Anda di halaman 1dari 3

Banyak Cara Menaklukkan Hama Penyakit

Februari 2, 2010 oleh plantus

Salah satu hambatan utama dalam budidaya bawang merah adalah serangan hama dan penyakit.
Untuk mengendalikannya, petani di sentra produksi Brebes, Jateng, memilih penggunaan
pestisida kimia sintetik. Sementara petani di Desa Guntarano, Kecamatan Tanantovea, Kab.
Donggala, Sulteng, justru memanfaatkan bahan-bahan alami alias racun nabati. Berikut
pengalaman mereka bergelut dengan hama maupun penyakit yang merusak tanaman bawang
merah.

Akbar, Memanfaatkan Kearifan Lokal

Dua tahun silam, seluruh kebun bawang merah di Desa Guntarano yang luasnya 83 ha, luluh-
lantak oleh serangan lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis). Tak terkecuali kebun milik
Akbar, Ketua Kelompok Tani Abadi. “Waktu itu, kebun saya hancur, saya rugi hingga Rp20
juta,” kenangnya.

Menurut Akbar, yang juga Ketua Gapoktan Guntarano, hambatan utama dalam budidaya bawang
merah di wilayahnya memang hama pengorok daun. Sampai-sampai dinas terkait
menginstruksikan para petani tidak menanam bawang merah selama tiga tahun untuk
memutuskan siklus hidup hama itu. “Jika serangannya mengganas, bisa habis satu hektar dalam
semalam,” tandasnya.

Pengalaman pahit itu memaksa Akbar memutar otak mencari cara pengendalian yang jitu. Dia
menyimpulkan, ledakan Liriomyza itu dipicu oleh tingginya penggunaan insektisida kimia
sehingga perlu dicari alternatif pengendaliannya. “Saya bersama petani lainnya sudah mencoba
berbagai ramuan alami, dan berhasil,” akunya.

Beberapa jenis tanaman yang dimanfaatkan sebagai insektisida hayati itu adalah akar tuba, akar
kelor, sambiloto, daun pepaya, daun srikaya, dan daun mindi. Akar tuba atau akar kelor
ditumbuk, diperas airnya, lalu larutannya disemprotkan. “Larutan ini bisa menyelamatkan 75%
dari lahan yang terserang,” ucapnya.

Insektisida alami lainnya, yaitu campuran daun sambiloto, daun pepaya, daun srikaya, dan daun
mindi. Daun-daun itu dicincang dan dimasukkan ke dalam drum. Setengah drum berisi rajangan
dan setengahnya lagi diisi air penuh. Setelah dibiarkan dua malam, larutan itu disemprotkan.
Cara ini lebih banyak dipilih petani karena hasilnya lebih paten.

Akbar bersama kawan-kawan juga menemukan cara mengendalikan ulat grayak (Spodoptera
exigua) dengan air gerusan cabai. Dosisnya, satu sendok teh dicampur 15 liter air (satu tangki
semprot/knapsack).

Penyemprotan insektisida alami tersebut rata-rata seminggu sekali sejak ditemukan gejala
serangan. Sampai menjelang panen, penyemprotan dilakukan 9 kali.
“Kalau ingin memanfaatkan musuh alami, tanaman bisa disemprot dengan air gula pasir untuk
mengundang semut. Ulat grayak akan dimangsa semut,” cetusnya. Sedangkan untuk
mengendalikan rerumputan (gulma), mereka menggunakan larutan sari buah kakao.

Alhasil, 186 petani dalam Gapoktan Guntarano, kini bisa bernapas lega. Hama yang sebelumnya
menjadi batu sandungan, sejak 2008 dapat dikendalikan melalui kearifan lokal. Upaya itu
mampu menekan penggunaan pestisida kimia hingga 50%. Mereka bersyukur karena sekarang
melek inovasi teknologi dan wawasannya bertambah. Semua itu tidak terlepas dari peran
Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), yang masuk ke Guntarano
pada 2005. Pelaksanaan program yang dicanangkan Badan Litbang Deptan, dan sebagian didanai
Asian Development Bank (ADB) itu, didukung oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dan
dinas pertanian setempat.

Dulladi, Mampu Membaca Alam

Di Wanasari, Brebes, nama Dulladi sudah tidak asing. Petani sekaligus penangkar benih bawang
merah ini kondang lantaran jarang gagal dalam budidaya bawang merah untuk konsumsi maupun
benih.

Pengalamannya selama bertahun-tahun telah mengantarkan Dulladi peka terhadap perubahan


alam. Dari kepiawaiannya membaca perubahan lingkungan, akhirnya dia mampu menyusun
strategi penanganan serangan hama maupun penyakit. Ia mengandalkan pestisida yang
dgunakannya secara efektif dan efisien.

“Dengan kondisi alam sekarang, penyakit yang ditakuti petani (di Brebes) ada tiga, yaitu embun
bulu, inul alias moler, dan bercak ungu atau trotol,” ucap Ketua Asosiasi Perbenihan Bawang
Merah Indonesia (APBMI). Penyakit tersebut lebih banyak menyerang pada musim penghujan
karena dipicu udara yang lembap.

Untuk mengendalikan penyakit embun bulu alias busuk daun, ia menyemprotkan fungisida
merek Antracol, Rovral, dan Daconil. Penyemprotan dilakukan selang-seling. “Interval
penyemprotan tergantung intensitas serangan. Biasanya 3 hari sekali, tapi kalau serangannya
berat selang sehari,” terangnya.

Penyemprotan pertama pada umur 25 hari setelah tanam (HST). Satu tangki semprot berisi
campuran empat sendok Antracol dan satu sendok Rovral. Campuran itu untuk dua kali semprot.
Penyemprotan ketiga dan keempat berisi campuran empat sendok Antracol dan satu sendok
Daconil. Pola seperti itu dipertahankan untuk penyemprotan-penyemprotan berikutnya hingga
menjelang panen.

Sejak Mei ini, Dulladi memanfaatkan juga fungisida Trivia untuk mengendalikan penyakit busuk
daun. Dosisnya sesuai anjuran pada label dengan interval penyemprotan tiga hari sekali. “Musim
kemarau sekarang masih ada hujan sehingga timbul serangan penyakit,” alasannya.
Dulladi juga tetap menggunakan fungisida sekalipun pada musim kemarau. Tujuannya untuk
berjaga-jaga bila tiba-tiba ada serangan. Hanya saja dosisnya dikurangi, dari empat sendok
Antracol menjadi dua sendok.

Bila tanaman terserang trotol pada musim hujan, ia memakai rumus setengah. Pada 30 hari
pertama, tanaman disemprot Antracol, dan 30 hari berikutnya sampai panen disemprot Dithane.
Interval aplikasi tiga hari sekali. Tapi pada penanaman musim kemarau, aplikasi fungisida hanya
Antracol. Dosis fungisida untuk musim hujan empat sendok per tangki semprot. Sedangkan pada
musim kemarau dikurangi menjadi dua sendok per tangki. “Jika turun hujan dibarengi angin,
tanaman yang disemprot Antracol lentur. Sementara yang disemprot fungisida lain, malah
remuk,” ungkapnya.

Ceritanya lain lagi jika tanaman terserang penyakit inul. Fungisida pilihannya, Amistartop,
Folicur, dan Rovral. “Ketika diketahui ada serangan, disemprot Amistartop dengan dosis 10 cc
per tangki. Penyemprotan paling 3—4 kali,” ucapnya. Penyemprotan selanjutnya menggunakan
Rovral. Sementara Folicur digunakan pada musim kemarau sekaligus untuk menghijaukan daun.

Lain lagi bila terserang hama. “Mayoritas hama di sini adalah ulat grayak dan lalat Liriomyza,
yang biasanya muncul pada bulan sepuluh (Oktober),” ungkapnya. Kalau serangan tergolong
sedang, dia menyemprotkan insektisida Buldok. Bila berat, dia mencampurkan 25 cc Hostathion
dan 15 cc Prevathon. Penyemprotan dimulai pada umur 15 HST, dengan selang tiga hari.

Untuk mengendalikan pengorok daun, Dulladi mempercayakan kepada Trigard dan Cyrrotex.
Aplikasinya diselang-seling agar hama tidak menjadi kebal. Yang jelas, untuk membeli
insektisida dan fungisida, dia merogoh koceknya Rp4 juta—Rp5 juta per hektar per musim.

http://top1porn.com/tag/japan-uncensored

http://embedlink.info/flashx.php?url=677yi0u0ei0g

http://xtubecinema.com/1pondo-110916_423-iori-tsukimoto/

http://www.japvid.xxx/

http://www.deasians.com/v.php?v=part-1-miki-sato-and-boy&hl=en

http://pornclipshub.com/viewvid/a27a29607870616b75191e1e4d2f/Stepson-threesome-with-house-
maid-%26-stepmom.html

https://www.myfavsexcams.xxx/

Anda mungkin juga menyukai