Anda di halaman 1dari 5

Deskripsi

Badak jawa atau javan Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) adalah binatang terbesar di Jawa.
Beratnya bisa mencapai 1,5 ton, berkulit pucat. Badak Jawa pernah tersebar di hampir seluruh
wilayah gunung di Jawa Barat, seperti gunung Gede-Pangrango, Gunung salak, Gn. Tangkuban
Perahu dan gunun Ciremei. Badak jawa lebih kecil daripada sepupunya, badak india, dan
memiliki besar tubuh yang dekat dengan badak hitam. Panjang tubuh badak Jawa (termasuk
kepalanya) dapat lebih dari 3,1–3,2 m dan mencapai tinggi 1,4–1,7 m. Badak dewasa dilaporkan
memiliki berat antara 900 dan 2.300 kilogram. Penelitian untuk mengumpulkan pengukuran
akurat badak Jawa tidak pernah dilakukan dan bukan prioritas. Tidak terdapat perbedaan besar
antara jenis kelamin, tetapi badak Jawa betina ukuran tubuhnya dapat lebih besar. Badak di
Vietnam lebih kecil daripada di Jawa berdasarkan penelitian bukti melalui foto dan pengukuran
jejak kaki mereka..

Seperti sepupunya di India, badak jawa memiliki satu cula (spesies lain memiliki dua cula).
Culanya adalah cula terkecil dari semua badak, biasanya lebih sedikit dari 20 cm dengan yang
terpanjang sepanjang 27 cm. Badak jawa jarang menggunakan culanya untuk bertarung, tetapi
menggunakannya untuk memindahkan lumpur di kubangan, untuk menarik tanaman agar dapat
dimakan, dan membuka jalan melalui vegetasi tebal. Badak Jawa memiliki bibir panjang, atas
dan tinggi yang membantunya mengambil makanan. Gigi serinya panjang dan tajam; ketika
badak jawa bertempur, mereka menggunakan gigi ini. Di belakang gigi seri, enam gigi geraham
panjang digunakan untuk mengunyah tanaman kasar. Seperti semua badak, badak jawa memiliki
penciuman dan pendengaran yang baik tetapi memiliki pandangan mata yang buruk. Mereka
diperkirakan hidup selama 30 sampai 45 tahun.

Kulitnya yang sedikit berbulu, berwarna abu-abu atau abu-abu-coklat membungkus pundak,
punggung dan pantat. Kulitnya memiliki pola mosaik alami yang menyebabkan badak memiliki
perisai. Pembungkus leher badak Jawa lebih kecil daripada badak india, tetapi tetap membentuk
bentuk pelana pada pundak. Karena risiko mengganggu spesies terancam, badak jawa dipelajari
melalui sampel kotoran dan kamera. Mereka jarang ditemui, diamati atau diukur secara
langsung.
Konservasi

Faktor utama berkurangnya populasi badak Jawa adalah perburuan untuk culanya, masalah yang
juga menyerang semua spesies badak. Cula badak menjadi komoditas perdagangan di Tiongkok
selama 2.000 tahun yang digunakan sebagai obat untuk pengobatan tradisional Tiongkok. Secara
historis kulitnya digunakan untuk membuat baju baja tentara Tiongkok dan suku lokal di
Vietnam percaya bahwa kulitnya dapat digunakan sebagai penangkal racun untuk bisa ular.
Karena tempat hidup badak mencakupi banyak daerah kemiskinan, sulit untuk penduduk tidak
membunuh binatang ini yang dapat dijual dengan harga tinggi. Ketika Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora pertama kali diberlakukan
tahun 1975, badak Jawa dimasukan kedalam perlindungan Appendix 1: semua perdagangan
internasional produk badak Jawa dianggap ilegal. Survey pasar gelap cula badak telah
menentukan bahwa badak Asia memiliki harga sebesar $30.000 per kilogram, tiga kali harga
cula badak Afrika.

Hilangnya habitat akibat pertanian juga menyebabkan berkurangnya populasi badak Jawa,
walaupun hal ini bukan lagi faktor signifikan karena badak hanya hidup di dua taman nasional
yang dilindungi. Memburuknya habitat telah menghalangi pemulihan populasi badak yang
merupakan korban perburuan untuk cula. Bahkan dengan semua usaha konservasi, prospek
keselamatan badak Jawa suram. Karena populasi mereka tertutup di dua tempat kecil, mereka
sangat rentan penyakit dan masalah perkembangbiakan. Ahli genetika konservasi
memperkirakan bahwa populasi 100 badak perlu perlindungan pembagian genetika spesies.

Ujung Kulon

Pemburu Eropa dengan R. s. sondaicus yang terbunuh di Ujung Kulon, 1895 Semenanjung
Ujung Kulon dihancurkan oleh letusan gunung Krakatau tahun 1883. Badak Jawa
mengkolonisasi kembali semenanjung itu setelah letusan, tetapi manusia tidak pernah kembali
pada jumlah yang besar, sehingga menjadi tempat berlindung. Pada tahun 1931, karena badak
Jawa berada di ambang kepunahan di Sumatra, pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa
badak merupakan spesies yang dilindungi, dan masih tetap dilindungi sampai sekarang. Pada
tahun 1967 ketika sensus badak dilakukan di Ujung Kulon, hanya 25 badak yang ada. Pada tahun
1980, populasi badak bertambah, dan tetap ada pada populasi 50 sampai sekarang. Walaupun
badak di Ujung Kulon tidak memiliki musuh alami, mereka harus bersaing untuk
memperebutkan ruang dan sumber yang jarang dengan banteng liar dan tanaman Arenga yang
dapat menyebabkan jumlah badak tetap berada dibawah kapasitas semenanjung. Ujung Kulon
diurus oleh menteri Kehutanan Republik Indonesia. Ditemukan paling sedikit empat bayi badak
Jawa pada tahun 2006.

Foto induk Badak Jawa beserta bayinya, diperkirakan berumur sekitar 4 – 6 bulan, berhasil
diabadikan oleh tim WWF pada November 2007. Ketika difoto, bayi badak tersebut sedang
menyusu ibunya. Keberadaan badak tersebut diketahui ketika ditemukan jejak badak berukuran
15/16 cm di sekitar daerah aliran sungai Citadahan pada tanggal 30 Oktober 2007. Hal ini
merupakan kabar gembira karena membuktikan adanya kelahiran badak baru di Ujung Kulon.

Perluasan Habitat, Upaya Nyata Menyelamatkan Badak Jawa dari Kepunahan

 Penetapan JRSCA

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [sebelumnya Kementerian Kehutanan]


berdasarkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Badak Indonesia, Peraturan Menhut No
43/2007, telah menetapkan wilayah seluas 5.100 hektar yang relatif aman dari ancaman bencana
Gn. Krakatau, untuk mempelajari habitat, perilaku dan biologi-reproduksi badak jawa, yang
dikelola secara intensif dan terencana sebagai perluasan habitat untuk meningkatkan populasinya
serta mempersiapkan individu-individu terpilih untuk nantinya ditranslokasikan ke areal lain di
luar kawasan TNUK.

Areal yang secara geografis berada di luar Semenanjung Ujung Kulon ini, dipisahkan Tanah
Genting Laban – Karang Ranjang, merupakan lokasi yang dinamakan Javan Rhino Study and
Conservation Area (JRSCA) dengan kegiatannya telah dimulai sejak Tahun 2010.

Dengan pembinaan habitat intensif disertai pembukaan koridor dari Semenanjung Ujung Kulon,
diharapkan individu-individu badak bergerak masuk ke areal JRSCA. Individu-individu tersebut,
[bersama individu-individu asli di JRSCA], nantinya akan menjadi sub-populasi badak jawa
yang dikelola dengan teknik pengembangbiakan relevan [tepat]. Proses ini tentu saja tidak bisa
berlangsung cepat, butuh waktu.

Hasil pemantauan menunjukkan, individu badak yang menetap di areal JRSCA setelah dilakukan
pengendalian langkap sejak 2012, jumlahnya tiga individu. Semua jantan.

 JRSCA SEBAGAI STEPPING STONE

Kegiatan pembinaan habitat yang selama ini dilakukan berupa pengendalian langkap dan
pembatasan aktivitas manusia dan masuknya ternak kerbau telah memberikan dampak positif
berupa datangnya dan pemanfaatan habitat oleh badak. Dari data dari ukuran jejak yang didapat,
dipastikan sampai saat ini ada 3 ekor badak yang menetap di areal JRSCA.
Dengan tsunami yang relatif “kecil” di areal ini badak tidak terdampak. Hal ini menguatkan
bukti bahwa JRSCA dapat difungsikan sebagai batu loncatan (stepping stone) sebelum badak-
badak betul-betul dapat ditranslokasikan ke habitat lain di luar TNUK. Untuk meningkatkan
daya tampung areal JRSCA terhadap badak-badak dari Semenanjung, penting ada upaya
perluasan ke arah Gn. Honje yang secara historis juga merupakan areal sebaran badak. Untuk itu
diperlukan pengembangan koridor yang menghubungkan blok-blok di dalam areal jrsca yang
pernah dihuni badak antara lain yaitu : Bangkonol, Cimahi, Tamanjaya Girang, Cimenteng,
sampai Cibiuk dengan koridor Cibandawoh-Karangranjang. Pembuatan koridor dimaksud selain
berungsi mengalirkan badak ke areal yang lebih luas juga dapat berfungsi mendekatkan dan
meningkatkan kepedulian penggarap kawasan (illegal) terhadap pentingnya melestarikan badak
jawa.

Fakta lapangan ini sekaligus menunjukkan, JRSCA merupakan lokasi yang cocok sebagai habitat
kedua badak jawa. Pertama, ketersediaan ragam tumbuhan pakan yang mencapai 200 jenis. Ada
mara, balanding, sulangkar, bisoro, kijahe, kitanjung, simpeureun, juga tepus dan laban kapas
[beberapa jenis ditulis dengan nama lokal].

Anda mungkin juga menyukai