Anda di halaman 1dari 10

JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia

p-ISSN 2722-8134, e-ISSN 2620-8466


Volume xx, No. xx, Edisi Tahun

Sejarah Perkembangan Pengelolaan Tanah Ulayat Persukuan


Melayu Sumpu Kenagarian Kuok (2001-2008)

Nadia*
Pendidikan Sejarah, Universitas Riau, Pekanbaru, Indonesia; nadia0967@student.unri.ac.id
Isjoni
Pendidikan Sejarah, Universitas Riau, Pekanbaru, Indonesia; isjoni@yahoo.com
Bunari
Pendidikan Sejarah, Universitas Riau, Pekanbaru, Indonesia; bunari1975@gmail.com

*Coresponding Author
Info Artikel: Dikirim: 4 Maret 2021 ; Direvisi: 18 Maret 2021; Diterima: 18 Maret 2021
Cara sitasi: Nadia, Isjoni, & Bunari. (2021). Sejarah Perkembangan Pengelolaan Tanah Ulayat
Persukuan Melayu Sumpu Kenagarian Kuok (2001-2008). JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia, 4(1),
30-39.

Abstrak.Tanah ulayat merupakan bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat
dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sejak dahulu, tanah ulayat sudah mulai
dikelola untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat adatnya. Adanya
pembaharuan kebijakan dalam pengelolaan tanah ulayat oleh penghulu adat
menuai kontroversi dalam masyarakat adat persukuan Melayu Sumpu. Penulis
menggunakan metode penelitian sejarah karena penelitian ini melihat bagaimana
sejarah perkembangan pengelolaan tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu dari
masa kemasa dan bagaimana perubahan kebijakan yang terjadi pada tahun 2001-
2008. Langkah-langkah dalam penelitian sejarah meliputi heuristik, kritik sumber,
interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian ini adalah bahwa terdapat
perkembangan dan dampak sosial ekonomi yang signifikan dalam pengelolaan
tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan membawa dampak tersendiri dalam kehidupan sosial ekonomi
masyarakat adat.
Kata Kunci: sejarah, tanah ulayat, persukuan Melayu Sumpu

Abstract. Ulayat land is a plot of land on which there are ulayat rights of a certain
customary law community. Since long time ago, customary land has begun to be
managed to provide welfare for the indigenous people. Policy reforms in the
management of ulayat lands by the adat leader are menu of controversy in the
Sumpu Malay tribal community. The author uses the historical research method
because this study looks at how the history of the management of the Sumpu Malay
tribal ulayat lands from the past and how the policy changes that occurred in 2001-
2008. The steps in historical research include heuristics, source criticism,
interpretation and historiography. The results of this study are that there are
developments in the management of the Sumpu Malay tribal ulayat lands along

This is an open access article under the CC–BY-SA license

30
Nadia, Isjoni, & Bunari, Sejarah Perkembangan Pengelolaan Tanah Ulayat … 31

with the development of science and have an impact on the socio-economic life of
indigenous peoples.
Keywords: history, communal land, Sumpu Malay tribal.

Pendahuluan
Tanah ulayat adalah suatu lahan yang dikuasai ninik mamak para kepala suku.
Secara hukum adat, tanah ulayat ini diserahkan pengelolaannya dan
pemanfaatannya kepada masing-masing suku yang ada. Kebiasaan ini telah
berlangsung sejak lama sehingga status tanah ulayat secara adat sangat kuat. Hasil
tanah ulayat digunakan sebagian besar sebagai penunjang kehidupan anak
kemenakan (Guslina, 2011).

Salah satu pemicu substansial konflik dibidang pertanahan khususnya di pedesaan


yang masih menjunjung tinggi hukum adat adalah tata kelola tanah ulayat yang
merupakan harta pusaka suatu persukuan. Sebagai suatu kekayaan yang dijunjung
tinggi keberadaannya, maka pengurusan tanah ulayat yang sejatinya dilimpahkan
kepada datuk penghulu adat akan selalu menjadi perbincangan publik.

Tanah ulayat persukuan adat yang ada di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau juga
diatur dalam peraturan daerah Kabupaten Kampar No. 12 tahun 1999 tentang hak
tanah ulayat. Didalam peraturan daerah tersebut diatur dengan jelas tentang
beberapa hal yang berkaitan dengan kepengurusan tanah ulayat di Kabupaten
Kampar. Hak penguasaan hak tanah ulayat dibuat atas nama gelar pemangku adat
yang berhak untuk itu sesuai dengan ketentuan hukum adat setempat. Hak
kepemilikan tanah ulayat dapat dipindahkan untuk kepentingan pembangunan di
daerah, dan atas kehendak bersama seluruh warga masyarakat adat berdasarkan
ketentuan hukum adat yang berlaku.

Atas dasar tersebut banyak dari masyarakat adat atau yang dikenal dengan sebutan
anak kemenakan bagi penghulu adat berusaha untuk mengajukan permohonan hak
kepemilikan tanah ulayat menjadi hak milik perorangan, seperti yang terjadi dalam
persukuan adat Melayu Sumpu Kenagarian Kuok Kabupaten Kampar.

Tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu adalah aset kekayaan persukuan yang
harusnya dikelola dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat adat Persukuan
Melayu Sumpu. Namun, luasnya tanah ulayat menimbulkan keinginan beberapa
pihak untuk menjadikannya hak milik pribadi dengan berbagai macam alasan. Pada
masa kepemimpinan Datuk Penghulu Besar kesembilan terjadi banyak gejolak
dalam masyarakat adat Melayu Sumpu, khususnya dalam pengelolaan tanah
ulayat. Dan pada masa pemerintahannya pula terbentuknya aturan-aturan dan
kebijakan baru dalam pengelolaan tanah ulayat di Kenagarian Kuok. Setelah
melewati berbagai macam konflik, saat ini kebijakan tersebut diikuti oleh beberapa

© 2020 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia


p-ISSN 2722-8134, e-ISSN 2620-8466
32 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia, 4(1), 30-39l, April 2021

suku yang tergabung dalam ninik mamak nan duo puluoh di Kenagarian Kuok
dibawah kepemimpinan Datuk Penghulu Besar.

Banyaknya anak kemenakan Datuk Penghulu Besar yang mengajukan permohonan


untuk menjadikan tanah ulayat menjadi kepemilikan pribadi dengan berbagai
alasan seperti sulitnya perekonomian hingga tidak adanya lahan untuk bercocok
tanam, menjadi alasan utama Datuk Penghulu Besar sebagai pemangku adat yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu
mengambil kebijakan mengambil sebuah kebijakan baru dalam pengelolaan tanah
ulayat yang dikenal dengan sebutan Paancuong Aleh.

Keberadaan hukum adat sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat adat.
Hukum adat merupakan bagian dari hukum yang berasal dari adat istiadat, yakni
kaidah-kaidah sosial yang dibuat dan dipertahankan oleh para fungsionalis hukum
(penguasa yang beribawa) dan berlaku serta dimaksudkan untuk mengatur
hubungan-hubungan hukum dalam masyarakat. Oleh sebab itu adat istiadat yang
hidup serta berhubungan dengan tradisi rakyat inilah yang merupakan sumber
yang mengagumkan bagi hukum adat kita (Rifana, 2016).

Adanya kebijakan baru dalam pengelolaan tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu
membuat adanya gesekan dalam kehidupan masyarakat adat. Namun, tidak dapat
dipungkiri bahwa perkembangan pengelolaan tanah ulayat persukuan Melayu
Sumpu membawa dampak yang cukup besar dalam kehidupan sosial masyarakat
adat yang ada di Kenagarian Kuok.

Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Metode sejarah merupakan
cara untuk mengkaji suatu peristiwa, tokoh, atau permasalahan yang dianggap
layak atau penting yang terjadi pada masa lampau secara deskriptif, kritis dan
analitis. Penulisan sejarah tidak hanya mengungkapkan peristiwa secara kronologis,
lebih dari itu perlu adanya kajian dan analisis tajam yang didukung dengan teori
yang relevan.

Menurut Edson (Khusna, 2013) penggunaan metode sejarah dalam suatu penelitian
adalah menggambarkan permasalahan atau pertanyaan untuk diselidiki, mencari
sumber tentang fakta historis, meringkas dan mengevaluasi sumber-sumber
historis, dan menyajikan fakta-fakta yang bersangkutan dalam suatu kerangka
interpretatif.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan disiplin ilmu interdisipliner.


Pendekatan interdisipliner yang dimaksud adalah dengan menggunakan ilmu
bantu sejarah seperti ilmu sosiologi dan antropologi yang masih serumpun ke
dalam ilmu sosial. Penggunaan pendekatan interdisiplin atau multidimensional
maksudnya ialah dalam menganalisis berbagai peristiwa atau fenomena masa lalu,

© 2020 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia


p-ISSN 2722-8134, e-ISSN 2620-8466
Nadia, Isjoni, & Bunari, Sejarah Perkembangan Pengelolaan Tanah Ulayat … 33

sejarah menggunakan konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial tertentu yang


relevan dengan pokok kajiannya. Penelitian Ini dilakukan di Kenagarian Kuok atau
secara administratif negara berada dalam kawasan kecamatan Bangkinang Barat
pada tahun 2001-2008, kabupaten Kampar Provinsi Riau.

Dalam penelitian sejarah terdapat empat langkah yang harus dilalui yaitu,
Heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Pada tahap heuristik,
penulis mengumpulkan bukti-bukti sejarah yang berhubungan langsung dengan
penelitian, baik berupa arsip-arsip, dokumen tertulis, dan melakukan wawancara
dengan narasumber terkait. Setelah mengumpulkan bukti-bukti sejarah, dilakukan
kritik sumber. Kritik sumber berfungsi untuk menilai keaslian dan kredibilitas dari
bukti-bukti dan fakta-fakta sejarah yang ditemukan dilapangan. Setelah melakukan
kritik sumber, akan dilakukan interpretasi. Pada tahap ini penafsiran akan makna
fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain.

Peneliti memberikan penafsiran dari sumber-sumber yang ditemukan selama


penelitian berlangsung. Dalam tahap ini, peneliti membuat deskripsi dan analisis
kritis sesuai dengan topik penelitian yang dilakukan. Historiografi adalah
merangkaikan fakta berikut maknanya secara kronologis/diakronis dan sistematis,
menjadi tulisan sejarah sebagai kisah. Kedua sifat uraian itu harus benar -benar
tampak, karena kedua hal itu merupakan bagian dari ciri karya ilmiah, sekaligus
ciri sejarah sebagai ilmu. Historiografi adalah menyampaikan hasil rekonstruksi
daripada masa lampau itu sesuai dengan jejak-jejaknya yang kemudian dituangkan
ke dalam sebuah karya tulis menjadi sebuah kisah sejarah.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
historis. Menurut Helius Sjamsuddin (1996: 89) teknik analisis data historis adalah
analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk
menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah.

Hasil dan Pembahasan


Menurut Permenag, yang dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan yang
menurut Hukum Adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan
tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu (Titin Fatima, 2015).

Membahas asal usul dari tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu berdasarkan
keterangan dari Datuk Penghulu Besar menyebutkan bahwa tanah ulayat
persukuan atau soko ini telah ada sejak dahulu, dan diwariskan kepada anak
kemenakan hingga saat ini. Penetapan batas wilayah kekuasaan antar datuk

© 2020 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia


p-ISSN 2722-8134, e-ISSN 2620-8466
34 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia, 4(1), 30-39l, April 2021

persukuan yang ada di Kenagarian Kuok dahulu hanya berdasarkan nama-nama


ghimbo yang ada di Kenagarian Kuok yang ditandai dengan lembah, kayu besar,
bukit dan tanda-tanda yang biasanya terdapat dialam dan disepakati bersama oleh
datuk persukuan.

Namun, seiring berjalannya waktu keberadaan tanah ulayat ini menimbulkan


konflik antar masyarakat adat persukuan Melayu Sumpu. Pada masa pemerintahan
Datuk Penghulu Besar kesembilan, diadakanlah musyawarah adat ke Iv Lembaga
Kerapatan Adat Ninik Mamak Nan XX Kenagarian Kuok yang diadakan pada 10-11
April 1997 dimana salah satu hasil keputusannya membahas dan menetapkan
nama-nama ghimbo yang diakan dikuasai oleh masing-masing datuk untuk
mencegah adanya konflik dan sengketa dimasa mendatang.

Berdasarkan surat keputusan tersebut, Datuk Penghulu Besar selaku penghulu adat
persukuan Melayu Sumpu disebutkan akan menguasai wilayah ghimbo sodang,
ghimbo sialang kampuong, dan ghimbo buriong malingkau. Tanah ulayat persukuan
Melayu Sumpu pada dasarnya tidak mengalami perubahan. Ghimbo yang dikuasai
merupakan ghimbo yang memang telah menjadi kekuasaan persukuan Melayu
Sumpu dari masa ke masa.

Pada tahun 2001 Datuk Penghulu Besar membuat kebijakan baru dalam
pengelolaan tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu. Salah satu kebijakannya yang
paling kontroversi adalah adanya perubahan kepemilikan tanah ulayat persukuan
Melayu Sumpu oleh masyarakat adat. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan dalam kepemilikan dan pengelolaan tanah ulayat persukuan Melayu
Sumpu disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

Jumlah keturunan Melayu Sumpu yang semakin banyak dan tanah ulayat atau
harta pusako yang berupa fungsi mengikuti perkembangan zaman.

Berdasarkan kebijakan ini, ada beberapa kategori mengenai orang-orang yang


berhak dan layak mengajukan permohonan kepemilikan atas tanah ulayat
persukuan Melayu Sumpu yaitu: Anak kemenakan bawah daguok (kemenakan
kandung dari Datuk Penghulu Besar, seperti anak kakak perempuan, anak adik
perempuannya). Anak kemenakan bawah pusek (kemenakan Datuk Penghulu Besar
yang berasal dari powik ompek jeni (empat perangkat adat) dan ninik mamak).
Ompek jeni yang termasuk dalam hal ini adalah Dubalang, Sighompu, Tuo Kampung
dan Cerdik Pandai. Anak kemenakan bawah buah boti (semua masyarakat adat
persukuan Melayu Sumpu).

Anak kemenakan batalih omeh (masyarakat pendatang yang masuk dan telah
disahkan melalui Bagholek Adat sebagai bagian dari persukuan Melayu Sumpu).

Proses perubahan kepemilikan tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu juga


dilakukan dengan menjunjung tinggi adat istiadat yaitu Langkah pertama yang

© 2020 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia


p-ISSN 2722-8134, e-ISSN 2620-8466
Nadia, Isjoni, & Bunari, Sejarah Perkembangan Pengelolaan Tanah Ulayat … 35

harus dilakukan adalah, anak kemenakan harus mengadu terlebih dahulu. Dalam
hal ini, anak kemenakan yang mengajukan permohonan harus menyampaikan
alasan dan kondisi tertentu sehingga mengharuskannya mengajukan kepemilikan
tanah ulayat. Kondisi yang umumnya menjadi alasan dalam pengajuan
permohonan kepemilikan tanah ulayat ini menjadi milik pribadi adalah tidak
memiliki lahan untuk bercocok tanam dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak
memiliki lahan untuk tempat tinggal, dan sebagainya.

Langkah kedua, setelah mengadu kepada Datuk penghulu Besar maka hal ini akan
disampaikan dalam musyawarah adat internal antara penghulu adat dan ompek jeni.
Langkah ketiga, setelah mendapat persetujuan maka dilakukan proses peninjauan
langsung lokasi tanah ulayat yang akan diberikan, dalam hal ini biasanya dihadiri
oleh Datuk Penghulu Besar, perangkat adat Ompek Jeni, anak kemenakan yang
mengajukan permohonan, dan pemerintah daerah setempat (Kepala Desa ,Kepala
Dusun). Pada saat dilakukan peninjauan, maka sekaligus akan ditentukan batas-
batas tanah yang akan diberikan.

Langkah terakhir, untuk mengesahkan kepemilikan tanah ulayat tersebut maka


akan dibuatkan surat hibah yang sah dimata hukum. Didalam surat tersebut
dijelaskan batas-batas tanah, nama penerima selaku pihak kedua dan Datuk
Penghulu Besar selaku pemilik tanah ulayat yang menjadi pihak pertama. Dalam
surat ini juga dipaparkan lokasi tanah ulayat berada didalam ghimbo tanah ulayat
persukuan Melayu Sumpu sesuai dengan lokasi pasti tanah tersebut.

Surat hibah ini juga ditandatangani oleh pemerintah daerah setempat dalam hal ini
Kepala Desa Pulau Jambu dan penghulu adat persukuan Melayu Sumpu dalam hal
ini Datuk Penghulu Besar. Sebelum disahkan, biasanya maka dibayarkanlah
sejumlah uang sebagai bentuk sahnya penyerahan tanah tersebut. Uang yang
dibayarkan pada saat itu, adalah Rp.1000.000 per 1 Ha dari tanah ulayat yang
diberikan. Uang ini sebagai bentuk penyempurnaan dari pelaksanaan tradisi
Paancuong Aleh. Dimana makna dari Paancuong Aleh itu sendiri adalah berasal dari
kata “dipancuong” dan “dialeh”. Uang yang diserahkan tersebut adalah bentuk “aleh”
dari tanah yang telah dipancuong atau tanah yang diberikan kepada si pemohon.

Berdasarkan kebijakan ini terdapat 33 anak kemenakan Datuk Penghulu Besar yang
berhasil menjadikan tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu sebagai milik
pribadinya. Namun, hal ini menimbulkan konflik internal yang berujung pada
adanya perubahan kebijakan dalam pengelolaan tanah ulayat persukuan Melayu
Sumpu. Perubahan tersebut adalah apabila tanah yang dihibahkan secara adat tidak
dikelola selama tiga tahun berturut-turut maka akan menjadi bagian dari ulayat
kembali.

Bentuk-bentuk pengelolaan tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu dari masa ke


masa adalah sebagai berikut:

© 2020 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia


p-ISSN 2722-8134, e-ISSN 2620-8466
36 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia, 4(1), 30-39l, April 2021

1) Hutan tak tersentuh

Tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu pada awalnya hanya berbentuk hutan,
tanpa ada pengelolaan. Hutan adat dianggap sebagai identitas suatu persukuan.
Tanah ulayat hanya menjadi haroto pusako yang hanya diketahui batas-batasnya
berdasarkan lembah, bukit, batang kayu dan beberapa penanda lainnya yang
diketahui oleh para penghulu adat persukuan.

2) Magobang ghimbo

Berkembangnya pengetahuan dibidang perkebunan dan pertanian, maka mulai


adanya keinginan masyarakat untuk magobang ghimbo. magobang ghimbo bermakna
membuka hutan tak tersentuh untuk selanjutnya akan diolah, baik menjadi lahan
pertanian, perkebunan ataupun perkampungan.

3) Baladang Kasang

Yaitu bentuk pertanian yang dilakukan di lahan kering. Umumnya komoditas


pertanian yang ditanam adalah adalah bahan makanan pokok seperti , Padi
gunuong panjang (beras merah), puluik itam, padi kociok, sokui, jolai.

4) kobun gotah (kebun karet)

Penanaman karet pada tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu dilakukan seiring
dengan adanya perhartian pemerintah orde baru terhadap kegiatan pertanian di
berbagai daerah, termasuk di Kecamatan Kuok. Saat ini, tanah ulayat persukuan
Melayu Sumpu yang ditanami karet menjadi sumber mata pencaharian penduduk
paling dominan.

5) Kobun limau Kuok (kebun jeruk Kuok)

Pada masa awal, perkebunan limau hanya dilakukan di bawuoh (dataran rendah
yang umumnya menjadi pemukiman penduduk). Luas lahan yang dibuat juga tidak
terlalu luas. Pengolahan perkebunan jeruk yang dilakukan semuanya berbasis
pertanian tradisional. Mulai dari pembibitan, pemupukan yang mengandalkan
pupuk kompos, pupuk kandang, dan sebagainya.
Seiring dengan adanya perhatian penuh dari pemerintah dalam segala aspek
terhadap pertanian dan perkebunan masyarakat yang ada. Maka eksistensi jeruk
Kuok dipasaran saat itu membuat pemerintah melirik dan memberikan dukungan
agar perkebunan jeruk ini berkembang lebih pesat. Adanya dukungan dari
pemerintah saat itu, membuat lahan yang diolah untuk perkebunan jeruk Kuok
semakin luas. Lahan perkebunan jeruk mulai difokuskan di daghiek (penyebutan
dataran tinggi yang menjadi area kebun dan hutan). Masyarakat adat persukuan
Melayu Sumpu memanfaatkan tanah ulayat persukuannya dengan menanami
pohon jeruk. Wilayah tanah ulayat yang ditanami pohon jeruk adalah ghimbo sialang
kampuong.

© 2020 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia


p-ISSN 2722-8134, e-ISSN 2620-8466
Nadia, Isjoni, & Bunari, Sejarah Perkembangan Pengelolaan Tanah Ulayat … 37

6) Ladang boncah (sawah)

Ladang Boncah atau yang dikenal dengan sawah umumnya dibuat pada tanah ulayat
persukuan Melayu Sumpu yang dekat dengan perkampungan. Setiap desa
umumnya memiliki kawasan yang dijadikan sebagai ladang boncah sebagai kawasan
untuk menanam padi. Namun, untuk masyarakat adat persukuan Melayu Sumpu
yang umunya bermukim di Desa Pulau Jambu, kawasan ladang boncah berada di
satu lokasi persawahan yang sangat luas dan berbatasan dengan ladang boncah milik
masyarakat adat dari persukuan lain yang ada di Desa Pulau Jambu.

7) Kebun sawit

Dalam pengelolaan perkebunan sawit milik persukuan Melayu Sumpu ini, ada
sedikit perbedaan yaitu perkebunan dikelola oleh anak kemenakan yang ditunjuk
oleh Datuk Penghulu Besar dan perangkat adat ompek jeni. Orang yang bertugas
mengelola ini akan mengurus segala hal yang berhubungan dengan perkebunan
sawit dan digaji oleh persukuan. Jadi, hasil panen dari perkebunan sawit
keseluruhannya akan menjadi milik persukuan. Jumlah keseluruhan dari
perkebunan sawit milik persukuan Melayu Sumpu hingga saat ini mencapai 800
Ha.Dalam pengelolaan tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu menimbulkan
berbagai dampak bagi anak kemenakan persukuan Melayu Sumpu seperti:
Menimbulkan konflik dalam masyarakat adat, adanya penghargaan terhadap nilai-
nilai adat istiadat, perkembangan pengetahuan, adanya peningkatan pendapatan
masyarakat.

Simpulan
Pada tahun 1997 berdasarkan musyawarah adat Lembaga Kerapatan Adat
Kenagarian Kuok, ditetapkan bahwa tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu
mencakup wilayah ghimbo sodang, ghimbo buriong malingkau, ghimbo sialang
kampuong. Adanya perubahan kepemilikan tanah ulayat persukuan Melayu
Sumpu menjadi milik pribadi dilakukan sesuai dengan kebijakan baru
terkait pengelolaan tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu. Bentuk-bentuk
pengelolaan tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu adalah hutak tak
tersentuh, maghobang ghimbo, baladang kasang, kobun gotah (karet), kobun
limau kuok (kebun jeruk), ladang boncah (sawah), kebun sawit, dan
perkampungan baru. Dampak sosial ekonomi setelah terjadinya perubahan
dalam pengelolaan tanah ulayat persukuan Melayu Sumpu yaitu
menimbulkan konflik dalam masyarakat adat, adanya penghargaan
terhadap nilai adat istiadat, perkembangan pengetahuan, menciptakan
lapangan pekerjaan baru, meningkatkan pendapatan masyarakat adat.

© 2020 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia


p-ISSN 2722-8134, e-ISSN 2620-8466
38 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia, 4(1), 30-39l, April 2021

Daftar Pustaka
Abdulsyani. (2007). Sosiologi Sistematika Teori dan Terapan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Abdurrahman, D. (1999). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
(2007). Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-ruzz Media
Group.
Aminah, Effendi Hasan. (2017). Perubahan Sosial Masyarakat Gempong Gunong
Meulinteung dari Petani Menjadi Pekebun Sawit. Community, 4-5.
Bachri, B. s. (2012). Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi. Jurnal FKIP
Universitas Negeri Surabaya, 56.
Bachtiar, M. (2017). Peranan Lembaga Adat Melayu Riau dalam Menyelesaikan
Konflik Tanah Ulayat di Provinsi Riau. Jurnal Hukum Respublica, 307.
Budijarto, A. (2018). Pengaruh Perubahan Sosial Terhadap Nilai-Nilai yang
Terkandung dalam Pancasila. Jurnal Kajian LEMHANNAS, 7.
Endah Sri Hartatik, Wasino. (2018). Metode Penelitian Sejarah dari Riset Hingga
Penulisan. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama.
Fatmi, S. R. (2018). Permohonan Tanah Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah Hak
Milik. Lentera Hukum, 392.
Harsono, B. (2008). Hukum Agraria Indonesia Jilid 1. Jakarta: Djambatan.
HB, G. (2011). Pola Perlindungan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Melayu
Riau di Provinsi Riau. Jurnal Ilmu Hukum, 116.
Herlina, N. (2008). Metode Sejarah. Bandung: Satya Historika.
Hugiono, Perwantuna. (1992). Pengentar Ilmu Sejarah. Jakarta: PT.Rineka Cipta.
Ismaun. (2005). Sejarah Sebagai Ilmu. Bandung: Historia Utama Press.
Khusna. (2013). Peranan Supeni dalam Bidang Politik Tahun 1945-1970 .
Repository.upi.edu, 31.
Kuntowijoyo. (1995). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: PT.Bentang Pustaka.
Lumintang, J. (2015). Pengaruh Perubahan Sosial Terhadap Kemajuan
Pembangunan Masyarakat di Desa Tara-Tara I. e-Journal Acta Diurna, 3.
Manan. (1995). Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional Minangkabau (Nagari dan
Desa di Minangkabau). Padang: Yayasan Pengkajian Budaya Minangkabau.
Mansyur, T. M. (2018). Hukum Adat Perkembangan dan Pembaruannya. Banda Aceh:
Syiah Kuala University Press.
Mulyadi. (2016). Agama dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan. Jurnal Tarbiyah Al-
Awlad, 556.

© 2020 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia


p-ISSN 2722-8134, e-ISSN 2620-8466
Nadia, Isjoni, & Bunari, Sejarah Perkembangan Pengelolaan Tanah Ulayat … 39

Noviar, A. (n.d.). Strategi Komunikasi Niniak Mamak Persukuan dalam


Penyelesaian Sengketa Harta Warisan di Suku Piliang Soni Desa Tanjung
Bonai Kecamatan Lintau Buo Utara Kabupaten Tanah Datar. JOM Fisip, 2.
Pamudji, S. (1994). Praktek Organisasi dan Metode. Jakarta: Pusat Pendidikan Dalam
Negeri.
Rifana, R. (2016). Peran Ninik Mamak dalam Pemanfaatan Tanah Ulayat di
Kanagarian Lipat Kain Selatan. JOM Fakultas Hukum, 2.
Salim, M. (2012). Adat Recht sebagai Bukti Sejarah dalam Perkembangan Hukum
Positif di Indonesia. Ad-daulah, 20.
Sjamsuddin, H. (1996). Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
(2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Sulistiyo, A. (2016). Persepsi Siswa Terhadap Materi Sejarah Yang Bersifat
Kontroversi dalam Membentuk Penalaran Kritis Siswa di SMA N 1
Pekalongan. Indonesia Journal Of History Education, 2.
Supriyadi, B. E. (2013). Hukum Agraria Kehutanan. Jakarta: Rajawali Pers.
Titin Fatima, H. A. (2015). Pola Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat di Sumatera
Barat. Jurnal Ilmu Hukum Vol.4 No.1, 53.
Turyono. (2015). Pengelolaan Usaha Pertambangan Pasir Besi di Desa Welaha Betan
Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap. Jurnal Ilmu Hukum, 34.
Wa Ode Zusnita Muizu, Ernie Tisnawati Sule. (2017). Manajer dan Perangkat
Manajemen Baru. Pekbis Journal, 151.
Wiranata, I. G. (2005). Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa.
Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.

© 2020 JPIn: Jurnal Pendidik Indonesia


p-ISSN 2722-8134, e-ISSN 2620-8466

Anda mungkin juga menyukai