Stratigrafi
Stratigrafi
Stratigrafi berasal dari kata strata (stratum) yang berarti lapisan (tersebar) yang berhubungan
dengan batuan, dan grafi (graphic) yang berarti pemerian/ gambaran atau urut-urutan lapisan.
komposisi dan umur relatif serta distribusi peralapisan tanan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan
untuk menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antarlapisan yang berbeda
dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil
(biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). Jadi stratigrafi adalah ilmu
yang mempelajari pemerian perlapisan batuan pada kulit bumi. Secara luas stratigrafi merupakan
salah satu cabang ilmu geologi yang membahas tentang urut-urutan, hubungan dan kejadian batuan
di alam (sejarahnya) dalam ruang dan waktu geologi
STRATIGRAFI
Ilmu stratigrafi muncul di britania raya pada abad ke-19. Perintisnya adalah William smith.
Kala itu diamati bahwa beberapa lapisan tanah muncul pada urutan yang sama (superposisi).
Kemudian ditarik kesimpulan bahwa lapisan tanah yang terendah merupakan lapisan yang tertua,
dengan beberapa pengecualian.
Karena banyak lapisan tanah merupakan kesinambungan yang utuh ke tempat yang
berbeda-beda maka, bisa dibuat perbandingan pada sebuah daerah yang luas. Setelah beberapa
waktu, dimiliki sebuah sistem umum periode-periode geologi meski belum ada penamaan waktunya
2. 2. PRINSIP STRATIGRAFI
Ada beberapa prinsip dasar yang berlaku didalam pembahasan mengenai stratigrafi, yaitu:
1. Hukum atau prinsip yang dikemukakan oleh Steno (1669), terdiri dari:
• Prinsip Superposisi (Superposition Of Strata)
Didalam suatu urutan perlapisan batuan maka lapisan paling bawah relatif lebih tua umurnya
daripada lapisan yang berada diatasnya selama belum mengalami deformasi. Konsep ini berlaku
untuk perlapisan berurutan.
Lapisan yang diendapkan oleh air terbentuk terus-menerus secara lateral dan hanya membaji
pada tepian pengendapan pada masa cekungan itu terbentuk.
Hukum atau prinsip ini lebih dikenal dengan azasnya yaitu uniformitarisme
yaitu proses-proses yang terjadi pada masa lampau mengikuti hukum yang berlaku pada
proses-proses yang terjadi sekarang, atau dengan kata lain “masa kini merupakan kunci dari masa
lampau” (“the present is the key to the past”). Maksudnya adalah bahwa proses-proses geologi alam
yang terlihat sekarang ini dipergunakan sebagai dasar pembahasan proses geologi masa lampau.
3. Hukum Intrusi/Penerobosan (Cross Cutting Relationship) oleh AWR Potter dan H. Robinson.
Suatu intrusi (penerobosan) adalah lebih muda daripada batuan yang diterobosnya
Dalam urut-urutan batuan sedimen sekelompok lapisan dapat mengandung kumpulan fosil
tertentu dengan sekelompok lapisan di atas maupun di bawahnya.
Urutan lapisan sedimen dapat dilacak (secara lateral) dengan mengenali kumpulan fosilnya
yang didiagnostik jika kriteria litologinya tidak menentu.
Dalam suatu urutan stratigrafi, lapisan batuan yang lebih muda mengandung fosil yang mirip
dengan makhluk yang hidup sekarang dibandingkan dengan lapisan batuan yang umurnya lebih tua.
Didalam penyelidikan stritigrafi ada dua unsur penting pembentuk stratigrafi yang perlu di
ketahui, yaitu:
1. Unsur batuan
Suatu hal yang penting didalam unsur batuan adalah pengenalan dan pemerian litologi.
Seperti diketahui bahwa volume bumi diisi oleh batuan sedimen 5% dan batuan non-sedimen 95%.
Tetapi dalam penyebaran batuan, batuan sedimen mencapai 75% dan batuan non-sedimen 25%.
Unsur batuan terpenting pembentuk stratigrafi yaitu sedimen dimana sifat batuan sedimen yang
berlapis-lapis memberi arti kronologis dari lapisan yang ada tentang urut-urutan perlapisan ditinjau
dari kejadian dan waktu pengendapannya maupun umur setiap lapisan.
Dengan adanya ciri batuan yang menyusun lapisan batuan sedimen, maka dapat dipermudah
pemeriannya, pengaturannya, hubungan lapisan batuan yang satu dengan yang lainnya, yang
dibatasi oleh penyebaran ciri satuan stratigrafi yang saling berhimpit, bahkan dapat berpotongan
dengan yang lainnya.
2. Unsur perlapisan
Unsur perlapisan merupakan sifat utama dari batuan sedimen yang memperlihatkan bidang-
bidang sejajar yang diakibatkan oleh proses-proses sedimetasi. Mengingat bahwa perlapisan batuan
sedimen dibentuk oleh suatu proses pengendapan pada suatu lingkungan pengendapan tertentu,
maka Weimer berpendapat bahwa prinsip penyebaran batuan sedimen tergantung pada proses
pertumbuhaan lateral yang didasarkan pada kenyataan, yaitu bahwa:
• Akumulasi batuan pada umumnya searah dengan aliran media transport, sehingga kemiringan
endapan mengakibatkan terjadinya perlapisan selang tindih (overlap) yang dibentuk karena tidak
seragamnya massa yang diendapkannya.
• Endapan di atas suatu sedimen pada umumnya cenderung membentuk sudut terhadap lapisan
sedimentasi di bawahnya.
2. 3. STRATIGRAFI PRA-KAMBRIUM
Di Indonesia, kita terutama hanya banyak bermain di hampir 1,5 % saja episode Bumi
bernama zaman Paleogen dan Neogen. Atau, manusia hanya “banyak” tahu di hampir 12 % saja
episode Bumi bernama kurun Fanerozoikum, sementara 88 % episode Bumi yaitu sejak penciptannya
sampai Kambrium, pengetahuan kita sedikit sekali. Ini adalah cerita tentang yang sedikit sekali itu,
pra-Kambrium, yang serbalangka dan serbarumit.
“Studying the Earth becomes increasingly difficult and uncertain the further one goes back in
geological time” (Robb et al., 2004)
Berikut ini adalah uraian singkat tentang stratigrafi pra-Kambrium (pre-Cambrian)
berdasarkan beberapa sumber dan bagaimana kabarnya di Indonesia . Nama2 waktu geologi
diterjemahkan dari bahasa aslinya mengacu kepada Pedoman Umum Pembentukan Istilah (Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1980) dan Kamus Istilah Geologi (Purbo-Hadiwidjoyo, 1981)
Bumi berdasarkan pengetahuan terbaru dibentuk pada 4560 Ma (million years ago)
Kambrium dimulai pada 542 Ma (Geologic Time Scale 2004 – Gradstein et al., 2004). Maka, pra-
Kambrium berlangsung dari 4560-542 Ma, atau meliputi sekitar 7/8 sejarah Bumi. Sungguhpun
demikian, betapa sedikitnya pengetahuan kita tentangnya. Kurun Fanerozoikum (Phanerozoic) 542
Ma-sekarang adalah kurun biostratigrafi, dimulai dengan melimpahnya fosil akibat Cambrian
Explosion terus sampai ke zaman Kenozoikum. Pembagiannya ke dalam masa, zaman, kala, dan
tingkat (stage, pembagian internasional) adalah didasarkan kepada biostratigrafi. Sementara itu,
pembagian waktu pra-Kambrium didasarkan kepada geokronometri isotop-isotop radioaktif pada
mineral, batuan, dan kerak yang ditemui. Bisa dipahami sebab kehidupan pada pra-Kambrium sangat
minimal dan baru berkembang.
Pencantuman Satuan Stratigrafi Gunungapi (BAB 111), merupakan wujud keprihatinan terhadap tidak
adanya wadah penamaan yang dapat dipakai untuk gunungapi di Indonesia. Di negara maju, sistem
penamaan dalam pemetaan gunungapi sudah mampu memberikan sumbangan terhadap peramalan
kegiatan dan bahayanya. Ada keinginan dibuat unit-unit stratigrafi lainnya dalam SSI-1996, seperti
Tektonostratigrafi, Stratigrafi Kuarter, dan lain-lain sayangnya draft dari para pengusul atas satuan
tersebut tidak terselesaikan dalam batas waktunya. Mendukung dibuatnya Lexicon Stratigrafi di
Indonesia bagi masing-masing satuan stratigrafi. Dengan catatan bahwa Lexicon ini lebih bersifat
literatur resmi, tetapi masih terbuka bagi perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan
akumulasi data yang ada. Panitia Sandi Stratigrafi Indonesia perlu dilestarikan dan diluaskan sehingga
mencakup organisasi lain yang bersangkutan dengan stratigrafi di Indonesia. Tujuan penggolongan
Stratigrafi perlu menjadi bahan pertimbangan
2.4.4. Sandi Stratigrafi Indonesia 1996: Suatu Catatan Perkembangan Sandi Stratigrafi Indonesia.
(Djuhaeni)
SSI-1996, merupakan hasil penambahan tiga satuan stratigrafi baru ke dalam Sandi Stratigrafi
Indonesia 1973. Tiga satuan stratigrafi baru: Satuan Litodemik, Satuan Stratigrafi Gunungapi, dan
Sikuenstratigrafi, atau perbandingannya :
1. SSI 1973 : memuat Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi
2. SSI 1996 : Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi, Litodemik, Gunung api, Sikuenstratigrafi.
Satuan Litodemik, untuk pembagian unit batuan beku dan metamorf. Satuan Litodemik
dibedakan dengan Satuan Litostratigrafi karena mempunyai kaidah yang berbeda dengan Hukum
Superposisi, terutama hubungan kontak dan pelamparannya. Dihimbau bagi pengguna-akademisi-
pakar mineral untuk berperan aktif, mengkaji ulang, mengembangkan dalam memperbaiki satuan
litodemik yang disesuaikan dengan perkembangan, baik secara konsep maupun aplikasinya di
Indonesia. Satuan Stratigrafi Gunungapi, masih perlu dikembangkan, dan disesuaikan dengan
perkembangan penerapannya di Indonesia.
Satuan Sikuenstratigrafi, Satuan Sikuenstratigrafi perlu disempumakan, misalnya untuk keperluan
korelasi di Ladang Migas; order parasikuen perlu dikembangkan lebih lanjut., sesuai perkembangan
konsep dan penerapannya di Indonesia.
Sosialisasi SSI-1996, Wacana tentang usulan Satuan Tektonostratigrafi dan Satuan Stratigrafi
Kuarter untuk dimasukkan ke dalam SSI-1996, sampai saat ini belum terwujud. Sosialisasi SSI-1996
setelah PIT-IAGI 1996 di Bandung kurang mendapat perhatian.
Perkembangan Penelitian Stratigrafi di Indonesia : 3 Era
1. Era Pra-SSI.. Satuan stratigrafi lebih didasarkan kepada kerangka waktu, dan penamaannya diikuti
oleh kata “series" atau "beds", sebagai contoh Halang Series, Cidadap Beds.
2. Era SSI-1973. Ada perubahan nama, contoh "Halang Series/Beds" menjadi Formasi Halang.
3. Era SSI-1996. Perkembangan satuan stratigrafi sangat mencolok, munculnya Satuan
“Sikuenstratigrafi” dan Satuan “Tektonostratigrafi”.
Adanya kemajuan penelitian geologi dan perkembangan tatanama satuan stratigrafi
menimbulkan dampak kerancuan penyebutan nama satuan stratigrafi dan pelamparannya : Formasi
Kujung menjadi "Kujung Time" (Kujung 1, Kujung 11, dan Kujung 111), tetapi tidak jelas pemerian
waktunya. Akan membingungkan lagi apabila yang akan datang, ada penyebutan Sikuen Kujung.
Distribusi/pelamparan Satuan Stratigrafi perlu dijelaskan lebih lanjut, tidak terbatas "dapat
dipetakan dalam skala 1 : 25.000" saja, sehingga timbul problem "terlalu banyak nama-nama satuan
litostratigrafi". Di sisi lain justru menimbulkan pertanyaan: "sejauh mana validitas pelamparan suatu
formasi itu", sebagai contoh Formasi Talangakar dikenal dari Sumatra Selatan sampai Jawa Barat
bagian Utara (NW Java Basin).
Munculnya penamaan satuan stratigrafi (Unit Allostratigrafi) yang mengacu kepada "Sandi
Stratigrafi Asing" yang pernah muncul dalam Procceding PIT-IAGI sangat tidak diharapkan untuk
dikembangkan. Bila dianggap perlu, satuan stratigrafi yang tidak mengacu pada SSI agar diusulkan
kepada Komisi SSI-IAGI, untuk dimasukkan menjadi salah satu ayat dalam SSI (Pasal 12 SSI-1996).
Untuk mengatasi kerancuan dan problematika tatanama dan penamaan satuan stratigrafi,
Komisi SSI-IAGI perlu memperhatikan setiap perkembangan satuan stratigrafi yang ada di Indonesia,
dan mendokumentasikan di dalam bentuk "Lexicon Stratigrafi Indonesia".
Komisi SSI 1996 juga memberi peluang apabila ada usulan perubahan, penambahan, dan lainnya,
sesuai dengan Pasal 12 SSI-1996, selanjutnya dapat disampaikan secara tertulis kepada Komisi SSI,
IAGI. Pembahasannya dilaksanakan bersamaan PIT-IAGI.
Dengan adanya kepedulian dan peran aktif para Ahli Geologi di Indonesia, diharapkan SSI
selalu dapat mengikuti perkembangan satuan stratigrafi pada setiap waktu.
Status Penerapan Lithostratigrafi Dalam Rencanapenerbitan Leksikon Stratigrafi Indonesia
1. Pada prinsipnya Leksikon yang dirintis oleh P3G mengacu pada SSI 1996.
2. Perkembangan kegiatan penelitian dan pemetaan geologi hingga kini, menghasilkan nama satuan
stratigrafi baru yang banyak bermunculan baik resmi ataupun tidak resmi.
3. Di antara nama yang diusulkan, terdapat ketidaksesuaian dengan kaidah-kaidah SSI, seperti
perbedaan pemerian dan usulan nama yang berbeda untuk satuan batuan yang sama.
4. Hasil penelitian dan pemetaan geologi oleh P3G hingga kini menghasilakan lebih dari 2000 nama
satuan batuan di Indonesia.
5. Penyusunan dan penataan kembali tatanama stratigrafi akan dilakukan oleh Puslitbang Geologi
dengan tahapan pertama menerapkan litostratigrafi ke dalam bentuk leksikon.
6. Leksikon Stratigrafi Indonesia, menguraikan butir-butir nama satuan, umur,
nomenklatur/tatanama, lokasi tipe, pemerian, kandungan fosil, hubungan stratigrafi, ketebalan,
penyebaran, lingkungan pengendapan, tataan tektonik, aspek ekonomi, catatan dan acuan, serta
dilengkapi dengan peta geografi yang memuat lokasi tipe masing-masing satuan.
7. Diharapkan, di masa mendatang, leksikon ini dapat diakses melalui suatu sistem informasi geologi
2.4.5. Kendala Penerapan Satuan Stratigrafi Gunungapi (Sutikno Bronto)
Ada 4 kendala penerapan satuan stratigrafi gunungapi dalam lingkup ilmu geologi di Indonesia :
1. Kendala Lingkup Penerapan
Selama ini Satuan Stratigrafi Gunungapi hanya diterapkan pada gunungapi Kuarter dan aktif
dan penelitian tidak begitu cepat memberikan nilai ekonomi tinggi, maka sangat sedikit ahli geologi
yang tertarik untuk mempelajari ilmu gunungapi.
2. Kendala Pendidikan Dasar Geologi
Pendidikan dasar geologi belum sepenuhnya mengacu pada kondisi geologi Indonesia yang
berhubungan dengan cekungan sedimentasi busur magma dan gunungapi, menyebabkan
pemahaman ilmu gunungapi sangat minim. Akibatnya Ilmu stratigrafi gunungapi terasa menjadi
semakin sulit untuk dipelajari.
3. Kendala Kesampaian Medan
Kesampaian medan gunungapi yang sangat sulit, terjal menyebabkan keengganan para ahli
geologi untuk melakukan penelitian di daerah gunungapi.
4. Kendala Atmosfer Penelitian
Belum terciptanya atmosfer penelitian di Indonesia secara optimal, apalagi yang menyangkut
ilmu dasar dan dalam jangka pendek tidak langsung berorientasi ke ekonomi.
Adanya kendala-kendala tersebut “ Para ahli geologi Indonesia semakin tidak memahami kondisi
geologinya sendiri”. Di masa mendatang, sangat mungkin ahli geologi luar negeri akan menjadi lebih
tahu geologi gunungapi Indonesia dan lebih mampu/ cepat memanfaatkan potensi sumber daya
geologi Indonesia daripada ‘tuan rumah’nya. Akhirnya kita hanya akan menjadi penonton/ pelayan di
negaranya sendiri. Apakah kita ingin seperti itu nantinya?
Usaha Penyelesaian
1. Mendorong iklim penelitian pemanfaatan sumber daya gunungapi yang diawali dengan penelitian-
penelitian dasar geologi gunungapi,
2. Memperluas lingkup penerapan satuan stratigrafi gunungapi hingga batuan berumur Tersier atau
yang lebih tua.
3. Mengubah secara bertahap bahan pendidikan dan pengajaran geologi disesuaikan dengan kondisi
geologi Indonesia, serta
4. Memperkenalkan dasar-dasar geologi Indonesia kepada guru dan anak didik sejak pendidikan
dasar hingga menengah atas.
Posisi Sikuenstratigrafi Di Dalam SSI 1996. Beberapa Persoalan Yang Timbul. (Wartono Rahardjo)
Konsep Sikuenstratigrafi telah banyak diterapkan dan terbukti mampu memecahkan sejumlah
masalah eksplorasi / produksi pada industri minyak dan gas bumi.
Pendekatan
Analisis stratigrafi dengan pendekatan Litostratigrafi prinsipnya berdasarkan pemerian lapisan
yang diamati. Penafsiran didasarkan atas kriteria yang teramati, yang sekaligus menjadi pembatas
dari penafsiran tersebut. Kriteria tersebut bisa bersifat litologi (Litostratigrafi), fosil (Biostratigrafi)
atau kombinasi keduanya sehingga muncul satuan Kronostratigrafi dan Geokronologi.
Analisis Sikuenstratigrafi mulanya juga bersifat deskriptif seperti pada Litostratigrafi
namunkemudian telah berkembang menjadi ilmu yang sangat deterministik bahkan bersifat prediktif.
Beberapa Perubahan Pada Konsep Dasar
Ada beberapa konsep dasar Litostratigrafi yang tidak sesuai lagi bila diterapkan dalam
pembahasan Sikuenstratigrafi, sehingga perlu pandangan baru dalam pemahaman konsep-konsep
dasar yang ada di dalam Litostratigrafi.
Permasalahan Sikuenstratigrafi dalam SSI 1996
Secara eksplisit sikuenstratigrafi sudah tercantum dalam SSI 1996, namun dalam praktek
belum banyak digunakan, terutama pada penelitian geologi permukaan. Konsep stratigrafi tradisionil
masih lebih banyak digunakan.
Kesimpulan
1. Pendekatan Sikuenstratigrafi yang berakar dari Seismikstratigrafi secara nyata telah membenarkan
hasil yang lebih baik dalam penafsiran stratigrafi detail daripada pendekatan stratigrafi konvensional..
2. Banyak praktisi geologi non stratigrafi menjadi ketakutan dan enggan mendalami Sikuenstratigrafi
karena banyaknya istilah baru yang khas Sikuenstratigrafi.
3. Keberadaan ketidakselarasan dalam berbagai ujudnya sangat penting dalam Sikuenstratigrafi tetapi
masih kurang diperhatikan peranannya pada satuan stratigrafi yang lain, terutama pada satuan
Litostratigrafi.
4. Saran yang dapat diajukan sebagai akibat dari diakuinya Satuan Sikuenstratigrafi adalah perbaikan
dalam pendefinisian dari korelasi (pasal 7 SSI 1996) serta penambahan pasal tentang
ketidakselarasan
2.4.6. Litostratigrafi vs Biostratigrafi Di Cekungan Kutai Hilir: Masukan Bagi Penyempurnaan SSI’96.
(Andang Bachtiar)
Perlunya tinjauan ulang penggunaan litostratigrafi untuk menerangkan stratigrafi
endapan delta di semua cekungan di Indonesia, terutama apabila dimensi deltanya ekivalen dengan
Delta Mahakam purba. Hal ini menjadi sangat penting karena keragaman fasies litologi endapan
delta, baik secara lateral/ vertikal yang diakibatkan oleh proses naik-turunnya muka air laut relatif
dapat sangat ekstrim, yaitu dari dominan batupasir fluvial sampai ke endapan laut dalam, sehingga
satu penamaan formasi saja tidak cukup untuk memerikan stratigrafinya.
2.4.7. Kontribusi Seismik Stratigrafi pada Pembenahan “Satuan Resmi Bawah Permukaan” Sandi
Stratigrafi Indonesia 1996. (Awang H. Satyana & Brahmantyo K. Gunawan)
1. SSI 1973 dan 1996, kurang mengakomodasi masalah stratigrafi bawah permukaan.
2. SSI 1996 telah memuat Satuan Sekuen Stratigrafi, tetapi belum berdasarkan kepada data bawah
permukaan khususnya data seismik.
2. 5. POLA SEBARAN FORAMINIFERA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN STRATIGRAFI SIKUEN (Studi
kasus: Daerah Blora dan sekitarnya/daerah lintang rendah)
Berkembangya konsep stratigrafi sikuen akhir-akhir ini (Vail, 1987, van Wagoner dkk., 1988
dan Haq, 1991) telah mengakibatkan perubahan yang revolusioner dalam pemikiran stratigrafi.
Secara hipotesis, biostratigrafi (foraminifera) dapat mengidentifikasi sikuen dan komponen sikuen itu
sendiri bilamana data yang lain tidak meyakinkan (van Gorsel, 1988).
Stratigrafi sikuen adalah metode pendekatan yang multidisiplin serta berorientasi pada sejumlah
proses untuk menginterpretasi paket sedimen. Paket sedimen tersebut diberi nama sikuen dan
dibatasi oleh bidang ketidakselarasan atau bidang kemenerusannya yang selaras dan bersifat
regional. Secara teknis, konsep ini bertujuan mengelompokkan urutan susunan batuan sedimen ke
dalam suatu sikuen yang didasarkan pada kronologi sebagai pembatas selang genesanya (Vail, dkk,
1984, Vail, 1987, dalam Djuhaeni, 1996).
Istilah sikuen menunjuk pada sikuen orde 3 yang menurut Vail (1992, dalam Handford, 1997)
mempunyai selang waktu 0,5 - 3,0 juta tahun. Sikuen tersebut diakibatkan oleh glacio-eustatic
change dan tektonik lokal ataupun regional. Mitchum dan van Wagoner (1991) menyatakan bahwa
sikuen mempunyai pola tumpukan sedimen (stacking pattern) dan merupakan bukti dari adanya
siklus high-frequency eustatic. Sikuen tersebut tersusun atas komponen sikuen (depositional system
track: lowstand system track/LST, transgressive system track/TST dan high system track/HST)
sebagai respons akibat perubahan muka air laut relatif (Posamentier dan Vail, 1988; van Wagoner
dkk., 1988).
Interpretasi stratigrafi sikuen dan komponen sikuennya serta horison seperti batas sikuen
(SB), bidang transgresi (TS), bidang maximum flooding surface (MFS), dan condensed section (C)
memerlukan pemahaman akan hubungan stratigrafi, umur, batimetri, dan fasies. Dengan demikian,
terlihat ada beberapa aspek yang melibatkan biostratigrafi dalam mengevaluasi stratigrafi sikuen.
2.5.1. Material dan metode
Daerah penelitian berada di Cekungan Jawa Timur Utara (Blora, daerah lintang rendah,).
Stratigrafi sikuennya sudah dikaji secara rinci oleh Djuhaeni (1994). Sebanyak 101 contoh dari 6 unit
sikuen pada empat buah penampang stratigrafi telah diambil. Pengambilan contoh batuan di
lapangan dilakukan pada tiap batas komponen sikuen dan selang di antaranya. Semua contoh batuan
yang didapat diproses dengan prosedur yang sama. Contoh batuan yang tidak kompak di cuci
sebanyak 10 gram berat kering, sedangkan yang sangat kompak disayat tipis. Teknik penghitungan,
metode preparasi, dan hitungan set fosil dilakukan secara konsisten pada seluruh contoh yang
dianalisis, secara kuantitatif.
Taksonomi foraminifera mengikuti Loeblich & Tappan (1964), sedangkan referensi untuk
spesies planktonik dan zonasinya mengikuti Bolli dkk. (1985). Identifikasi spesies bentonik
berdasarkan antara lain Barker (1960) dan Adam (1984). Selain menggunakan konsep datum,
penentuan umur relatif juga dibantu oleh pola perubahan putaran spesies tertentu (Bolli dkk.,1985).
Sementara itu foraminifera besar mengikuti Adam (1970, 1984). Data ekologi genus atau spesies
foraminifera dan asosiasi untuk tiap zona batimetri didasarkan pada berbagai sumber seperti
Rauwenda dkk. (1984), Murray (1991), Biswash (1976), Hottinger (1983), dan Bilman dkk. (1980).
Model batimetri untuk lingkungan pengendapan laut mengikuti model yang digunakan oleh Rauwenda
dkk. (1984). Analisis iklim menggunakan metode whole fauna dengan referensi spesies dari
Boltovskoy & Wright (1976) dan Be’ & Tolderlund (1971, dalam Haynes, 1981). Salinitas ditafsirkan
dari perbandingan Globigerinoides sacculifer/Gs. ruber seperti yang digunakan oleh Berggren &
Boersma (1969, dalam Boltovskoy & Wright, 1976). Beberapa parameter dicoba diterapkan untuk
melihat pola sebaran foraminifera yang dapat membantu analisis stratigrafi sikuen, yaitu kelimpahan,
keragaman, bioevent, biofasies, dan kompisisi fauna.
2.5.2. Pola sebaran/karakteristik foraminifera dalam stratigrafi sikuen
Umur, lingkungan pengendapan, dan iklim purba dari contoh yang dianalisis terlihat pada
Gambar 3 sampai dengan 6. Gambar 7 sampai dengan 10 adalah kurva kelimpahan (total, bentonik,
planktonik), keragaman (jumlah total species, Yule-Simpson indeks, planktonik, bentonik), dan
komposisi foraminifera. Berikut akan dibahas pola atau karakteristik foraminifera pada setiap
komponen sikuen dan bidang-bidang batasnya
2.5.3. Batas sikuen
Sebanyak 7 batas sikuen, yaitu SB2, SB3, SB4, SB5, ?SB6, SB8, dan SB9 telah dianalisis. SB2,
SB3, SB8, dan SB9 secara fisik di lapangan dicirikan oleh bidang erosional. Hampir semua batas
sikuen dicirikan oleh penurunan batimetri secara tiba-tiba, kecuali SB5 dan ?SB6 di lintasan Kali
Ledok. Batas tersebut dari hasil analisis foraminifera tidak menunjukkan adanya perubahan batimetri.
Pada batas sikuen SB6, meskipun batimetri tidak menunjukkan perubahan, terlihat ada sedikit
perubahan pada iklim, kelimpahan dan keragaman total, serta foram planktonik dan bentonik. Batas
sikuen juga bersesuaian dengan perubahan iklim (SB8) dari panas ke dingin serta adanya zona
biostratigrafi yang hilang. Beberapa batas sikuen dicirikan oleh hadir atau meningkatnya fauna
rombakan dan percampuran fauna fasies laut dangkal dan dalam. Hal ini diikuti oleh perubahan
batimetri dan/atau ekologi (salinitas), iklim dari panas ke dingin (SB2, SB8, SB9), dan perubahan pH
(SB3). Pada Gambar 7 sampai dengan 10 terlihat bahwa keragaman dan, kelimpahan total maupun
kelompok foraminifera tidak menunjukkan pola yang konsisten; pola yang dijumpai sangat tergantung
pada jenis batuan dan kondisi ekologi lingkungan pengendapannya. Meskipun demikian, terlihat
bahwa bila kondisinya sama-sama laut terbuka, batas sikuen dicirikan oleh penurunan kelimpahan
totalnya (SB4, SB5, ?SB6, SB8 dan SB9). Beberapa batas sikuen juga dicirikan oleh perubahan
komposisi fauna secara mencolok dengan tiba-tiba (SB2 dan SB3).
2.5.4. Lowstand System Track (LST)
Sebanyak 5 selang endapan LST, yaitu LST dari Sikuen 3, 4, 5, 7, dan 10 telah dianalisis.
Adanya fosil rombakan yang sukar dipisahkan dengan yang in situ pada endapan LST Sikuen 3 dan
10 membuat pola keragaman dan kelimpahan yang sebenarnya sulit diketahui. Selang LST Sikuen 7
(Gambar 9) memperlihatkan pola penurunan keragaman, baik dalam jumlah specien maupun indeks
Yule-Simpson serta keragaman bentonik dan planktoniknya. Sementara itu, LST Sikuen 4 (Gambar 7)
juga memperlihatkan penurunan keragaman dan kelimpahan, tetapi LST Sikuen 5 (Gambar 8)
menunjukkan hal yang sebaliknya.
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa pola keragaman dan kelimpahan tidak konsisten.
Secara umum, endapan LST dicirikan oleh hadirnya fauna rombakan yang relatif banyak dan
percampuran bentonik laut dangkal dan dalam. Biofasies pada endapan LST yang dianalisis pada laut
dangkal menunjukkan lingkungan pengendapan yang relatif lebih dangkal daripada HST unit sikuen di
bawahnya, sedangkan yang pada laut yang relatif dalam (SB5 & ?SB 6) tidak selalu menunjukkan
pendangkalan batimetri.
2.5.5. Transgressive System Track (TST)
Sebanyak 5 selang endapan TST, yaitu TST dari Sikuen 3, 5, 7, 9, dan 10 telah dianalisis.
Selang TST memperlihatkan kecenderungan naiknya kelimpahan total, meskipun pada TST Sikuen 9
pola tersebut tidak begitu tampak karena sulit memisahkan fauna rombakan dan fauna in situ. Pada
laut dangkal (TST Sikuen 3 dan 10) terlihat bahwa kelimpahan total bentoniknya meningkat,
sedangkan pada laut dalam (TST Sikuen 7 dan 9), kelimpahan dan keragaman planktoniknya yang
tampak meningkat. Analisis biofasies menunjukkan bahwa asosiasi faunanya makin ke atas makin
menunjukkan lingkungan yang makin mendalam, dan mencapai maksimum kedalaman di sekitar
batas antara TST dan HST. Hal ini tampak jelas terutama pada daerah laut dangkal. Parameter lain
tidak menunjukkan pola tertentu.
2.5.6. Highstand System Track (HST)
Empat selang HST telah dianalisis, yaitu HST Sikuen 3, 5, 7, dan 9. Selang HST tersebut
memperlihatkan karakteristik biofasies yang hampir sama, yaitu makin ke atas makin menunjukkan
pendangkalan batimetri (HST Sikuen 3, 7, dan 9); hanya Sikuen 5 yang tidak menunjukkan
perubahan batimetri. Kelimpahan dan keragaman jumlah spesies, indeks Yule-Simpson, planktonik
dan bentonik, dan komposisi fauna, tidak menunjukkan pola perubahan yang konsisten. Sikuen 3 dan
7 memperlihatkan keragaman yang menurun ke arah atas, sedangkan Sikuen 5 menunjukkan
kecenderungan naik ke arah atas. Pada Sikuen 9 terlihat menurun, kemudian berfluktuasi, dan
meningkat lagi di akhir selang. Kelimpahan total umumnya mempunyai pola yang berfluktuasi.
2.5.7. Transgressive Surface (TS)
Sebanyak 5 bidang TS telah dianalisis, yaitu bidang TS Sikuen 3, 4, 5, 7, dan 10. Bidang TS
Sikuen 3, 4, 5, dan 10 berada pada lingkungan laut relatif dangkal dan dicirikan oleh perubahan
batimetri (kecuali Sikuen 5). Di atas bidang TS tampak lingkungan pengendapan yang relatif lebih
dalam daripada yang di bawahnya. Sikuen 7 berada pada laut yang relatif dalam dan tidak
menunjukkan perubahan batimetri. Keragaman, kelimpahan, dan komposisi fauna tidak menunjukkan
pola yang konsisten.
2.5.8. MFS (Maximum Flooding Surface)
Lima bidang MFS telah dianalisis, yaitu MFS Sikuen 3, 5, 7, 9, dan 10. Bidang MFS Sikuen 5,
7, 9, dan 10 berasosiasi dengan condensed section. Pada bidang MFS yang berasosiasi dengan
condensed section tampak bahwa kelimpahan dan/atau keragaman yang relatif tinggi berada tepat di
bawah bidang MFS dan hanya pada Sikuen 5 yang tidak. Sementara itu, yang tidak berasosiasi
dengan condensed section, maksimum kelimpahan dan/atau keragamannya berada di atas bidang
MFS. Meskipun dalam satu sikuen terdapat nilai keragaman dan/atau kelimpahan yang hampir sama
atau lebih tinggi (TST Sikuen 9 dan LST Sikuen 3), hal tersebut dapat dibedakan dari yang berasosiasi
dengan bidang MFS. Nilai yang tinggi tersebut diakibatkan oleh adanya fauna rombakan yang
sebagian sulit dipisahkan dengan yang in situ. Bidang MFS juga tampak berasosiasi dengan
maksimum kedalaman di dalam satu sikuen. Hal tersebut terefleksi pada asosiasi biofasiesnya. Pada
laut dangkal, hal tersebut terlihat dari pemunculan fauna yang relatif lebih dalam dibandingkan
dengan yang di atas atau di bawahnya, sedangkan pada laut dalam, tampak dari tingginya
kelimpahan dan/atau keragaman total.
Condensed section
Empat condensed section telah dianalisis dalam studi ini. Tiga condensed section (Sikuen
7, 9, dan 10) mempunyai karakteristik foraminifera yang sama, yaitu mempunyai nilai kelimpahan
planktonik atau bentonik yang tinggi di dalam satu sikuen, tetapi condensed section Sikuen 5 tidak
menunjukkan hal yang sama. Selain hal di atas, condensed section juga berasosiasi dengan biofasies
yang menunjukkan lingkungan relatif paling dalam dari satu unit sikuen. Pada penelitian ini terlihat
bahwa semua condensed section tersebut diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan salinitas
normal.
2.5.9. Pemodelan
Berdasarkan model stratigrafi sikuen yang dibuat oleh Vail dkk. (1987), dan hasil analisis pada
penelitian ini, dibuat model biostratigrafi dalam hubungannya dengan stratigrafi sikuen. Model
tersebut (Gambar 11) menggambarkan perubahan batimetri, ekologi, dan iklim purba pada sikuen
dan komponennya yang disusun berdasarkan data biofasiesnya. Horison-horison yang ada pada
sikuen disusun berdasarkan perubahan pada biofasies dan bioevent, termasuk di dalamnya
karakteristik kelimpahan dan keragaman
2. 6. PENAMPANG STRATIGRAFI
Definisi
Penampang stratigrafi terukur (measured stratigraphic section) adalah suatu penampang atau kolom
yang menggambarkan kondisi stratigrafi suatu jalur, yang secara sengaja telah dipilih dan telah
diukur untuk mewakili daerah tempat dilakukannya pengukuran tersebut. Jalur yang diukur tersebut
dapat meliputi satu formasi batuan atau lebih
Sebaliknya pengukuran dapat pula dilakukan hanya pada sebagian dari suatu formasi, sehingga
hanya meliputi satu atau lebih satuan lithostratigrafi yang lebih kecil dari formasi, misalnya anggota
atau bahkan hanya beberapa perlapisan saja
Tujuan:
1. Keterangan litologi terperinci yang menyangkut tentang jenis, macam, komponen penyusun,
tekstur, kemas, kandungan fosil, struktur sedimen dan lain-lain sifat geologis dari setiap satuan yang
terdapat pada jalur tersebut.
2. Kedudukan dan ketebalan dari setiap litologi yang dijumpai.
3. Urutan dari semua litologi yang ada serta jenis hubungan dari dua litologi yang berdampingan,
apakah selaras, tidak selaras, menyisip, selang seling, bergradasi normal atau terbalik dan lain
sebagainya
Kolom stratigrafi yang diperoleh dari jalur yang diukur siap dijadikan dasar untuk :
1. Penentuan batas secara tepat dari satuan-satuan stratigrafi formal maupun informal, yang dalam
peta dasar yang dipakai terpetakan atau tidak, sehingga akan meningkatkan ketepatan dari
pemetaan geologi yang dilakukan di tempat dimana dilakukan pengukuran tadi.
2. Penafsiran lingkungan pengendapan satuan-satuan yang ada di kolom tersebut serta sejarah
geologi sepanjang waktu pembentukan kolom tersebut.
3. Sarana korelasi dengan kolom-kolom yang diukur di jalur yang lain.
4. Pembuatan penampang atau profil stratigrafi (stratigraphic section) untuk wilayah tersebut.
5. Evaluasi lateral (spatial = ruang) dan vertical (temporal = waktu) dari seluruh satuan yang ada
ataupun sebagian dari satuan yang terpilih, misalnya saja :
a. lapisan batupasir yang potensial sebagai reservoir.
b. lapisan batubara.
c. lapisan yang kaya akan fosil tertentu.
d. Lapisan bentonit dan lain-lain.
Ada dua metoda yang biasa dilakukan dalam usaha pengukuran jalur stratigrafi. Metoda tersebut
adalah :
• Metoda rentang tali.
• Metoda tongkat Jacob (Jacob’s staff method).
Metoda rentang tali atau yang dikenal juga sebagai metoda Brunton and tape (Compton, 1985; Fritz
& Moore, 1988)
“dilakukan dengan dasar perentangan tali atau meteran panjang. Semua jarak dan ketebalan
diperoleh berdasar rentangan terbut. Pengukuran dengan metoda ini akan langsung menghasilkan
ketebalan sesungguhnya hanya apabila dipenuhi syarat sebagai berikut”:
• Arah rentangan tali tegak lurus pada jalur perlapisan.
• Arah kelerengan dari tebing atau rentangan tali tegak lurus pada arah kemiringan.
Diantara 2 ujung rentangan tali tidak ada perubahan jurus maupun kemiringan