Anda di halaman 1dari 7

A.

FOKUS PENGUKURAN, SISTEM PENCATATAN DAN BASIS


AKUNTANSI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

1. Fokus Pengukuran

Akuntansi keuangan sektor publik adalah salah satu dari beberapa jenis akuntansi.
Jadi, dalam akuntansi keuangan sektor publik ini terdapat proses
pengidentifikasian, pengukuran, pencatatan, dan pelaporan transaksi ekonomi
yang terjadi pada organisasi sektor publik ini. Proses pengidentifikasian disini
diartikan pengidentifikasian transaksi ekonomi agar dapat membandingkan
transaksi yang bersifat ekonomi maupun tidak. Transaksi yang bersifat ekonomi
yaitu segala tindakan yang melibatkan lembaga ekonomi untuk melakukan
kegiatan. Oleh sebab itu, proses pengidentifikasian berhubungan erat dengan
proses pengukuran.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.71 Tahun 2010 tentang Standar


Akuntansi Pemerintahan, pengukuran adalah proses pemutusan nilai uang untuk
mengakui dan memuatkan setiap pos dalam laporan keuangan. Pengukuran setiap
pos dalam laporan keuangan menggunakan nilai historis atau sejumlah nilai
wajarnya. Aktiva dicatat sejumlah pengeluaran/penggunaan sumber daya ekonomi
atau sejumlah nilai wajar dari kompensasi yang diberikan untuk memperoleh
aktiva tersebut. Kewajiban dicatat sejumlah nilai wajar sumber daya ekonomi
yang digunakan pemerintah untuk mencukupi kewajiban tersebut atau nilai
nominal. Pengukuran setiap pos laporan keuangan pemerintah menggunakan mata
uang rupiah. Transaksi yang menggunakan mata uang asing harus dikonversi
terlebih dahulu dan selanjutnya dinyatakan dalam mata uang rupiah.

2. Sistem Pencatatan

Proses selanjutnya setelah pengidentifikasian dan pengukuran tadi yaitu


pencatatan. Disamping, sistem pencatatan di dalam akuntansi terbagi menjadi 3
macam, yaitu sistem pencatatan single entry, double entry, dan triple entry.

a. Single Entry

Sistem pencatatan single entry dikenal dengan sistem tata buku tunggal atau tata
buku satu. Nah pada sistem ini, pencatatan transaksi ekonomi dilakukan dengan
mencatatnya satu kali. Jika suatu transaksi menambah kas maka dicatat pada sisi
penerimaan dan jika transaksi mengurangi kas maka dicatat pada sisi pengeluaran.
Pencatatan semacam ini dikenal dengan pembukuan dan merupakan bagian kecil
dari akuntansi.

Sistem pencatatan single entry atau tata buku mempunyai beberapa keunggulan
yaitu simpel dan mudah untuk dimengerti. Akan tetapi, sistem ini juga memiliki
kelemahan antara lain kurang keren untuk pelaporan (kurang memudahkan
penyusunan laporan), sulit untuk menemukan kesalahan pembukuan yang terjadi
dan sulit ditinjau.

Pada era reformasi, dasar hukum bagi pelaksanaan akuntansi pemerintahan adalah
Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1974, PP No. 5 & 6 Tahun 1976 dan Manual
Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) Tahun 1981. Sistem pencatatan
single entry ini digunakan untuk pengelolaan keuangan pemerintah saat era pra
reformasi. Laporan tunggal pertanggungjawaban keuangan pemerintah kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya berupa Perhitungan Anggaran Negara
(PAN) yang disediakan berdasarkan sumbangan perhitungan anggaran dari
departemen / lembaga yang disusun secara manual dan sistem pencatatan yang
digunakan yakni single entry. Konsekuensinya, pemerintah tidak memiliki catatan
mengenai aset tetap, piutang, utang, dan ekuitas dari suatu entitasnya pada kala
itu. Oleh karena itu, pada era tersebut, pemerintah tidak pernah menyajikan neraca
sebagai bentuk laporan keuangan sebagai bentuk gambaran mengenai posisi
keuangan pemerintah.

b. Double Entry

Sistem pencatatan double entry atau dikenal dengan tata buku berpasangan yakni
sistem pencatatan dimana transaksi ekonomi dicatat 2 kali. Oleh sebab itu, pada
sistem pencatatan double entry terurai 2 sisi yaitu debit disisi kiri dan kredit disisi
kanan. Setiap pencatatan transaksi harus mengawasi keseimbangan persamaan
dasar akuntansi sebagai berikut.

Aset = Utang + Ekuitas

Aset + Belanja = Utang + Ekuitas Dana + Pendapatan


Pada sistem pencatatan double entry dalam organisasi sektor publik, termasuk
pemerintah, transaksi yang berdampak bertambahnya aset akan dicatat pada sisi
debit sedangkan yang berdampak berkurangnya aset dicatat pada sisi kredit. Hal
yang sama juga dilakukan dalam mencatat pembelanjaan. Sedangkan untuk utang,
ekuitas dana, dan pendapatan dicatat disisi debit jika suatu transaksi berkurang
dan dicatat disisi kredit jika suatu transaksi bertambah.

Kelemahan yang dimiliki sistem pencatatan sebelumnya yakni single entry,


menyebabkan pemerintah sebagai salah satu organisasi sektor publik beralih ke
sistem pencatatan double entry. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri
(Kepmendagri) No. 29 Tahun 2002 yang kemudian diputuskan oleh PP No. 24
Tahun 2005 mengenai standar akuntansi pemerintahan, sistem pencatatan yang
sah digunakan saat itu adalah sistem pencatatan double entry.

c. Triple Entry

Sistem pencatatan triple entry adalah perwujudan pencatatan dengan


menggunakan sistem pencatatan double entry, ditambah dengan pencatatan pada
buku anggaran. Dengan demikian, untuk sistem pencatatan double entry
dijalankan pada pemerintahan, pejabat penatausahaan keuangan (PPK) satuan
kerja pemerintah daerah (SKPD) maupun bagian keuangan atau satuan kerja
pengelola keuangan daerah (SKPKD) juga mencatat transaksi tersebut pada buku
anggaran, sehingga pencatatan tersebut berimbas pada sisa anggaran.

3. Basis Akuntansi

Salah satu proses dalam akuntansi yang bernilai adalah problem pengakuan
(recognition). Proses ini berhubungan dengan kapan suatu transaksi ekonomi
diakui lalu dicatat. Berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010, pengakuan dalam
akuntansi adalah proses terkabulkan tolok ukur pencatatan suatu kejadian dalam
catatan akuntansi maka akan menjadi elemen yang memenuhi komponen aset,
kewajiban, ekuitas dana, pendapatan, belanja, dan pembiayaan, sebagaimana yang
tercantum dalam laporan keuangan satuan pelaporan yang bersangkutan.
Pengakuan diwujudkan dalam pencatatan jumlah uang terhadap setiap pos pada
laporan keuangan yang terbujuk oleh kejadian atau perisitiwa terkait.
Pengakuan dapat diputuskan sebagai penentuan kapan suatu transaksi dicatat.
Oleh sebab itu, dalam penentuan tersebut, digunakan bebagai basis /dasar
akuntansi. Basis akuntansi adalah kompilasi dari standar-standar akuntansi yang
menetapkan kapan efek keuangan dari transaksi dan peristiwa lainnya harus
diakui untuk tujuan pelaporan keuangan. Secara umum, basis akuntansi terbagi
atas 2 jenis yaitu basis kas dan basis akrual. Dalam basis akuntansi pada
organisasi sektor publik, khususnya institusi pemerintah, mencakup basis kas,
basis kas modifikasian, basis kas menuju akrual, dan basis akrual.

a. Basis Kas

Basis kas hanya melegalkan arus kas masuk dan kas keluar. Basis kas
mengukuhkan pengakuan transaksi ekonomi hanya dilakukan apabila transaksi
tersebut mengakibatkan perubahan kas. Apabila suatu transaksi belum
memunculkan perubahan pada kas, maka transaksi tersebut tidak dicatat.

Basis kas digunakan di berbagai organisasi sektor publik. Basis kas telah
dijalankan dalam akuntansi pemerintahan di Indonesia pada era pra reformasi. Hal
ini disebabkan pada era tersebut pemerintah hanya fokus pada perhitungan
anggaran negara yang mana dalam hal anggaran dirancang dan dilaksanakan
berdasarkan basis kas bahwa pendapatan dan penerimaan pembiayaan diakui pada
saat kas diterima. Untuk belanja, transfer, dan pengeluaran pembiayaan diakui
pada saat kas dikeluarkan.

Keunggulan basis kas adalah menggambarkan pengeluaran yang aktual, riil, dan
objektif. Akan tetapi dengan basis kas, tahap efisiensi dan efektivitas pada
kegiatan, program, atau aktivitas tidak dapat ditakar dengan baik. Oleh sebab itu,
muncul basis kas modifikasian dimana organisasi tidak hanya menyetujui kas
saja, akan tetapi juga aset dan utang yang muncul.

b. Basis Kas Modifikasian

Menurut poin (12) dan (13) Lampiran XXIX (tentang Kebijakan Akuntansi)
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 disebutkan bahwa basis kas modifikasian
(modified cash basis) adalah afiliasi basis kas dengan basis akrual. Pada saat itu,
transaksi penerimaan atau pengeluaran kas ditulis pada saat uang didapat atau
dikeluarkan sedangkan pada akhir periode dilakukan penyesuaian untuk
menanggapi transaksi dan kejadian dalam periode berjalan meskipun penerimaan
atau pengeluaran kas dari transaksi yang terjadi belum terealisasi. Oleh sebab itu,
pengimplementasian basis akuntansi ini mendesak bendahara pengeluaran
mencatat transaksi dengan basis kas selama tahun anggaran dan melakukan
penyesuaian pada akhir tahun anggaran berlandaskan basis akrual.

c. Basis Kas Menuju Akrual

Menurut PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, basis


kas menuju akrual adalah kala pendapatan, belanja, dan pembiayaan ditulis
berdasarkan basis kas, sedangkan untuk aset, utang, dan ekuitas dana ditulis
dengan basis akrual. Oleh karena itu, pada PP No. 24 Tahun 2005, laporan
keuangan pemerintah hanya melingkupi laporan realisasi anggaran, neraca,
laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan.

Basis kas untuk laporan realisasi anggaran bermaksud bahwa pendapatan diakui
pada saat kas diterima dan belanja diakui pada saat kas dikeluarkan. Sedangkan
basis akrual untuk neraca bermakna bahwa aset, kewajiban, dan ekuitas dana
ditanggap dan dicatat pada saat berlangsungnya transaksi atau pada saat kejadian
atau kondisi lingkungan berimbas pada keuangan pemerintah tanpa
memperdulikan saat kas atau setara kas didapat atau dikeluarkan. Governmental
Accounting Standards Board (GASB) menyarankan penerapan basis akuntansi
yang tidak murni berdasarkan basis kas dan basis akrual. GASB sangat
memperhatikan inti perhitungan akuntansi dan basis akuntansi.

d. Basis Akrual

PP No. 71 Tahun 2010 hadir menggantikan PP No. 24 Tahun 2005 sebagai


standar akuntansi pemerintahan yang aktual. Tercapainya penerapan basis akrual
dalam laporan keuangan pemerintah Selandia Baru menyodorkan dorongan
perubahan basis akuntansi di Indonesia. Basis akrual dipercayai dapat
mencetuskan laporan keuangan yang lebih dapat diyakini, lebih akurat,
komperhensif, dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan
politik.
Pengoperasian basis akrual di dalam akuntansi sektor publik pada dasarnya untuk
memutuskan banyaknya biaya yang diperlukan untuk membuahkan pelayanan
publik dan harga pelayanan yang dibebankan kepada publik. Hal ini berbeda
dengan sektor swasta karena orientasi organisasi sektor publik diarahkan pada
optimalisasi pelayanan publik.

Berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010, pemerintah pusat dan daerah harus


mewujudkan akuntansi berbasis akrual penuh (full accrual) selambat-lambatnya
pada tahun 2015. Basis akrual adalah basis akuntansi yang menanggapi transaksi
dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa tersebut berlangsung (dan
bukan hanya pada saat kas atau setara kas didapat atau dikeluarkan). Oleh sebab
itu, transaksi-transaksi dan peristiwa-peristiwa dicatat dalam catatan akuntansi dan
ditanggapi dalam laporan keuangan pada periode berlangsungnya.

Jenis laporan dalam konsep akrual tidak dibuat seragam. Tiap organisasi sektor
publik memiliki daftar laporan yang berpotensial jumlahnya berlainan antara satu
dengan yang lain. Perbedaan yang terjadi mayoritas disebabkan karena perbedaan
kerja antar organisasi. Namun, persamaannya berlangsung dalam proses pelaporan
posisi keuangan dan pelaporan operasional di berbagai organisasi karena plot
penerimaan dan pembayaran yang konsisten antar organisasi.

Berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010, laporan keuangan yang wajib disajikan


pemerintah pusat dan daerah terbagi atas 2 jenis pelaporan yaitu pelaporan
finansial dan pelaporan pelaksanaan anggaran. Pelaporan finansial melingkupi
neraca, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, laporan operasional, dan
laporan perubahan ekuitas. Disamping itu, untuk pelaporan pelaksanaan anggaran
meliputi laporan realisasi anggaran dan laporan perubahan saldo anggaran lebih.
Pendapatan, beban, aset, utang, dan ekuitas dalam pelaporan finansial ditanggap
berdasarkan basis akrual. Sedangkan, pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam
pelaporan pelaksanaan anggaran ditanggapi berdasarkan basis yang ditentukan
dalam anggaran pendapatan belanja negara/daerah (APBN/D).

Penerimaan dan pengeluaran dalam laporan operasional berkaitan dengan


penerimaan dan pemasukannya, yang dimaknai bahwa basis akrual memberikan
alat takar untuk barang dan jasa yang dikonsumsi, diganti, dan didapat. Basis
akrual juga mengekspos gambaran pendapatan dan sebagai alat ukur modal. Akan
tetapi, basis akrual memerlukan pertimbangan subjektivitas dalam penentuan pos
dan besaran transaksi yang dicatat dan memerlukan prosedur administrasi yang
sukar serta peluang manipulasi keuangan yang sulit dikendalikan.

Anda mungkin juga menyukai