perbedaan laju. Bila dalam gas, cairan atau padatan terdapat perbedaan laju, itu berarti bahwa
salah satu bagian dari senyawa mempunyai laju yang relatif terhadap yang lain. Cairan
mempunyai gaya gesek yang lebih besar dari pada gas, sehingga cairan akan mempunyai
koefisien viskositas yang lebih besar dari pada gas. Viskositas gas bertambah dengan naiknya
temperatur sedangkan viskositas cairan turun dengan naiknya suatu temperatur. Adanya zat
terlarut akan menaikkan viskositas larutan, dimana zat terlarut tersebut bersifat
makromolekul. Bahkan pada konsentrasi rendahpun, efeknya sangat besar, karena molekul
Ada beberapa cara metode yang dapat digunakan dalam mengukur viskositas caiaran.
Metode yang paling sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur suatu cairan dengan
viskositas rendah adalah dengan metode Ostwald. Pada percobaan ini, metode pengukuran
viskositas dilakukan dalam pipa kapiler yang biasa disebut dengan viskometer Ostwald.
Pada percobaan ini, kita menngunakan larutan gliserol sebab gliserol merupakan
suatu senyawa turunan alkohol dengan tiga gugus hidroksil (polihidroksil) berbentuk cairan
dengan kekentalan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan air. Dimana larutan gliserol
yang digunakan mempunyai konsentrasi yang berbeda-beda yaitu 5%, 10%, 15%, dan X %,
Setiap fluida (cairan) memiliki sifat yang dikenal sebagai viskositas. Fluida dalam
pipa kapiler terdiri atas lapisan molekul-molekul yang bergerak satu di atas lainnya dengan
makin tinggi konsentrasi suatu cairan maka viskositas juga akan bertambah.
Dalam percobaan ini, akan ditentukan viskositas gliserol yang memiliki konsentrasi
yang berbeda-beda yaitu 5%, 10%, dan 15%, larutan sampel (larutan gliserol yang belum
diketahui konsentrasinya), dan aquades. Dari hasil pengukuran yang dilakukan, tidak
diperoleh nilai viskositas yang sesuai dengan teori yang ada bahwa semakin tinggi
konsentrasi gliserol yang digunakan, maka semakin besar viskositas yang diperoleh, sehingga
waktu yang diperlukan untuk mengalir dari garis m ke garis n pada viskometer juga semakin
lambat.
Hal ini bisa dijelaskan karena pada konsentrasi tinggi larutan gliserol semakin kental
sehingga mengakibatkan gaya gesekan antar molekul yang terjadi dengan dinding viskometer
juga semakin lambat sehingga mengakibatkan waktu alir yang dibutuhkan juga semakin
bahwa makin tinggi konsentrasi suatu larutan maka makin tinggi pula viskositas yang
dihasilkan, atau konsentrasi berbanding lurus terhadap viskositas (sesuai dengan teori). Dari
konsentrasi dan y sebagai viskositas. Dari persamaan tersebut , maka dapat diperoleh nilai
G. Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Viskositas suatu cairan dapat ditentukan dengan cara metode Ostwald, yaitu dengan
mengukur waktu yang diperlukan oleh cairan untuk melewati pipa kapiler dan kemudian
2. Viskositas berbanding lurus terhadap konsentrasi dimana viskositas suatu cairan akan
meningkat apabila konsentrasi dari cairan tersebut bertambah pula, sehingga waktu alir yang
Viskositas menggambarkan penolakan dalam fluida kepada aliran dan dapat dipikir sebagai sebuah
cara untuk mengukur gesekan fluida. Penggunaan viskometer Ostwald secara baik dan benar yaitu
dengan membersihkan bagian viskometer dengan menggunakan alkohol atau aseton. Perhitungan
waktu untuk viskometer diperlukan larutan gliserol untuk melewati jarak antara 2 tanda tera (yaitu
tanda atas ke bawah) pada viskometer yaitu dengan menghisap larutan dengan alat penghisap
sampai cairan berada diatas tanda tera pada bagian viskometer, kemudian membiarkan larutan
tersebut mengalir turun sampai tanda tera bagian bawah viskometer dan digunakan stopwatch
untuk menghitung waktu turun larutan tersebut dari tanda tera atas sampai tanda tera bagian
bawah viskometer.
Daftar Pustaka
Anonim. Prinsip Bernouli. http://id.wikipedia.org/wiki/Prinsip_Bernoulli, diakses hari rabu
tanggal 28 November 2012 pukul 11.07.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka
Pembakaran merupakan oksidasi cepat bahan bakar disertai dengan produksi panas,
atau panas dan cahaya. Pembakaran sempurna bahan bakar terjadi hanya jika ada pasokan
oksigen yang cukup.
Oksigen (O2) merupakan salah satu elemen bumi paling umum yang jumlahnya
mencapai 20.9% dari udara. Bahan bakar padat atau cair harus diubah ke bentuk gas sebelum
dibakar. Biasanya diperlukan panas untuk mengubah cairan atau padatan menjadi gas. Bahan
bakar gas akan terbakar pada keadaan normal jika terdapat udara yang cukup.
Hampir 79% udara (tanpa adanya oksigen) merupakan nitrogen, dan sisanya
merupakan elemen lainnya. Nitrogen dianggap sebagai pengencer yang menurunkan suhu
yang harus ada untuk mencapai oksigen yang dibutuhkan untuk pembakaran.
Prinsip pembakaran bahan bakar sejatinya adalah reaksi kimia bahan bakar dengan
oksigen (O). Kebanyakan bahan bakar mengandung unsur Karbon (C), Hidrogen (H) dan
Belerang (S). Akan tetapi yang memiliki kontribusi yang penting terhadap energi yang
dilepaskan adalah C dan H. Masing-masing bahan bakar mempunyai kandungan unsur C dan
H yang berbeda-beda.
Proses pembakaran terdiri dari dua jenis yaitu pembakaran lengkap (complete
combustion) dan pembakaran tidak lengkap (incomplete combustion). Pembakaran sempurna
terjadi apabila seluruh unsur C yang bereaksi dengan oksigen hanya akan menghasilkan CO2,
seluruh unsur H menghasilkan H2O dan seluruh S menghasilkan SO2. Pada pembakaran
sempurna, reaktan terbakar dengan oksigen menghasilkan beberapa produk. Ketika
hirokarbon terbakar dengan oksigen, maka reaksi utama akan menghasilkan karbon dioksida
dan air. Ketika elemen dibakar, maka produk yang dihasilkan biasanya juga berupa oksida.
Karbon dibakar menghasilkan karbon dioksida, sulfur dibakar menghasilkan sulfur dioksida,
dan besi dibakar menghasilkan besi(III) oksida. Nitrogen tidak dianggap sebagai komponen
yang bisa terbakar jika oksigen dipakai sebagai agen pengoksidasi, namun nitrogen oksida
NOx dalam jumlah kecil biasanya akan terbentuk. Jumlah udara yang diperlukan untuk
pembakaran sempurna disebut udara teoritis. Namun, pada prakteknya digunakan jumlah 2-3
kali jumlah udara teoritis.
Tujuan dari pembakaran yang baik adalah melepaskan seluruh panas yang terdapat
dalam bahan bakar. Hal ini dilakukan dengan pengontrolan “tiga T” pembakaran yaitu :
(1) Temperature
Suhu yang cukup untuk menyalakan dan menjaga penyalaan bahan bakar,
(2) Turbulence
(3) Time
Pembakaran sempuna terjadi apabila pada saat terjadinya proses oksdiasi ini terdapat oksigen
yang cukup dan pada bahan bakar, terdapat bilangan oktan yang tinggi. Hasil dari
permbakaran sempurna ini, asap yang ditimbulkan tidak cukup banyak bila dibandingkan
dengan hasil dari pembakaran tidak sempurna. Setiap senyawa hidrokarbon yang dibakar
sempurna (terdapat cukup oksigen) akan menghasilkan karbondioksida dan air.
sedangkan pembakaran tak sempurna terjadi apabila seluruh unsur C yang dikandung dalam
bahan bakar bereaksi dengan oksigen dan gas yang dihasilkan tidak seluruhnya CO2.
Keberadaan CO pada hasil pembakaran menunjukkan bahwa pembakaran berlangsung secara
tidak lengkap.
Jumlah energi yang dilepaskan pada proses pembakaran dinyatakan sebagai entalpi
pembakaran yang merupakan beda entalpi antara produk dan reaktan dari proses pembakaran
sempurna. Entalpi pembakaran ini dapat dinyatakan sebagai Higher Heating Value (HHV)
atau Lower Heating Value (LHV). HHV diperoleh ketika seluruh air hasil pembakaran
dalam wujud cair sedangkan LHV diperoleh ketika seluruh air hasil pembakaran dalam
bentuk uap.
Pada kenyataannya tidak ada larutan yang benar-benar ideal dan campuran
yang sebenar - benarnya mendekati ideal.
Jika suatu komponen (pelarut) mendekati murni, komponen itu berperilaku sesuai
dengan Hukum Roult dan mempunyai tekanan uap yang sebanding dengan fraksi mol.
Beberapa larutan menyimpang jauh dari Hukum Roult. Walaupun demikian, dalam hal ini
hukum itu semakin dipatuhi jika komponennya berlebih (sebagai pelarut) sehingga mendekati
kemurnian. Bisa dikatakan, bahwa hukum ini menerangkan pendekatan yang baik untuk
pelarut selama larutan ini encer (Atkins, 1994 : 174).
Dalam larutan ideal, sifat komponen yang satu akan mempengaruhi sifat komponen
yang lain, sehingga sifat larutan yang dihasilkan terletak diantara sifat-sifat komponenya.
Contohnya sistem Benzen - Toluen.
Kesimpulan:
http://fitrahchem.blogspot.com/2013/01/makalah-praktikum-kimia-fisika.html
http://choalialmu89.blogspot.com/2011/01/percobaan-ii-kesetimbangan-uap-cair.html
http://mafikadihati.blogspot.com/2012/11/laporan-praktikum-kesetimbangan-uap.html
Larutan ideal dengan zat terlarut ionik didefinisikan sebagai larutan yang ion-ionnya
dalam larutan bergerak bebas satu sama lain, dan saling tarik hanya terjadi dengan molekul
pelarut. Komponen dalam larutan ideal memberikan sumbangan terhadap konsentrasi larutan
sangat efektif. Untuk larutan ionik yang sangat encer dapat dikategorikan mendekati perilaku
ideal sebab ion-ion dalam larutan itu saling berjauhan akibatnya antaraksi elektrostatisnya
lemah.
Dalam larutan nonideal, gaya antar atom-atom, ion-ion, atau molekul-molekul harus
dipertimbangkan dalam perhitungan.
Bila interaksi antarmolekul komponen-komponen larutan sama besar dengan interaksi
antarmolekul komponen-komponen tersebut pada keadaan murni, terbentuklah suatu
idealisasi yang disebut larutan ideal. Larutan ideal mematuhi hukum Raoult, yaitu bahwa
tekanan uap pelarut (cair) berbanding tepat lurus dengan fraksi mol pelarut dalam larutan.
Larutan yang benar-benar ideal tidak terdapat di alam, namun beberapa larutan memenuhi
hukum Raoult sampai batas-batas tertentu. Contoh larutan yang dapat dianggap ideal adalah
campuran benzena dan toluena.
Ciri lain larutan ideal adalah bahwa volumenya merupakan penjumlahan tepat volume
komponen-komponen penyusunnya. Pada larutan non-ideal, penjumlahan volume zat terlarut
murni dan pelarut murni tidaklah sama dengan volume larutan.
Sebagaimana juga perilaku gas nyata berbeda dengan perilaku gas ideal, perilaku
larutan nyata berebeda dengan perilaku larutan ideal, dengan kata lain berbeda dari hukum
Raoult. Gambar 7.7(a) menunjukkan kurva tekanan uap sistem biner dua cairan yang cukup
berbeda polaritasnya, aseton Me2CO dan karbon disulfida CS2. Dalam hal ini, penyimpangan
positif dari hukum Raoult (tekanan uap lebih besar) diamati. Gambar 7.7(b) menunjukkan
tekanan uap sistem biner aseton dan khloroform CHCl3. Dalam kasus ini, penyimpangan
negatif dari hukum Raoult diamati. Garis putus-putus menunjukkan perilaku larutan ideal.
Peilaku larutan mendekati ideal bila fraksi mol komponen mendekati 0 atau 1. Dengan
menjauhnya fraksi mol dari 0 atau 1, penyimpangan dari ideal menjadi lebih besar, dan kurva
tekanan uap akan mencapai minimum atau maksimum.
Penyebab penyimpangan dari perilaku ideal sebagian besar disebabkan oleh besarnya
interaksi molekul. Bila pencampuran komponen A dan B menyebabkan absorpsi kalor dari
lingkungan (endoterm), interaksi molekul antara dua komponen lebih kecil daripada pada
masing-masing komponen, dan penyimpangan positif dari hukum Raoult akan terjadi.
Sebaliknya, bila pencampuran menghasilkan kalor ke lingkungan (eksoterm), penyimpangan
negatif akan terjadi.
Bila ikatan hidrogen terbentuk antara komponen A dan komponen B, kecenderungan
salah satu komponen untuk meninggalkan larutan (menguap) diperlemah, dan penyimpangan
negatif dari hukum Raoult akan diamati. Kesimpulannya, penyebab penyimpangan dari
hukum Raoult sama dengan penyebab penyimpangan dari hukum gas ideal.
Laporan tetap
Percobaan ini digunakan bahan aseton dan klorofom, dan titik didih yang dihasilkan dari campuran
tersebut merupakan titik didih minimum sehingga dapat dikatakan bahwa percobaan ini termasuk
deviasi negatif. Apabila kedua jenis cairan ini dicampurkan, akan dibebaskan panas yang
menunjukkan bahwa terjadi ikatan. Reaksi tersebut melepas panas yang disebut juga dengan reaksi
eksoterm. Ikatan intermolekul yang terbentuk juga merupakan ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen
antara kloform – aseton adalah sebagai berikut :
( CH3 )2C = O + H – CCl3 ( CH3 )2CO……..H – CCl3 ∆H=negative,
(Ikatan hidrogen = …………).
Hasil percobaan didapatkan massa jenis yang sedikit berbeda dengan literatur, untuk massajenis
klorofom hasil percobaan adalah 1.4487 g/cm 3, sedangkan pada literature sebesar 1,48 g/cm 3. Massa
jenis aseton dari hasil percobaan adalah 0.7696 g/cm 3, sedangkan diliteratur adalah 0,79 g/cm.
Titik didih yang didapat dari percobaan adalah aseton : klorofom (10-0) adalah 58 oC; aseton :
klorofom (8-2)adalah 60 oC; aseton : klorofom (6-4)adalah 61 oC; aseton : klorofom (4-6)adalah 62 oC;
aseton : klorofom (2-8)adalah 62 oC; aseton : klorofom (0-10)adalah 59 oC. Titik didih aseton murni
hasil percobaan adalah 59oC, itu berbeda dengan literatur yaitu 56.53 oC. Titik didih klorofom murni
hasil percobaan adalah 58oC, pada literatur adalah 61oC. Hasil percobaan menjukkan bahwa titik
didih campuran lebih tinggi dari pada titik didih komponen murninya. Selisih perbandingan
komponen juga berpengaruh, semakin sedikit selisihnya maka semakin tinggi titik didihnya, misalnya
8ml klorofom banding 2ml aseton memiliki titik didih lebih rendah daripada titik didih 6ml klorofom
banding 4ml aseton, yaitu 60oC banding 61oC. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi mol berbanding
lurus dengan temperatur. Percobaan ini menggambarkan bahwa harga mol fraksi larutan merupakan
komposisi larutan.
Aseton adalah senyawa yang mudah menguap dibandingkan kloroform dengan titik didih aseton =
56,530C sedangkan kloroform = 61°C. Bila dalam campuran volume aseton lebih banyak dari pada
kloroform maka membutuhkan suhu yang tinggi walaupun aseton memiliki titik didih yang lebih
rendah dari pada klorofrom. Apabila perbandingan volume klorofom lebih sedikit dari pada aseton,
maka tidak membutuhkan suhu yang tinggi untuk menguapkan aseton, sehingga residu hanya berisi
kloroform.misalnya volume 8 ml aseton : 2 ml kloroform, maka aseton akan menguap terlebuh
dahulu dengan titik didih yang tidak terlalu tinggi. Bila hasil destilat diuapkan terus menerus, maka
dihasilkan residu kloroform murni.
Praktikum ini penentuan nilai alfa ( α ) dan nilai ( β ) menggunakan alat refraktometer, dimana
larutan diletakkan pada kaca dan bagian berpori lalu ditentukan nilainya dengan skala yang ada pada
alat tersebut. Cahaya putih bergaris adalah sinar alfa, cahaya pelangi adalah sinar beta. Dari grafik
hasil percobaan, terjadi penyimpangan pada grafik n versus fraksi mol ( x ) , hal ini disebabkan
kesulitan dan kurang tepatnya dalam menentukan nilai dari indeks bias( α dan β ), kesalahan lainnya
adalah kurang akuratnya dalam penimbangan berat zat dengan piknometer. Grafik antara fraksi mol
( x ) versus suhu ( T ) kurang akurat, sebab nilai R 2 = 0,1395. R2 merupakan tingkat keakuratan dari
data percobaan tersebut .
Azeotrop merupakan suatu keadaan dimana ketika campuran yang uapnya mencapai komposisi yang
sama dengan cairan, sehingga akan terjadi penguapan tanpa terjadi perubahan komposisi. Destilasi
tidak akan dapat memisahkan kedua cairan yang dicampurkan jika komposisi azeotrop sudah dicapai
karena komposisi kondensat sama dengan komposisi cairan. Titik azeotrop adalah titik tercapainya
komposisi azeotrop tercapai.
BAB 5 Penutup
3.1 Kesimpulan
1. kesetimbangan uap – cair pada system binair adalah batas dimana rapatan uap sama dengan
rapatan sisa cairan.
2. Larutan ideal memiliki sifat antara sifat-sifat penyusunnya.
3. Larutan yang menyimpang dari hukum Raoult adalah larutan non ideal.
4. Titik didih campuran lebih tinggi daripada titik didih komponen murninya.
5. Reaksi yang terjadi pada percobaan ini adalah reaksi eksoterm.
6. Fraksi mol berbanding lurus dengan temperatur.
1. Titik azeotrop adalah titik dimana uap campuran mencapai komposisi yang sama dengan
cairan.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
2.4.2 Pembahasan
Kesetimbangan uap cair dipengaruhi oleh suhu dan komposisi dari larutan tersebut. Dalam
percobaan ini larutan yang digunakan adalah akuades dan etanol 96%, dimana titik didih etanol lebih
rendah dibandingkan dengan akuades. Sehingga apabila komposisi etanol dalam suatu larutan
semakin besar, maka titik didih larutan akan menjadi semakin rendah.
Akuades merupakan pelarut murni dengan rumus kimia H2O. Akuades bersifat tidak berwarna, tidak
berasa dan tidak berbau pada kondisi standar. Titik didih air berada pada 1000C atau 373 K. Akuades
berada dalam kesetimbangan dinamis antara fase cair dan padat dibawah tekanan dan temperatur
standar. Etanol merupakan cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna dan
merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Etanol memiliki titik
didih 78,40C atau 351,4 K.
Campuran etanol dengan akuades akan membentuk azeotrop. Azeotrop merupakan campuran zat
cair yang fase uap dan fase cairnya mempunyai komposisi yang persis sama. Perbandingannya kiri-
kira 89 mol % etanol dan11 mol % akuades. Perbandingan ini juga dapat dinyatakan sebagai 96%
volume etanol dan 4% volume akuades pada tekanan normal dan T = 351,4 K. Campuran etanol dan
akuades memiliki sifat berbeda sesuai dengan konsentrasi kedua bahan tersebut.
Untuk mengetahui kesetimbangan uap cair antara akuades dan etanol, dilakukan proses distilasi.
Adapun prinsip kerja dari percobaan ini adalah perbedaan tekanan uap dan titik didih serta berat
jenis suatu pelarut/zat yang dimana saat titik didih terjadi, akan dapat kembali menjadi cair setelah
menguap serta ketetapan saat larutan itu menguap sama dengan kecepatan pada saat zat/larutan
itu kembali ke fase cairan. Campuran yang telah dipanaskan, diuapkan kembali dialirkan ke dalam
kondensor untuk diembunkan menjadi cairan dan ditimbang dalam labu distilat setelah melewati
kolom vigreaux. Uap kembali menjadi cairan karena melewati proses pendinginan pada kondensor
(fase uap akan berubah menjadi fase cair) karena perbedaan titik didih larutan campuran. Proses
distilasi dihentikan bila campuran tersebut sudah mencapai suhu kesetimbangan saat cairan yang
berada di dalam labu leher tiga mendidih untuk pertama kali. Ketika tetesan pertama jatuh, diberi
waktu 5 menit sampai tetesan berhenti yang artinya larutan campuran berubah dari uap menjadi
cair. Hal ini terjadi bila campuran tersebut telah mencapai titik didih pada saat gelembung pertama
muncul. Cairan yang jatuh dalam labu distilat pada saat proses distilasi disebut distilat yang berupa
larutan etanol karena memiliki titik didih yang lebih rendah dibandingkan akuades. Sedangkan cairan
yang masih tertinggal di dalam labu leher tiga dinamakan residu yang berupa akuades.
Ditinjau dari sifatnya, campuran yang hampir ideal sebab saat dicampur, akuades dan etanol akan
membentuk ikatan hidrogen. Ikatan yang terbentuk ini akan saling mempengaruhi sehingga
terbentuklah larutan yang homogen. Apabila fungsi keadaan tekanan dianggap nol (isobarik) dan
yang menjadi variabel bebasnya adalah temperatur (A) dan V(x),maka secara teoritis saat T naik
hingga menyebabkan campuran mendidih maka molekul larutan A dan larutan n (untuk larutan
biner) akan melepaskan molekul yang sama besar.
Besarnya nilai densitas juga dipengaruhi oleh titik didih campuran. Namun densitas juga sangat
dipengaruhi oleh komposisi komponen tertentu. Pada campuran antara akuades dan etanol
misalnya, jika komposisi etanol semakin kecil maka titik didihnya semakin besar dan densitasnya
akan semakin kecil. Begitu pula sebaliknya.
Pada kenyataanya komponen yang lebih atsiri akan lebih mudah menguap dan pada titk didih
tersebut komponen-komponenya akan membentuk suatu kesetimbangan uap cair. Berdasarkan
percobaan yang telah dilakukan membuat larutan etanol dan akuades masing-masing dengan
perbandingan 15:0 ; 12:3 ; 9:6 ; 6:9 ; 3:12 ; 0:15. Hasil pengamatan menunjukkan semakin besar
kadar akuades dalam campuran tersebut maka semakin besar pula titik didih larutannya. Ini
disebabkan etanol merupakan senyawa alkohol dengan titik didih yang lebih rendah dibandingkan
denagn akuades.
Nilai densitas yang diperoleh juga akan mempengaruhi fraksi mol setiap komponen. Selain itu, fraksi
mol tiap komponen juga dipengaruhi oleh komposisi tiap larutan tersebut, maka didapatkan nilai
fraksi mol etanol adalah 1 ; 0,01602 ; 0,01560 ; 0,01422 ; 0,01318 ; dan 0. Nilai densitas etanol pada
titik didih 79 ; 79,5 ; 80 ; 81 ; 82 ; dan 840C masing-masing sebesar 0,75023 ; 0,74980 ; 0,74920 ;
0,74849 ; 0,747626 ; dan 0 gr/mL. Jika komposisi suatu komponen semakin besar maka fraksi molnya
juga akan semakin besar. Dengan memasukkan nilai diatas dapat dibuat grafik hubungan antara
fraksi mol dan densitas dari etanol. Hal ini dapat dilihat dari grafik berikut :
Gambar 2.2 Grafik Hubungan antara Fraksi Mol dengan Densitas Etanol
Dari Gambar 2.2 terlihat bahwa fraksi mol etanol berbanding lurus dengan densitas etanol. Artinya,
kenaikan nilai fraksi mol akan meningkatkan nilai densitas etanol. Densitas etanol meningkat seiring
dengan menurunnya titik didih, dengan kata lain fraksi mol etanol yang lebih besar akan
menurunkan titik didih. Hal ini terjadi karena komposisi etanol yang lebih besar dapat menurunkan
titik didih akibat titik didih etanol yang lebih rendah dibandingkan dengan akuades. Hal yang sama
juga terjadi pada densitas dari akuades seperti yang terlihat dari grafik berikut ini :
Gambar 2.3 Grafik Hubungan antara Fraksi Mol dengan Densitas Akuades
Dari Gambar 2.3 terlihat bahwa meningkatnya nilai fraksi mol juga meningkatkan nilai densitas dari
akuades itu sendiri. Hal ini dikarenakan penambahan volume akuades ke dalam campuran yang
semakin besar sehingga nilai dari densitas akuades itu akan meningkat seiring pertambahan volume
akuades ke dalam campuran. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai densitas akuades masing-
masing adalah 0 ; 0,99205 ; 0,99200 ; 0,99190 ; 0,99180 ; dan 0,99160 gr/mL dan nilai fraksi mol
akuades masing-masing sebesar 0 ; 0,98398 ; 0,98440 ; 0,98578 ; 0,98682 ; dan 1.
Titik didih juga sangat berpengaruh terhadap fraksi mol tiap komponen dalam suatu larutan. Dengan
adanya titik didih, maka dapat juga menunjukkan besarnya komposisi tiap komponen dalam larutan.
Semakin besar atau tinggi titik didihnya, maka komposisi akuades dalam larutan itu akan menjadi
semakin besar sehingga fraksi molnya juga akan bertambah besar. Sebaliknya, jika titik didih larutan
tersebut tinggi maka komposisi etanol dalam larutan itu akan menjadi semakin kecil dibandingkan
dengan akuades. Karena titik didih etanol lebih rendah dibandingkan dengan akuades sehingga fraksi
molnya juga akan bertambah kecil. Hal ini dapat terlihat dalam grafik berikut ini :
Gambar 2.4 Grafik Hubungan antara Fraksi Mol dan Titik Didih antara Etanol dan Akuades
Dari Gambar 2.4 terlihat bahwa fraksi mol etanol berbanding terbalik dengan titik didih dan fraksi
mol akuades berbanding lurus dengan titik didih. Pada akuades, ikatan molekul dalam pencampuran
menjadi lebih kuat dengan penambahan fraksi mol komposisi akuades dalam larutan. Hal ini akan
menyebabkan molekul lebih sukar untuk berpindah dari fase cair menjadi fase uap, sehingga
tekanan uap murninya menurun. Dengan demikian campuran memerlukan suhu yang lebih tinggi
dan kalor yang dibutuhkan lebih banyak untuk mencapai titik didih larutan. Sedangkan pada etanol,
penambahan komposisi etanol ke dalam campuran akan menyebabkan gaya tarik menarik antar
molekul dalam campuran menjadi berkurang, sehingga larutan lebih mudah untuk mencapai titik
didih karena molekul-molekul dalam campuran lebih mudah untuk berpindah dari fase cair menjadi
fase uap.
2.5 PENUTUP
2.5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari percobaan ini adalah sebagai berikut :
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesetimbangan uap cair adalah suhu (titik didih), densitas, dan
komposisi zat dalam larutan.
Gaya tarik antar molekul-molekul etanol dan akuades semakin kuat ketika mendekati titik
kesetimbangan volume antara akuades dan etanol.
Besarnya titik didih campuran tergantung pada jenis larutan, pada etanol titik didihnya menurun
seiring kenaikan fraksi molnya dan pada akuades titik didih dan fraksi molnya berbanding lurus.
Semakin besar nilai dari fraksi mol, maka semakin tinggi pula densitasnya. Pada etanol dan akuades
nilainya berbanding lurus.
Titik kesetimbangan larutan terjadi pada saat gelembung pertama muncul saat mendidih.
Nilai titik didih masing-masing pada perbandingan 15:0 ; 12:3 ; 9:6 ; 6:9 ; 3:12 ; dan 0:15 adalah 79 ;
79,5 ; 80 ; 81 ; 82 ; dan 840C.
Nilai densitas etanol masing-masing adalah 0,75023 ; 0,74980 ; 0,74920 ; 0,74849 ; 0,747626 ; dan 0
gr/mL dengan fraksi mol etanolnya masing-masing sebesar 1 ; 0,01602 ; 0,01560 ; 0,01422 ;
0,01318 ; dan 0.
Nilai densitas akuades masing-masing adalah 0 ; 0,99205 ; 0,99200 ; 0,99190 ; 0,99180 ; dan 0,99160
gr/mL dengan nilai fraksi molnya masing-masing sebesar 0 ; 0,98398 ; 0,98440 ; 0,98578 ; 0,98682 ;
dan 1.e
F. Pembahasan
Kalor pembakaran adalah kalor yang dilepaskan atau diserap oleh 1
mol unsur atau senyawa diberi symbol ∆Hc. Kalor pembakaran untuk
praktikum kali ini yaitu lilin dan spirtus. Lilin merupakam senyawa
hidrokarbon yang dapat menghasilkan panas. Rumus kimia dari lilin
adalah C25H52 dan rumus kimia spirtus C4H10.
Sebelum keduanya dibakar terlebih dahulu ditimbang sebagai suhu
awal, dan ketika air sudah panas mencapai kenaikan 20 oC, lilin dan spirtus
tersebut dimatikan. Setelah itu ditimbang kembali untuk mengetahui kalor
yang terbuang dalam proses pembakaran. Sehingga didapat pelepasan 1
mol lilin dalam proses pembakaran adalah sebanyak -1632,8125 kJ. Tanda
negatif tersebut menunjukan bahwa terjadinya reaksi eksoterm, yaitu
melepaskan kalor. Sementara untuk spirtus, kalor yang dilepas dalam
proses pembakaran adalah sebanyak -9500 kJ yaitu melepaskan kalor
untuk memanaskan air sampai dengan suhunya meningkat 20oC.
Dari perbedaan massa lilin sebelum dan sesudah di bakar dapat kita
ketahui bahwa paraffin padat yang terbakar juga mengalami penguapan.
Proses pebakaran lilin akan mengahasilkan cahaya dan energi panas.
Pembakaran ini juga menghasilkan gas dan asap yang terbang ke udara.
Gas yang dihasilkan adalah gas karbon dioksida (CO2).
Pada proses pembakaran ini akan melibatkan O 2 dari udara dan akan
dihasilkan karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O) sebagai produk reaksi.
Karena bahan bakarnya merupakan senyawa hidrokarbon, maka
persamaan reaksinya adalah sebagai berikut:
C25H52 + 38O2 → 25CO2 + 26 H2O
Reaksi pembakaran lilin yang tidak sempurna juga terlihat dari
terbentunya asap hitam yang merupakan molekul karbon. Jika semua
molekul paraffin membentuk CO2 dan H2O, maka pada lilin hanya terjadi
perbahan kimia atau tidak ada perubahan fisika yang terjadi. Karena
perubahan fisika pada lilin terletak pada perubahan wujud lilin dari padat
menjadi cair dan kembali berwujud padat.
G. Kesimpulan
Dari praktikum di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada proses pembakaran lilin berlangsung reaksi eksoterm dan akan melibatkan O2 dari
udara serta akan dihasilkan karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O) sebagai produk reaksi.
Karena bahan bakarnya merupakan senyawa hidrokarbon, dengan persamaan reaksi:
C25H52 + 38O2 → 25CO2 + 26 H2O ∆H = --1632,8125 kJ
2. Kalor reaksi yang dilepaskan dalam pemanasan air menggunakan lilin adalah sebesar
-4644,4 kJ.
3. Pada proses pembakaran spirtus berlangsung reaksi eksoterm, dan kalor yang dilepas
spirtus dalam proses pembakaran adalah sebanyak --9500 J
4. Kalor reaksi yang dilepaskan dalam pemanasan air menggunakan lilin adalah sebesar -4180
kJ.
Referensi:
Dewi, Fatikahrahma. 2012. “Laporan praktikum kimia” http://fatikahrahmadewi.blogs
pot.com/2012/04/laporan-praktikum-kimia-kalor.html diakses 01 April 14
Kartimi. 2014. Panduan Praktikum Semester 2. Cirebon: PUSLAB IAIN Cirebon
Ronah. 2012. “Pembakaran Lilin” http://ronahyeppayoseob.blogspot.com/2012/01/pem
bakaran-lilin-membuktikan-hukum.html diakses 01 Apr. 14
F. Pembahasan
Pada praktikum ini kita akan membahas tentang kalor pembakaran. Kalor pembakaran
merupakan salah satu konsep dari termokimia yang dikategorikan sebagai jenis-jenis kalor
reaksi. Pengertian dari kalor pembakaran adalah kalor yang dilepaskan atau diserap oleh
pembakaran 1mol unsur atau senyawa dan diberi symbol ΔHc (c adalah symbol dari reaksi
pembakaran c = combuction).
Kalor pembakaran pada percobaan ini yaitu pada lilin. Dan spirtus, Dengan melakukan
praktikum ini kita bisa mengetahui nilai kalor reksi dari per gram bahan bakar. Bahan bakar
yang digunakan adalah lilin dan spirtus, karena lilin merupakam senyawa. hidrokarbon yang
dapat menghasilkan panas. Rumus kimia dari lilin adalah C25H52 dan rumus kimia spirtus
C4H10.
Dari proses praktikum di Laboratorium, untuk menentukan kalor pembakaran pada
lilin dilakukan melalui proses pemanasan air. Sebelum memanaskan air, lilin yang akan
digunakan untuk memanasskan air ditimbang terlebih dahulu menggunakan neraca ohaus.
Dan didapatkanlah massa lilin sebesar 13 gram. Dalam praktikum, air sebanyak 200 mL
dengan suhu awal (t1) sebesar 280C. setelah suhu air mencapai kenaikan hingga 50 0C, lilin
dimatikan. Berarti t2 sebesar 500C. Kemudian lilin kembali ditimbang, dan didapatkan massa
lilin sebesar 10 gram. Jadi massa lilin yang digunakan dalam proses pemanasan air hingga
mencapai 500C adalah 3 gram. Sedangkan bila dipakai dengan suhu 200C maka terpakai 0,75
grm.
Pada proses pembakaran ini akan melibatkan O2 dari udara dan akan dihasilkan
karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O) sebagai produk reaksi. Karena bahan bakarnya
merupakan senyawa hidrokarbon, maka persamaan reaksinya adalah sebagai berikut:
C25H52 + 38O2 25CO2 + 26 H2O ∆H = -1589.35 J
Dari hasil analisis data, kalor reaksi yang dilepaskan dalam pemanasan air
menggunakan lilin adalah sebesar 17,600 j. Jadi dalam proses ini terjadi reaksi eksoterm,
yaitu pelepasan kalor dari sistem ke lingkungan. Sehingga kalor yang dihasilkan selalu
bersifat negatif. Sedangkan kalor reaksi yang dilepaskan bahan bakar (lilin) per gramnya
adalah 1,955,5 kj.
Hasil praktikum diatas sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kalor
pembakaran standar adalah kalor yang dilepaskan atau diserap pada proses pembakaran 1 mol
unsur atau senyawa dalam keadaan standar. Kalor pembakaran standar biasa diberi simbol
∆Hc. Dalam prosesnya akan terjadi reaksi eksoterm (pelepasan kalor dari sistem ke
lingkungan) dengan nilai ∆H (perubahan entalpi) selalu negatif.
Dalam setiap proses pembakaran akan selalu terjadi pelepasan kalor dan
menghasilkan karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O) sebagai produk reaksi.
Sedangkan pada media berupa spirtus yang prosedurnya sama seperti diatas, massa
dari spirtus adalah 167 gr dan setelah memanaskan air untuk mencapai suhu air ± 50 0C massa
spirtus menjadi 155 gr. Jadi massa spirtus untuk memanaskan air tersebut adalah 12 gr.
Berdasarkan hasil perhitungan pada hasil pengamatan didapat Q = 18409,6 joule.
Disisni juga dihitung berapa kalor pada air, berdasarkan hasil dari perhitungan maka
didapat Q = 88,94 joule, jadi kalor yang dilepaskan dalam 1 mol yaitu 88,94.
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
(Kartimi, M.Pd)
DAFTAR PUSTAKA
VI. PEMBAHASAN
Dari hasil praktikum dan analisis data diatas, yang dilakukan pada praktikum kalor
pembakaran pada spirtus dan lilin. dengan penentuan mencari kalor pembakaran pada lilin dan kalor
pembakaran pada spirtus. Pada kalor pembakaran lilin dicari massa lilin awal sebelum pembakaran
dengan cara ditimbang, kemudian rangkai alat dengan disiapkan volume air dengan 200 ml air, dan
ukur suhu awal air dengan thermometer kemudian nyalakan lilin dengan diukur juga kenaikan suhu
yang terjadi pada kalor pembakaran lilin hingga 50 0C dan timbang lilin setelah selesai pembakaran.
Dan dihasilkan nilai kalor pembakaran lilin sebesar 18,409 J dengan menggunakan rumus q= m. c .
∆T, pada harga kalor yang dilepaskan lilin sebesa 2,629 KJ , kalor yang dilepaskan pada satu mol.
Kemudian pada kalor pembakaran spirtus, ditentukan massa spirtus dengan cara ditimbang
sebelum terjadi pembakaran, massa spirtus 64,2 gram. Rangkai alat seperti pada percobaan
pertama, dengan lilin diganti menggunakan pembakara spirtus dan tentukan suhu awal pada air
dengan suhu 280C kemudian amati perubahan suhu yang terjadi sampai 50 0C. setelah itu ditimbang
kembali massa spirtus yang setelah pembakaran dengan nilai 59,2 gram. Dengan rumus spirtus C 4H10.
Pada proses kalor pembakaran lilin dan kalor pembakaran spirtus terjadi peristiwa kalor
yang dilepaskan atau diserap dalam pembakaran. dimana pada kalor pembakaran spirtus terjadi
pembakaran kalor yang cepat dikarenakan massa spirtus lebih besar dari massa lilin. Dan begitu pula
sebaliknya pada kalor pembakaran lilin dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk melepaskan
pembakaran. Dan dihasilkan perbedaan nilai dari masing-masing tiap kalor pembakaran dimana
harga kalor pembakaran yang dilepaskan pada spirtus adalah 214,958 KJ.
VII. KESIMPULAN
1. Percobaan pertama, pada kalor pembakaran lilin dapat disimpulkan, dengan pelepaan dalam satu
mol kalor, membutuhkan kalor sebanyak 2,629 Joule. Dengan memanaskan 200 ml air.
2. Percobaan kedua, pada kalor pembakaran spirtus dapat disimpulkan, terjadi pelepasan kalor dalam
satu mol dengan membutuhkan 214,058 KJ, untuk memanaskan 200 ml air agar terjadi kenaikan
suhu menjadi 500C.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.shvoong.com/exact-sciences/chemistry/2237623-termokimia- /#ixzz1pX5JRezD
Tim kimia dasar. 2009. Penuntun praktikum kimia dasar 2. Surabaya : jurusan kimia FMIPA UNESA.