Anda di halaman 1dari 18

A.

Sejarah Lahirnya Solidaritas Perempuan


Solidaritas Perempuan merupakan Organisasi/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang saat ini beranggota 781 orang, perempuan dan laki-laki, di seluruh Indonesia yang secara
resmi berdiri sejak 10 Desember 1990 di Jakarta. Digagas oleh tujuh orang aktivis perempuan,
diantaranya: Ati Nurbaiti, Darmiyanti Muchtar, Gracia Tjita Andang Sedjati, Nursyahbani
Kantjasungkana, Tati Krinawaty, Veronika Indriani, dan Wardah Hafidz.
Sebelum menjadi organisasi bernama Solidaritas Perempuan, sekelompok aktivis yang
kemudian bergabung telah sejak awal memfokuskan kerjanya pada wilayah-wilayah konflik, di
mana terjadi penggusuran dan konflik lahan antara masyarakat dan pemerintah, melihat bahwa
perempuan memiliki persoalan dan situasi yang berbeda dibandingkan dengan entitas masyarakat
lainnya. Di satu sisi, perempuan harus melaksanakan peran gendernya, seperti mengurus
keluarga, dsb, sementara di sisi lain juga harus menghadapi tekanan akibat konflik. Akhirnya,
pada tahun 1989, sekelompok aktivis tersebut membetuk kelompok kerja dengan sturuktur
organisasi sederhana bernama Kelompok Kerja Solidaritas Perempuan .
Dengan semangat voluntarisme, kelompok kerja tersebut menjalankan berbagai aktivitas
seperti pengumpulan data dan fakta lapangan, pendampingan masyarakat sampai menggaungkan
aksi protes secara terbuka dengan tujuan utama melakukan penguatan masyarakat untuk
memperoleh kembali tanah-tanah yang telah digarap.
Sadar bahwa kerja-kerja organisasi hanya bersifat kasuistik yang berpotensi tidak
memiliki keberlanjutan, maka dibentuklah Solidaritas Perempuan dalam bentuk yayasan. Bentuk
yayasan dipilih sebagai strategi bertahan karena pemerintahan Soeharto hanya berkenan
memberikan pengakuan terhadap organisasi yang berbentuk yayasan dan untuk menghindari
represi pemerintah pada saat itu.
Di awal berdirinya Yayasan Solidaritas Perempuan bertujuan untuk mengembangkan
kelembagaan yayasan dengan cita-cita mencapai masyarakat yang demokratis dan egaliter.
Seiring berjalannya waktu, bentuk Yayasan tidak lagi dianggap cukup untuk memperluas ruang
gerak organisasi dalam memperjuangkan demokrasi. Sehingga bentuk organisasi diubah dari
yayasan menjadi perserikatan dengan keanggotan individu pada tahun 1992. Perubahan struktur
pun menjadi implikasi dari perubahan bentuk organisasi. Pada kongresnya yang pertama di tahun
1995, Solidaritas Perempuan yang awalnya dipimpin oleh direktur kemudian diubah menjadi
dipimpin dengan pola kepemimpinan kolektif. Hingga saat ini, Solidaritas Perempuan dipimpin
oleh Badan Eksekutif yang terdiri dari ketua, bendahara, dan koordinator program yang dipilih
melalui kongres.
Pada awal tahun 2000, Solidaritas Perempuan mulai membangun perluasan kerja ke
berbagai daerah melalui pembentukan komunitas-komunitas untuk melakukan penguatan
terhadap perempuan dan mengadvokasi berbagai kebijakan di tingkat daerah. Saat ini, Solidaritas
Perempuan telah bekerja di beberapa wilayah seperti Aceh, Lampung, Palembang, Jabotabek,
Yogyakarta, Mataram, Sumbawa, Makassar, Kendari, Poso, Palu dan hendak melalukan
perluasan wilayah ke Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
B. Landasasan ,Visi, dan Misi Organisasi
1. Landasan
Sejak awal berdirinya, Solidaritas Perempuan telah meneguhkan landasan organisasinya,
yakni menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan yang utuh dan
universal.64 Landasan ini yang kemudian menjadi dasar bagi perumusan visi dan misi
organisasi.
2. Visi

Setiap organisasi menjalankan dan mengarahkan kerja-kerjanya pada sebuah tujuan yang
merupakan situasi ideal yang ingin dicapai, yang kemudian diejanwantahkan melalui berbagai
strategi kerja untuk mencapai tujuan tersebut. Solidaritas Perempuan sebagai sebuah
organisasi/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tentu juga memiliki visi sebagai dasar berpijak
bagi kerja-kerja yang dilakukan. Visi Solidaritas Perempuan sebagaimana tertuang dalam
Anggaran Dasarnya adalah “Terwujudnya tatanan sosial yang demokratis, dengan prinsip
keadilan, keutuhan ekologis, menghargai keberagaman, menolak diskriminasi, dan kekerasan,
dengan berdasarkan pada sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang setara, di mana
keduanya dapat berbagi akses dan kontrol atas sumber daya alam, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik secara adil.”
3. Misi
Misi merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk mencapai visi. Sebagai Sebuah
organisasi yang memiliki visi, Solidaritas Perempuan melakukan pengejawantahan terhadap visi
tersebut melalui berbagai ikhtiar, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Turut membangun kekuatan gerakan perempuan seluruh Indonesia
2) Menjalin kerja sama dengan gerakan perempuan seluruh dunia
3) Memperjuangkan dan melakukan pembelaan terhadap kaum perempuan, terutama kelas
bawah dan marjinal yang tertindas
4) Memajukan, membela, dan meningkatkan kesadaran HAM dengan berfokus pada hak
perempuan
5) Memperjuangkan terjadinya perubahan nilai, sikap, dan perilaku yang menjadi manifestasi
dari ideologi patriarki
6) Memperjuangkan nilai-nilai feminis ke dalam berbagai sistem hukum, sistem pengambilan
keputusan, dan sistem pengelolaan kekayaan alam
7) Melakukan ikhtiar lain yang sah dan tidak bertentangan dengan asas dan tujuan perserikatan

C. Entitas Organisasi dan Struktur Pengambilan Keputusan


1. Entitas Organisasi
Dalam organisasi yang berbentuk perserikatan, ada beberapa entitas yang diakui di dalam
organisasi, yakni anggota, yang merupakan entitas yang paling tinggi dan pengurus yang terdiri
dari Badan Eksekutif dan Dewan Pengawas baik di nasional maupun komunitas. Sementara, Staf
yang bekerja diangkat oleh Badan Eksekutif sebagai bagian dari perangkat kerja yang
mendukung kerja-kerja pencapaian mandat organisasi. Staf dapat berasal dari entitas anggota
maupun non anggota.
2. Struktur Pengambilan Keputusan
Sebagai organisasi berbasis keanggotaan individu, Solidaritas Perempuan secara rutin
menjalankan agenda-agenda yang menjadi bagian dari sistem pengambilan keputusan di mana
seluruh entitas dalam organisasi, termasuk anggotanya, dapat merumuskan berbagai strategi,
kebijakan, maupun tindakan yang akan dilakukan dengan memperhatikan aspek internal
organisasi dan perkembangan situasi eksternal, seperti konstelasi dan trend politik yang
berkembang dari tingkat daerah, nasional, hingga internasional. Adapun struktur pengambilan
keputusan Solidaritas Perempuan di tingkat nasional adalah sebagai berikut:
a. Kongres, merupakan pengambilan keputusan tertinggi dalam organisasi Solidaritas
Perempuan di mana seluruh anggota berkumpul dan merumuskan mandat organisasi yang
dilaksanakan setiap empat tahun sekali. Kongres tersebut, memiliki kewenangan untuk
menetapkan mandat organisasi dalam satu periode yang akan datang yang disesuaikan
dengan analisa organisasi terhadap perkembangan situasi, baik di internal maupaun
eksternal organisasi, mengevaluasi pelaksanaan program dan kebijakan selama satu
periode ke depan, serta memilih dan menetapkan Badan Eksekutif Nasional dan Dewan
Pengawas Nasional.

b. Kongres Luar Biasa. Kongres luar biasa memiliki fungsi dan wewenang yang sama.
Hanya saja dilaksanakan berdasarkan situasi khusus seperti terjadi pengunduran diri
Badan Eksekutif Nasional secara kolektif, ada permintaan dari dua per tiga anggota, dan
jika ada permintaan pembubaran organisasi.

c. Rapat Nasional Dewan Komunitas (RNDK), merupakan forum konsultasi dan


pengambilan keputusan tertinggi setelah kongres. Dihadiri oleh Dewan Komunitas yang
merupakan gabungan dari seluruh Badan Eksekutif di Komunitas, yang memiliki
wewenang untuk melakukan evaluasi kerja selama satu tahun dan penyusunan strategi
kerja satu tahun yang akan datang.

d. Rapat Koordinasi Dewan Pengawas Nasional dan Badan Eksekutif Nasional, merupakan
rapat yang mengkoordinasikan fungsi pengawasan dan fungsi eksekutif dalam organisasi
yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Rapat ini memiliki wewenang mengesahkan
rencana kerja enam bulanan dan rutin mengevaluasi kerja selama enam bulan ke
belakang.

e. Rapat Pleno Dewan Pengawas Nasional,, merupakan rapat rutin yang diadakan minimal
tiga bulan sekali di mana salah satu wewenangnya adalah membahas hasil pengawasan
baik di tingkat Badan Eksekutif Nasional maupun komunitas.

f. Rapat Kerja Badan Eksekutif Nasional, merupakan rapat internal eksekutif yang memiliki
wewenang, salah satunya, membahas strategi kerja dan pengelolaan anggaran.

Sementara pada tingkat komunitas, struktur pengambilan keputusan mengikuti logika


struktur pengambilan keputusan pada tingkat nasional, yang membedakan hanya ruang lingkup
pengaturannya, yakni pada tingkat komunitas. Adapun yang masuk dalam struktur pengambilan
keputusan di komunitas adalah: 1) Musyawarah Komunitas; 2) Musyawarah Komunitas Luar
Biasa; 3) Rapat Konsultasi Anggota; 4) Rapat Koordinasi Dewan Pengawas Komunitas dan
Badan Eksekutif Komunitas; 5) Rapat Pleno Dewan Pengawas Komunitas; dan 6) Rapat Kerja
Badan Eksekutif Komunitas.

D. Program Kerja dan Struktur Organisasi Solidaritas Perempuan


1. Program Kerja
Dari landasan serta visi dan misi organisasi yang dibangun, Solidaritas Perempuan
kemudian menerjemahkannya menjadi beberapa program kerja yang terbagi ke dalam beberapa
divisi. Divisi-divisi tersebut merupakan pengejawantahan dari mandat yang dibangun saat
kongres. Jadi, sangat tergantung pada kebutuhan dan analisis yang berkembang dan
penerjemahannya melalui pokok-pokok kebijakan organisasi.
Di tingkat nasional, seluruh pokok-pokok kebijakan organisasi yang menjadi dasar
lahirnya divisi kerja harus diadopsi secara utuh karena berkaitan dengan jangkauan kerja
organisasi yang menyeluruh. Sementara pada tingkat komunitas, pokok-pokok kebijakan
diturunkan berdasarkan kebutuhan dan situasi yang relevan dengan konteks daerah masing-
masing.
Saat ini, Solidaritas Perempuan memiliki, setidaknya, lima program kerja atau divisi,
yakni:
1) Divisi Penguatan Organisasi;

2) Divisi Kedaulatan Perempuan atas Seksualitas;

3) Divisi Kedaulatan Perempuan atas Tanah;

4) Divisi Kedaulatan Perempuan Melawan Perdagangan Bebas dan Investasi;

5) Divisi Perlindungan Perempuan dan Kaluarganya


Kelima divisi tersebut bekerja secara integral karena Solidaritas Perempuan menganggap
bahwa isu yang dikerjakan pada setiap divisi sangat berkaitan satu sama lain.
2. Struktur Organisasi Solidaritas Perempuan
Struktur organisasi dalam Solidaritas Perempuan pada prinsipnya tidak bernilai hirarkis,
melainkan hanya untuk menunjukan fungsi dan tanggung jawab serta relasi antar masing-masing
entitas. Penulis menelaah dan membagi struktur Solidaritas Perempuan ke dalam dua struktur
berdasarkan perbedaan cara pembentukannya, yakni struktur pengurus dan struktur kerja.
a. Struktur Pengurus
Struktur pengurus merupakan entitas organisasi yang bertanggungjawab langsung kepada
anggota. Dipilih melalui rapat pengambilan keputusan tertinggi, baik di Nasional (Kongres)
maupun Musyawarah Komunitas (Muskom). Struktur Pengurus terdiri dari Badan Eksekutif
Nasional (BEN) dan Dewan Pengawas Nasional (DPN) yang dipilih melalui kongres serta Badan
Eksekutif Komunitas (BEK) dan Dewan Pengawas Komunitas (DPK) yang dipilih melalui
Muskom. Semua entitas dipilih dalam periode kerja empat tahunan. Penulis memvisualkan
struktur pengurus sebagai berikut:
b. Struktur Kerja
Struktur kerja dalam Solidaritas Perempuan dibentuk oleh Badan eksekutif. BEN/BEK
diberikan hak melalui AD/ART untuk melakukan pengangkatan dan membentuk tim kerja yang
membantunya dalam upaya pencapaian mandat. Berikut adalah struktur kerja Solidaritas
Perempuan di Sekretariat Nasional. Sementara struktur kerja di Komunitas Solidaritas
Perempuan pada prinsipnya sama, hanya saja disesuaikan dengan pogram kerja yang diambil
berdasarkan konteks masing-masing daerah.

Gambar III.3. Struktur Kerja Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan


E. Solidaritas Perempuan Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat
Solidaritas Perempuan lahir karena kritik para pendirinya terhadap sistem otoritarian
Orde Baru yang banyak melahirkan berbagai ketidakadilan yang dialami, khususnya terhadap
perempuan. Meski mendeklarasikan diri sebagai organisasi perserikatan, namun Solidaritas
Perempuan dapat dikategorikan sebagai LSM. Terbukti dari karakteristiknya yang independen
dan tidak berorientasi pada kekuasaan ataupun profit serta bekerja secara sukarela dengan
didasarkan pada satu tujuan yang telah dirumuskan bersama dan memiliki mekanisme
kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang jelas namun tidak bersifat birokratis.
Namun salah satu karakteristik Solidaritas Perempuan sedikit berbeda dengan apa yang
dinyatakan oleh Abidin dan Rukmini, bahwa LSM bekerja untuk melayani masyarakat umum,
bukan anggota maupun aktivisnya.68 Solidaritas Perempuan, pada prinsipnya, bekerja untuk
perempuan marjinal yang tidak memiliki akses dan kontrol terhadap pendidikan, pelayanan
publik, hukum, sumber daya ekonomi, dsb. Dari 781 anggota Solidaritas Perempuan,
mayoritasnya merupakan bagian dari perempuan yang dimaksudkan menjadi sasaran dari kerja-
kerja Solidaritas Perempuan. Meski tetap terdapat perbedaan antara perempuan yang menjadi
anggota dengan yang bukan anggota. “Secara umum, sasaran dari kerja-kerja SP (Solidaritas
Perempuan) adalah perempuan akar rumput karena mereka yang termarjinalkan dan tidak
memiliki akses dan kontrol ke banyak hal. Anggota kami juga gak banyak dari kalangan
terpelajar atau aktivis. Lebih banyak adalah perempuan yang memang pernah dikuatkan oleh
SP, tetapi dengan menjadi anggota memang mereka punya hak dan kewajiban yang diatur
dalam AD/ART . Walaupun sama-sama jadi sasaran tapi dalam hal yang berbeda”.

A. Advokasi Kebijakan Pengelolaan Air di Jakarta


Pada tahun 2012, beberapa LSM yang terdiri dari Solidaritas Perempuan, Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KRuHA), Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (KIARA), Urban Poor Consortium (UPC), Jaringan Rakyat Miskin Kota
(JRMK), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, dan Indonesia Corruption
Watch (ICW) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta
(KMMSAJ) melayangkan gugatan Citizen Law Suit (CLS) yang ditujukan kepada Presiden,
Wakil Presiden, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta, Gubernur Provinsi DKI Jakarta, dan Perusahaan
Air Minum (PAM) Jaya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan register Perkara Nomor:
527/PDT.G/2012/PN.JKT.PST. Dalam gugatan tersebut, menjadi turut tergugat diantaranya
Palyja dan Aertra, dua perusahaan konsorsium yang mengelola air di Jakarta. Saat itu, KMMSAJ
menuntut pengelolaan air dikembalikan ke Negara, dalam hal ini, PAM Jaya dan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun
1992 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta. Berikut adalah daftar nama para penggugat
dimana dua di antaranya, yakni Nurhidaya dan Risma Umar, merupakan penggugat yang berasal
dari Solidaritas Perempuan.
Tabel IV.B.1. Daftar Penggugat (Citizen Lawsuit) Kebijakan Pengelolaan Air Jakarta

No. Nama Pekerjaan Kewarganega Alamat


raan
1. Nurhidayah Ketua Badan Indonesia Jl. Kalibaru Timur VIII L No.
Eksekutif 8 RT/RW 015/003, Kelurahan
Komunitas Kalibaru, Kecamatan
Solidaritas Cilincing, Jakarta Utara
Perempuan
2. Suhendi Nur Swasta Indonesia Jln. Merbabu No. 7 RT/RW
005/001 Guntur, Setia Budi,
Jakarta Selatan.
3. Achmad Swasta Indonesia Jl. Kereta No. 1 Komplek
Djiddan PLN, Klender, Jakarta 13930
Safwan
4. Aguswandi Wiraswasta Indonesia Muara Karang Blok E7 S/20
Tanjung RT/RW 01/08 Jakarta Utara
5. Hamong Koordinator Indonesia Jln. Rambutan VI. No. 2 Kav.
Santono Nasional A2, Pejaten Barat, Pasar
Koalisi Minggu, Jakarta Selatan
Rakyat untuk
Hak atas Air
6. Ecih Ibu Rumah Indonesia Jln. Muara Baru Ujung
Kusumawati Tangga RT/RW
020/017, Kelurahan
Penjaringan, Kecamatan
Penjaringan, Jakarta Utara
7. Wahidah Ibu Rumah Indonesia Kp. Japat RT/RW 001/001,
Tangga Kelurahan Ancol, Kecamatan
Pademangan, Jakarta Utara
8. Abdul Rasid Buruh Indonesia Jl. Kp. Melayu Kec I no. 47
RT/RW 12/10 – Bukit Duri,
Tebet, Jakarta Selatan
9. Risma Umar Ketua Badan Indonesia Kalibata Tengah RT/RW
Eksekutif 004/003 Kelurahan Kalibata,
Nasional Kecamatan Pancoran, Jakarta
Solidaritas Selatan
Perempuan
10. Beka Ulung Karyawan Indonesia Kemanggisan Gang C3/52
Hapsara Swasta RT/RW 007/009, Palmerah,
Jakarta Barat
11. Edi Saidi Koordinator Indonesia Jelambar Ilir RT/RW 10/10
Urban Poor No.17, Kel. Jelambar Baru,
Consortium Jakarta Barat
12. Ubaidilah Direktur Indonesia Jln. Lada Dalam No. 2,
Walhi Jakarta Taman Sari, Jakarta Barat
11110

Pada 27 Maret 2013, KMMAJ melakukan dialog dengan Joko Widodo yang saat itu
menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, Gubernur memberikan dukungan kepada LSM
atas Gugatan CLS yang dilayangkan. Saat itu Gubernur DKI Jakarta mengakui bahwa negara
mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan pihak swasta
dalam pengelolaan air di Jakarta. Namun, pada November 2013, Gubernur menarik dukungannya
dan mengajukan tawaran perdamaian serta berjanji akan mengambil alih pengelolaan air di
Jakarta dengan mengakuisisi seluruh saham Palyja dan Aertra. Pada tanggal 10 April 2014,
KMMSAJ menjawab tawaran tersebut dengan mengeluarkan kertas posisi yang disampaikan
kepada Gubernur DKI Jakarta sebagai syarat dari tawaran perdamaian tersebut. Tuntutan yang
dilakukan di antaranya: 1) Pemerintah mengakui telah melakukan perbuatan melawan hukum
kerena menyerahkan pengelolaan air kepada swasta; 2) Pemerintah dituntut untuk
mengumumkan kepada publik tentang kerugian materi dan imateri yang dialami Negara dan
warga Negara; 3) Pemerintah harus mengambil langkah taktis dan strategis dalam rangka
pembatalan kontrak kerja sama antara PT. PAM Jaya dengan dua konsorsium perusahaan
penyedia layananan air, Palyja dan Aertra; 4) Negara harus melakukan evaluasi yang
komperhensif. Selain itu, Solidaritas Perempuan juga menuntut untuk
1) Memastikan konsultasi publik yang sejati dengan membuka rencana pengelolaan air Jakarta
dari, oleh dan untuk publik, dengan
memastikan keterlibatan penuh (meaningful participation) perempuan;
2) Memastikan akses air bagi masyarakat miskin kota, khususnya perempuan dan masyarakat
pesisir, di mana perempuan karena peran gendernya terkena dampak yang berlapis dan yang
menjadi kelompok rentan di mana 1/3 masyarakat miskin Indonesia berada di pesisir;
3) Pembentukan kelembagaan dan mekanisme pengawasan pengelolaan air oleh publik.
Pembentukan kelembagaan dan mekanisme pengawasan pengelolaan air oleh publik, dengan
menerapkan prinsip inklusif, sensitif dan responsif gender.
Pada 24 Maret 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan memenangkan
penggugat dan menyatakan bahwa: 1) tergugat telah lalai memenuhi dan melindungi hak atas air
warga Jakarta; 2) Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan
swastanisasi air di Jakarta; 3) tergugat merugikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan
Masyarakat; 4) perjanjian kerjasama dengan Palyja dan Aertra dinyatakan batal demi hukum dan
tidak berlaku; 5) menghentikan swastanisasi air di Jakarta dan mengembalikan pengelolaan air
minum sesuai prinsip hak atas air.
Pada 8 April 2015, tergugat dari pemerintah pusat mengajukan banding sementara
pemerintah provinsi DKI Jakarta dan PAM Jaya menerima gugatan tersebut. Pada 12 Januari
2016, Pengadilan Tinggi Jakarta memutuskan melalui putusan Nomor 588/PDT/2015/PT DKI
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tidak hanya sampai di situ, para
penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan memenangkan perkara pada 11 Oktober
2017 melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 31 K/Pdt/2017 yang menyatakan tergugat lalai
dalam memenuhi hak atas air warga Jakarta. Putusan MA tersebut sekaligus membatalkan
putusan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi Jakarta. Sepanjang proses tersebut, LSM-LSM
dalam KMMSAJ juga melakukan kajian dan dialog dengan berbagai pemangku kepentingan.
B. Landasan Solidaritas Perempuan Terlibat dalam Advokasi Kebijakan Pengelolaan Air di
Jakarta
Setiap organisasi tidak dapat dilepaskan dari nilai dan karakteristik yang terbentuk
menjadi budaya organisasi. Sistem nilai ini kemudian yang menjadi etika dan landasan bertindak.
Solidaritas Perempuan, sejak awal berdirinya, telah mendeklarasikan diri sebagai organisasi yang
membela kepentingan perempuan dalam kerangka berfikir feminisme yang didefinisikan
sebagai“Paham atau ideologi yang meyakini bahwa perempuan mengalami penindasan
sehingga perempuan harus sadar dan bergerak melawan penindasan dan ketidakadilan yang
dialami” Feminisme sebagai ideologi organisasi kemudian dirumuskan dalam nilai-nilai yang
terejawantahkan dalam cara pandang, pengelolaan dan pengaturan terhadap organisasi dan
individu-individu yang terlibat di dalamnya, baik anggota maupun non anggota (staf yang
bekerja). Nilai-nilai tersebut, yakni: Demokrasi, adil, lestari, non partisan, non sektarian, anti
diskriminasi, anti kekerasan, setara, dan menghargai keberagaman.
Fakta yang diyakini bahwa perempuan mengalami penindasan membuat fokus kerja
Solidaritas Perempuan tertuju pada perempuan, meski tidak juga menafikan fakta bahwa laki-laki
juga dapat menjadi korban dari ketidakadilan berbasis gender namun di sisi lain juga dapat
menjadi bagian dari support system bagi gerakan perempuan. Itulah mengapa laki-laki bisa
menjadi anggota Solidaritas Perempuan dengan kuota tidak lebih dari 10 persen, sebagaimana
termaktub di dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Seperti halnya dalam persoalan air, buruknya pengelolaan air di Jakarta bukan saja
menjadi persoalan perempuan, tetapi juga persoalan laki-laki. Namun, perempuan menghadapi
situasi yang lebih khusus. Kehidupan perempuan yang lekat dengan air tidak dipandang hanya
karena perempuan adalah manusia yang tidak bisa hidup tanpa air, lebih dari itu, karena cara
pandang masyarakat yang meletakan peran perempuan dalam ranah domestik sehingga
kebutuhan keluarga akan air menjadi beban dan tanggung jawab perempuan.
Dalam masyarakat, perempuan diberi tanggung jawab untuk pasokan air dan sanitasi
serta memelihara lingkungan rumah agar senantiasa bersih dan higienis. Tanggung jawab
tersebut kemudian menjadi beban yang berlebih ketika pengelolaan air yang menjadi tanggung
jawab negara tidak dilaksanakan dengan baik.75 Di sisi lain, kebutuhan perempuan akan air juga
lebih spesifik, yakni untuk kebutuhan reproduksinya. Kualitas dan kuantitas air yang buruk akan
berdampak pada kerentanan infeksi pada organ reproduksi perempuan.
Oleh karenanya, Solidaritas Perempuan memutuskan untuk melakukan advokasi
kebijakan pengelolaan air. Advokasi ini tidak hanya dilakukan di Jakarta tetapi juga diberbagai
daerah, seperti Makassar dan Aceh. Tidak hanya itu, Solidaritas Perempuan juga melakukan
advokasi kasus dan pendampingan masyarakat, khususnya perempuan, yang mengalami konflik
air akibat monopoli yang dilakukan perusahaan sawit dan perusahaan semen.

C. Peran Solidaritas Perempuan dalam Advokasi Kebijakan Pengelolaan Air Di Jakarta


Advokasi merupakan salah satu istilah yang tidak asing bagi Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) pada era reformasi. Pasalnya, demokrasi yang menjadi prasyarat bagi kerja
advokasi tidak terjadi pada era sebelumnya sehingga peluang-peluang intervensi dalam proses
kebijakan tidak terjadi.
Peran LSM sebagai jembatan antara masyarakat dengan pemerintah membuat advokasi
menjadi salah satu cara yang cukup efektif sebagai wujud pembelaan dan mendorong perubahan
kebijakan agar sesuai dengan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya, sejak awal advokasi
dilakukan, LSM telah berpihak pada masyarakat, khususnya pada masyarakat marjinal yang
tidak cakap hukum serta sulit mengakses informasi. Begitu pula pada advokasi kebijakan
pengelolaan air di Jakarta. Pun halnya dengan Solidaritas Perempuan yang tergabung dalam
Koaliasi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). Sebagai sebuah perangkat
tingkah atau tindakan individu maupun organisasi, sebesar atau sekecil apapun peran yang
dilakukan oleh individu maupun organisasi merupakan upaya untuk melaksanakan hak dan
kewajiban untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Solidaritas Perempuan sebagai sebuah LSM, tentu diharapkan oleh masyarakat untuk
menjalankan peran idealnya, namun di sisi lain Solidaritas Perempuan juga telah mengambil
peran-peran tertentu, yakni hadir untuk menumbuhkan pemahaman dan membangun kesadaran
perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Peran-peran tersebut dilakukan sebagai
konsekuensi dari nilai-nilai yang sejak awal diteguhkan sebagai identitas organisasi.
Dapat dilihat dari kerja-kerjanya, Solidaritas Perempuan menerapkan tiga strategi utama,
yakni: pengorganisasian, advokasi, dan kampanye. Tiga hal tersebut menjadi satu kesatuan
strategi yang dilakukan untuk semua permasalahan yang didampingi.
a) Pengorganisasian, dilakukan untuk menguatkan sasaran (perempuan akar rumput) baik dari
segi pemahaman, kesadaran, dan kapasitas agar dapat membangun kekuatan bersama untuk
menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi. Selain itu, pengorganisasian juga dilakukan
untuk mengkonsolidasikan data dan informasi yang dapat digunakan untuk memperkuat kerja
advokasi.
b) Advokasi, dilakukan untuk membawa permasalahan yang terjadi di lapangan ke dalam ranah
pengambil kebijakan, baik melalui jalur lembaga peradilan hukum maupun legislasi, agar dapat
mendorong perubahan dan menjawab permasalahan yang ada. Advokasi dalam kerja Solidaritas
Perempuan harus bermula dari hasil pengorganisasian. Solidaritas Perempuan kemudian
membangun strategi dan berkonsolidasi dengan kelompok atau organisasi lain yang memiliki
keselarasan pemahaman dan cara pandang.

c. Kampanye, merupakan upaya dari Solidaritas Perempuan untuk menyuarakan masalah yang
dihadapi perempuan rumput yang biasanya sulit mengakses media komunikasi. Hal tersebut
dilakukan untuk menggugah kesadaran publik dan menggalang dukungannya untuk kepentingan
perubahan kebijakan.

“ketiga strategi itu gak bisa dipisahkan. gak bisa kita melakukan advokasi tanpa melakukan
pengorganisasian. Nanti advokasinya dianggap mengawang-ngawang. Kita bisa melakukan
advokasi tanpa pengorganisasian kalau ada respon aktual aja tetapi effort dan energi yang
dikeluarkan juga gak banyak dan harus tetap berlandaskan prinsip organisasi atau memang ada
permintaan secara langsung dari masyarakat yang wilayahnya tidak menjadi basis
pengorganisasian SP selanjutnya, SP hanya memfasilitasi perempuan saja, yang bergerak harus
tetap mereka, yang bicara harus tetap mereka. SP hanya berbicara berdasarkan hasil data yang
telah dihimpun dan dianalisis, secara fakta di lapangan kan perempuan-perempuan itu yang lebih
tau karena mengalami dan menghadapi langsung.” Dari penyataan di atas, sebagai LSM,
Solidaritas Perempuan dapat disimpulkan telah mengambil peran sebagai fasilitator,
Komunikator, dan juga dinamisator di masyarakat. Sebagaimana peran-peran tersebut
merupakan peran-peran LSM yang telah dirumuskan oleh berbagai sarjana sosial. Begitu pula
pada advokasi kebijakan pengelolaan air di Jakarta di mana peran Solidaritas Perempuan dapat
dianalisis dalam setiap tahap advokasi.

1. Tahapan Advokasi Kebijakan Pengelolaan Air di Jakarta


Topatimasang, dkk membagi jenis advokasi berdasarkan kebijakan yang dilihat dalam
sudut pandang sistem hukum, yakni: Isi Hukum, Tata Laksana Hukum, dan Budaya Hukum.78
Sementara Edi Suharto, yang mengutip Dubois dan Miley, membagi tipe advokasi menjadi dua,
yakni: Advokasi kasus dan advokasi kelas. Jenis advokasi yang dipilih dipengaruhi oleh ruang
lingkupnya, yakni mikro, mezzo, dan makro.
Berdasarkan pada pernyataan Topatimasang dan Suharto, tipe advokasi yang dilakukan
oleh Solidaritas Perempuan untuk mendorong kebijakan pengelolaan air di Jakarta merupakan
advokasi kelas dalam skala makro yang menyangkut pada keseluruhan kebijakan, baik isi
hukum, tata laksana hukum, maupun budaya hukum. Hal tersebut didasari pada advokasi yang
dilakukan merupakan pembelaan atas kepentingan kelas atau masyarakat untuk memperoleh hak-
haknya dan mengarahkan advokasinya pada perubahan kebijakan pengelolaan air di Jakarta.
Berikut adalah tahapan yang dilalui dalam advokasi kebijakan yang berskala makro dalam
pengelolaan air di Jakarta di mana Solidaritas Perempuan terlibat di dalamnya:
a. Membentuk Lingkaran Inti
Pada Hari Air Sedunia tahun 2011, kelompok LSM yang terdiri dari Solidaritas
Perempuan, Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KRuHA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(KIARA), Urban Poor Consortium (UPC), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, dan Indonesia Corruption Watch (ICW),
Indonesia Human Right Comitte for Social Justice (IHCS) dan Koalisi Anti Utang (KAU)
berkumpul untuk melakukan peringatan Hari Air Sedunia. Pada Juni 2011, LSM-LSM tersebut
bersepakat untuk membentuk sebuah koalisi yang dinamakan Koalisi Menolak Swastanisasi Air
Jakarta (KMMSAJ).
Solidaritas Perempuan merupakan salah satu organisasi yang menjadi inisiator dari
pembentukan koalisi tersebut. Berawal dari lahirnya Komunitas Solidaritas Perempuan
Jabotabek pada 2004 yang bekerja di wilayah Rawa Badak dan Cilincing di mana perempuan
pada dua wilayah tersebut telah sejak lama menjadi pelanggan Aertra namun mengalami masalah
kesulitan air. Ketika perluasan wilayah kerja dilakukan ke Duri Kepa, perempuan yang rumah
tangganya menjadi pelanggan Palyja juga mengalami persoalan yang sama.
Berdasarkan permasalahan tersebut, Solidaritas Perempuan dan LSM lainnya berinisiatif untuk
membentuk koalisi dan melakukan pembagian peran untuk mendorong perubahan kebijakan
melalui proses advokasi.
Gambar IV.4 Pembagian Peran dalam Lingkaran Inti KMMSAJ

Peran tersebut dibagi berdasarkan fokus kerja dan kapasitas setiap LSM. Seperti, LSM
yang fokus kerjanya melakukan pendampingan hukum seperti IHCS dan LBH Jakarta
diposisikan menjadi tim kerja garis depan. Sementara KIARA menjadi tim garis depan karena
dalam LSMnya memiliki sumber daya pengacara. Sementara ICW, KRUHA, dan KAU memiliki
fokus dan kapasitas dalam melakukan penelitian-penelitian kebijakan. Sementara, LSM yang
memiliki basis masa dan bekerja pada tataran masyarakat seperti Solidaritas Perempuan, UPC,
Walhi Jakarta dan JRMK diperankan untuk menjadi tim kerja basis yang bergerak pada tataran
masyarakat untuk melakukan penguatan dan memobilisasi masa untuk menjadi kelompok
penekan. Namun, panjangnya masa advokasi yang dilakukan (2011 sampai sekarang) membuat
dinamika dalam koalisi juga terus bergerak dan cukup mengganggu proses advokasi. Pada tim
basis, praktis hanya tinggal Solidaritas Perempuan yang bertahan. JRMK, UPC, dan Walhi
Jakarta memutuskan untuk tidak terlibat dalam koalisi di tengah-tengah perjalanan advokasi.
Sehingga Solidaritas Perempuan menjadi satu-satunya organisasi di dalam koalisi yang
diharapkan menjalankan peran penguatan dan mobilisasi masa saat diperlukan tekanan dalam
proses advokasi.
Sebagai tim basis, Solidaritas Perempuan melalui Komunitasnya di Jabotabek melakukan
penguatan kesadaran dan pemahaman di tiga wilayah, yakni Cilincing, Rawa Badak, dan Duri
Kepa. Penguatan kesadaran dan pemahaman tersebut dilakukan dengan metode diskusi kampung
di mana perempuan berkumpul untuk membicarakan berbagai masalah air yang dihadapi oleh
perempuan sehari-hari. Dari diskusi tersebut ditemukan fakta bahwa air yang didistribusikan oleh
Palyja dan Aertra tidak dapat memenuhi standar kualitas dan kuantitas yang memadai. Air hanya
mengalir pada pukul 19.00 sampai 20.00 WIB bahkan pada dini hari dengan debit yang kecil.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk membayar tagihan bulanan juga menjadi masalah
tersendiri. Dalam satu bulan, setiap rumah tangga harus membayar tagihan air ke perusahaan
lebih dari Rp. 100.000 dengan kualitas dan kuantitas yang tidak memenuhi standar. Untuk
menutupi kebutuhan air, masyarakat memutuskan untuk membeli air keliling dengan biaya Rp.
15.000 per jeriken sebanyak dua jeriken per hari. Untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga,
setiap Kepala Keluarga (KK) harus menyisihkan 30 persen pendapatannya.
Solidaritas Perempuan Jabotabek juga melakukan pemantauan hak atas air yang
dilakukan di lima wilayah di Jakarta, yakni; Kecamatan Kebon Jeruk; Kecamatan Koja;
Kecamatan Tebet; Kecamatan Cilincing; dan Kecamatan Penjaringan. Pemantauan air tersebut
dilakukan selama lima bulan sejak September 2015 hingga Februari 2016. Dalam pemantauan
tersebut, terlibat di dalamnya 1.158 perempuan dan 10 laki-laki. Pemantauan tersebut bertujuan
untuk assessment fakta di lapangan mengenai persoalan air yang kemudian digunakan sebagai
materi advokasi dan kampanye.82 sebelumnya, perempuan di wilayah kerja Solidaritas
Perempuan telah menerapkan sistem kalender air dan mencatat setiap kali air mengalami
masalah seperti debit yang kurang, kualitas yang buruk, dsb. Data tersebut kemudian juga
dipakai sebagai materi advokasi dan kampanye.
Dari fakta dan penguatan yang dilakukan, Solidaritas Perempuan mengajukan dua orang
yang bersedia menjadi saksi di pengadilan, yakni Halimah, ibu rumah tangga dari bilangan Rawa
Badak, Jakarta Utara dan Habibah, seorang nelayan dari wilayah Marunda Kepu.
b. Memilih Isu Strategis
Pemilihan isu strategis dilakukan melalui berbagai kajian dan diskusi serta dengan
memperhatikan aspek kebutuhan dan hak masyarakat. Kerugian negara dan tidak terpenuhinya
hak masyarakat Jakarta atas air bersih yang memenuhi standar kelayakan juga dilakukan dengan
berbagai kajian dan penghimpunan data dari berbagai sumber.
Dari kajian-kajian tersebut kemudian dirangkum dan dijadikan basis argumentasi dari
tuntutan besar yang ditujukan kepada para pengambil kebijakan, yakni agar negara mengambil
alih pengelolaan air di Jakarta dan harus melakukan pengelolaan dengan mengacu pada
kewajiban negara dalam memenuhi hak masyarakat atas air. Solidaritas Perempuan dalam hal ini
berperan melakukan assessment dan mengkaji dampak yang terjadi kepada perempuan akibat
dari kebijakan pengelolaan air Jakarta yang diselenggarakan dengan kerja sama pemerintah dan
swasta. Namun, karena gugatan bersifat umum dan Solidaritas Perempuan tidak terlibat dalam
proses advokasi di lembaga peradilan, maka substansi yang dibawa Solidaritas Perempuan tidak
masuk ke dalam memori putusan. Substansi berupa informasi dan fakta yang dihimpun
Solidaritas Perempuan banyak digunakan dalam proses advokasi non litigasi (proses melalui
lembaga non peradilan) dan kampanye yang akan penulis paparkan kemudian.
c. Merancang Sasaran dan Strategi
Perubahan kebijakan pengelolaan air di Jakarta sebagai tujuan advokasinya,
menggunakan tiga strategi yang dirancang dengan menggunakan beberapa pendekatan, yakni
menggunakan proses legislasi dan yurisdiksi untuk mendorong perubahan isi hukum,
menggunakan proses politik dan birokrasi untuk mendorong perubahan tata laksana hukum, serta
menggunakan proses sosialisasi dan mobilisasi untuk mendorong perubahan budaya hukum.
1) Proses Legislasi dan Yurisdiksi
LSM yang terlibat dalam advokasi kebijakan pengelolaan air di Jakarta menganggap
Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, PAM Jaya, serta dua
perusahaan konsorsium Palyja dan Aertra bertentangan dengan berbagai peraturan hukum baik
pada tingkat nasional maupun daerah. Sehingga perlu menggunakan lembaga peradilan
(litigasi/yurisprudensi) untuk mendorong perubahan kebijakan. Citizen Lawsuit (Gugatan Warga
Negara) dipilih karena gugatan ditujukan pada penyelenggara negara yang berkewajiban
memenuhi hak atas air dan dimungkinkan setiap individu untuk melayangkan gugatan meski
bukan menjadi bagian dari masyarakat terdampak. Penentuan sasaran gugatan juga dilakukan
dengan melakukan kajian kronologis ditandatanganinya perjanjian kerja sama antara PAM Jaya
dengan Palyja dan Aertra. Hal tersebut dilakukan untuk menentukan kepada pihak mana gugatan
dilayangkan.
2) Proses Politik dan Birokrasi
Proses politik dan birokrasi juga menjadi satu bagian dari strategi yang dipilih di luar
jalur peradilan resmi, yang dikenal sebagai proses non litigasi. LSM yang tergabung dalam
KMMSAJ juga merancang strategi untuk melakukan pendekatan ke berbagai lembaga negara
yang relevan dengan advokasi kebijakan pengelolaan air di Jakarta, seperti Pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta, PAM Jaya, dll. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan pandangan dan
mempengaruhi lembaga tersebut, tetapi juga untuk mendapatkan pandangan baru yang berguna
bagi proses advokasi. Seperti proses dialog dengan Gubernur DKI Jakarta, yang saat itu masih
dijabat oleh Joko Widodo, yang dilakukan pada 10 April 2014. Dalam dialog tersebut,
Solidaritas Perempuan menyampaikan beberapa fakta yang dihadapi perempuan yang merupakan
hasil assessment yang dilakukan sebelumnya. Proses ini melahirkan kesepakatan bahwa
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mengakuisisi saham Palyja dan Aertra melalui jalur
hukum atau proses b-to-b (bussiness to bussines). Dalam pertemuan ini juga, Pemerintah
Provinsi menginisiasi pengelolaan air dilakukan oleh PT. Jakarta Propertindo yang merupakan
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta, 87 namun usulan tersebut ditolak oleh
Solidaritas Perempuan dan anggota koalisi lainya karena dilakukan tanpa melakukan pemutusan
kontrak dengan Palyja dan Aertra di mana kontrak tersebut baru akan berakhir pada 2022.

Anda mungkin juga menyukai