Anda di halaman 1dari 16

JAWABAN PERTANYAAN PROYEK FISIOLOGI HEWAN

Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Pb Asetat (PbCH3COO) secara Per Oral terhadap
Kadar Hemoglobin, Jumlah Eritrosit dan Leukosit pada Tikus
(Rattus norvegicus)
Dosen pengampu: Dr. Wiwi Isnaeni, M.S
Dr. Aditya Marianti, M.Si.

Disusun Oleh:
Kelompok 6
Ainun Hidayah (4401417010)
Anik Rahmawati (4401417011)
Nindita Raras Indriyani (4401417034)
Naura Vinny Salsabilla (4401417040)
Shabrina Ghina Alifa (4401417059)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
1. Terangkan jalur toksitokinetik ion Pb dalam tubuh tikus mulai masuk per oral sampai
dengan eliminasi dari tubuh. Jelaskan pula proses metabolism Pb di Hepar!
Jawaban :

a. Jalur toksitokinetik ion Pb

Timbal Oral Saluran Diabsorbsi di


(Pb) pencernaan usus halus

Toksik pada
lambung

Detoksifikasi Hati, ginjal, Jaringan


Pb saraf lunak Darah

Tulang dan Jaringan


gigi keras
Ekskresi/ Urin (75-80%)
eliminasi
Feses 15 %

Pb melalui makanan dan minuman akan masuk secara per oral ke dalam saluran
pencernaan- diikuti dengan proses metabolisme dalam tubuh. Selama dalam saluran
pecernaan timbal akan melalui berbagai organ sebelum akhirnya dielimanasi atau
dikeluarkan dari tubuh melalui urine. Pemaparan pb per oral dapat berasal dari air
minum yang dikonsumsi setiap hari, karena Pb juga digunakan pada pipa air, soldier
dan kran air. Air minum yang disalurkan lewat pipa yang dilapisis Pb akan
menyebabkan tingginya kandungan Pb yang terlarut dalam air tersebut. Sedangkan
pada makanan dapat melalui proses pemasakan makanan dalam wajan aluminium,
karena dalam wajan aluminium tersebut juga digunakan Pb. Masuknya Pb per oral ke
dalam tubuh manusia diduga dapat mempengaruhi organ-organ pencernaan salah
satunya adalah lambung, senyawa Pb secara langsung dapat menghambat kerja enzim
dan menghambat penyerapan mineral oleh tubuh. Hal ini dapat dijelaskan karena
senyawa Pb yang masuk ke dalam tubuh akan terdegradasi melepaskan ion Pb2+. Ion
Pb2+ ini bersifat menghambat kerja enzim proteolitik yang akan mengakibatkan
terjadinya cidera sel. Selain itu juga ion Pb2+ dapat menggantikan ion-ion endogen
dari metallo-enzim yang menyebabkan enzim tidak aktif. Pb yang masuk secaraa per
oral ke dalam lambung dapat menyebabkan meningkatnya jumlah ROS (reactive
oxygen species) yang akan menurunkan kadar antioksidan yang ada di lambung (Aziz
& Marianti, 2014). Timbal yang terabsorbsi dari saluran pencernaan akan
didistribusikan ke darah, cairan ekstraseluler, dan beberapa tempat deposit. Tempat
deposit timbal berada di jaringan lunak (hati, ginjal, dan saraf) dan jaringan keras
(tulang dan gigi). Pada tulang sekitar (60%), hati (25%), ginjal (4%), saraf (3%), dan
ke jaringan lainnya. Kadar timbal tertinggi dalam jaringan keras ditemukan pada
tulang rusuk, kepala, paha, dan gigi. Pada ginjal, toksisitas timbal mempengaruhi
fungsi ginjal terutama pada tubulus renal, nephropati irreversible, sclerosis vascular,
sel tubulus atropi, fibrosis,dan sclerosis glomerulus. Akibatnya dapat menimbulkan
aminiaciduria dan glukosuria. Jika paparannya terus berlanjut dapat terjadi infeksi
kronis pada ginjal. Pada Saraf, efek paparan Pb terhadap kecerdasan anak adalah
menurunkan IQ. Selain itu juga paparan menahun Pb dapat menyebabkan lead
encephalophaty dengan gejala yang timbul adalah rasa malas, gampang tersinggung,
berhalusinasi. Pb Pada hati, jumlah toksisitas Pb yang tinggi dapat menginduksi
pembentukan radikal bebas dan menurunkan kemampuan sistem antioksidan tubuh
sehingga dengan sendirinya akan terjadi stress oksidatif. Pada testis, keracunana Pb
dapat menyebabkan penurunan jumlah spermatozoa. Toksisitas Pb dalam jaringan
keras, yaitu pada tulang ion Pb2+ ini akan menggantikan keberadaan ion Ca2+
(kalsium) yang ada pada tulang. Sedangkan toksisitas Pb pada gigi dapat
menyebabkan karies gigi.
Pb yang terakumulasi dalam tubuh sebelum dikeluarkan melalui saluran ekskresi
akan didetoksifikasi dalam hati oleh sel kupfer supaya mudah untuk diekskresikan.
Ekskresi Pb melalui beberapa cara, yang terpenting adalah melalui ginjal dan saluran
cerna. Ekskresi Pb melalui urin sebanyak 75-80% dan melalui feses 15%. Ekskresi Pb
melalui saluran cerna dipengaruhi oleh saluran aktif dan pasif kelenjar saliva,
pancreas, dan kelenjar lainnya di dinding usus, regenerasi sel epitel, dan ekskresi
empedu. Sedangkan proses ekskresi Pb melalui ginjal adalah dengan cara filtrasi
glomerulus.

b. Proses metabolisme Pb di hepar.


Paparan Pb secara per oral melalui makanan dan minuman yang terabsorbsi dalam
tubuh akan mengalami proses detoksifikasi dalam hepar. Hepar mengandung jenis sel
khusus yang mampu memakan zat racun yang disebut dengan sel Kupfer. Sel Kupfer
akan mendetoksifikasi Pb dalam darah dengan bantuan enzim dan zat kimia khusus
yang disebut xenobiotic. Kadar enzim yang memetabolisme xenobiotic dalam hati
juga tinggi (terutama sitokrom P-450) yang membuat toksikan menjadi mudah di
ekskresikan. Akan tetapi perlu diingat, bahwa kapasitas hati dalam menetralisir zat
toksik dalam tubuh terbatas. Jika toksikan Pb yang masuk ke dalam tubuh berlebihan
dan terakumulasi dalam tubuh akan mengakibatkan kerusakan hati dengan
menginduksi pembentukan radikal bebas dan menurunkan kemampuan sistem
antioksidan sehingga menyebabkan terjadinya stress oksidatif. Radikal bebas dalam
jumlah berlebih di dalam tubuh sangat berbahaya karena dapat menyebabkan
keruskan sel, asam nukleat, protein, dan asam lemak. Perusakan sel oleh radikal bebas
didahului oleh kerusakan mebran sel, antara lain mengubah fluiditas, struktur dan
fungsi membrane sel.

2. Jelaskan bagaimana ion Pb yang terakumulasi dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan
pada jumlah eritrosit, leukosit, dan Hb?
Jawaban :
 Pada Hb:
Pb dalam tubuh terutama terikat dalam gugus –SH dalam molekul protein dan hal ini
menyebabkan hambatan pada aktivitas kerja sistem enzim. Pb menggangu sistem sintesis
Hb dengan jalan menghambat konversi Delta Aminolevulinic Acid (Delta-ALA) menjadi
porphobilinogen dan juga menghambat korporasi dari Fe ke dalam protophorpirin IX
untuk membentuk Hb dengan jalan menghambat aktivasi enzim Delta Aminolevulinic
Acid dan ferroketalase. Hal ini mengakibatkan meningkatnya ekskresi koprotophorpirin
dalam urin dan delta-ALA serta menghambat sintesis Hb.
 Pada eritrosit:
Pb memiliki afinitas yang tinggi pada eritrosit. Pb yang menempel pada eritrosit bersifat
perusak sehingga akan menyebabkan eritrosit lisis/hancur sebelum waktunya regenerasi.
Pb juga dapat memperlambat pematangan normal sel darah merah dalam sumsum tulang
sehingga dapat menyebabkan terjadinya anemia. Peningkatan Pb dalam darah juga
menggangu eritropoiesis dengan menghambat sintesis protoporfirin, sehingga
meningkatkan resiko anemia. Selain itu, timbal juga mempengaruhi morfologi dan
kemampuan hidup eritrosit. Toksisitas Pb dapat mengakibatkan dekstruksi eritrosit
sehingga memperpendek usia eritrosit atau dikenal dengan anemia hemolitik
 Pada leukosit
Fungsi sel darah putih (leuokosit) adalah mempertahankan tubuh terhadap benda- benda
asing termasuk kuman-kuman penyebab penyakit infeksi. Pb yang bersifat toksik ini
dapat menimbulkan berbagai macam gangguan pada organ terutama dalam organ
pencernaan, yaitu lambung, hati, dan ginjal. Sehingga dimungkinkan dengan adanya
paparan Pb jumlah leukosit akan bertambah untuk mempertahankan sel dan jaringan dari
benda asing.

3. Mengingat sifat radikal bebas dari ion Pb, ion Pb akan merusak jaringan dengan mekanisme
oksidasi. Analisislah hal-hal apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi efek negatif dari ion
Pb!
Jawaban:
Ion Pb sebagai radikal bebas adalah molekul yang tidak berpasangan dalam struktur
kimianya sehingga tidak stabil, untuk mencapai kestabilan ini, ion Pb akan berikatan dengan
elektron bebas yang lain. Di dalam tubuh terdapat oksigen (O2) yang bersifat sebagai
akseptor elektron sehingga akan menerima elektron bebas walaupun sudah mencapai
kestabilan, sehingga akan membentuk superoksida (O2.-), ion Pb yang berikatan dengan
oksigen ini disebut dengan Reactive Oxygen Spesies (ROS). Ion Pb yang berada dalam tubuh
kita juga akan memicu terjadinya ROS akibat dari dinonaktifkannya enzim-enzim
antioksidan seperti Superoxidedismutase (SOD), Catalase (CAT), dan GlutationPeroxidase
(GPOD) yang berfungsi sebagai antioksidan. Terbentuknya ROS dalam tubuh kita
disebabkan juga oleh stres oksidatif, dimana jumlah radikal bebas pada tubuh melebihi
jumlah antioksidan dan penetralisirnya. Keberadaan ROS akan dengan mudah merusak
jaringan tubuh. ROS sendiri dapat dicegah dengan antioksidan, antioksidan ini berasal dari
tumbuhan dan hewan karena tidak diproduksi oleh tubuh kita diantaranya adalah Vitamin C,
Vitamin E, Karotenoid, dan Flavanoid, mekanisme penangkalan ROS oleh antioksidan
adalah antioksidan akan berikatan dengan elektron-elektron bebas dari ROS sehingga
menetralkan Oksigen Spesies ke bentuk yang stabil.
Maka untuk mengatasi efek negatif dari ion Pb dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain:
1. Menangkal pembentukan Reactive Oxygen Spesies (ROS) dengan menggunakan
antioksidan. Antioksidan dapat menangkal ROS diantaranya Vitamin C, Vitamin E,
Karotenoid, dan Flavanoid
a. Peningkatan konsumsi vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat sangat penting bagi tubuh yang berfungsi sebagai
antioksidan bagi tubuh kita yang keberadaannya didalam paru-paru dan mata. Vitamin C
juga berfungsi untuk mengkorversi H2O2 menjadi H2O.Asam askorbat tidak dapat
disintesis dalam tubuh manusia sehingga asam askorbat didapat dari buah, sayur-sayuran
dan hewani. Sintesis asam askorbat dalam hewan di sintesis dengan jalur metabolisme
asam glukuronik, metabolisme ini memakai jalur metabolisme gula dibawah normal,
dalam kondisi sakit dan regulasi fungsi psikologi. Ini merupakan jalur penting
detoksifikasi (Padh, 1990). Metabolisme asam askorbat terjadi dalam liver dan sebagian
lagi terjadi pada ginjal. Dalam metabolisme, Asam askorbat akan kehilangan 2 elektron
hidrogen yang akan menghasilkan Dehydroaskorbat (DHA) yang dapat memicu
terjadinya askorbat radikal bebas (AFR). masuknya Vitamin C lewat makanan yang kita
konsumsi akan menambah daya tahan tubuh kita dari radikal bebas karena Vitamin C
dapat berfungsi sebagai antioksidan untuk melindungi tubuh kita.
b. Peningkatan konsumsi vitamin E

Vitamin E merupakan antioksidan untuk proses peroksida asam lemak tak jenuh.(GAS)
yang terdapat pada fosfolipid membran seluler. Vitamin E sendiri mempunyai
kemampuan untuk menurunkan kadar kreatinkinase yang menyebabkan kerusakan otot,
Vitamin E juga mampu menurunkan kadar malondialdehida (MDA). Vitamin E juga
mampu melindungi DNA dari kerusakan, serta mampu juga menurunkan jumlah produk
peroksida lipid dari mitokondria.
c. Peningkatan konsumsi karetonoid

Karotenoid adalah salah satu sumber antioksidan alami yang dibutuhkan oleh tubuh kita
guna sebagai penangkal radikal bebas, karotenoid bersumber dari hewan dan tumbuhan
yang bertanggung jawab dalam pewarnaan seperti warna kuning, oranye, dan merah ( J.
Gross., 1991) dan mendampingi klorofil dalam proses fotosintesis. Mekanisme
karotenoid sebagai penangkal radikal bebas sebagai berikut :
R*+ Kar → RH+Kar* (Proses penangkalan Radikal oleh Karotenoid)
Konsentrasi karotenoid dapat mempengaruhi, karotenoid sebagai anti oksidan atau
prooksidan.
d. Peningkatan konsumsi flavonoid
Flavanoid adalah salah satu antioksidan yang terdapat pada buah, sayuran. Flavanoid
banyak ditemukan pada buah, sayuran, biji-bijian, kulit batang, akar, bunga, teh, anggur.
Flavanoid memiliki kemampuan untuk mencegah radikal bebas dan dapat juga
menstabilkan ROS yang dapat berikatan dengan radikal bebas penyebab penyakit
degeneratif dengan cara menonaktifkan radikal bebas dengan cara sebagai berikut:
Flavanoid(OH) + R* → Flavanoid (O*) + RH. (Proses Penangkal )
Mekanisme penangkalan ROS oleh antioksidan adalah antioksidan akan berikatan dengan
elektron-elektron bebas dari ROS sehingga menetralkan Oksigen Spesies ke bentuk yang
stabil.
2. Mencegah paparan ion Pb masuk ke dalam tubuh dengan pola hidup sehat, menghindari
sumber-sumber timbal (Pb) seperti pencemaran asap kendaraan bermotor, cat atau bensin
yang mengandung timbal (Pb) dan sumber-sumber timbal yang lain.
3. Perawatan dengan menggunakan obat-obatan yang mengikat timbal sehingga dapat
diekskresikan keluar tubuh. Perawatan ini dikenal sebagai terapi kelasi (chelation). Terapi
kelasi dapat diberikan secara oral namun umumnya diberikan melalui infus. Terapi kelasi
menggunakan agen kelasi EDTA (Etilen Diamine Tetra Acid). EDTA akan mengubah
ion Pb menjadi bentuk lembam secara kimia dan biokimia sehingga dapat diekskresikan.

4. Selama proses menghitung jumlah eritrosit, saudara melakukan beberapa hal antara lain
mengencerkan darah dengan hayem hingga tanda 101. Saudara kemudian menghitung jumlah
eritrosit per mm kubik berdasarkan hasil hitung 5 petak pada kotak Neubauer. Berikan
penjelasannya secara rinci bagaimana saudara dapat mengetahui jumlah eritrosit per mm
kubik darah dengan didasarkan hanya kepada jumlah eritrosit hasil perhitungan pada 5 petak
pada kotak Neubauer!

Jawaban :
Untuk menghitung eritrosit, larutan dari pipet thoma eritrosit diteteskan ke dalam
hemositometer yang telah ditutup dengan kaca penutup. Sebelum itu bilik hitung telah dicari
kotak perhitungannya terlebih dahulu melalui mikroskop dengan perbesaran lemah ke
perbesaran sedang. Sel eritrosit dihitung dalam 5 kotak kecil, yaitu 4 kotak kecil di sudut dan
1 kotak kecil di tengah.

Sel eritrosit yang telah dihitung kemudian dimasukkan ke dalam rumus:


= E/80x4000x200
Dengan keterangan:
E= jumlah eritrosit terhitung pada kotak kecil
200= pengenceran sebanyak 200x
4000= volume kotak kecil (1/4000 )
80= digunakan 5x16 kotak kecil
Jika dimasukkan ke dalam perhitungan, maka:
Tikus punggung dengan jumlah eritrosit yang terhitung: 6980
=E/80x4000x200
=6980/80x4000x200
=6.980.000/

5. Jelaskan adaptasi hewan yang melibatkan proses pembentukan eritrosit dan haemoglobin
yang diakibatkan oleh adanya penurunan tekanan oksigen di lingkungan sekitar.

Jawaban:

Faktor lingkungan sangat penting dalam pencapaian kondisi tubuh. Lingkungan tempat
tinggal seperti temperatur, iklim, ketinggian tempat, akan berdampak terhadap perubahan
fisiologis, dan akan berdampak pada terjadinya adaptasi fisiologis (Gallahue dan Ozmun
1998 : 204- 205). Salah satu adaptasi lingkungan yang bisa dijadikan perbandingan dengan
adanya perbedaan tekanan parsial oksigen (PO2), baik yang terdapat di dataran rendah dan
dataran tinggi (Fox dan Bowers, 1993; Djaja dan Doewes, 2003: 252). Selain itu, Guyton
(1997: 684) membedakan daerah pantai dan pegunungan ditinjau dari kadar oksigen (O2)
juga berbeda. Semakin tinggi suatu daerah dari permukaan air laut maka kadar oksigenya
(O2) semakin sedikit. Dengan adanya perbedaan tekanan parsial oksigen (PO2) yang
terdapat di dataran rendah dan dataran tinggi, akan berpengaruh juga pada jumlah
hemoglobin (Hb) dalam butir-butir sel darah merah. Dataran tinggi atau di daerah
pegunungan kadar oksigen (O2) dalam udara akan menurun. Agar tubuh tetap mendapat
jatah oksigen (O2), maka alat angkutnya yang diperbanyak, yakni jumlah hemoglobin (Hb)
dalam sel darah merah akan bertambah. Pada daerah yang tinggi seperti di pegunungan
kadar oksigen (O2) dan tekanannya lebih kecil dibandingkan dengan daerah pesisir atau
dataran rendah. Karenanya perlu adaptasi fisiologis atau aklimatisasi bagi hewan yang
tinggal di dataran tinggi atau di pegunungan, aklimatisasi ini dimulai sejak kelahiran. Salah
satu adaptasi fisiologis yang terjadi yakni : kapasitas paru lebih besar dan kadar hemoglobin
(Hb) darah menjadi banyak (Nala, 1992:184)

6. Jelaskan tentang hematokrit atau PCV dan laju endap darah secara rinci! Lengkap! Penjelasan
saudara dengan gambar-gambar mendukung yang memadai!
Jawaban :
 Hematokrit atau PCV
Hematokrit adalah persentase volume seluruh eritrosit yang ada di dalam darah dan
diambil dalam volume eritrosit yang dipisahkan dari plasma dengan cara memutarnya di dalam
tabung khusus dalam waktu dan kecepatan tertentu yang nilainya dinyatakan dalam persen (%),
nilai untuk pria 40-48 vol % dan untuk wanita 37-43 vol % (Sadikin. M, 2008).
Penentuan hematokrit dilakukan dengan sentrifugasi. Tinggi dari kolom eritrosit,
buffycoat, dan kolom plasma harus diperhatikan. Buffycoat adalah lapisan merah keabu – abuan
antara eritrosit dengan plasma. Dalam buffycoat terdiri dari trombosit dan lekosit. Plasma
berwarna oranye atau hijau, yang menunjukkan peningkatan terjadinya hemoglobinemia akibat
spesimen mengalami hemolisis.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar nilai hematokrit ( Frandson,1992) :
1. Faktor jenis kelamin
2. Faktor jumlah sel darah merah
3. Aktivitas dan keadaan patologis
4. Ketinggian tempat
5. Metode
a) Makrometode menurut Wintrobe

Padatnya kolom eritrosit yang didapat dengan memusing darah di tentukan oleh faktor : radius
sentrifuge, kecepatan sentrifuge dan lamanya pemusingan. Dalam sentrifuge yang cukup besar,
dengan memakai makrometode dicapai kekuatan pelantingan ( relative centrifugalforce ) sebesar
2.260 g , untuk memadatkan sel – sel merah dengan memakai sentrifuge itu diperlukan rata –
rata 30 menit ( Gandasoebrata, 2008)

b) Mikrometode

Sentrifuge mikrohematokrit mencapai kecepatan yang jauh lebih tinggi, maka dari itu lamanya
erpusingan dapat diperpendek. Tabung mikrokapiler yang khusus dibuat untuk mikro hematokrit
panjangnya 75 mm dan diameter dalamnya 1,2 sampai 1,5 mm. Ada tabung yang sudah dilapisi
heparin, tabung itu dapat dipakai untuk darah kapiler ada pula tabung kapiler tanpa heparin yang
dipergunakan dengan darah oxalat atau darah EDTA dari vena. ( Gandasoebrata, 2008).
Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan kadar hematokrit

a. Pembendungan Vena
Pemasangan torniquet (tali pembendung) hendaknya tidak lebih dari 2 menit.
Pemasangan tali pembendung dalam waktu lama dan terlalu keras dapat
menyebabkan hemokonsentrasi (peningkatan nilai hemoglobin, hematokrit dan
elemen sel) (Riswanto, 2009).
b. Kecepatan centrifuge
Makin tinggi kecepatan centrifuge semakin cepat terjadinya pengendapan eritrosit
dan begitu pula sebaliknya, semakin rendah kecepatan centrifuge semakin lambat
terjadinya pengendapan eritrosit. Pengaruh kecepatan centrifuge, dapat kita lihat pada
hasil pemeriksaan hematokrit dengan menggunakan kecepatan centrifuge 16.000 rpm
dan selama 2-3 menit yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna.
c. Waktu centrifugasi
Selain radius dan kecepatan centrifuge, lamanya centrifugasi juga berpengaruh
terhadap hasil pemeriksaan hematokrit. Makin lama centrifugasi dilakukan maka hasil
yang diperoleh semakin maksimal.

 Laju Endap Darah

Laju endap darah (LED) atau erythrocyte sedimentationrate (ESR) merupakan salah satu
pemeriksaan rutin untuk darah. Selain untuk pemeriksaan rutin, laju endap darah bisa
dipergunakan untuk mengecek perkembangan dari suatu penyakit.

Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah ini diukur dengan memasukkan


darah ke dalam tabung khusus selama satu jam. Semakin banyak sel darah merah yang
mengendap maka makin tinggi laju endap darahnya.

Laju endap darah berfungsi untuk mengukur kecepatan pengendapan darah merah di
dalam plasma (mm/jam). Laju endap darah dijumpai meningkat selama proses
inflamasi/peradangan akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit
kolagen, reumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan).

Ada tiga fase pada laju endap darah dianaranya yaitu sebagai berikut :
1. Fase pengendapan lambat pertama (stageofaggregation) yaitu fase pembentukan
rouleaux, eritrosit baru saling menyatukan diri, waktu yang diperlukan untuk fase pertama ini
kurang dari 15 menit.
2. Fase pengendapan maksimal (stageofsedimentation) yaitu fase pengendapan eritrosit
dengan kecepatan konstan karena partikel-partikel eritrosit menjadi lebih besar dengan
permukaan yang kebih kecil sehinga lebih cepat mengendap lama waktu yang diperlukan fase ini
adalah 30 menit.
3. Fase pengendapan lambat kedua (stageofpacking) yaitu fase pengendapan eritrosit
sehingga sel-sel eritrosit mengalami pemampatan pada dasar tabung, kecepatan mengendapnya
mulai berkurang sampai sangat pelan. Fase ini sampai berjalan kurang lebih 15 menit (DepKes,
2004).

Menurut Kiswari (2014), nilai normal laju endap darah berdasarkan metode westergren yaitu :
a. Orang dewasa
Laki-laki usia 18-50 tahun :0-15 mm/jam
Wanita usia 18-50 tahun :0-20 mm/jam
Orang lanjut usia > 60 tahun :0-20 mm/jam
b. Anak-anak
Bayi baru lahir :0-2 mm/jam
Anak-anak dan remaja :3-13 mm/jam

Menurut Santi (2012) dalam pemeriksaan laju endap darah terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi antara lain:

a. Jumlah eritrosit
Bila terdapat sangat banyak eritrosit maka laju endap darah akan terjadi penurunan dan
bila sangat sedikit eritrosit maka laju endap darahakan mengalami peningkatan.
b. Viskositas darah
Viskositas darah tinggi karena tekanan keatas mungkin dapat menetralkan tarikan
kebawah sehingga laju endap darah akan mengalami penurunan.
c. Bentuk eritrosit
Eritrosit dengan bentuk abnormal mempunyai permukaan yang relatife besar
dibandingkan berat sel sehingga laju endap darah menurun.
d. Perbandingan antara koagulan dan darah yang tidak tepat
Keadaan ini menyebabkan terjadinya defibrinasi atau partialcloting yang akan
memperlambat laju endap darah. Setiap 1 ml darah dibutuhkan 1 mg EDTA untuk
menghindari pembekuan darah.
e. Temperatur
Sebaiknya dikerjakan pada suhu 18˚C-27˚C. Pada suhu rendah viskositas meningkat dan
laju endap darah menurun. Suhu yang tinggi akan mempercepat pengendapan dan
sebaliknya suhu yang rendah akan memperlambat. Maka dari itu sangat perlu
memperhatikan keadaan suhu pada saat melakukan pemeriksaan laju endap darah untuk
mendapatkan hasil yang sesuai.

7. Tulis berbagai pengalaman yang saudara rasakan selama melaksanakan tugas projek ini,
secara ringkas dan padat. Kemukakan salah satu hal yang saudara pandang sebagai hal yang
paling bermakna bagi saudara, dan bagaimana saudara menyikapi hal itu. Berikan saran penting
untuk perbaikan proses pembelajaran Fisiologi Hewan.

Pengalaman :
Proyek fisiologi hewan kami membutuhkan waktu satu bulan, karena hal tersebut kami
memutuskan untuk membeli tikus lebih awal supaya proyek dapat segera dilaksanakan. Namun,
kami mendapatkan harga tikus yang cukup mahal, karena kurang berkoordinasi dengan rombel
lain. Pada penelitian ini, kami belajar untuk bertanggungjawab dengan apa yang dilakukan,
toleransi antar teman, kerja sama, disiplin, dan belajar untuk sabar. Banyak ilmu yang kami
dapatkan mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelian, hingga membuat laporan akhir.
Saran :
Pembelajaran fisiologi hewan ini, sudah tepat bila dalam pelaksanaannya siswa juga diberi
proyek penelitian. Karena dari proyek tersebut banyak hal yang dapat dipelajari, sehingga dapat
memberi manfaat di masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai