Anda di halaman 1dari 9

Media sosial memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia.

Media
sosial mampu merubah cara orang mencari informasi. Media sosial pun
mampu merubah cara orang berkomunikasi dengan orang lainnya. Selain itu,
media sosial juga mampu merubah dan memodifikasi bahasa yang digunakan
dalam komunikasi itu. Modifikasi itu bisa kita temui dalam berbagai bentuk.
Dalam media sosial, bahasa Indonesia mampu berkembang melahirkan istilah-
istilah baru. Baik yang diserap langsung dari bahasa Indonesia, maupun
campuran dengan bahasa asing. Tidak hanya itu, suatu kata dalam bahasa
Indonesia dapat memiliki arti baru di media sosial. Media sosial juga dapat
menyebarkan bahasa itu dengan masif. Di Indonesia, Facebook menjadi media
sosial dengan pengguna terbanyak. Berdasarkan data dari We Are Social and
Hootsuite, jumlah pengguna Facebook dari Indonesia pada tahun 2018
mencapai 130 juta akun. Di awal kemunculannya, Facebook bahkan menjadi
media sosial yang paling populer. Dengan kondisi seperti ini, penyebaran
bahasa Indonesia hasil modifikasi dapat dengan mudah tersebar melalui
Facebook. Contoh nyata dari penyebaran itu saya alami sendiri. Saat masih
aktif menggunakan Facebook, lini masa saya dipenuhi dengan bahasa
modifikasi itu. Bahasa modifikasi yang saat itu populer ialah mengganti huruf-
huruf tertentu menggunakan angka. Misalnya, ada seorang teman yang
menulis, “ Aduh lapar” menjadi “4duh l4p4r”.  Bahasa modifikasi itu lebih
sering kita kenal dengan bahasa alay. Sebenarnya, bahasa itu tidak lahir
ketika Facebook populer. Namun, dengan adanya Facebook bahasa itu
tersebar secara masif.  Modifikasi bahasa yang terjadi dalam media sosial
tidak hanya mengganti huruf dengan angka. Tapi, muncul pula istilah-istilah
baru yang biasanya hasil plesetan dari bahasa yang sudah ada. Contohnya,
istilah “mimin” yang lahir dari istilah “admin”. Ada juga “momod” yang lahir
dari istilah “moderator”. Selain itu adapula istilah “hengpong jadul” yang
merupakan plesetan dari “handphone jadul (telepon genggam lawas)”.

---------
Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com, dengan Judul Bahasa di Media
Sosial, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2018/12/06/41396/bahasa-
di-media-sosial

Penulis: Rizma Riyandi


Editor : Rizma Riyandi

Penggunaan bahasa dalam media sosial telah menjadi


perhatian para pemerhati bahasa tidak hanya di
Indonesia tetapi juga negara-negara di seluruh dunia.
Hal ini disebabkan pengaruh media sosial atau efek
media sosial yang dipandang kurang baik bagi
perkembangan bahasa nasional di masing-masing
negara karena penerapannya tidak merujuk pada tata
bahasa baku yang telah ditentukan.

Tidak pakemnya penggunaan bahasa dalam media


sosial disebabkan oleh teknologi itu sendiri dan
dipengaruhi oleh budaya, bahasa daerah, serta
serapan “bahasa media sosial” lainnya dari bahasa
asing yang begitu massif mempengaruhi bahasa
nasional akibat globalisasi.

Bagi yang gemar bermedia sosial tentu sudah sangat


fasih dengan berbagai kosa kata baru ataupun
singkatan kata yang tidak baku atau standar yang
sering digunakan saat berinteraksi melalui media
sosial seperti kata “gw” (bahasa Betawi : gue atau gua)
yang merujuk pada kata “saya” atau “aku” atau kata
“btw” (bahasa Inggris) yang merupakan singkatan dari
“by the way” yang berarti “ngomong-ngomong”.
Penggunaan “bahasa media sosial” ini lambat laun
mengubah cara kita berbahasa dan berkomunikasi
dengan orang lain.

Namun, kiranya kita juga perlu memahami bahwa


beragam media sosial yang kini menjamur
memiliki karakteristik new media  yang berdampak
pada bahasa yang digunakan.

Contohnya adalah Twitter. Sebagai bagian dari produk


media baru (Baca : Sejarah Media Baru), Twitter
memiliki keterbatasan karakter untuk pesan teks yang
ingin disampaikan oleh penggunanya yakni 140
karakter. Tidak hanya Twitter, berbagai media sosial
lainnya pun memiliki keterbatasan karakter untuk
pesan teks seperti forum internet atau pesan instan
lainnya.
Keterbatasan karakter membuat penulisan pesan teks
harus disingkat agar sesuai dengan jumlah karakter
pesan teks untuk masing-masing media sosial. Hal
inilah yang menyebabkan penggunaan bahasa dalam
media sosial menjadi terkesan tidak sesuai dengan
kaidah tata bahasa yang telah ditentukan (Baca
juga : Kelemahan Bahasa sebagai Media Komunikasi).

Apakah bahasa yang digunakan dalam media sosial


harus mengikuti kaidah “bahasa media sosial” dan
bukannya bahasa baku? Jawabannya adalah tidak. Kita
bisa lihat contoh beberapa akun media sosial milik
orang nomor satu di Indonesia yang menggunakan
bahasa baku dalam menyampaikan pesannya.

Bahasa yang umum digunakan dalam berbagai media


sosial seperti Twitter kerap disebut dengan
istilah internet slang. Internet slang secara umum
diartikan sebagai jenis bahasa yang umum digunakan
oleh orang-orang di internet. Tujuan
penggunaan internet slang ini adalah untuk
mempercepat komunikasi dan mengekspresikan emosi.
Untuk itu, internet slang banyak menggunakan huruf
dengan suara yang sama, tanda baca, huruf
kapital, onomatopoeic, dan emoticon. Jenis bahasa lain
yang digunakan dalam media sosial adalah bahasa
formal, bahasa informal atau bahasa percakapan,
bahasa gado-gado, frasa, idiom, dan lain-lain (Baca
juga: Internet sebagai Media Informasi).
1. Bahasa formal

Media sosial tidak hanya berkaitan dengan percakapan


melainkan juga kolaborasi. Salah satu aplikasi media
sosial yang pada umumnya menggunakan bahasa
formal adalah proyek kolaboratif seperti Wikipedia,
situs social bookmarking, forum-forum daring, dan
situs-situs ulasan lainnya.
Menurut A. Kaplan dan M. Haenlein (2014), proyek
kolaboratif didefinisikan sebagai aplikasi media sosial
yang memungkinkan pembuatan isi tentang
pengetahuan yang dilakukan secara bersama-sama
dan simultan oleh pengguna. Karena berkaitan dengan
pengetahuan, maka isi pesan pun disampaikan dengan
menggunakan bahasa formal yang sesuai dengan
aturan tata bahasa agar dapat dimengerti dan
dipahami oleh pembaca.

Contoh : Komunikasi adalah proses pertukaran


informasi antara komunikator dan komunikan atau
komunikate.
2. Bahasa informal

Bahasa informal tidak hanya digunakan dalam


kehidupan sehari-hari namun juga dalam media sosial.
Bahasa informal dalam bahasa Indonesia merujuk pada
bahasa gaul atau bahasa prokem.

Bahasa informal ini banyak dipengaruhi oleh budaya


setempat atau budaya asal atau bahasa daerah. Secara
tata bahasa atau aturan bahasa, bahasa informal ini
berakar dari bahasa formal.

Contoh : kata “kalau” menjadi “kalo”, “klu”, atau “klo”.


3. Bahasa daerah

Bahasa daerah juga banyak digunakan dalam media


sosial. Bahasa daerah Betawi cukup banyak digunakan
dalam percakapan sehari-hari, penggunaannya pun
tidak hanya terbatas di sekitar wilayah Jakarta,
melainkan juga kota-kota besar lainnya.

Karena sering digunakan dalam percakapan sehari-


hari, beberapa kata dalam bahasa Betawi pun mulai
banyak diterapkan dalam media sosial oleh para
penggunanya.
Contoh : kata “babe” atau “bokap” yang merupakan
bahasa Betawi bermakna “ayah” atau “bapak”.
4. Bahasa asing

Bahasa Inggris adalah bahasa utama yang digunakan


dalam media sosial. Hal ini tidaklah mengherankan
karena Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa
internasional. Berbagai aplikasi media sosial pun
umumnya menggunakan bahasa Inggris. Berbagai
bahasa internet atau internet slang pun banyak yang
berasal dari bahasa Inggris.
Contoh : OMG yang merujuk pada kata “Oh, My God”
atau “Ya Tuhan” sebagai bentuk ungkapan perasaan
terkejut atau terpukau.
5. Huruf yang memiliki kesamaan bunyi dengan
kata yang diucapkan

Dalam media sosial, cara kita berkomunikasi


selanjutnya adalah dengan menggunakan huruf-huruf
yang berbunyi sama dengan kata-kata yang diucapkan.

Penggunaan huruf homofon ini biasanya masuk ke


dalam ranah bahasa asing seperti bahasa Inggris. Yang
termasuk huruf-huruf homofon adalah kependekan
kata serta singkatan kata yang umumnya dalam
bahasa asing.

Contoh : Kependekan kata “R U OK” yang merujuk


pada “are you okay (ok)”. Singkatan kata “btw” yang
merujuk pada “by the way”. Kombinasi kependekan
kata dan singkatan kata seperti “CUL8R” yang
merujuk pada “see you later”.
6. Gaya pengucapan onomatopoeic
Gaya percakapan onomatopoeic adalah gaya
percakapan yang kerap digunakan dalam komunikasi
daring. Gaya percakapan ini biasanya mengindikasikan
sesuatu.
Contoh : “hahaha”, “xixixi”, “wkwkwkwk” yang
merujuk pada tertawa dengan keras.

9. Emoticon dengan tanda baca


Emoticon dengan tanda baca pada papan ketik umum
digunakan dalam media sosial untuk menyampaikan
emosi pengguna ketika berkomunikasi.
Penggunaan emoticon dimaksudkan agar lawan bicara
dapat mengerti dan memahami emosi yang dialami
pengguna lainnya karena dalam komunikasi
online atau komunikasi daring tidak terjadi kontak
personal dan tidak dapat mendengar suara kecuali jika
menggunakan video call.
Contoh :  “:- )” yang merujuk pada senyum atau “ :-D”
untuk tertawa.
10. Emoticon dengan gambar wajah
Selain dengan menggunakan tanda baca, emoticon di
beberapa negara menggunakan gambar wajah sebagai
bentuk penyampaian emosi pengguna ketika
berkomunikasi.
Di negara-negara Barat, emoticon bergambar wajah
lebih menitikberatkan pada mulut
sedangkan emoticon bergambar wajah di negara
Jepang lebih menekankan pada mata.
Contoh : Emoticon yang mengekspresikan rasa senang
atau bahagia

 
14. Neologisme

Neologisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia


Online adalah kata bentukan baru atau makna baru
untuk kata lama yang dipakai dalam bahasa yang
memberi ciri pribadi atau demi pengembangan kosa
kata.

Contoh : “BFF” yang merujuk pada “best friends


forever” dan digunakan untuk menyatakan kedekatan
seseorang dengan individu lainnya.
15. Akronim

Akronim umum digunakan dalam pesan teks, obrolan,


dan surat elektronik guna meminimalisir panjang kata
dan meningkatkan kecepatan.

Contoh : “BRB” yang merujuk pada “be right back”


atau “OJ” yang merujuk pada “only joking”
16. Singkatan

Singkatan juga sering digunakan dalam media sosial.


Tujuannya pun tidak jauh berbeda yakni meminimalisir
panjang kata dan meningkatkan kecepatan.

Contoh : “yg” untuk “yang” atau “ppl” untuk “people”.

Bahasa merupakan salah satu kebutuhan yang penting bagi manusia. Dengan
bahasa, manusia memiliki alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi, dalam artian
untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam studi
sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi,
bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Seiring
berkembangnya zaman, keanekaragaman bahasa turut berkembang sesuai dengan
tujuan dan penggunaannya. Indonesia sendiri merupakan bangsa yang memiliki
beragam suku, ras dan bahasa daerah dengan bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Apa media sosial itu?


Tidak hanya keanekaragaman bahasa yang berkembang, tetapi cara manusia untuk
berkomunikasi juga berkembang. Salah satunya adalah dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, manusia zaman sekarang dapat berkomunikasi melalui
jejaring sosial atau dunia maya.

Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah
kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan
teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-
generated content” (Kaplan, Andreas M.; Michael Haenlein [2010] “Users of the
world, unite! The challenges and opportunities of Social Media”. Business Horizons
53(1): 59–68).

Bagaimana penggunaan bahasa Indonesia dalam media sosial?

Dengan adanya jejaring sosial, manusia dapat melakukan komunikasi tanpa harus
bertatap muka. Hal ini menyebabkan bahasa lisan yang biasa digunakan ketika
berkomunikasi secara langsung, berubah menjadi bahasa tulisan. Dengan bahasa
tulisan, para pengguna sering mengabaikan kaidah penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Seperti menyingkat dan menyisipkan kata-kata berbahasa
inggris dalam kalimat yang mereka gunakan.

Kenapa para pengguna menyingkat kata?

Kebiasaan menyingkat kata disebabkan oleh kata-kata yang terlalu panjang dirasa
akan membuat kalimat menjadi tidak efektif. Penyingkatan dilakukan agar kalimat
menjadi lebih pendek dan cepat dibaca. Komunikasi menggunakan jejaring sosial
terkadang membatasi jumlah huruf yang akan dikirim. Sehingga banyak pengguna
jejaring sosial yang melakukan penyingkatan. Contohnya adalah kata “malas” yang
disingkat menjadi “mlz” dan kata “on the way” disingkat menjadi “otw” dan
sebagainya.

Terkadang para pengguna menggunakan singkatan yang tidak mereka ketahui


artinya dikarenakan banyak pengguna lain yang menyisipkannya dalam percakapan
yang mereka lakukan. Selain itu, hal ini akan mengurangi pengetahuan kita tentang
kata-kata asli yang seharusnya kita gunakan. Selain itu, penggunaan singkatan bisa
menyebabkan adanya miskomunikasi karena pengguna mengartikan singkatan
dengan artian yang berbeda. Karena bila suatu kata disingkat, maka akan menjadi
rancu artinya.

Apa itu Indoglish?

Di era globalisasi ini, bahasa Inggris merupakan hal yang penting dipelajari bagi
seluruh bangsa di dunia. Tidak heran jika banyak terjadi fenomena pergeseran
bahasa yang di latar belakangi oleh era globalisasi. Dalam komunikasi melalui media
sosial, para pengguna sering menggunakan bahasa Inggris yang disisipkan dalam
kalimat berbahasa Indonesia. Kemudian muncul istilah indoglish atau Indonesia-
English.

Istilah indoglish adalah pemakaian bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa


Inggris. Contohnya adalah “Kapan hal itu akan di-follow up?” dan “So what gitu
loh?”. Selain itu juga bisa diartikan sebagai pemakaian bahasa Inggris yang bergaya
bahasa Indonesia. Contohnya adalah kalimat “Kalau bukan sekarang kapan lagi?”
yang sering di ubah menjadi “If not now more when?”.

Penggunaan indoglish di media sosial membuat kita tidak terbiasa menggunakan


kata-kata bahasa Indonesia. Kita lebih akrab jika mendengar kata upload daripada
mendengar kata unggah. Perbendaharaan kata yang kita miliki akan semakin
berkurang jika kita terus menggunakan istilah bahasa Inggris.

Anda mungkin juga menyukai