Penentuan tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI didasarkan

pada suatu kriteria. Item penilaian tingkat pengetahuan perawat

menggunakan skala Guttman. Skala Guttman merupakan skala yang

bersifat tegas dan konsisten dengan memberikan jawaban yang tegas

seperti jawaban dan pertanyaan/pernyataan: ya dan tidak, positif dan

negatif, setuju dan tidak setuju, benar dan salah.62 Item penilaian

menggunakan skala Guttman dilakukan dengan menginterpretasikan

nilai, apabila skor benar nilainya 1 dan apabila salah nilainya 0.

Pengkategorian tingkat pengetahuan dibagi menjadi dua pilihan penilaian

berdasarkan nilai median,55 yaitu dikategorikan baik jika jawaban benar

responden > median dan dikategorikan kurang jika jawaban benar <

median.
48

2. Uji Validitas dan Reliabilitas

Data dalam penelitian merupakan penggambaran variabel yang

diteliti, sehingga data yang diajukan harus bermutu. Benar tidaknya data,

tergantung dari baik tidaknya instrumen pengumpul data, dan instrumen

yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yang valid dan

reliabel.55

a. Uji validitas

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini belum pernah

digunakan, sehingga harus diuji terlebih dahulu. Validitas adalah

pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen

dalam pengumpulan data.60 Sebuah instrumen harus dapat mengukur

apa yang seharusnya diukur.

Uji validitas digunakan untuk mengetahui apakah alat ukur yang

digunakan dapat diterima sesuai standar. Suatu kuesioner dikatakan

valid atau handal apabila jawaban seseorang terhadap pertanyaan

adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu.60 Uji validitas dalam

penelitian ini menggunakan construct validity, yaitu dengan

menggunakan analisis item dengan mengkorelasikan skor tiap butir

(item) pertanyaan dengan skor total yang merupakan jumlah tiap butir

pertanyaan.

Peneliti menggunakan content validity (uji expert) untuk

mengukur kevalidan pada instrument penelitian. Uji expert ini

dilakukan dengan mengonsultasikan kuesioner kepada ahli (expert)


49

minimal dua orang ahli, untuk mendapatkan tanggapan atas instrumen

yang dibuat. Saran dari ahli dapat berupa tanpa perbaikan, dengan

perbaikan atau dirombak total.60 Uji expert pada penelitian ini

dilakukan oleh 3 ahli, yaitu Wahyu Hidayati, S.Kp., M.Kep, Sp.KMB

dan Ns. Susana Widyaningsih, S.Kep., MNS selaku dosen

Keperawatan UNDIP, serta Ns. Ari Setiajati, S.Kep., M.Kes selaku

clinical expert.

Uji expert pertama dilakukan kepada Ns. Ari Setiajati, S.Kep.,

M.Kes untuk menghilangkan pilihan SPK pada data demografi

tingkat pendidikan dan merevisi kalimat pada pertanyaan yang

dianggap sukar untuk dipahami. Uji expert kedua dengan Ns. Susana

Widyaningsih, S.Kep., MNS yaitu dengan menghilangkan pilihan

SPK dan menghilangkan pertanyaan yang tidak relevan, serta

merevisi kalimat pertanyaan agar menjadi pertanyaanan yang sangat

relevan. Uji expert ketiga dengan Ibu Wahyu Hidayati, S.Kp., M.Kep,

Sp.KMB dengan mengganti kalimat pada pernyataan nomor 13 agar

lebih mudah dipahami dan mengganti kata resiko dengan risiko pada

pernyataan nomor 14 dan 15.

Rata-rata skor S-CVI (content validity index for the scale) dari

hasil uji expert kuesioner kepada 3 ahli adalah 0,92 dan rata-rata skor

I-CVI (item-level content validity index) adalah 0,94.

Setelah dilakukan uji expert, peneliti melakukan pilot study yaitu

menguji cobakan instrumen penelitian kepada 20 responden perawat


50

ICU dan ICCU di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Hal ini dikarenakan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

memiliki persamaan karakteristik dengan RSUD Dr. Moewardi

Surakarta, yaitu mempunyai persamaan jenis ICU, yakni sama-sama

memiliki jenis ICU tersier.

Jumlah perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta berjumlah 53

orang dengan 30 orang bekerja di ICU dan 23 orang di ICVCU yang

disertai dengan kapasitas 14 tempat tidur pasien (53:14). Sedangkan,

perawat RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto berjumlah 45

orang, yaitu 16 orang bekerja di ICU dan 14 orang di ICCU dengan

19 kapasitas tempat tidur pasien (45:19). Selain itu, terdapat

kesamaan latar belakang pendidikan perawat di kedua rumah sakit

tersebut, yaitu perawat ICU dan ICVCU didominasi dengan perawat

lulusan diploma (D3).

Kemudian, validitas instrumen diuji dengan menggunakan rumus

Pearson Product Moment.51,62

r xy =n ( ∑ XY )−¿¿

Keterangan:

rxy = koefisien korelasi suatu butir/item

n = jumlah subjek

X = skor suatu butir/item

Y = skor total
51

Instrumen akan dikatakan valid, apabila rhitung > rtabel dengan taraf

signifikansi α = 0,05 dan rtabel pada α = 0,05 dengan n = 20 adalah

0,444. Setelah dilakukan uji pearson product moment diperoleh hasil

koefisien korelasi tiap item pertanyaan. Dari 49 pertanyaan tentang

CAUTI, hasil korelasi tiap pertanyaan diperoleh 8 item pertanyaan

tidak valid dimana 6 item pertanyaan dihilangkan dari kuesioner dan

2 item tetap dimasukkan ke dalam kuesioner. Hal tersebut

dikarenakan mengingat 2 item tersebut penting untuk disertakan

sebagai pertanyaan penelitian tentang pencegahan CAUTI. Sehingga,

jumlah pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner adalah 43 item.

b. Uji reliabilitas

Suatu alat pengukur dikatakan reliabel apabila dalam mengukur

suatu gejala pada waktu yang berlainan senantiasa menunjukkan hasil

yang sama. Alat yang reliabel secara konsisten memberi hasil dan

ukuran yang sama. Dalam penelitian ini, uji reliabilitas yang

digunakan adalah internal consistency, yaitu uji instrumen

diujicobakan sekali saja kemudian hasil yang diperoleh dianalisis

dengan teknik tertentu.55 Uji reliabilitas dalam penelitian ini diukur

dengan menggunakan metode koefisien Cronbach Alpha yang

dirumuskan:51,64

2
k ∑σb
R11 = ( )(
k −1
1−
V 2t )
Keterangan:
52

R11 = reliabilitas instrumen

K = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya item

∑ σ 2b = jumlah varian butir/item

V 2t = varian total

Jika koefisien cronbach alpha lebih besar daripada 0,6, maka

instrumen pengukuran yang digunakan tersebut reliabel dan dapat

digunakan untuk mengukur gejala yang sama dua kali atau lebih

dengan menggunakan kuesioner yang sama. Skala dikelompokkan

dalam lima kelas dengan range yang sama, yaitu:

Tabel 3.2 Tingkat Reliabilitas Berdasarkan Nilai Alpha


Alpha Tingkat Reliabilitas
0,00 – 0,20 Kurang reliabel
>0,20 – 0,40 Agak reliabel
>0,40 – 0,60 Cukup reliabel
>0,60 – 0,80 Reliabel
>0,80 – 1,00 Sangat reliabel

Hasil yang didapatkan setelah perhitungan reliabilitas pada 43

item pertanyaan tentang CAUTI dan pencegahannya diperoleh hasil

Alpha cronbach’s adalah 0,963 sehingga hasil tersebut menurut tabel

3.2 adalah sangat reliabel untuk dijadikan kuesioner pada responden

penelitian.

3. Metode Pengumpulan Data

a. Mengajukan permohonan izin pelaksanaan uji validitas kepada

Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro


53

untuk melakukan uji validitas di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto.

b. Membuat permohonan izin uji validitas kuesioner ke RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto.

c. Setelah mendapatkan izin untuk mengambil data dari RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto, peneliti memohon izin secara

langsung kepada kepala ruang ICU dan ICCU di RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto dengan menjelaskan maksud dan

tujuan pengambilan data.

d. Peneliti memberi penjelasan maksud dan tujuan peneliti kepada calon

responden, serta manfaat peran serta responden. Kemudian peneliti

memberi penjelasan tentang cara pengisian kuesioner, setelah itu

responden diberikan kuesioner untuk diisi.

e. Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian kepada Jurusan

Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro untuk

melakukan penelitian di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

f. Mengajukan permohonan pembuatan ethical clearance di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta pada tanggal 12 Mei 2014.

g. Mengajukan permohonan izin penelitian ke RSUD Dr. Moewardi

Surakarta setelah ethical clearance keluar pada tanggal 22 Mei 2014.

h. Setelah mendapatkan izin penelitian dari RSUD Dr. Moewardi

Surakarta, peneliti memohon izin secara langsung kepada kepala


54

ruang ICU dan ICVCU di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.

i. Peneliti memberi penjelasan maksud dan tujuan peneliti kepada calon

responden, serta manfaat peran serta responden.

j. Bagi calon responden yang bersedia untuk dijadikan responden,

diminta untuk menandatangani lembar persetujuan.

k. Peneliti memberi penjelasan tentang cara pengisian kuesioner,

kemudian responden diberikan kuesioner untuk diisi. Penyebaran

kuesioner dilakukan pada setiap shift (pagi, sore, dan malam) dengan

membagikan secara langsung kepada responden. Setelah responden

selesai melakukan pengisian kuesioner, peneliti meneliti kelengkapan

data responden dan jawaban kuesioner. Apabila, terdapat kuesioner

yang belum lengkap, responden diminta untuk melengkapi

kuesionernya. Pengumpulan kuesioner yang telah diisi oleh responden

ini dilakukan pada setiap akhir shift.

G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data diperoleh, maka langkah yang akan dilakukan oleh peneliti

yaitu melakukan:

1. Pengolahan data

Pengolahan data berfungsi untuk mengubah data menjadi bentuk

informasi yang dapat dipahami.63 Data yang telah didapatkan akan diolah

melalui beberapa tahap, yaitu:


55

a. Editing

Editing yaitu memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan

oleh responden. Dalam pelaksanaannya, peneliti memeriksa kembali

kelengkapan jawaban, yang diisi oleh responden. Editing digunakan

untuk meneliti pengisian pada data dasar, meliputi jenis kelamin,

umur, tingkat pendidikan, lama bekerja, jabatan responden, dan

pertanyaan mengenai pengetahuan CAUTI. Peneliti menanyakan

kembali kepada responden saat terdapat jawaban maupun data

demografi yang belum diisi oleh responden.

b. Coding

Coding adalah mengelompokkan jawaban-jawaban dari responden

ke dalam kategori. Pengelompokkan dilakukan dengan memberi tanda

pada masing-masing jawaban dengan kode berupa angka yang

selanjutnya dimasukkan dalam tabel komputer untuk mempermudah

pembacaan. Langkah pemberian kode ini adalah dengan memberikan

skor pada kuesioner dan kemudian diberikan kode sesuai dengan data

operasional.

c. Entry data

Entry data adalah kegiatan memasukkan data yang telah

dikumpulkan ke dalam master tabel database computer kemudian

dianalisa.

d. Tabulating
56

Data ditabulasikan ke dalam suatu tabel distribusi frekuensi yang

meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, lama bekerja,

jabatan, kepemilikan sertifikat, dan pertanyaan terkait CAUTI.

e. Clearing

Hal-hal yang penting dalam cek data adalah ada atau tidak adanya

data missing (data yang belum atau tidak tersedia ketika pengumpulan

data telah selesai), relevan dengan tujuan penelitian, dan seberapa

besar data tersebut menjawab pertanyaan penelitian. Pemeriksaan data

akan mempengaruhi pengolahan dan analisa data selanjutnya.

f. Mengeluarkan informasi

Data yang terkumpul kemudian ditampilkan sesuai dengan tujuan

penelitian yang dilakukan.

2. Analisa Data

Sebelum melakukan analisis data, peneliti melakukan uji normalitas

data dengan kolmogorov smirnov. Kriteria distribusi normal apabila

kriteria kemaknaan (nilai p) > 0,05. Hasil uji normalitas dapat

menunjukkan distribusi data, apabila terdistribusi normal maka kategori

berdasarkan mean, namun apabila terdistribusi tidak normal maka

pengkategorian berdasarkan nilai median. Adapun hasil dari analisis

distribusi data dan variabel adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3 Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov


Variabel Nilai p Keterangan
57

Distribusi Data
Usia 0,000 Tidak Normal
Tingkat Pendidikan 0,001 Tidak Normal
Lama Bekerja 0,001 Tidak Normal
Jabatan 0,000 Tidak Normal
Kepemilikan Sertifikat 0,000 Tidak Normal
Tingkat Pengetahuan 0,000 Tidak Normal

Berdasarkan uji normalitas kolmogorov-smirnov, sehingga untuk

tingkat pengetahuan berdistribusi tidak normal dalam pengkategoriannya

menggunakan nilai median yaitu 30,5, dimana tingkat pengetahuan

perawat yang baik apabila skor > median dan tingkat pengetahuan

perawat kurang apabila skor < median.

Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah:

a. Analisa Univariat (Analisa Deskriptif)

Analisa univariat menganalisis variabel-variabel yang ada secara

deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi dan prosentase

variabel, yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, lama bekerja,

jabatan, kepemilikan sertifikat terkait pelatihan infeksi nosokomial

maupun perawatan intensif, dan tingkat pengetahuan perawat tentang

CAUTI yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi dengan menganalisa variabel yang diteliti.

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan antara dua variabel yang meliputi variabel independen dan

variabel dependen.51 Dalam penelitian, analisa bivariat digunakan

untuk menggambarkan atau mendeskripsikan hubungan variabel


58

independen yang terdiri atas usia, tingkat pendidikan, lama bekerja,

jabatan, dan kepemilikan sertifikat dengan variabel dependen yaitu

tingkat pengetahuan perawat ICU tentang Catheter-Associated

Urinary Tract Infection (CAUTI).

Analisa bivariat dengan uji statistik chi-square untuk data

penelitian yang berupa data ordinal dengan ordinal, nominal dengan

nominal, maupun ordinal dengan nominal dengan rumus sebagai

berikut:62

2 ∑ ( fo−fh )2
x=
fh

Keterangan:

x2 = Chi kuadrat

fo = frekuensi yang diobservasi dalam kategori ke-1

fh = frekuensi yang diharapkan di bawah Ho dalam kategori

ke-1

Untuk mengetahui apakah terjadi hubungan yang signifikan

antara variabel independen dan variabel dependen, maka p value

dibandingkan dengan tingkat kesalahan yang digunakan yaitu 5% atau

0,05. Apabila p value < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang

berarti ada hubungan antara variabel independen dan variabel

dependen. Sebaliknya, apabila p value > 0,05, maka Ho diterima dan

Ha ditolak, yang berarti tidak ada hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen.


59

H. Etika Penelitian

Peneliti menerapkan etika penelitian dalam melakukan pengambilan data,

karena penelitian yang dilakukan berhubungan langsung dengan manusia,

maka etika penelitian harus diperhatikan karena manusia mempunyai hak

asasi dalam kegiatan penelitan. Etika penelitian tersebut meliputi:

1. Autonomy

Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden

penelitian dengan cara peneliti memberikan lembar persetujuan (informed

consent) kepada responden sebelum penelitian dilakukan. Tujuan

informed consent adalah agar partisipan mengerti maksud dan tujuan dari

penelitian dan mengetahui dampaknya. Jika partisipan bersedia, maka

mereka harus menandatangani lembar persetujuan dan jika tidak bersedia,

maka peneliti harus menghormati hak partisipan. Semua partisipan dalam

penelitian ini seluruhnya bersedia untuk dijadikan responden dalam

penelitian.

2. Anonimity (tanpa nama)

Penelitian ini menerapkan masalah etika dalam penelitian

keperawatan dengan cara tidak menuliskan nama ataupun inisial

partisipan pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode yang hanya

dimengerti oleh peneliti pada lembar pengumpulan data.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Peneliti memberikan jaminan kepada partisipan mengenai kerahasiaan

dari hasil penelitian baik informasi maupun masalah- masalah lainnya.


60

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

riset.
BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan mulai tanggal 30 Mei 2014 sampai

dengan 4 Juni 2014. Sampel dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja di

ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang berjumlah 52 orang. Hasil

penelitian yang disajikan pada bab ini berupa: karakteristik responden yang

meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, lama bekerja sebagai perawat,

jabatan dalam ICU maupun ICVCU, dan kepemilikan sertifikat terkait infeksi

nosokomial maupun perawatan intensif. Pada bab ini juga akan disajikan tingkat

pengetahuan responden tentang CAUTI serta hubungan karakteristik responden

dengan tingkat pengetahuan.

A. Analisa Univariat

1. Karakteristik Responden

a. Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden di ICU dan


ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)
Frekuensi Prosentase
Jenis Kelamin
(n) (%)
Pria 14 26,9
Wanita 38 73,1
Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan bahwa sebagian besar

responden berjenis kelamin wanita, yaitu sebanyak 38 responden

(73,1%), sedangkan 14 responden (26,9%) berjenis kelamin pria.

61
62

b. Usia

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Usia Responden di ICU dan ICVCU


RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)
Frekuensi Prosentase
Usia
(n) (%)
Dewasa Awal 37 71,2
Dewasa Tengah 15 28,8
Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh

dari jumlah responden memasuki usia antara 21 sampai 35 tahun

(dewasa awal), yaitu berjumlah 37 responden (71,2%), sisanya

memasuki usia dewasa tengah (36-55 tahun) yaitu 15 responden

(28,8%).

c. Tingkat Pendidikan

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden di ICU


dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014
(N=52)
Tingkat Frekuensi Prosentase
Pendidikan (n) (%)
DIII Keperawatan 28 53,8
DIV Keperawatan 4 7,7
S1 Keperawatan 13 25,0
Ners 7 13,5
Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan bahwa lebih dari separuh

responden berpendidikan diploma III Keperawatan, yaitu sebanyak 28

responden (53,8%). Kemudian, terdapat 4 responden (7,7%)

berpendidikan DIV Keperawatan, 13 responden (25%) berpendidikan

Sarjana Keperawatan, dan berpendidikan Ners berjumlah 7 responden

(13,5%).

d. Lama Bekerja
63

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Lama Bekerja Responden di ICU dan


ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)
Frekuensi Prosentase
Lama Bekerja
(n) (%)
<5 Tahun 18 34,6
5-10 Tahun 14 26,9
>10 Tahun 20 38,5
Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.4, diketahui bahwa hampir separuh dari

responden memiliki masa kerja lebih dari 10 tahun, yaitu berjumlah

20 responden (38,5%). Kemudian, diikuti dengan responden dengan

masa kerja kurang dari 5 tahun yang berjumlah 18 responden (34,6%)

dan sisanya memiliki masa kerja antara 5-10 tahun (26,9%).

e. Jabatan Struktural

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Jabatan Struktural Responden di ICU


dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014
(N=52)
Frekuensi Prosentase
Jabatan
(n) (%)
Kepala Ruang 2 3,8
Ketua Tim 12 23,1
Perawat Pelaksana 38 73,1
Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa mayoritas

responden bekerja sebagai perawat pelaksana, yaitu sebanyak 38

responden (73,1%). Sedangkan, 12 responden (23,1%) memiliki


64

jabatan sebagai ketua tim dan sisanya merupakan kepala ruang dari

ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang berjumlah 2

responden (3,8%).

f. Kepemilikan Sertifikat

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Kepemilikan Sertifikat terkait


Pelatihan Infeksi Nosokomial maupun Perawatan Intensif Responden
di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni
2014 (N=52)
Kepemilikan Frekuensi Prosentase
Sertifikat (n) (%)
Ya 27 51,9
Tidak 25 48,1
Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan bahwa lebih dari separuh

jumlah responden yang berpartisipasi dalam penelitian telah memiliki

sertifikat terkait infeksi nosokomial maupun perawatan intensif, yaitu

sebanyak 27 responden (51,9%). Sedangkan, sisanya tidak memiliki

sertifikat berjumlah 25 responden (48,1%).

2. Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Perawat tentang


CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4
Juni 2014 (N=52)
Frekuensi Prosentase
Tingkat Pengetahuan
(n) (%)
Baik 27 51,9
Kurang 25 48,1
Jumlah 52 100

Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan bahwa lebih dari separuh

responden memiliki tingkat pengetahuan pada kategori baik yaitu

sebanyak 27 responden (51,9%). Sedangkan, responden dalam kategori

pengetahuan yang kurang sebanyak 25 responden (48,1%).


65

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Perawat tentang


CAUTI Berdasarkan Karakteristik Responden di ICU dan ICVCU RSUD
Dr. Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)
Tingkat Pengetahuan
Jumlah
Komponen Baik Kurang
(n)
n (%) n (%)
Jenis Pria 14 5 (9,6) 9 (17,3)
Kelamin Wanita 38 22 (42,3) 16 (30,8)
Usia Dewasa Awal 37 23 (44,2) 14 (26,9)
Dewasa Tengah 15 4 (7,7) 11 (21,2)
Tingkat DIII Kep 28 13 (25) 15 (28,8)
Pendidikan DIV Kep 4 2 (3,8) 2 (3,8)
S1 Kep 13 6 (11,5) 7 (13,5)
Ners 7 5 (9,6) 2 (3,8)
Lama <5 tahun 18 15 (28,8) 3 (5,8)
Bekerja 5-10 tahun 14 6 (11,5) 8 (15,4)
>10 tahun 20 6 (11,5) 14 (26,9)
Jabatan Kepala Ruang 2 2 (3,8) 0
Struktural Ketua Tim 12 2 (3,8) 10 (19,2)
Perawat Pelaksana 38 23 (44,2) 15 (28,8)
Kepemilikan Ya 27 12 (23,1) 15 (28,8)
Sertifikat Tidak 25 15 (28,8) 10 (19,2)

Tabel 4.8 diatas merupakan tabel tingkat pengetahuan perawat

tentang CAUTI berdasarkan dengan jenis kelamin, usia, tingkat


66

pendidikan, lama bekerja, jabatan struktural, dan kepemilikan sertifikat

terkait pelatihan infeksi nosokomial maupun perawatan intensif. Dari 27

responden (51,9%) yang berpengetahuan baik, semua kepala ruang atau 2

responden (3,8%) termasuk ke dalam kategori tingkat pengetahuan yang

baik. Selain itu, 23 responden (44,2%) yang berpengetahuan baik

diantaranya merupakan perawat dengan jabatan sebagai perawat

pelaksana dan 2 responden (3,8%) adalah ketua tim.

Sedangkan, dari 25 responden (48,1%) yang berpengetahuan kurang

15 responden (28,8%) merupakan perawat pelaksana dan 10 responden

(19,2%) adalah perawat dengan jabatan sebagai ketua tim.

B. Analisa Bivariat

Pengujian hubungan dilakukan dengan menggunakan uji chi-square

dengan menghubungan karakteristik responden yang meliputi usia, tingkat

pendidikan, lama bekerja, dan kepemilikan sertifikat dengan tingkat

pengetahuan perawat tentang CAUTI.

1. Hubungan antara Usia dengan Tingkat Pengetahuan

Tabel 4.9 Hubungan antara Usia dengan Tingkat Pengetahuan Perawat


tentang CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 30
Mei-4 Juni 2014 (N=52)
Tingkat Pengetahuan
Usia Baik Kurang Total P
n % n % n % 0,020
Dewasa Awal 23 44,2 14 26,9 37 71,2
Dewasa Tengah 4 7,7 11 21,2 15 28,8
Total 27 51,9 25 48,1 52 100
67

Hasil uji chi-square pada tabel 4.9 didapatkan hasil P 0,020 < α 0,05,

maka ho diterima dan ha ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa

tidak ada hubungan antara usia dengan tingkat pengetahuan perawat

tentang CAUTI.

2. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Pengetahuan

Tabel 4.10 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat


Pengetahuan Perawat tentang CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr.
Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)
Tingkat Pengetahuan
Tingkat
Baik Kurang Total P
Pendidikan
n % n % n % 0,416
Diploma 16 30,7 12 23,1 28 53,8
Sarjana 11 21,2 13 25,0 24 46,2
Total 26 51,9 26 48,1 52 100

Hasil uji chi-square pada tabel 4.10 didapatkan hasil P 0,416 > α

0,05, maka ho diterima dan ha ditolak, sehingga dapat disimpulkan

bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat

pengetahuan perawat tentang CAUTI.

3. Hubungan antara Lama Bekerja dengan Tingkat Pengetahuan

Tabel 4.11 Hubungan antara Lama Bekerja dengan Tingkat Pengetahuan


Perawat tentang CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi
Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)

Tingkat Pengetahuan
Lama Bekerja Baik Kurang Total P
n % n % N % 0,003
<5 Tahun 15 28,3 3 38,5 18 34,6
5-10 Tahun 6 11,5 8 15,4 14 26,9
>10 Tahun 6 11,5 14 26,9 20 38,5
Total 27 51,9 25 48,1 52 100

Hasil uji chi-square pada tabel 4.11 didapatkan hasil P 0,003 < α

0,05, maka ho ditolak dan ha diterima, sehingga dapat disimpulkan


68

bahwa ada hubungan antara lama bekerja dengan tingkat pengetahuan

perawat tentang CAUTI.

4. Hubungan antara Kepemilikan Sertifikat dengan Tingkat Pengetahuan

Tabel 4.12 Hubungan antara Kepemilikan Sertifikat terkait Pelatihan


Infeksi Nosokomial maupun Perawatan Intensif dengan Tingkat
Pengetahuan Perawat tentang CAUTI di ICU dan ICVCU RSUD Dr.
Moewardi Surakarta, 30 Mei-4 Juni 2014 (N=52)

Kepemilikan Tingkat Pengetahuan


Sertifikat Baik Kurang Total P
n % n % n % 0,262
Ya 12 23,1 15 28,8 27 51,9
Tidak 15 46,2 10 46,2 25 48,1
Total 27 51,9 25 48,1 52 100

Hasil uji chi-square pada tabel 4.13 didapatkan hasil P 0,262 > α

0,05, maka ho diterima dan ha ditolak, sehingga dapat disimpulkan

bahwa tidak ada hubungan antara kepemilikan sertifikat dengan tingkat

pengetahuan perawat tentang CAUTI.


BAB V

PEMBAHASAN

A. Gambaran Karakteristik Demografi Responden

1. Jenis Kelamin

Pada penelitian ini didapatkan data proporsi distribusi jenis kelamin

responden yang tidak seimbang, yaitu jumlah responden wanita yang

lebih banyak daripada responden pria. Ketidakseimbangan proporsi

tersebut dapat terjadi dikarenakan perawat di ICU dan ICVCU RSUD Dr.

Moewardi Surakarta didominasi oleh wanita.

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fitrianasari65 di

Rumah Sakit Umum Darmayu Ponorogo juga didapatkan proporsi

responden berjenis kelamin wanita yang lebih besar daripada pria, yaitu

responden wanita dengan jumlah 54 responden (60,7%), sedangkan pria

berjumlah 35 responden (39,3%). Penelitian tersebut menyebutkan bahwa

banyaknya perawat berjenis kelamin wanita dikarenakan pekerjaan di

rumah sakit membutuhkan kecermatan dan ketelatenan yang besar,

keberanian dan keterampilan yang tinggi karena aktifitas merawat orang

sakit lebih banyak membutuhkan perhatian besar dari petugas perawat.65

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Rajagukguk di ICU dan

IMC RSUD Cengkareng Jakarta Barat juga menyebutkan proporsi jumlah

perawat berjenis kelamin perempuan yang lebih besar daripada perawat

pria.66 Menurut peneliti, lebih banyaknya perawat berjenis kelamin wanita

70
71

daripada pria dapat terjadi karena lebih banyak wanita yang tertarik untuk

menjadi seorang perawat dibandingkan pria.

2. Usia

Berdasarkan usia responden didapatkan bahwa lebih dari separuh

dari jumlah responden memasuki usia antara 21-35 tahun, yaitu sebanyak

37 responden (71,2%). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh

responden termasuk ke dalam kategori usia dewasa awal. Sedangkan,

sisanya memasuki usia dewasa tengah (36-55 tahun) sebanyak 15

responden (28,8%) dan tidak ada responden yang termasuk dalam

kategori usia dewasa akhir (>55 tahun).

Usia akan sangat berpengaruh terhadap kematangan berpikir

seseorang, semakin tinggi usia seharusnya akan semakin tinggi pula

kematangan dalam berpikir. Menurut Notoadmojo,50 semakin cukup usia,

maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dan

logis dalam berpikir. Seperti yang dikatakan Hurlock yang dikutip oleh

Nursalam,67 bahwa semakin cukup usia seseorang, tingkat kematangan

dan kekuatan seseorang lebih dipercaya dari orang-orang yang belum

cukup tinggi dewasanya. Semakin tua usia seseorang, semakin konstruktif

dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. Selain itu,

Hurlock mengatakan bahwa pengalaman dan kematangan jiwa seseorang

disebabkan semakin cukupnya usia dan kedewasaan dalam berpikir dan

bekerja.
72

Berdasarkan konsep tersebut, peneliti berpendapat bahwa hasil

penelitian yang menunjukkan bahwa hanya 28,8% responden memasuki

usia dewasa tengah dikaitkan dengan kemampuan berpikir responden

yang sudah semakin matang untuk menerima informasi tentang CAUTI.

Apabila dibandingkan dengan usia dewasa awal, kemampuan berpikir

dewasa awal masih dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya

kemampuan adaptasi yang masih labil, idealisme yang masih melekat

kuat, serta sifat ego yang masih kuat. Namun menurut Nugroho, 68

responden yang memasuki usia dewasa awal sangat menguntungkan

dalam hal dukungan sumber daya manusia mengingat dalam usia < 30

tahun kemampuan tenaga perawat dalam kondisi yang optimal dan

produktif sehingga ini adalah modal yang baik untuk pengembangan

sumber daya perawat ke arah yang lebih baik.

Pada penelitian ini mayoritas responden merupakan kategori usia

dewasa awal dan dewasa tengah, hal ini dikarenakan beban kerja di ICU

dan ICVCU yang lebih berat daripada bagian rawat inap maupun rawat

jalan, sehingga dibutuhkan tenaga perawat yang masih optimal.

3. Tingkat Pendidikan

Data penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh jumlah

responden berpendidikan diploma III Keperawatan, yaitu sebanyak

53,8% atau 28 responden. Kemudian, seperempat dari jumlah responden

berpendidikan S1 Keperawatan, yaitu berjumlah 13 responden serta

sisanya 13,5% berpendidikan Ners dan berpendidikan diploma IV


73

Keperawatan sebesar 7,7%. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak

perawat yang berpendidikan DIII Keperawatan.

Standar pendidikan keperawatan di Indonesia sendiri terdiri atas

pendidikan DIII Keperawatan, pendidikan S1/Ners, pendidikan Magister

Keperawatan, pendidikan Spesialis Keperawatan, dan pendidikan Doktor

Keperawatan. Meskipun pendidikan minimal bagi perawat di Indonesia

adalah DIII, namun diharapkan perawat yang bekerja di Indonesia

mampu memberikan asuhan keperawatan yang profesional sesuai dengan

standar praktik keperawatan.69

Hasil penelitian yang sama dilakukan oleh Wardani70 di RSU PKU

Muhammadiyah Bantul tentang analisis kinerja perawat dalam

pengendalian infeksi nosokomial didapatkan mayoritas responden

berpendidikan diploma III Keperawatan, yaitu sebanyak 48 responden

(96%) dari total 50 responden. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih

banyaknya perawat di Indonesia yang berpendidikan DIII Keperawatan,

meskipun terdapat jenjang pendidikan keperawatan yang lebih tinggi.

Menurut peneliti sudah seharusnya setiap perawat memiliki

kesadaran untuk meningkatkan jenjang pendidikannya ke jenjang yang

lebih tinggi, dalam hal ini pendidikan Ners. Seperti yang tersurat dalam

Undang Undang No. 20 tahun 2003 yaitu tentang pendidikan profesi

setelah pendidikan sarjana. Pertimbangan utamanya adalah untuk

meningkatkan kualitas layanan yang diberikan pada klien dan masyarakat

melalui kinerja Ners yang memperlihatkan penguasaan keilmuan dan


74

pengetahuan keperawatan yang tinggi dan kemampuan kritikal dalam

menetapkan tindakan dengan justifikasi ilmiah yang dapat dipertanggung

jawabkan. Disamping itu, pola terintegrasi antara tahap akademik dan

profesi ini diperlukan untuk mengakomodasi upaya pengembangan

profesi keperawatan di Indonesia dan menyesuaikan dengan kondisi

ketenagaan keperawatan di dunia internasional.71

4. Lama Bekerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir separuh dari jumlah

responden berada pada masa kerja lebih dari 10 tahun, yaitu sebanyak 20

responden (38,5%), diikuti perawat dengan masa kerja kurang dari 5

tahun sebanyak 18 responden (34,6%). Kemudian, lebih dari seperempat

jumlah responden mempunyai masa kerja antara 5-10 tahun, yaitu

sebanyak 14 responden.

Menurut Notoatmodjo,50 tingkat pengetahuan dapat terbentuk dari

pengalaman dan ingatan yang didapat sebelumnya. Menurut peneliti,

pengalaman seorang perawat dapat didapatkan selama ia bekerja menjadi

seorang perawat. Lama bekerja seorang perawat dapat dijadikan ukuran

tingkat pengalaman perawat dalam menghadapi kasus-kasus pasien.

Semakin lama seorang perawat dalam bekerja akan semakin banyak

pengalaman yang didapatkan sehingga tingkat pengetahuan juga akan

meningkat.

Pendapat tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Wardani70 yang menunjukkan bahwa responden dengan masa kerja > 5


75

tahun sebanyak 39 responden (78%) dan hampir 75% dari jumlah

responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi.70 Penelitian yang

dilakukan oleh Sumarni., dkk juga menyebutkan lebih dari 75%

responden memiliki masa kerja > 2 tahun dan 75,9% responden memiliki

tingkat pengetahuan yang tinggi.72 Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa

masa kerja berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan.

Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan lebih dari setengah

responden berada pada masa kerja 6-10 tahun dan > 10 tahun, menurut

peneliti seharusnya pengetahuan responden sangat baik tentang CAUTI

karena hubungannya dengan kompetensi responden dalam melakukan

pencegahan CAUTI terhadap pasien merupakan salah satu standar

kompetensi yang harus dikuasai.

5. Jabatan

Data penelitian menunjukkan jumlah perawat pelaksana lebih dari

50%, yaitu sebanyak 38 responden dan hampir seperempat dari jumlah

responden menjabat sebagai ketua tim di ICU dan ICVCU, yaitu

sebanyak 12 responden. Selain itu, untuk masing-masing ICU dan

ICVCU mempunyai kepala ruang yang bertugas menjadi perawat manajer

untuk tiap-tiap ruangan.

Menurut peneliti, untuk menjadi seorang kepala ruang, seseorang

harus mempunyai kompetensi yang lebih dari yang lain. Karena jenjang

karir yang dilalui seorang perawat manajer sudah melalui jenjang karir

sebagai perawat klinik. Level klinik keperawatan dapat menunjukkan


76

level kompetensi seorang perawat, semakin tinggi level klinik perawat

maka semakin tinggi pula kompetensi yang harus dikuasai.

Konsep secara luas dari kompetensi menitikberatkan pada

kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau

tugas dengan standar kinerja (performance) yang ditetapkan di tempat

kerja. Kompetensi menuntut penerapan pengetahuan, keterampilan, dan

sikap yang relevan terhadap partisipasi efektif dalam suatu lembaga

tertentu.73 Kompetensi perawat didapat secara berjenjang dan melalui uji

kompetensi, mulai dari pra perawat klinik, kemudian perawat klinik I dan

seterusnya. Hal ini menjelaskan bahwa seorang perawat dengan jenjang

karir yang tinggi seharusnya lebih kompeten, dalam penelitian ini lebih

tinggi tingkat pengetahuannya bila dibandingkan dengan perawat dengan

jenjang karir yang masih rendah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saint, et.al,74

menjelaskan bahwa kepemimpinan memainkan peran penting dalam

kegiatan pencegahan infeksi di rumah sakit. Perilaku seorang pemimpin

yang sukses dapat menjadi contoh bagi orang lain dalam pencegahan

Healthcare-Associated Infection (HAI). Sedangkan, seorang pemimpin

yang sukses terlihat dari: (1) mengembangkan keunggulan tindakan klinis

dan mengkomunikasikan secara efektif kepada staf; (2) fokus dalam

mengatasi hambatan yang ada dan menangani hambatan atau masalah

yang menghambat proses pencegahan HAI secara langsung dengan staf;

(3) dapat menginspirasi staf; dan (4) berpikir strategis dan bertindak
77

sesuai keadaan. Oleh sebab itu, menurut peneliti seorang pemimpin,

dalam penelitian ini adalah seorang kepala ruang maupun ketua tim

biasanya mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dari perawat

pelaksana.

6. Kepemilikan Sertifikat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden

mempunyai sertifikat terkait infeksi nosokomial maupun perawatan

intensif, yaitu sebanyak 27 responden. Hal ini dikarenakan RSUD Dr.

Moewardi telah mengadakan pelatihan pencegahan infeksi nosokomial

dan pelatihan perawatan intensif.

Penelitian yang dilakukan oleh Liaw, et.al, 75 menjelaskan bahwa

pendidikan dibutuhkan untuk mengembangkan pengetahuan dan

keterampilan perawat dalam mengenali, melaporkan, dan menanggapi

masalah pasien. Strategi dalam peningkatan pendidikan ini dapat

dilakukan diantaranya dengan menggabungkan pelatihan dalam masalah-

masalah klinis sebagai kompetensi inti dari pendidikan keperawatan,

memberikan pelatihan pemeriksaan tanda-tanda vital kepada asistan

perawat, dan melakukan pembelajaran lebih ketat untuk mengevaluasi

efektivitas program pendidikan. Jadi, adanya pelatihan-pelatihan atau

pendidikan tentang teknik-teknik pencegahan infeksi nosokomial maupun

CAUTI dapat meningkatkan tingkat pengetahuan perawat tentang upaya

pencegahannya.
78

B. Gambaran Tingkat Pengetahuan Perawat tentang CAUTI

Secara umum, tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI berada pada

kategori baik dan kurang. Data hasil penelitian terkait pengetahuan perawat

tentang CAUTI menunjukkan bahwa 51,9% dari jumlah responden memiliki

pengetahuan baik, yaitu sebanyak 27 responden dan 48,1% responden yang

lain atau 25 responden memiliki pengetahuan kurang.

Menurut Azwar,76 pengetahuan memberi informasi kepada seseorang

yang mempelajarinya sehingga jika diterapkan dalam kehidupannya akan

bisa mendatangkan perubahan perilaku atau tingkah laku. Selain

pengetahuan, perilaku atau tingkah laku juga didukung dengan sikap positif

dan dukungan dari pihak lain, orang dapat mengambil keputusan dalam

menentukan pilihan untuk mempermudah menyelesaikan permasalahannya.

Pengetahuan akan membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang akan

berperilaku sesuai dengan keyakinan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh

Wardani di RSU PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta yang

menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dengan kinerja

perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial. Pada penelitian tersebut

diperoleh nilai RP = 7,115 (95 % CI 2,691-18,812) yang menunjukkan bahwa

responden dengan tingkat pengetahuan rendah berpeluang untuk tidak

mengendalikan infeksi nosokomial sebesar 7,115 kali.70

Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh teori Notoatmodjo, 50 yaitu

sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut

terjadi proses yang berurutan, yaitu: 1) awareness (kesadaran), 2) interest


79

(merasa tertarik), 3) evaluation (menimbang-nimbang), 4) trial (mencoba),

dan 5) adoption (adopsi). Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi

perilaku melalui proses tersebut, didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan

sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long

lasting).

Tingkat pengetahuan sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-

faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan antara lain: pendidikan,

pengalaman, sumber informasi, lingkungan, dan usia.24,49–51 Dalam penelitian

ini, pengalaman perawat identik dengan lama bekerja responden (masa kerja)

yang memberikan dampak pada kemampuan berpikir kritis. Selain itu,

sumber informasi didapat dengan adanya pelatihan-pelatihan terkait infeksi

nosokomial maupun perawatan intensif yang diikuti oleh perawat yang

dilegalkan dengan adanya suatu sertifikat yang diterbitkan oleh suatu

lembaga yang berwenang.

Berdasarkan data persebaran jawaban reponden, didapatkan informasi

bahwa terdapat beberapa pertanyaan dengan hasil pengetahuan rendah.

Kurang dari 20% responden yang hanya dapat menjawab pertanyaan dengan

benar, yaitu pada pertanyaan nomor 6 terkait dengan mikroorganisme gram

positif penyebab CAUTI, pertanyaan nomor 17 terkait dengan faktor resiko

penyebab CAUTI, dan pertanyaan nomor 23 yang terkait dengan manifestasi

klinis CAUTI. Selain itu, pada pertanyaan terkait dengan pencegahan CAUTI

adalah pertanyaan nomor 33 terkait penggunaan rutin pelumas antiseptik

pada kateter, pertanyaan nomor 38 terkait dengan waktu penggantian kateter,


80

dan pertanyaan nomor 39 terkait dengan cara membersihkan daerah

periurethral pasien yang terpasang kateter. Pengetahuan yang rendah pada

pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor,

seperti ketidaktahuan teori-teori terkait masalah yang ditanyakan, kurangnya

pengalaman responden dalam menemui masalah seperti yang terdapat dalam

pertanyaan, dan kebiasaan responden yang salah dalam melakukan tindakan

perawatan kateter pada pasien.

C. Hubungan Antara Usia dengan Tingkat Pengetahuan tentang CAUTI

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa lebih dari 25%

responden yang memasuki usia dewasa awal mempunyai pengetahuan yang

kurang, yaitu sebanyak 14 responden (26,9%). Sedangkan, hanya 4 reponden

(7,7%) yang memasuki usia dewasa tengah memiliki pengetahuan yang baik.

Pengujian hubungan antara usia dengan tingkat pengetahuan tentang CAUTI

dengan uji chi square didapatkan hasil P value = 0,020 yang artinya tidak

adanya hubungan antara usia dengan tingkat pengetahuan perawat tentang

CAUTI (p 0,020 > α 0,05).

Semakin bertambahnya usia seseorang maka kematangan seseorang

dalam berpikir juga semakin meningkat. Bertambahnya usia seseorang dapat

berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperoleh. Tetapi, adanya

faktor fisik yang dapat menghambat proses belajar pada orang dewasa, dapat

membuat penurunan pada suatu waktu dalam kekuatan berfikir dan bekerja.

Sehingga, melalui pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, pengalaman


81

sendiri, pengalaman orang lain, lingkungan dan faktor intrinsik lainnya dapat

membentuk pengetahuan seseorang dalam jangka waktu yang lama dan akan

tetap bertahan sampai tua.77 Dari hasil penelitian ini responden yang

memasuki usia dewasa tengah sebanyak 15 responden dan responden yang

mempunyai pengetahuan baik hanya sebanyak 4 responden.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini didapatkan tidak adanya

hubungan antara usia dengan tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI.

Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Ifada,77 hasil dari

penelitiannya tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan

masyarakat mengenai pelayanan kesehatan mata menyatakan bahwa tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan pengetahuan

masyarakat. Pembagian usia dalam penelitian Ifada dibagi ke dalam dua

kategori, yaitu usia produktif dan usia tidak produktif dengan usia responden

termuda berusia 16 tahun dan yang tertua berusia 77 tahun.77

Pada penelitian ini, tidak terdapat hubungan antara usia dengan tingkat

pengetahuan perawat tentang CAUTI. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh

berbagai faktor lain, seperti pengalaman yang telah didapatkan responden

baik saat di jenjang perguruan tinggi maupun setelah bekerja sebagai perawat

masih kurang. Karena, seharusnya pengalaman dan pengetahuan yang telah

didapatkan responden sebelumnya yang sejalan dengan semakin

bertambahnya usia dapat membentuk tingkat pengetahuan responden menjadi

semakin baik.
82

D. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Pengetahuan

tentang CAUTI

Tingkat pendidikan responden juga dapat mempengaruhi tingkat

pengetahuan responden. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa

ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta didominasi oleh perawat

dengan pendidikan DIII Keperawatan (Diploma). Meskipun pendidikan

responden dalam penelitian ini terendah, namun tingkat pengetahuan

responden tentang CAUTI didapatkan 16 responden dari 28 responden

berpendidikan DIII Keperawatan dalam kategori baik. Selebihnya,

seperempat responden berpendidikan S1 Keperawatan dan beberapa

responden berpendidikan Ners dan diploma IV Keperawatan. Mengkaji dari

data statistik responden dan hasil pengukuran tingkat pengetahuan perawat,

maka dapat diketahui bahwa masih terdapat perawat yang berpendidikan

DIV, S1 ataupun Ners (Sarjana) memiliki tingkat pengetahuan yang kurang

tentang CAUTI.

Pengujian hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat

pengetahuan tentang CAUTI dengan uji chi square didapatkan hasil P value

= 0,416 yang artinya hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat

pengetahuan perawat tentang CAUTI tidak bermakna, atau tidak adanya

hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan perawat

tentang CAUTI (p 0,416 > α 0,05).

Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Ifada

yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara


83

pendidikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai pelayanan kesehatan

mata. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa pengetahuan yang diterima oleh

responden yang berpendidikan rendah dan sedang serta tidak menutup

kemungkinan untuk yang berpendidikan tinggi, berasal dari lingkungan

sekitarnya.77

Hal tersebut menunjukkan perbedaan dengan teori yang menjelaskan

bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin baik pula

pengetahuannya. Secara umum, pendidikan adalah segala upaya yang

direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau

masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku

pendidikan.50 Namun, teori tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan

terhadap mahasiswa DIII Keperawatan yang sedang menjalani praktik.

Penelitian tersebut menggambarkan sebagian besar (66,67%) tingkat

pengetahuan mahasiswa yang kurang tentang pencegahan infeksi nosokomial

flebitis. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pendidikan dan informasi

pendukung tentang pencegahan infeksi nosokomial flebitis di perkuliahan

dan juga responden masih dalam masa pembelajaran sehingga belum

sepenuhnya menerima materi dengan matang. Praktik di rumah sakit juga

merupakan hal baru bagi responden.78

Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Bangun terhadap

remaja SMU Negeri 2 Medan yang menyatakan bahwa pendidikan dan faktor

lainnya, seperti pengalaman dan sumber informasi berhubungan secara


84

keseluruhan dengan tingkat pengetahuan dengan nilai signifikan p adalah

0,024.24

Pendidikan formal dianggap sebagai sarana untuk memperoleh

pengetahuan yang lebih baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang

maka tingkat pengetahuan menjadi semakin baik. Hasil penelitian ini

berbeda, tingkat pendidikan tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan

perawat tentang CAUTI. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain,

seperti pengalaman yang dilalui responden masih kurang maupun sumber-

sumber informasi informal tentang CAUTI yang sedikit atau belum pernah

didapatkan responden.

E. Hubungan Antara Lama Bekerja dengan Tingkat Pengetahuan tentang

CAUTI

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan masa kerja > 10

tahun sebagian besar mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang.

Sedangkan, sebagian besar responden yang berpengetahuan baik berada pada

masa kerja < 5 tahun tahun. Pengujian hubungan antara lama bekerja dengan

tingkat pengetahuan tentang CAUTI dengan uji chi square didapatkan hasil P

value = 0,003 yang artinya terdapat hubungan antara lama bekerja dengan

tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI (p 0,003 < α 0,05).

Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh

Wicaksono yang menyimpulkan adanya suatu hubungan yang bermakna

antara masa kerja dengan tingkat pengentahuan.79 Menurut Sukmadinata,


85

pengalaman seseorang tentang berbagai hal dapat diperoleh dari lingkungan

kehidupan dalam proses perkembangannya.80 Lamanya masa kerja dapat

menjadi sumber pengalaman praktik dan pengetahuan responden. Praktik

klinik responden selama menjadi perawat memfasilitasi responden dalam

menerapkan teori pencegahan CAUTI yang pernah didapatkan, baik dalam

pendidikan formal maupun informal.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh Enawati yang menyatakan

pemberian metode bimbingan konseptual (bimbingan klinik) lebih

memberikan pengaruh terhadap pencapaian kompetensi praktek klinik

keperawatan, karena pada bimbingan konseptual mahasiswa lebih

dihadapkan pada kasus-kasus yang ada sehingga menuntut mahasiswa untuk

lebih berpikir kritis.81

Namun, teori tersebut berbeda dengan hasil penelitian ini yang

menyatakan adanya hubungan antara lama bekerja dengan tingkat

pengetahuan perawat tentang CAUTI, namun responden yang sudah

mempunyai masa kerja yang lama (>10 tahun) cenderung memiliki tingkat

pengetahuan yang kurang. Hal tersebut dapat dipengaruhi juga oleh tingkat

pendidikan yang masih berada pada jenjang minimal pendidikan keperawatan

maupun kurangnya sumber informasi tentang CAUTI yang didapatkan oleh

responden secara informal.


86

F. Hubungan Antara Kepemilikan Sertifikat dengan Tingkat Pengetahuan

tentang CAUTI

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 12 responden dari 27 responden

yang memiliki sertifikat terkait infeksi nosokomial maupun perawatan

intensif mempunyai pengetahuan yang baik tentang CAUTI. Sedangkan, 15

responden dari 25 responden yang tidak memiliki sertifikat, berpengetahuan

baik tentang CAUTI. Pengujian hubungan antara kepemilikan sertifikat

dengan tingkat pengetahuan tentang CAUTI didapatkan hasil P value = 0,262

yang artinya tidak terdapat hubungan antara kepemilikan sertifikat terkait

infeksi nosokomial maupun perawatan intensif responden dengan tingkat

pengetahuan perawat tentang CAUTI (p 0,262 > α 0,05).

Selain dipengaruhi oleh usia, lama bekerja, dan jabatan, tingkat

pengetahuan juga dipengaruhi oleh pelatihan-pelatihan yang menjadi sumber

informasi baru.24 Pengakuan adanya pelatihan yang diikuti oleh perawat

biasanya dilegalkan dengan adanya suatu sertifikat yang diterbitkan oleh

lembaga yang berwenang. Adanya pelatihan atau pendidikan tentang CAUTI

dan pencegahannya dapat meningkatkan tingkat pengetahuan perawat tentang

upaya pencegahannya. Selain itu, adanya pelatihan-pelatihan tersebut akan

meningkatkan kesadaran perawat untuk meningkatkan partisipasi dalam

upaya pencegahan.

Bloom dalam Notoatmodjo,47 membagi perilaku seseorang ke dalam tiga

domain, ranah atau wilayah yakni pengetahuan (cognitive), sikap (affective),

dan tindakan (psychomotor). Kognitif dapat diukur dari pengetahuan, afektif


87

diukur dari sikap atau tanggapan, dan psikomotor diukur melalui tindakan

(praktik) yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Maryati

menyimpulkan bahwa pelatihan pencegahan infeksi nosokomial dapat

meningkatkan kemampuan praktik pencegahan infeksi nosokomial sesuai

standart.82 Jadi, pelatihan secara langsung juga telah meningkatkan tingkat

pengetahuan.

Dalam penelitian ini, adanya sertifikat terkait infeksi nosokomial

maupun perawatan intensif menunjukkan adanya suatu sumber informasi

yang dapat diakses perawat untuk meningkatkan pengetahuan. Hal tersebut

juga dapat didukung karena adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi,

seperti daya ingat, motivasi, dan pengalaman (lama bekerja).

G. Keterbatasan Penelitian

Terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan maupun kekurangan

dalam penelitian ini. Salah satu diantaranya adalah jumlah responden. Ruang

lingkup penelitian ini hanya terbatas pada Intensive Care Unit dan Intensive

Cardiac Care Unit RSUD Dr. Moewardi Surakarta sehingga jumlah

responden dalam penelitian ini sangat terbatas, meskipun peneliti

menggunakan teknik total sampling dalam pengambilan sampel. Diharapkan

untuk penelitian lebih lanjut agar dapat memperluas populasi penelitian di

seluruh bagian RSUD Dr. Moewardi Surakarta mengingat pentingnya

permasalahan CAUTI yang harus dicegah. Meskipun dalam penelitian ini

memiliki keterbatasan responden, namun hasil penelitian ini dapat


88

disebarluaskan kepada seluruh perawat di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

sebagai bahan wacana dan koreksi mengenai tingkat pengetahuan terkait

dengan CAUTI.

Selain dari jumlah responden yang terbatas, mengingat penelitian ini

digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan perawat, keterbatasan waktu

yang dimiliki oleh responden menyebabkan pengisian kuesioner tidak dapat

secara langsung didampingi oleh peneliti saat kuesioner diserahkan kepada

responden. Peneliti hanya menyerahkan kuesioner kepada responden dan

mengambilnya kembali saat jam shift berakhir. Hal tersebut dapat

menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan kepada responden, apakah memang

benar-benar responden yang mengisi kuesioner atau orang lain dan apakah

kuesioner benar-benar diisi berdasarkan pemikiran pribadi responden atau

pemikiran bersama dengan orang lain. Apalagi sangat terlihat kurangnya

antusiasme responden untuk mengisi kuesioner. Namun, disamping hal

tersebut, responden mempunyai tanggung jawab yang tinggi untuk mengisi

kuesioner yang diberikan. Hal ini dibuktikan dengan terkumpulnya kembali

seluruh kuesioner yang dibagikan kepada responden, yaitu sebanyak 52

kuesioner.

Instrumen yang digunakan hanya kuesioner dengan jawaban tertutup,

sehingga tidak dapat secara utuh memastikan bagaimana tingkat pengetahuan

responden. Karena walaupun responden menjawab secara asal tanpa tahu

jawaban sebenarnya, peluang untuk memilih jawaban yang benar adalah

50%.
89

Dari 43 item pertanyaan dalam kuesioner ini juga masih terdapat 2 item

pertanyaan yang tidak valid dan belum dilakukan uji validitas ulang. Hal ini

dikarenakan saat dilakukan uji validitas, 2 item tersebut merupakan item

yang tidak valid, namun tetap dimasukkan ke dalam kuesioner penelitian

karena mengingat 2 item tersebut penting untuk disertakan sebagai

pertanyaan penelitian tentang pencegahan CAUTI. Sedangkan, 41 item yang

lain sudah merupakan pertanyaan yang valid. Dua item yang tidak valid

tersebut adalah pertanyaan nomor 38 tentang waktu untuk mengganti kateter

dan pertanyaan nomor 39 tentang cara yang benar dalam membersihkan

daerah periurethral.
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat tentang CAUTI di ICU dan

ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, maka sesuai dengan tujuan penelitian

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Gambaran karakteristik responden dalam penelitian ini sebagian besar

berjenis kelamin wanita yaitu sebanyak 38 responden (73,1%), 26

responden (50%) memasuki usia dewasa awal, 28 responden (53,8%)

berpendidikan DIII Keperawatan, 21 responden (40,4%) memiliki masa

kerja 1-5 tahun, sebagian besar responden adalah perawat pelaksana yaitu

sebanyak 38 responden (73,1%), dan 28 responden (53,8%) memiliki

sertifikat terkait pelatihan infeksi nosokomial maupun perawatan intensif.

2. Responden yang memiliki pengetahuan baik tentang CAUTI sebanyak 27

responden (51,9%), sedangkan hampir separuh responden berpengetahuan

kurang. Angka kekurangtahuan paling tinggi terdapat pada pertanyaan

nomor 6 terkait dengan mikroorganisme gram positif penyebab CAUTI,

pertanyaan nomor 17 terkait dengan faktor resiko penyebab CAUTI, dan

pertanyaan nomor 23 yang terkait dengan manifestasi klinis CAUTI.

Selain itu, pada pertanyaan terkait dengan pencegahan CAUTI adalah

pertanyaan nomor 33 terkait penggunaan rutin pelumas antiseptik pada

90
91

kateter, pertanyaan nomor 38 terkait dengan waktu penggantian kateter,

dan pertanyaan nomor 39 terkait dengan cara membersihkan daerah

periurethral pasien yang terpasang kateter.

3. Tidak ada pengaruh usia dengan tingkat pengetahuan perawat tentang

CAUTI (p value=0,020).

4. Tidak ada pengaruh tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan

perawat tentang CAUTI (p value=0,416).

5. Ada pengaruh lama bekerja dengan tingkat pengetahuan perawat tentang

CAUTI (p value=0,003).

6. Tidak ada pengaruh kepemilikan sertifikat dengan tingkat pengetahuan

perawat tentang CAUTI (p value=0,262).

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan dari penelitian ini, terdapat

beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan sebagai masukan bagi

beberapa pihak dalam upaya meningkatkan pengetahuan perawat tentang

CAUTI sehingga diharapkan perawat dapat melakukan tindakan pencegahan

CAUTI dengan benar. Peneliti merekomendasikan beberapa hal, antara lain:

1. Rumah Sakit

Hasil penelitian ini hendaknya dapat dijadikan masukan bagi rumah

sakit dalam upaya meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan di rumah

sakit khususnya perawat tentang CAUTI dan pencegahannya. Selain itu,

penting bagi rumah sakit untuk dapat menyusun dan mensosialisasikan


92

suatu standar baku atau SOP tentang langkah-langkah pencegahan CAUTI

kepada perawat.

2. Perawat

Mengingat sebagian besar responden yang memiliki pengetahuan

cukup dan masih adanya pengetahuan perawat tentang CAUTI yang

kurang, sebaiknya menjadi perhatian perawat yang bekerja di ruang

intensif untuk senantiasa meningkatkan pengetahuannya tentang CAUTI

dan langkah-langkah pencegahannya. Peningkatan pengetahuan perawat

ini dapat dilakukan oleh perawat dengan mengikuti pelatihan, seminar,

ataupun workshop yang diadakan baik oleh organisasi, institusi

pendidikan, maupun pihak-pihak terkait.

3. Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat memberikan kesempatan kepada institusi

pendidikan keperawatan untuk mengevaluasi efektivitas kurikulum yang

selama ini diterapkan. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi acuan atau

referensi dalam mengembangkan kurikulum pendidikan yang lebih baik

lagi, khususnya dalam meningkatkan pengetahuan peserta didik tentang

CAUTI.

4. Peneliti

Kurangnya penelitian tentang CAUTI di Indonesia dapat menjadi

pertimbangan bagi para peneliti untuk mengembangkan penelitian

keperawatan terkait CAUTI di Indonesia. Penelitian tentang angka


93

kejadian CAUTI perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat CAUTI di

Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan tentang


Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di
Rumah Sakit. 2011.

2. Hanafie A. Peranan Ruangan Perawatan Intensif (ICU) Dalam Memberikan


Pelayanan Di Rumah Sakit. 2008.

3. Smeltzer SC, Bare BG. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Vol. 2. Edisi 8. Jakarta: EGC; 2001.

4. Potter PA, Perry AG. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,


Proses, dan Praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2005.

5. Berman A, Snyder S, Kozier B, Erb G. Buku Ajar Praktik Keperawatan


Klinis Kozier&Erb. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2009.

6. Gruendemann BJ, Fernsebner B. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif Vol.


1. Jakarta: EGC; 2005.

7. Maki DG, Tambyah P a. Engineering out the risk for infection with urinary
catheters. Emerg. Infect. Dis. [Internet]. 2001;7(2):342–7. Diakses dari:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=2631699&tool=pmcentrez&rendertype=abstract

8. Miesien T, Munasir Z. Profil klinis infeksi saluran kemih pada anak di RS


Dr. Cipto Mangunkusumo. saripediatri.idai.or.id [Internet]. 2006 [cited
2014 Apr 23];7:1–7. Diakses dari: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/7-4-
5.pdf

9. Clementy F, Susilo D. Uji diagnostik leukosituria dan bakteriuria


mikroskopis langsung sampel urin untuk mendeteksi infeksi saluran kemih.
J. media Med. muda. 2013.

10. Kwon JH, Fausone MK, Du H, Robicsek A, Peterson LR. Impact of


laboratory-reported urine culture colony counts on the diagnosis and
treatment of urinary tract infection for hospitalized patients. Am. J. Clin.
Pathol. [Internet]. 2012 May [cited 2014 Apr 12];137(5):778–84. Diakses
dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22523217

11. Hu B, Tao L, Rosenthal VD, Liu K, Yun Y, Suo Y, et al. Device-associated


infection rates, device use, length of stay, and mortality in intensive care
units of 4 Chinese hospitals: International Nosocomial Control Consortium
findings. Am. J. Infect. Control [Internet]. Elsevier Inc; 2013 Apr [cited
2014 Apr 12];41(4):301–6. Diakses dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23040491

12. Melzer M, Welch C. Outcomes in UK patients with hospital-acquired


bacteraemia and the risk of catheter-associated urinary tract infections.
Postgrad. Med. J. [Internet]. 2013 Jun [cited 2013 Dec 17];89(1052):329–
34. Diakses dari: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=3664375&tool=pmcentrez&rendertype=abstract

13. Kübler A, Duszynska W, Rosenthal VD, Fleischer M, Kaiser T, Szewczyk


E, et al. Device-associated infection rates and extra length of stay in an
intensive care unit of a university hospital in Wroclaw, Poland:
International Nosocomial Infection Control Consortium’s (INICC)
findings. J. Crit. Care [Internet]. 2012 Feb [cited 2014 Apr
7];27(1):105.e5–10. Diakses dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21737244

14. Rosenthal V, Bijie H, Maki D. International Nosocomial Infection Control


Consortium (INICC) report, data summary of 36 countries, for 2004-2009.
J. Infect. Control [Internet]. 2012 [cited 2013 Nov 22]; Diakses dari:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S019665531100842X

15. Boybeyi Ö, Karnak İ, Ciftci AÖ, Tanyel FC, Şenocak ME. Risk factors of
catheter-associated urinary tract infections in paediatric surgical patients.
Surg. Pract. [Internet]. 2013;17(1):7–12. Diakses dari:
http://dx.doi.org/10.1111/1744-1633.12001

16. Chenoweth C, Saint S. Preventing catheter-associated urinary tract


infections in the intensive care unit. Crit. Care Clin. [Internet]. 2013 Jan
[cited 2014 Mar 25];29(1):19–32. Diakses dari:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0749070412000826

17. Talaat M, Hafez S, Saied T, Elfeky R, El-Shoubary W, Pimentel G.


Surveillance of catheter-associated urinary tract infection in 4 intensive
care units at Alexandria university hospitals in Egypt. Am. J. Infect.
Control [Internet]. 2010 Apr [cited 2014 Apr 12];38(3):222–8. Diakses
dari: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0196655309007482

18. Tiwari MM, Charlton ME, Anderson JR, Hermsen ED, Rupp ME.
Inappropriate use of urinary catheters: a prospective observational study.
Am. J. Infect. Control [Internet]. 2012 Feb [cited 2014 Mar 25];40(1):51–4.
Diakses dari:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0196655311003257

19. Kasmad K, Sujianto U, Hidayati W. Hubungan antara kualitas perawatan


kateter dengan kejadian infeksi nosokomial saluran kemih. Nurse Media J.
… [Internet]. 2007 [cited 2013 Nov 22];1. Diakses dari:
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/medianers/article/view/237

20. Didimus I, Hamzah A. Faktor yang berhubungan dengan kinerja perawat di


ruang rawat inap rumah sakit ibnu sina ybw-umi Makassar tahun 2013.
2013 [cited 2014 May 27]; Diakses dari:
http://222.124.222.229/handle/123456789/5747

21. Hamzah A. Faktor faktor yang berhubungan dengan kinerja perawat di


bagian unit rawat inap rumah sakit umum daya Makassar tahun 2012. 2013
[cited 2014 May 27];1–11. Diakses dari:
http://222.124.222.229/handle/123456789/5159

22. Mulyadi A. Hubungan pengetahuan dan sikap dengan tindakan perawat


dalam pemenuhan kebutuhan keluarga pasien di instalasi rawat intensif
RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung. 2013; Diakses dari:
http://pustaka.unpad.ac.id/archives/127107/#

23. Trismiati E. Hubungan pengetahuan tentang cidera kepala dan peran


perawat dalam penanganan pasien cidera kepala di unit gawat darurat RS
Qadr Tangerang tahun 2012. Undergrad. theses Hyg. Fac. [Internet]. 2013;
Diakses dari: http://digilib.esaunggul.ac.id/

24. Bangun E. Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan


dengan tingkat pengetahuan remaja tentang perubahan fisik dan psikososial
pada masa pubertas di SMU Negeri 2 Medan. 2011 [cited 2014 Apr 22];
Diakses dari: http://scholar.google.com/scholar?
hl=en&btnG=Search&q=intitle:Hubungan+Faktor-
Faktor+yang+Mempengaruhi+Pengetahuan+dengan+Tingkat+Pengetahuan
+Remaja+Tentang+Perubahan+Fisik+dan+Psikososial+Pada+Masa+Pubert
as+di+SMU+Negeri+2+Medan#0

25. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K M simadibrata, Setiati S. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.

26. Nosokomial PPI. Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial RS Dr


Kariadi. Semarang; 2004.

27. Dudeck M a, Horan TC, Peterson KD, Allen-Bridson K, Morrell G, Anttila


A, et al. National Healthcare Safety Network report, data summary for
2011, device-associated module. Am. J. Infect. Control [Internet]. 2013
Apr;41(4):286–300. Diakses dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23538117
28. Nurses AA of C-C. Catheter-associated urinary tract infections. Crit. Care
Nurse [Internet]. 2012 [cited 2014 Apr 23];32(2):2012–3. Diakses dari:
http://ccn.aacnjournals.org/

29. Edwards J, Peterson K, Mu Y. National Healthcare Safety Network


(NHSN) report: data summary for 2006 through 2008, issued December
2009. Am. J. Infect. Control [Internet]. 2009 [cited 2014 Apr
23];37(December):783–805. Diakses dari:
http://scholar.google.com/scholar?
hl=en&btnG=Search&q=intitle:National+Healthcare+Safety+Network+
(+NHSN+)+report+:+Data+summary+for+2006+through+2008+,
+issued+December+2009#0

30. PF B, JAW J, CK M. Urinary Tract Infections. Prim. Care; Clin. Off.


Pract. 2003.

31. Xie D, Lai R, Nie S. Surveys of catheter-associated urinary tract infection


in a university hospital intensive care unit in China. Brazilian J. Infect. Dis.
[Internet]. 2011 [cited 2014 Apr 23];15:296–7. Diakses dari:
http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S1413-
86702011000300021&script=sci_arttext

32. Rosenthal VD, Ramachandran B, Dueñas L, Álvarez-moreno C, Navoa-ng


JA, Armas-ruiz A, et al. Findings of the International Nosocomial Infection
Control Consortium (INICC) Part I: Effectiveness of a multidimensional
infection control approach on catheter-associated urinary tract infections
rates in pediatric intensive care units of 6 developing Co. JSTOR Infect.
Control Hosp. Epidemiol. [Internet]. 2012;33:1–26. Diakses dari:
http://www.jstor.org/discover/10.1086/666341

33. Tenke P, Kovacs B, Bjerklund TE, Matsumoto T, Tambyah PA, Naber KG.
European and Asian guidelines on management and prevention of catheter-
associated urinary tract infections ଝ. 2008;68–78.

34. Titsworth W, Hester J, Correia T. Reduction of catheter-associated urinary


tract infections among patients in a neurological intensive care unit: a
single institution’s success: Clinical article. J. Neurosurg [Internet]. 2012
[cited 2014 Apr 23];116(April):911–20. Diakses dari:
http://thejns.org/doi/abs/10.3171/2011.11.JNS11974

35. Hooton TM, Bradley SF, Cardenas DD, Colgan R, Geerlings SE, Rice JC,
et al. Diagnosis, prevention, and treatment of catheter-associated urinary
tract infection in adults: 2009 international clinical practice guidelines from
the infectious diseases society of America. Clin. Infect. Dis. [Internet].
2010 Mar 1 [cited 2014 Mar 20];50(5):625–63. Diakses dari:
http://cid.oxfordjournals.org/lookup/doi/10.1086/650482
36. Mitchell, Kumar, Abbas, Fausto. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit
Robbins & Cotran. 7th ed. Jakarta: EGC; 2008.

37. Grace PA, Borley NR. At a Glance Ilmu Bedah. 3rd ed. Safitri A, editor.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.

38. Saint S, Meddings J. Catheter-associated urinary tract infection and the


medicare rule changes. Ann. Intern. Med. [Internet]. 2009 [cited 2014 Apr
23];150(12):877–84. Diakses dari: http://annals.org/article.aspx?
articleid=744548

39. Uliyah M, Hidayat AAA. Praktikum Keterampilan Dasar Praktik Klinik:


Aplikasi Dasar-dasar Praktik Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika; 2008.

40. Meddings J. Interventions to reduce urinary catheter use: it worked for


them, but will it work for us? BMJ Qual. Saf. [Internet]. 2013 Dec [cited
2014 Jan 8];22(12):967–71. Diakses dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24050982

41. Gould C V, Umscheid CA, Agarwal RK, Kuntz G, Pegues DA, Control I,
et al. Guideline for prevention of catheter‐associated urinary tract infections
2009. Infect. Control … [Internet]. 2010 [cited 2014 Apr 22];31(4).
Diakses dari: http://www.jstor.org/stable/10.1086/651091

42. Johnson J. Systematic review: antimicrobial urinary catheters to prevent


catheter-associated urinary tract infection in hospitalized patients. Ann.
Intern. Med. [Internet]. 2006 [cited 2014 Apr 22];144:116–26. Diakses
dari: http://annals.org/article.aspx?articleid=719502

43. Brooker C. Ensiklopedia Keperawatan Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta:


EGC; 2008.

44. Jackson M. Prevention of hospital acquired infections.


depts.washington.edu [Internet]. 2002 [cited 2014 Apr 23]; Diakses dari:
https://depts.washington.edu/uwmedres/patientcare/objectives/hospitalist/P
revention_of_Hospital_Acquired.pdf

45. Maryati K, Suryawati J. Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XI. Jakarta:
Esis; 2006.

46. Surajiyo. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi


Aksara; 2007.

47. Efendi F, Makhfudli. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan


Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika; 2009.
48. Sunaryo. Psikologi untuk Keperawatan. Ester M, editor. Jakarta: EGC;
2004.

49. Wawan A, M. D. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku


Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010.

50. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka


Cipta; 2007.

51. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta;


2010.

52. Marra AR, Sampaio Camargo TZ, Gonçalves P, Sogayar AMCB, Moura
DF, Guastelli LR, et al. Preventing catheter-associated urinary tract
infection in the zero-tolerance era. Am. J. Infect. Control [Internet]. 2011
Dec [cited 2014 May 30];39(10):817–22. Diakses dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21704427

53. Fink R, Gilmartin H, Richard A, Capezuti E, Boltz M, Wald H. Indwelling


urinary catheter management and catheter-associated urinary tract infection
prevention practices in nurses improving care for healthsystem elders
hospitals. Am. J. Infect. Control [Internet]. Elsevier Inc; 2012 Oct [cited
2014 Jun 9];40(8):715–20. Diakses dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22297241

54. Wulandari A. Susu ibu perah (asip) dengan praktik pemberian asip pada ibu
bekerja di kelurahan tandang kecamatan tembalang kota semarang. J. …
[Internet]. 2013 [cited 2014 Jun 9]; Diakses dari: https://immar-
razy.unimus.ac.id/ojsunimus/index.php/jur_bid/article/view/1022

55. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrument Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika; 2008.

56. Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: Rineka Cipta; 2006.

57. Setiadi. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha


Ilmu; 2007.

58. Swarjana IK. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: ANDI; 2012.

59. S A. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2009.

60. Hidayat AA. Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika; 2003.
61. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta; 2006.

62. Hidayat AA. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.
Jakarta: Salemba Medika; 2008.

63. Wasis. Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Keperawatan. Jakarta: EGC;
2008.

64. S A. Validitas dan Reliabilitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2011.

65. Fitrianasari D. Pengaruh kompensasi dan kepuasan kerja terhadap


organizational citizenship behavior (OCB) dan kinerja karyawan (studi
pada perawat rumah sakit umum “. PROFIT (JURNAL … [Internet]. 2013
[cited 2014 Jun 21];7:12–24. Diakses dari:
http://www.ejournalfia.ub.ac.id/index.php/profit/article/view/296

66. Rajagukguk RR. Hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang prosedur


suction dan pelaksanaan tindakan suction di ruang icu dan imc rumah sakit
umum daerah Cengkareng Jakarta Barat. Undergrad. theses hygene Fac.
[Internet]. 2013; Diakses dari: http://digilib.esaunggul.ac.id/UEU-
Undergraduate-201033047/115

67. Nursalam. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan


Profesional. Kedua. Jakarta: Salemba Medika; 2002.

68. Nugroho A, Widodo A. Hubungan motivasi kerja perawat dengan


pemberian pelayanan keperawatan pada pasien keluarga miskin
(jamkesmas) di RSUI Kustati Surakarta. 2012 [cited 2014 Jun 22];117–23.
Diakses dari: http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/123456789/3676

69. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Draf Standar Pendidikan


Keperawatan. Jakarta; 2012.

70. Wardani Y. Analisis kinerja perawat dalam pengendalian infeksi


nosokomial di RSU PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta. J. Kesehat.
Masy. (Journal Public … [Internet]. 2012 [cited 2014 Jun 22];6(3):144–
211. Diakses dari:
http://jogjapress.com/index.php/KesMas/article/view/1233

71. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Draft Naskah Akademik Pendidikan


Keperawatan di Indonesia. Jakarta; 2012.

72. Sumarni E, Utami G. Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap perawat


tentang pemberian obat terhadap tindakan pendokumentasian keperawatan.
… Mhs. Bid. Ilmu Keperawatan [Internet]. 2014 [cited 2014 Jun 23];
Diakses dari: http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMPSIK/article/view/2054

73. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Draf Standar Kompetensi Perawat.


Jakarta; 2012.

74. Saint S, Kowalski C, Forman J. The importance of leadership in preventing


healthcare‐associated infection: results of a multisite qualitative study.
Infect. Control … [Internet]. 2010 Sep [cited 2014 Jun 23];31(9):901–7.
Diakses dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20658939

75. Liaw SY, Scherpbier A, Klainin-Yobas P, Rethans J-J. A review of


educational strategies to improve nurses’ roles in recognizing and
responding to deteriorating patients. Int. Nurs. Rev. [Internet].
2011;58(3):296–303. Diakses dari:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1466-7657.2011.00915.x/

76. Saifuddin A. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2007.

77. Ifada I. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan masyarakat


mengenai pelayanan kesehatan mata. 2010 [cited 2014 Jun 24]; Diakses
dari: http://eprints.undip.ac.id/23397/

78. Aditi S. Pengetahuan dan sikap mahasiswa akper terhadap pencegahan


infeksi nosokomial flebitis. Students E-Journals [Internet]. 2014 [cited
2014 Jun 25];1–14. Diakses dari:
http://journal.unpad.ac.id/index.php/ejournal/article/view/685

79. Wicaksono F, Soetadji A, Julianti H. Hubungan pengalaman kerja dokter


puskesmas kota Semarang dengan pengetahuan penyakit jantung anak.
2011 [cited 2014 Jun 25]; Diakses dari: http://eprints.undip.ac.id/32997/

80. Sukmadinata. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja


Rosakarya; 2003.

81. Enawati S. Pengaruh penggunaan metode konseptual dalam bimbingan


praktek klinik keperawatan terhadap pencapaian kompetensi. Tesis  Progr.
Pascasarj. Univ. Sebel. Maret [Internet]. 2008 [cited 2014 Jun 25]; Diakses
dari: http://eprints.uns.ac.id/4219/

82. Maryati S. Keefektifan peningkatan kemampuan perawat dalam


pencegahan infeksi nosokomial pada bayi di ruang neonatal intensive care
unit rumah sakit umum daerah wates Kulon Progo. Tesis  Univ. Gadjah
Mada [Internet]. 2012; Diakses dari: http://etd.ugm.ac.id/
LAMPIRAN
Lampiran 1
WAKTU PELAKSANAAN PENELITIAN

Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli


Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan proposal
Seminar proposal
Perbaikan proposal
Perijinan tempat
penelitian
Uji coba instrumen
Pengumpulan data
Pengolahan data
Analisa data
Penyusunan laporan
Uji sidang
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6

HASIL UJI VALIDITAS INSTRUMEN PENELITIAN


totp Keputusan
p1 Pearson Correlation ,562(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,010
N 20
p2 Pearson Correlation ,737(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,000
N 20
p3 Pearson Correlation ,584(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,007
N 20
p4 Pearson Correlation ,477(*) VALID
Sig. (2-tailed) ,034
N 20
p5 Pearson Correlation ,651(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,002
N 20
p6 Pearson Correlation ,638(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,002
N 20
p7 Pearson Correlation ,570(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,009
N 20
P8 Pearson Correlation ,696(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,001
N 20
P9 Pearson Correlation ,655(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,002
N 20
p10 Pearson Correlation ,586(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,007
N 20
p11 Pearson Correlation ,631(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,003
N 20
p12 Pearson Correlation ,757(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,000
N 20
p13 Pearson Correlation ,640(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,002
N 20
p14 Pearson Correlation ,813(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,000
N 20
p15 Pearson Correlation ,723(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,000
N 20
p16 Pearson Correlation ,684(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,001
N 20
P17 Pearson Correlation ,527(*) VALID
Sig. (2-tailed) ,017
N 20
P18 Pearson Correlation ,796(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,000
N 20
P19 Pearson Correlation ,669(**) VALID
Sig. (2-tailed) ,001
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Lampiran 7

HASIL RELIABILITAS INSTRUMEN PENELITIAN

Reliability

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %
Cases Valid 20 100,0
Excludeda 0 ,0
Total 20 100,0
a. Listwise deletion based on all
variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items
.963 43

Item-Total Statistics

Scale Corrected Cronbach's


Scale Mean if
Variance if Item-Total Alpha if Item
Item Deleted
Item Deleted Correlation Deleted

p1 27,90 168,200 ,540 ,959


p2 27,90 166,305 ,722 ,959
p3 28,10 166,621 ,558 ,959
p4 28,00 168,421 ,449 ,960
p5 28,45 166,682 ,631 ,959
p6 28,30 165,905 ,615 ,959
p7 27,95 167,629 ,547 ,959
p8 27,95 166,155 ,678 ,959
p9 28,10 165,674 ,633 ,959
p10 28,05 166,787 ,561 ,959
p11 28,25 165,882 ,606 ,959
p12 28,00 164,947 ,741 ,958
p13 27,80 169,011 ,626 ,959
p14 27,95 164,787 ,801 ,958
p15 27,95 165,839 ,706 ,959
p16 28,05 165,524 ,663 ,959
p17 28,50 168,579 ,504 ,959
p18 27,85 166,555 ,785 ,959
p19 27,95 166,471 ,650 ,959
p20 28,20 167,537 ,476 ,960
p21 27,90 166,411 ,712 ,959
p22 28,10 165,989 ,608 ,959
p23 28,15 166,029 ,595 ,959
p24 27,90 167,568 ,600 ,959
p25 27,95 167,524 ,556 ,959
p26 27,95 167,524 ,556 ,959
p27 27,90 166,411 ,712 ,959
p28 28,40 168,147 ,471 ,960
p29 27,85 168,029 ,627 ,959
p30 28,05 165,734 ,646 ,959
p31 28,15 166,766 ,538 ,959
p32 27,95 167,524 ,556 ,959
p33 28,35 166,766 ,563 ,959
p34 28,25 167,145 ,508 ,960
p35 28,15 164,766 ,694 ,959
p36 28,15 164,345 ,727 ,958
p37 27,90 166,411 ,712 ,959
p38 28,50 169,632 ,404 ,960
p39 28,25 169,039 ,363 ,960
p40 28,25 167,461 ,484 ,960
p41 28,15 165,503 ,636 ,959
p42 28,35 165,292 ,682 ,959
p43 28,30 166,432 ,573 ,959
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
Lampiran 11

PERMOHONAN PENELITIAN

Kepada Yth.
Sdr/Sdri Calon Responden Penelitian
Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini mahasiswi Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (PSIK FK UNDIP):
Nama : Triarini Warawirasmi
NIM : 22020110120041
Bermaksud untuk mengadakan penelitian dengan judul : “Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Catheter-
Associated Urinary Tract Infections di Intensive Care Unit”. Penelitian ini
dilaksanakan sebagai syarat dalam menyelesaikan tugas akhir di Program Studi
Ilmu Keperawatan FK UNDIP.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat tentang Catheter-Associated Urinary
Tract Infections (CAUTI) di ICU dan ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Penelitian ini tidak merugikan responden dan identitas responden akan saya
rahasiakan, karena semua informasi yang diberikan akan dijaga kerahasiaannya
dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Apabila Saudara menyetujui, maka saya mohon ketersediannya untuk
menandatangani persetujuan yang telah diajukan oleh peneliti. Apabila saudara
tidak bersedia menjadi responden, maka tidak ada ancaman bagi saudara. Apabila
saudara telah menjadi responden da nada hal-hal yang memungkinkan untuk
mengundurkn diri, maka saudara diperbolehkan untuk mengundurkan diri atau
tidak ikut serta dalam penelitian ini. Atas perhatian dan ketersediaan saudara
menjadi responden, saya mengucapkan terima kasih.

Surakarta, 2014
Triarini Warawirasmi
Lampiran 12

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN


(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Alamat :
Umur :
Jenis Kelamin : L/P
Setelah mendapatkan penjelasan yang cukup dari peneliti dan memahami
bahwa penelitian ini tidak berakibat negatif/buruk bagi saya dan dalam penelitian
ini akan dijaga kerahasiaannya oleh peneliti, maka bersama ini saya bersedia
menjadi responden dalam penelitian yang dilakukan oleh:
Nama : Triarini Warawirasmi
Institusi : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Judul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Perawat
tentang Catheter-Associated Urinary Tract Infections di Intensive
Care Unit
Dalam rangka : Skripsi
Adapun penelitian ini dilakukan di lingkungan RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. Demikian surat pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar tanpa
paksaan dari pihak manapun bahwa saya bersedia berperan dalam penelitian ini.

Surakarta, 2014

(___________________)
Lampiran 13

KUESIONER PENELITIAN
PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG
CATHETER-ASSOCIATED URINARY TRACT INFECTIONS (CAUTI)

Petunjuk Umum Kuesioner:

Kuesioner ini merupakan suatu instrumen penelitian yang terdiri dari berbagai
macam pertanyaan yang telah disusun dengan tujuan untuk memperoleh informasi
dari responden. Setiap pertanyaan yang ada dalam kuesioner ini bertujuan untuk
memperoleh informasi mengenai pengetahuan perawat ICU dan ICVCU RSUD
Dr. Moewardi Surakarta tentang Catheter-Associated Urinary Tract Infection
(CAUTI).

Kuesioner terdiri dari 3 bagian, yaitu:

1. Bagian A, berisi 6 item pertanyaan mengenai data demografi perawat.


2. Bagian B, berisi 26 item pernyataan mengenai CAUTI dengan tipe
jawaban “benar” dan “salah”.
3. Bagian C, berisi 17 item pertanyaan mengenai pencegahan CAUTI
dengan tipe jawaban memilih salah satu jawaban yang sesuai.
Kode Responden :

(Diisi Peneliti)

Petunjuk pengisian:

1. Bacalah setiap pertanyaan di bawah ini dengan teliti.


2. Berilah tanda (√) pada kolom bagian yang telah disediakan sesuai dengan data
diri Anda.
3. Isilah sesuai data diri Anda untuk pertanyaan nomor 2 dan 4.

A. DATA DEMOGRAFI
1. Jenis kelamin
a. Pria
b. Wanita

2. Usia : ……….. Tahun


3. Pendidikan
a. DIII Keperawatan
n
b. DIV Keperawatan
c. S1 Keperawatan
d. Ners
e. S2 Keperawatan
f. S3 Keperawatan

4. Lama bekerja sebagai perawat: …….…. Tahun ……… Bulan


5. Jabatan dalam ICU/ICVCU
a. Kepala Ruang
b. Ketua Tim
c. Perawat Pelaksana
6. Sudahkan Anda memiliki ijazah/sertifikat pelatihan dalam bidang infeksi
nosokomial maupun perawatan intensif yang diterbitkan dari institusi
pendidikan tinggi atau lembaga profesional terakreditasi yang sejenis?
a. Ya
b. Tidak

B. PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG CAUTI

Petunjuk Pengisian:

1. Bacalah setiap pernyataan di bawah ini dengan teliti.


2. Isilah dengan menggunakan tanda (√) pada kolom jawaban yang tersedia:
a. Benar : jika menurut Anda pernyataan tersebut benar.
b. Salah : jika menurut Anda pernyataan tersebut salah.

NO. PERNYATAAN Benar Salah


1. CAUTI merupakan salah satu jenis infeksi nosokomial.
2. CAUTI merupakan infeksi yang terjadi pada saluran
kemih.
3. Setiap pasien yang mendapat perawatan di ruang intensif
harus terpasang kateter urine.
4. CAUTI berdampak pada penambahan hari perawatan dan
resiko kematian.
5. Pertumbuhan bakteri di daerah kandung kemih adalah
awal mula terjadinya CAUTI.
6. Mikroorganisme gram positif yang menyebabkan CAUTI
diantaranya adalah E. coli dan Escherichia.
7. Mikroorganisme gram negatif yang menyebabkan
CAUTI diantaranya adalah Pseudomonas aeruginosa dan
Enterobacter.
8. CAUTI dapat disebabkan karena inokulasi langsung pada
saat pemasangan kateter (ekstraluminer).
9. CAUTI tidak disebabkan karena migrasi pada selubung
seperti lendir di sekeliling permukaan luar kateter uretra.

10. Salah satu penyebab CAUTI melalui jalan intraluminer


adalah kontaminasi kantong penampung urine (urine
bag).
11. Pencapaian bakteri ke kandung kemih (vesika urinaria)
lebih cepat melalui jalan ekstraluminer dibandingkan
intraluminer.
12. Bakteri yang menyebabkan CAUTI dapat berasal dari
hasil transmisi silang dari tangan perawat.
13. Lamanya pemakaian kateter merupakan faktor resiko
utama terkena CAUTI.
14. Pasien bayi dan pasien usia lanjut yang terpasang kateter
merupakan pasien yang berisiko tinggi terkena CAUTI.
15. Faktor risiko terjadinya CAUTI pada pria lebih rendah
daripada wanita.
16. Pasien yang mendapatkan terapi imunosupresan
mempunyai risiko rendah terkena CAUTI.
17. Pasien yang mendapatkan kateter intermiten berisiko
tinggi untuk terkena CAUTI.
18. Dalam menurunkan risiko terjadinya CAUTI dapat
menggunakan kateter yang berukuran besar untuk
dipasang pada pasien.
19. Pasien dengan diagnosa medis diabetes mellitus yang
terpasang kateter sangat berisiko terkena CAUTI.
20. Tanda gejala fisik pada pasien dengan bakteriuria
asimtomatik sulit dideteksi.
21. Salah satu tanda gejala diagnosa CAUTI adalah
terjadinya demam lebih dari 38oC.
22. Sensasi ingin berkemih yag mendesak dan sering bukan
merupakan salah satu tanda CAUTI.
23. Pasien dapat menunjukkan gejala CAUTI setelah 2 hari
kateter dilepas.
24. Lekosituria pada pasien dengan CAUTI terjadi karena
adanya sel darah putih dalam urine
25. Peningkatan fokus terkait CAUTI dapat dilakukan
dengan memperhatikan indikasi untuk pemasangan
kateter urine.
26. Adanya SOP dan pelaksanaan pemasangan kateter sesuai
dengan SOP dapat meminimalisir terjadinya CAUTI.

C. PENGETAHUAN PADA PENCEGAHAN CAUTI

Petunjuk Pengisian:

Bacalah setiap pertanyaan di bawah ini dengan teliti dan berilah tanda (√)
pada kolom jawaban yang menurut Anda paling tepat.

27. Menurut Anda, pemasangan kateter yang tepat dilakukan pada?


Setiap pasien baru
Setiap pasien baru dengan indikasi yang tepat
Semua pasien hospitalisasi

28. Apa yang harus dilakukan pada pasien pasca operasi yang diindikasikan
terpasang kateter?
Melepas kateter sesegera mungkin dalam waktu 24 jam pasca
operasi
Melanjutkan untuk penggunaan kateter jangka panjang
Melepas kateter setelah 2-3 hari

29. Bagaimana penggunaan kateter yang tepat?


Gunakan kateter urine pada pasien usia lanjut untuk manajemen
inkontinensia
Menggunakan kateter pada pasien operasi hanya seperlunya, tidak
secara rutin
Penggunaan kateter urin untuk setiap pasien ICU

30. Dalam pencegahan CAUTI, penggunaan alternatif untuk kateterisasi


indwelling pada pasien tertentu diperlukan. Bagaimana penggunaan
alternatif untuk kateterisasi indwelling?
Gunakan kateter eksternal pada pasien laki-laki tanpa retensi urin
atau obstruksi kandung kemih
Kateterisasi intermiten untuk pasien cedera tulang belakang
Kedua pernyataan diatas benar
31. Sistem drainase apa yang sebaiknya digunakan pada kateterisasi
indwelling?
Sistem drainase terbuka
Sistem drainase tertutup
Kedua system dapat digunakan

32. Kapan cuci tangan saat pemasangan kateter sebaiknya dilakukan?


Sebelum dan segera setelah insersi (pemasangan kateter)
Sebelum pemasangan kateter
Setelah pemasangan kateter

33. Apakah penggunaan rutin pelumas antiseptik pada kateter diperlukan?


Tidak perlu
Perlu
Sewaktu-waktu diperlukan

34. Apa pendapat anda tentang penggunaan perangkat ultrasound portabel


pada pasien yang menjalani kateterisasi intermiten?
Meningkatkan resiko terjadinya CAUTI
Menurunkan resiko terjadinya CAUTI
Tidak berpengaruh terhadap terjadinya CAUTI

35. Bagaimana teknik pemasangan kateter yang tepat?


Kombinasi teknik aseptik dan non aseptik
Teknik non aseptik
Teknik aseptik

36. Apabila dalam proses pemasangan kateter penggunaan teknik aseptik


terhenti, bagaimana langkah selanjutnya?
Meneruskan pemasangan
Mengulang proses dengan teknik aseptik
Mengganti kateter dan meneruskan pemasangan
37. Apa pendapat anda tentang peletakan urine bag di lantai dan terjadinya
kontak keran drainase dengan wadah pengumpul urine non steril?
Menurunkan resiko terkena CAUTI
Meningkatkan resiko terkena CAUTI
Tidak berpengaruh terhadap kejadian CAUTI

38. Kapan waktu untuk mengganti kateter/urine bag?


Setiap 5 hari
Setiap 3 hari
Jika terdapat indikasi klinis infeksi/obstruksi

39. Bagaimana cara yang benar dalam membersihkan daerah periurethral


selama pasien terpasang kateter dalam pencegahan CAUTI?
Membersihkan menggunakan antiseptik setiap hari
Membersihkan permukaan meatus menggunakan air biasa setiap
kali mandi
Dibersihkan menggunakan air biasa setiap waktu

40. Jenis bahan kateter apakah yang sebaiknya digunakan untuk pasien
yang memerlukan kateterisasi jangka panjang?
Hidrofilik kateter
Antimikroba/antiseptik kateter
Silicone kateter

41. Jenis bahan kateter apakah yang sebaiknya digunakan untuk pasien
yang memerlukan kateterisasi intermiten?
Hidrofilik kateter
Antimikroba/antiseptik kateter
Silicone kateter
42. Apakah teknik mengklem kateter sebelum melepas kateter dari pasien
perlu dilakukan sebagai teknik pencegahan CAUTI?
Perlu
Tidak perlu
Sewaktu-waktu diperlukan

43. Apa pendapat Anda tentang pemasangan kateter pada pasien dengan
indikasi penyakit kronis dan daya tahan tubuh yang menurun?
Dianjurkan
Sangat dianjurkan
Tidak dianjurkan

-------------------------TERIMA KASIH-------------------------
Lampiran 14
HASIL SPSS PENELITIAN

A. Karakteristik Responden

Frequencies

Frequency Table

Jenis Kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Wanita 38 73,1 73,1 73,1
Pria 14 26,9 26,9 100,0
Total 52 100,0 100,0

KUsia
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Dewasa Awal (21-35
37 71.2 71.2 71.2
tahun)
Dewasa Tengah (36-
15 28.8 28.8 100.0
55 tahun)
Total 52 100.0 100.0

KPendidikan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid DIII Kep 28 53,8 53,8 53,8
S1 Kep 13 25,0 25,0 78,8
Ners 7 13,5 13,5 92,3
DIV Kep 4 7,7 7,7 100,0
Total 52 100,0 100,0
Lama bekerja
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 5 tahun 18 34.6 34.6 34.6
5-10 tahun 14 26.9 26.9 61.5
> 10 tahun 20 38.5 38.5 100.0
Total 52 100.0 100.0

KJabatan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Kepala Ruang 2 3,8 3,8 3,8
Ketua Tim 12 23,1 23,1 26,9
Perawat Pelaksana 38 73,1 73,1 100,0
Total 52 100,0 100,0

KSertifikat
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 27 51.9 51.9 51.9
Tidak 25 48.1 48.1 100.0
Total 52 100.0 100.0

B. Tingkat Pengetahuan

Frequencies

Frequency Table

KPengetahuan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Baik 27 51.9 51.9 51.9
Kurang 25 48.1 48.1 100.0
Total 52 100.0 100.0
C. Analisa Bivariat

Crosstabs
Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
KUsia *
52 100,0% 0 ,0% 52 100,0%
kategoripengetahuan
KPendidikan *
52 100,0% 0 ,0% 52 100,0%
kategoripengetahuan
Lama bekerja *
52 100,0% 0 ,0% 52 100,0%
kategoripengetahuan
KJabatan *
52 100,0% 0 ,0% 52 100,0%
kategoripengetahuan
KSertifikat *
52 100,0% 0 ,0% 52 100,0%
kategoripengetahuan

KUsia * kategoripengetahuan

KUsia * KPengetahuan Crosstabulation


KPengetahuan
Baik Kurang Total
KUsia Dewasa Awal (21-35 tahun) Count 23 14 37
Expected Count 19.2 17.8 37.0
% within KUsia 62.2% 37.8% 100.0%
% within KPengetahuan 85.2% 56.0% 71.2%
% of Total 44.2% 26.9% 71.2%
Dewasa Tengah (36-55 Count 4 11 15
tahun) Expected Count 7.8 7.2 15.0
% within KUsia 26.7% 73.3% 100.0%
% within KPengetahuan 14.8% 44.0% 28.8%
% of Total 7.7% 21.2% 28.8%
Total Count 27 25 52
Expected Count 27.0 25.0 52.0
% within KUsia 51.9% 48.1% 100.0%
% within KPengetahuan 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 51.9% 48.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square 5.387a 1 .020


Continuity Correctionb 4.059 1 .044
Likelihood Ratio 5.531 1 .019
Fisher's Exact Test .032 .021
Linear-by-Linear Association 5.283 1 .022
N of Valid Casesb 52

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.21.

b. Computed only for a 2x2 table

KPendidikan * kategoripengetahuan

Crosstab
KPengetahuan
Baik Kurang Total
KPendidikan Diploma Count 16 12 28
Expected Count 14.5 13.5 28.0
% within KPendidikan 57.1% 42.9% 100.0%
% within KPengetahuan 59.3% 48.0% 53.8%
% of Total 30.8% 23.1% 53.8%
Sarjana Count 11 13 24
Expected Count 12.5 11.5 24.0
% within KPendidikan 45.8% 54.2% 100.0%
% within KPengetahuan 40.7% 52.0% 46.2%
% of Total 21.2% 25.0% 46.2%
Total Count 27 25 52
Expected Count 27.0 25.0 52.0
% within KPendidikan 51.9% 48.1% 100.0%
% within KPengetahuan 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 51.9% 48.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square .662a 1 .416
b
Continuity Correction .287 1 .592
Likelihood Ratio .663 1 .415
Fisher's Exact Test .578 .296
Linear-by-Linear Association .649 1 .420
b
N of Valid Cases 52
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
11.54.
b. Computed only for a 2x2 table

Lama bekerja * kategoripengetahuan


Crosstab
KPengetahuan
Baik Kurang Total
Lama bekerja < 5 tahun Count 15 3 18
Expected Count 9.3 8.7 18.0
% within Lama bekerja 83.3% 16.7% 100.0%
% within KPengetahuan 55.6% 12.0% 34.6%
% of Total 28.8% 5.8% 34.6%
5-10 tahun Count 6 8 14
Expected Count 7.3 6.7 14.0
% within Lama bekerja 42.9% 57.1% 100.0%
% within KPengetahuan 22.2% 32.0% 26.9%
% of Total 11.5% 15.4% 26.9%
> 10 tahun Count 6 14 20
Expected Count 10.4 9.6 20.0
% within Lama bekerja 30.0% 70.0% 100.0%
% within KPengetahuan 22.2% 56.0% 38.5%
% of Total 11.5% 26.9% 38.5%
Total Count 27 25 52
Expected Count 27.0 25.0 52.0
% within Lama bekerja 51.9% 48.1% 100.0%
% within KPengetahuan 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 51.9% 48.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)

Pearson Chi-Square 11.426a 2 .003


Likelihood Ratio 12.234 2 .002
Linear-by-Linear Association 10.440 1 .001
N of Valid Cases 52

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is 6.73.

KSertifikat * kategoripengetahuan

Crosstab
KPengetahuan
Baik Kurang Total
KSertifikat Ya Count 12 15 27
Expected Count 14.0 13.0 27.0
% within KSertifikat 44.4% 55.6% 100.0%
% within KPengetahuan 44.4% 60.0% 51.9%
% of Total 23.1% 28.8% 51.9%
Tidak Count 15 10 25
Expected Count 13.0 12.0 25.0
% within KSertifikat 60.0% 40.0% 100.0%
% within KPengetahuan 55.6% 40.0% 48.1%
% of Total 28.8% 19.2% 48.1%
Total Count 27 25 52
Expected Count 27.0 25.0 52.0
% within KSertifikat 51.9% 48.1% 100.0%
% within KPengetahuan 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 51.9% 48.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.258a 1 .262
b
Continuity Correction .712 1 .399
Likelihood Ratio 1.264 1 .261
Fisher's Exact Test .283 .200
Linear-by-Linear Association 1.234 1 .267
b
N of Valid Cases 52
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
12.02.
b. Computed only for a 2x2 table

Anda mungkin juga menyukai