Setiap organisasi menjalankan dan mengarahkan kerja-kerjanya pada sebuah tujuan yang
merupakan situasi ideal yang ingin dicapai, yang kemudian diejanwantahkan melalui berbagai
strategi kerja untuk mencapai tujuan tersebut. Solidaritas Perempuan sebagai sebuah
organisasi/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tentu juga memiliki visi sebagai dasar berpijak
bagi kerja-kerja yang dilakukan. Visi Solidaritas Perempuan sebagaimana tertuang dalam
Anggaran Dasarnya adalah “Terwujudnya tatanan sosial yang demokratis, dengan prinsip
keadilan, keutuhan ekologis, menghargai keberagaman, menolak diskriminasi, dan kekerasan,
dengan berdasarkan pada sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang setara, di mana
keduanya dapat berbagi akses dan kontrol atas sumber daya alam, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik secara adil.”
3. Misi
Misi merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk mencapai visi. Sebagai Sebuah
organisasi yang memiliki visi, Solidaritas Perempuan melakukan pengejawantahan terhadap visi
tersebut melalui berbagai ikhtiar, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Turut membangun kekuatan gerakan perempuan seluruh Indonesia
2) Menjalin kerja sama dengan gerakan perempuan seluruh dunia
3) Memperjuangkan dan melakukan pembelaan terhadap kaum perempuan, terutama kelas
bawah dan marjinal yang tertindas
4) Memajukan, membela, dan meningkatkan kesadaran HAM dengan berfokus pada hak
perempuan
5) Memperjuangkan terjadinya perubahan nilai, sikap, dan perilaku yang menjadi manifestasi
dari ideologi patriarki
6) Memperjuangkan nilai-nilai feminis ke dalam berbagai sistem hukum, sistem pengambilan
keputusan, dan sistem pengelolaan kekayaan alam
7) Melakukan ikhtiar lain yang sah dan tidak bertentangan dengan asas dan tujuan perserikatan
b. Kongres Luar Biasa. Kongres luar biasa memiliki fungsi dan wewenang yang sama.
Hanya saja dilaksanakan berdasarkan situasi khusus seperti terjadi pengunduran diri
Badan Eksekutif Nasional secara kolektif, ada permintaan dari dua per tiga anggota, dan
jika ada permintaan pembubaran organisasi.
d. Rapat Koordinasi Dewan Pengawas Nasional dan Badan Eksekutif Nasional, merupakan
rapat yang mengkoordinasikan fungsi pengawasan dan fungsi eksekutif dalam organisasi
yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Rapat ini memiliki wewenang mengesahkan
rencana kerja enam bulanan dan rutin mengevaluasi kerja selama enam bulan ke
belakang.
e. Rapat Pleno Dewan Pengawas Nasional,, merupakan rapat rutin yang diadakan minimal
tiga bulan sekali di mana salah satu wewenangnya adalah membahas hasil pengawasan
baik di tingkat Badan Eksekutif Nasional maupun komunitas.
f. Rapat Kerja Badan Eksekutif Nasional, merupakan rapat internal eksekutif yang memiliki
wewenang, salah satunya, membahas strategi kerja dan pengelolaan anggaran.
Pada 27 Maret 2013, KMMAJ melakukan dialog dengan Joko Widodo yang saat itu
menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, Gubernur memberikan dukungan kepada LSM
atas Gugatan CLS yang dilayangkan. Saat itu Gubernur DKI Jakarta mengakui bahwa negara
mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan pihak swasta
dalam pengelolaan air di Jakarta. Namun, pada November 2013, Gubernur menarik dukungannya
dan mengajukan tawaran perdamaian serta berjanji akan mengambil alih pengelolaan air di
Jakarta dengan mengakuisisi seluruh saham Palyja dan Aertra. Pada tanggal 10 April 2014,
KMMSAJ menjawab tawaran tersebut dengan mengeluarkan kertas posisi yang disampaikan
kepada Gubernur DKI Jakarta sebagai syarat dari tawaran perdamaian tersebut. Tuntutan yang
dilakukan di antaranya: 1) Pemerintah mengakui telah melakukan perbuatan melawan hukum
kerena menyerahkan pengelolaan air kepada swasta; 2) Pemerintah dituntut untuk
mengumumkan kepada publik tentang kerugian materi dan imateri yang dialami Negara dan
warga Negara; 3) Pemerintah harus mengambil langkah taktis dan strategis dalam rangka
pembatalan kontrak kerja sama antara PT. PAM Jaya dengan dua konsorsium perusahaan
penyedia layananan air, Palyja dan Aertra; 4) Negara harus melakukan evaluasi yang
komperhensif. Selain itu, Solidaritas Perempuan juga menuntut untuk
1) Memastikan konsultasi publik yang sejati dengan membuka rencana pengelolaan air Jakarta
dari, oleh dan untuk publik, dengan
memastikan keterlibatan penuh (meaningful participation) perempuan;
2) Memastikan akses air bagi masyarakat miskin kota, khususnya perempuan dan masyarakat
pesisir, di mana perempuan karena peran gendernya terkena dampak yang berlapis dan yang
menjadi kelompok rentan di mana 1/3 masyarakat miskin Indonesia berada di pesisir;
3) Pembentukan kelembagaan dan mekanisme pengawasan pengelolaan air oleh publik.
Pembentukan kelembagaan dan mekanisme pengawasan pengelolaan air oleh publik, dengan
menerapkan prinsip inklusif, sensitif dan responsif gender.
Pada 24 Maret 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan memenangkan
penggugat dan menyatakan bahwa: 1) tergugat telah lalai memenuhi dan melindungi hak atas air
warga Jakarta; 2) Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan
swastanisasi air di Jakarta; 3) tergugat merugikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan
Masyarakat; 4) perjanjian kerjasama dengan Palyja dan Aertra dinyatakan batal demi hukum dan
tidak berlaku; 5) menghentikan swastanisasi air di Jakarta dan mengembalikan pengelolaan air
minum sesuai prinsip hak atas air.
Pada 8 April 2015, tergugat dari pemerintah pusat mengajukan banding sementara
pemerintah provinsi DKI Jakarta dan PAM Jaya menerima gugatan tersebut. Pada 12 Januari
2016, Pengadilan Tinggi Jakarta memutuskan melalui putusan Nomor 588/PDT/2015/PT DKI
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tidak hanya sampai di situ, para
penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan memenangkan perkara pada 11 Oktober
2017 melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 31 K/Pdt/2017 yang menyatakan tergugat lalai
dalam memenuhi hak atas air warga Jakarta. Putusan MA tersebut sekaligus membatalkan
putusan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi Jakarta. Sepanjang proses tersebut, LSM-LSM
dalam KMMSAJ juga melakukan kajian dan dialog dengan berbagai pemangku kepentingan.
B. Landasan Solidaritas Perempuan Terlibat dalam Advokasi Kebijakan Pengelolaan Air di
Jakarta
Setiap organisasi tidak dapat dilepaskan dari nilai dan karakteristik yang terbentuk
menjadi budaya organisasi. Sistem nilai ini kemudian yang menjadi etika dan landasan bertindak.
Solidaritas Perempuan, sejak awal berdirinya, telah mendeklarasikan diri sebagai organisasi yang
membela kepentingan perempuan dalam kerangka berfikir feminisme yang didefinisikan
sebagai“Paham atau ideologi yang meyakini bahwa perempuan mengalami penindasan
sehingga perempuan harus sadar dan bergerak melawan penindasan dan ketidakadilan yang
dialami” Feminisme sebagai ideologi organisasi kemudian dirumuskan dalam nilai-nilai yang
terejawantahkan dalam cara pandang, pengelolaan dan pengaturan terhadap organisasi dan
individu-individu yang terlibat di dalamnya, baik anggota maupun non anggota (staf yang
bekerja). Nilai-nilai tersebut, yakni: Demokrasi, adil, lestari, non partisan, non sektarian, anti
diskriminasi, anti kekerasan, setara, dan menghargai keberagaman.
Fakta yang diyakini bahwa perempuan mengalami penindasan membuat fokus kerja
Solidaritas Perempuan tertuju pada perempuan, meski tidak juga menafikan fakta bahwa laki-laki
juga dapat menjadi korban dari ketidakadilan berbasis gender namun di sisi lain juga dapat
menjadi bagian dari support system bagi gerakan perempuan. Itulah mengapa laki-laki bisa
menjadi anggota Solidaritas Perempuan dengan kuota tidak lebih dari 10 persen, sebagaimana
termaktub di dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Seperti halnya dalam persoalan air, buruknya pengelolaan air di Jakarta bukan saja
menjadi persoalan perempuan, tetapi juga persoalan laki-laki. Namun, perempuan menghadapi
situasi yang lebih khusus. Kehidupan perempuan yang lekat dengan air tidak dipandang hanya
karena perempuan adalah manusia yang tidak bisa hidup tanpa air, lebih dari itu, karena cara
pandang masyarakat yang meletakan peran perempuan dalam ranah domestik sehingga
kebutuhan keluarga akan air menjadi beban dan tanggung jawab perempuan.
Dalam masyarakat, perempuan diberi tanggung jawab untuk pasokan air dan sanitasi
serta memelihara lingkungan rumah agar senantiasa bersih dan higienis. Tanggung jawab
tersebut kemudian menjadi beban yang berlebih ketika pengelolaan air yang menjadi tanggung
jawab negara tidak dilaksanakan dengan baik.75 Di sisi lain, kebutuhan perempuan akan air juga
lebih spesifik, yakni untuk kebutuhan reproduksinya. Kualitas dan kuantitas air yang buruk akan
berdampak pada kerentanan infeksi pada organ reproduksi perempuan.
Oleh karenanya, Solidaritas Perempuan memutuskan untuk melakukan advokasi
kebijakan pengelolaan air. Advokasi ini tidak hanya dilakukan di Jakarta tetapi juga diberbagai
daerah, seperti Makassar dan Aceh. Tidak hanya itu, Solidaritas Perempuan juga melakukan
advokasi kasus dan pendampingan masyarakat, khususnya perempuan, yang mengalami konflik
air akibat monopoli yang dilakukan perusahaan sawit dan perusahaan semen.
c. Kampanye, merupakan upaya dari Solidaritas Perempuan untuk menyuarakan masalah yang
dihadapi perempuan rumput yang biasanya sulit mengakses media komunikasi. Hal tersebut
dilakukan untuk menggugah kesadaran publik dan menggalang dukungannya untuk kepentingan
perubahan kebijakan.
“ketiga strategi itu gak bisa dipisahkan. gak bisa kita melakukan advokasi tanpa melakukan
pengorganisasian. Nanti advokasinya dianggap mengawang-ngawang. Kita bisa melakukan
advokasi tanpa pengorganisasian kalau ada respon aktual aja tetapi effort dan energi yang
dikeluarkan juga gak banyak dan harus tetap berlandaskan prinsip organisasi atau memang ada
permintaan secara langsung dari masyarakat yang wilayahnya tidak menjadi basis
pengorganisasian SP selanjutnya, SP hanya memfasilitasi perempuan saja, yang bergerak harus
tetap mereka, yang bicara harus tetap mereka. SP hanya berbicara berdasarkan hasil data yang
telah dihimpun dan dianalisis, secara fakta di lapangan kan perempuan-perempuan itu yang lebih
tau karena mengalami dan menghadapi langsung.” Dari penyataan di atas, sebagai LSM,
Solidaritas Perempuan dapat disimpulkan telah mengambil peran sebagai fasilitator,
Komunikator, dan juga dinamisator di masyarakat. Sebagaimana peran-peran tersebut
merupakan peran-peran LSM yang telah dirumuskan oleh berbagai sarjana sosial. Begitu pula
pada advokasi kebijakan pengelolaan air di Jakarta di mana peran Solidaritas Perempuan dapat
dianalisis dalam setiap tahap advokasi.
Peran tersebut dibagi berdasarkan fokus kerja dan kapasitas setiap LSM. Seperti, LSM
yang fokus kerjanya melakukan pendampingan hukum seperti IHCS dan LBH Jakarta
diposisikan menjadi tim kerja garis depan. Sementara KIARA menjadi tim garis depan karena
dalam LSMnya memiliki sumber daya pengacara. Sementara ICW, KRUHA, dan KAU memiliki
fokus dan kapasitas dalam melakukan penelitian-penelitian kebijakan. Sementara, LSM yang
memiliki basis masa dan bekerja pada tataran masyarakat seperti Solidaritas Perempuan, UPC,
Walhi Jakarta dan JRMK diperankan untuk menjadi tim kerja basis yang bergerak pada tataran
masyarakat untuk melakukan penguatan dan memobilisasi masa untuk menjadi kelompok
penekan. Namun, panjangnya masa advokasi yang dilakukan (2011 sampai sekarang) membuat
dinamika dalam koalisi juga terus bergerak dan cukup mengganggu proses advokasi. Pada tim
basis, praktis hanya tinggal Solidaritas Perempuan yang bertahan. JRMK, UPC, dan Walhi
Jakarta memutuskan untuk tidak terlibat dalam koalisi di tengah-tengah perjalanan advokasi.
Sehingga Solidaritas Perempuan menjadi satu-satunya organisasi di dalam koalisi yang
diharapkan menjalankan peran penguatan dan mobilisasi masa saat diperlukan tekanan dalam
proses advokasi.
Sebagai tim basis, Solidaritas Perempuan melalui Komunitasnya di Jabotabek melakukan
penguatan kesadaran dan pemahaman di tiga wilayah, yakni Cilincing, Rawa Badak, dan Duri
Kepa. Penguatan kesadaran dan pemahaman tersebut dilakukan dengan metode diskusi kampung
di mana perempuan berkumpul untuk membicarakan berbagai masalah air yang dihadapi oleh
perempuan sehari-hari. Dari diskusi tersebut ditemukan fakta bahwa air yang didistribusikan oleh
Palyja dan Aertra tidak dapat memenuhi standar kualitas dan kuantitas yang memadai. Air hanya
mengalir pada pukul 19.00 sampai 20.00 WIB bahkan pada dini hari dengan debit yang kecil.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk membayar tagihan bulanan juga menjadi masalah
tersendiri. Dalam satu bulan, setiap rumah tangga harus membayar tagihan air ke perusahaan
lebih dari Rp. 100.000 dengan kualitas dan kuantitas yang tidak memenuhi standar. Untuk
menutupi kebutuhan air, masyarakat memutuskan untuk membeli air keliling dengan biaya Rp.
15.000 per jeriken sebanyak dua jeriken per hari. Untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga,
setiap Kepala Keluarga (KK) harus menyisihkan 30 persen pendapatannya.
Solidaritas Perempuan Jabotabek juga melakukan pemantauan hak atas air yang
dilakukan di lima wilayah di Jakarta, yakni; Kecamatan Kebon Jeruk; Kecamatan Koja;
Kecamatan Tebet; Kecamatan Cilincing; dan Kecamatan Penjaringan. Pemantauan air tersebut
dilakukan selama lima bulan sejak September 2015 hingga Februari 2016. Dalam pemantauan
tersebut, terlibat di dalamnya 1.158 perempuan dan 10 laki-laki. Pemantauan tersebut bertujuan
untuk assessment fakta di lapangan mengenai persoalan air yang kemudian digunakan sebagai
materi advokasi dan kampanye.82 sebelumnya, perempuan di wilayah kerja Solidaritas
Perempuan telah menerapkan sistem kalender air dan mencatat setiap kali air mengalami
masalah seperti debit yang kurang, kualitas yang buruk, dsb. Data tersebut kemudian juga
dipakai sebagai materi advokasi dan kampanye.
Dari fakta dan penguatan yang dilakukan, Solidaritas Perempuan mengajukan dua orang
yang bersedia menjadi saksi di pengadilan, yakni Halimah, ibu rumah tangga dari bilangan Rawa
Badak, Jakarta Utara dan Habibah, seorang nelayan dari wilayah Marunda Kepu.
b. Memilih Isu Strategis
Pemilihan isu strategis dilakukan melalui berbagai kajian dan diskusi serta dengan
memperhatikan aspek kebutuhan dan hak masyarakat. Kerugian negara dan tidak terpenuhinya
hak masyarakat Jakarta atas air bersih yang memenuhi standar kelayakan juga dilakukan dengan
berbagai kajian dan penghimpunan data dari berbagai sumber.
Dari kajian-kajian tersebut kemudian dirangkum dan dijadikan basis argumentasi dari
tuntutan besar yang ditujukan kepada para pengambil kebijakan, yakni agar negara mengambil
alih pengelolaan air di Jakarta dan harus melakukan pengelolaan dengan mengacu pada
kewajiban negara dalam memenuhi hak masyarakat atas air. Solidaritas Perempuan dalam hal ini
berperan melakukan assessment dan mengkaji dampak yang terjadi kepada perempuan akibat
dari kebijakan pengelolaan air Jakarta yang diselenggarakan dengan kerja sama pemerintah dan
swasta. Namun, karena gugatan bersifat umum dan Solidaritas Perempuan tidak terlibat dalam
proses advokasi di lembaga peradilan, maka substansi yang dibawa Solidaritas Perempuan tidak
masuk ke dalam memori putusan. Substansi berupa informasi dan fakta yang dihimpun
Solidaritas Perempuan banyak digunakan dalam proses advokasi non litigasi (proses melalui
lembaga non peradilan) dan kampanye yang akan penulis paparkan kemudian.
c. Merancang Sasaran dan Strategi
Perubahan kebijakan pengelolaan air di Jakarta sebagai tujuan advokasinya,
menggunakan tiga strategi yang dirancang dengan menggunakan beberapa pendekatan, yakni
menggunakan proses legislasi dan yurisdiksi untuk mendorong perubahan isi hukum,
menggunakan proses politik dan birokrasi untuk mendorong perubahan tata laksana hukum, serta
menggunakan proses sosialisasi dan mobilisasi untuk mendorong perubahan budaya hukum.
1) Proses Legislasi dan Yurisdiksi
LSM yang terlibat dalam advokasi kebijakan pengelolaan air di Jakarta menganggap
Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, PAM Jaya, serta dua
perusahaan konsorsium Palyja dan Aertra bertentangan dengan berbagai peraturan hukum baik
pada tingkat nasional maupun daerah. Sehingga perlu menggunakan lembaga peradilan
(litigasi/yurisprudensi) untuk mendorong perubahan kebijakan. Citizen Lawsuit (Gugatan Warga
Negara) dipilih karena gugatan ditujukan pada penyelenggara negara yang berkewajiban
memenuhi hak atas air dan dimungkinkan setiap individu untuk melayangkan gugatan meski
bukan menjadi bagian dari masyarakat terdampak. Penentuan sasaran gugatan juga dilakukan
dengan melakukan kajian kronologis ditandatanganinya perjanjian kerja sama antara PAM Jaya
dengan Palyja dan Aertra. Hal tersebut dilakukan untuk menentukan kepada pihak mana gugatan
dilayangkan.
2) Proses Politik dan Birokrasi
Proses politik dan birokrasi juga menjadi satu bagian dari strategi yang dipilih di luar
jalur peradilan resmi, yang dikenal sebagai proses non litigasi. LSM yang tergabung dalam
KMMSAJ juga merancang strategi untuk melakukan pendekatan ke berbagai lembaga negara
yang relevan dengan advokasi kebijakan pengelolaan air di Jakarta, seperti Pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta, PAM Jaya, dll. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan pandangan dan
mempengaruhi lembaga tersebut, tetapi juga untuk mendapatkan pandangan baru yang berguna
bagi proses advokasi. Seperti proses dialog dengan Gubernur DKI Jakarta, yang saat itu masih
dijabat oleh Joko Widodo, yang dilakukan pada 10 April 2014. Dalam dialog tersebut,
Solidaritas Perempuan menyampaikan beberapa fakta yang dihadapi perempuan yang merupakan
hasil assessment yang dilakukan sebelumnya. Proses ini melahirkan kesepakatan bahwa
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mengakuisisi saham Palyja dan Aertra melalui jalur
hukum atau proses b-to-b (bussiness to bussines). Dalam pertemuan ini juga, Pemerintah
Provinsi menginisiasi pengelolaan air dilakukan oleh PT. Jakarta Propertindo yang merupakan
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta, 87 namun usulan tersebut ditolak oleh
Solidaritas Perempuan dan anggota koalisi lainya karena dilakukan tanpa melakukan pemutusan
kontrak dengan Palyja dan Aertra di mana kontrak tersebut baru akan berakhir pada 2022.