Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulmonary embolism merupakan satu dari banyak penyakit pada
vaskuler paru. Pulmonary embolism dapat terjadi karena substansi yang tidak
larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran darah dan menyumbat di
pembuluh darah pulmoner. Keadaan ini dapat memberikan gambaran klinis
dengan spektrum luas, mulai dari suatu gambaran klinis yang asimptomatik
sampai keadaan yang mengancam nyawa berupa hipotensi, shock kardiogenik
dan keadaan henti jantung yang tiba-tiba (sudden cardiac death) (Kusmana,
2003). Secara terminologi, Pulmonary embolism atau lebih tepatnya
tromboemboli paru merupakan suatu trombus atau multipel trombus dari
sirkulasi sistemik, masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau
lebih arteri pulmonalis di bronkus (Goldhaber and Elliot, 2003).
Insidensi Pulmonary embolism di Amerika Serikat dilaporkan hampir
200.000 kasus pertahun dengan angka mencapai 15% yang menunjukkan
bahwa penyakit ini masih merupaan problema yang menakutkan dan satu
penyebab emergensi kardiovaskuler yang tersering. Laporan lain menyebutkan
bahwa Pulmonary embolism secara langsung menyebabkan 100.000 kematian
dan menjadi faktor kontribusi kematian oleh penyakit-penyakit lainnya
(Piazza and Goldhabber, 2006).
Penyebab utama dari suatu Pulmonary embolism adalah tromboemboli
vena (venous thromboembolism), namun demikian penyebab lain dapat
berupa emboli udara, emboli lemak, cairan amnion, fragmen tumor dan sepsis
(Goldhaber and Elliot, 2003).
Diagnosis suatu Pulmonary embolism dapat ditegakkan dari penilaian
gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang berupa foto toraks, D-Dimer
Test, pencitraan ventilasi-perfusi (ventilation-perfussion scanning), CT
Angiografi torak dengan kontras, angiografi paru, Magnetic Resonance
Angiography, duplex ultrasound ekstremitas dan ekokardiografi transtorakal
(Goldhaber and Elliot, 2003). Penatalaksanaan khusus Pulmonary embolism
dapat berupa pemberian antikoagulasi, trombolitik atau embolektomi baik
dengan intervensi kateteriosasi maupun dengan pembedahan.
Pulmonary embolism merupakan satu dari banyak penyakit pada
vaskuler paru. Pulmonary embolism dapat terjadi karena substansi yang tidak
larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran darah dan menyumbat di
pembuluh darah pulmoner (Kusmana, 2003). Secara terminologi, Pulmonary
embolism atau lebih tepatnya tromboemboli paru-paru merupakan suatu
trombus atau multipel trombus dari sirkulasi sistemik, masuk ke sirkulasi paru
sehingga menyumbat satu atau lebih arteri pulmonalis di bronkus (Goldhaber
and Elliot, 2003)
Antara 60% - 90% penyebab Pulmonary embolism berasal dari vena
ektremitas bawah dan pelvis (Piazza and Goldhabber, 2006). Munculan klinik
sangat bervariasi, bisa menyebabkan kematian mendadak, tergantung ukuran
emboli dan kondisi klinik dasar pasien (Sunu, 2006). Pulmonary embolism
ditemukan lebih dari 60% dari hasil diotopsi dan juga sering terjadi
misdiagnosis (Goldhaber and Elliot, 2003). Penelitian lain mengenai analisis
post mortem penyebab kematian dini pada pasien yang dirawat dengan
penyakit paru obstruktif kronik. Penelitian ini mendapatkan 20,9% penyebab
kematian karena tromboPulmonary embolism (Fedullo, 2005).
Berbagai faktor resiko dapat menyebabkan terjadinya Pulmonary
embolism, seperti faktor herediter (seperti defisiensi protein C, defisiensi
protein S dll) dan faktor yang didapat (seperti umur > 40 tahun, perokok,
keganasan dll). Menegakkan diagnosis Pulmonary embolism merupakan
sebuah tantangan yang sulit. Tanda klinis yang muncul seperti dispnea atau
nyeri dada tidak spesifik dan dapat merupakan manifestasi penyakit lain
seperti infark miokard atau pneumonia. Banyak pasien dengan penyakit
tromboemboli mempunyai gejala tidak spesifik dan diagnosis lebih sulit lagi
jika disertai penyakit gagal jantung kongestif atau penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) (Piazza and Goldhabber, 2006). Dalam menegakkan diagnosis
Pulmonary embolism memerlukan keterampilan mengintegrasikan data klinis
dan laboratorium serta kebijakan penilaian tentang perlu atau tidak dilakukan
tindakan diagnosis invasif (Kusmana, 2003).
Sensitifitas dan spesifisitas manifestasi klinis Pulmonary embolism
masih rendah dan tidak ada uji klinis yang sederhana.8 Konfirmasi diagnosis
dengan tes objektif hanya sekitar 20% pasien. Pulmonary embolism bahkan
bisa tanpa gejala dan kadang didiagnosis dengan prosedur diagnosis yang
dilakukan untuk tujuan lain (Julian, 2000).
Dengan latar belakang diatas maka dalam makalah ini akan dibahas
bagaimana prosedur diagnosis secara patologis dan penatalaksanaan
Pulmonary embolism.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa definisi, kausa, pato-fisiologi, gejala klinis, penatalaksanaan dan
pencegahan dari Pulmonary embolism?
1.2.2 bagaimana pemeriksaan Pulmonary embolism didasarkan atas
perubahan patologis dari penyakit tersebut?

1.3 Tujuan Penulisan


Referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, kausa, pato-fisiologi,
gejala klinis, penatalaksanaan dan pencegahan dari Pulmonary embolism serta
pemeriksaan radiologi pada Pulmonary embolism.

1.4 Manfaat Penulisan


Agar dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca tentang
definisi, kausa, pato-fisiologi, gejala klinis, penatalaksanaan dan pencegahan
dari Pulmonary embolism serta pemeriksaan radiologi pada Pulmonary
embolism.
Bab 2
PEMBAHASAN

2.1 ETIOLOGI EMBOLI PARU


Emboli paru (EP) merupakan kondisi akibat tersumbatnya arteri paru,

yang dapat menyebabkan kematian pada semua usia. Penyakit ini sering

ditemukan dan sering disebabkan oleh satu atau lebih bekuan darah dari bagian

tubuh lain dan tersangkut di paru-paru, sering berasal dari vena dalam di

ekstremitas bawah, rongga perut, dan terkadang ekstremitas atas atau jantung

kanan (Agnelli and Becattini, 2010; Fedullo, et al., 2003) .Selain itu, emboli paru

(Pulmonary Embolism) dapat diartikan sebagai penyumbatan arteri pulmonalis

(arteri paru-paru) oleh suatu embolus, yang terjadi secara tiba-tiba. Suatu emboli

bisa merupakan gumpalan darah (trombus), tetapi bisa juga berupa lemak, cairan

ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor atau gelembung udara, yang akan

mengikuti aliran darah sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah. Biasanya

arteri yang tidak tersumbat dapat memberikan darah dalam jumlah yang memadai

ke jaringan paru-paru yang terkena sehingga kematian jaringan bisa dihindari.

Tetapi bila yang tersumbat adalah pembuluh yang sangat besar atau orang tersebut

memiliki kelainan paru-paru sebelumnya, maka jumlah darah mungkin tidak

mencukupi untuk mencegah kematian paru-paru.

Sekitar 10% penderita emboli paru mengalami kematian jaringan paru-

paru, yang disebut infark paru. Jika tubuh bisa memecah gumpalan tersebut,

kerusakan dapat diminimalkan. Gumpalan yang besar membutuhkan waktu lebih

lama untuk hancur sehingga lebih besar kerusakan yang ditimbulkan. Gumpalan
yang besar bisa menyebabkan kematian mendadak. Emboli paru merupakan suatu

keadaan darurat medis. 1 sampai 2 jam setelah terjadinya emboli adalah periode

yang paling kritis dan mungkin saja dapat terjadi kematian karena komplikasi

seperti infark paru-paru (terjadinya nekrosis jaringan paru) atau hipertensi paru-

paru (meningkatnya tekanan arteri pulmonal), perdarahan paru paru, kor pulmonal

akut dengan gagal jantung dan disritmias (gangguan irama jantung), usia sangat

rentan terhadap komplikasi-komplikasi tersebut sebab telah terjadi perubahan

perubahan dari keadaan normal dalam sistem pulmonal (penurunan complains

paru klasifikasi tulang rawan di vertebra) dan sistem kardiovaskular (penyempitan

pembuluhdarah, penebalan dinding kapilar) (Agnelli and Becattini, 2010; Fedullo,

et al., 2003; Kostadima and Zakythinos, 2007).

Gambar 1. Algoritma dari Emboli Paru

2.2 PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI


Thrombus dapat berasal dari arteri dan vena. Thrombus arteri terjadi
karena rusaknya dinding pembuluh arteri (lapisan intima). Thrombus pada vena
terjadi karena alirandarah vena yang lambat, selain itu dapat pula karena
pembekuan darah dalam vena apabilaterjadi kerusakan endotel vena. Thrombus
vena dapat juga berasal dari pecahnya thrombusbesar yang terbawa aliran vena.
Biasanya thrombus berisi partikel-partikel fibrin(terbanyak), eritrosit dan
trombosit. Ukurannya bervariasi, mulai dari beberapa millimeter sampai sebesar
lumen venanya sendiri. Adanya perlambatan aliran darah vena (stasis) akan makin
mempercepat terbentuknya thrombus yang makin besar (Robinns et al., 2004)
Emboli adalah suatu massa berbentuk padat, cair,atau gas intravaskular
yang terlepas dan dibawa oleh darah ke tempat yang jauh dari tempat asalnya.
Emboli pada pulmo sering terjadi dan dapat berpotensi kematian biasanya
disebabkan karena tromboemboli. Emboli pada pulmo mempunyai insiden 60%-
80% menyebabkan kematian. Emboli pulmo juga merupakan penyakit nomer 3
yang paling sering terjadi di dunia yang disebabkan karena faktor usia. Prognosa
dari emboli pulmo biasanya tergantung dari derajat obstruksi dan efek
hemodinamik (Turetz et al., 2018)
Menurut Piazza et al., (2006), pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat
sebuah postulat yang menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya keadaan intravaskuler yaitu:

1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah, sehingga terjadi kerusakan


endotel vaskular.Biasanya disebabkan oleh thromboflebitis sebelumnya,
pada trauma, ataupun tindakan pembedahan.

2. Keadaan hiperkoagulobilitas darah yang disebabkan oleh berbagai


pengobatan, seperti: terapi hormon, terapi steroid, keganasan,
sindromnefrotik, thrombositopenia akibat penggunaan obat heparin,
defisiensiprotein C, protein S, antithrombin III.
3. Keadaan stasis vena, biasanya disebabkan karena immobilisasi yang
berkepanjangan atau katup vena yang tidak kompeten akibat proses
thromboemboli sebelumnya.

Bila trombus pada vena ini terlepas maka embolus akan mengikuti aliran
sistem vena kemudian dibawa melewati saluran yang lebih besar dan biasanya
melewati sisi kanan dari jantung masuk ke sistem peredaran darah pulmonal. Jika
emboli cukup besar, akan menempati bifukarsio arteri dan membentuk saddle
embolus. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis
yang akan melepaskan senyawa-senyawa vasokonstriktor seperti serotonin,refleks
vasokontriksi dan terjadi hipoksemia yang menimbulkan hipertensi arteri
pulmonalis.peningkatan arteri pulmonalis yang terjadi secara tiba-tiba akan
meningkatkan tekanan ventrikel kanan jantung dengan konsekuensi dilatasi dan
disfungsi ventrikel kanan yang menyebabkan septum intraventrikuler tertekan ke
sisi sebelah kiri dengan berakibat terjadinya gangguan pengisian ventrikel dan
penurunan distensi diastolik. Dengan berkurangnya pengisian ventrikel kiri, maka
curah jantung sistemik (cardiac output) akan menurun dan mengurangi perfusi
koroner yang menyebabkan ischemia myocard. Adanya tekanan yang cukup
tinggi pada dinding ventrikel kanan yang diikuti oleh adanya embolus pulmo
secara massif akan menurunkan aliran korener sebelah kanan sehingga
menyebabkan kebutuhan oksigen ventrikel kanan meningkat dan menimbulkan
ischemia serta kardiogenik shock. Siklus ini akan menimbulkan infark pada
ventrikel kanan jantung serta kematian (Goldhaber,2005)

Menurut Fedullo (2003), secara garis besar emboli pulmo akan


memberikan efek patofisiologi berikut:
1. Peningkatan resistensi vaskuler pada pulmo yang disebabkan oleh
obstruksi trombus menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis
2. Pertukaran gas terganggu dikarenakan peningkatan septa alveolar dari
dampaknya obstruksi vaskuler dan hipoksemia karena hipoventilasi
alveolar.
3. Peningkatan resistensi jalan nafas karena adanya bronkokonstriksi
4. Terdapat perdarahan pada pulmo dan hilangnya surfaktan.

Gambar pada panah hijau menunjukkan emboli pada pulmo akibat


dari tromboemboli vena yang berada pada cabang arteria
pulmonalis ( Sumber : Robbins et al., 2004)

2.3 GEJALA KLINIS


Kebanyakan tanda dan gejala klinis yang ditampilkan oleh emboli paru
bersifat tidak spesifik dan dapat menjadi manifestasi dari penyakit lainnya, seperti
infark miokard dan pneumonia. Emboli paru dapat bersifat asimptomatik hingga
mengancam nyawa dengan tanda dan gejala dispnea berat, sinkop, dan sianosis.
Emboli paru juga dapat disertai dengan tachypnea, takikardia, ronki, hemoptisis,
batuk, dan nyeri pleuritik. Nyeri pleuritik terjadi apabila emboli paru menyerang
arteri pulmonalis bagian distal yang berdekatan dengan pleura.4. Berikut ini
merupakan tanda gejala emboli paru beserta dengan frekuensi terjadinya.
Diagnosis Lanjutan

Untuk menegakkan diagnosis emboli paru, perlu ditunjang dengan


anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan imaging.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dapat menegakkan diagnosis emboli paru,
tetapi dapat dipergunakan untuk menilai kemajuan terapi dan menilai
kemungkinan diagnosis lainnya. Pada emboli paru dapat ditemukan leukositosis
lebih dari 20.000/mm3, hipoksemia akibat shunting dan penurunan ventilasi, dan
penurunan tekanan parsial CO2 kurang dari 35 mmHg akibat mekanisme
hiperventilasi. Selain itu dapat ditemukan peningkatan kadar plasma D-dimer
akibat proses fibrolisis endogen yang dilepas di sirkulasi saat ditemukan adanya
bekuan. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang tinggi mencapai 94% tetapi
spesifitias yang rendah (45%) karena D-dimer juga dilepaskan pada keadaan lain
seperti kanker, inflamasi, infeksi, nekrosis, dan diseksi aorta. Apabila kadar D-
dimer normal, maka diagnosis emboli paru dapat disingkirkan.

Pada pemeriksaan foto thoraks seringkali ditemukan adanya gambaran


efusi pleura ataupun atelektasis yang dapat muncul bersamaan dengan insidensi
penyakit ini. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain pada paru.
Pada pemeriksaan elektokardiogram (EKG) kurang spesifik apabila
dilakukan pada penderita emboli paru ringan hingga sedang, karena dapat
memberikan gambaran normal. Tetapi pada penderita emboli paru berat, dapat
ditemukan gambaran :

- Gelombang Q yang sempit diikuti dengan inversi gelombang T pada lead III
disertai dengan gelombang S pada lead I yang menandakan perubahan posisi
jantung akibat dilatasi atrium dan ventrikel kanan. Dapat ditemukan juga deviasi
axis ke kanan

- P pulmonal - Right bundle branch block yang baru

- Right ventricular strain dengan inversi gelombang T pada lead V1 hingga V4

- Aritmia supraventrikuler atau sinus takikardia.

Pemeriksaan ventilation-perfusion scintigraphy (V/Q scan) juga dapat


dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis emboli paru. Pemeriksaan ini terbukti
aman dan cepat walaupun dapat menimbulkan reaksi alergi. Prinsip dasar
pemeriksaan ini adalah dengan menginjeksikan technetium (Tc)-99 m yang
diberikan label dengan partikel albumin makroagregasi, sehingga apabila terdapat
oklusipada cabang arteri pulmonal, maka pembuluh darah kapiler tidak akan
mendapatkan partikel albumin tersebut dan terlihat pada scanning. Ventilasi
diharapkan normal pada daerah/segmen paru yang tidak mengalami oklusi akibat
emboli. Pemeriksaan angiogram paru merupakan standar baku emas untuk
memastikan emboli paru. Pemeriksaan ini bersifat invasif dan memiliki resiko
tinggi, seperti reaksi alergi terhadap kontras, perforasi arteri pulmonal, artimia,
bronkospasme, perforasi ventrikel kanan, dan gagal jantung kongestif. Sehingga
peran pemeriksaan ini sudah digantikan oleh spiral CT scan yang memiliki
akurasi serupa. Temuan yang biasanya dapat dijumpai pada emboli paru adalah
filling defect dan abrupt cutoff dari pembuluh darah.

Pemeriksaan computed tomography memiliki sensitivitas sebesar 70%


dan spesifitas sebesar 90% dalam mendiagnosis emboli paru. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan memberikan injeksi kontras medium melalui vena perifer yang
dapat mencapai arteri pulmonalis yang selanjutnya memberikan visualisasi arteri
pulmonal hingga ke cabang segmentalnya.

Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal merupakan suatu alat


diagnostik non-invasif yang digunakan untuk menilai pressure overload dari
ventrikel kanan yang diakibatkan oleh emboli paru masif. Pada emboli paru akut
dapat ditemukan tanda McConnell yang menunjukkan disfungsi ventrikel kanan
dengan akinesia pada dinding tengah tetapi pergerakan normal pada bagian apex.

Pemeriksaan biomarker jantung dapat digunakan untuk memperkirakan


prognosis pada pasien dengan emboli paru. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Konstantinides, peningkatan kadar biomarker troponin T dan I
menunjukkan prognosis lebih buruk dibandingkan pada pasien yang tidak
mengalami peningkatan kadar troponin T dan I. Peningkatan biomarker tersebut
meningkatkan resiko mortalitas hingga 3,5 kali lipat.15 Penelitian terbaru
menyatakan bahwa marker heart-type fatty acid binding protein (H-FABP)
merupakan marker paling baik untuk mendeteksi emboli paru jika dibandingkan
dengan biomarker troponin.16 Beberapa penanda yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis emboli paru akut, terdiri dari:
2.4 Gambaran Makros Pulmonary Embolism dan Deskripsi Lesi

Deskripsi Lesi :
- Terdapat hemorrhagi pada mukosa trakea dan bronkus
- Lobus caudalis pulmo dexter dan sinister tampak hiperemis
- Lobus cranialis pulmo dexter dan sinister tampak pucat
- Terdapat hemorrhagi multifocal berwarna gelap pada seluruh lobus pulmo
- Pleura tampak mengkilat
Deskripsi Lesi :

- Terdapat hemorrhagi pada mukosa trakea bagian distal


- Terdapat hemorrhagi pada pumo di sekitar trakea
- Pulmo bagian perifer tampak pucat
2.5 Gambaran Mikros Pulmonary Embolism dan Deskripsi Lesi

Deskripsi Lesi

- Terdapat masa tak lajim dalam pembuluh darah yang berisi fibrinogen, eritrosit,
platelet dan eritrosit

- Terdapat garis zahn berwarna pucat yang berasal dari platelet dan fibrin

- Terdapat hemoragi dan infiltrasi sel radang PMN disekitar bronkus

2.6 TERAPI
Terapi antikoagulan adalah pengobatan yang dapat dilakukan. Secara akut,
perawatan supportifk seperti pemberian oksigen atau analgesik mungkin
diperlukan.

Terapi lain dapat diberi obat penghilang gumpalan. Biasanya obat ini
disebut trombolitik. Obat-obatan ini biasanya diberikan melalui infus dan mereka
berkerja menuju gumpalan dimana tugas mereka yaitu melarutkan gumpalan
tersebut (Geerts, et al, 2001).

Terapi lain yaitu dengan bedah jantung terbuka. Terdapat kelemahan


dalam teknik ini tentu saja sangat beresiko. Namun dalam sebagian besar situasi
yang dipertimbangkan, resiko operasi lebih kecil daripada resiko tidak mengobat
emboli paru. Keuntungan dalam teknik ini dapat memungkinkan stabilisasi segera
dalam kasus dimana pasien sangat tidak stabil (Geerts, et al, 2001).
Ada terapi perawatan berbasis kateter. Teknik ini perawatan paling
canggih. Emboli paru dapat diobati melalui tabung kecil yang biasanya
dimasukkan melalui pembuluh darah di kaki. Perkembangan terakhir yang
menarik adalah penggunaan tabung ultrasonik yang dimasukkan ke dalam paru
melalui mana dosis mikro obat penghilang gumpalan digunakan. Keuntungan dari
hal ini adalah resiko perdarahan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan
dosis tradisional obat penghilang gumpalan darah (Geerts, et al, 2001).

Terapi lain yang bisa digunakan yaitu ECMO (Extra corporeal membrane
oxygenation). Ini seperti mesin paru-paru jantung yang dapat digunakan dalam
pengobatan emboli paru yang tidak stabil. Ini memungkinkan pemulihan sirkulasi
jika jantung berhenti atau sangat tidak berfungsi dan memastikan organ menerima
darah yang mereka butuhkan juga mesin memungkinkan darah untuk dioksigenasi
dalam kasus di mana paru-paru tidak dapat berfungsi dengan baik. Singkatnya
ECMO dapat memungkinkan stabilisasi situasi yang tidak stabil dan juga
memberi waktu bagi untuk pulih (Geerts, et al, 2001).
BAB 3

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Pulmonary embolism merupakan satu dari banyak penyakit pada vaskuler


paru. Pulmonary embolism dapat terjadi karena substansi yang tidak larut masuk
ke dalam vena sistemik, terbawa aliran darah dan menyumbat di pembuluh darah
pulmoner. Keadaan ini dapat memberikan gambaran klinis dengan spektrum luas,
mulai dari suatu gambaran klinis yang asimptomatik sampai keadaan yang
mengancam nyawa berupa hipotensi, shock kardiogenik dan keadaan henti
jantung yang tiba-tiba.
Daftar Pustaka

Agnelli, G., and Becattini, C. 2010. Acute pulmonary embolism. New England
Journal of Medicine. 363(3): 266-274.

Fedullo PF , Victor F. Tapson VF. 2003 The evaluation of suspected pulmonary


embolism. NEngl J Med. 349(13): 247-56.

Fedulo PF. 2003. The Evaluation of Suspected Pulmonary Embolism. N Engl J


Med :349.

Geerts, W.H., J.A. Heit., G.P. Clagett., G.F. Pineo., C.W. Colwell., F.A.
Anderson., H.B. Wheeler. 2001. Prevention of venous thromboembolism. Chest,
119(1), 132S-175S

Goldhaber SZ., Zippes ., Libby, Bonow .,Braunwald. 2005. Cardiovascular


medicine. Philadelphia. Elsevier Saunders. Vol.7.

Kostadima E, Zakythinos E. 2007. Pulmonary Embolism:


Pathophysiology,Diagnosis, Treatment. Hellenic J Cardiol. 48: 94-107.

Lopez CA, Edelman K, Candales MD. Right ventricular apical contractility in


acute pulmonary embolism: the McConnell sign revisited. Echocardiography.
2010;27:614-20.
M. Turetz , MD., A.T. Sideris., O.A Friedman., N.Triphathi., J.M.Horowitz.
2018.Epidemiology, Patophysiology, and Natural History Of Pulmonary
Embolism.Seminars in Interventional Radiology Vol 35 . No 2 : 92-98.

Motte S, Mélot C, Di
Pierdomenico L, Martins D, Leclercq P, Pirson M. Predictors of costs from the
hospital perspective of primary pulmonary embolism. Eur Respir J 2016;47:203–
211.
Piazza G., Goldhaber SZ. 2006. Acute Pulmonary Embolism Part II : Treatment
and Prophylaxis Circulation. Vol 114: 42-47.

Robbins, L. 2004. Robbins Basic Pathology 7th edition. Elsevier. Saunders


Company.
Daftar Pustaka
Kusmana D, dkk. Standar Pelayanan Medik RS. Jantung Pembuluh Darah
Harapan Kita.Edisi ke-2. Jakarta. 2003.h 209-11.
Goldhaber SZ, Elliot CG. Acute Pulmonary Embolism: Part II: Risk stratification,
treatment, and prevention. Circulation 2003;108:2834-2838.
Sunu I. Emboli Paru: Pencegahan dan Tata Laksana Optimal Pasien Rawat Inap.
Dalam: Harimurti GM, dkk, penyunting. 18th Weekend Course on
Cardiology, common soils in atherosclerosis: The base for prevention
and intervention Jakarta.2006.h.9-18.
Fedullo PF: Pulmonary Embolism. Dalam:Robert AO, Valentin F,R.Wayne A,
penyunting. The Heart Manual of Cardiologi. Edisi ke-11.
Boston:McGraw Hill, 2005.h.351-2
Piazza G, Goldhabber SZ. Acute Pulmonary Embolism: Part I:vEpidemiology and
Diagnosis. Circulation 2006;114:28-32.
Julian GD: Disorders of the lungs and pulmonary circulation. Dalam: Desmond
GJ, Cowan JC, James MM, penyunting. Cardiology. Edisi ke-8.
Edinburgh: Churchill livingstone,2000.h.181-7.

Anda mungkin juga menyukai