Anda di halaman 1dari 6

Nama : Sita Nur Aulia

NIM : 121711433088

Mata Kuliah : Sejarah Lisan

SUMBER 1

1. Judul Skripsi : Pengaruh Perubahan Kebijakan Terhadap Pengelolaan Hurtan Jati di


Afdeeling Ngawi 1897-1937
Penulis : Laras Setyaningsih
Skripsi ini menjelaskan perubahan kebijakan yang dilakukan oleh negara yang
berdampak pada beberapa sektor baik ekonomi hingga sosial budaya. Bebrapa
perubahan yang berubah sangat berdampak pada kehidupan masyarakat yang mendiami
hutan. Penelitian ini didasari oleh beberapa sumber primer berupa arsip, dan sumber-
sumber sejarah lainnya.

2. Tema dari penulisan merupakan golongan dari sejarah lingkungan. Fokus penelitian
tentang hutan dan kehidupan di dalamnya. Maka buku yang digunakan sebagai tinjauan
pustaka juga tidak jauh dari buku-buku seputar hutan. Beberapa buku yang digunakan
sebagai bahan adalah Desa Hutan dan Perubahan: Eksploitasi Kolonial terhadap
Sumberdaya Lokal di Karesidenan Rembang 1865-1940 karya Warto. Buku tersebut
membahas mengenai perubahan sosial-ekonomi dan ekosistem desa hutan di
Karesidenan Rembang. Dalam pembahasannya Warto menulis mengenai pencurian dan
pelanggaran di hutan.
Selanjutnya adalah karya Nancy Lee Peluso yang berjudul Hutan Kaya Rakyat
Melarat. Dijelaskan konsep hutan scientific, konsep hutan mulanya merupakan
kepentingan manusia terhadap wilayah barunya. Buku lain adalah karya San Afri awing
yang berjudul Politik Kehutanan Masyarakat, menceritakan mengenai politik yang
terjadi pada masyarakat hutan, juga menjelaskan manfaat hutan untuk negara. Kemudian
buku karya Warto berjudul Blandong Kerja Wajib Eksploitasi Hutan di Rembang Abad
ke-19. Istilah blandong merupakan bagian dari kerja wajib negara yang ditetapkan di
desa-desa hutan untuk melakukan penebangan dan pengangkutan kayu.

3. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah. Terdiri dari tiga
tahap. Diawali demgan Heuristik hingga Historiografi. Dilakukan secara beruntun untuk
memperoleh sumber yang objektif dan akurat. Objek penelitianya adalah masyarakat di
sekitar hutan jadi yang mendapat pengaruh kebijakan terhadap pengelolaan hutan jati.

4. Salah satu konsep mengenai hutan negara tertata dalam Reglemen Hutan 1897 yang
berbunyi hutan negara adalah semua lahan bebad dalam domein negara yang gundul
(tidak ditumbuhi pepohonan atau tanpa vegetasi sama sekali, selama belum ditetapkan
pemangkuannya dan peruntukannya.

SUMBER 2

1. Judul Artikel Jurnal : HUTAN JATI BERKALUNG BESI: Pengangkutan Kayu Jati di
Jawa pada Akhir Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20
Penulis : Warto
Penelitian ini menjelaskan bagaimana pengangkutan kayu jati pada akhir abad ke-
19 dan awal abad ke-20. Sumber penelitian yang digunakan adalah sumber sejarah
berupa arsip dan buku yang sesuai dengan tema penelitian.

2. Salah satu aspek penting dalam eksploitasi hutan jati adalah masalah transportasi.
Masalah ini sangat berpengaruh terhadap seluruh proses ekploitasi hutan jati, mulai dari
tahap penebangan, pengangkutan, hingga ke tahap penampungan akhir dan penjualan.
Sejarah eksploitasi hutan jati memperlihatkan adanya korelasi yang signifikan antara
perubahan sarana-prasarana transportasi dan percepatan kerusakan hutan. Hadirnya
transportasi modern yang cepat dan efisien, misalnya kereta api, berbanding lurus dengan
terjadinya kerusakan hutan jati di Jawa.
Masuknya kereta api selain memberi kemudahan dan kelancaran arus barang dan
orang dari satu tempat ke tempat lain yang sebelumnya sulit dijangkau, juga membawa
dampak yang kurang baik. Dalam konteks eksploitasi hutan jati di Jawa, berkembangnya
sarana transportasi kereta api berbanding lurus dengan percepatan penebangan hutan
yang mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan. Dari sisi pengusaha, kereta api
memberi keuntungan yang lebih dibandingkan moda transportasi lokal. Namun, dari sisi
masyarakat lokal, terjadinya eksploitasi hutan yang berlebihan telah mengakibatkan
rusaknya ekosistem dan terjadinya degradasi hutan yang menjadi sumber penghidupan
mereka. Zaman ‚kemajuan‛ yang ditandai oleh kereta api (kereta tanpa kuda) tidak
selamanya membawa berkah bagi sebagian penduduk yang tinggal di sekitar hutan jati.
Sebaliknya, ‚kalung wesi‛ yang melingkar di kawasan hutan jati dan sebagai lambang
datangnya ‚zaman baru‛ itu menjadi tekanan baru bagi kehidupan masyarakat desa hutan,
yang ditandai dengan ruang gerak masyarakat lokal yang makin terbatas.
Artikel ini mendeskripsikan perubahan sarana transportasi pengangkutan kayu jati
pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yakni penggantian moda transportasi lokal
yang mengandalkan tenaga manusia dan hewan dengan moda transportasi yang cepat,
efektif, dan efisien, yakni kereta api. Tulisan ini diawali dengan menggambarkan kondisi
pengangkutan kayu jati yang menggunakan alatalat transportasi sederhana dengan
mengerahkan tenaga manusia dan tenaga hewan. Melalui sistem blandong, pengangkutan
kayu jati dari tempat penebangan dilakukan dengan menggunakan alat-alat sederhana
seperti cikar/gerobak yang ditarik hewan dan menafaatkan arus air sungai. Namun, pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke20 alat transportasi ini berangsur-angsur ditinggalkan
dan digantikan dengan alat transportasi yang lebih modern yaitu kereta api. Meskipun
membutuhkan biaya yang mahal, kereta api akhirnya menjadi pilihan utama untuk
mengangkut kayu jati yang sebelumnya mengandalkan transportasi air dan jalan biasa.
Tulisan ini didasarkan pada sumber sejarah baik berupa arsip resmi pemeintah
Hindia Belanda, majalah sezaman, dan sumber lainnya. Koleksi arsip seperti
arsipBoschwezen koleksi ANRI dan Memorie van Overgave (M.v.O) Residen Rembang
1907-1930 dalam bentuk microfisch (koleksi KITLV), menjadi sumber penting tulisan
ini karena memuat data-data tentang hutan dan kehutanan di Jawa, serta data tentang
kondisi umum wilayah Rembang yang menjadi sentra hutan jati di Jawa. Sumber lainnya
adalah Verslag betreffende het Spoor en Tremwegwezen in NederlandschIndie over het
jaar 1900-1930 yang memuat data umum mengenai pembukaan jalur kereta api di Jawa
pada awal abad ke-20. Lalu laporan lain seperti laporan Komisi Kesejahteraan (Mindere
Welvaat Commissie) yang berjudul Onderzoek naar de Mindere Welvaart der Inlandsche
Bevolking op Java en Madoera, Verslag van den Dienst van het Boschwezen in
Nederlandsch-Indie 1900-1940 (diseleksi), dan Verslag van de Commissie voor de Java-
Houtcontracten juga dimanfaatkan untuk mendukung tulisan ini. Selain itu, majalah
Tectona, majalah kehutanan yang diterbitkan oleh perkumpulan pegawai Dinas
Kehutanan di Hindia Belanda, juga menjadi rujukan. Tectona memuat banyak informasi
tentang aktivitas pengelolaan dan eksploitasi hutan jati di Jawa dari masa awal hingga
berakhirnya masa kolonial. Laporan para pegawai kehutanan dan juga berbagai opini
tentang pengelolaan hutan jati ditemukan dalam Tectona, termasuk pembukaan jalur rel
kereta api di kawasan hutan jati pada awal abad ke-20.

3. Objek penelitian pada tulisan ini adalah sarana transportasi yang digunakan untuk
pengangkutan hasil hutan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

4. Salah satu aspek penting dalam eksploitasi hutan jati adalah masalah transportasi.
Masalah ini sangat berpengaruh terhadap seluruh proses ekploitasi hutan jati, mulai dari
tahap penebangan, pengangkutan, hingga ke tahap penampungan akhir dan penjualan.
Sejarah eksploitasi hutan jati memperlihatkan adanya korelasi yang signifikan antara
perubahan sarana-prasarana transportasi dan percepatan kerusakan hutan. Hadirnya
transportasi modern yang cepat dan efisien, misalnya kereta api, berbanding lurus dengan
terjadinya kerusakan hutan jati di Jawa.

SUMBER 3

1. Judul : Kerja wajib blandong: eksploitasi hutan di Karesidenan Rembang 1898-1965


Penelitian ini ingin mencoba mengungkapkan masalah kerja wajib blandong dalam usaha
eksploitasi hutan di Jawa selama paro pertama abad XXX.
2. Kerja wajib (kerja paksa) blandong di sini diartikan sebagai bagian dari kerja wajib
negara (heerendiensten) di masa kolonial, yang dilakukan oleh penduduk desa yang
tinggal di sekitar hutan. Adapun kerja blandong itu meliputi berbagai macam pekerjaan,
seperti penebangan kayu di hutan, pengangkutan ke tempat-tempat penampungan kayu,
penanaman kembali hutan, serta pekerjaan lainnya yang masih berhubungan dengan
eksploitasi hutan. Berbeda dengan penduduk desa lainnya, penduduk desa yang secara
langsung terlibat dalam kegiatan eksplotasi hutan (kerja blandong) dibebaskan dari segala
beban kerja wajib lainnya, karena pekerjaan itu merupakan jenis pekerjaan yang sangat
berat di antara kerja wajib lainnya.
Tidak jelas sejak kapan tepatnya kerja blandong itu mulai dikenal di Jawa, tetapi
praktek kerja-wajib blandong sesungguhnya telah berlangsung eukup lama, jauh sebelum
datangnya orang-orang Belanda ke Jawa. Baru setelah VOC (Verenigde Oost-Indische
Compagnie, Kongsi Dagang Hindia Timur) menguasai sebagian daerah pesisir utara
pulau Jawa, kerja blandong mulai diintensifkan. Secara umum daerah kerja blandong
waktu itu dibagi menjadi dua, yaitu blandong di daerah pesisir bagian barat Semarang
dan blandong di bagian timur Semarang, terutama di daerah-daerah yang memiliki hutan
jati. Dengan kata lain, praktek kerja blandong itu semula hanya dikenal di daerah pantai
utara Jawa, mulai dari Cirebon di pesisir bagian barat sampai di Banyuwangi di pesisir
ujung timur Jawa. Tetapi sejalan dengan meluasnya pengaruh kekuasaan Belanda di
Jawa, praktek kerja blandong juga makin meluas sampai ke wilayah pedalaman.
Daerah Rembang sejak dulu dikenal sebagai daerah sentral hutan jati di Jawa.
Maka dalam usaha mengeksploitasi hutan di sana, VOC pada 1777 menetapkan empat
distrik blandong di Kabupaten Rembang, yaitu distrik Waru, Mondotoko, Kaserman, dan
Trambalang. Selain itu, di Kabupaten Lasem dan Tuban - yang juga merupakan bagian
dari wilayah Karesidenan Rembang - kerja blandong juga sudah cukup lama dijalankan.
Demikian juga dua Kabupaten lainnya, yakni Blora dan Bojonegoro, menjadi daerah
pusat penebangan hutan sejak daerah ini diserahkan oleh Raja Mataram kepada
pemerintah kolonial pada awal abad XIX. Jauh sebelum itu, di daerah Blora khususnya,
kerja blandong sebenarnya sudah lama dijalankan, ketika daerah ini disewa oleh VOC
dari Sunan.
Ada beberapa studi yang secara umum membicarakan masalah setema dengan
tulisan ini, yaitu antara lain yang dilakukan oleh Djuliati Suroyo (1981, 1987), R.E Elson
(1988), dan "Eindresume", yaitu laporan mengenai macam-macam kerja wajib di Jawa
dan Madura yang disusun oleh pegawai pemerintah Hindia Belanda pada 1901-1903.
Dalam tulisannya yang pertama, Djuliati membicarakan secara garis besar mengenai
kerja wajib negara selama abad XIX di Karesidenan Kedu. Dia menjelaskan hubungan
perkembangan kerja wajib dan pemilikan tanah, pendapatan petani, struktur kekuasaan,
pelapisan masyarakat, dan perkembangan penduduk. Sedangkan pada tulisannya yang
kedua, dia membicarakan eksploitasi buruh di Hindia Belanda dan di British-India selama
abad XIX. Kemudian Elson lebih memusatkan perhatian pada pengerahan tenaga kerja
petani selama berlangsungnya tanam Paksa, yang dikaitkan dengan adanya hubungan
patronase dalam masyarakat Jawa
3. Penelitian ini hanya ingin mengungkapkan masalah itu sejauh ditemukannya sumber-
sumber arsip yang mendukung. Khususnya nengenai pelaksanaan kerja blandong .selama
awal abad XIX, telah diatur sedemikian rupa oleh Dereksi Kehutanan yang berdiri sejak
1808, sehingga banyak ditemukan informasi mengenai kerja blandong. Tetapi setelah
lembaga kehutanan itu dihapus pada 1827, pengawasan hutan dan pengaturan eksploitasi
hutan menjadi tidak efektif, karena berada di bawan Departemen Perkebunan, yang
berlangsung sampai 1865.
4. Karena penulisan ini merupakan tulisan sejarah lingkungan, maka teori yang digunakan
juga sesuai dengan tema tulisan. Mengacu pada sitem kerja blandong di Karesidenan
Rembang.

Anda mungkin juga menyukai