Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

EKONOMI MONETER

Disusun Oleh:
Nama: Nirwan
Nim : 001205182019

PROGRAM PASCASERJANA ILMU EKONOMI


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
1. MATA UANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
 Sejarah Rupiah sebelum kemerdekaan RI
Mata uang Rupiah bukanlah satu-satunya mata uang yang pernah berlaku di
Indonesia. Kerajaan-kerajaan Mataram Lama, Sriwijaya, dan Majapahit telah mengenal
dan menggunakan berbagai tipe "uang" yang umumnya berupa logam. Setelah
kedatangan penjajah di Indonesia pun, Indonesia telah mengenal berbagai macam mata
uang, termasuk Sen dan Gulden yang diterbitkan oleh De Javasche Bank khusus untuk
dipergunakan di Hindia Belanda (Indonesia saat itu).

Uang 10 Gulden Hindia Belanda Yang Diterbitkan De Javasche Bank tahun 1938
Setelah tentara Jepang mengambil alih menduduki Indonesia tahun 1942,
pemerintah Jepang di Indonesia berusaha menarik mata uang terbitan Belanda tersebut
dari peredaran dan menyusun bank Nanpo Kaihatsu Ginko yang mencetak uang mereka
sendiri, walaupun masih dalam bahasa Belanda, yang disebut "Gulden Hindia Belanda".

Uang Satu Gulden Hindia Belanda Yang Diterbitkan De Javasche Bank


Menjelang akhir pendudukan Jepang, sebagai bagian dari upaya menarik hati
masyarakat Indonesia, Jepang mencetak lagi uang baru berbahasa Indonesia yang
dinamakan "Rupiah Hindia Belanda". Namun karena situasi ekonomi dan politik saat itu
yang kacau, maka baik uang Gulden terbitan pemerintah Hindia Belanda, Gulden terbitan
Jepang, maupun Rupiah Hindia Belanda, semuanya masih digunakan oleh masyarakat
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kondisi semakin parah setelah tentara Sekutu
mendarat di Indonesia dan berusaha menduduki Indonesia kembali. Tentara Sekutu yang
juga dikenal sebagai Netherlands Indies Civil Administration (NICA) menarik Gulden
Hindia Belanda yang dicetak sebelum pendudukan Jepang dan mulai menerbitkan
uangnya sendiri di Indonesia Timur yang banyak disebut sebagai "Gulden NICA" atau
uang NICA.
Uang NICA 5 Rupiah Terbitan Tahun 1943, Tampak Depan dan Belakang
Perhatikan bahwa Uang NICA terbitan tahun 1943 tersebut menampilkan gambar
Ratu Wilhelmina, (Kepala Negara Belanda saat itu), lambang kerajaannya, serta dicetak
dalam bahasa Belanda. Karena karakter uang yang demikian, maka para pejuang
kemerdekaan menolak uang tersebut. Ketika uang NICA itu mulai masuk ke wilayah
pulau Jawa, Bung Karno segera mendeklarasikan bahwa uang NICA itu ilegal. Uang
terbitan Jepang pun saat itu masih jadi pilihan alat pembayaran untuk digunakan di Jawa
dan Sumatera. Akibat Uang NICA tersebut, pemerintah Indonesia yang baru lahir berkat
proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 mulai mengambil langkah-langkah untuk
menerbitkan uang sendiri. Masalahnya, sumber daya yang dibutuhkan untuk mencetak
uang tidaklah kecil. Selain itu, tentara Sekutu berusaha menyerang pabrik percetakannya
guna mencegah penerbitan uang tersebut.
 Oeang Republik Indonesia

Setelah melampaui perjuangan berat, pemerintah Indonesia akhirnya berhasil


merilis uang pertamanya pada 3 Oktober 1946, dikenal juga sebagai "Oeang Republik
Indonesia", atau ORI. Saat itu dideklarasikan bahwa semua uang terbitan Jepang harus
ditukar dengan ORI hingga tanggal 30 Oktober di tahun yang sama. Standar nilai
tukarnya ditetapkan dengan patokan 50 Rupiah Hindia Belanda = 1 ORI. Pemerintah juga
menyatakan bahwa satu ORI memiliki nilai setara dengan 0.5 gram Emas. Rupiah Hindia
Belanda yang masih beredar setelah bulan Oktober dinyatakan tidak berlaku lagi.

Satu Rupiah ORI Bergambar Bung Karno dan Gunung Meletus, Tampak Depan dan
Belakang
Setelah penerbitan ORI, maka mata uang yang resmi menjadi alat pembayaran di
Nusantara ada dua, yaitu uang NICA dan uang ORI. Namun demikian, di lokasi-lokasi
tertentu yang relatif sulit dijangkau, uang Jepang masih cukup banyak digunakan. Oleh
karena jangkauan pemerintah yang baru juga terbatas, maka pemerintah Indonesia
mengijinkan daerah-daerah tertentu untuk menerbitkan uangnya sendiri. Uang-uang
tersebut nantinya dapat ditukarkan dengan uang ORI setelah situasi dan kondisi
memungkinkan. Namun ORI saat itu sudah mulai bermasalah karena finansial yang
buruk membuat pemerintah Indonesia yang baru mencetak semakin banyak uang guna
menambah isi kas negara. Suplai uang yang terlalu banyak berakibat pada inflasi yang
merajalela dan merosotnya nilai tukar ORI dari 5 Gulden NICA pada awal penerbitannya
ke 0.3 Gulden NICA pada bulan Maret 1947.  Pada bulan November 1949, Konferensi
Meja Bundar mengakui kemerdekaan Indonesia dalam kerangka Republik Indonesia
Serikat (RIS) yang terdiri atas Indonesia yang meliputi Jawa dan Sumatera, beserta 15
negara kecil lainnya di Nusantara. Pada periode ini, RIS menyadari bahwa berbagai
macam mata uang yang beredar di masyarakat mengacaukan perekonomian. Betapa
tidak, saat itu ada ORI, uang NICA, uang Jepang, uang Belanda sebelum pendudukan
Jepang, juga uang yang diterbitkan oleh daerah-daerah tertentu secara terpisah. RIS
berusaha mengontrol kondisi ini dengan mengumumkan pelaksanaan Gunting Syafruddin
pada 19 Maret 1950. Selain itu, RIS juga sempat mencetak uang sendiri, tetapi
pendeklarasian formal kemerdekaan Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1950 membuat uang RIS jadi berumur pendek.

Uang Lima Rupiah Yang Diterbitkan Oleh Republik Indonesia Serikat

 Sejarah rupiah setelah kelahiran bank Indonesia

Setelah kelahiran NKRI, Pemerintah berupaya untuk menghapuskan pengaruh


Belanda dalam sistem keuangan Indonesia. Upaya pertama yang dilakukan adalah dengan
menggantikan mata uang terbitan Belanda berdenominasi rendah dengan koin Rupiah
pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 sen, serta penerbitan uang kertas 1 dan 2 1/2 Rupiah

Koin 25 Sen Emisi Tahun 1952, Tampak Depan Dan Belakang


Selanjutnya, Pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank yang merupakan
bank sentral RIS menjadi Bank Indonesia. Di tahun 1952-1953, Bank Indonesia mulai
merilis uang kertas baru, mulai dari 1 Rupiah hingga 100 Rupiah. Ini menandai periode
baru dalam sejarah Rupiah, dimana penerbitan dan peredaran uang kertas Rupiah kini
menjadi tugas Bank Indonesia, sedangkan uang koin masih ditangani oleh Pemerintah
secara terpisah

Uang Satu Rupiah Emisi Tahun 1953, Salah Satu Pecahan Yang Diterbitkan Setelah
Nasionalisasi De Javasche Bank

Sayangnya, perilisan uang baru Bank Indonesia tidak mampu menyelesaikan


keruwetan perekonomian Indonesia. Inflasi terus membubung tinggi dan nilai tukar
Rupiah pun merosot dengan cepat. Pada Maret 1950, nilai tukar Rupiah adalah 1.60 per
Dolar AS, namun dalam waktu kurang dari sepuluh tahun sudah naik ribuan persen
menjadi 90 per Dolar AS pada Desember 1958. Kondisi ekonomi tersebut mendorong
Pemerintah Indonesia untuk mendevaluasi Rupiah pada tahun 1959. Upaya tersebut lagi-
lagi gagal, dan Rupiah kembali di-devaluasi beberapa tahun kemudian. Namun Rupiah
masih tak terkendali, hingga pemerintahan Orde Baru dibawah presiden Suharto berhasil
menstabilkan nilainya.

Uang 10000 Rupiah, Salah Satu Pecahan yang Diterbitkan Bank Indonesia Pada Masa
Orde Baru

Mulai masa Orde Baru, Bank Indonesia diberi kewenangan untuk mencetak dan
menerbitkan uang, baik dalam bentuk koin maupun uang kertas, serta mengatur
peredarannya di Indonesia. Hal ini terus berlanjut hingga pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang yang mendorong penerbitan uang NKRI pada
tanggal 17 Agustus lalu. Sementara itu, uang-uang lama yang pernah beredar lainnya saat
ini umumnya diperjualbelikan secara eksklusif diantara kolektor uang lama. Lembaran
uang 10000 Rupiah bergambar relief Candi Borobudur diatas, misalnya, bisa
diperdagangkan dengan harga sangat mahal di tangan kolektor karena nilai sejarahnya
serta keunikan gambarnya
2. ATURAN PERBANKKAN DARI ZAMAN SOEKARNO-JOKO WIDODO

 Zaman Soekarno (Orde Lama)


Situasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, membawa angin segar bagi bangsa
Indonesia untuk menggerakkan roda perbankan dengan melakukan nasionalisasi terhadap
perbankan-perbankan yang ada, dengan berhasilnya sekutu mengalahkan imperialisme
Jepang mengembalikan bank-bank Belanda dan Bank-Bank Asing muncul kembali dan
lembaga-lembaga perbankan lainnya, Izin pembukaan bank Belanda di wilayah Indonesia
dikeluarkan pada tanggal 2 Januari 1946 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Bank-
bank Belanda pun kembali beroperasi di beberapa wilayah Indonesia. Kebijakan yang
cukup berpengaruh dalam perkembangan perbankan di awal kemerdekaan ini yaitu
nasionalisasi De Javasche Bank.
De Javasch Bank setelah Indonesia merdeka beroperasi kembali bahkan selama
beberapa tahun berfungsi lagi sebagai Bank Sentral meskipun berkedudukan sebagai
badan usaha swasta dan sebagian sahamnya ada di tangan asing. Mengingat hal-hal
demikian dilakukanlah nasionalisasi De Javasche Bank melalui Undang-Undang Nomor
24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank. Selanjutnya pada tahun 1953
dengan pertimbangan guna lebih memberikan kemudahan menjalankan kebijakan
moneter dan kebijakan perekonomian maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia dan yang lebih dikenal
dengan nama Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953. Hal tersebut dilakukan
mengingat De Javasche Bank meskipun telah di nasionalisasi kedudukannya masih
berbadan hukum sebagai Perseroan Terbatas, jadi masih belum leluasa dalam
menerapkan kebijakan moneternya. Sesuai dengan UU tersebut, BI sebagai bank sentral
bertugas untuk mengawasi bank-bank. Namun demikian, aturan pelaksanaan ketentuan
pengawasan tersebut baru ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/1955 yang
menyatakan bahwa BI, atas nama Dewan Moneter, melakukan pengawasan bank
terhadap semua bank yang beroperasi di Indonesia, guna kepentingan solvabilitas dan
likuiditas badan-badan kredit tersebut dan pemberian kredit secara sehat yang
berdasarkan asas-asas kebijakan bank yang tepat. Dari pengawasan dan pemeriksaan BI,
terungkap berbagai praktik yang tidak wajar yang dilakukan, seperti penyetoran modal
fiktif atau bahkan praktik bank dalam bank. Untuk mengatasi kondisi perbankan itu,
dikeluarkan Keputusan Dewan Moneter No. 25/1957 yang melarang bank- bank untuk
melakukan kegiatan di luar kegiatan perbankan.
Pada periode setelah kemerdekaan RI, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1
tahun 1946 Pasal 1 disebutkan bahwa BRI adalah sebagai Bank Pemerintah pertama di
Republik Indonesia. Adanya situasi perang mempertahankan kemerdekaan pada tahun
1948, kegiatan BRI sempat terhenti untuk sementara waktu dan baru mulai aktif kembali
setelah perjanjian Renville pada tahun 1949 dengan berubah nama menjadi Bank Rakyat
Indonesia Serikat. Pada waktu itu melalui PERPU No. 41 tahun 1960 dibentuk Bank
Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) yang merupakan peleburan dari BRI, Bank Tani
Nelayan dan Nederlandsche Maatschappij (NHM). Kemudian berdasarkan Penetapan
Presiden (Penpres) No. 9 tahun 1965, BKTN diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia
dengan nama Bank Indonesia Urusan Koperasi Tani dan Nelayan. Setelah berjalan
selama satu bulan keluar Penpres No. 17 tahun 1965 tentang pembentukan Bank tunggal
dengan nama Bank Negara Indonesia. Dalam ketentuan baru itu, Bank Indonesia Urusan
Koperasi, Tani dan Nelayan (eks BKTN) diintegrasikan dengan nama Bank Negara
Indonesia unit II bidang Rural, sedangkan NHM menjadi Bank Negara Indonesia unit II
bidang Ekspor Impor (Exim). Berdasarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1967 tentang
Undang- undang Pokok Perbankan dan Undang-undang No. 13 tahun 1968 tentang
Undang-undang Bank Sentral, yang intinya mengembalikan fungsi Bank Indonesia
sebagai Bank Sentral dan Bank Negara Indonesia Unit II Bidang Rular dan Ekspor Impor
dipisahkan masing-masing menjadi dua Bank yaitu Bank Rakyat Indonesia dan Bank
Ekspor Impor Indonesia. Selanjutnya berdasarkan Undang-undang No. 21 tahun 1968
menetapkan kembali tugas- tugas pokok BRI sebagai Bank Umum.
Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953, Setelah dikeluarkannya Undang-
undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953, Bank Indonesia sebagai lembaga yang sangat
berkepentingan dengan lahirnya ketentuan tentang pengawasan bank telah melakukan
penelitian dan pengkajian atas ketentuan serupa yang berlaku di berbagai negara,
terutama negeri Belanda. Agar supaya jumlah bank-bank swasta tidak bertambah terus
menerus dengan tidak diawasi, maka mulai tanggal 1 Januari 1955 dinyatakan berlakunya
Peraturan Pemerintah No. 1, untuk mengatur pengawasan atas kredit di Indonesia. PP ini
mengatur tentang pengawasan terhadap semua bank umum dan bank tabungan yang
beroperasi di Indonesia oleh Bank Indonesia atas nama Dewan Moneter guna
kepentingan solvabiltas dan likuiditas bank-bank dan guna kepentingan pemberian kredit
secara sehat dan berdasarkan asas-asas kebijaksanaan bank yang tepat. Setelah
dikeluarkannya PP No.1 Tahun 1955, bank-bank swasta nasional yang telah ada dalam
waktu tiga bulan wajib mengajukan permohonan izin usaha kepada Menteri Keuangan
melalui Bank Indonesia. Bila syarat-syarat untuk memperoleh izin belum dipenuhi, maka
Menteri Keuangan akan memberikan izin sementara. Menteri Keuangan memberikan izin
tetap atas rekomendasi Bank Indonesia.
 Zaman Soeharto (orde baru)
Langkah selanjutnya untuk perbaikan perbankan pada pemerintahan Orde Baru
dimulai dengan memperkuat perundang-undangan yang mengatur perbankan baik berupa
penggantian maupun membuat undang-undang yang baru, misalnya membuat peraturan
yang baru berupa Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok
Perbankan, sedangkan yang berupa penggantian peraturan yang lama, yaitu berupa
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, guna mengganti Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok-pokok Bank Indonesia. Perbaikan
kelembagaan perbankan dengan memperkuat landasan hukumnya, adalah suatu pilar bagi
terselenggaranya pembinaan, dan pengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan
perbankan dalam menjalankan fungsinya secara sehat, wajar, efisien, sekaligus
memungkinkan perbankan Indonesia melakukan penyesuaian yang diperlukan sejalan
dengan berkembangnya norma-norma perbankan internasional. Sebagai langkah awal
perbaikan ekonomi nasional, pemerintah Orde Baru melalui Undang-undang Nomor 14
Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan ingin secara jelas mengatur usaha
perbankan termasuk masalah perkreditan sehingga kesalahan pengelolaan , seperti
ekspansi kredit yang tak terkendali dapat dihindari. Di samping itu untuk meningkatkan
efektivitas, dan efisiensi penghimpunan dan penggunaan dana masyarakat. Selain itu pula
dibuka lagi kesempatan untuk pendirian bank asing, yaitu melalui ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1968 tentang Bank Asing.
Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang
berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992
dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi
perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. UU Perbankan 1992
juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan
pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan
bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian
kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga
memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap perbankan.
Untuk memberikan landasan hukum yang lebih kuat atas prinsip-prinsip
deregulasi yang terkandung dalam paket-paket kebijakan yang telah dikeluarkan sejak
tahun 1983, Undang- undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ditetapkan pada
tanggal 25 Maret 1992. Berdasarkan Undang- undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur
kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan
perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan
memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para
pelakunya, dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-
bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah),
serta sanksi-sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan
perbankan.

Aturan Kegiatan
Paket Juni Inilah langkah penting deregulasi sektor
1983 perbankan di Indonesia. Di dalam Paket Juni
(Pakjun) 1983 itu diberikan kemudahan bagi
bank untuk menentukan sendiri suku bunga
deposito dan dihapuskannya campur tangan
Bank Indonesia terhadap bank dalam
penyaluran kredit. Deregulasi pertama itu
juga memperkenalkan adanya Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat
Berharga Pasar Uang (SBPU). Pakjun
tersebut bertujuan merangsang pertumbuhan
perbankan Indonesia. Langkah itu berhasil
"menarik" dana masyarakat ke bank secara
drastis.
Paket 27 Paket itu adalah aturan paling liberal
Oktober 1988 sepanjang sejarah perbankan Indonesia.
Hanya dengan modal Rp 10 milyar, siapa
saja bisa mendirikan bank baru. Paket
Oktober 1988 (Pakto 88) dianggap telah
banyak mengubah kehidupan perbankan
nasional. Keberhasilan itu dinyatakan dalam
angka-angka absolut seperti pada jumlah
bank, kantor cabang, jumlah dana yang
dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan,
tenaga kerja yang mampu dipekerjakan, serta
volume usaha dalam bentuk aset dan hasil-
hasilnya. Secara kualitas keberhasilan
tampak pada peningkatan sumber daya
manusia yang lebih profesional, mutu
pelayanan perbankan yang lebih baik,
penggunaan perangkat keras dan lunak yang
super canggih, juga komunikasi antar pelaku
perbankan yang tidak terlalu birokratis.
Paket Pebruari Untuk mengkoreksi akibat buruk Pakto 88,
1991 pemerintah meluncurkan Paktri yang keluar
tanggal 28 Pebruari 1991. Yang utama diatur
adalah syarat bahwa modal sendiri bank
haruslah sebesar 8 % dari seluruh aset.
Ketentuan yang lazim disebut CAR
(capital adequacy ratio atau
perbandingan antara

Aturan Kegiatan
modal sendiri dengan aset) sebesar 8 persen
mengharuskan bank-bank memperkuat
modalnya sendiri. Ketika itu disebut-sebut
bahwa banyak bank yang CAR-nya hanya
sekitar 5 persen saja. Terbitnya paket itu ditandai
dengan berbagai kejadian pahit di dunia
perbankan Indonesia. Misalnya tragedi Bank
Duta yang kolaps gara-gara permainan valuta
asing, juga ambruknya Bank Umum Majapahit.
UU Perbankan Undang Undang itu lahir pada tanggal 25 Maret
Nomor 7 tahun 1992 guna menyempurnakan UU nomor 14
1992 tahun 1967. Inti aturan itu adalah meniadakan
pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan –
misalnya pemilikan bank oleh pemerintah,
swasta dan daerah. Dalam hal pendirian bank
baru, UU tersebut mengatur berbagai syarat
seperti susunan organisasi, permodalan,
kepemilikan, keahlian di bidang perbankan,
kelayakan kerja dan lain-lainnya. Syarat itu
ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan
pertimbangan Bank Indonesia.
Peraturan Melalui Peraturan Pemerintah itu, pemerintah
Pemerintah menaikkan modal minimum pendirian bank, dari
Nomor 70 Rp 10 milyar menjadi Rp 50 Milyar. Langkah itu
Tahun jelas dimaksudkan untuk mengendalikan
1992 pertumbuhan bank yang nyaris tak terkendali.
Pada tahun 1992 tercatat ada bank 17 ribu bank,
8400 di antaranya adalah BPR (bank perkreditan
rakyat). Ada sekitar 100 nama baru pemilik
bank. Kelihatannya, banyak dana-dana luar
negeri yang masuk lewat pasar modal, yang
dipakai untuk mendirikan bank di Indonesia.
Paket Mei 1993 Paktri dinilai kelewat "menekan" dunia
perbankan. Untuk mengimbanginya,
dikeluarkanlah Pakmei yang intinya
melonggarkan aturan soal CAR (capital
adequacy ratio) sebesar delapan persen. Antara
lain, bank boleh memasukkan seluruh laba tahun
sebelumnya dalam komponen modal sendiri.
Aturan sebelumnya, hanya 50 persen saja dari
laba tahun lalu
yang boleh dimasukkan dalam komponen
modal

Aturan Kegiatan
sendiri. Soal penyaluran kredit juga diatur.
Antara lain, pemberian kredit oleh bank bagi
grup usahanya diturunkan dari 50 persen
menjadi hanya 20 persen dari total kredit yang
disalurkan. Ketentuan lain, cadangan minimum
turun dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari
aktiva lancar. Pelonggaran itu jelas menaikkan
kapasitas pemberian kredit. Penyaluran kredit
kecil juga diatur. Pakmei memberikan kebebasan
bagi bank untuk memberikan kredit kecil
maksimal Rp 25 juta tanpa melihat
penggunaannya. Menurut Trenggono, Ketua
Perbanas ketika itu, hal tersebut akan mendorong
kredit konsumsi yang berlebih.
Paket Juli 1997 Sepekan sebelum pertemuan Consultative Group
on Indonesia (CGI) di Tokyo, pemerintah
mengeluarkan Paket Tujuh Juli (Pakjul). Di
bidang moneter, paket itu menentukan
pembatasan pemberian kredit kredit oleh bank
umum kepada perusahaan pengembang properti.
Hal tersebut dilakukan karena kredit macet
bidang properti sudah kelewat tinggi.
Bayangkan, pertumbuhan kredit secara umum
antara 23-24 persen, sedang pertumbuhan kredit
properti 35 persen. Sebelum Pakjul, tepatnya 16
April, Bank Indonesia membuat penentuan
tentang reserve requirement (cadangan wajib
minimum bagi perbankan) dari 3 persen menjadi
5 persen. Pada bulan September keluar kebijakan
penundaan terhadap mega proyek. Langkah itu
diharapkan mampu mengurangi impor barang
oleh pihak swasta. Seperti diketahui, di tengah
lilitan kredit macet, bank-
bank masih punya beban untuk menanggung
proyek- proyek swasta dengan dana raksasa.
Pengumuman Pengumuman tersebut merupakan puncak
Pemerintah 1 tragedi di sektor perbankan. Likuidasi serempak
November 1997 terhadap 16 bank telah menjawab rumor yang
sejak lama beredar di Jakarta. Sejumlah bank
lain akan melakukan merger. Pertanyaan
selanjutnya, apakah benar
pernyataan BI bahwa tak akan ada lagi bank
yang dilikuidasi.

 Masa Reformasi (BJ Habibie, Abdulrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang


Yodhoyono, dan Joko widodo)
Setelah terjadinya krisis ekonomi yang diikuti dengan tumbangnya pemerintahan
orde baru, maka sistem perbankan mulai mengkaji kelonggaran sistem perbankan
sebelumnya dengan melakukan pengawasan ketat yang juga melibatkan penyandang dana
dari IMF (International Monetary Fund), sehingga dibentuklah BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998
tentang Pembentukan BPPN. Lembaga ini dibentuk dengan tugas pokok untuk
penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian
uang negara yang tersalur pada sektor perbankan.
Karena kinerjanya yang dinilai kurang memuaskan, pada masa pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri, lembaga ini dibubarkan pada 27 Februari2004
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan
Pembubaran BPPN. Tak hanya itu, Presiden Megawati Soekarnoputri juga menunjuk
Menteri Keuangan Boediono sebagai Ketua Tim Pemberesan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional melalui Keppres Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim
Pemberesan BPPN. Keppress ini merupakan satu dari sejumlah landasan hukum yang
dikeluarkan presiden berkaitan dengan pembubaran BPPN. Perusahaan Pengelola Aset
(Persero) (“PPA”) didirikan Pemerintah pada 27 Februari 2004 melalui Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 2004 untuk melaksanakan pengelolaan aset eks Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (“BPPN”) yang tidak berperkara hukum. Dalam
melaksanakan tugas pengelolaan dimaksud, Menteri Keuangan RI dan Direktur Utama
PPA menandatangani Perjanjian Pengelolaan Aset tanggal 24 Maret 2004 untuk jangka
waktu lima tahun dan untuk selanjutnya dapat diperpanjang masing- masing untuk jangka
waktu satu tahunan. Melalui Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2008 tanggal 4
September 2008. Sesuai dengan amanat UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan mengawasi perbankan.
Ruang lingkup tugas ini meliputi menetapkan peraturan, memberikan dan
mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan
pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Selain Bank Indonesia, terdapat pula beberapa
lembaga yang mengawasi bank namun dengan lingkup yang terbatas, yaitu:
1 Badan Pemeriksa Keuangan memiliki tugas untuk mengawasi bank-bank milik
pemerintah.
2 Bapepam berwenang untuk mengawasi bank-bank yang sudah go public.
3 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dibentuk pada tahun
2002 (berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang)
memiliki wewenang meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan serta
melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan
mengenai transaksi keuangan.
4 Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berwenang mendapatkan data simpanan nasabah
dan laporan keuangan bank serta melakukan verifikasi dan konfirmasi data dalam rangka
merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan dan
melaksanakan penjaminan simpanan.Sesuai dengan amanat UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan
mengawasi perbankan.

3 UNDANG-UNDANG PERIZINAN MENCETAK UANG DI NEGARA DUNIA


Menjelang akhir Perang Dunia II, di dalam konferensi moneter
internasional antara negara-negara Sekutu di Bretton Woods pada tahun
1944, sistem moneter internasional secara formal terbentuk dan melahirkan
persetujuan-persetujuan untuk membentuk lembaga- lembaga keuangan
multilateral yang mengenakan bunga. IMF, Bank Dunia dan IBRD terbentuk
pada 27 Desember 1945, kemudian GATT pada 1947. IBRD kemudian diserap
oleh Bank Dunia menjadi grup Bank Dunia yaitu IBRD, IDA, IFC, MIGA, dan
ICSID. Dan GATT akhirnya dibubarkan tahun 1995 dan sebagai
gantinya dibentuk WTO. Persetujuan-Persetujuan Bretton Woods ini
memberikan enam implikasi terhadap sistem moneter internasional hingga saat
ini.
Pertama, pasal-pasal persetujuan IMF melarang penggunaan emas
sebagai uang. Hal itu dilakukan dengan melarang segala kaitan antara emas
dengan berbagai macam mata uang selain daripada dengan dollar AS. Pasal 4,
Bagian 2 (b) Pasal-pasal persetujuan IMF tahun 1944 dalam Pasal-pasal persetujuan
IMF (1944) menyatakan:
...exchange arrangements may include (i) the maintanance by a member a value
for its currency in terms of the special drawing right or another denominator,
other than gold, selected by the member, or (ii) cooperative arrangements by
which members maintain the value of their currencies in relation to the value of
the currency of currencies of other members, or

(iii) other exchange arrangements of a member‟s choice.

Kedua, karena 70% stok emas dunia paska Perang Dunia II berada di
tangan Amerika Serikat (AS), maka AS berani menentukan bahwa dollar AS
sebagai mata uang internasional yang dikaitkan dengan emas.Hal ini misalnya
terdapat dalam misalnya seperti yang tercantum pada IMF Articles of
Agreement Pasal XXXI, Bagian 2 (d); IBRD Articles of Agreement Pasal II,
Bagian 2 (a); Pasal XI, Bagian 2 (d); IDA Articles of Agreement Pasal 2, Bagian
2 (b); IFC Articles of Agreement Pasal 2, Bagian 2 (a), (b), Bagian 3 (c); dan
Convention Establishing the MIGA Pasal 5 (a). Hanya dollar AS yang dapat
ditukarkan dengan emas dengan kurs 1 ounce (=28,35 gram) emas seharga 35 dollar
AS (Suwartoyo 1992, 321). Berdasarkan aturan ini, seluruh mata uang di dunia
tidak dapat menukar emasnya begitu saja dengan emas, akan tetapi mereka
harus mengaitkan mata uangnya pada dollar AS. Konsekuensi utama dari
kebijakan ini adalah AS mendominasi dan mengatur mata uang dunia hingga
tanpa diragukan lagi mereka menjadi negara adidaya.
Ketiga, karena AS merupakan satu-satunya negara yang mengaitkan kembali
mata uangnya dengan emas maka mereka dapat mencetak uang terus menerus tanpa
batas. Dengan kata lain, jumlah uang yang beredar tidak lagi disesuaikan dengan
persediaan emas yang mereka miliki.
Mereka dengan mudah dapat menciptakan kekayaan dari sesuatu yang tiada.
Sistem Bretton Woods ini berakhir bulan Agustus 1971 ketika Presiden AS
Richard Nixon melepaskan kaitan dollar dengan emas.
Keempat, AS menikmati pendapatan yang besar dari percetakan mata uang
dollar dengan hanya mengandalkan seigniorage, yaitu selisih biaya cetak dengan nilai
nominal uang (Kamasa 2012, 164).AS kemudian mendapatkan keuntungan begitu
banyak akan komoditi dari negara- negara yang menggunakan dollar dalam
transaksinya. Dengan kata lain, seigniorage mengirimkan kekayaan (penguasaan atas
sumber-sumber alam dan kekuasaan (wewenang dan pengaruh) pribadi, perusahaan,
dan pemerintah kepada korporatokrasi yang menciptakan uang fiat, yaitu uang
kertas yang didasarkan atas dasar kepercayaan. Istilah korporatokrasi dicetuskan
oleh John Perkins untuk menggambarkan tiga pilar aktor yang membentuk
kebijakan luar negeri AS: perusahaan multinasional, bank internasional dan pemerintah
(Perkins 2004, 77-83; & 2009, 35). Dikenal juga sebagai the financial ruling
classes, yaitu mereka yang embeded dengan institusi keuangan yang menggerakkan
mesin Wall Street. Mereka bukan hanya memiliki lobi atau koneksi kuat dengan
Presiden AS, tetapi juga sangat menentukan dalam pengambilan kebijakan pemerintah
untuk keuntungan mereka (Kamasa 2012).
Kelima, seluruh negara anggota IMF diwajibkan untuk menaruh 25% cadangan
emas miliknya di IMF. Pasal XIII, Bagian 2 (b) Pasal-pasal persetujuan IMF
menyatakan:

(b) the Fund may hold other assets, including gold, in the depositories designated by
the five members having the largest quotas and in such other designated depositories
as the Fund may select. Initially, at least one-half of the holdings of the Fund shall be
held in the depository designated by the members in whose territories the Fund has its
principal office and at least forty percent shall be held in the depositories designated
by the remaining four members referred to above. However, all transfers of gold by
the Fund shall be made with due regard to the costs of transport and anticiapted
requirements of the Fund. In an emergency the Executive Board may transfer all or
any part of the Fund‟s gold holding to any place where they can be adequately
protected.

Isi perjanjian yang serupa terdapat juga di IBRD Articles of Agreement Pasal V,
Bagian 11 (b). Aturan-aturan ini sesungguhnya sangat canggung, superfisial,
dan memberikan kesan yang salah bahwa sistem moneter yang baru ini entah
bagaimana dikaitkan dengan emas. Faktanya, emas yang ditaruh di IMF berfungsi
semata-mata sebagai sarana agar negara-negara anggota dapat mencari pinjaman
berbunga dari IMF dengan jaminan emas yang mereka taruh. Yang paling penting,
dengan mematuhi kewajiban untuk menaruh emas itu, IMF akan mengetahui
jumlah cadangan emas setiap negara anggota. Hal ini kemudian dipastikan lebih lanjut
dengan kewajiban bahwa seluruh negara anggota harus melaporkan kepada IMF setiap
penjualan dan pembelian emas yang mereka lakukan. Pasal VIII, Bagian 5 (a, i-iv) Pasal-
pasal persetujuan IMFmenyatakan
(a) The Fund may require members to furnish it with such information as it deems
necessary for its activities, including, as the minimum necessary for the effective
discharge of the Fund‟s duties, national data on the following matters:
(i) official holdings at home and abroad of (1) gold, (2) foreign exchange;
(ii) holdings at home and abroad by banking and financial agencies, other
than official agencies, of (1) gold, (2) foreign exchange);
(iii) production of gold;
(iv) gold exports and imports according to countries of destination and
orgin.
Keenam, hanya pemerintah, melalui bank sentral, Kementerian keuangan
atau badan fiskal sejenis, yang dapat menukar dollar AS dengan emas. Rakyat
biasa diwajibkan untuk menggunakan mata uang fiat dan tidak dapat menukar
mata uang mereka dengan emas. Pasal V, bagian 1 dan Pasal XIV, Bagian
2 (a) Pasal-pasal persetujuan IMFmenyatakan:

Each member shall deal with the Fund only through its Treasury, central bank,
stabilization fund, or other similar fiscal agency, and the Fund shall deal only
with or through the same agencies. Each member shall designate its central bank
as a depository for all the Fund‟s holdings of its currency, or if it has no
central bank it shall designate such other institution as may be accepted to the
Fund.

Anda mungkin juga menyukai