Anda di halaman 1dari 10

X

Kurikulum 2013

s
Kela
sejarah
TERBENTUKNYA JARINGAN NUSANTARA MELALUI PERDAGANGAN

SEMESTER 2 KELAS X SMA/MA/SMK/MAK – Kurikulum 2013

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan asal-usul terbentuknya hubungan perdagangan di Nusantara.
2. Mendeskripsikan peran Selat Malaka dalam perdagangan di Nusantara.
3. Memahami pengaruh jalur perdagangan terhadap wilayah yang dilewati jalur
perdagangan.
4. Memahami peranan Sriwijaya dan Majapahit dalam proses integrasi antarpulau pada masa
Hindu-Buddha.
5. Memahami jaringan perdagangan antarpulau.

A. Asal-Usul Terbentuknya Hubungan Perdagangan di Nusantara


Wilayah Nusantara sudah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional sejak
dulu. Terdapat dua jalur perdagangan internasional yang digunakan pedagang pada saat
itu.
1. Jalur Sutra (Silk Road)
Jalur Sutra melalui jalur darat yang merupakan jalur perdagangan darat yang
dibuka oleh Tiongkok sejak zaman kuno dengan tujuan memungkinkan pedagang
Tiongkok berdagang di negara-negara Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Barat, Eropa,
dan Afrika Utara. Disebut Jalur Sutra karena sebagai jalur perdagangan komoditas
kain sutra. Jalur ini dimulai dari daratan Tiongkok melalui Asia Tengah, Turkistan
sampai ke daerah Laut Tengah. Jalur darat Sutra ini juga disebut sebagai jalur tertua
yang menghubungkan antara Tiongkok (Cina) dan Eropa.

Gambar 1. Jalur Sutra


Sumber: id.wikipedia.org

2. Jalur Laut
Jalur Laut melalui Laut Cina kemudian Selat Malaka, Calcuta di India lalu ke Teluk
Persia melalui Syam atau Syuria hingga ke Laut Tengah atau juga melalui Laut Merah
sampai ke daerah Mesir hingga akhirnya menuju Laut Tengah.
Pertumbuhan jaringan dagang internasional dan antarpulau telah melahirkan
kekuataan politik baru di Nusantara. Peta politik di Jawa dan Sumatra abad ke-7,
bersumber dari catatan pengunjung dari Tiongkok yang datang ke Sumatra. Dua
Negara di Sumatra disebutkan Moloyeu (Melayu) di pantai timur, tepatnya di
Jambi sekitar Muara Sungai Batanghari. Di sebelah selatan terdapat Che-li-fo-she,
pengucapan cara Tionghoa untuk kata bahasa Sanskerta, Sriwijaya. Di Jawa terdapat
empat kerajaan utama, yaitu:
a. Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat dengan raja terkenalnya adalah
Purnawarman;
b. Kerajaan Holing (Kalingga) di Jawa tengah; dan
c. Kerajaan Singosari dan Majapahit di Jawa Timur.

2
Selama periode Hindu-Buddha, kekuataan besar Nusantara yang memiliki
kekuataan integrasi secara politik, sejauh ini dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan
Sriwijaya, Singosari, dan Majapahit. Kekuataan integrasi secara politik maksudnya
adalah kemampuan kerajaan-kerajaan tradisional tersebut dalam menguasai
wilayah-wilayah yang luas di Nusantara di bawah pengawasan politik secara
longgar dan menempatkan wilayah kekuasaannya itu sebagai kesatuan-kesatuan
politik di bawah pengawasan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian,
pengintegrasian antarpulau secara lambat laun mulai terbentuk. Selain dengan
kekuataan dagang, politik, juga kekuataan budayanya, termasuk bahasa. Interaksi
antara aspek-aspek kekuatan tersebut membuat mereka berhasil mengintegrasikan
Nusantara dalam kekuasaannya. Kerajaan-kerajaan tersebut berkembang menjadi
kerajaan besar yang menjadi representasi pusat-pusat kekuasaan yang kuat dan
mengontrol kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di Nusantara.
Hubungan pusat dan daerah hanya dapat berlangsung dalam bentuk
hubungan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan. Keuntungan yang
diperoleh dari pusat kekuasaan antara lain berupa pengakuan simbolik seperti
kesetiaan dan pembayaran upeti berupa barang-barang yang digunakan untuk
kepentingan kerajaan serta barang-barang yang dapat diperdagangkan dalam
jaringan perdagangan internasional. Sebaliknya, kerjaaan-kerajaan kecil memperoleh
perlindungan dan rasa aman sekaligus kebanggaan atas hubungan tersebut.
Jika pusat kekuasaaan sudah tidak memiliki kemampuan dalam mengontrol
dan melindungi daerah bawahannya akan sering terjadi pembangkangan dan
menjadikan kerajaan-kerajaan besar terancam disintegrasi. Kerajaan-kerajaan kecil
lalu memisahkan diri dari ikatan politik dengan kerajaan-kerajaan besar lama dan
beralih loyalitasnya melindungi kepentingan mereka.
Integrasi dan disintegrasi adalah proses yang dilalui oleh masyarakat Indonesia
sejak masa Hindu-Buddha. Proses integrasi yang semakin lama semakin kuat semakin
mengukuhkan Nusantara sebagai negara kepulauan yang disatukan oleh kekuataan
politik dan perdagangan.

3
B. Peran Selat Malaka dalam Perdagangan di Nusantara

Gambar 2. Selat Malaka

Selat Malaka adalah jalur penting di sekitar Samudra Indonesia dan Teluk Persia dalam
pelayaran dan perdagangan bagi pedagang yang melintasi bandar-bandar penting di
sekitar Samudra Indonesia dan Teluk Persia. Peran Selat Malaka adalah sebagai pintu
gerbang yang menghubungkan antara pedagang-pedagang Tiongkok dan pedagang-
pedagang India. Tiongkok Utara dan India bagian barat daya merupakan dua kekuatan
peradaban besar yang berkembang sejak masa Hindu-Buddha di Nusantara. Tiongkok dan
India dapat dikatakan sebagai peradaban yang super power pada zamannya dan sangat
berpengaruh terhadap Indonesia. Kehidupan penduduk sepanjang Selat Malaka menjadi
lebih sejahtera oleh proses integrasi perdagangan dunia melalui jalur laut tersebut.
Penduduk sekitar lebih terbuka secara sosial dan ekonomi untuk menjalin hubungan
dagang dengan pedagang-pedagang asing yang melewati jalur itu. Di samping itu,
masyarakat setempat juga semakin terbuka oleh pengaruh-pengaruh budaya luar.
Semakin terbukanya perdagangan internasional di Selat Malaka, jaringan antarbangsa
dan penduduk di Kepulauan Indonesia juga berkembang pesat selama masa Hindu-
Buddha. Jaringan dagang dan jaringan budaya antarkepulauan di Indonesia itu terutama
terhubungkan oleh jaringan Laut Jawa sampai ke Maluku. Para pedagang secara tidak
langsung disatukan dengan jaringan ekonomi dunia yang berpusat di sekitar Selat Malaka,
dan sebagian di pantai Barat Sumatra seperti Barus. Komoditas yang menjadi barang
dagang pada saat itu berupa rempah-rempah seperti kayu manis, cengkih, dan pala.

4
Melalui Selat Malaka, Indonesia menjadi negara yang berperan penting dalam
perdagangan dunia pada saat itu dengan komoditas utama rempah-rempah yang
terdapat pada daerah seperti Sumatra dengan ladanya, wilayah Indonesia timur dengan
cengkeh dan Pala, dan Nusa Tenggara dengan jenis kayu-kayuannya.
Letak Indonesia sangat strategis dengan wilayah yang berada pada jalur perdagangan
Asia Timur-Asia Barat (Timur Tengah dan Semenanjung Arab) dengan Selat Malaka yang
menjadi pusat-pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya. Juga hasil sumber
daya alam yang berlimpah.

C. Pengaruh Jalur Perdagangan Terhadap Wilayah yang Dilewati Jalur Perdagangan


Berdasarkan sumber sejarah, pada zaman Mataram Kuno sudah ada pelabuhan-pelabuhan
penting di Nusantara, seperti Ujung Galuh yang terletak di Muara Sungai Brantas Jawa
Timur. Menurut Prasasti Kamalagan, Pelabuhan Ujung Galuh selalu ramai dikunjungi
perahu-perahu dari kerajaan-kerajaan lain di luar Nusantara. Perdagangan antarpulau dan
perdagangan internasional yang melalui Pelabuhan Ujung Galuh pada saat itu dilakukan
oleh para pedagang besar. Para pedagang besar tersebut menggunakan kapal layar
besar.
Pada masa kejayaan Sriwijaya pada abad ke-8 M dan ke-9 M, kontak hubungan
perdagangan antarpulau di wilayah Nusantara juga berkembang pesat. Jalur-jalur
perdagangan strategis, seperti Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Karimata dikuasainya.
Dengan armada laut yang kuat, Sriwijaya mampu mengamankan jalur perdagangan
antarpulau di wilayah Nusantara.
Jaringan perdagangan maritim yang menghubungkan emporium-emporium
Nusantara, merupakan jalur reguler pelaut Timur Tengah. Para pedagang dan mubalig
Islam telah singgah di Nusantara dan mendorong terjadinya islamisasi. Kehadiran awal
orang muslim di Nusantara diketahui dari berita I-Tsing ketika 671 M ia menumpang kapal
Arab dari Kanton dan berlabuh di Sriwijaya.
Al Ramhurmuzi mengisyaratkan adanya sejumlah muslin bumiputera dalam
segmen-segmen penduduk Sriwijaya. Hal ini didukung oleh Xhu Ju Kua yang menyatakan
sejumlah penduduk Sriwijaya memiliki nama awal “Pu”, yang diduga merupakan suatu
perubahan dari kata “Bu” atau “Abu” yang berarti bapak. Nama yang demikian begitu
banyak dijumpai pada nama-nama pribadi orang muslim. Pengaruh jalur perdagangan
terhadap wilayah yang dilewati jalur perdagangan di antaranya sebagai berikut.
1. Akulturasi budaya pada tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam dalam masyarakat di
berbagai wilayah
Adapun bentuk-bentuk akulturasi antara tradisi lokal dengan kebudayan Hindu,
Buddha, dan Islam terlihat pada kehidupan masyarakat adalah sebagai berikut.

5
a. Pertunjukan wayang
Pertunjukan wayang pada mulanya merupakan upacara pemujaan arwah
nenek moyang. Setelah pengaruh Hindu-Buddha masuk, pertunjukan wayang
mengalami perkembangan, pertunjukan wayang kemudian banyak diadaptasi
dari pengaruh Hindu-Buddha dengan mengambil cerita dari Mahabarata
dan Ramayana. Ketika pengaruh Islam masuk, pertunjukan wayang makin
berkembang dan bersumber pada ajaran agama Islam. Para wali sanga,
khususnya Sunan Kalijaga menggunakan pertunjukan wayang sebagai media
dakwah. Selain itu, bentuk wayang juga disesuaikan agar tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Bentuk wayang yang semula berwujud golek atau
menyerupai boneka yang tiga dimensi oleh para wali dibentuk menjadi pipih
dua dimensi yang terbuat dari kulit binatang.

b. Ziarah kubur
Tradisi ziarah kubur (pilpgrim) Islam bercampur dengan tradisi pemujaan
terhadap roh nenek moyang atau dewa-dewa Hindu-Buddha dan hasilnya
adalah sang penziarah bukannya mendoakan nenek moyang atau arwah
tokoh-tokoh penting dan keramat. Tidak jarang, makam para wali di Jawa
banyak dikunjungi oleh mereka yang meminta “petunjuk” kepada roh sang wali
yang sudah meninggal. Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah
meninggal itu tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk memberikan
bantuan kepada orang yang masih hidup, seperti orang yang menyebut
ziarah sebagai nadran atau nyadran atau nyekar. Tradisi nyekar ini merupakan
peninggalan praaksara yang paling kental dalam tradisi Islam saat ini.

c. Upacara sekaten dan garebeg


Upacara sekaten diciptakan oleh Sunan Bonang dalam rangka menyambut
Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada Rabiul Awal Tahun Hijriah. Jadi,
sekaten merupakan bagian dari acara gerebeg maulid. Sama halnya dengan
Sunan Kalijaga, Sunan Bonang menggunakan media pertunjukan wayang
sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan
ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadat yang kemudian
dikenal dengan istilah sekaten.

2. Akulturasi kepercayaan lokal, Hindu-Buddha, dan Islam dalam lembaga sosial


masyarakat di berbagai wilayah
Masyarakat Indonesia sudah mengenal sistem kepercayaan sejak zaman Megalitikum
berupa animisme, dinamisme, dan totemisme. Kedatangan pengaruh India melalui

6
Hindu-Buddha membuat sistem kepercayaan lokal tidak hilang sepenuhnya
melainkan terus berkembang. Kepercayaan lokal masyarakat Indonesia yang
berpadu dengan Hindu-Buddha melahirkan akulturasi berupa agama Hindu-Buddha
bercorak khas Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari seni bangunan terutama seni
bangunan candi yang sangat dipengaruhi oleh seni bangunan lokal berupa punden
berundak dari zaman Megalitikum. Arca-arca penjelmaan nenek moyang yang
terdapat di candi, perwujudannya dilukiskan sebagai dewa-dewa Hindu-Buddha.
Demikian juga dengan pertunjukan wayang yang awalnya merupakan upacara
pemujaan arwah telah bercampur dengan cerita Ramayana dan Mahabharata.
Ketika Islam mulai masuk dan berpengaruh ke Indonesia, Islam pun mengalami
akulturasi dengan kepercayaan asli dan dipengaruhi Hindu-Buddha yang telah
muncul sebelumnya. Dengan demikian, sampai dengan datangnya pengaruh
Islam dan kemudian muncul kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam terjadi proses
pencampuran antara kepercayaan lokal dengan agama Hindu-Buddha dan Islam.
Dalam perkembangannya, di wilayah kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam terdapat
masyarakat yang menganut agama Islam, Hindu-Buddha, dan kepercayaan lokal.
Juga terdapat, pencampuran antara Hindu-Buddha dengan kepercayaan lokal, Islam
dengan kepercayaan lokal, dan kepercayaan lokal dengan Hindu-Buddha dan Islam.

D. Peranan Sriwijaya dan Majapahit dalam Proses Integrasi Antarpulau pada Masa
Hindu-Buddha
Terdapat dua kerajaan utama di Nusantara yang memiliki peran besar terhadap aktivitas
perdagangan internasional pada abad ke-7 hingga ke-15 M, yaitu Kerajaan Sriwijaya di
Sumatra dan Kerajaan Majapahit di Jawa.
1. Peranan Sriwijaya dalam proses integrasi antarpulau pada masa Hindu-Buddha
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar di Indonesia yang berdiri sejak
abad ke-7 M. Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan yang terpusat pada bidang
kemaritiman. Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan pantai yang memiliki
kekuataan ekonomi yang bertumpu pada perdagangan internasional. Menurut W.
Wolters jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan
negeri-negeri di Asia Tenggara, India, dan Tiongkok sudah berlangsung sejak awal
Masehi.
Kerajaan Sriwijaya berhubungan dengan jalan raya perdagangan internasional
dari Tiongkok ke Eropa melalui Selat Malaka. Kerajaan Sriwijaya menerapkan
kebijakan politik kemaritiman dengan mewajibkan setiap kapal dagang yang
melalui Selat Malaka untuk singgah ke pelabuhan Sriwijaya. Dengan kebijakan
tersebut, Kerajaan Sriwijaya sering disinggahi oleh para pedagang Persia, Arab, India,

7
dan Tiongkok yang melakukan aktivitas dagang yang harus melewati daerah untuk
mendagangkan barang-barang dari negaranya atau negara-negara yang dilaluinya.
Komoditas barang dagang antara lain berupa kapur barus, tekstil, mutiara, kayu,
rempah-rempah, gading, kain katun, perak, emas, sutera, pecah belah, dan gula.

2. Peranan Majapahit dalam proses integrasi antarpulau pada masa Hindu-Buddha


Faktor penguasaan Kerajaan Majapahit atas jalur perdagangan internasional adalah
sebagai berikut.
a. Penguasaan atas Pelabuhan Hujung Galuh dan Tuban yang merupakan daerah
persinggahan pedagang dari berbagai negara.
b. Penggunaan mata uang untuk kepentingan perdagangan yang disebut dengan
uang gobog.
c. Penguasaan jalur perdagangan rempah-rempah Maluku yang didukung oleh
majunya lembah Sungai Berantas. Komoditasnya berupa padi dan palawija.

E. Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau


1. Jaringan Perdagangan Antarpulau Masa Islam
Menurut catatan yang ditulis oleh Cheng Ho disebutkan terdapat kerajaan yang
bercorak Islam atau kesultanan yang berkembang sejak abad ke-13 sampai abad ke-15
seperti Samudera Pasai dan Malaka. Keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan
pernah dideskripsikan dalam berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512 – 1515) yang
menerangkan jalur pelayaran jaringan perdagangan regional dan internasional. Dalam
catatan tersebut dikemukakan bahwa kedatangan para pedagang di Samudra Pasai
berasal dari daerah Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam.
Selain daerah tersebut disebutkan pula para pedagang di Malaka yang berasal dari Kairo,
Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat,
Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam,
Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus,
Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda,
Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano,
Pase, Pedir, dan Maladiva.
Agama Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara mengajarkan dan
mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama. Islam mengajarkan persamaan
tanpa mengenal kasta-kasta dalam kehidupan sosial di masyarakat. Konsep ajaran Islam
kemudian memunculkan perilaku ke arah persatuan dan persamaan derajat. Datangnya
pedagang-pedagang Islam di Nusantara mendorong berkembangnya tempat-tempat
perdagangan yang terbentuk di daerah pantai. Tempat-tempat perdagangan tersebut

8
kemudian menjadi pelabuhan dan kota-kota pantai yang berkembang menjadi pusat
perdagangan dan bandar. Tidak sedikit kota-kota pantai tersebut kemudian berkembang
menjadi kerajaan. Timbulnya kerajaan-kerajaan Islam merupakan awal proses terjadinya
integrasi meskipun setiap kerajaan memiliki cara dan faktor pendukung yang berbeda-
beda dalam proses integrasinya.
Proses integrasi juga terlihat melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan antarpulau.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terjadilah hubungan dagang antarpulau di
Kepulauan. Contohnya:
a. Para pedagang dari Jawa berdagang ke wilayah Palembang atau para pedagang dari
Sumatra berdagang ke Jepara. Hal tersebut menyebabkan terjadinya proses integrasi
antara Sumatra dan Jawa. Para pedagang Banjarmasin berdagang ke Makasar atau
sebaliknya. Hal tersebut menyebabkan terjadi proses integrasi antara masyarakat
Banjarmasin (Kalimantan) dengan masyarakat Makasar (Sulawesi).
b. Para pedagang Makasar dan Bugis memiliki peranan penting dalam proses integrasi.
Mereka berlayar hampir ke seluruh Kepulauan Indonesia bahkan ke luar Kepulauan
Indonesia.
Pulau-pulau penting di Indonesia umumnya memiliki pusat-pusat perdagangan.
Sebagai contoh, di Sumatra terdapat Aceh, Samudera Pasai, Barus, dan Palembang. Jawa
memiliki beberapa pusat perdagangan misalnya Banten, Sunda Kelapa, Jepara, Tuban,
Gresik, Surabaya, dan Blambangan. Kemudian, di dekat Sumatra terdapat Malaka. Malaka
berkembang menjadi pusat perdagangan terbesar di Asia Tenggara. Pada 1511 Malaka
jatuh ke tangan Portugis, yang mengakibatkan perdagangan Nusantara berpindah ke
Aceh. Aceh kemudian berkembang menjadi pusat dagang. Para pedagang dari pulau-
pulau lain di Indonesia datang dan berdagang di Aceh. Sementara itu, sejak awal ke XVI,
di Jawa berkembang Kerajaan Demak dan beberapa Bandar sebagai pusat perdagangan.
Di kepulauan Indonesia bagian tengah maupun timur, antardaerah dan antarpulau.
Kegiatan antarpulau mendorong terjadinya proses integrasi yang terhubung melalui para
pedagang. Proses integrasi juga terjadi dengan berkembangnya hubungan kebudayaan
yang diikuti dengan perkawinan.
SUPER "Solusi Quipper"
Untuk mengingat pusat-pusat perdagangan di Pulau Sumatra dan Jawa, ingatlah
SUPER berikut.
Di Sumatra, Ace SAPA BAPA
(Sumatra → Aceh, Samudra Pasai, Barus, Palembang)
Wa Bambang Asik sulap ban jadi Ba RA di Tuban
(Jawa → Blambang, Gresik, Sunda Kelapa, Banten, Surabaya, Jepara, Tuban)

9
2. Peran Bahasa dalam Integrasi Perdagangan Antarpulau
a. Penggunaan bahasa Melayu sejak zaman Sriwijaya (terdapat pada prasasti Kedukan
Bukit, Talangtuo, Kota Kapur, dan Karang Berahi).
b. Bahasa Melayu menjadi bahasa dagang antarpulau di Nusantara.
c. Masuknya agama Islam mendorong penggunaan bahasa Melayu dengan digunakan
dalam menulis tafsir Alquran.

10

Anda mungkin juga menyukai