Anda di halaman 1dari 19

Sari Kepustakaan ACC Supervisor Telah dibacakan,

Divisi Pulmonologi, Alergi Pimpinan Sidang


& Imunologi

dr. Rasyidah Hasan Harahap dr. Zuhrial Zubir,SpPD,K-AI dr. Zuhrial Zubir,SpPD,K-AI

Emboli Paru
Rasyidah Hasan Harahap, Alwinnsyah Abidin, Zuhrial Zubir, Meivina Ramadhani
Divisi Kardiologi interna
Divisi PulmonologiAlergi & Imunologi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
RSUP Haji Adam Malik Medan

1. PENDAHULUAN
Tromboemboli vena (Venous Thromboembolism/VTE) meliputi trombosis vena
dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT) dan emboli paru (Pulmonary Embolism/PE).
Emboli paru merupakan keadaan terjadinya obstruksi sebagian atau total sirkulasi
arteri pulmonalis atau cabang-cabang akibat tersangkutnya emboli trombus atau
emboli yang lain. Bila obstruksi tadi akibat tersangkutnya emboli trombus disebut
tromboemboli paru (pulmonary thrombo-embolism). Istilah emboli paru sering
disamaartikan dengan tromboemboli paru. Akibat lanjut dari emboli paru dapat
terjadi infark paru. Oleh karena jaringan parenkim memperoleh aliran darah dari dua
jenis peredaran darah (cabang-cabang arteri pulmonalis dan cabang arteri bronkialis),
maka emboli paru jarang berlanjut menjadi infark paru (Rahmatullah, 2014).
Berdasarkan penelitian, insidensi terjadinya emboli paru pada populasi adalah 3
per 100,000 penduduk. Insidensi emboli paru di Amerika Serikat dilaporkan hampir
200.000 kasus per tahun dengan angka kematian mencapai 15% yang menunjukkan
bahwa penyakit ini masih merupakan problema yg menakutkan (Octaviani,
2015)(White,2003)(Piazza,2006). VTE menempati peringkat ketiga penyakit
kardiovaskular paling sering dengan insiden tahunan 100-200 per 100000. VTE
menyebabkan kematian pada fase akut dan berlanjut menjadi penyakit kronik dan
disabilitas. Namun hal ini juga dapat dicegah (Konstantinides, 2014). Seringnya,
penyakit ini tidak terdiagnosis karena gejalanya yang tidak spesifik (Vivi, 2010).

1
2. ETIOLOGI & FAKTOR PREDISPOSISI
Beberapa penyebab utama dari sebuah kejadian emboli paru merupakan
tromboemboli vena yang berasal dari tungkai bawah atau dari jantung kanan
(Rahmatullah, 2014). Beberapa penyebab lain emboli paru berupa seperti emboli
udara, emboli lemak, cairan amnion, fragmen tumor, dan sepsis (Octaviani,
2015)(White,2003).
Faktor-faktor predisposisi terjadinya emboli paru menurut Virchow 1856 atau
sering juga disebut sebagai physiological risk factor, meliputi:
1. Adanya aliran darah lambat (stasis)
Aliran darah lambat (stasis) dapat ditemukan pada beberapa keadaan, misalnya
pasien yang mengalami tirah baring cukup lama, kegemukan, varises, dan gagal
jantung kongestif. Darah yang mengalir lambat memiliki kesempatan lebih
banyak untuk membeku (thrombus) (Rahmatullah, 2014).
2. Trauma/kerusakan dinding pembuluh darah vena
Kerusakan dinding pembuluh darah vena misalnya karena operasi, trauma
pembuluh darah (kateterisasi jantung, suntikan) dan luka bakar. Adanya
kerusakan endotel pembuluh vena yang menyebabkan dikeluarkan bahan yang
dapat mengaktifkan faktor pembekuan darah (faktor Hageman) dan kemudian
dimulailah proses pembekuan darah (Rahmatullah, 2014).
3. Keadaan darah yang mudah membeku (hiperkoagulasi)
Keadaan darah mudah membeku (Hiperkoagulobilitas) juga merupakan faktor
risiko terjadinya thrombus, misalnya keganasan, polisitemia vera, anemia
hemolitik, anemia sel sabit, trauma dada, kelainan jantung bawaan, spelenektomi
dengan trombositosis, homosinteinuria, penggunaan obat oral kontrasepsi
(estrogen) dan trombositopati (Rahmatullah, 2014). Selain faktor-faktor diatas,
masih ada sejumlah faktor genetik yang menjadi faktor prediposisi trombosis(
Goldhaber, 2005) Trombosis vena juga lebih mudah terjadi faktor predisposi
pada sejumlah keadaan dengan peningkatan faktor V, VIII, fibrinogen abnormal,
defisiensi antithrombin III, menurunnya aktivator plasminogen akibat berbagai
rangsangan, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan sebagainya
(Rahmatullah, 2014).

2
Tabel 1. Faktor resiko tromboemboli vena (Goldhaber, 2005)

3. PATOFISIOLOGI
Bila trombus vena lepas dari tempat terbentuknya, emboli akan mengikuti aliran
sistem vena yang seterusnya akan memasuki sirkulasi arteri pulmonalis. Jika emboli
ini cukup besar, akan dapat menempati bifurkasio arteri pulmonalis, dan membentuk
saddle embolus. Tidak jarang pembuluh darah paru akan tersumbat karenanya. Baik
obstruksi total dan parsial memiliki akibat gangguan hemodinamik dan gangguan
respirasi.
Gangguan hemodinamik. Peningkatan tekanan arteri pulmonal hanya terjadi
bila sumbatan tromboemboli lebih dari 30-50% dari total luas penampang arteri.
Pada kondisi ini akan terjadi pelepasan senyawa-senyawa vasokonstriktor yang
dimediasi dengan pelepasan tromboksanA2 dan serotonin yang berkontribusi pada
peningkatan resistensi vaskular setelah emboli paru. Efek ini dapat dibalikkan
dengan vasodilator. Adanya obstruksi pada anatomi dan vasokonstriksi,
meningkatkan resistensi vaskular paru dan menurunkan compliance. Peningkatan
tekanan arteri pulmonalis yang tiba-tiba akan meningkatkan tekanan ventrikel kanan
dengan konsekuensi dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan dan septum
intraventrikuler tertekan ke sisi kiri akibatnya terjadi gangguan pengisisan ventrikel
pada awal diastolik. Dengan berkurangnya pengisisan ventrikel kiri, maka curah

3
jantung sistemik (systemic cardiac output) akan menurun yang akan mengurangi
perfusi koroner dan menyebabkan iskemia miokard. Peninggian tekanan dinding
ventrikel kanan yang diikuti oleh adanya emboli paru masif akan menurunkan aliran
koroner kanan dan menyebabkan kebutuhan oksigen ventrikel kanan meningkat yang
selanjutnya menimbulkan iskemia dan syok kardiogenik. Siklus ini dapat
menimbulkan infark ventrikel kanan, kollaps sirkulasi atau kematian (Fedullo, 205)
(Goldhaber, 2005)(,2014)
Gangguan respirasi. Kegagalan pernafasan pada PE didominasi oleh akibat
gangguan hemodinamik. Pada daerah paru yang terdapat emboli timbul
bronkokosntriksi, wasted ventilation, hilang dan menurunnya surfaktan paru pada
daerah paru yang terkena dan hipoksemia arterial. Reaksi bronkokonstriksi
diakibatkan oleh berkurangnya aliran darah (obstruksi total atau parsial),
berkurangnya bagian katif permukaan jaringan paru dan pengeluaran histamin dan 5-
hidroksi isoptamin yang menyebabkan bronkokonstriksi dan vasokonstriksi
bertambah berat. Wasted ventilation terjadi karena adanya obstruksi oleh emboli paru
yang menimbulkan suatu zona paru dengan ventilasi paru yang cukup namun tidak
terdapat perfusi, sehingga menimbulkan dead space di dalam paru. Bagian paru ini
tidak mengalami pertukaran gas. Hilang atau menurunnya surfaktan paru
menyebabkan stabilitas alveoli menurun, yang berakibat atelektasis pada daerah paru
yang terkena. Menurunnya aliran pada pembuluh darah yang tersumbat, dikombinasi
dengan aliran yang berlebih pada pembuluh darah yang tidak tersumbat
menyebabkan ketidaksesuaian ventilasi-perfusi, yang menimbulkan hipoksemia
(Rahmatullah, 2014) (Konstatinides, 2014). Hampir pada sepertiga pasien, terdeteksi
adanya aliran kanan ke kiri melewati foramen ovale yang dapat terdeteksi dari
ekokardiografi (Konstatinides, 2014). Meskipun PE tidak mempengaruhi
hemodinamik, emboli kecil di distal dapat menyebabkan perdarahan pada daerah
alveolar yang menimbulkan hemoptisis, pleuritis, dan efusi pleura yang biasanya
ringan. Presentasi klinis ini dikenal dengan “infark pulmonar”. Pengaruhnya pada
pertukaran gas biasanya ringan, kecuali pada pasien dengan penyakit kardiorespirasi
sebelumnya (Konstatinides, 2014).

4
Gambar 1. Perjalanan emboli paru
4. GAMBARAN KLINIS
Kecurigaan emboli paru merupakan dasar dalam menentukan tes diagnostik.
Pada umumnya PE disangkakan bila dijumpai dispnoe, nyeri dada, presinkop atau
sinkop, dan/atau hemoptisis (Konstatinides, 2014). Dispnoe merupakan gejala yang
paling sering muncul, dan takipnoe adalah tanda emboli paru yang paling khas.
Dispnoe berat, sinkop atau sianosis merupakan tanda utama emboli paru yang
mengancam nyawa. Nyeri pleuritik dan nyeri dada menunjukkan bahwa emboli paru
kecil dan terletak di arteri pulmonalis distal, berdekatan dengan garis pleura
(Goldhaber, 2005). Pada PE sentral, nyeri dada memiliki karakter tipikal angina,
mungkin menggambarkan adanya iskemia RV, oleh karena itu didiagnosa banding
dengan acute coronary syndrome (ACS) atau diseksi aorta (Konstatinides, 2014).

5. DIAGNOSIS
Berdasarkan guidelines dan untuk tujuan pengobatan, PE terkonfirmasi
didefinisikan sebagai probabilitas PE yang cukup tinggi untuk indikasi pengobatan
PE dan PE yang tereksklusi sebagai sebuah probabilitas PE yang cukup rendah untuk
tidak memberikan pengobatan PE dengan resiko rendah yang dapat diterima
(Konstatinides, 2014).
Diagnosis suatu emboli paru dapat ditegakkan dari penilaian gambaran klinis
dan pemeriksaan penunjang. Namun, diagnosis emboli paru ternyata lebih sulit
dibandingkan dengan pengobatan dan pencegahannya. Emboli paru yang besar tidak

5
selalu terdiagnosis dan hanya dijumpai saat autopsi meskipun ada kemajuan
teknologi (Goldhaber, 2005). Pendekatan diagnostik non invasif, khususnya
pemeriksaan D-dimer, ELISA (Enzym-linked immunosorbent assay), CT-Scan dan
ultrasonografi vena saat ini semakin meningkatkan nilai kepercayaan dalam
menegakkan diagnosis emboli paru (Goldhaber, 2005).
Tabel 2. Prediksi Emboli Paru (Konstatinides, 2014)

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bila gambaran klinis mengarah kepada PE, maka harus diikuti dengan
pemeriksaan objektif pada pasien (Konstatinides, 2014).

6
D-Dimer
Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi produk yang dihasilkan oleh proses
fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan. Nilai D-Dimer
meningkat dalam plasma pada kondisi trombosis akut karena aktivasi bersamaan
koagulasi dan fibrinolisis (Konstatinides, 2014). Pemeriksaan ini merupakan
skrining yang bermanfaat dengan sensitivitas yang tinggi (94%) namun kurang
spesifisitas (45%). D-dimer dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti recent
MCI . Spesifisitas D-dimer secara ELISA untuk memprediksi emboli paru meningkat
bila ratio D-Dimer / fibrinogen > 1000 (Goldhaber, 2005).
Analisa Gas Darah
Gambaran khas berupa menurunnya kadar pO2 yang dikarenakan shunting akibat
ventilasi yang berkurang. Secara simultan pCO2 dapat normal atau sedikit menurun
disebabkan oleh keadaan hiperventilasi. Sensitivitas dan spesifisitas analisa gas darah
untuk penunjang diagnostik emboli paru relatif rendah (Goldhaber, 2005).
Foto Toraks
Tidak ada gambaran patognomonik untuk emboli paru pada foto thoraks.
Pembesaran arteri pulmonal desenden yang semakin bertambah pada serial foto
toraks adalah tanda sering dijumpai pada emboli paru. Selain itu, dapat dijumpai
peninggian diafragma bilateral, pembesaran jantung kanan, densitas paru daerah
terkena dan tanda Westermark. Tanda westermark yaitu suatu hiperlusen paru dan ini
dianggap paling khas pada emboli paru meskipun hanya dijumpai pada 15% kasus
(Rahmatullah, 2014). Foto toraks juga dapat menunjukkan kelainan lain seperti efusi
pleura atau atelektasis yang sering bersamaan insidensinya dengan penyakit ini.
Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan keadaan lain khususnya
pneumothorax (Goldhaber, 2005).
Computed Tomographic Pulmonary Angiography
Sejak dikenalkannya multidetector computed tomography (MDCT) angiography
yang memiliki resolusi spasial yang tinggi dan kualitas opasifikasi arteri, CT
angiografi menjadi metode pilihan untuk menggambarkan vaskularisasi paru pada
pasien tersangka PE (Konstatinides, 2014). Tes ini sangat sensitif dan spesifik dalam
mendiagnosis emboli paru dan dapat dilakukan pada penderita yang tidak dapat
menjalani pemeriksaan scanning ventilasi-perfusi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan

7
memberikan injeksi kontras medium melalui vena perifer dan dapat mencapai arteri
pulmonalis yang selanjutnya memberikan visualisasi arteri pulmonal sampai ke
cabang segmentalnya (Goldhaber, 2005). Namun, aplikasi CT angiografi terbatas
pada pasien gangguan fungsi ginjal dan pasien dengan hemodinamik tidak stabil
(Root, 2018)
Lung Scintigrafi
Skintigrafi ventilasi-perfusi (V/Q scan) telah dijadikan sebagai uji diagnosis untuk
tersangka PE (Konstatinides, 2014). Dengan menggunakan teknik radioaktif,
pemeriksaan ini merupakan suatu teknik yang cukup sensitive untuk mendeteksi
gangguan perfusi. Defisit perfusi dapat dikarenakan oleh ketidakseimbangan aliran
darah ke bagian paru atau disebabkan masalah paru seperti efusi atau kollaps paru.
Untuk menambah spesifisitasnya, teknik ini selalu dikombinasi dengan ventilation
scan dengan menggunakan radioaktif gas xenon. Gambaran yang menunjukkan non-
perfusi tapi terdapat zona ventilasi menunjukkan emboli paru (Goldhaber, 2005).
Karena berupa radiasi dan penggunaan kontras yang lebih sedikit, V/Q scan lebih
dipilih pada pasien rawat jalan, dengan probabilitas klinis rendah dan foto thoraks
normal, muda dan umumnya wanita, dalam kehamilan, dan riwayat alergi terhadap
kontras, gangguan ginjal berat, pada pasien mieloma dan paraproteinemia
(Konstatinides, 2014).
Angiografi Pulmonar
Angiografi pulmonar dalam 10 tahun terakhir merupakan standar baku diagnosa
eksklusi PE. Namun jarang dilakukan karena saat ini adanya CT angiografi yang
lebih tidak invasif dan memiliki akurasi yang sama. Pada angiografi pulmonar,
diagnosis PE akut berdasarkan adanya bukti trombus pada dua proyeksi, baik
gangguan pengisian (filling deffect) atau pemotongan arteri cabang pulmonar
(Konstatinides, 2014).

Magnetic Resonance Angiografi (MRA)


Meskipun menjanjikan, namun MRA belum dapat digunakan dalam praktik klinis
karena memiliki sensitifitas yang rendah dan tingginya proporsi scan MRA yang
tidak meyakinkan dan memiliki availabilitas yang rendah pada kasus emergensi.

8
Namun, alat ini tidak dianjurkan pada pasien gawat karena adanya bahan metal
seperti infus, peralatan bantu nafas, dll (Konstatinides, 2014).

Complex venous Ultrasonography (CUS)


Pada sebagian besar kasus, PE berasal dari DVT pada tungkai bawah. Saat ini, CUS
tungkai bawah digunakan telah digunakan secara luas untuk menggantikan venografi
dalam mendeteksi DVT (Konstatinides, 2014).
Elektrokardiogram (EKG)
Perubahan EKG tidak dapat dipercaya dalam diagnosis emboli paru terutama pada
kasus yang ringan sampai sedang. Pada keadaan emboli paru massif dapat terjadi
perubahan EKG antara lain :
- Pola S1 Q3 T3 , gelombang Q yang sempit diikuti T inverted di lead III, disertai
gelombang S di lead I menandakan perubahan posisi jantung yang dikarenakan
dilatasi atrium dan ventrikel kanan.
- P Pulmonal
- Right bundle branch block yang baru
- Right ventricular strain dengan T inverted di lead V1 sampai V4

Gambar 2. Gambaran EKG seorang pria 33 tahun dengan emboli paru pada
cabang utama kiri arteri pulmonalis yang telah dikonfirmasi dengan CT scan
thorax (Goldhaber, 2005).

Ekokardiografi

9
Ekokardiografi transtorakal muncul sebagai alat diagnostik non invasif yang
berperan dalam menilai suatu pressure overload dari ventrikel kanan yang dapat
diakibatkan oleh emboli paru massif. Penderita emboli paru akut menunjukkan
pergerakan dinding segmental abnormal yang spesifik yang sering disebut sebagai
tanda McConnell, hipokinesis dinding disertai pergerakan apeks ventrikel kanan
yang masih normal. Dilatasi ventrikel kanan merupakan tanda tidak langsung dari
beban ventrikel kanan yang berlebihan.
Rasio pengukuran ventrikel kanan dibanding ventrikel kiri ≥ 1 pada pengambilan
gambar apical four chamber. Pada teknik pengambilan gambar parasternal short
axis akan terlihat septum interventrikuler menjadi datar dan menyebabkan gambaran
ekokardiografi D shape ventrikel kiri. Tanda lain dari disfungsi ventrikel kanan
adalah regurgitasi tricuspid dengan kecepatan ≥ 2,6 m/detik dan dilatasi vena kava
inferior (Goldhaber, 2005).
Biomarker jantung
Troponin T (Trop T) adalah marker jantung yang sangat sensitif dan spesifik
untuk suatu nekrosis sel miokard. Pada pasien emboli paru terjadi sedikit
peningkatan kadar Trop T dibandingkan dengan peningkatan yang cukup tinggi pada
kasus sindroma koroner akut (nilai abnormal terendah 0,03-0,1 ng/ml). Kadar Trop T
berkorelasi dengan disfungsi ventrikel kanan, dimana iskemi miokard terjadi akibat
gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dari ventrikel kanan
sehingga terjadi pelepasan Trop T ke dalam sirkulasi tanpa adanya penyakit jantung
koroner.
Natriuretic peptide merupakan suatu marker yang berguna untuk diagnostik dan
prognostik gagal jantung kongestif. Peregangan sel miosit jantung akan merangsang
sintesa dan sekresi BNP. Pro BNP dalam miosit ventrikel yang masih normal tidak
disimpan dalam jumlah yang besar. Peningkatan kadar BNP dan Pro BNP
berhubungan dengan disfungsi ventrikel kanan pada pasien dengan emboli paru.
Kadar BNP ≥ 50 pg/ml memberikan nilai prognostik emboli paru yang buruk
(Goldhaber, 2005).
STRATEGI DIAGNOSTIK
Prevalensi pasien yang dikonfirmasi PE pada pasien yang menjalani rangkaian
pemeriksaan karena sangkaan PE cukup rendah (10-35%). Karenanya, penggunaan

10
algoritme menjanjikan, dan beberapa pemeriksaan klinis seperti nilai D-Dimer,
pemeriksaan radiologi telah diusulkan dan divalidasi (Konstatinides, 2014).
Algoritma diagnosis untuk sangkaan PE dengan atau tanpa syok dapat dilihat pada
gambar dibawah ini.

Gambar 3. Algoritme diagnosis pada pasien sangkaan PE dengan syok atau


hipotensi (Konstatinides, 2014)

11
Gambar 4. Algoritme diagnosis pada pasien sangkaan PE tanpa syok atau
hipotensi (Konstatinides, 2014)
7. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana PE pada fase akut
a. Perbaikan hemodinamik dan pernafasan
Kegagalan RV akut menyebabkan rendahnya output sistemik, oleh karena itu
terapi suportif sangat penting. Pemberian cairan secara agresif dapat memperburuk
fungsi RV. Namun pemberian challenge cairan sebanyak 500 cc dapat meningkatkan
cardiac index pada pasien dengan PE, nilai cardiac index yang rendah dan tekanan
darah yang normal (Konstatinides, 2014).
Penggunaan vasopressin sering dibutuhkan bersamaan dengan pemberian obat-
obatan lain, operasi ataupun reperfusi intervensi. Norepinefrin dapat meningkatkan
fungsi RV melalui efek inotropik positif bersamaan dengan peningkatan perfusi
arteri koroner. Penggunaan dobutamin dan/atau dopamin dapat dipertimbangkan
pada pasien PE, cardiac index yang rendah, dan BP normal. Epinefrin
menggabungkan efek menguntungkan dari norepinefrin dan doutamin tanpa efek
vasodilator setelahnya (Konstatinides, 2014).
Kondisi hipoksemia dapat ditatalaksana dengan pemberian terapi oksigen. Bila
diperlukan ventilasi mekanik, harus dipertimbangkan efek samping hemodinamik
(Konstatinides, 2014).

12
b. Antikoagulan
Pemberian antikoagulan direkomendasikan pada pasien PE akut untuk mencegah
kematian dini dan gejala berulang atau VTE yang fatal. Antikoagulan diberikan
minimal selama 3 bulan. Pada fase akut, antikoagulan parenteral (seperti
unfractionated heparin (UFH), low molecular weight heparin (LMWH), atau
fondaparinux) diberikan selama 5-10 hari pertama. Pemberian heparin parenteral
dapat tumpang tindih dengan dengan inisisasi pemberian vitamin K antagonis
(VKA). Sebagai alternatif, dapat diikuti dengan pemberian salah satu antikoagulan
oral baru seperti dabigatran atau edoxaban. Bila rivaroksaban atau apiksaban
diberikan sebagai gantinya, pemberiannya harus dimulai langsung atau setelah 1-2
hari pemberian UFH, LMWH atau fondafarinuks. Pada kasus terakhir ini,
pengobatan PE fase akut terdiri dari peningkatan dosis antikoagulan selama 3
minggu pertama (untuk rivaroksaban) atau selama 7 hari pertama (untuk apiksaban).
Dalam beberapa kasus, pemberian antikoagulan dapat diperpanjang lebih dari 3
bulan pertama selama berbulan-bulan tanpa batas waktu, mungkin diperlukan untuk
pencegahan sekunder,dengan mempertimbangkan risiko kekambuhan dan risiko
perdarahan per individu (Konstatinides, 2014).
Tabel 3. Low molecular weight heparin (LMWH) dan pentasaccharide
(fondaparinux) untuk terapi emboli paru (Konstatinides, 2014)

All regimens administered subcutaneously. IU ¼ international units; LMWH ¼ low molecular weight heparin.
aOnce-daily injection of enoxaparin at the dosage of 1.5 mg/kg is approved for inpatient (hospital) treatment of

PE in the United States and in some, but not all, European countries.
bIn cancer patients, dalteparin is given at a dose of 200 IU/kg body weight (maximum, 18 000 IU) once daily over

a period of 1month, followed by 150 IU/kg once daily for 5 months.278 After this period, anticoagulation with a
vitamin K antagonist or a LMWH should be continued indefinitely or until the cancer is considered cured.
cNadroparin is approved for treatment of PE in some, but not all European countries.

c. Trombolitik

13
Pemberian trombolitik pada fase akut PE dapat memperbaiki perfusi lebih cepat
dibandingkan antikoagulan dengan UFH saja. Saat ini reteplase, tenecteplase dan
desmoteplase tidak direkomendasi lagi sebagai terapi akut PE. Pemberian
streptokinase dan urokinase direkomnedasikan untuk kondisi ini. Namun selama
pemberian streptokinase dan urokinase, UFH harus dihentikan dan dilanjutkan
kembali selama pemberian recombinant tissue plasminogen activator (rtPA). Pada
pasien yang mendapat LMWH atau fondaparinux pada saat trombolitik diinisiasi,
pemberian UFH harus ditunda hingga 12 jam setelah pemberian terakhir LMWH
(yang diberikan 2 kali sehari) atau sampai 24 jam setelah injeksi LMWH atau
fondaparinux (yang diberikan sekali sehari). Mengingat risiko perdarahan yang bisa
terjadi pada pemberian trombolisis, penghentian ataupun membalikkan efek
antikoagulan perlu segera dilakukan, dan masuk akal untuk melanjutkan
antikoagulan dengan UFH beberapa jam setelah akhir pengobatan trombolitik
sebelum beralih ke LMWH atau fondaparinux (Konstatinides, 2014).
d. Surgical Embolektomi
Penderita emboli paru massif atau submassif dengan kontraindikasi fibrinolitik,
maka embolektomi akan menjadi pilihan therapi. Indikasi embolektomi secara
pembedahan lainnya mencakup emboli paradoks (paradoxical emboli), emboli yang
menetap pada jantung kanan (persistent right heart thrombin), ketidakseimbangan
hemodinamik atau respiratorik yang memerlukan resusitasi kardiopulmoner (Piazza,
2006).
e. Percutanes catheter-directed treatment
Embolektomi pulmoner dengan teknik kateterisasi (catheter-based pulmonary
embolectomy) saat ini berkembang menjadi therapi primer pilihan pada emboli paru
akut. Teknik ini diindikasikan bila fibrinolisis dan embolektomi pembedahan
merupakan kontraindikasi. Pada umumnya, embolektomi dengan kateterisasi akan
berhasil jika dilakukan pada fresh thrombus dalam kurun waktu 5 hari sejak
ditemukan gejala (Piazza, 2006).
Tujuan intervensi pada penanganan emboli paru adalah untuk menyingkirkan
trombus yang menghambat arteri pulmonal utama untuk menghambat perbaikan RV
dan memperbaiki simptom dan angka harapan hidup. Untuk pasien dengan
kontraindikasi absolut trombolisis, pilihan terapi intervensi dapat berupa (i) fragmen

14
thrombus dengan pigtail atau balloon catheter, (ii) rheolytic trombectomy dengan
alat kateter hidrodinamik, (iii) suction thrombecthomy dengan aspirasi kateter, (iv)
rotational thrombectomy. Pada sisi lain, pasien tanpa kontraindikasi absolut
trombolisis, catheter-directed thrombolysis atau pharmacomechanical thrombolysis
merupakan pendekatan yang dipilih (Konstatinides, 2014).
f. Venous filters
Venous filter biasanya diletakkan pada daerah infrarenal vena cava inferior
(VCI). Jika trombus diidentifikasi pada vena renalis, suprarenal placement
diindikasikan. Venous filter diindikasikan pada pasien dengan PE akut dengan
kontraindikasi absolut penggunaan anti koagulan dan pada pasien yang mengalami
kekambuhan setelah pemberian antikoagulan adekuat (Konstatinides, 2014).

Gambar 5. Strategi manajemen risiko yang disesuaikan pada emboli paru akut
(Konstatinides, 2014)

15
Tabel 4. Klasifikasi emboli paru akut berdasarkan risiko kematian
(Konstatinides, 2014)

8. PROGNOSIS
Disfungsi RV merupakan salah satu faktor penentu hasil akhir dari PE. Gejala
klinis dan tanda kegagalan RV seperti adanya hipotensi persisten dan syok
kardiogenik mengindikasikan tingginya risiko kematian pada PE. Pada pasien yang
bukan risiko tinggi, penggunaan skor prediksi yang sudah divalidasi seperti PESI
dapat dipertimbangkan untuk melihat membedakan risiko PE rendah atau
intermediate. Pada pasien risiko intermediate, pemeriksaan ventrikel kanan dengan
ekokardiografi atau CT pemeriksaan biomarker kerusakan jantung dapat
dipertimbangkan (Konstatinides, 2014).
Tabel 5. Pulmonary Embolism Severity Index (PESI) (Konstatinides, 2014)

16
9. PENCEGAHAN
Pencegahan emboli paru menjadi salah satu hal penting dikarenakan kelainan ini
sulit dideteksi dan penatalaksanaannya tidak selalu berhasil. Setiap penderita yang
dirawat seharusnya dilakukan stratifikasi risiko emboli paru dan bila perlu mendapat
terapi profilaksis (Janata, 2003).
Pencegahan nonfarmakologis yang dapat dilakukan adalah penggunaan
graduated-compression stockings , suatu alat yang memberikan kompresi berkala
dan filter vena cava inferior atau kombinasi keduanya (Janata, 2003). Disamping itu
regimen farmakologis profilaksis lainnya dapat diberikan seperti pada tabel berikut
ini:

17
Tabel 6. Regimen Profilaksis tromboemboli Vena (Piazza, 2006)

10. KESIMPULAN
Emboli paru merupakan salah satu masalah kesehatan dengan insidensi yang
masih tinggi dan angka mortalitasnya cukup signifikan.
Deteksi dan stratifikasi risiko merupakan langkah awal dalam diagnosis dan
tatalaksana suatu emboli paru sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas.

REFERENSI

18
Fedullo PF. 2003. Pulmonary embolism dalam Robert AO, Valentin F. R Wayne A
eds. The heart manual of cardiology. Edisi ke-11. Boston. McGraw Hill. 351-2.
Goldhaber SZ. 2005. Pulmonary Embolism dalam Zipes, Libby, Bonow, Braunwald
eds. Braunwald’s herat disease, a textbook of cardiovascular medicine. Edisi ke-
7. Philadelphia: Elsevier saunders, 2005. 1706-89.
Janata K. 2003. Managing pulmonary embolism. BMJ ;326:1341-1342.
Konstantinides SV. Torbicki A. Agnelli G. Danchin N. 2014. ESC Guidelines on the
diagnosis and management of acute pulmonary embolism. European Heart
Journal. 35, 3033–3080. doi:10.1093/eurheartj/ehu283
Lesmana Putri Vivi. 2010. Emboli Paru. Cermin Dunia Kedokteran. Available from:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/...180Embliparu.pdf/11_180Embliparu.pdf.
Oktaviani F. Kurniawan A. 2003. Emboli Paru. Medicinus;4(8):313-322. pISSN:
1978-3094.
Piazza G, Goldhaber SZ. 2006. Acute pulmonary embolism: Part II: Treatment and
prophylaxis. Circulation. 114:42-47
Piazza G. Goldhabber SZ. 2006. Acute pulmonary embolism: part I: Epidemiology
and diagnosis. Circulation. 114:28-32.
Rahmatullah P. 2014. Tromboemboli Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
ed. 6. Siti Setiadi. Jakarta: Universitas Indonesia. 1690-9.
Root CW. Dudzinski DM. Zakhary B. 2018. Multidisciplinary approach to
management of pulmonary embolism patients. Journal of Multidisciplinary
Healthcare :11 187–195.
White RH. 2003. The Epidemiology of Venous Thromboembolism. Circulation.

19

Anda mungkin juga menyukai