Anda di halaman 1dari 7

Journal of Indonesian History 9 (1) (2020)

Journal of Indonesian History

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih

Eksploitasi hutan jati di Kabupaten Blora tahun 1845-1949

Nazal Chilmi Ulyatin, Ba’in


Jurusan Sejarah Universitas Negeri Semarang
Info Artikel Abstrak
________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Penelitian ini membahas tentang eksploitasi hutan jati di Kabupaten Blora tahun 1945-1949. Akar
Diterima Juni 2020 dari permasalah tersebut adanya berbagai anggapan yang berbeda antara masyarakat dan
Disetujui Juli 2020 pemerintah dalam kebijakan hutan jati. Kebutuhan lahan, sumber daya kayu yang dimiliki hutan
Dipublikasikan Juli 2020 menjadikan hutan ladang produksi tanpa mengingat kekosongan lahan dan kerusakan hutan.
________________ Motode dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah. Blora yang merupakan salah satu kota
Keywords: yang cukup luas memiliki hutan jati, dimana memiliki masyarakat sebagian besar dengan petani.
Ekslpoitasi, Hutan Jati, Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dari berbagai permasalahan akibat perang
Blora, Kolonial mengakibatkan kerugian bagi pemerintah Indonesia. Arti kemerdekaan banyak disalah artikan oleh
____________________ masyarakat desa sehingga terjadilah eksploitasi hutan jati untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Abstract
___________________________________________________________________
This study discusses the exploitation of teak forests in Blora Regency in 1945-1949. At the root of the problem
are the different assumptions between the community and the government in teak forest policy. Land needs,
wood resources owned by forests make production forest forests without considering the void of land and forest
damage. The method in this study uses the historical method. Blora, which is one of the cities that has a large
area of teak forest, which has a large community with farmers. From the results of this study it can be
concluded that the various problems caused by the war resulted in losses for the Indonesian government. The
meaning of independence is often misunderstood by the village community so that there is an exploitation of
teak forests to meet the needs of the community.

© 2020 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6633
Ruang Jurnal Sejarah, Gedung C5 Lantai 1 FIS Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: nazalanazal@gmail.com

10
Nzal Chilmi & Ba’in / Journal of Indonesian History 9 (1) (2020); pg. 10-16

PENDAHULUAN kebijakan kehutanan pemerintah kolonial. Arsip


peraturan tersebut terdapat dikoleksi arsip
Blora merupakan Kabupaten di Provinsi Nasional RI
Jawa Tengah memiliki hutan jati yang terluas. Selanjutnya arsip dari kementrian
Hutan jati Blora disebut sebagai hutan yang Boschwezen yang merupakan penanggung jawab
memiliki kualitas jati yang sangat bagus, karena kehutanan pada masa kolonial,yang telah
letaknya yang diapit oleh pegunungan Kendeng digitalisai oleh Perpustakaan Nasional RI.
Utara dan Kendeng Selatan. Jati sangat bagus Selanjutnya koleksi arsip Nasional RI yaitu
ditanam di tanah yang mengandung kapur dan Algemene Secretarie 1942-1950 yang merupakan
banyak dijumpai di derah selatan atau dekat arsip yang dikelola Belanda pada masa Indonesia
dengan perairan yang membentuk bukit hingga sudah merdeka. Selain itu arsip dokumen berupa
dataran sedang.(Cordes, 1992:164). laporan tahunan yang masih tersimpan di
Pada masa perang revolusi kemerdekaan, perpustakaan manggala wanabhakti kementrian
hutan wilayah Blora merupakan salah satu dari kehutanan RI. Arsip tersebut laporan kehutanan
beberapa hutan yang dioprasikan oleh jawatan tahun 1946,1947, serta agenda rapat yang
kehutanan. Akan tetapi masa perang tersebut dilakukan oleh pegawai kehutanan. Penulis juga
menjadikan jawatan kehutanan tidak maksimal menggunakan berbagai sumber koran yang
dalam mengelola hutan yang sesuai dengan sejaman contohnya, koran pada laman
peraturan yang ditetapkan oleh Hindia Belanda. kraten.delpher.co.id, dan juga dari koran
(San Afri, 2007:17). kedaulatan rakyat.
Pertumbuhan penduduk yang terus Selain itu penulis juga menggunakan
bertambah yang juga sebagai fator pendorong sumber buku untuk memenuhi informasi yang
eksploitasi hutan. Meningkatnya penduduk yang dibutuhkan. Sedangkan buku-buku terdapat dari
mana semakin tinggi permintaan kayu untuk yang berupa buku-buku jurnal-jurnal yang
memenuhi kebutuhan dan meningkatkan lahan relevan. Sumber-sumber sekunder ini ditemukan
pertanian. Semakin maju infrasutruktur dan di Perpustakaan Sejarah UNNES, Perpustakaan
teknologi juga sangat berpengaruh dalam Rumah Ilmu UNNES, Perpustakaan Manggaala
ekslpoitasi. Meningkaatnya insfratrustur Wanabakti Kementrian Kehutanan RI,
terutama dengan adanya rel kereta api di Blora Perpustakaan daerah Yogjakarta, Perpustakaan
hingga ke hutan, membuat penebangan hutan Provinsi Daerah Jawa Tengah. Serta karya
semakin cepat dan mudah. ilmiyah dari karya-karya peneliti sebelumnya
yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.
METODE Kedua Verivikasi. Setelah penulis melakukan
Dalam penelitian ini, penulis pengumpulan sumber, tahap selanjutnya yaitu
menggunakan metode penelitian sejarah kritik sumber untuk menentukan otentisitas dan
diantaranya yaitu: (1) Heuristik, (2) Verifikasi, (3) kredibelitas sumber. Sebab tidak semua sumber
Interprestasi dan (4) Historiografi. Pertama, digunakan dalam penulisan, aspek yang dikritik
Heuristik merupakan pengumpulan sumber, adalah keaslian sumber dan tingkat kebenaran
dalam pengumpulan sumber ini penulis informasi sumber. Arsip-arsipyang sejaman pada
melakukan berbagai penelusuran sumber arsip- penelitian sudah dilihat mulai dari kertas,
arsip. Arsip- arsip tersebut didapat diberbagai keaslian, bentuk tulisan, bahasa, dan ejaannya.
badan daerah, arsip dan dokumen ini hasil dari Setelah melakukan dilakukan verifikasi maka
pemerintahan kolonial, pemerintah Indonesia, sumber-sumber tersebut akan menghasilkan
dan institusi lain yang membawahi kehutanan. sebuah fakta sejarah. Ketiga Interprestasi, yaitu
Dokumen atau arsip yang digunakan antara lain, penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah yang
Staatblad van Nederlandsch Indie, yang berisikan kemudian penulis rangkai sehingga
peraturan dan kebijakan dari pemerintah dapatmenghasilkan peristiwa secara kronologis.
kolonial, dan dicari yang berhubungan dengan Terakhir Keempat Historiografi merupakan tahap

11
Nzal Chilmi & Ba’in / Journal of Indonesian History 9 (1) (2020); pg. 10-16

akhir dalam penulisan sejarah dalam bentuk Sebagian besar lahan yang ada di Blora
tulisan. Proses historiografi tentunya dapat merupakan lahan yang kering bukan sawahan.
dilakukan setelah melalui ketiga tahapan, yakni Lahan sawahan di Blora meupakan sawah tadah
heuristik, kritik sumber, interpretasi. Setelah hujan, selain itu lahan irigasi yang mana lebih
melalui ketiga tahapan tersebut penulis meulai sedikit dibandingkan dengan sawah tandah
menyusun fakta-fakta yang di dapat dari sumber- hujan. Dari tahun ketahun fenomena yang ada
sumber sejarah yang telah diuji autentisitasdan lahan hutan maupun lahan pertanian semaikin
kredibilitasnya serta telah diintrepertasikan atau berkurang, sementara itu lahan untuk perumahan
ditafsirkan. Fakta tersebut kemudian penulis dan lainnya bertambah. Kawasan lahan lainnya
susun menjadi sebuah cerita sejarah dengan yaitu tegalan/kebun yang dimanfaatkan para
sistematika penulisan sejarah. petani untuk menanam polowijo.
Pada dasarnya penduduk yang asli orang
Blora termasuk masyarakat agraris. Masyarakat
yang agraris, memiliki jiwa yang pejuang, anti
HASIL DAN PEMBAHASAN feodalisme, kreatif dan tidak mudah menyerah.
Kabupaten Blora Walau bagaimanapun kenyataannya dari
Blora merupakan kabupaten di Jawa masing-masing manusia pasti memiliki sifat yang
Tengah yang terletak paling ujung timur dari berbeda dari satu sama lain. Sedangkan
Provinsi Jawa Tengah. Banyak orang yang masyarakat yang tinggal di sekitar hutan
kurang mengetahui tentang Blora. Hal ini memiliki karasteristik jika berbicara keras,dan
dikarenakan Blora yang keadaan alamnya perilakunya kasar. Wilayah Blora yang
tertutup oleh hutan jati yang sangat lebat. didominasi oleh hutan menyebabkan masyarakat
Padahal dimasa Hindia Belanda Kota Blora banyak tergantung pada hutan. Pada umumnya
menjadi kota yang amat sangat penting untuk penduduk yang bergantung pada sumber daya
dikuasai di Jawa Tengah. Terutama karena Blora hutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan
memiliki kualitas kayu jati yang bisa dibilang budaya. Sebagian masyarakat yang ada di sekitar
nomor satu di dunia dan juga memiliki hutan melakukan kegiatan pertanian di dalam
kandungan minyak. Sebelum dikuasai kawasan hutan. Selain itu masyarakat juga
pemerintahan Hindia Belanda, Blora berada di mencari kayu bakar, memotong rumput untuk
bawah pemerintahan Kerajaan Mataram. Setelah memberi makan hewan ternak, atau bisa
tentara Jepang berkuasa di Indonesia, dalam menggembala hewan ternak di sekitar hutan.
bulan Agustus 1942 Gunsireikan menerbitkan Para petani Blora yang memiliki tanah
undang-undang 1942/27 tentang perubahan tata luas, tetap saja tidak membuat kehidupan mereka
pemerintah daerah. Dengan itu wilayah provinsi menjadi sejahtera. Hal ini dikarenakan tanah
dihapuskan. Perubahan lain dalam pemerintahan Blora yang sebagian besar mengandung kapur,
Jepang di Jawa Tengah Karasidenan Jepara yang mana untuk menanam tanaman palawija
Rembang di ganti dengan Pati Syuu kurang begitu subur. Tanaman yang biasanya
(Karasidenan Pati). Maka dari itu Kabupaten diusahakan yaitu padi, jagung, palawijo, kedelai.
Blora berubah menjadi ikut dengan Karasidenan Daerah yang biasanya dekat dengan irigasi dapat
Pati. ditanami padi 3 kali dalam setahun, akan tetapi
Dalam Mededeelingen van den Dienst der lebih seringnya petani menanam padi 2 kali
Volksgezondheid di jelaskan bahwa Blora memiliki dalam setahun. Setelah musim kemarau datang
16 drieken diantaranya yaitu : Karangjati, sawah ditanami jagung, palawija atau tembakau.
Tunjungan, Banjarejo, Ngawen, Kunduran, Bagi para penduduk yang disekitar hutan sedikit
Todanan, Panolan, Ked.Tuban, Sambong, banyak untuk memilih bekerja dengan Djawatan
Randublatung, Djati, Kradenan, Jepon, Kehutanan. Selain lahan persawahan yang
Bogorejo, Jiken. Lokasi hutan berada di daerah digunakan petani untuk menanam yaitu lahan
Randublatung, Cepu hutan daerah Blora. tegalan. Tegalan merupakan pertanian lahan

12
Nzal Chilmi & Ba’in / Journal of Indonesian History 9 (1) (2020); pg. 10-16

kering, yang mana biasanya ditanami dengan bagian daerah hutan terutama untuk
palawija yang tidak membutuhkan air dengan melaksanakan langsung tugas teknik kehutanan.
banyak. Pekerjaan teknik kehutanan seperti tanaman,
penjarangan, pemungutan hasil hutan,
Djawatan Kehutanan Indonesia perlindungan hutan. Untuk mengkondisikan
Organisasi Jawatan Kehutanan situasi hutan di setiap bagian daerah hutan
Indonesia memiliki sejarah yang panjang yang terdapat polisi hutan yang mana dikepalai oleh
berawal dari kekuasaan Hindia Belanda beralih seorang mantri polisi. Tugas daripada kepolisian
ke kekuasaan Jepang sampai pada akhirnya hutan yaitu melakukan kepolisian kehutanan
terbentuknya Jawatan Kehutanan. Berakhirnya untuk mengontrol tindakan kriminal terhadap
kekuasaan Jepang mulai dengan di hutan.
proklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus 1945 yang mana merupakan salah
satu tujuan dalam mempertahankan Manajemen Pengelolaan Hutan Jati Di Blora
kemerdekaan. Jawatan Kehutanan tinggalan Kabupaten Blora termasuk dalam
Pemerintah Jepang yang awalnya di berinama lingkup kantor Inspeksi kehutanan III yang mana
dengan Ringyoo Tyuoo Zimusyo diganti dengan kantor pusatnya terletak di Pati. Kabupaten Blora
Jawatan Kehutanan sesuai dengan surat masuk dalam karasidenan Pati mulai
ketetapan Gunseikanbu Keizabutyo. Waktu singkat pemerintahan Jepang sehingga daerah hutan
setelah proklamasi, belum memungkinkan untuk Blora masuk bagian dari inspeksi Pati.
menyusunan undang-undang dan menyusunan Kabupaten Blora memiliki daerah hutan yang
peraturan yang menyangkut tugas Jawatan sangat luas, daerah tersebut terbagi menjadi 3
Kehutanan. Pemerintah telah menunjuk sebuah daerah yang meliputi Randublatung, Cepu,
komisi untuk menerjemahkan undang-undang Blora. Pengurus daerah hutan Randublatung
dan peraturan yang telah dibuat oleh Belanda adalah Soenarjan; Pengurus daerah hutan Cepu
untuk tujuan revolusi ke dalam bahasa Indonesia. adalah Udin; pengurus hutan daerah Blora
Demi tercapainya tujuan sesuai dengan landasan adalah Supadio.
Undang-Undang Dasar 1945 Jawatan Pengelolaan hutan jati yang dilakukan di
Kehutanan mengadakan rapat dinas di Madiun Kabupaten Blora sesuai dengan pemerintah
tanggal 20-22 Maret 1946 yang dihadiri oleh pusat. Dalam setiap pimpinan memiliki tugas
wakil pegawai Kehutanan dari seluruh Jawa dan yang berbeda, bagian yang melakukan tugasnya
Madura. di lapangan adalah pimpinan bagian daerah.
Untuk melancarkan berbagai pekerjaan Pimpinan bagian daerah hutan ini terutama
dari pemerintah pusat organisasi dibagi untuk melakukan pekerjaan teknik bersama dengan tim
beberapa pimpinan. Pembagaian tersebut dibagi pekerja lainnya. Pekerjaan teknik tersebut seperti
seperti, kantor besar Jawatan Kehutanan penjarangan, pemungutan hasil hutan, tanaman,
dipimpin langsung dengan Pimpinan Pusat, dan distribusi hasil hutan.
selanjutnya diberbagai daerah Inspeksi hutan Tiap bagian daerah hutan memiliki polisi
memiliki kantor wilayah kehutanan yang yang bertujuan untuk mengawasi hutan. Setiap
dipimpin oleh Pimpinan Inspeksi. Setiap daerah memiliki 2 sampai dengan 6 bagian polisi
lingkungan inspeksi dibagi menjadi beberapa yang dikepalai oleh mentri polisi. Polisi hutan
daerah, untuk lebih memudahkan tersalurkan yang berpatroli sering menemukan diserbunya
informasi daerah meiliki pembagian daerah yang hutan oleh penduduk desa. Akhirnya pemimpin
dipimpin oleh pimpinan daerah. Selanjutnya daerah berinisiatif untuk mengutus para
setiap daerah hutan terbagi menjadi 5 sampai pemimpin desa dan tentara dikerahkan untuk
dengan 13 bagian daerah hutan yang dipimpin membantu polisi hutan. kekuasaa pengelolaan
oleh seorang pegawai menengah yang hutan yang berada i KPH kabupaten Blora
dinamakan Kepala Bagian Daerah. Kepala

13
Nzal Chilmi & Ba’in / Journal of Indonesian History 9 (1) (2020); pg. 10-16

diduduki sendiri oleh masyarakat pribumi yang kering. Proses ini dilakukan untuk
dengan bagian-bagian mandornya. mengurangi kadar air kayu secara alami.
Kebutuhan rakyat yang beragam seperti 2. Rencana Tebangan
keperluan perumahan, kayu bakar lahan untuk Besarnya luas tebangan setiap tahun yang
pertanian, lahan untuk menggembala ternak diperbolehkan menurut teknik kehutanan yaitu
merupakan persoalan penting. Para pemerintah sesuai dengan luas perbandingan setiap hutan.
merasa bahwa dalam melaksanakaan Penebangan yang lebih besar dari jatah tebangan
pengelolaan hutan, kebutuhan hidup penduduk setiap tahun. Hanya dalam keadaan perang,
desa kawasan hutan harus lebih di pembangunan saja, jatah tebangan dapat
pertimbangkan dari pada di masa pemerintahan dilanggar. Sesuai dengan keadaan di Indonesia
Belanda. Sasaran pengelolaan hutan ini pemerintah dan rakyat sangat memerlukan
membawa pada kehutanan yang bernilai sosial kebutuhan kayu yang berupa kayu pekakas dan
dan lingkungan yang tepat. kayu bakar. Banyak juga permintaan kayu bakar
Keadaan Blora yang pada saat itu bisa yang dibutuhkan untuk perusahaan-perusahaan.
dikatakan daerah yang rendah pendapatannya Perusahaan tersebut seperti pabrik gula, pabrik
tidak lain dalam mencari mata pencaharian kertas, pabrik, tembakau, pabrik gamping.
dengan bercocok tanam. Dari tahun pertama 3. Pemasaran hasil
yaitu 1946 tugas pokok yang dilakukan daerah Setelah pohon-pohon jati tersebut
Jawatan kehutanan di Blora dapat di simpulkan. ditebang, langkah berikutnya yaitu penggergajian
Mengintegrasikan hutan dalam memperjuangkan untuk menghasilkan produk yang siap pakai
pertahanan keutuhan Republik Indonesia seperti kayu pekakas, kayu bakar, papan dll. Di
terhadap musuh. Pegawai kehutanan turut ikut Kabupaten Blora terdapat penggergajian kayu di
aktif dalam mengusir musuh. Mensuplay jawatan daerah Cepu. Penggergajian ini sehaari dapat
kereta api dengan kayu bakar dan bantalan rill. menggergaji seharinya mencapai 7 m3 kayu-kayu
Mensuplay kayu bangunan dan kayu bakar untuk pertukangan. Pemasaran ini dilakukan demi
tentara Indonesia maupun instansi pemerintah. memperbaiki keuangan pemerintah, sementara
Membenahi jalan hutan yang sudah rusak demi kepalaa daerah melakukan lelang. Beda dengan
kelancaran transportasi hasil hutan maupun usaha pendistribusian kayu untuk rakyat dengan
kepentingan lalu lintas desa. cara perantara pembaantu distribusi.

Pengelolaan Hutan Jati Di Blora Eksploitasi Hutan Jati di Blora


Semenjak perang kemerdekaan, hutan- Semangat kemerdekaan 1945/1946
hutan jati Blora menjadi sumber produksi untuk meluap dari masyarakat banyak timbul yang
pemenuhan kebutuhan kayu jati. Pemerintah mengakibatkan penebangan hutan jati di daerah
telah melakukan pemilihan tebangan secara Cepu, Randublatung. Penebangan-penebangan
besar-besaran di bagiaan daerah hutan yang pohon itu dilakukan untuk membuka lahan
memiliki pengangkutan kayu. Hal itu dilakukan pertanian yang dilakukan untuk menambah
karena mengingat kebutuhan kayu bakar yang penghasilan. Kemarahan masyarakat yang sudah
sangat tinggi terutama untuk Jawatan Kereta api. terpendam selama bertahun-tahun, sehingga
Pengelolan hutan jati sendiri terdiri beberapa melepaskan amarahnya di kemerdekaan. Bagi
tahap dari mulai rencana teresan, rencana masyarakat desa hutan arti dari pada
tebangan, pengangkutan samapi dengan kemerdekaan adalah kembalinya sumber daya
pendistribusian. Berikut ini penjelasannya: alam yang mana dulu dikuasahi oleh pihak
1. Rencana Terasan penjajah. Faktor pertama yang menyebabkan
Rencana terasan merupakan rencana yang penduduk merusak hutan yaitu memaknai dari
dilakukan sebelum hutan jati ditebang untuk arti kemerdekaan itu sendiri dengan cara
diambil hasilnya. Pohon- pohon jati yang mau kebebasan. Kebebasan penduduk dalam berbagai
ditebang dimatikan dahulu supaya memiliki kayu sumber daya alam yang telah ada di lingkungan

14
Nzal Chilmi & Ba’in / Journal of Indonesian History 9 (1) (2020); pg. 10-16

untuk dimanfaatkan. Akan tetapi di masa Kendeng Utara dan Pegunungan kapur Kendeng
penjajahan masyarakat mengalami kesulitan Selatan. Kondisi tanah yang memiliki unsur
untuk memanfaatkan sumber daya hutan. Hutan kapur sangat cocok dengan pertumbuhan jati.
tersebut telah dikuasai oleh pemerintah Kayu jati yang hidup di wilayah Blora sangat
penjajahan dengan berbagai kepentingan untuk digadang-gadang merupakan kayu unggulan
memenuhi kebutuhan penjajah. Masyarakat kualitas nomor satu didunia. Keunggulan
sangat dibatasi untuk melakukan berbagai kayunya bahkan melebihi kayu oak yang berasal
kegiatan yang ada hubungannya dalam hutan. dari Eropa.
Oleh karena itu masyarakat saat sudah merdeka Pemerintah dengan berbagai upaya
beranggapan bahwa kemerdekaan adalah milik menangani pengelolaan hutan tetap dalam
kita, bagaimanapun sumber daya alam yang keadaan yang tidak stabil. Kebutuhan kayu dari
diwariskan oleh nenek moyang harus pesanan jawatan kereta api sendiri sangat
dimanfaatkan. Kebebasan kemerdekaan diperlukan karena kereta api sendiri salah satu
digunakan masyarakat untuk melampiaskan alat transformasi yang digunakan oleh Indonesia.
perasaan mereka yang terpendam terhadap Produksi kayu jati yang terus bertambah tetapi
Jawatan Kehutanan. tidak memungkinkan untuk melakukan
Kebutuhan kayu bakar yang meningkat di penanaman kembali yang berakibat hutan
tahun 1947 menyebabkan berbagai permasalahan menjadi kosong. Beberapa kebijakan pemerintah
pemerintah. Keadaan yang sedang tidak aman dalam bidang bidang produksi, penjualan,
birokrasi pemerintahan yang kurang kondusif penghutanan untuk dijadikan pedoman kerja
menjadi salah satu faktornya juga. Kayu pekakas yang disesuaikan kondisi kehutanan saat ini.
yang biasanya di produksi kini menjadi di pecah Hal yang dilaksanakan pemerintah dengan
belah untuk dijadikan kayu bakar. Kayu bakar mengganti politik hasil penjualan zaman
yang kurang lebih satu setengah mill, jika di penjajahan dengan politik sosialisasi sesuai
usahakan dengan normal harus menjadi kurang dengan UUD 33 1945. Hasil hutan yang
lebih seperlima mill m3 kayu perakakas. Dan satu terpenting pada masa perang kemerdekaan
seperempat mill kayu bakar. adalah kayu bakar untuk kereta api. Produksi
Rapat pleno ini memutuskan bahwa kayu bakar tidak mencukupi pesanan kereta api
tebangan pada tahun 1948 ini diadakan didaerah yang disebabkan kurangnya alat penebang,
hutan jati yang mana mempunyai angkutan yang angkutan dan tenaga tebangan. Dampak dari
cukup untuk mengnagkut hasil tebangan. Daerah tersebut pemerintah jawatan kehutanan Blora
yang dipilih ini termasuk daerah hutan jati mengalami kerugian yang lumayan, yang di
Kabupaten Blora yang merupakan daerah yang sebabkan mahalnya proses produksi tetapi harga
mempunyai lokomotif masih aktif dan tidak penjualan yang sangat murah.
rusak. Daerah hutan Kabupetn Blora juga
mempunyai jenis-jenis kayu jati yang ssangat DAFTAR PUSTAKA
layak untu bisas ditebang. Semua daerah hutan
Kabupaten Blora yang dipilih yaitu Afri Awang, 2007. Politik Kehutanan
Randublatung, Blora, Cepu. Masyarakat, Yogjakarta: Kreasi Wacana.
Algemeen Secretarie Van de Nederlands Indische
SIMPULAN (1945-1949)
Adapun simpulan dari tulisan ini adalah Anis Sholeh Ba’asyin dan Muhammad Anis
yang pertama dalam sejarah pengelolaan kayu Ba’asyin. 2004. Samin “Mistisme Petani di
jati di Blora terdapaat berbagai Blora pada masa tengah Pergolakan”. Semarang: Gigih
pemerintahan Indonesia merupakan bagian dari Pustaka Mandiri.
wilayah Karasidenan Pati. Tepatnya di daerah Depertement Kementrian Kemakmuran Rapat
bagian utara-timur Jawa Tengah, dengan kondisi ke 2 Djawatan Kehutanan
tanah yang diapit dua pegunungan kapur

15
Nzal Chilmi & Ba’in / Journal of Indonesian History 9 (1) (2020); pg. 10-16

J.W.H. Cordes, 1992. Hutan Jati di Jawa.


Malang:Yayasan Manggala Sylva
Lestari& Biro Jasa Konsultan
Perencanaan Hutan.
Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogjakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Sejarah Kehutanan Indonesia II - III Periode periode
tahun 1942- 1983. 1986. Jakarta:
Depertemen Kehutanan.

16

Anda mungkin juga menyukai