Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan istilah triage ini sudah lama berkembang. Konsep awal triase
moderen yang berkembang meniru konsep pada jaman Napoleon dimana
Baron Dominique Jean Larrey (1766-1842), seorang dokter bedah yang
merawat tentara Napoleon, mengembangkan dan melaksanakan sebuah
system perawatan dalam kondisi yang paling mendesak pada tentara yang
datang tanpa memperhatikan urutan kedatangan mereka. Sistem tersebut
memberikan perawatan awal pada luka ketika berada di medan perang
kemudian tentara diangkut ke rumah sakit/tempat perawatan yang berlokasi di
garis belakang. Sebelum Larrey menuangkan konsepnya, semua orang yang
terluka tetap berada di medan perang hingga perang usai baru kemudian
diberikan perawatan.
Pada tahun 1846, John Wilson memberikan kontribusi lanjutan bagi
filosofi triase. Dia mencatat bahwa, untuk penyelamatan hidup melalui
tindakan pembedahan akan efektif bila dilakukan pada pasien yang lebih
memerlukan. Pada perang dunia I pasien akan dipisahkan di pusat
pengumpulan korban yang secara langsung akan dibawa ke tempat dengan
fasilitas yang sesuai. Pada perang dunia II diperkenalkan pendekatan triase
dimana korban dirawat pertama kali di lapangan oleh dokter dan kemudian
dikeluarkan dari garis perang untuk perawatan yang lebih baik.
Pengelompokan pasien dengan tujuan untuk membedakan prioritas
penanganan dalam medan perang pada perang dunia I, maksud awalnya adalah
untuk menangani luka yang minimal pada tentara sehingga dapat segera
kembali ke medan perang.

Penggunaan awal kata “trier” mengacu pada penampisan screening di


medan perang. Kini istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan
suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara yang
memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas
yang paling efisien terhadap hampir 100 juta orang yang memerlukan
pertolongan di unit gawat darurat (UGD) setiap tahunnya. Berbagai system

1
triase mulai dikembangkan pada akhir tahun 1950-an seiring jumlah
kunjungan UGD yang telah melampaui kemampuan sumber daya yang ada
untuk melakukan penanganan segera. Tujuan triage adalah memilih atau
menggolongkan semua pasien yang datang ke UGD dan menetapkan prioritas
penanganan.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin


meningkat selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
manusia tidak akan lepas dari fungsi normal sistem muskuloskeletal. Salah
satunya tulang yang merupakan alat gerak utama pada manusia, namun dari
kelainan ataupun ketidakdisplinan dari manusia itu sendiri (patah tulang)
fraktur adalah hilangnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi,
tulang epifisis baik yang bersifat total maupun partial. Fraktur biasanya terjadi
cruris, karena cruris sangat kurang dilindungi oleh jaringan lunak, sehingga
mudah sekali mengalami kerusakan. Balut bidai adalah penanganan umum
trauma ekstremitas atau immobilisasi dari lokasi trauma dengan menggunakan
penyangga misalnya splinting (spalk). Balut bidai adalah jalinan bilah (rotan,
bambu) sebagai kerai (untuk tikar, tirai penutup pintu, belat, dsb) atau jalinan
bilah bamboo (kulit kayu randu, dsb untuk membalut tangan patah dsb.)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan konsep triage/triase?
2. Apakah yang dimaksud dengan konsep pembidaian?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep dari triage
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep dari pembidaian

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Triage
2.1.1 Definisi Triage
Triage berasal dari kata : “Tier” (Bahasa Perancis) yang berarti “terbagi
dalam tiga kelompok”. Triase adalah suatu proses penggolongan pasien
berdasarkan tipe dan tingkat kegawatan kondisinya dan sebagai suatu
tindakan pengelompokan penderita berdasarkan pada beratnya cedera yang
diprioritaskan ada tidaknya gangguan pada airway, breathing, dan
circulation dengan mempertimbangkan sarana, sumber daya manusia dan
probabilitas hidup penderita.
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan
suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia,
peralatan serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih
atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan
menetapkan prioritas penanganannya. Triage adalah suatu sistem pembagian
atau klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat ringannya kondisi
klien/kegawatannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam triage,
perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji
keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit (Kathleen
dkk, 2008).

2.1.2 Tujuan Triage


Tujuan dari Triage adalah :
1. Mengidentifikasi kondisi yang mengancam nyawa.
2. Memprioritaskan pasien menurut kondisi keakutannya.
3. Menempatkan pasien sesuai dengan keakutannya berdasarkan pada
pengkajian yang tepat dan akurat.
4. Menggali data yang lengkap tentang keadaan pasien.

3
2.1.3 Prinsip Triage
a) Triage harus dilakukan dengan segera dan singkat.
b) Kemampuan untuk menilai dan merespons dengan cepat kemungkinan
yang dapat menyelamatkan pasien dari kondisi sakit atau cedera yang
mengancam nyawa dalam departemen gawat darurat.
c) Pengkajian harus dilakukan secara adekuat dan akurat.
d) Keakuratan dan ketepatan data merupakan kunci dalam proses
pengkajian.
e) Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian.
f) Keselamatan dan keefektifan perawatan pasien dapat direncanakan jika
terdapat data dan informasi yang akurat dan adekuat.
g) Intervensi yang dilakukan berdasarkan kondisi keakutan
h) Tanggung jawab yang paling utama dari proses triage yang dilakukan
perawat adalah keakuratan dalam mengkaji pasien dan memberikan
perawatan sesuai dengan prioritas pasien. Hal ini termasuk intervensi
terapeutik dan prosedur diagnostik.
i) Tercapainya kepuasan pasien.
1) Perawat triage harus menjalankan triage secara simultan, cepat, dan
langsung sesuai keluhan pasien.
2) Menghindari keterlambatan dalam perawatan pada kondisi yang kritis.
3) Memberikan dukungan emosional pada pasien dan keluarga pasien.
4) Penempatan pasien yang benar pada tempat yang benar saat waktu
yang benar dengan penyedia pelayanan yang benar.

2.1.4 Klasifikasi Triage


Sistem klasifikasi mengidentifikasi tipe pasien yang memerlukan berbagai
level perawatan. Prioritas didasarkan pada pengetahuan, data yang tersedia,
dan situasi terbaru yang ada. Huruf atau angka yang sering digunakan antara
lain sebagai berikut : prioritas 1 atau emergency, prioritas 2 atau urgent,
prioritas 3 atau nonurgent.

4
2.1.4.1 Triage Pre-Hospital
Triage pada musibah missal /bencana dilakukan dengan tujuan bahwa
dengan sumber daya yang minimal dapat menyelamatkan korban
sebanyak mungkin. Pada musibah massal, jumlah korban puluhan atau
mungkin ratusan, di mana penolong sangat belum mencukupi baik sarana
maupun penolongnya sehingga dianjurkan menggunakan teknik START.
Laporkan secara singkat pada call center dengan bahasa yang jelas
mengenai hasil dari pengkajian pada tempat kejadian tersebut, meliputi
hal-hal sebagai berikut.
a) Lokasi kejadian.
b) Tipe insiden yang terjadi.
c) Adanya ancaman atau bahaya yang mungkin terjadi.
d) Perkiraan jumlah pasien.
e) Tipe bantuan yang harus diberikan.
Metode Simple Triage and Rapid Treatment (START)
Metode START dikembangkan untuk penolong pertama yang bertugas
memilah pasien pada korban musibah massal/bencana dengan waktu 30
detik atau kurang berdasarkan tiga pemeriksaan primer seperti: respirasi,
perfusi (mengecek nadi radialis), status mental. Pasien dapat
diklasifikasikan menjadi berikut ini:
1. Korban kritis / immediate diberi label merah/kegawatan yang
mengancam nyawa (prioritas 1). Kriteria pada pengkajian adalah :
respirasi >30 x/menit, tidak ada nadi radialis, tidak sadar/penurunan
kesadaran.
2. Delay / tertunda diberi label kuning / kegawatan yang tidak
mengancam nyawa dalam waktu dekat (prioritas 2) dengan kriteria
sebagai berikut: respirasi <30 x/menit, nadi teraba, status mental
normal.
3. Minor. Korban terluka yang masih dapat berjalan diberi label
hijau/tidak terdapat kegawatan / penanganan dapat ditunda (prioritas
3).
4. Meninggal diberi label hitam/tidak memerlukan penanganan Dead

5
Tahapan metode START adalah sebagai berikut:
1. Langkah pertama.
Langkah pertama pada START adalah dengan aba-aba (loud speaker)
memerintahkan pada korban yang dapat berdiri dan berjalan bergerak
ke lokasi tertentu yang lebih aman. Jika pasien dapat berdiri dan
berjalan, maka bisa disimpulkan bahwa sementara tidak terdapat
gangguan yang mengancam jiwa pada korban-korban tersebut. Jika
korban mengeluh nyeri atau menolak untuk berjalan jangan dipaksa
untuk berpindah tempat. Pasien yang dapat berjalan dikategorikan
sebagai Minor
2. Langkah kedua.
Pasien yang tidak berdiri dan bergerak adalah yang menjadi prioritas
pengkajian berikutnya. Bergerak dari tempat berdiri penolong secara
sistematis dari korban satu ke korban yang lain. Lakukan pengkajian
secara singkat (kurang dari 1 menit setiap pasien) dan berikan label
yang sesuai pada korban tersebut. Ingat tugas penolong adalah untuk
menemukan pasien dengan label merah Immediate yang
membutuhkan pertolongan segera, periksa setiap korban, koreksi
gangguan airway dan breathing yang mengancam nyawa dan berikan
label merah pada korban tersebut.

Evaluasi Penderita berdasarkan RPM


START tergantung pada tiga pemeriksaan meliputi: RPM--Respiration
Perfusion, and Mental Status. Masing-masing pasien harus dievaluasi secara
cepat dan sistematis, dimulai dengan pemeriksaan respirasi (Breathing).
1. AIRWAY-BREATHING
Jika pasien bernapas, maka diperlukan pemeriksaan respirasi rate.
Pasien dengan pernapasan lebih dari 30 kali per menit, diberikan label
merah Immediate (immediate). Jika pasien bernapas dan laju pernapasan
kurang dari 30 x/menit, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan
sirkulasi dan mental status pasien untuk dilakukan pemeriksaan secara
lengkap dalam 30 detik. Jika pasien tidak bernapas, secara cepat

6
bersihkan mulut pasien dari kemungkinan benda asing. Pasien yang
membutuhkan jalan napas dipertahankan dipasangkan dengan label
merah Immediate. Jika pasien tidak bernapas dan tidak mulai bernapas
ketika dilakukan pembebasan jalan napas dengan airway manuver
sederhana, maka pasien diberi label hitam Dead.
2. CIRCULATION
Langkah kedua pada START yaitu dengan menilai sirkulasi dari pasien.
Metode terbaik pada pemeriksaan sirkulasi yaitu dengan meraba
pergelangan tangan dan merasakan pulsasi dari arteri radialis.
Pengecekan dilakukan dalam 5-10 detik. Jika pulsasi arteri radialis tidak
dijumpai, maka pasien diberikan label merah Immediate.
3. MENTAL STATUS
Akhir dari pemeriksaan adalah dengan menilai status mental pasien.
Observasi ini dilakukan pada pasien dengan pernapasan dan sirkulasi
yang adekuat. Tes mental status yaitu dengan meminta pasien untuk
mengikuti perintah yang sederhana. "Buka matamu, tutup matamu,
genggam tangan saya". Pasien yang dapat mengikuti perintah sederhana
diberikan label kuning Delayed sedangkan pasien yang tidak responsif
terhadap perintah sederhana diberikan label merah Immediate.

2.1.4.2 Triage In Hospital


Pada unit gawat darurat perawat bertanggung jawab dalam menentukan
prioritas perawatan pada pasien. Keakutan dan jumlah pasien, skill perawat,
ketersediaan peralatan dan sumber daya dapat menentukan seting prioritas.
Thomson dan Dains (1992) mengidentifikasi tiga tipe yang umum dari
sistem triage yaitu sebagai berikut.
a. Tipe 1 Traffic Director /Triage non-Nurse.
Petugas yang melakukan triage bukan staf berlisensi seperti asisten
kesehatan. Staf melakukan pengkajian visual secara cepat dan bertanya
apa keluhan utama. Hal ini tidak berdasarkan standar dan tidak
ada/sedikit dokumentasi.

7
b. Tipe 2 Spot Check Triagel Advanced Triage.
Staf yang berlisensi seperti perawat atau dokter melakukan pengkajian
cepat termasuk latar belakang dan evaluasi subjektif dan objektif.
Biasanya tiga kategori ketakutan pasien digunakan. Meskipun
penampilan dari tiap profesional pada triage bervariasi bergantung dari
pengalaman dan kemampuan.
c. Tipe 3 Comprehensive Triage
Tipe ini merupakan sistem advanced dari triage dimana staf
mendapatkan pelatihan dan pengalaman triage. Kategori keakutan
termasuk 4 atau 5 kategori. Tipe ini juga menulis standar atau protokol
untuk proses triage termasuk tes diagnostik, penatalaksanaan spesifik,
dan evaluasi ulang dari pasien. Dokumentasi juga hasus dilakukan.
Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam system triage adalah
kondisi klien yang meliputi :
a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan
yang memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat.
b. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi
memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan.
c. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan
oleh gangguan ABC (Airway /  jalan nafas, Breathing / Pernafasan,
Circulation / Sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat
meninggal atau cacat (Wijaya, 2010)
Tabel 1. Klasifikasi Triage

Klasifikasi Keterangan
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa /
adanya gangguan ABC dan perlu
tindakan segera, misalnya cardiac
arrest, penurunan kesadaran, trauma
mayor dengan perdarahan hebat
Gawat tidak darurat (P2) Keadaan mengancam nyawa tetapi
tidak memerlukan tindakan darurat.
Setelah dilakukan resusitasi maka

8
ditindaklanjuti oleh dokter spesialis.
Misalnya : pasien kanker tahap lanjut,
fraktur, sickle cell dan lainnya
Darurat tidak gawat (P3) Keadaan yang tidak mengancam
nyawa tetapi memerlukan tindakan
darurat. Pasien sadar, tidak ada
gangguan ABC dan dapat langsung
diberikan terapi definitive. Untuk
tindak lanjut dapat ke poliklinik,
misalnya laserasi, fraktur minor / 
tertutup, otitis media dan lainnya
Tidak gawat tidak darurat (P4) Keadaan tidak mengancam nyawa dan
tidak memerlukan tindakan gawat.
Gejala dan tanda klinis ringan /
asimptomatis. Misalnya penyakit
kulit, batuk, flu, dan sebagainya.

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)


Klasifikasi Keterangan
Prioritas I (MERAH) Mengancam jiwa atau fungsi vital,
perlu resusitasi dan tindakan bedah
segera, mempunyai kesempatan hidup
yang besar. Penanganan dan
pemindahan bersifat segera yaitu
gangguan pada jalan nafas, pernafasan
dan sirkulasi. Contohnya sumbatan
jalan nafas, tension pneumothorak,
syok hemoragik, luka terpotong pada
tangan dan kaki, combutio (luka bakar
tingkat II dan III > 25 %
Prioritas II (KUNING) Potensial mengancam nyawa atau
fungsi vital bila tidak segera ditangani
dalam jangka waktu singkat.
Penanganan dan pemindahan bersifat

9
jangan terlambat. Contoh : patah
tulang besar, combutio (luka bakar)
tingkat II dan III < 25 %, trauma
thorak / abdomen, laserasi luas,
trauma bola mata.
Prioritas III (HIJAU) Perlu penanganan seperti pelayanan
biasa, tidak perlu segera. Penanganan
dan pemindahan bersifat terakhir.
Contoh luka superficial, luka-luka
ringan.
Prioritas 0 (HITAM) Kemungkinan untuk hidup sangat
kecil, luka sangat parah. Hanya perlu
terapi suportif. Contoh henti jantung
kritis, trauma kepala kritis.

2.1.5 Proses Triage


Tujuan proses triage ialah mengumpulkan data dan keterangan sesuai dengan
kondisi pasien dalam rangka pengambilan keputusan triage untuk kemudian
merencanakan intervensi dan bukan mendiagnostis. Ketika perawat triage
menemukan kondisi yang mengancam nyawa, pernapasan, atau sirkulasi,
maka perawat tersebut harus segera melakukan intervensi dan pasien dibawa
ke ruang perawatan. Tindakan triage perlu dipahami istilah Undertriage dan
Uptriage. Undertriage adalah proses yang underestimating tingkat
keperawahan atau cedera, misalnya pasien prioritas 1 (Segera) sebagai
prioritas 2 (tertunda) atau prioritas 3 (minimal). Uptriage adlaah proses
overestimating tingkat individu yang telah mengalami sakit atau cedera,
misalnya pasien prioritas 3 sebagai prioritas 2 (tertunda) atau prioritas 1
(segera). Apabila terjadi keragu-raguan dalam penilaian triage dianjurkan
untuk melakukan upriage untuk menghindari penurunan kondisi penderita.
2.1.5.1 Pengkajian
Proses pengkajian triage diantaranya :

10
a. Perawat melakukan pengkajian pasien, perawat triage memeriksa pasien,
perawat harus memeriksa dengan jelas, mendengarkan suara yang tidak
umum dan harus waspada terhadap berbagai bau.
b. Perawat harus memperhatikan pengontrolan infeksi dalam situasi apa pun
di mana kontak dengan darah dan cairan tubuh bisa terjadi Membersihkan
tangan dengan sabun atau pembersih tangan setiap kali kontak dengan
pasien merupakan langkah penting mengurangi penyebaran infeksi.
c. Pengkajian atar ruang (sekilas pandang):
Melihat:
a) Kepatenan jalan napas
b) Status penapasan, penggunaan O2
c) Tanda-tanda pendarahan eksternal
d) Tingkat kesadaran : composmentis, somnolen, apatis
e) Keluhan nyeri : Keluhan prediktor nyeri, wajah menyeringai,
tangan menggenggam
f) Warna dan keadaan kulit : sianosis
g) Penyakit kronis : Cancer, PPOK, CVA PIS
h) Keadaan tubuh : udema
i) Perilaku umum : takut, marah, sedih, biasa
j) Adanya alat bantu medis : balutan
k) Pakaian : bersih, kotor
Mendengar:
a) Suara napas abnormal
b) Cara berbicara, intonasi, bahasa
c) Interaksi dengan orang lain
Mencium:
a) Bau keton, urine, alkohol, sisa muntahan.
b) Rokok infeksi, obat-obatan, kondidi kurang hygienis
d. Pengkajian antar ruang (sekilas pandang) pada pasien anak
Penampilan:
a) Keadaan otot
b) Pandangan mata

11
c) Tangisan, ucapan
Status pernapasan:
a) Gangguan pada hidung
b) Retraksi intercostae
c) Suara napas abnormal
d) Posisi kenyamanan
e) Perubahan status pernapasan
Sirkulasi kulit:
a) Pucat
b) Sianosis
c) Mottling (titik-titik bercak atau berwarna beda pada
2.1.5.2 Anamnesa
Anamesa triage diperoleh melalui wawancara, wawancara triage
dimulai saat perawat memperkenalkan diri dan menjelaskan triage secara
singkat (proses interaksi). wawancara dilakukan dalam waktu yang relatif
singkat, dimana perawat menentukan keluhan utama dan riwayat sakit saat
ini (Awitan sakit sampai dibawa mencari pertolongan). Berdasarkan hasil
temuan, perawat triage melakukan pengkajian yang berfokus pada masalah
dan melakukan pengukuran tanda-tanda vital dan kemudian perawat
menentukan tingkat kedaruratan triage dari keterangan yang didapatkan.
Setelah itu akan diputuskan apakah pasien langsung dikirim ke ruang
perawatan untuk mendapatkan tindakan langsung atau pasien diharuskan
daftar terlebih terlebih dahulu dan menunggu di ruang tunggu untuk
mendapatkan perawatan selanjutnya dari dokter dan perawat.
Tujuan wawancara triage adalah menentukan keluhan utama,
mendapatkan penjelasan dari tanda dan gejala yang terkait,
menggolongkan tingkat kedaruratan pasien dan melakukan perawatan
berdasarkan tentang alasan mengapa pasien datang ke IGD. Perawat selalu
menggunakan pertanyaan terbuka seperti " apa yang anda keluhkan saat
ini? " atau " Apa yang anda rasakan saat ini?". Keluhan utama sebaiknya
dicatat sesuai dengan kata-kata pasien. Jika pasien mengatakan beberapa
masalah, keterangan, perawat triage harus memfokuskan pasien untuk

12
menentukan alasan utama kedatangan pasien ke IGD. Jika pasien datang
dengan menggunakan ambulan, keterangan tentang pasien dapat diperoleh
dari petugas kesehatan sebelumnya, tetapi penting untuk dilakukan
verifikasi kepada pasien dalam rangka untuk mencocoknkan antara
keterangan petugas dengan pasien. Hal dilakukan jika pasien dalam
keadaan keadaan sadar dan kooperatif.

2.1.5.3 Dokumentasi

Proses pencatatan triage harus jelas, singat, dan padat. Tujuan


dokumentasi triage adalah mendukung keputusan triage, sebagai alat
komunikasi antar petugas tim kesehatan di unit gawat darurat (dokter,
perawat, ahli radiologi) dan sebagai bukti aspek mediko-legal. Pencatat
bisa dilakukan secara komputer atau manual dan mencakup bagian dasar
dari pendokumentasian triage yang meliputi :
1. Waktu dan tanggal kedatangan di IGD
2. Cara kedatangan
3. Usia pasien
4. Waktu wawancara triage
5. Riwayat alergi (obat,makanan, latex)
6. Riwayat pengobatan yang sedang dijalani
7. Tingkat kedaruratan
8. Tanda-tanda vital
9. Tindakan pertolongan utama
10. Riwayat keluhan utama
11. Pengkajian subjektif dan objektif
12. Riwayat kesehatan yang berhubungan
13. Waktu terakhir menstruasi
14. Riwayat imunisasi termasuk imunisasi tetanus terakhir
15. Tes diagnostik yang dianjurkan
16. Pengobatan yang diberikan saat triage
17. Tanda tangan perawat yang melakukan triage
18. Disposisi dan re-evaluasi
2.2 Pembidaian

13
2.2.1 Definisi Pembidaian

Bidai menurut kamus bahasa indonesia adalah jalinan bilah bambu (kulit
kayu randu) untuk membalut tangan yang patah dan lain sebagainya. Bidai
atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat atau bahan lain yang kuat
tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian
tulang yang patah tidak bergerak (immobilisasi), memberikan istirahat dan
mengurangi rasa sakit (Ilyer,2013).

Bidai adalah alat dari kayu, anyaman kawat atau bahan lain yang kuat tetapi
ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang
yang patah tidak bergerak (immobilisasi), memberikan istirahat dan
mengurangi rasa sakit. Pembidaian adalah tindakan memfiksasi atau
mengimobilisasi bagian tubuh yang mengalami cedera, dengan
menggunakan benda yang bersifat kaku maupun fleksibel sebagai fiksator
atau imobilisator (Novi,2011).
2.2.2 Tujuan Pembidaian
1. Pembidaian efektif pada saat kecelakaan, atau di departemen gawat
darurat, merupakan tindakan yang penting dalam menata laksana fraktura
dan dislokasi
2. Pembidaian darurat menghindarkan kerusakan jaringan lunak lebih lanjut
oleh fragmen tulang, meminimumkan nyeri dan memberikan
kenyamanan selama transport
3. Pembidaian tidak boleh mengganggu sirkulasi darah atau menekan
serabut saraf atau pada tonjolan tulang
4. Mencegah pergerakan / pergeseran dari ujung tulang yang yang patah.
5. Mengurangi terjadinya cedera baru disekitar bagian tulang yang patah.
6. Memberi istirahat pada anggota badan yang patah
7. Mengurangi rasa nyeri.
8. Mempercepat penyembuhan.
9. Mengurangi perdarahan

2.2.3 Prinsip Pembidaian


Prinsip umum dalam tindakan pembidaian

14
1. Mempertahankan nyawa, mendapatkan prioritas dibandingkan
pembidaian darurat. Obati asfiksia, kendalikan pendarahan hebat, serta
mulai terapi syok sebelum pembidaian. Pembidaian yang efektif dapat
mencegah syok.
2. Pada ekstermitas yang cedera, periksa tanda – tanda cedera arteria dan
saraf, sebelum mencari adanya fraktura dan melakukan pembidaian
darurat. Rabalah denyut nadi di distal fraktura.
3. Bidai mereka ditempat ia terletak untuk melindungi terhadap perubahan
fraktura tertutup menjadi fraktura terbuka dan melawan drainase
jaringan lunak lebih lanjut
4. Untuk kemanjuran pembidaian yang maksimum, immobilisasi sendi
atas dan bawah fraktura
5. Bidai komensial standard harus selalu tersedia, tetapi bila tidak ada,
maka dapat diimprovisasi dengan cabang pohon, surat kabar yang
dilipat atau kain yang dilipat ke atas dan ujung – ujungnya disatukan
dengan peniti ( sebagai penyangga “ sling “ )
6. Pakaian pada ekstermitas yang cedera, harus disingkirkan.

2.2.4 Jenis-jenis Pembidaian


Beberapa macam jenis bidai :
1. Pembidaian keras
Umumnya terbuat dari kayu, alumunium, karton, plastik atau bahan lain
yang kuat dan ringan. Pada dasarnya merupakan pembidaian yang paling
baik dan sempurna dalam keadaan darurat. Kesulitannya adalah
mendapatkan bahan yang memenuhi syarat di lapangan. Contoh: bidai
kayu, bidai udara, bidai vakum.

2. Pembidaian traksi
Pembiadaian bentuk jadi dan bervariasi tergantung dari pembuatannya,
hanya dipergunakan oleh tenaga yang terlatih khusus, umumnya dipakai
pada patah tulang paha. Contoh: bidai traksi tulang paha

15
3. Pembidaian improvisasi
Bidai yang dibuat dengan bahan yang cukup kuat dan ringan untuk
penopang. Pembuatannya sangat tergantung dari bahan yang tersedia dan
kemampuan improvisasi si penolong. Contoh: majalah, koran, karton dan
lain-lain.
4. Gendongan/Belat dan bebat.
Pembidaian dengan menggunakan pembalut, umumnya dipakai
mitela(kain segitiga) dan memanfaatkan tubuh penderita sebagai sarana
untuk menghentikan pergerakan daerah cedera.
Contoh: gendongan lengan.

2.2.5 Indikasi Pembidaian


1. Adanya fraktur, baik terbuka maupun tertutup
2. Adanya kecurigaan terjadinya fraktur
3. Dislokasi persendia
4. Kecurigaan adanya fraktur bisa dimunculkan jika pada salah satu
bagian tubuh ditemukan :
1. Pasien merasakan tulangnya terasa patah atau mendengar bunyi
krek.
2. Ekstremitas yang cedera lebih pendek dari yang sehat, atau
mengalami angulasi abnormal
3. Pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas yang cedera
4. Posisi ekstremitas yang abnormal
5. Memar
6. Bengkak
7. Perubahan bentuk
8. Nyeri gerak aktif dan pasif
9. Pasien merasakan sensasi seperti jeruji ketika menggerakkan
ekstremitasyang mengalami cedera (Krepitasi)
10.Perdarahan bisa ada atau tidak
11.Hilangnya denyut nadi atau rasa raba pada distal lokasi cedera
12.Kram otot di sekitar lokasi

16
2.2.6 Kontra Indikasi Pembidaian
Pembidaian baru boleh dilaksanakan jika kondisi saluran napas,
pernapasan dan sirkulasi penderita sudah distabilisasi. Jika terdapat
gangguan sirkulasi dan atau gangguan persyarafan yang berat pada distal
daerah fraktur, jika ada resiko memperlambat sampainya penderita ke
rumah sakit, sebaiknya pembidaian tidak perlu dilakukan.
Komplikasi pembidaian jika dilakukan tidak sesuai dengan standar
tindakan, beberapa hal berikut bisa ditimbulkan oleh tindakan pembidaian:
1. Cedera pembuluh darah, saraf atau jaringan lain di sekitar fraktur oleh
ujung fragmen fraktur, jika dilakukan upaya meluruskan atau
manipulasi lainnya pada bagian tubuh yang mengalami fraktur saat
memasang bidai.
2. Gangguan sirkulasi atau saraf akibat pembidaian yang terlalu ketat.
3. Keterlambatan transport penderita ke rumah sakit, jika penderita
menunggu terlalu lama selama proses pembidaian.

2.2.7 Teknik Pembidaian


Teknik pembidaian pada berbagai lokasi cedera dapat dijelaskan sebagai
berikut :

1. Pembidaian leher

17
Pada pembidaian leher dalam kondisi darurat, bisa dilakukan
pembidaian dengan pembalutan. Pembalutan dilakukan dengan
hati-hati tanpa menggerakkan bagian leher dan kepala. Pembalutan
dianggap efektif jika mampu meminimalisasi pergerakan
daerah leher.Jika tersedia, fixasi leher paling baik dilakukan
menggunakan cervical Collar

2. Pembidaian tulang bahu

3. Pembidaian Tulang Lengan

18
1) Imobilisasi lengan yang mengalami cedera.
2) Carilah bahan yang kaku yang cukup panjang sehingga
mencapai jarak antara siku sampai ujung telapak tangan
3) Carilah tali untuk mengikat bidai pada lengan yang cedera
4) Flexi-kan lengan yang cedera, sehingga lengan bawah dalam
posisi membuat sudut 90°terhadap lengan atas. Lakukan
penekukan lengan secara perlahan dan hati-hati
5) Letakkan gulungan kain atau benda lembut lainnya pada
telapak tangan agar berada dalam posisi fungsional
6) Pasanglah bidai pada lengan bawah sedemikian sehingga bidai
menempel antara siku sampai ujung jari
7) Ikatlah bidai pada lokasi diatas dan dibawah posisi fraktur.
8) Pastikan bahwa pergelangan tangan sudah terimobilisasi
9) Pasanglah bantalan pada ruang kosong antara bidai dan lengan
yang dibidai
10) Periksalah sirkulasi, sensasi dan pergerakan pada region distal
dari lokasi pembidaian,untuk memastikan bahwa pemasangan
bidai tidak terlalu ketat
11) Pasanglah sling untuk menahan bagian lengan yang dibidai,
dengan cara Letakkan kain sling di sisi bawah lengan. Apex
dari sling berada pada siku, dan puncak dari sling berada pada
bahu sisi lengan yang tidak cedera. posisikan lengan bawah
sedemikian sehingga posisi tangan sedikit terangkat (kira-kira
membentuk sudut 10°).ikatlah dua ujung sling pada bahu
dimaksud. Gulunglah apex dari sling, dan sisipkan disisi siku.

19
4. Pembidaian tulang iga

Perhatian utama pada kondisi suspect fraktur costae adalah upaya


untuk mencegah bagian patahan tulang agar tidak melukai paru.
Upaya terbaik yang bisa dilakukan sebagai pertolongan pertama di
lapangan sebelum pasien dibawa dalam perjalanan ke rumah sakit
adalah memasang bantalan dan balutan lembut pada dinding dada,
memasang sling untuk merekatkan lengan pada sisi dada yang
mengalami cedera sedemikian sehingga menempel secara nyaman
pada dada.

5. Pembidaian siku

6. Pembidaian lengan atas

20
Pasanglah sling (kain segitiga) untuk gendongan lengan
bawah, sedemikian sehingga sendi siku membentuk sudut 90%,
dengan cara:
1) Letakkan kain sling di sisi bawah lengan. Apex dari sling
berada pada siku, dan puncak dari sling berada pada bahu sisi
lengan yang tidak cedera. posisikan lengan bawah sedemikian
sehingga posisi tangan sedikit terangkat (kira-kira membentuk
sudut 10°). Ikatlah dua ujung sling pada bahu dimaksud.
Gulunglah apex dari sling, dan sisipkan disisi siku.
2) Posisikan lengan atas yang mengalami fraktur agar menempel
rapat pada bagian sisilateral dinding thoraks
3) Pasanglah bidai yang telah di balut kain/kassa pada sisi lateral
lengan atas yangmengalami fraktur.- Bebatlah lengan atas
diantara papan bidai (di sisi lateral) dan dinding thorax (pada
sisimedial).
4) Jika tidak tersedia papan bidai, fiksasi bisa dilakukan dengan
pembebatan menggunakan kain yang lebar.

7. Pembidaian jari

21
Fraktur jari bisa dibidai dengan potongan kayu kecil atau difiksasi
dengan merekatkan pada jari di sebelahnya yang tidak terkena
injury (buddy splinting)
8. Pembidaian tungkai atas

Pada fraktur femur, bidai harus memanjang antara


punggungbawah sampai dengan di bawah lutut pada tungkai
yang cedera.Traksi pada cedera tungkai lebih sulit, dan resiko
untuk terjadinya cedera tambahan akibat kegagalan traksi
seringkali lebih besar.Sebaiknya jangan mencoba untuk
melakukan traksi pada cedera tungkai kecuali jika orang yang
membantu pembidaian telah siap untuk memasang bidai.

9. Pembidaian tungkai kaki

22
1) Cedera pergelangan kaki terkadang bisa diimobilisasi
cukupdengan menggunakan pembalutan.
2) Gunakan pola figure of eight: Dimulai dari sisi bawah kaki,
melalui sisi atas kaki,mengelilingi pergelangan kaki, ke
belakang melalui sisi atas kaki, kesisi bawah kaki, dan
demikian seterusnya.
3) Bidai penahan juga bisa dipasang sepanjang sisi
belakangdan sisi lateral pergelangan kaki untuk
mencegahpergerakan yang berlebihan. Saat melalukan
tindakan imobilisasi pergelangan kaki, posisi kaki harus
selalu dijaga pada sudut yang benar

10. Pembidaian tulang betis

23
1) Imobilisasikan tungkai yang mengalami cedera untuk
mengurangi nyeri dan mencegah timbulnya kerusakan yang
lebih berat
2) Carilah bahan kaku yang cukup panjang sehingga mencapai
jarak antara telapak tangan sampai dengan diatas lutut.
3) Carilah bahan yang bisa digunakan sebagai tali untuk
mengikat bidai
4) Pastikan bahwa tungkai berada dalam posisi lurus
5) Letakkan bidai di sepanjang sisi bawah tungkai, sehingga
bidai dalam posisi memanjang antara sisi bawah lutut sampai
dengan dibawah telapak kaki
6) Pasanglah bidai pasangan di sisi atas tungkai bawah sejajar
dengan bidai yang dipasang di sisi bawah tungkai
7) Ikatlah bidai pada posisi diatas dan di bawah lokasi
fraktur.Pastikan bahwa lutut dan pergelangan kaki sudah
terimobilisasi dengan baik
8) Pasanglah bantalan pada ruang kosong antara bidai dan
lengan yang dibidai
9) Periksalah sirkulasi, sensasi dan pergerakan pada regiondistal
dari lokasi pembidaian, untuk memastikan bahwa
pemasangan bidai tidak terlalu ketat

24
Pelaksanaan Pembidaian
1. Fraktur calvicula, lakukan imobilisasi dengan cara:
a. Minta pasien meletakkan kedua tangan pada pinggang
b. Minta pasien membusungkan dada, tahan
c. Gunakan perban elastik, lingkarkan membentuk angka 8
(Ransel perban).
2. Fraktur humerus bagian medial
a. Kalau ada berikan analgetik/ kompres es
b. Gunting mitella jadi 2/ 4 tapi tidak putus
1) Rapatkan lengan pada dinding dada, pasang bidai pada sisi
luar
2) Ikat dan balut dengan mitela/kain
3. Fraktur humerus bagian distal
a. Siku sukar dilipat (nyeri), luruskan saja
b. Pasang dua buah bidai dari ketiak sampai pergelangan tangan
c. Ikat dengan kain 4 tempat. (ingat teori di atas)
4. Fraktur antebrachii
a. Pasang dua buah bidai sepanjang siku sampai ujung jar
b. Ikat bidai mengelilingi ekstremitas, tapi jangan terlalu keras
c. Gantung bidai dengan mitela/kain ke pundak-leher
5. Fraktur digit
a. Pasang bidai dari sendok es krim,bambu, spuit yang dibelah
atau gunakan jari sebelahnya, contoh, bila jari tengan yang
fraktur, gunakan jari telunjuk dan jari manis sebagai
pengganti bidai, kemudian ikat dengan plester.
6. Fraktur costae, lakukan imobilisasi dengan cara:
a. Bersihkan dinding dada
b. Minta penderita menarik napas dan menghembuskan napas
sekuatnya
c. Pasang plester stripping pada saat ekspirasi maksimal
tersebut
d. Plester dipasang sejajar iga mulai dari iga terbawah.

25
e. Ulangi prosedur sampai plester terpasang
7. Fraktur tulang panggul ( os simfisis pubis)
a. Rapatkan kedua kaki
b. Pasang bantal dibawah lutut dan sisi kiri kanan panggu
c. Ikat kedua kaki pada 3 tempat (lihat gambar)
8. Fraktur femur
a. Pasang bidai di bagian dalam dan luar paha
b. Jika patah paha bagian atas, bidai sisi luar harus sampai
pinggang
9. Fraktur patella
a. Pasang bidai pada bagian bawah
b. Pasang bantal lunak di bawah lutut dan pergelangan kaki
10. Fraktur tungkai bawah
a. Pasang bidai melewati 2 sendi, luar dan dalam
b. Pasang padding
11. Fraktur tulang telapak kaki
a. pasang bantalan (kassa/kain)pada telapak kaki
b. pasang bidai di telapak kaki, kemudian ikat.

Evaluasi pasca pembidaian


1. Periksa sirkulasi daerah ujung pembidaian. Misalnya jika
membidai lenganmaka periksa sirkulasi dengan memencet kuku
ibu jari selama kurang lebih 5 detik. Kuku akan berwarna putih
kemudian kembali merah dalam waktu kurang dari 2 detik setelah
dilepaskan.
2. Pemeriksaan denyut nadi dan raba seharusnya diperiksa di bagian
bawah bidai paling tidak satu jam sekali. Jika pasien mengeluh
terlalu ketat,atau kesemutan, maka pembalut harus dilepas
seluruhnya. Dan kemudian bidai di pasang kembali dengan lebih
longgar.
3. Tekan sebagian kuku hingga putih, kemudian lepaskan. Kalau 1-2
detik berubah menjadi merah, berarti balutan bagus. Kalau

26
lebihdari 1-2 detik tidak berubah warna menjadi merah, maka
longgarkan lagi balutan, itu artinya terlalu keras.
Meraba denyut arteri dorsalis pedis pada kaki (untuk kasus di
kaki).Bila tidak teraba, maka balutan kita buka dan
longgarkan.Meraba denyut arteri radialis pada tangan untuk kasus
di tangan. Bila tidak teraba, maka balutan kita buka dan
longgarkan

27
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Triage adalah suatu sistem pembagian atau klasifikasi prioritas klien


berdasarkan berat ringannya kondisi klien/kegawatannya yang memerlukan
tindakan segera. Dalam triage, perawat dan dokter mempunyai batasan waktu
(respon time) untuk mengkaji keadaan dan memberikan intervensi secepatnya
yaitu ≤ 10 menit (Kathleen dkk, 2008). Penggunaan istilah triage ini sudah
lama berkembang. Konsep awal triase moderen yang berkembang meniru
konsep pada jaman Napoleon dimana Baron Dominique Jean Larrey (1766-
1842), seorang dokter bedah yang merawat tentara Napoleon,
mengembangkan dan melaksanakan sebuah system perawatan dalam kondisi
yang paling mendesak pada tentara yang datang tanpa memperhatikan urutan
kedatangan mereka. Kini istilah tersebut lazim digunakan untuk
menggambarkan suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan
suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan
serta fasilitas yang paling efisien orang yang memerlukan pertolongan di unit
gawat darurat (UGD) setiap tahunnya. Berbagai system triase mulai
dikembangkan pada akhir tahun 1950-an seiring jumlah kunjungan UGD
yang telah melampaui kemampuan sumber daya yang ada untuk melakukan
penanganan segera. Tujuan triage adalah memilih atau menggolongkan semua
pasien yang datang ke UGD dan menetapkan prioritas penanganan.

Bidai menurut kamus bahasa indonesia adalah jalinan bilah bambu (kulit
kayu randu) untuk membalut tangan yang patah dan lain sebagainya. Bidai
adalah alat dari kayu, anyaman kawat atau bahan lain yang kuat tetapi ringan
yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah
tidak bergerak (immobilisasi), memberikan istirahat dan mengurangi rasa
sakit. Beberapa tujuan dari manfaat dilakukannya pembidaian adalah

28
1. Pembidaian efektif pada saat kecelakaan, atau di departemen gawat
darurat, merupakan tindakan yang penting dalam menata laksana fraktura
dan dislokasi
2. Pembidaian darurat menghindarkan kerusakan jaringan lunak lebih lanjut
oleh fragmen tulang, meminimumkan nyeri dan memberikan kenyamanan
selama transport
3. Pembidaian tidak boleh mengganggu sirkulasi darah atau menekan serabut
saraf atau pada tonjolan tulang

3.2 Saran

1. Bagi Profesi Keperawatan


Penulisan ini bisa menjadi bahan referensi bagi perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pasien dengan
triage dan pembidaian yang dapat dilakukan kepada pasien selama dirawat
di rumah sakit.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan bahan ajar
dalam pemberian asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pasien
dengan triage dan pembidaian

29
Daftar Pustaka

Kartika,Dewi .2012.Buku Ajar Dasar-dasar Keperawatan Gawat


Darurat.Jakarta.Salemba Medika
Boswick,John.2000.Perawatan Gawat Darurat. Jakarta.EGC
Suwardianto, Heru. 2014. Buku Ajar Keperawatan Kegawatdaruratan. Surabaya:
PT. Revka Petra Medika
Kartikawati, Dewi. 2013. Buku Ajar Dasar – Dasar Keperawatan Gawat
Darurat. Jakarta : Salemba Medika
Kurniati, Amelia. 2018. Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy.
Singapore : Elsevier

https://www.scribd.com/doc/256555136/PEMBIDAIAN-bruuuuuuuu
https://www.academia.edu/29249367/LP_Bidai_RESTRAIN_NOVI.docx
https://www.academia.edu/37559400/makalah_askep_triage
https://www.scribd.com/document/330258890/Makalah-Triage-Kelompok-2

30

Anda mungkin juga menyukai