Anda di halaman 1dari 36

PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU

(KASUS FLORENCE SIHOMBING)


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
Pancasila

Dosen : Vini Agustina H, M.Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 6
Ketua : Rizfa Adzandika (171211030)
Anggota : Riki Mochamad Fadilah (171211029)
Adi Supriatna (171211002)
Ari Haryadi (171211006)
Yoga (171211033)

Prodi : D3 – Teknik Mesin


Jurusan : Teknik Mesin
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
memberikan kesabaran, ketabahan, serta kekuatan kepada penulis. Hanya karena
izin dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU”.

Shalawat dan salam semoga selamanya tercurah limpahkan kepada Nabi


Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi seluruh umat manusia.
Juga kepada keluarganya, sahabatnya, dan kepada seluruh pengikutnya yang
senantiasa patuh atas ajaran-ajarannya sampai akhir zaman.

Penulis sadar bahwa tersusunnya makalah ini tidak terlepas dari bantuan,
dukungan, dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah memberikan do’a, dorongan


dan semangat serta dukungan kepada penulis baik secara moril
maupun material.
2. Ibu Vini Agustina H, M.Pd. selaku Dosen Mata Kuliah Pancasila
yang telah memberikan kepercayaan kepada Saya dan teman teman
untuk mengerjakan pembuatan makalah ini.
3. Teman -teman yang selalu membantu penulis dalam proses
penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik serta saran yang
membangun guna perbaikan, pembendaharaan ilmu di masa mendatang, dan
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita.

Bandung, Oktober 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG..............................................................................................1
1. 2 TUJUAN.................................................................................................................2
1.3 RUMUSAN MASALAH.........................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN................................................................................................................3
2.1 DESKRIPSI MATERI.............................................................................................3
2.1.1 Kedudukan Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu Pengetahuan. .3
2.1.2 Alasan Pancasila Dijadikan sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu.............5
2.1.3 Cara Pengimplementasian Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu6
2.1.4 Ilmu dalam Prespektif Historis..........................................................................8
2.1.5 Pilar-pilar penyangga bagi eksistensi ilmu pengetahuan................................13
2.1.6 Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan...................................................14
2.1.7 Masalah nilai dalam IPTEK............................................................................15
2.1.8 Pancasila sebagai Dasar Nilai Dalam Strategi Pengembangan ilmu
pengetahuan dan Teknologi......................................................................................21
2.2 DESKRIPSI KASUS..............................................................................................21
2.2.1 Kasus Florence Sihombing..............................................................................21
2.3 ANALISIS KASUS................................................................................................27
BAB III............................................................................................................................31
KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................................31
3.1 Kesimpulan............................................................................................................31
3.2 Saran......................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................37

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pancasila sebagai dasar untuk kehidupan berbangsa dan bernegara,
merupakan suatu pedoman untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Dalam
perkembangan zaman modern ini, Pancasila telah mengalami kemunduran, karena
terbawa arus globalisasi yang lebih mendominasi pada cara hidup kebarat-baratan
(westernisasi).
Namun, yang seharusnya dilakukan oleh Warga Negara Indonesia adalah
ketika ada suatu pengaruh datang ke Indonesia terkhusus untuk pengaruh negative
yang dapat menurunkan nilai-nilai pancasila maka tinggalkanlah, jangan dijadikan
sebagai budaya baru. Soeharto berkata “ Pancasila makin banyak mengalami ujian
zaman makin bulat tekad kita mempertahnkan Pancasila. Pancasila sama sekali
bukan sekadar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah
Negara yang sekadar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila
harus diamlakan” ( Setiardja, 1994 : 5 ).
Salah satu bentuk dari pengamalan Pancasila dapat dilihat dari
berkembangnya ilmu pengetahuan di zaman ini. Jika saja para ilmuwan dalam
pengembangan ilmu konsisten akan janjinya yaitu untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, maka ilmu tersebut tidak akan menimbulkan ketegangan antara teknologi
dan masyarakat, karena telah sesuai dengan kaidah kaidah ilmu yang
dipelajarinya.
Ironisnya, fakta membuktikan bahwa pengembangan ilmu teknologi
khususnya, tidak diimbangi dengan kesiapan mentalitas sebagian masyarakat,
sehingga, banyak terjadi kasus penyimpangan yang sangat erat kaitannya dengan
ilmu pengetahuan, sehingga menyebabkan sifat individualis. Karena idealnya,
ilmu pengetahuan itu diterapkan dan ditunjukkan sebagai bukti realisasi dari ilmu
yang telah didapatkannya, namun nyatanya sekarang kebanyakan orang-orang
yang berilmu lah yang banyak melanggar atau menentang ilmu yang mereka
pelajari, sehingga munculah koruptor, mahasiswa yang saling menghina
almamater kampus mahasiswa lainnya, dan banyak lagi penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan oleh orang orang yang dipandang memilki ilmu.

1
1. 2 TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Menggali informasi mengenai Pancasila sebagai dasar nilai Pengembangan
Ilmu.
2. Menganalisa kasus yang bertentangan dengan Pacasila sebagai dasar nilai
Peengembangan Ilmu Pengatahuan.
3. Memeberikan solusi, atas kasus yang telah dianalisis sebelumnya.
1.3 RUMUSAN MASALAH
Materi yang akan dibahas pada makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu?
2. Bagaimana penerapan nilai – nilai Pancasila di bidang Pengembangan Ilmu?
3. Kasus apakah yang akan dijadikan sebagai bahan analisis penerapan nilai-nilai
Pancasila di bidang Pengembangan ilmu?
4. Bagaimana kronologis kasus tersebut terjadi?
5. Mengapa Kasus tersebut bisa terjadi?
6. Bagaimana Solusi untuk kasus tersebut?

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 DESKRIPSI MATERI
2.1.1 Kedudukan Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pengetahuan
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dewasa ini
mencapai kemajuan pesat sehingga peradaban manusia mengalami perubahan
yang luar biasa. Pengembangan IPTEK tidak dapat terlepas dari situasi yang
melingkupinya, artinya IPTEK selalu berkembang dalam suatu ruang
budaya.Perkembangan IPTEK pada gilirannya bersentuhan dengan nilai-nilai
budaya dan agama sehingga di satu pihak dibutuhkan semangat objektivitas, di
pihak lain IPTEK perlu mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan agama dalam
pengembangannya agar tidak merugikan umat manusia. Kuntowijoyo dalam
konteks pengembangan ilmu menengarai bahwa kebanyakan orang sering
mencampur adukkan antara kebenaran dan kemajuan sehingga pandangan
seseorang tentang kebenaran terpengaruh oleh kemajuan yang
dilihatnya.Kuntowijoyo menegaskan bahwa kebenaran itu bersifat non-cumulative
(tidak bertambah) karena kebenaran itu tidak makin berkembang dari waktu ke
waktu. Adapun kemajuan itu bersifat cumulative (bertambah), artinya kemajuan
itu selalu berkembang dari waktu ke waktu. Agama, filsafat, dan kesenian
termasuk dalam kategori non-cumulative(tidak bertambah), sedangkan fisika,
teknologi, kedokteran termasuk dalam kategori cumulative (Kuntowijoyo, 2006:
4).
Relasi antara IPTEK dan nilai budaya, serta agama dapat ditandai dengan
beberapa kemungkinan sebagai berikut. Pertama, IPTEK yang gayut dengan nilai
budaya dan agama sehingga pengembangan IPTEK harus senantiasa didasarkan
atas sikap human-religius. Kedua, IPTEK yang lepas sama sekali dari norma
budaya dan agama sehingga terjadi sekularisasi yang berakibat pada kemajuan
IPTEK tanpa dikawal dan diwarnai nilai human-religius. Hal ini terjadi karena
sekelompok ilmuwan yang meyakini bahwa IPTEK memiliki hukum-hukum
sendiri yang lepas dan tidak perlu diintervensi nilai-nilai dari luar. Ketiga, IPTEK

3
yang menempatkan nilai agama dan budaya sebagai mitra dialog di saat
diperlukan. Dalam hal ini, ada sebagian ilmuwan yang beranggapan bahwa
IPTEK memang memiliki hukum tersendiri (faktor internal), tetapi di pihak lain
diperlukan faktor eksternal (budaya,ideologi, dan agama) untuk bertukar pikiran,
meskipun tidak dalam arti saling bergantung secara ketat.

Relasi yang paling ideal antara IPTEK dan nilai budaya serta agama
tentu terletak pada fenomena pertama, meskipun hal tersebut belum dapat
berlangsung secara optimal, mengingat keragaman agama dan budaya di
Indonesia itu sendiri.Keragaman tersebut di satu pihak dapat menjadi kekayaan,
tetapi di pihak lain dapat memicu terjadinya konflik. Oleh karena itu, diperlukan
sikap inklusif dan toleran di masyarakat untuk mencegah timbulnya konflik.Untuk
itu, komunikasi yang terbuka dan egaliter diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara. Fenomena kedua yang menempatkan
pengembangan IPTEK di luar nilai budaya dan agama, jelas bercorak positivistis.
Kelompok ilmuwan dalam fenomena kedua ini menganggap intervensi faktor
eksternal justru dapat mengganggu objektivitas ilmiah. Fenomena ketiga yang
menempatkan nilai budaya dan agama sebagai mitra dialog merupakan sintesis
yang lebih memadai dan realistis untuk diterapkan dalam pengembangan IPTEK
di Indonesia. Sebab IPTEK yang berkembang di ruang hampa nilai, justru akan
menjadi bumerang yang membahayakan aspek kemanusiaan.
Namun, tanpa kita sadari dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang begitu santernya kita mulai melupakan akan apa tujuan dari yang
kita lakukan ini. Padahal hal ini tercantum jelas dalam landasan ideologi bangsa
kita (Pancasila) bahwa mengembangkan IPTEK haruslah secara beradab.
Tercantum dalam sila kedua yang berbunyi ”Kemanusiaan yang adil dan
beradab”. Perkembangan dan kemajuan IPTEK seharusnya diwujudkan untuk
keadilan dan kehidupan yang beradab serta bermoral. Dengan segala fasilitas dan
kemudahan yang ada seharusnya menyokong kita untuk meningkatkan harkat dan
martabat bangsa kita, bukannya sebagai alat menindas atau berbuat kejahatan serta
kecurangan bagi mereka yang memegang penguasaan akan IPTEK.
Di sinilah betapa pentingnya landasan Pancasila yang kental dalam setiap
hati nurani anak bangsa Indonesia agar tidak akan timbul penyalahgunaan

4
perkembangan dan kemajuan IPTEK dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang
dapat kita lihat dalam kehidupan keseharian. Berbagai macam informasi dapat
dengan mudah disebarkan kepada khalayak umum. Oleh sebab itu, penanaman
Pendidikan Pancasila sejak usia dini merupakan antisipasi awal dalam
membangun filter bagi perkembangan dan kemajuan IPTEK yang terlamapau
deras. Sehingga moral dan mental anak bangsa justru tidak melorot
menghadapinya di tengah-tengah perubahan zaman. Dasar-dasar Pancasila
dijadikan sebagai tameng untuk penangkal hal-hal yang buruk dalam
perkembangan IPTEK. Lima sila yang terdapat dalam Pancasila mengandung
nilai-nilai luhur yang merupakan suatu rumusan kompleks dan menyeluruh
dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian
diharapan dapat tercipta kehidupan masyarakat yang adil, beradab dan sejahtera,
serta menyuluruh di setiap elemen lapisan masyarakat.
2.1.2 Alasan Pancasila Dijadikan sebagai Dasar Nilai Pengembangan
Ilmu
Pernahkah terpikir oleh Anda bahwa tidak ada satu pun bangsa di dunia ini
yang terlepas dari pengaruh perkembangan IPTEK, meskipun kadarnya tentu
saja berbeda-beda. Kalaupun ada segelintir masyarakat di daerah-daerah
pedalaman di Indonesia yang masih bertahan dengan cara hidup primitif asli,
belum terkontaminasi oleh kemajuan IPTEK, maka hal itu sangat terbatas dan
tinggal menunggu waktunya saja. Hal ini berarti bahwa ancaman yang
ditimbulkan oleh pengembangan IPTEK yang terlepas dari nilai-nilai spiritualitas,
kemanusiaan,kebangsaan, musyawarah, dan keadilan merupakan gejala yang
merambah ke seluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Beberapa alasan Pancasila diperlukan sebagai dasar nilai pengembangan
IPTEK dalam kehidupan bangsa Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut.
Pertama, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh IPTEK, baik dengan dalih
percepatan pembangunan daerah tertinggal maupun upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat perlu mendapat perhatian yang serius.Penggalian
tambang batubara, minyak, biji besi, emas, dan lainnya di Kalimantan,Sumatera,
Papua, dan lain-lain dengan menggunakan teknologi canggih mempercepat
kerusakan lingkungan. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka generasi

5
yang akan datang, menerima resiko kehidupan yang rawan bencana lantaran
kerusakan lingkungan dapat memicu terjadinya bencana, seperti longsor, banjir,
pencemaran akibat limbah, dan seterusnya.
Kedua, penjabaran sila-sila Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan
IPTEK dapat menjadi sarana untuk mengontrol dan mengendalikan kemajuan
IPTEK yang berpengaruh pada cara berpikir dan bertindak masyarakat yang
cenderung pragmatis. Artinya, penggunaan benda-benda teknologi dalam
kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini telah menggantikan peran nilai-nilai
luhur yang diyakini dapat menciptakan kepribadian manusia Indonesia yang
memiliki sifat sosial, humanis, dan religius. Selain itu, sifat tersebut kini sudah
mulai tergerus dan digantikan sifat individualistis, dehumanis, pragmatis, bahkan
cenderung sekuler. Ketiga, nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi simbol
kehidupan di berbagai daerah mulai digantikan dengan gaya hidup global, seperti:
sikap bersahaja digantikan dengan gaya hidup bermewah-mewah,
konsumerisme;solidaritas sosial digantikan dengan semangat individualistis;
musyawarah untuk mufakat digantikan dengan voting, dan seterusnya.
Oleh karena itu, Pancasila penggunaannya sangat vital bagi pengembangan
Ilmu Pengetahuan. Karena Pancasila menjadi sebuah acuan untuk memfilter
pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Di Indonesia penggunaan
Pancasila sebagai pengembangan Ilmu dan Pengetahuan dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang, meliputi dari aspek sosial,budaya,hingga ekonomi.
Ketika Pancasila berperan sebagai aspek social,Pancasila berperan sebagai upaya
untuk menyelaraskan kearifan lokal. Dari segi budaya, Pancasila berperan untuk
mengontrol dan mengendalikan kemajuan IPTEK yang berpengaruh pada cara
berpikir dan bertindak masyarakat yang cenderung pragmatis. Dari segi ekonomi,
Pancasila berperan sebagai upaya untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat
Indonesia.
2.1.3 Cara Pengimplementasian Pancasila Sebagai Dasar Nilai
Pengembangan Ilmu
Pancasila sebagai ideologi negara tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
yang merupakan bagian dari UUD 1945. Pancasila sebagai ideologi negara
berkaitan erat dengan sifat ideologi Pancasila itu sendiri. Oleh karena itu, tentulah

6
setiap masyarakat melandasi segala aspek kehidupannya dengan dasar-dasar nilai
Pancasila. Begitu pula dalam upaya perkembangan Ilmu Pengetahuan ,
menjadikan Pancasila sebagai kerangka berpikir dalam pelaksanaannya. Dalam
setiap perkembangan Ilmu Pengetahuan harus berdasarkan pada nilai-nilai
Pancasila sebagai berikut :
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengimplementasikan Ilmu
Pengetahuan, menciptakan, perimbangan antara rasional dan irrasional antara
akal, rasa dan kehendak. Berdasarkan sila pertama ini Ilmu Pengetahuan tidak
hanya memikirkan apa yang ditemukan, dibuktikan dan dikembangkan tetapi juga
mempertimbangkan maksud dan akibatnya kepada kerugian dan keuntungan
manusia dan sekitarnya. Pengolahan diimbangi dengan pelestarian. Sila pertama
menempatkan manusia di alam semesta bukan sebagai sentral melainkan sebagai
bagian yang sistematika dari alam yang diolahnya.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, memberikan dasar-dasar
moralitas bahwa manusia dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan haruslah secara
beradab. Ilmu Pengetahuan adalah bagian dari proses budaya manusia yang
beradab dan bermoral. Oleh karena itu, perkembangan Ilmu Pengetahuan harus
berdasarkan kepada usaha-usaha mencapai kesejahteraan umat manusia.
Sila Persatuan Indonesia, memberikan kesadaran kepada bangsa Indonesia
bahwa rasa nasionalisme bangsa Indonesia akibat dari perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud dan terpelihara, persaudaraan
dan pesahabatan antar daerah di berbagai daerah terjalin karena tidak lepas dari
faktor kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, Ilmu Pengetahuan harus dapat
dikembangkan untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan
selanjutnya dapat dikembangkan dalam hubungan manusia Indonesia dengan
masyarakat Internasional.
Sila Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam
Permusyawaratan dan Perwakilan, mendasari Ilmu Pengetahuan secara
demokratis. Artinya, setiap ilmuwan haruslah memiliki kebebasan untuk
mengembangkan ilmunya. Selain itu dalam perkembangan ilmu pengetahuan
setiap ilmuwan juga harus menghormati dan menghargai kebebasan orang lain

7
dan harus memilki sikap yang tebuka artinya terbuka untuk dikritik atau dikaji
ulang maupun dibandingkan dengan penemuan teori lainnya.
Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
mengimplementasikan pengembangan Ilmu Pengetahuan haruslah menjaga
keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan yaitu keseimbangan
keadilan dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat bangsa dan negara
serta manusia dengan alam lingkungannya.
Berdasar dari pemikiran tersebut, maka Pengembangan Ilmu Pengetahuan
yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila diharapkan dapat membawa perbaikan
kualitas hidup dan kehidupan masyarakat. Sehingga masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari tidak akan terjerumus kepada hal yang dapat membuatnya menjauh
dari nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila.
2.1.4 Ilmu dalam Prespektif Historis
Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut
dekade waktu dan menciptakan zamannya, dimulai dari zaman Yunani Kuno,
Abad Pertengahan, Abad Modern, sampai Abad Kontemporer.
Masa Yunani Kuno (abad ke 6 SM – 6 M) saat ilmu pengetahuan lahir,
kedudukan ilmu pengetahuan identik dengan filsafat memiliki corak
mitologis. Alam dengan berbagai aturannya diterangkan secara theogoni, bahwa
ada peranan para dewa yang merupakan unsur penentu segala sesuatu yang ada.
Bagaimanapun corak mitologis ini telah mendorong upaya manusia terus
menerobos lebih jauh dunia pergejalaan, untuk mengetahui adanya sesuatu yang
eka, tetap, dan abadi, di balik yang bhinneka, berubah dan sementara (T. Yacob,
1993).
Setelah timbul gerakan demitologisasi yang dipelopori filsuf pra Sokrates,
yaitu dengan kemampuan rasionalitasnya maka filsafat telah mencapai puncak
perkembangan, seperti yang ditunjukkan oleh trio filsuf besar: Socrates, Plato dan
Aristoteles. Filsafat yang semula bersifat mitologis berkembang menjadi ilmu
pengetahuan yang meliputi berbagai macam bidang.Aristoteles membagi ilmu
menjadi ilmu pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (etika,

8
politik) dan ilmu pengetahuan teoretik. Ilmu pengetahuan teoretik dibagi menjadi
ilmu alam, ilmu pasti dan filsafat pertama atau kemudian disebut metafisika.
Memasuki Abad Pertengahan (abad ke-5 M), pasca Aristoteles
filsafat Yunani Kuno menjadi ajaran praktis, bahkan mistis, yaitu sebagaimana
diajarkan oleh Stoa, Epicuri, dan Plotinus. Semua hal tersebut bersamaan dengan
pudarnya kekuasaan Romawi yang mengisyaratkan akan datangnya tahapan baru,
yaitu filsafat yang harus mengabdi kepada agama (Ancilla Theologiae).
Filsuf besar yang berpengaruh saat itu, yaitu Augustinus dan Thomas
Aquinas, pemikiran mereka memberi ciri khas pada filsafat Abad Pertengahan.
Filsafat Yunani Kuno yang sekuler kini dicairkan dari antinominya dengan
doktrin gerejani, filsafat menjadi bercorak teologis. Biara tidak hanya menjadi
pusat kegiatan agama, tetapi juga menjadi pusat kegiatan intelektual. Bersamaan
dengan itu kehadiran para filsuf Arab tidak kalah penting, seperti: Al Kindi, Al
Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Gazali, yang telah menyebarkan filsafat
Aristoteles dengan membawanya ke Cordova (Spanyol) untuk kemudian diwarisi
oleh dunia Barat melalui kaum Patristik dan kaum Skolastik. Wells dalam
karyanya The Outline of History (1951) mengatakan, “Jika orang Yunani adalah
Bapak metode ilmiah, maka orang muslim adalah Bapak angkatnya”.
Muncullah Abad Modern (abad ke 18-19 M) dengan dipelopori oleh
gerakan Renaissance di abad ke 15 dan dimatangkan oleh gerakan Aufklaerung di
abad ke-18, melalui langkah-langkah revolusionernya filsafat memasuki tahap
baru atau modern. Kepeloporan revolusioner yang telah dilakukan oleh anak-anak
Renaissance dan Aufklaerung seperti: Copernicus, Galileo Galilei, Kepler,
Descartes dan Immanuel Kant, telah memberikan implikasi yang amat luas dan
mendalam. Di satu pihak otonomi beserta segala kebebasannya telah dimiliki
kembali oleh umat manusia, sedang di lain pihak manusia kemudian mengarahkan
hidupnya ke dunia sekuler, yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukannya
yang semula merupakan koloni dan subkoloni agama dan gereja.
Dalam perkembangan berikutnya filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu
cabang yang dengan metodologinya masing-masing mengembangkan
spesialismenya sendiri-sendiri secara intens. Lepasnya ilmu-ilmu cabang dari

9
batang filsafatnya diawali oleh ilmu-ilmu alam atau fisika, melalui tokoh-
tokohnya:
1. Copernicus (1473-1543) dengan astronominya menyelidiki putaran benda-
benda angkasa. Karyanya de Revolutionibus Orbium Caelistium yang
kemudiandikembangkan oleh Galileo Galilei (1564-1642) dan Johanes Kepler
(1571-1630), ternyata telah menimbulkan revolusi tidak hanya di kawasan ilmu
pengetahuan saja, tetapi juga di masyarakat dengan implikasinya yang amat jauh
dan mendalam.
2. Versalius (1514 -1564) dengan karyanya De Humani Corporis Fabrica telah
melahirkan pembaharuan persepsi dalam bidang anatomi dan biologi.
3. Isaac Newtown (1642-1727) melalui Philosopie Naturalis Principia
Mathematica telah menyumbangkan bentuk definitif bagi mekanika klasik.

Revolusi ilmu pengetahuan memasuki Abad Kontemporer (abad ke-20-


sekarang)     berkat teori relativitas Einsteinyang telah  merombak filsafat Newton
(semula sudah mapan) di samping teori kuantumnya yang telah  mengubah
persepsi  dunia  ilmu  tentang  sifat-sifat dasar dan perilaku materi sedemikian
rupa sehingga para pakar dapat melanjutkan penelitian-penelitiannya, dan berhasil
mengembangkan ilmu-ilmu dasar seperti: astronomi, fisika, kimia, biologi
molekuler, hasilnya seperti yang dapat dinikmati oleh manusia sekarang ini
(Sutardjo,1982).
Optimisme bersamaan dengan pesimisme merupakan sikap manusia masa
kini dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dengan penemuan-
penemuan spektakulernya. Di satu pihak telah meningkatkan fasilitas hidup yang
berarti menambah kenikmatan. Namun di pihak lain gejala-gejala adanya
malapetaka, bencana alam (catastrophe) menjadi semakin meningkat dengan
akibat- akibat yang cukup fatal.
Berdasarkan   gejala   yang   dihadapi   oleh   masing- masing cabang
ilmu, Auguste Comte dalam sebuah Ensiklopedi menyusun hirarki ilmu
pengetahuan dengan meletakkan matematika sebagai dasar bagi semua cabang
ilmu.  Di atas matematika secara berurutan ditunjukkan ilmu astronomi, fisika,
kimia, biologi dan fisika sosial atau sosiologi. Dia menjelaskan bahwa sampai
dengan ilmu kimia, suatu tahapan positif telah dapat dicapai, sedangkan biologi

10
dan fisika sosial masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai theologis dan metafisis.
Pemikiran Auguste Comte    tersebut hingga kini menjadi semakin aktual dan
relevan untuk mendukung sikap pandang yang meyakini bahwa masyarakat
industri sebagai tolok ukur bagi tercapainya modernisasi, maka harus disiapkan
melalui penguasaan basic science, yaitu matematika, fisika, kimia, dan biologi
dengan penyediaan dana dan fasilitas dalam skala prioritas utama (Koento
Wibisono, 1985).
Bersamaan dengan itu logico positivisme, yaitu sebuah model atau teknik
penelitian yang menggunakan presisi, verifiabilitas, konfirmasi, dan
eksperimentasi dengan derajat optimal, bermaksud agar sejauh mungkin dapat
melakukan prediksi dengan derajat ketepatan optimal pula. Dengan demikian
keberhasilan dan kebenaran ilmiah diukur secara positivistik. Dalam arti yang
benar dan yang nyata haruslah konkrit, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan.
Akibatnya adalah bahwa dimensi-dimensi kehidupan yang abstrak dan kualitatif
yang justru menjadi basis eksistensi kehidupan manusia menjadi terabaikan atau
terlepas dari pengamatan.
Kritik dan koreksi terhadap positivisme banyak dilancarkan, karena
sifatnya yang naturalistik dan deterministik. Manusia dipandang hanya
sebagaidependent variable, dan bukan sebagai independent variable. Manusia
bukan lagi pelaku utama yang menentukan, tetapi obyek yang diperlakukan oleh
ilmu dan teknologi.
Ilmu  pengetahuan dalam  perkembangannya dewasa ini beserta anak-anak
kandungnya, yaitu teknologi bukan sekedar sarana bagi kehidupan umat manusia.
IPTEK kini telah menjadi sesuatu yang substansial, bagian dari harga
diri (prestige) dan  mitos,  yang  akan  menjamin  survival suatu   bangsa,  
prasyarat   (prerequisite) untuk   mencapai kemajuan (progress) dan kedigdayaan
(power) yang dibutuhkan dalam hubungan antar sesama bangsa. Dalam
kedudukannya yang substansif tersebut, IPTEK telah menyentuh semua segi dan
sendi kehidupan secara ekstensif, dan pada gilirannya mengubah budaya manusia
secara intensif. Fenomena perubahan tersebut tercermin dalam masyarakat kita
yang dewasa ini sedang mengalami masa transisi simultan, yaitu:

11
1. Masa transisi masyarakat berbudaya agraris-tradisional menuju masyarakat
dengan budaya industri modern. Dalam masa transisi ini peran mitos mulai
diambil alih oleh logos (akal pikir). Bukan lagi melalui kekuatan kosmis yang
secara mitologis dianggap sebagai penguasa alam sekitar, melainkan sang akal
pikir dengan kekuatan penalarannya yang handal dijadikan kerangka acuan untuk
meramalkan dan mengatur kehidupan. Pandangan mengenai ruang dan waktu,
etos kerja, kaedah-kaedah normatif yang semula menjadi panutan, bergeser
mencari format baru yang dibutuhkan untuk melayani masyarakat yang
berkembang menuju masyarakat industri. Filsafat“sesama bus kota tidak boleh
saling mendahului” tidak berlaku lagi. Sekarang yang dituntut adalah prestasi,
siap pakai, keunggulan kompetitif, efisiensi dan produktif-inovatif-kreatif.
2. Masa transisi budaya etnis-kedaerahan menuju budaya nasional
kebangsaan.  Puncak-puncak kebudayaan daerah mencair secara konvergen
menuju satu kesatuan pranata kebudayaan demi tegak-kokohnya suatu negara
kebangsaan (nation state) yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke.
Penataan struktur pemerintahan, sistem pendidikan, penanaman nilai-nilai etik dan
moral secara intensif merupakan upaya serius untuk membina dan
mengembangkan jati diri sebagai satu kesatuan bangsa.
3. Masa   transisi    budaya   nasional - kebangsaan    menuju budaya
global - mondial. Visi, orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai universal
seperti hak asasi, demokrasi, keadilan, kebebasan, masalah lingkungan dilepaskan
dalam ikatan fanatisme primordial kesukuan, kebangsaan ataupun keagamaan,
kini mengendor menuju ke kesadaran mondial dalam satu kesatuan sintesis yang
lebih konkrit dalam tataran operasional. Batas-batas sempit menjadi terbuka,
eklektis, namun tetap mentoleransi adanya pluriformitas sebagaimana digerakkan
oleh paham post-modernism.
Implikasi globalisasi menunjukkan pula berkembangnya suatu standarisasi
yang sama dalam kehidupan di berbagai bidang. Negara atau pemerintahan di
manapun, terlepas dari sistem ideologi atau sistem sosial   yang   dimilikinya.  
Dipertanyakan   apakah   hak-hak asasi dihormati, apakah demokrasi
dikembangkan, apakah kebebasan dan keadilan dimiliki oleh setiap warganya,
bagaimana lingkungan hidup dikelola.

12
Nyatalah bahwa implikasi globalisasi menjadi semakin kompleks, karena  
masyarakat hidup dengan standar ganda. Di satu pihak sementara orang ingin
mempertahankan nilai-nilai budaya lama yang diimprovisasikan untuk melayani
perkembangan baru yang kemudian disebut sebagai lahirnya budaya
sandingan (sub-culture), sedang  di  lain  pihak  muncul  tindakan-tindakan yang  
bersifat   melawan   terhadap   perubahan-perubahan yang dirasakan sebagai
penyebab kegerahan dan keresahan dari mereka yang merasa dipinggirkan,
tergeser dan tergusur dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, yang disebut
sebagai budaya tandingan (counter-culture).
2.1.5 Pilar-pilar penyangga bagi eksistensi ilmu pengetahuan
Melalui teori relativitas Einstein paradigm kebenaran ilmu sekarang
sudah berubah dari paradigm lama yang dibangun oleh fisika Newton yang
ingin selalu membangun teori absolut dalam kebenaran ilmiah. Paradigma
sekarang ilmu bukan sesuatu entitas yang abadi, bahkan ilmu tidak pernah
selesai meskipun ilmu itu didasarkan pada kerangka objektif, rasional,
metodologis, sistematis, logis dan empiris. Dalam perkembangannya ilmu
tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksi. Itulah
sebabnya ilmuwan dituntut mencari alternatif-alternatif pengembangannya
melalui kajian, penelitian eksperimen, baik mengenai aspek ontologis
epistemologis, maupun ontologis. Karena setiap pengembangan ilmu paling
tidak validitas (validity) dan reliabilitas (reliability) dapat
dipertanggungjawabkan, baik berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan (context
of justification) maupun berdasarkan sistem nilai masyarakat di mana ilmu itu
ditemukan/dikembangkan (context of discovery).

Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu


pilar ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan
pilar-pilar filosofis keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan
bersifat integratif serta prerequisite/saling mempersyaratkan. Pengembangan
ilmu selalu dihadapkan pada persoalan ontologi, epistemologi dan aksiologi.

1. Pilar ontologi (ontology)

Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi).

13
a. Aspek kuantitas: Apakah yang ada itu tunggal, dual atau plural (monisme,
dualisme, pluralisme)

b. Aspek kualitas (mutu, sifat): bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu
(mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme).

Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan asumsi,


dasar-dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner dan
multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu
dan kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misal masalah krisis moneter, tidak
dapat hanya ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi menyadarkan bahwa
ada kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, maka
perlu bantuan ilmu lain seperti politik, sosiologi.

2. Pilar epistemologi (epistemology)

Selalu menyangkut problematika teentang sumber pengetahuan, sumber


kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana,
dasar-dasar kebenaran, sistem, prosedur, strategi. Pengalaman epistemologis
dapat memberikan sumbangan bagi kita:

a. Sarana legitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu.

b. Memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu.

c. Mengembangkan ketrampilan proses.

d. Mengembangkan daya kreatif dan inovatif.

3. Pilar aksiologi (axiology)

Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis, moral,


religius) dalam setiap penemuan, penerapan atau pengembangan ilmu.
Pengalaman aksiologis dapat memberikan dasar dan arah pengembangan
ilmu, mengembangkan etos keilmuan seorang profesional dan ilmuwan
(Iriyanto Widisuseno, 2009). Landasan pengembangan ilmu secara
imperative mengacu ketiga pilar filosofis keilmuan tersebut yang bersifat
integratif dan prerequisite.

14
2.1.6 Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
1. Prinsip-prinsip berpikir ilmiah

a. Objektif: Cara memandang masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor


subjektif (misal: perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otoritas).

b. Rasional: Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh
orang lain. Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan
dan otorita.

c. Logis: Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/ konsisten,


implikatif. Tidak mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap
pemikiran logis selalu rasional, begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.

d. Metodologis: Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas


dalam setiap berfikir dan bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis,
hermeneutik, intuitif).

e. Sistematis: Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan


langkah prioritas yang jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki target
dan arah tujuan yang jelas.

2.1.7 Masalah nilai dalam IPTEK


1. Keserbamajemukan ilmu pengetahuan dan persoalannya
Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi manusia dewasa ini adalah
keserbamajemukan ilmu itu sendiri. Ilmu pengetahuan tidak lagi satu, kita tidak
bisa mengatakan inilah satu-satunya ilmu pengetahuan yang dapat mengatasi
problem manusia dewasa ini. Berbeda dengan ilmu pengetahuan masa lalu lebih
menunjukkan keekaannya daripada kebhinekaannya. Seperti pada awal
perkembangan ilmu pengetahuan berada dalam kesatuan filsafat.

Proses perkembangan ini menarik perhatian karena justru bertentangan dengan


inspirasi tempat pengetahuan itu sendiri, yaitu keinginan manusia untuk
mengadakan kesatuan di dalam keserbamajemukan gejala-gejala di dunia kita ini.
Karena yakin akan kemungkinannya maka timbullah ilmu pengetahuan. Secara
metodis dan sistematis manusia mencari azas-azas sebagai dasar untuk memahami

15
hubungan antara gejala-gejala yang satu dengan yang lain sehingga bisa
ditentukan adanya keanekaan di dalam kebhinekaannya. Namun dalam
perkembangannya ilmu pengetahuan berkembang ke arah keserbamajemukan
ilmu.

a. Mengapa timbul spesialisasi?


Mengapa spesialisasi ilmu semakin meluas? Misalnya dalam ilmu
kedokteran dan ilmu alam. Makin meluasnya spesialisasi ilmu
dikarenakan ilmu dalam perjalanannya selalu mengembangkan macam
metode, objek dan tujuan. Perbedaan metode dan pengembangannya itu
perlu demi kemajuan tiap-tiap ilmu. Tidak mungkin metode dalam
ilmu alam dipakai memajukan ilmu psikologi. Kalau psikologi mau
maju dan berkembang harus mengembangkan metode, objek dan
tujuannya sendiri. Contoh ilmu yang berdekatan, biokimia dan kimia
umum keduanya memakai hukum yang dapat dikatakan sama, tetapi
seorang sarjana biokimia perlu pengetahuan susunan bekerjanya
organisme-organisme yang tidak dituntut oleh seorang ahli kimia
organik. Hal ini agar supaya biokimia semakin maju dan mendalam,
meskipun tidak diingkari antara keduanya masih mempunyai dasar-
dasar yang sama.
Spesialisasi ilmu memang harus ada di dalam satu cabang ilmu, namun
kesatuan dasar azas-azas universal harus diingat dalam rangka
spesialisasi. Spesialisasi ilmu membawa persoalan banyak bagi
ilmuwan sendiri dan masyarakat. Ada kalanya ilmu itu diterapkan dapat
memberi manfaat bagi manusia, tetapi bisa sebaliknya merugikan
manusia. Spesialisasi di samping tuntutan kemajuan ilmu juga dapat
meringankan beban manusia untuk menguasai ilmu dan mencukupi
kebutuhan hidup manusia. Seseorang tidak mungkin menjadi generalis,
yaitu menguasai dan memahami semua ilmu pengetahuan yang ada
(Sutardjo, 1982).
b) Persoalan yang timbul dalam spesialisasi
Spesialisasi mengandung segi-segi positif, namun juga dapat
menimbulkan segi negatif. Segi positif ilmuwan dapat lebih fokus dan

16
intensif dalam melakukan kajian dan pengembangan ilmunya. Segi
negatif, orang yang mempelajari ilmu spesialis merasa terasing dari
pengetahuan lainnya. Kebiasaan cara kerja fokus dan intensif membawa
dampak ilmuwan tidak mau bekerjasama dan menghargai ilmu lain.
Seorang spesialis bisa berada dalam bahaya mencabut ilmu
pengetahuannya dari rumpun keilmuannya atau bahkan dari peta ilmu,
kemudian menganggap ilmunya otonom dan paling lengkap. Para
spesialis dengan otonomi keilmuannya sehingga tidak tahu lagi dari
mana asal usulnya, sumbangan apa yang harus diberikan bagi manusia
dan ilmu-ilmu lainnya, dan sumbangan apa yang perlu diperoleh dari
ilmu-ilmu lain demi kemajuan dan kesempurnaan ilmu spesialis yang
dipelajari atau dikuasai.
Bila keterasingan yang timbul akibat spesialisasi itu hanya mengenai
ilmu pengetahuan tidak sangat berbahaya. Namun bila hal itu terjadi
pada manusianya, maka akibatnya bisa mengerikan kalau manusia
sampai terasing dari sesamanya dan bahkan dari dirinya karena
terbelenggu oleh ilmunya yang sempit. Dalam praktikpraktik ilmu
spesialis kurang memberikan orientasi yang luas terhadap kenyataan
dunia ini, apakah dunia ekonomi, politik, moral, kebudayaan, ekologi
dll.
Persoalan tersebut bukan berarti tidak terpecahkan, ada kemungkinan
merelativisir jika ada kerjasama ilmuilmu pengetahuan dan terutama di
antara ilmuwannya. Hal ini tidak akan mengurangi kekhususan tiap-tiap
ilmu pengetahuan, tetapi akan memudahkan penempatan tiaptiap ilmu
dalam satu peta ilmu pengetahuan manusia.
Keharusan kerjasama ilmu sesuai dengan sifat social manusia dan
segala kegiatannya. Kerjasama seperti itu akan membuat para ilmuwan
memiliki cakrawala pandang yang luas dalam menganalisis dan melihat
sesuatu. Banyak segi akan dipikirkan sebelum mengambil keputusan
akhir apalagi bila keputusan itu menyangkut manusia sendiri.
2. Dimensi moral dalam pengembangan dan penerapan ilmu
pengetahuan

17
Akhir-akhir ini banyak disoroti segi etis dari penerapan ilmu dan wujudnya
yang paling nyata pada jaman ini adalah teknologi, maka pertanyaan yang
muncul adalah mengapa kita mau mengaitkan soal etika dengan ilmu
pengetahuan? Mengapa ilmu pengetahuan yang makin diperkembangkan
perlu sapa menyapa dengan etika? Apakah ada ketegangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan moral?
Untuk menjelaskan permasalahan tersebut ada tiga tahap yang perlu
ditempuh. Pertama, kita melihat kompleksitas permasalahan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan manusia. Kedua,
membicarakan dimensi etis serta kriteria etis yang diambil. Ketiga, berusaha
menyoroti beberapa pertimbangan sebagai semacam usulan jalan keluar dari
permasalahan yang muncul.
a) Permasalahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Kalau perkembangan ilmu pengetahuan sungguhsungguh menepati


janji awalnya 200 tahun yang lalu, pasti orang tidak akan begitu
mempermasalahkan akibat perkembangan ilmu pengetahuan. Bila
penerapan ilmu benar-benar merupakan sarana pembebasan manusia
dari keterbelakangan yang dialami sekitar 1800-1900-an dengan
menyediakan ketrampilan ”know how” yang memungkinkan manusia
dapat mencari nafkah sendiri tanpa bergantung pada pemilik modal,
maka pendapat bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan atas
dasar patokan-patokan ilmu pengetahuan itu sendiri (secara murni)
tidak akan mendapat kritikan tajam seperti pada abad ini. Namun
dewasa ini menjadi nyata adanya keterbatasan ilmu pengetahuan itu
menghadapi masalahmasalah yang menyangkut hidup serta pribadi
manusia. Misalnya, menghadapi soal transplantasi jantung,
pencangkokan genetis, problem mati hidupnya seseorang, ilmu
pengetahuan menghadapi keterbatasannya. Ia butuh kerangka
pertimbangan nilai di luar disiplin ilmunya sendiri. Kompleksitas
permasalahan dalam pengembangan ilmu dan teknologi kini menjadi
pemikiran serius, terutama persoalan keterbatasan ilmu dan teknologi

18
dan akibatakibatnyabagi manusia. Mengapa orang kemudian berbicara
soal etika dalam ilmu pengetahuan dan teknologi?

b) Akibat teknologi pada perilaku manusia

Akibat teknologi pada perilaku manusia muncul dalam fenomen


penerapan kontrol tingkah laku (behavior control). Behaviour control
merupakan kemampuan untuk mengatur orang melaksanakan tindakan
seperti yang dikehendaki oleh si pengatur (the ability to get some one to
do one’s bidding). Pengembangan teknologi yang mengatur perilaku
manusia ini mengakibatkan munculnya masalahmasalah etis seperti
berikut.

1. Penemuan teknologi yang mengatur perilaku ini menyebabkan


kemampuan perilaku seseorang diubah dengan operasi dan manipulasi
syaraf otak melalui ”psychosurgery’s infuse” kimiawi, obat bius
tertentu. Electrical stimulation mampu merangsang secara baru bagian-
bagian penting, sehingga kelakuan bias diatur dan disusun. Kalau
begitu kebebasan bertindak manusia sebagai suatu nilai diambang
kemusnahan.

2. Makin dipacunya penyelidikan dan pemahaman mendalam tentang


kelakuan manusia, memungkinkan adanya lubang manipulasi, entah
melalui iklan atau media lain.

3. Pemahaman “njlimet” tingkah laku manusia demi tujuan ekonomis,


rayuan untuk menghirup kebutuhan baru sehingga bisa mendapat
untung lebih banyak, menyebabkan penggunaan media (radio, TV)
untuk mengatur kelakuan manusia.

4. Behaviour control memunculkan masalah etis bila kelakuan


seseorang dikontrol oleh teknologi dan bukan oleh si subjek itu sendiri.
Konflik muncul justru karena si pengatur memperbudak orang yang
dikendalikan, kebebasan bertindak si kontrol dan diarahkan menurut
kehendak si pengontrol.

19
5. Akibat teknologi pada eksistensi manusia dilontarkan oleh
Schumacher. Bagi Schumacher eksistensi sejati manusia adalah bahwa
manusia menjadi manusia justru karena ia bekerja. Pekerjaan bernilai
tinggi bagi manusia, ia adalah ciri eksistensial manusia, ciri kodrat
kemanusiaannya. Pemakaian teknologi modern condong mengasingkan
manusia dari eksistensinya sebagai pekerja, sebab di sana manusia tidak
mengalami kepuasan dalam bekerja. Pekerjaan tangan dan otak
manusia diganti dengan tenaga-tenaga mesin, hilanglah kepuasan dan
kreativitas manusia (T. Yacob, 1993).

c. Beberapa pokok nilai yang perlu diperhatikan dalam


pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Ada empat hal pokok agar ilmu pengetahuan dan teknologi


dikembangkan secara konkrit, unsur-unsur mana yang tidak boleh
dilanggar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
masyarakat agar masyarakat itu tetap manusiawi.

1. Rumusan hak azasi merupakan sarana hukum untuk menjamin


penghormatan terhadap manusia. Individu individu perlu dilindungi
dari pengaruh penindasan ilmu pengetahuan.

2. Keadilan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi sebagai hal yang
mutlak. Perkembangan teknologi sudah membawa akibat konsentrasi
kekuatan ekonomi maupun politik. Jika kita ingin memanusiawikan
pengembangan ilmu dan teknologi berarti bersedia
mendesentralisasikan monopoli pengambilan keputusan dalam bidang
politik, ekonomi. Pelaksanaan keadilan harus memberi pada setiap
individu kesempatan yang sama menggunakan hak-haknya.

3. Soal lingkungan hidup. Tidak ada seorang pun berhak


menguras/mengeksploitasi sumber-sumber alam dan manusiawi tanpa
memperhatikan akibat-akibatnya pada seluruh masyarakat. Ekologi
mengajar kita bahwa ada kaitan erat antara benda yang satu dengan
benda yang lain di alam ini.

20
4. Nilai manusia sebagai pribadi. Dalam dunia yang dikuasai teknik,
harga manusia dinilai dari tempatnya sebagai salah satu instrumen
sistem administrasi kantor tertentu. Akibatnya manusia dinilai bukan
sebagai pribadi tapi lebih dari sudut kegunaannya atau hanya dilihat
sejauh ada manfaat praktisnya bagi suatu sistem. Nilai sebagai pribadi
berdasar hubungan sosialnya, dasar kerohanian dan penghayatan hidup
sebagai manusia dikesampingkan. Bila pengembangan ilmu dan
teknologi mau manusiawi, perhatian pada nilai manusia sebagai pribadi
tidak boleh kalah oleh mesin. Hal ini penting karena sistem teknokrasi
cenderung dehumanisasi (T. Yacob, 1993).

2.1.8 Pancasila sebagai Dasar Nilai Dalam Strategi Pengembangan


ilmu pengetahuan dan Teknologi
Karena pengembangan ilmu dan teknologi hasilnya selalu bermuara
pada kehidupan manusia maka perlu mempertimbangan strategi atau cara-
cara, taktik yang tepat, baik dan benar agar pengembangan ilmu dan
teknologi memberi manfaat mensejahterakan dan memartabatkan manusia.
Dalam mempertimbangkan sebuah strategi secara imperatif kita
meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di Indonesia. Pengertian dasar nilai menggambarkan Pancasila
suatu sumber orientasi dan arah pengembangan ilmu. Dalam konteks
Pancasila sebagai dasar nilai mengandung dimensi ontologis, epistemologis
dan aksiologis. Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan sebagai upaya
manusia untuk mencari kebenaran yang tidak mengenal titik henti, atau ”an
unfinished journey”.
Ilmu tampil dalam fenomenanya sebagai masyarakat, proses dan
produk. Dimensi epistemologis, nilai-nilai Pancasila dijadikan pisau
analisis/metode berfikir dan tolok ukur kebenaran. Dimensi aksiologis,
mengandung nilai-nilai imperatif dalam mengembangkan ilmu adalah sila-
sila Pancasila sebagai satu keutuhan. Untuk itu ilmuwan dituntut memahami
Pancasila secara utuh, mendasar, dan kritis, maka diperlukan suatu situasi

21
kondusif baik struktural maupun kultural. Ilustrasinya dapat dilihat pada
bagan 2 berikut ini.
2.2 DESKRIPSI KASUS
2.2.1 Kasus Florence Sihombing
Seorang mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan untuk meraih
gelar S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi bulan-bulanan netizen
Indonesia karena statusnya di Path yang kontroversial. Dalam status terbarunya di
jejaring sosial tersebut wanita yang diketahui bernama Florence Sihombing
tersebut menuliskan, “Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman
Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja.”

Tulisan tersebut dilatarbelakangi kekesalan dia karena tidak dilayani


ketika membeli BBM di sebuah SPBU di Yogyakarta, dengan cara menyerobot
atau tidak mau antre. Tentu saja, akibat statusnya tersebut, sontak banyak orang-
orang Yogya yang tersinggung dan mencaci maki serta menjadikan wanita ini
obyek bully.

Bahkan di Facebook saja, informasi tentang status Florence ini


dikomentari sebanyak 800 kali lebih dan di-share sebanyak 500 lebih dalam
waktu hanya 2 jam saja. Tidak hanya itu saja, di Twitter dan di salah satu forum
terbesar di Indonesia, Kaskus, tidak sedikit yang membahas status arogan dari
Florence ini. Bahkan tidak sedikit yang berencana mencari wanita tersebut untuk
mempetanggungjawabkan statusnya itu. Ada yang mengusulkan untuk

22
mengusirnya dari Yogya, ada pula yang ingin dia meminta maaf ke seluruh rakyat
Yogya terutama Sultan baru dia harus keluar dari Yogya, sampai dengan rencana
ekstrem lainnya.

a. Hina Yogya

Awalnya wanita bernama Florence Sihombing mengunggah status yang menghina


Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Florence menyebut Yogya tolol dan dia
mengajak teman-temannya agar jangan tinggal di Kota Pelajar itu. Hal itu
dijadikan status akun jejaring sosial Path-nya.
“Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan
mau tinggal Jogja,”tulis Florence. Ada dua teman Florence yang mengomentari
status tersebut, Nico dan Rachel.
“Ijin repath yaaakkk,” tulis Nico berada di Jakarta Timur menurut GPS
Path.“Kenapa kak flo?” tulis Rachel dengan emoticon sedih dari Depok, Yogya
menurut GPS Path.
Kemudian Florence menjawab. “#Nico: Repath lah Nic, awas kalau enggak.
Bahahaha…
“Orang Jogja B******. Kakak mau beli Pertamax 95 mentang-mentang pake
motor harus antri di jalur mobil terus enggak dilayani. Malah disuruh antri di jalur
motor yang stuck panjangnya gak ketulungan…Diskriminasi…Emangnya aku gak
bisa bayar apa. Huh. KZL,” jawab Florence dengan emoticon sedih.

Status tersebut dicapture oleh salah satu teman Florence. Saat dicapture, status
Florence sudah dilihat 86 teman Path-nya dan ada 11 emoticon. Dari 11 emoticon
tersebut, ada yang sedih, ada yang kaget, ada yang senyum dan ada juga yang
malah tertawa.

b. Dilaporkan ke polisi

Postingan Florence Sihombing di media sosial Path tersebut ternyata berbuntut


panjang. Bukan saja mendapat kecaman dari dari berbagai orang, postingan pun
menjalar ke ranah hukum.

23
Akhirnya Florence resmi dilaporkan ke Polda DIY oleh LSM Jangan Khianati
Suara Rakyat (Jati Sura) yang didampingi oleh kantor advokat Erry Suprianto,
pada Kamis (28/8).
Menurut Ahmad Nurul Hakam yang mendampingi pelaporan kasus tersebut,
Florence dituding melanggar UU ITE No.11 tahun 2008 terkait penghinaan dan
pencemaran nama baik dan provokasi mengkampanyekan kebencian. “Karena
aturan hukum jelas, di UU ITE Nomor 11 tahun 2008, kami laporkan tentang
pasal penghinaan, pencemaran nama baik, dan provokasi mengkampanyekan
kebencian,” jelas Ahmad. Dengan pasal ancaman tersebut, Florence pun bisa
terancam hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

c. Masuk tahanan

Setelah kasus pelaporan tersebut menjalar ke ranah hukum. Pagi tadi pukul 10.30
WIB, Florence mendatangi Polda DIY untuk dimintai keterangan. Menurut
pengacara Florence, Wibowo Malik, setelah empat jam diperiksa, Florence
kemudian ditahan. “Alasan penahanannya polisi mengatakan karena Flo tidak
bersikap kooperatif, karena tidak mau menandatangani BAP,” kata Wibowo, di
polda DIY, Sabtu (30/08).

d. Minta laporan dicabut

Saat melakukan pertemuan dengan sejumlah komunitas yang melaporkan


Florence ke Polda DIY atas umpatannya di media sosial, Sabtu (30/08), Florence
kembali mengucapkan permintaan maaf atas tindakannya tersebut.
Sebelumnya permintaan maaf Florence juga pernah diungkapkannya secara
langsung oleh Florence lewat televisi dan juga akun Path miliknya. “Saya,
Florence Sihombing beserta keluarga dan teman-teman yang bersangkutan dengan
kasus ini, dengan postingan di Path saya meminta maaf terutama kepada warga
Yogya, kepada Sultan, UGM, Fakultas Hukum, Notariat dan kepada semua pihak
yang terkena imbas. Saya mohon maaf sekali,” kata Florence.
Dia juga memohon kerelaan semua pihak terutama pelapor untuk mencabut
laporan dan supaya dia tetap dapat tinggal di Yogyakarta untuk melanjutkan
studinya di UGM. “Saya mohon keringanan sedikit saja. Saya bersalah. Ini sangat

24
mengganggu dan saya tahu ini sangat mengganggu, menyakitkan orang. Saya
mohon dimaafkan dan dicabut BAP. Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi,”
ujar Florence.
Sementara itu pengacara Florence, Wibowo Malik, berharap pihak pelapor
berbaik hati untuk memaafkan dan mencabut laporan serta BAP. “Kami mohon
berikan kesempatan untuk klien kami memperbaiki diri, menjadi pribadi yang
lebih baik dan bisa menempuh masa depan lebih baik. Jangan hancurkan masa
depannya. Kami mohon dengan sangat,” ujar Wibowo.

e. Permintaan maaf ditolak

Setelah dilaporkan ke Polda DIY oleh sejumlah komunitas di Yogyakarta,


Florence bersama pengacaranya, Wibowo Malik mendapatkan undangan untuk
melakukan klarifikasi dan dipertemukan dengan pihak pelapor untuk melakukan
upaya perdamaian. Sayangnya upaya tersebut gagal.
Menurut Ryan Nugroho perwakilan dari Reptil RO Yogyakarta yang melaporkan
Florence, upaya perdamaian tersebut ditolak karena mereka menilai Florence
tidak melakukannya dengan tulus. “Kami menolak karena terlihat Florence dan
kuasa hukumnya tidak tulus, kita bisa lihat gesture tubuhnya, bagaimana dia
bicara,” kata Ryan, Sabtu (30/08).
Selain itu dalam pembicaraan mereka, Ryan menilai bahasa yang diucapkan oleh
kuasa hukum Florence tidak seperti meminta maaf tetapi menyuruh. “Bahasanya
itu seperti menyuruh kami mencabut laporan, lho kita harus tahu siapa yang salah,
bahasanya tidak seperti itu, makanya kami tidak respek,” ujarnya.
Sementara itu saat dikonfirmasi, Penasehat hukum Florence, Wibowo Malik SH,
membenarkan jika ada upaya perdamaian. Namun pihaknya menolak jika
dikatakan tidak tulus meminta maaf. “Kami sudah dengan setulus hati meminta
maaf, bahkan ketika mereka meminta permintaan maaf secara langsung, kami
lakukan itu, sebelumnya sudah lewat media pun begitu,” kata Wibowo.
Dalam perdamaian tersebut pihaknya juga merasa dijebak. Saat itu menurut
Wibowo, mereka datang untuk melakukan klarifikasi, namun pada kenyataannya
Florence langsung di periksa dan di BAP. “Undangannya klarifikasi, tapi ini tadi
malah di BAP, makanya klien kami menolak untuk menandatangani BAP,”
tegasnya.

25
Setelah Florence resmi ditahan Polda DIY, pihak Universitas Gajah Mada
akan mengupayakan perdamaian antara Florence dengan pihak pelapor. Menurut
Dekan Fakultas Hukum UGM, Paripurna, penanganan kasus Florence ini masih
bisa diselesaikan di luar jalur hukum seperti yang sekarang sedang berjalan. Kasus
ini, lanjut Paripurna, masih mungkin diselesaikan dengan pendekatan etika.
“Kasus ini dimungkinkan untuk diselesaikan di luar hukum, dengan pendekatan
etika,” kata Paripurna ,seperti dilansir merdeka.com, Minggu (31/08).
Pendekatan etika yang dimaksud yaitu dengan melakukan upaya mediasi
perdamaian antara Florence dengan pihak pelapor supaya pelapor mau mencabut
laporan. “Caranya dengan mencabut laporan, sehingga ini bisa dilakukan dengan
cara yang lebih tidak menghabiskan energi,” ujarnya.
Pihak UGM sendiri mengaku siap jika diminta untuk memfasilitasi
mediasi antara pelapor dengan Florence. “Kami siap melakukan mediasi
memfasilitasi pertemuan antara Florence dan pihak pelapor,”ujarnya.
Polisi pun bertindak cepat, usai memeriksa Florence selama empat jam,
aparat memutuskan untuk memasukkannya ke dalam rumah tahanan Polda DIY.
Alasannya, pihak pelapor tak mau mencabut laporannya.
Menanggapi hal tersebut, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar
menilai keputusan Polda DIY untuk menetapkan Florence sebagai tersangka
terlalu terburu-buru, meski sejumlah bukti otentik telah membuktikan Flo sebagai
pihak yang bersalah. “Seharusnya dicari lebih dahulu bukti yang memang
mengarah kepada dirinya (Flo), bagaimana pun, penyelidikan harus dilakukan
dengan mencari bukti, bukan langsung menetapkan sebagai tersangka,” ujar
Bambang. Selain itu, Bambang juga melihat ada pihak tertentu yang memang
menginginkan Flo masuk ke dalam jeruji besi. Seharusnya, polisi harus lebih teliti
dalam menangani setiap kasus. “Lebih baik cari tahu dulu siapa sebenarnya Flo,
apakah memang ada orang di balik kasus ini atau tidak, dan penyebab utama
kenapa dirinya melampiaskan kekesalannya itu ke media sosial, itu yang harus
dijadikan bukti dan baru kemudian bisa ditetapkan sebagai tersangka,” jelasnya.
Flo sendiri sebenarnya sudah berkali-kali Flo meminta maaf atas
perkataannya yang diunggah ke path itu, permintaan maaf tersebut
disampaikannya melalui akun path miliknya maupun televisi.

26
Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menilai kasus Florence
Sihombing, mahasiswi pascasarjana UGM, menambah daftar praktik buruk
penanganan kasus-kasus penghinaan yang dijerat dengan Undang- undang
Informasi dan Transaksi Elektronik oleh aparat penegak hukum. Kasus ini apalagi
hingga berujung penahanan dianggap menebarkan rasa takut kepada masyarakat.
“Selain menebarkan rasa takut di masyarakat, hal ini akan berpotensi
mengekang kebebasan berekspresi,” kata Ketua Divisi Pemenuhan HAM Sipil
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Alex,
dalam jumpa pres di kantor Kontras, Minggu (31/8).
Jadi, Florence akhirnya ditahan Polda DIY setelah menjalani pemeriksaan
karena laporan terkait postingannya yang dinilai menghina warga Yogyakarta,
Sabtu (30/08). Florence pun dijerat dengan undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) serta pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Menurut Kabid Humas Polda DIY, AKBP Anny Pujiastuti, Florence
secara resmi ditangkap pada 29 Agustus pukul 17.00 WIB dan kemudian resmi
ditahan pukul 17.00 WIB.
“Penangkapan terhadap Florence Sihombing berdasarkan laporan polisi
nomor LP/644/VIII/2014/DIY/SPKT tanggal 28 Agustus 2014. Setelah itu
dilakukan pemeriksaan di ditreskrimsus Polda,” kata Anny pada wartawan di
Polda DIY, Sabtu (30/08).
Pasal yang dikenakan kepada Florence dalam UU ITE yaitu pasal 27 ayat
3 jo pasal 45 ayat 1, pasal 28 ayat 2 jo pasal 45 ayat 2 UU ITE no 11 Tahun 2008.
Sementara untuk KUHP Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP.
2.3 ANALISIS KASUS
Berdasarkan kronologis kasus Florence Sihombing di atas, sudah sangat
jelas bertentangan dengan nilai nilai Pancasila., khususnya sila ke 2 yaitu
Kemanusiaan yang adil dan beradab yang artinya bahwa saudara Florence
Sihombing menunjukkan seolah olah dia adalah manusia yang tidak beradab
karena telah secara tidak langsung memprovokasi orang lain untuk membenci
yogya. Hal tersebut dibuktikan dengan perkataannya melalui status pathnya yang
tidak layak untuk dipublikasikan. Dimana dalam perkatannya itu memuat
penghinaan dan pencemaran nama baik DIY.

27
Selain dari melanggar nilai nilai Pancasila, Florence telah mempermalukan
dirinya sendiri sebagai mahasiswa S2 Fakultas Hukum UGM yaitu tidak
mengamalkan apa yang telah dipelajarinya. Karena idealnya seorang mahasiswa
hukum seharusnya mengetahui batasan batasan bagaimana cara bersosialisasi
melalui alat komunikasi terutama dalam segi bahasa yang dapat menimbulkan
undangan perkelahian ataupun kebencian untuk objek tertentu.
Kemudian Florence telah menentang UU ITE pasal 27 ayat 3 jo pasal 45
ayat 1, pasal 28 ayat 2 jo pasal 45 ayat 2 UU ITE no 11 Tahun 2008 serta
pelanggaran KUHP Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP terkait
penghinaan dan pencemaran nama baik dan provokasi mengkampanyekan
kebencian. Dengan pasal ancaman tersebut, Florence pun bisa terancam hukuman
maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Dalam penanganan kasus ini Kami rasa telah sesuai dengan prosedur dan
ketentuan yang berlaku, diawali dengan proses pemeriksaan dan diakhiri dengan
keputusan (vonis). Florence Sihombing memang pantas untuk mendapatkan
hukuman tersebut karena memang dia benar-benar bersalah, dan Polda DIY telah
melakukan tugas nya dengan baik dan tegas dalam menghadapi kasus ini. Hal
tersebut telah sangat tepat dilakukan, agar menimbulkan efek jera untuk pengguna
media sosial, untuk senantiasa berhati-hati dalam mengunggah status di medsos.
Solusi agar kejadian ini tidak terulang, sebenarnya harus dikembalikan ke
fungsi awal tujuan pengembangan Pancasila di bidang IPTEK itu untuk
mensejahterakan kehidupan bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan
kesadaran tersebut maka akan tertanam di hati setiap orang untuk senantiasa
memperhatikan etika dalam bergaul di media sosial. Jika hal tersebut tidak dijiwai
dengan penerapan nilai-nilai pancasila, maka kasus ini akan selalu terulang
kembali, karena ini berkaitan dengan kesadaran pribadi.
Seorang Mahasiswa S2 Fakultas Hukum, tidak menjamin memiliki etika
dan aqidah yang baik dalam bersosial dan bernegara, buktinya kasus ini
menunjukkan dan membuktikan akan statement tersebut. Ini disebabkan karena
dia belum menjiwai sepenuhnya fungsi dari adanya IPTEK yang sesungguhnya.
Tidak hanya Florence Sihombing, tapi hampir 75% bangsa Indonesia menganggap

28
bahwa adanya IPTEK itu untuk kepentingan dirinya saja, sehingga tidak
memperhatikan faktor eksternal lainnya.
Jadi, masalah Kasus Media Sosial tidak akan pernah bisa diselesaikan,
apabila tidak ada rasa sadar dari masing-masing pribadi terkait dengan fungsi
Pancasila sebagai Nilai Dasar Pengembangan Pengetahuan itu untuk menciptakan
suatu keadilan dan mengikuti perkembangan zaman, agar Bangsa Indonesia tidak
terbelakang. Karena tujuan dari Bangsa Indonesia sendiri adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Ketika seseorang sudah menyadari fungsi tersebut maka, kasus
ini tidak akan pernah terulang kembali.
Keberadaan orang tua dalam orang tua memiliki arti yang sangat penting
bagi kelangsungan hidup dan kesinambungan bagi perkembangan anak-anaknya.
Dalam orang tua agama Islam telah memberikan kekuasaan pada orang tua
supaya ia dapat memelihara keturunan atau anak-anaknya dengan cara tidak hanya
memenuhi kebutuhan anak secara jasmani saja, seperti makan, minum, pakaian
tetapi orang tua harus dapat memberikan atau memenuhi kebutuhan anak-anaknya
yang bersifat rohani, seperti halnya pendidikan.
Tugas dan kewajiban orang tua dalam membimbing anak-anaknya,
mendidik serta mengayomi yang kesemuanya itu akan membentuk karakter anak.
Selain anugerah anak diberikan pada orang tua sebagai amanah untuk dipelihara,
dididik dan dibina agar berkualitas dan tangguh.
Setiap orang tua harus menyadari amanah yang diberikan Allah SWT,
karena orang tualah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anakanaknya.
Jika orang tua tidak memiliki kemampuan untuk mendidik, tanggung jawab
memang dapat di bagi kepada guru, disekolah ataupun -kepada lembaga-lembaga
diluar sekolah. Setiap orang tua dalam menjalankan kehidupan berumah tangga
tentunya memiliki tugas dan peran yang sangat penting, adapun tugas dan peran
orang tua terhadap anaknya dapat dikemukakan sebagi berikut:
1. Mengasuh,
2. Membesarkan,
3. Mengarahkan menuju kepada kedewasaan serta menanamkan
norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku.

29
Di samping itu juga harus mengembangkan potensi yang ada pada diri
anak,memberi teladan dan mampu mengembangkan pertumbuhan pribadi dengan
penuh tanggung jawab dan penuh kasih sayang. Anak-anak yang tumbuh dengan
berbagai bakat dan kecendrungan masing-masing adalah karunia yang sangat
berharga, yang digambarkan sebagai perhiasan dunia.
Orang tua dalam hal ini mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk
menentukan hari depan anaknya. Secara fisik supaya anak-anaknya bertumbuh
sehat dan berpostur tubuh yang lebih baik, maka anak-anak harus diberi makanan
yang bergizi dan seimbang. Secara mental anak-anak bertumbuh cerdas dan
cemerlang, maka selain kelengkapan gizi perlu juga diberi motivasi belajar
disertai sarana dan prasarana yang memadai. Sedangkan secara sosial supaya
anak-anak dapat mengembangkan jiwa dan budi pekerti yang baik mereka harus
diberi peluang untuk bergaul mengaktualisasikan diri, memupuk kepercayaan diri
seluas-luasnya. Orang tua yang tidak memperdulikan anak-anaknya, orang tua
yang tidak memenuhi tugas-tugasnya sebagai ayah dan ibu, karena akan sangat
berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup anak-anaknya. Terutama peran
seorang ayah dan ibu adalah memberikan pendidikan dan perhatian terhadap
anak-anaknya. Sebagaimana dikemukakan, “perkembangan jiwa dan sosial anak
yang kadang-kadang berlangsung kurang mantap akibat orang tua tidak berperan
selayaknya”.

30
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan
1. Pancasila penggunaannya sangat vital bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan.
Karena Pancasila menjadi sebuah acuan untuk memfilter pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Di Indonesia penggunaan Pancasila sebagai
pengembangan Ilmu dan Pengetahuan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang,
meliputi dari aspek sosial,budaya,hingga ekonomi. Ketika Pancasila berperan
sebagai aspek social,Pancasila berperan sebagai upaya untuk menyelaraskan
kearifan lokal. Dari segi budaya, Pancasila berperan untuk mengontrol dan
mengendalikan kemajuan IPTEK yang berpengaruh pada cara berpikir dan
bertindak masyarakat yang cenderung pragmatis. Dari segi ekonomi, Pancasila
berperan sebagai upaya untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia.
2. Penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai nilai dasar pengembangan ilmu masih
banyak penyimpangan dan tidak digunakan dengan selayaknya. Salah satu
contohnya yaitu penyalahgunaan media sosial.

3. Tujuan pengembangan Pancasila di bidang IPTEK itu untuk mensejahterakan


kehidupan bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kesadaran
tersebut maka akan tertanam di hati setiap orang untuk senantiasa memperhatikan
etika dalam bergaul di media sosial. Jika hal tersebut tidak dijiwai dengan
penerapan nilai-nilai pancasila, maka kasus ini akan selalu terulang kembali,
karena ini berkaitan dengan kesadaran pribadi.

4. Keberadaan orang tua dalam orang tua memiliki arti yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup dan kesinambungan bagi perkembangan anak-anaknya.
Dalam orang tua agama Islam telah memberikan kekuasaan pada orang tua
supaya ia dapat memelihara keturunan atau anak-anaknya dengan cara tidak hanya
memenuhi kebutuhan anak secara jasmani saja, seperti makan, minum, pakaian
tetapi orang tua harus dapat memberikan atau memenuhi kebutuhan anak-anaknya
yang bersifat rohani, seperti halnya pendidikan. Sebagaimana dikemukakan,
“Perkembangan jiwa dan sosial anak yang kadang-kadang berlangsung kurang
mantap akibat orang tua tidak berperan selayaknya”.

31
3.2 Saran
1. Sebagai warga Negara Indonesia yang baik kita harus bisa memilih mana yang
baik dan mana yang tidak baik. Kita juga harus bisa menerapkan nilai nilai
Pancasila di kehidupan sehari hari khususnya dalam perkembangan ilmu, dimana
hal tersebut harus digunakan sebijak-bijaknya. Dan kita harus bisa mengamalkan
nilai Pancasila dimana pun kita berada seperti kata Presiden Soeharto “Pancasila
sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan
dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan
Pancasila harus diamalkan.”

2. Tindakan Pemerintah terhadap Penyalahgunaan Media Sosial diharapkan untuk


lebih tegas lagi dalam mengatur tata perundang-undangan yang berlaku.
Contohnya membuat Undang-Undang tentang Sanksi yang diberikan untuk
pengguna media sosial yang berkata kasar, menghina, baik itu antar sesama
teman, atau pun terhadap suatu tempat. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan
efek jera bagi para pelaku.

32
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, 2016, Pendidikan Pancasila. Paradigma : Yogyakarta

Modul Materi Mata Kuliah Pendidikan Pancasila

http://septianludy.blogspot.co.id/2014/07/pancasila-sebagai-dasar-pengembangan.html

Diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 (12:21)

https://masshar2000.com/2014/08/31/detail-lengkap-awal-kasus-florence-sihombing-
si-ratu-spbu/

Diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 (12:42)

https://masshar2000.com/2014/08/31/perkembangan-kasus-florence-sihombing-
akhirnya-resmi-ditahan/

Diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 (12:50)

https://masshar2000.com/2014/09/08/florence-sihombing-si-ratu-spbu-akhirnya-di-
skors-satu-semester/

Diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 (13.00)

https://www.kaskus.co.id/thread/53fe9876148b461f1f8b456a/sekolah-tinggi2-di-jogja-
tapi-mulut-gak-berbudaya-njaluk-dipiyekke-iki/

Diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 (13.55)

37

Anda mungkin juga menyukai