Miftahul Fadhly Sigalingging, Melati Silvani, M.Aron Pase, Santi Syafril, Dharma Lindarto
1. Pendahuluan
Kehamilan memiliki dampak yang besar pada kelenjar tiroid dan fungsinya. Selama
kehamilan, ukuran kelenjar tiroid terjadi peningkatan sebesar 10% di negara-negara dengan
yodium yang cukup, sedangkan di daerah yang kurang yodium terjadi peningkatan lebih
besar yaitu 20% hingga 40%. Produksi hormon tiroid, tiroksin (T 4), dan triiodothyronine
(T3), meningkat hampir 50%, bersamaan dengan itu terjadi juga penigkatan kebutuhan
yodium harian sebesar 50%. Disfungsi tiroid dapat terjadi pada banyak wanita hamil karena
proses patologis. Penyakit tiroid lainnya seperti penyakit nodular dan kanker tiroid kadang-
kadang terdeteksi selama kehamilan dan mungkin memerlukan perawatan.(Alexander et.al
2017)
Gangguan tiroid merupakan salah satu gangguan endokrin yang sering didapatkan
pada kehamilan. Fungsi tiroid ibu berubah selama kehamilan dan adaptasi yang tidak
memadai terhadap perubahan ini menghasilkan disfungsi tiroid. Perubahan ini adalah hasil
dari berbagai faktor seperti peningkatan tiroglobulin karena peningkatan estrogen dan human
chorionic gonadotrophin, peningkatan kehilangan yodium di ginjal karena peningkatan laju
filtrasi glomerulus, modifikasi metabolisme perifer hormon tiroid ibu hamil dan modifikasi
dalam transfer yodium ke plasenta. Peningkatan produksi hormon tiroid dan kebutuhan
1
yodium meningkat sebesar 50% selama kehamilan. Kehamilan adalah tes stres untuk tiroid,
mengakibatkan hipotiroidisme pada wanita dengan cadangan tiroid terbatas atau defisiensi
yodium. Gangguan tiroid selama awal kehamilan telah telah dikaitkan dengan hasil yang
buruk terhadap ibu hamil dan janin. Komplikasi obstetri utama adalah aborsi, preeklampsia,
solusio plasenta dan persalinan prematur dan komplikasi janin prematur, berat badan lahir
rendah, lahir mati dan kematian perinatal. Ada peningkatan di kejadian penerimaan NICU
dan sindroma distress pernafasan. Hipotiroidisme pada trimester pertama berbahaya bagi
perkembangan otak janin dan mengarah ke keterbelakangan mental dan kretinisme yang
meliputi gangguan mental dan pertumbuhan dan perkembangan fisik serta memiliki dampak
negatif pada sebagian besar sistem organ. (Rama S et.al 2016).
Gangguan tiroid dapat terabaikan pada kehamilan karena gejala yang tidak spesifik
dan keadaan hiper metabolik pada kehamilan. Perubahan fisiologis kehamilan dapat
merangsang penyakit tiroid. Prevalensi gangguan tiroid selama kehamilan memiliki variasi
geografis yang luas. Literatur Barat menunjukkan prevalensi hipotiroidisme pada kehamilan
2,5% dan hipertiroidisme pada kehamilan memiliki prevalensi 0,1 hingga 0,4%. (Rama S
et.al 2016). Prevalensi hipotiroidisme pada kehamilan adalah sekitar 2,5% sedangkan
prevalensi Graves Disease (GD) adalah sekitar 0,1-0,4% dan tiroid autoimunitas (TAI)
sekitar 5-10%. (Vimal N, et.al 2011).
Pada kehamilan, terjadi beberapa perubahan fisiologis menyangkut fungsi dan status
tiroid, yaitu pada ekskresi iodium, kadar TBG dan akibat stimulasi/peningkatan HCG. Semua
faktor ini mempengaruhi hasil dari uji tiroid pada kehamilan. Tiroid yang normal akan
beradaptasi dengan perubahan metabolisme tiroid, ambilan iodium dan pengaturan pada aksis
hipotalamus-hipofisis (Alexander, et al., 2017).
Pada awal kehamilan, GFR (glomerular filtration rate) meningkat sehingga klirens
iodium bertambah. Hal ini akan mengurangi kadar iodium organik dalam darah. Kelenjar
tiroid mengkompensasi kondisi tersebut dengan cara meningkatkan TSH. Konsekuensinya
terbentuk struma pada kehamilan dengam angka tangkapan iodium yang tinggi (Pramono &
Soebijanto, 2016).
2
Gambar 2.1. Aksis tiroid pada Kehamilan (Cooper & Laurberg, 2013) TSH=thyroid-
stimulating hormone. T4=thyroxine. T3=tri-iodothyronine. hCG=human chorionic
gonadotropin. FT4=free thyroxine. TSAb=TSH-receptor stimulating antibodies. TRAb=TSH-
receptor antibodies
4
Gambar 3.1. pemeriksaan disfungsi tiroid pada kehamilan. (Alexander, et al., 2017).
5
hipotiroid mempunyai Intelligence Quotient (IQ) yang lebih renddah dibndingkan dengan
yang mendapatkan pengobatan. (Groot, L et.al. 2012)
Gambar 3.1. algoritma diagnosis dan management pada wanita hamil dengan
hipotiroid. ( Fitzpatrick et.al, 2010).
6
Gambar 3.2. Faktor Resiko meningkatnya penyakit Tiroid (Fitzpatrick et.al, 2010)
a. Hipotiroid Primer
Pada wanita dewasa, 95% hipotiroid berasal dari penyakit primer kelenjar tiroid,
umumnya autoimun yaitu Tiroiditis Hashimoto. Penyakit tiroid autoimun yang
umumnya terjadi pada wanita dengan Diabetes Melitus Tipe 1, Sjogren Syndrome,
Penyakit Addison, atau Anemia Pernisiosa. Hampir 25% pasien dengan Diabetes
tipe 1 berkembang menjadi penyakit tiroid postpartum. penyebab hipotiroid primer
yang lain adalah Subakut Tiroiditis, Defisiensi yodium endemik, Tiroiditis Supuratif,
Riwayat tiroidektomi atau ablasi radioiodine.(Ilana, L. Et.al 2012)
b. Tiroiditis
7
thyromegaly, myxedema adalah salah satu dari beberapa tanda-tanda klinis yang
mengarah pada dugaan adanya hashimoto secara spesifik. (Ilana, L. Et.al 2012)
c. Tiroiditis Subakut
Ada 2 bentuk dari Tiroiditis Subakut yaitu : tiroiditis subakut granulomatosa dan
tiroiditis subakut limfositik. Walaupun penyebabnya berbeda, kedua penyakit
subakut ini mempunya perjalanan penyakit yang serupa. perjalanan penyakit dapat
berlangsung hanya 4 hingga 6 minggu atau selama 9 bulan. angka pemulihan lebih
dari 90%, dan hanya 10% pasien yang memiliki gondok yang menetap dan
hipotiroidisme ringan. (Shema A et.al. 2013)
Tiroiditis Subakut limfositik, yang juga dikenal dengan tiroiditis subakut yang
tidak nyeri, termasuk didalamnya thiroiditis postpartum. tiroiditis subakut limfositik
dibedakan dari tiroiditis subakut granulomatosa dengan adanya pembesaran kelenjar
tiroid yang tidak nyeri. kecurigaan tiroiditis harus ditingkatkan selama masa nifas
karena mempengaruhi sekitar 5% wanita postpartum. kekambuhan setinggi 80%
untuk kehamilan berikutnya. kekambuhan mungkin bahkan lebih umum pada wanita
dengan antibodi TPO positif. (Shema A et.al. 2013)
d. Defisiensi Yodium
Yodium dibutuhkan untuk memproduksi hormon tiroid namun tubuh tidak dapat
memproduksi yodium. Oleh karena itu, yodium diperoleh dari asupan, baik itu
sebagai komplemen makanan ataupun sebagai suplemen makanan. Selama
kehamilan, kebutuhan yodium meningkat sekitar 50 % terkait dengan kebutuhan
ibu hamil untuk memproduksi hormon tiroid yang lebih banyak. Kekurangan
yodium selama kehamilan dapat terjadi kematian perinatal, kretinisme kongenital
(kegagalan tumbuh kembang, retardasi mental, dan defisit neurologi yang lain).
(Fitzpatrick et.al, 2010)
8
Kadar yodium pada ibu hamil dikatakan kurang jika didapatkan kadar yodium
kurang dari 150 µg/L dan pada wanita menyusui jika kurang dari 100µg/L.
Kebutuhan yodium meningkat pada kehamilan akibat dari pembersihan ginjal serta
pengambilan yodium oleh janin dan plasenta. Rekomendasi konsumsi yodium pada
wanita hamil selama hamil dan menyusui rata 250 µg per hari. (Fitzpatrick et.al,
2010)
e. Hipotiroid sekunder
f. Hipotiroid Subklinis
9
kadar TSH lebih tinggi dari 3.0mU/L dengan kadar FT4 yang normal. Pemberian
levotiroksin pada hipotiroid subklinis masih belum dapat membuktikan sebagai
pencegahan dari efek hipotiroid. Dengan demikian, Skrining rutin dan pengobatan
hipotiroid subklinis pada kehamilan secara umum tidak direkomendasikan.
(Fitzpatrick et.al, 2010)
g. Hipotiroksinemia terisolasi
Suatu keadaan dimana kadar FT4 yang rendah dan kadar TSH yang normal.
Hipotiroksinemia terisolasi dapat ditemukan sekitar 1% sampai 2% pada wanita
hamil. Pop dan kolega menemukan bahwa selama kehamilan kadar FT4 ibu hamil
kurang dari 10 persentil berhubungan dengan peningkatan resiko gangguan
perkembangan psikomotor pada bayi yang di evalusi pada umur 10 bulan dan umur
2 tahun. Casey dan kolega melakukan evaluasi pada 17,298 kehamilan dan
menemukan bahwa hipotiroksinemia terisolasi ibu hamil pada awal pertengahan
kehamilan tidak mempunyai efek yang buruk pada kehamilan. Saat ini, belum ada
penelitian yang dapat menunjukkan keuntungan dari pemberian levotiroksin pada
pengobatan hipotiroksinemia terisolasi. (Fitzpatrick et.al, 2010)
10
Hipertiroidisme adalah suatu kondisi klinis yang disebabkan oleh peningkatan
sintesis dan sekresi hormon pada kelenjar tiroid yang mempengaruhi seluruh tubuh.
Tirotoksikosis didefinisikan sebagai manifestasi klinis (hipermetabolisme dan hipereaktifitas)
yang berhubungan dengan peningkatan hormon tiroid (Alexander, et al., 2017). Penyebab
paling umum dari tirotoksikosis adalah hiperfungsi dari kelenjar tiroid (hipertiroidisme), dan
penyebab hipertiroidisme yang paling umum pada wanita usia kehamilan adalah penyakit
Graves yag merupakan gangguan autoimun dan tirotoksikosis transien gestasional
(Alexander, et al., 2017).
Tirotoksikosis transien gestasional lebih banyak dijumpai daripada penyakit Graves
sebagai penyebab hipertiroksinemia pada setengah awal kehamilan. Kondisi yang memiliki
karakteristik peningkatan FT4 dan penurunan serum TSH didiagnosa dalam 1-3% kehamilan.
Frekuensi ini bergantung pada geografis dan peningkatan kadar HCG. Sering kali
tirotoksikosis transien gestasional berhubungan dengan hiperemesis gravidarum, yang
didefinisikan dengan mual dan muntah hebat pada awal kehamilan dengan penurunan berat
badan lebih dari 5%, dehidrasi dan ketonuria. Hiperemesis gravidarum terlihat pada 3-10 per
1000 kehamilan (Alexander, et al., 2017).
11
Tirotoksikosis transien gestasional yang disebabkan oleh konsentrasi serum HCG
yang sangat tinggi paling sering dijumpai pada wanita dengan hiperemesis gravidarum.
Selain itu, wanita yang tidak hamil, tetapi menderita mola hidatidosa atau koriokarsinoma
dapat berkembang menjadi tirotoksikosis yang bermakna secara klinis dari konsentrasi HCG
yang sangat tinggi dalam sirkulasi. Selain penyebab tersebut, berbagai kasus hipertiroidisme
yang jarang dijumpai terkadang dilaporkan pada kehamilan (Cooper & Laurberg, 2013).
12
Gambar 5.3. Penyebab Hipertiroidisme pada kehamilan (Cooper & Laurberg, 2013).
5.4. Diagnosis
Wanita dengan tirotoksikosis dapat memperlihatkan gejala dan tanda yang saling
tumpang tindih dengan kehamilan (Cooper & Laurberg, 2013). Gejala tirotoksikosis yang
paling umum seperti adanya gugup dan cemas, keringat berlebihan, kulit hangat, mudah
tersinggung, berdebar-debar, sering BAB, mudah lelah, penurunan berat badan yang tidak
sesuai dengan peningkatan nafsu badan (Von Muller’s paradox) serta gangguan menstruasi
dapat dihubungkan dengan kehamilan. Oleh karena itu, penggunaan diagnosis klinis seperti
indeks Wayne tidak bisa digunakan untuk hipertiroidisme pada kehamilan (The Indonesian
Society of Endocrinology, 2012). Adanya gejala tirotoksikosis dan dijumpainya goiter, tanda
orbitopati Grave, takikardi, serta keluhan yang mengarah pada gagal jantung mengarahkan
untuk pemeriksaan fungsi tiroid. Fungsi tiroid harus selalu diperiksa pada semua wanita
hamil dengan hiperemesis, meskipun kebanyakan wanita dengan tirotoksikosis transien harus
diobservasi daripada diobati dengan obat anti tiroid (Cooper & Laurberg, 2013)
Pada awal kehamilan, diagnosis banding sebagian besar kasus adalah penyakit
Graves dan tirotoksikosis transien kehamilan (Alexander, et al., 2017). Membedakan
Hipertiroidisme Grave dan tirotoksikosis transien kehamilan sulit dilakukan. Namun
13
beberapa perbedaan klinis dan laboratorium dapat membantu (Cooper & Laurberg, 2013).
Kedua situasi ini memiliki manifestasi klinis pada umumnya termasuk palpitasi, anxietas,
tremor, dan ketidakmampuan mentoleransi panas. Riwayat penyakit terdahulu dan
pemeriksaan fisik adalah yang paling penting dalam penegakan diagnosis. Penemuan bahwa
tidak adanya riwayat hipertiroid, tidak ada tanda penyakit Graves (goiter dan orbitopati),
gangguan keterbatasan ringan, dan keluhan muntah, mengarah kepada diagnosis
tirotoksikosis transien gestasional. (Alexander, et al., 2017).
Tes diagnostik hipertiroidisme pada kehamilan adalah fT4 dan TSH. Pada kehamilan
normal sekalipun dapat juga ditemukan kadar TSH yang rendah juga peningkatan TBG pada
trimester pertama kehamilan sebagai efek fisiologis stimulasi HCG. Dengan demikian, kadar
TSH yang rendah saja tidak cukup untuk mendiagnosis hipertiroidisme pada kehamilan.
Konsentrasi TBG yang tinggi akan menggeser keseimbangan hormon tiroid bebas dan total
sehingga selama kehamilan pemeriksaan total T4 tidak disarankan, lebih dianjurkan
pemeriksaan kadar fT4.(Pramono & Soebijanto, 2016) (Purnamasari, et al., 2013).
Pada hipertiroidisme kehamilan khususnya penyakit Graves, kadar fT4 meningkat
disertai kadar TSH yang rendah (Pramono & Soebijanto, 2016). Elemen utama penyakit
Grave adalah autoimun terhadap reseptor TSH dan hipertiroidisme disebabkan oleh TSH
receptor stimulating antibodies (TSAb). Pada transien tirotoksikosis, tirotoksikosis
disebabkan oleh konsentrasi yang sangat tinggi dari HCG yang merangsang reseptor TSH
oleh karena sruktur molekul yang homolog antara HCG dan TSH (Cooper & Laurberg,
2013).
Terdapat dua antibodi tiroid yang meningkat pada penyakit Graves, yaitu thyroid
antimicrosomal antibodies (thyroid peroxidase antibodies, anti-TPO) dan thyroid stimulating
hormone receptor antibodies (TRAb). Dua TRAb yang dapat diperiksa adalah TSI (thyroid
stimulating immunoglobulin) dan TBII (thyroid binding inhibitory immunoglobulin). Semua
pemeriksaan autoimun ini meningkat pada penyakit Graves dan tidak meningkat pada
gestational thyrotoxicosis (dapat membedakan penyakit graves dengan gestational
thyrotoxicosis). Evaluasi laboratorium dilakukan dalam interval waktu 3-4 minggu (Pramono
& Soebijanto, 2016).
Antibodi TPO dapat melewati plasenta. Pada saat persalinan, kadar TPOAb pada
darah tali pusat berhubungan erat dengan kadar TPOAb ibu pada trimester tiga kehamilan.
Akan tetapi, hal ini tidak berhubungan dengan disfungsi tiroid pada janin (Alexander, et al.,
2017). Wanita hamil eutiroid dengan TPOAb dan TgAb positif harus mengukur kadar TSH
14
pada saat kehamilan dikonfirmasi dan setiap 4 minggu pertengahan kehamilan (Alexander, et
al., 2017).
Pemeriksaan TRAb direkomendasikan pada ibu hamil dengan riwayat penyakit
Graves, terdapat riwayat pengobatan dengan iodium sebelumnya, operasi sebelum kehamilan,
dan anak-anak yang didiagnosis penyakit Graves. Konsentrasi TRAb tinggi sebelum
persalinan mengindikasikan adanya disfungsi tiroid pada janin (Pramono & Soebijanto,
2016). Pemeriksaan TRAb dapat menilai resiko hipertiroidisme neonatus pada wanita dengan
hipertiroidisme Grave, dengan memeriksa pada trimester tiga. TRAb dinilai setiap 2 bulan
selama kehamilan juga dapat menilai aktivitas penyakit dan mendampingi penyesuaian dosis
obat antitiroid untuk menghindari hipotiroidisme janin yang disebabkan oleh pengobatan
yang berlebihan (Cooper & Laurberg, 2013).
Pemeriksaan TRAb juga dilakukan bila dicurigai adanya penyebab lain. Bila hasil
TRAb negatif atau nodul tiroid dijumpai pada pemeriksaan klinis, pemeriksaan ultrasonografi
tiroid harus dilakukan untuk evaluasi nodul (Alexander, et al., 2017)
Bila dijumpai nodul goiter, serum Total T3 (TT3) bermanfaat untuk penilaian
kemungkinan sindrom T3 toksikosis. Pengukuran TT3 juga bermanfaat dalam mendiagnosa
T3 tirotoksikosis yang disebabkan penyakit Grave. Secara umum, serum T3 cenderung
meningkat dibandingkan T4 pada kasus tirotoksikosis yang disebabkan oleh hiperaktifitas
tiroid langsung. Sebagai perbandingan, T4 cenderung meningkat melebihi T3 ketika
tirotoksikosis disebabkan oleh proses destruksi seperti tiroiditis. Pemeriksaan radio nuklir
sidik tiroid atau ambilan radioiodine tidak bisa dilakukan pada kehamilan (Alexander, et al.,
2017).
15
Gambar 5.4. Diagnosa banding hipertiroid pada kehamilan disebabkan penyakit grave dan
tirotoksikosis transien pada kehamilan ( Alexander,et,al, 2017).
5.5. Tatalaksana
Pada wanita hamil dengan tirotoksikosis memiliki pilihan yang sama untuk pilihan
terapi, yaitu terapi ablasi, operasi tiroidektomi atau obat anti tiroid (Alexander, et al., 2017).
Terapi Ablasi
Bila pasien memilih untuk terapi ablasi iodium pada kehamilan, harus
memenuhi rekomendasi. Pertama, TRAb cenderung meningkat selama terapi I 131 dan
dan tetap meningkat beberapa bulan kemudian. Oleh karena itu, pasien dengan
TRAb tinggi atau dengan hipertiroidisme berat dapat mempertimbangkan pilihan
terapi lain menggunakan seperti pembedahan. Kedua, pasien muda dengan penyakit
Graves berat yang tidak mengalami eutiroid stabil dalam 1 tahun pertama setelah
terapi I131. Ketiga, jika direncanakan terapi I131, test kehamilan harus dilakukan 48
jam sebelumnya untuk mengkonfirmasi adanya kehamilan. Keempat, konsepsi harus
ditunda selama 6 bulan dan hingga eutiroid stabil tercapai setelah ablasi dan inisisasi
LT4 sebagai terapi pengganti. (Fitzpatrick et.al, 2010)
16
Operasi tiroidektomi
Operasi tiroidektomi dilakukan hanya pada pasien dengan dosis pemberian
antitiroid yang sangat besar (>600mg) , alergi obat antitiroid, pasien tidak taat
berobat, dan struma sangat besar. Terapi iodium radioaktif merupakan kontraindikasi
pada kehamilan sebab dapat melewati plasenta dengan risiko terapi iodium
radioaktif beruba hipotiroidisme pada bayi dan retardasi mental (Pramono &
Soebijanto, 2016).
Tiroidektomi diindikasikan pada skenario khusus. Bila diperlukan, waktu
optimal untuk tiroidektomi pada trimester 2 kehamilan. Bila TRAb meningkat (>3x
lipat dari nilai rujukan), tumbuh kembang janin harus diperhatikan meskipun ibu
dalam kondisi eutiroid setelah tiroidektomi. (Fitzpatrick et.al, 2010)
17
ruam kemerahan, agranulositosis, dan jarang gagal hati. Namun secara umum,
keduanya aman digunakan pada kehamilan.
Resiko terbesar obat anti tiroid adalah efek potensial teratogenik. Baik PTU
maupun metimazol dapat melewati sawar plasenta.Jika dalam dosis besar dapat
menyebabkan struma dan hipotiroidisme pada janin. Risiko hipotiroid pada janin
akibat kedua obat tidak berbeda. Pada trimester I lebih dianjurkan untuk
menggunakan PTU karena terdapat resiko kelainan kongenital yang pernah
dilaporkan pada penggunaan metimazol. Wanita hamil yang sebelumnya mendapat
metimazol dan membutuhkan pengobatan hipertiroid harus segera diganti dengan
PTU secepat mungkin. Pada pertukaran metimazol dan PTU, rasio dosis
metimazoldan PTU yaitu 1:20 (misalnya metimazol 5mg/hari, PTU 100mg, 50 mg 2
kali sehari) (Alexander, et al., 2017). Setelah kehamilan 12 minggu metimazol dapat
digunakan terutama bila khawatir efek samping hepatotoksik dalam penggunaan
PTU pada ibu (Pramono & Soebijanto, 2016). Pemantauan enzim hati perlu
dimonitoring untuk mencegah hepatotoksisitas fulminan yang diinduksi PTU.
Karena waktu paruh PTU lebih pendek dari MMI, dosis PTU dipisah menjadi 3 kali
sehari. MMI umumnya diberikan 1x sehari dan pada kasus yang jarang serta kondisi
hipertiroid berat, dosis 2-3 kali sehari mungkin dapat memberikan keuntungan
(Alexander, et al., 2017)
Pengobatan ditargetkan agar kadar fT4 terdapat pada nilai batas atas normal.
Dosis obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan hipotiroidisme dan struma pada
janin. Pemantauan berkala dilakukan setiap 2 minggu pada awal terapi dan setiap 4
minggu bila target eutiroid telah tercapai. Terapi obat antitiroid sebenarnya tidak
dihentikan sebelum kehamilan 32 minggu sebab dapat beresiko relaps (Pramono &
Soebijanto, 2016).
Pada wanita yang diterapi dengan obat anti tiroid pada kehamilan, target
pengobatan adalah kadar fT4/TT4 berada pada nilai batas atas normal atau sedikit di
atas nilai referensi.FT4/TT4 dan TSH harus dimonitoring setiap 4 minggu. Obat anti
tiroid yang diberikan pada dosis efektif terendah. Kombinasi regimen LT4 dan obat
anti tiroid tidak digunakan dalam kehamilan, kecuali pada kondisi hipertiroidisme
janin isolasi yang jarang (Alexander, et al., 2017).
Bila pasien memilih terapi obat anti tiroid, rekomendasi berikut harus
diberikan. Pertama, peningkatan resiko cacat lahir yang berhubungan dengan PTU
18
dan MMI selama awal kehamilan harus ditinjau kembali. Kedua, bila
memungkinkan, obat anti tiroid harus dihindari pada trimester pertama kehamilan.
Namun bila dibutuhkan, PTU secara umum lebih dianjurkan. Ketiga, pertimbangan
kapan dilakukan penghentian PTU setelah trimester satu dan menukar kepada MMI
untuk menurunkan resiko kerusakan hati pada ibu (Alexander, et al., 2017).
Pemberian agen blokade β adrenergik. Pemberian agen blokade beta
adrenergik seperti propranolol 10-40 mg setiap 6-8 jam bermanfaat mengontrol
gejala hipermetabolik hingga pasien sudah menjadi eutiroid pada penggunaan obat
anti tiroid. Dosis harus diturunkan sesuai klinis dan dapat dihentikan 2-6 minggu.
Pengobatan jangka panjang dengan β bloker berhubungan dengan restriksi
pertumbuhan janin intra uterin, bradikardia janin, dan hipoglikemia neonatus. β
bloker dapat diberikan pada persiapan tiroidektomi (Alexander, et al., 2017).
Hipertiroidisme Graves
19
Kehamilan sendiri sebenarnya mempengaruhi perjalanan penyakit Graves
karena peningkatan hormon progesteron menekan fungsi limfosit, sehingga
mengurangi keaktifan autoimun penderita Graves. Hal itu ditandai dengan
penurunan kebutuhan obat antiroid seiring dengan peningkatan usia kehamilan,
namun dapat meningkat kembali setelah 3 bulan pasca melahirkan. Bila terjadi
eksaserbasi atau perburukan klinis, maka dosis obat anti tiroid dapat dinaikkan
kembali. Kebanyakan pasien tidak membutuhkan pengobatan antitiroid lagi setelah
kehamilan diatas 26-28 minggu. Efek samping antitiroid yang pernah dilaporkan
adalah ikterus kolestatik dan agranulositosis. Pasien dengan gejala hipermetabolik
mendapat obat penyekat beta, seperti atenolol dan propranolol selama beberapa hari
(Pramono & Soebijanto, 2016).
Pasien penyakit Graves membutuhkan pengobatan yang tepat dengan
menggunakan obat antitiroid dan harus dimonitoring secara berkala untuk memantau
adanya tanda-tanda hipotiroid dan hipertiroid pada ibu dan janin (The Indonesian
Society of Endocrinology, 2012).Dosis awal PTU adalah 150-450 mg perhari (dibagi
dalam 3 dosis), sedangkan dosis metimazol 20-40 mg perhari (dibagi dalam 2 dosis).
Perbaikan klinis akan tampak sesudah beberapa minggu terapi dan fungsi tiroid akan
normal dalam 3-7 minggu. Perbaikan klinis yang dimaksud adalah kenaikan berat
badan dan berkurangnya takikardi, sehingga dosis obat antitiroid dapat diturunkan
menjadi separuh (Pramono & Soebijanto, 2016).
20
Tabel 5.5. Kelebihan dan kekurangan pilihan terapi pada wanita dengan penyakit grave yang
merencanakan kehamilan (Alexander, et.al, 2017).
21
yang dapat menjadi hipertiroidisme, tetapi janinnya juga dapat memiliki kondisi yang sama.
Dengan adanya data dari 11 pusat termasuk 249 kasus hipertiroidisme pada kehamilan,
Hamburger mengkalkulasi kematian janin atau kematian neonatus terjadi pada 5-6% wanita
hamil dengan hipertiroidisme dengan dan tanpa pengobatan (Cooper & Laurberg, 2013).
Badai Tiroid
Badai tiroid adalah suatu kondisi tirotoksikosis tidak terkompensasi, yang dijumpai
pada pasien dengan kontrol yang buruk dan tidak diobati. Pencetus badai tiroid antara lain
infeksi, preeklamsi, kelahiran, operasi Caesar. Badai tiroid jarang terjadi, namun merupakan
kondisi yang mengancam jiwa ibu dan janin. Secara klinis dapat dijumpai demam,
perubahan status mental dan takikardi dan takiaritmia berat. Gagal jantung kongestif, tanda
dan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, diare berat, dan gangguan hati telah
dilaporkan. Pada pemeriksaan laboratorium, didapati fungsi tiroid yang menunjukkan
tirotoksikosis berat, tetapi tidak berbeda dengan pasien hipertiroid berat tanpa badai tiroid
(Cooper & Laurberg, 2013).
Manajemen badai tiroid meliputi terapi suportif dengan cairan, oksigen dan
monitoring secara intensif. Demam diberikan parasetamol dibandingkan dengan aspirin,
karena salisil dapat menggantikan ikatan T4 pada ikatan protein sehingga meningkatkan
konsentrasi T4 bebas. Takiaritmia diatasi dengan pemberian β bloker, baik propranolol oral
maupun intravena ( 60-80mg/4-6 jam atau 1mg/menit) atau pemberian β bloker kerja pendek
seperti esmolol 250-500 µg/kgBB diikuti dengan infus kontiniu 50-100µg/menit. Gagal
jantung kongestif diatasi dengan digoksin. Pemberian obat anti tiroid dosis tinggi (metimazol
20-30mg setiap 4-6jam atau PTU 400 mg setiap 6 jam) harus diberikan sesegera mungkin.
PTU lebih dipilih untuk badai tiroid karena memiliki kemampuan memblok konversi T4
menjadi T3. Pemberian Kalium iodida tablet atau cairan (lugol) harus diberikan untuk
memblok pelepasan hormon dari kelenjar tiroid. Pemberian iodium hanya diberikan setelah
obat antitiroid diberikan karena beresiko memperburuk tirotoksikosis. Beberapa ahli
merekomendasikan glukokortikoid dosis tinggi (missal hidrokortison 50-100 mg/8 jam atau
deksametason 2-4 mg/8 jam) yang akan memblok konversi T4 menjadi T3 di perifer pada
kehamilan. Karena jarangnya kasus badai tiroid, tidak ada percobaan yang membandingkan
regimen terapi yang berbeda (Cooper & Laurberg, 2013).
22
Gambar 5.6. pendekatan terhadap manajemen pengobatan tiroid storm pada kehamilan
(Fitzpatrick et.al, 2010).
Tiroiditis Post-partum
Tiroiditis postpartum adalah munculnya disfungsi tiroid, selain penyakit Graves,
pada tahun pertama wanita eutiroid. Penyebab tiroiditis ini adalah gangguan autoimun yang
berhubungan dengan antibodi tiroid (TPOAb dan TgAb), abnormal limfosit, aktivasi
komplemen, peningkatan kadar IgG1, peningkatan aktivitas sel NK dan HLA tipe haplo
khusus. Wanita dengan tiroid Ab positif pada trimester pertama memiliki resiko tiroiditis post
partum. Munculnya tiroiditis post partum mencerminkan kembalinya sistem imun pada
periode postpartum setelah supresi imun relatif karena kehamilan. Pada bentuk klasik,
tirotoksikosis transient diikuti dengan hipotiroidisme transien yang akan kembali lagi pada
kondisi eutiroid pada akhir tahun post-partum. Bentuk klinis tiroiditis post partum dapat
dalam bentuk klasik, tirotosikosis, hipotiroidisme. (Alexander, et al., 2017)
23
Tiroiditis postpartum adalah kondisi tanpa nyeri dan kebanyakan tidak memiliki
gejala atau hanya memiliki gejala ringan selama fase tirotoksik. Hal ini disebabkan
peningkatan hormon tiroid biasanya ringan, dan kadar T4 lebih tinggi dari T3. Dalam studi
prospektif, dijumpai gejala mudah tersinggung, tidak tahan panas, kelelahan, dan palpitasi.
Gejala hipotiroid lebih menunjukkan gejala seperti tidak tahan dingin, kulit kering, kelelahan,
gangguan konsentrasi dan paresthesia. Pada penyakit Graves, hampir semua TSH reseptor
antibodi positif dan negatif pada tiroiditis post partum, meskipun pada beberapa kasus
dijumpai tipe campuran. (Alexander, et al., 2017)
Tantangan terbesar adalah membedakan tirotoksikosis yang disebabkan oleh PPT
dan penyakit Grave. Hal ini penting dibedakan oleh karena kedua penyakit membutuhkan
pengobatan yang berbeda dan memiliki tindakan klinis yang sangat berbeda. Perbedaan onset
waktu menjadi petunjuk etiologi. Di Jepang dari 42 pasien yang berkembang menjadi
tirotoksikosis tahun pertama setelah kehamilan, dimana 86% pasien dalam 3 bulan pertama
setelah kelahiran menderita tiroiditis, dan yang menjadi tirotoksikosis setelah 6,6 bulan
menjadi penyakit Graves (Alexander, et al., 2017).
Selama fase tirotokoksik, wanita dengan gejala dapat diberikan β bloker yang aman
untuk wanita menyusui, seperti propranolol atau metoprolol pada dosis terendah untuk
meringankan gejala. Terapi ini membutuhkan beberapa minggu. Penggunaan obat antitiroid
tidak direkomendasikan pada fase tirotoksik tiroiditis post partum. Setelah fase resolusi dari
tiroiditis post partum, serum TSH harus diperiksa 4-8 minggu (atau bila dijumpai gejala baru)
untuk mendeteksi fase hipotiroid.
Nodul tiroid terjadi sekitar 1% sampai 2% pada wanita muda. Pada wanita usia
reproduktif, kebanyakan nodul tiroid yang teraba merupakan jinak.evaluasi nodul tiroid yaitu
dengan pemeriksaan serum TSH dan pemeriksaan ultrasonografi leher dan kelenjar tiroid.
Dikatakan goiter multinodular jika ditemukan dua nodul atau lebih. Nodul tiroid dikatakan
fungsional atau non fungsional tergantung apakah mereka mereka menghasilkan hormon
tiroid. Nodul fungsional kecil kemungkinannya menjadi ganas, namun hal ini tidak mutlak.
penyakit tiroid autoimun dapat meningkatkan risiko kanker tiroid, penyakit Graves atau
hashimoto tiroiditis harus dipertimbangkan jika serum TSH masing-masing rendah atau
tinggi. aspirasi nodul tiroid selama kehamilan dianjurkan untuk menyingkirkan kanker jika
semakin membesar, mencurigakan (mikrokalsifikasi, hipoekoik, hipervaskular). atau lebih
24
besar dari 1 cm. Pengobatannya terdiri dari obat anti tiroid, penghambat β-adrenergik, dan
operasi kelenjar tiroid. (Fitzpatrick et.al, 2010)
kanker tiroid cenderung asimptomatik dan didiagnosis dengan nodul yang dapat
diraba pada pemeriksaan prenatal. Jenis histologis kanker tiroid termasuk papiler, folikuler,
meduler, sel Hurthle, dan anaplastik. Kanker Tiroid papiler adalah jenis histologis yang
paling umum didiagnosis selama kehamilan dan prognosis jangka panjang yang sangat baik.
Pendekatan untuk diagnosis pada wanita hamil dengan nodul tiroid yang teraba mirip dengan
pada wanita yang tidak hamil. Pemeriksaan serum TSH dan ultrasonografi pada leher dan
kelenjar tiroid dengan aspirasi jarum halus direkomendasikan untuk nodul yang
mencurigakan. Waktu pengobatan harus didasarkan pada histologi tumor dan presentasi
klinis. Jika terlokalisir, kanker tiroid yang didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga,
mungkin dapat diterima untuk menunda operasi sampai postpartum. Tidak ada peningkatan
yang jelas dalam efek samping hasil kehamilan pada wanita yang didiagnosis dengan kanker
tiroid yang berbeda menerima tiroidektomi total atau total selama kehamilan atau postpartum
dibandingkan dengan populasi kebidanan dasar. Tingkat kelangsungan hidup 10 tahun untuk
kanker tiroid diferensiated yang didiagnosis selama kehamilan adalah 99% dan tidak berbeda
dari yang didiagnosis pada wanita yang tidak hamil dengan usia yang sama. (Fitzpatrick et.al,
2010)
8. Kesimpulan
Skrining rutin untuk penyakit tiroid pada wanita tanpa faktor risiko tidak
dianjurkan
25
Semua wanita hamil, harus diwawancara pada kunjungan prenatal untuk
riwayat disfungsi tiroid dan penggunaan hormon tiroid (LT4) atau obat-obatan
anti tiroid (MMI, CM atau PTU).
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, E. K. et al., 2017. 2017 Guidelines of the American Thyroid Association for the
Diagnosis and Management of Thyroid Disease During Pregnancy and Postpartum.
Thyroid, 27(3), pp. 315-383.
Cooper, D. S. & Laurberg, P., 2013. Hyperthyroidism in Pregnancy. Lancet Diabetes
Endocrinol, Volume 1, pp. 238-249.
Fitzpatrick, D.L, Russel, M.A. 2010. Diagnosis and Management of Thyroid Disease in
Pregnancy. Obstet Gynecol Clin N.Am. 37, 173-193.
26
Groot, L. D. et al., 2012. Management of Thyroid Dysfunction during Pregnancy and Post
Partum: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. J Clin Endocrinol Metab. 97,
2543-2565.
Ilana L, Joseph G, Yoel S. 2012. Thyroid Disorders during Pregnancy. Gynecological
Endocrinology. 28, 993-998.
Lazarus, J. H., 2011. Thyroid Function in Pregnancy. British Medical Bulletin. 97, 137-148.
Marcos A, Nobuyaki A, Linda A, Barbour, Rhoda H, Leslie J, et.al. 2007. Clinical Practice
Guideline, Management of Thyroid Dysfunction during Pregnancy and Postpartum: An
Endocrine Society Clinical Practice Guideline. The Journal of Clinical Endocrinology &
metabolism. 92, s1-s7.
Pramono, L. A. & Soebijanto, N., 2016. Pengelolaan Penyakit Graves pada Kehamilan. CDK,
43, 435-439.
Rama S, Nirmala K, Bushra S, Usha R. 2016. Prevalence of Thyroid Disorder in Pregnancy
and Pregnancy Outcome. International Archives of Integrated Medicine. 2016. 1-11.
Roberto N, Alex S. 2014. Clinical Aspects of Hypertiroidsm, Hypothyroidsm, and Thyroid
Screening In Pregnancy. Endocrine Practice. 20, 597-606.
Shema A, Stephen A, Christian A. 2013. Thyroid Disease in Pregnancy : A review article.
Southern Medical Association. 106, 532-537.
Vimal N, Varsha S, Jagtap, Vijaya S, Anurag R, Sadish K et.al. Prevalence and Impact of
Thyroid Disorders on Maternal Outcome in Asian-Indian PregnantWomen. Journal of
Thyroid Research. 1-6.
27