NADYA CAHYANDA
1910301181
4. Metode penelitian Anamesis dapat dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab
langsung (auto anamesis) atau tanya jawab tidak langsung yang
dilakukan dengan orang lain atau keluarga pasien yang dianggap
mengetahui keadan pasien (hetero anamesis), dimana ini
bertujuan untuk mengetahui riwayat timbulnya keluhan atau
tanda pada tubuh pasien yang diingat. Hasil anamesis yang
berhubungan dengan kasus ini didapatkan hasil sebagai berikut,
nama Ny. SA, umur 61 tahun, jenis kelamin perempuan, agama
islam, pekerjaan ibu rumah tangga, alamat JLA. Yani No.16 Rt
02 Rw 01 Kel. Sinduro Ponorogo.
No RM 172248
5 Hasil dan pembahasan 1. Hasil
Permasalahan yang timbul pada pasien atas nama Ny. SA
umur 61 tahun dengan diagnosa OA adalah gangguan
degenerasi struktur tulang rawan pada persendian. Setelah
didapatkan pelaksanaan fisioterapi sebanyak 6x, dengan
menggunakan modalitas Infra Red (IR),Transcutaneus
Electrical Nerve Stimulation (TENS), dan terapi latihan
resiced exercise metode endurance dengan quadriceps bench
didapatkan hasil yang positif. Berikut ini catatan hasil,
grafik dan kemajuan pasien.
Pembahas
an 3.2.1
Nyeri
Efek termal dari IR pada suatu reaksi kimia akan dapat
dipercepat, sehingga proses metabolisme yang terjadi pada
area nyeri akan diperbaiki, maka akan terjadi vasodilatasi
dan sirkulasi menjadi lancer pada jaringan kulit yang akan
menyebabkan reabsorbsi dan terjadi relaksasi, sehingga sisa-
sisa metabolism tersebut seperti zat ‘P’ yang menumpuk di
jaringan akan dibuang sehingga nyeri dapat berkurang atau
menghilang (Prianthara, 2015). Dengan pemberian TENS
maka serabut saraf berdiameter besar akan diaktivasi dan
dapat mengaktivasi sel-sel interneuron di subtansia
gelatinosa sehingga susunan saraf berdiameter kecil
terhalang menyampaikan rangsangan nyeri ke pusat saraf
dan menutup spinal gate. Dengan menutupnya spinal gate
maka informasi nyeri terputus (Pardjoto, 2006)
3.2.2 Kekuatan Otot
Pada kasus ini, latihan yang dilakukan adalah resisted
exercise dengan metode endurance menggunakan quadriceps
bench. Latihan beban dapat meningkatkan protein kontraktif
sehingga terjadi peningkatan konsentrasi ATP-PC dan enzim
glikolisis dan latihan dapat berpengaruh terhadap hipertrofi
otot, ukuran mitokondria, meningkatkan ukuran myofibril
dan sakoplasmik, meningkatkan konsentrasi ATP-PC dan
enzim glykolisis. Pendapat yang sama dikatakan Coker
(dikutip oleh Suharjana, 2013 dan Setiwan, 2014) bahwa
latihan dapat menyebabkan otot menjdai responsif terhadap
beban latihan, pembesaran serabut otot, peningkatanjumlah
kapiler, peningkatan jumlah dan ukuran mitochondria, dan
peningkatan protein kontraktif (Setiawan, 2014). Latihan
daya tahan otot akan mengalami sedikit hipertrofi namun
adaptasi terbesar terjadi pada proses biokimiawi di dalam
otot. Mitokondria otot meningkat jumlahnya, disertai
peningkatan jumlah dan aktivitas enzim oksidatif yang
ditunjang oleh perubajhan struktur lain yang menunjang
peningkatan kerja otot seperti peningkatan mikrosirkulasi
(Sudarsono, 2006).
3.2.3 Kemampuan Fungsional
Faktor kekuatan otot dan daya tahan otot anggota gerak
bawah berhubungan dengan kemampuan fungsional khususnya
kemampuan mobilitas seperti penurunan kecepatan jalan,
penurunan keseimbangan dan peningkatan resiko jatuh (Ferruci
etal, 1997 dikutip oleh Utomo, 2010). Kenaikan nilai penurunan
kekuatan otot quadriceps femoris dan daya tahan otot quadriceps
femoris lansia akan diikuti kenaikan kemampuan fungsional
lansia (Utomo, 2010). Faktor yang mendukung peningkatan
kemampuan fungsional yaitu dengan berkurangnya nyeri dan
meningkatnya kekuatan otot quadriceps maka secara otomatis
akan terjadi peningkatan kemmapuan fungsional.
ABSTRAK
Latar Belakang : Osteoarthritis merupakan gangguan degenarasi struktur tulang rawan pada
persendian. Lutut merupakan persendian yang paling sering mengalami OA. Pada kasus tersebut
ditanggulangi dengan modalitas fisioterapi infra red, transcutaneus electrtrical nerve stimulation
dan terapi latihan. Fisioterapi pada kasus ini dapat menurunkan nyeri meningkatkan kekuatan
daya tahan otot dan peningkatan aktivitas fungsional .
Tujuan : untuk mengetahui pengaruh pemberian infra red, transcutaneus electrical stimulation dan
terapi latihan terhadap pengurangan nyeri,peningkatan kekuatan otot dan peningkatan fungsional.
Hasil : Setelah dilakukan enam kali terapi, hasilnya terdapat pengurangan nyeri pada nyeri dia, T0:1
hingga T6 masih 1, nyeri tekan T0:3 dan T6:1, nyeri gerak T0:1 dan T6 masih 1. Untuk peningkatan
kekuatan otot eksternal genu T0:4-t6:4, fleksor genu T0:4 T6:4. Untuk peningkatan aktivitas fungsional
T0:7,5 T6:5.
Kesimpulan : Infra red, transcutaneus electrical stimulation dan terapi latihan dapat mengurangi nyeri,
meningkatkan kekuatan oot dan meningkatkan aktivitas fungsional.
Kata Kunci : Osteoarthritis, infra red, transcutaneus electrical nerve stimulation dan terapi latihan.
ABSTRACT
Backgroud : Osteoarthritis (OA) is a degenaration disorder of cartilaginous structure in the joints. The
most common joint that have OA is knee. In this case the patient could treated with physiotheraphy
modalities which are infrared, transcutaneus electrical stimulation and exercise therahy. In this case,
physiotheraphy could reduce pain, enhase muscle strength and functional activity. Aim of Reseacrh : to
find out the effect of infra red, transcutneous electrical stiulation and exercise theraphy on pain reduction,
enchance muscle strength and functional activity.
Result : After six treatments, the result is a reduction of pain in her pain, T0: 1 to T6 is still 1, T0: 3 and
T6: 1 tenderness, T0: 1 and T6 still still 1. To increase external muscle strength of genus T0: 4-t6: 4,
genuine flexor T0: 4 T6: 4. For increased functional activity T0: 7.5 T6: 5.
Conclusion : Infra red, transcutaneous electrical stimulation and exercise therapy can reduce pain,
increase oot strength and improve functional activity.
Key Word : Osteoarthritis, infra red, transcutaneous electrical nerve stimulation and exercise therapy.
PENDAHULUAN
Masalah gangguan kesehatan yang paling sering pada usia lanjut adalah gangguan
musculoskeletal, terutama osteoarthritis (OA). Osteoarthritis adalah penyakit sendi yang banyak dan
sering ditemukan di dunia, termasuk Indonesia. Penyakit ini menyebabkan nyeri dan disabilitas pada
penderita sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
Osteoarthritis atau penyakit sendi generatif merupakan gangguan sendi yang sering ditemukan
pada seseorang yang mulai menginjak usia lanjut. Osteoarthritis lebih banyak terjadi pada sendi yang
menopang badan, terutama sendi lutut. Osteoarthritis pada sendi lutut ini dapat menyebabkan nyeri
yang dapat menganggu aktivitas kehidupan sehari-hari dan mengurangi kualitas hidup.
(Dharmawirya, 2000) dalam (Nursyarifah, etc. 2013).
Osteoarthritis atau disebut juga penyakit sendi generatif adalah suatu kelainan pada kartilago
(tulang rawan sendi) yang ditandai dengan perubahan klinis, histologi dan radiologi. Penyakit ini
bersifat asimetris, tidak meradang dan tidak ada komponen sitematik (WHO, 2008).
Penanganan osteoarthritis pada lutut harus diusahakan seoptimal mungkin, dengan lebih dulu
memahami keluhan-keluhan yang ditimbulkan pada osteoarthritis pada lutut tersebut. Osteoarthritis
pada lutut dapat menimbulkan gangguan kapasitas fisik berupa nyeri sendi, kaku sendi, kelemahan
dan disabilitas (Furqonita, 2007).
Fisioterapi dapat memberikan terapi pada kasus osteoarthritis dengan menggunakan Infra Red
(IR), Transcutaneus Electrical Stimulation (TENS) dan terapi latihan. Bahwasannya IR dapat
meningkatkan proses metabolisme pada lapisan superficial kulit sehingga pemberian oksigen dan
nutrisi kepada jaringan untuk diperbaiki sehingga didapatkan pengaruh efek sedatif pada jaringan
ujung-ujung saraf sensorik. TENS juga dapat mengurangi nyeri karena efek stimulasi listrik yang
diaplikasikan pada serabut saraf akan menghasilkan aktivasi antidromi, dengan adanya aktivasi
antidromik ini dapat menyebabkan vasodilatasi dan penekanan aktivasi simpatis sehingga
meningkatkan aliran darah dan pengangkutan materi yang berpengaruh terhadap nyeri juga akan
meningkat. Dan terapi latihan dapat menambah lingkup gerak sendi,meningkatkan kekuatan otot dan
meningkatkan aktivitas fungsional karena efek yang didapatkan adalah memperlancar sirkulasi darah,
sebagai rileksasi otot, memelihara kekuatan otot, meningkatkan kekuatan otot sehingga dapat
meningkatkan aktivitas fungsional.
Penelitian yang dilakukan oleh Nursyarifah, Herlambang, dan Tiyas (2013) di RSUD Kariadi
Semarang Periode Oktober-Desember 2011 rata - rata usia responden yaitu 58,03 tahun dengan kisaran
umur antara 39 tahun sampai dengan 76 tahun. Mayoritas jenis kelamin adalah perempuan sebanyak 35
orang (87,5%). Pekerjaan terbanyak adalah 20 orang (50%) ibu rumah tangga. Responden yang menderita
obesitas sebanyak 30 orang (75%). Responden yang menderita osteoarthritis lutut baik secara unilateral
maupun bilateral lebih banyak terjadi pada osteoarthritis lutut ekstrim berat. Terdapat hubungan yang
bermakna antara obesitas dengan kejadian
osteoarthritis lutut. Penelitian yang dilakukan oleh Fatoni (2014) di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
bahwasannya pemberian ketiga modalitas tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi osteoarthritis
sendi lutut yaitu dapat membantu mencegah dan menangani permasalahan berupa: mengurangi nyeri
pada lututnya mulai dari nyeri tekan dan gerak dengan menggunakan skala VDS, meningkatkan
lingkup gerak sendi dengan geneometer, meningkatkan kekuatan otot dengan MMT, meningkatkan
aktivitas fungsional pasien dengan skala jette.
Penelitian yang dilakukan oleh Putra (2015) di RSO Prof. Dr. Soeharso Surakarta
bahwasannya faktor predesposisi OA antara lain usia, obesitas, aktifitas fisik maupun pekerjaan.
Adanya permasalahan yang muncul baik pada tingkat impainment, functional limitation, dan
disability sehingga diperlukan penanganan fisioterapis secara efektif dalam hal ini adalah pemberian
terapi dengan menggunakan Infra Merah dan terapi latihan. Infra Merah diberikan dengan dosis 3
kali seminggu dalam waktu 15 menit. Sedangkan TENS juga diberikan 3 kali seminggu dalam waktu
15 menit. Terapi latihan yang diberikan dengan metode free active movement and resisted active
movement dengan quadrisep banch.pengurangan nyeri yang dapat dievaluasi dengan VAS,
peningkatan aktivitas fungsional pasien yang dapat dievaluasi dengan skala jette. Adanya
peningkatan LGS sendi lutut kiri meskipun tidak begitu besar.
METODE PENELITIAN
Anamesis dapat dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab langsung (auto anamesis)
atau tanya jawab tidak langsung yang dilakukan dengan orang lain atau keluarga pasien yang
dianggap mengetahui keadan pasien (hetero anamesis), dimana ini bertujuan untuk mengetahui
riwayat timbulnya keluhan atau tanda pada tubuh pasien yang diingat. Hasil anamesis yang
berhubungan dengan kasus ini didapatkan hasil sebagai berikut, nama Ny. SA, umur 61 tahun, jenis
kelamin perempuan, agama islam, pekerjaan ibu rumah tangga, alamat JLA. Yani No.16 Rt 02 Rw 01
Kel. Sinduro Ponorogo.
No RM 172248
Tabel 1 Nyeri
4,1
4
3,9
3,8
3,7 Fleksor
3,6
3,5 Ekstensor
3,4
3,3
3,2
Terapi Terapi Terapi Terapi Terapi Terapi Terapi
0 1 2 3 4 5 6
3.2 Pembahasan
3.2.1 Nyeri
Efek termal dari IR pada suatu reaksi kimia akan dapat dipercepat, sehingga
proses metabolisme yang terjadi pada area nyeri akan diperbaiki, maka akan terjadi
vasodilatasi dan sirkulasi menjadi lancer pada jaringan kulit yang akan menyebabkan
reabsorbsi dan terjadi relaksasi, sehingga sisa-sisa metabolism tersebut seperti zat ‘P’
yang menumpuk di jaringan akan dibuang sehingga nyeri dapat berkurang atau
menghilang (Prianthara, 2015). Dengan pemberian TENS maka serabut saraf berdiameter
besar akan diaktivasi dan dapat mengaktivasi sel-sel interneuron di subtansia gelatinosa
sehingga susunan saraf berdiameter kecil terhalang menyampaikan rangsangan nyeri ke
pusat saraf dan menutup spinal gate. Dengan menutupnya spinal gate maka informasi
nyeri terputus (Pardjoto, 2006).
3.2.2 Kekuatan Otot
Pada kasus ini, latihan yang dilakukan adalah resisted exercise dengan metode
endurance menggunakan quadriceps bench. Latihan beban dapat meningkatkan protein
kontraktif sehingga terjadi peningkatan konsentrasi ATP-PC dan enzim glikolisis dan latihan
dapat berpengaruh terhadap hipertrofi otot, ukuran mitokondria, meningkatkan ukuran
myofibril dan sakoplasmik, meningkatkan konsentrasi ATP-PC dan enzim glykolisis.
Pendapat yang sama dikatakan Coker (dikutip oleh Suharjana, 2013 dan Setiwan, 2014)
bahwa latihan dapat menyebabkan otot menjdai responsif terhadap beban latihan, pembesaran
serabut otot, peningkatanjumlah kapiler, peningkatan jumlah dan ukuran mitochondria, dan
peningkatan protein kontraktif (Setiawan, 2014). Latihan daya tahan otot akan mengalami
sedikit hipertrofi namun adaptasi terbesar terjadi pada proses biokimiawi di dalam otot.
Mitokondria otot meningkat jumlahnya, disertai peningkatan jumlah dan aktivitas enzim
oksidatif yang ditunjang oleh perubahan struktur lain yang menunjang peningkatan kerja otot
seperti peningkatan mikrosirkulasi (Sudarsono, 2006).
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penulis melakukan pembahasan pada kasus OA, permasalahan yang didapatkan pasien
dengan nama Ny.SA umur 61 tahun dengan diagnosis osteoarthritis genu sinistra. Setelah
dilakukan terapi sebanyak 6 kali dengan modalitas Infra Red (IR), Transcutaneus Electrical
Nerve Stimulation dan terapi latihan, terjadi penurunan nyeri, peningkatan kekuatan otot, dan
peningkatan kekuatan fungsional. Dalam proses pemulihan menujukan normal pada kasus OA
membutuhkan waktu yang lama.
4.2 Saran
4.2.1 Pasien
Pasien disarankan untuk melakukan terapi secara rutin, serta melakukan latihan-latihan yang
diajarkan fisioterapis secara rutin di rumah. Pasien disarankan untuk mengurangi
aktivitas yang berlebihan, seperti tumpuan yang berlebih pada lutut kirinya, dianjurkan
untuk melakukan latihan dirumah seperti yang dilakukan sat terapi yaitu latihan dengan
menggunakan beban yang ditempatkan pada bagian ankle dan bergerak kea rah menekuk
dan meluruskan lutut, memakai knee decker, dan mengompres hangat pada lutut saat
terasa nyeri dengan demikianakan mengurangi keluhan yang timbul (Lesmana, 2006).
Untuk olahraga pasien disarankan melakukan olahraga, seperti bersepeda statis, berjalan
dalam air, berenang (Ambardini, 2010).
4.2.2 Fisioterapis
Bagi fisioterapis hendaknya benar-benar melakukan tugasnya secara professional yaitu
melakukan pemeriksaan dengan teliti sehingga dapat menegakkan diagnose, menentukan
problematik, menentukan modalitas yang tepat dan efektif untuk penderita. Fisioterapis
hendaknya menigkatkan ilmu pengetahuan serta pemahaman terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan studi kasus karena tidak menutup kemungkinan adanya trobosan
baru dalam suatu pengobatan yang membutuhkan pemahaman lebih lanjut.
4.2.3 Masyarakat
Bagi masyarakat umum untuk berhati-hati dalam melakukan aktifitas kerja yang
mempunyai resiko untuk terjadinya trauma atau cidera. Jika telah terjadi cidera atau
trauma dengan keluhan yang dirasakan lengan tidak dapat digerakkan atau tidakdapat
merasakan sentuhan, maka tindakan yang harus dilakukan adalah segera pergi kerumah
sakit untuk mendapatkan penanganan medisse cepat mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Ambardini, R. 2010. Aktivitas Fisik Pada Lanjut Usia. Laporan Penelitian. Universitas Negeri
Jogjakarta.
Lesmana, I., Andrianto. 2006. Manfaat Penambahan Knee Support Pada Pelaksanaan Terapi
MWD, US, Latihan Isometrik Terhadap Pengurangan Nyeri Akibat Cidera
Ligamen Collateral Medial Lutut Stadium Lanjut. Jurnal Fisioterapi Indonusa. Vol 6.
Nomor 1: April 2006.
Prianthara, D, M, I., Winaya, N, M, I., Muliarta, M, I. 2015. Kombinasi Strain Counterstrain Dan
Infrared Sama Baik Dengan Kombnasi Contract Relax Stretching Dan Infrared Terhadap
Penurunan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius Pada Mahasiswa
Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia.
Volume 1. Number 1 : Januari 2015.
Setiawan, A. 2014. Pengaruh Latihan Beban Dengan Metode Set System Terhadap Kekuatan, Daya
Tahan Otot dan Fleksibilitas Members Bahtera Fitness Center Yogyakarta. Skripsi. Universitas
Negeri Yogyakarta.
Suriani, S dan Lesmana, I, S. 2013. Latihan Theraband Lebih Baik Menurunkan Nyeri Daripada Latihan
Quadriceps Bench Pada Osteoarthritis Genu. Jurnal Fisioterapi. Volume 13. Nomor 1: Mei
2014:hlm 1-6.
Utomo, B. 2010. Hubungan antara Kekuatan Otot dan Daya Tahan Otot Anggota
Gerak Bawah dengan Kemampuan Fungsional Lanjut Usia. Tesis. Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Jurnal Ilmiah ke-2
Penulis
Ayu permaya
Ismaningsih
Judul Jurnal
Aplkasi Neuromuscular Taping Pada Kondisi Carpal Tunnel Syndrom Untuk Mengurangi Nyeri
Abstract
Background: Carpal tunnel syndrome (CTS) is a collection of symptoms and signs of disease caused by
squeezing of the median nerve in the carpal tunnel in the wrist. This CTS condition is one of the most common
types of neuropathy. This syndrome arises with symptoms of pain, numbness, and weakness in the hands due to
compression of the median nerve. Carpal tunnel syndrome is a syndrome associated with repetitive motion
and a fixed position for a long duration so that it affects the blood supply to the hands and causes pain.
Objective: This research is aimed at sufferers of Carpal Tunnel Syndrome condition to reduce pain.
Physiotherapy interventions given in CTS conditions, namely pain reduction that can be done with various
actions including by providing Neuromuscular Taping technique. Research Method: Case study with pre and
post test research design that compares the level of pain values before and after which is measured by
measuring instruments Visual Analogue Scale (VAS) for the administration of Neuromuscular Taping
intervention in the condition of carpal tunnel syndrome for 3 weeks. Results: Analysis of the different values of
pain tests with VAS in the sample group with a significance value of 0.006 which shows <0.05 which means
there is an influence of giving Neruromusculer taping to changes in the VAS pain level in patients with Carpal
Tunnel Syndrome.
Keywords : Carpal Tunnel Syndrome, Physiotherapy, Neuromuscular Taping, Visual Analogue Scale,
Case Study
Abstrak
Latar Belakang: Carpal tunnel syndrome (CTS) merupakan kumpulan gejala dan tanda penyakit yang
disebabkan oleh terjepitnya saraf medianus di terowongan karpal pada pergelangan tangan. Kondisi
CTS ini merupakan salah satu jenis neuropati yang paling sering terjadi. Sindrom ini timbul dengan
gejala nyeri, baal, dan kelemahan pada tangan akibat penekanan nervus medianus. Carpal tunnel
syndrome merupakan suatu syndrome yang berhubungan dengan gerakan yang berulang (repetitive
motion) dan posisi yang menetap pada durasi yang lama sehingga memperngaruhi suplai darah ke
tangan dan menimbulkan rasa nyeri. Tujuan: Penelitian ini ditujukan kepada penderita kondisi Carpal
Tunnel Syndrom untuk mengurangi nyeri. Intervensi fisioterapi yang diberikan pada kondisi CTS yaitu
penurunan nyeri yang dapat dilakukan dengan berbagai tindakan diantaranya dengan pemberian teknik
Neuromuskuler Taping Metode Penelitian: Case study dengan desain penelitian pre and post test yaitu
membandingkan antara tingkat nilai nyeri sebelum dan sesudah yang diukur dengan alat ukur Visual
Analogue Scale (VAS) terhadap pemberian intervensi Neuromuskuler Taping pada kondisi carpal tunnel
syndrome selama 3 mingggu. Hasil: Analisa uji beda nilai nyeri dengan VAS pada kelompok sampel
dengan nilai signifikasi yaitu 0,006 yang menunjukkan < 0.05yang bermakna ada pengaruh pemberian
Neruromusculer taping terhadap perubahan tingkat nyeri VAS penderita Carpal Tunnel Syndrom.
Kata kunci : Carpal Tunnel Syndrom, Fisioterapi, Neuromuskuler Taping, Visual Analogue Scale, Case
Study
5. Pendahuluan
Carpal tunnel syndrome (CTS) merupakan kumpulan gejala dan tanda penyakit yang disebabkan
oleh terjepitnya saraf medianus di terowongan karpal pada pergelangan tangan. Kondisi CTS ini
merupakan salah satu jenis neuropati yang paling sering terjadi. Sindrom ini timbul dengan gejala nyeri,
baal, dan kelemahan pada tangan akibat penekanan nervus medianus. Carpal tunnel syndrome
merupakan suatu syndrome yang berhubungan dengan gerakan yang berulang (repetitive motion) dan
posisi yang menetap pada durasi yang lama sehingga memperngaruhi suplai darah ke tangan dan
menimbulkan rasa nyeri.
Penelitian yang dilakukan oleh Armsrong (2008) di kawasan indsutri kerja ada empat sebagai faktor
kontrol dari perkembangan Carpal tunnel syndrome yaitu jenis kelamin, usia, index massa tubuh (IMT)
dan penyakit penyerta. Carpal tunnel syndrome merupakan hasil dari kombinasi kondisi kesehatan dan
aktivitas fisik yang berulang yang dapat meningkatkan tekanan pada nervus medianus saat melewati
terowongan karpal.
Carpal Tunnel Syndrome adalah neuropati akibat terjepitnya saraf yang terjadi ketika saraf medianus
pada pergelangan tangan tergencet oleh pembungkus tendon fleksor yang mengalami penebalan,
terkaitnya tulang, odema atau massa jaringan lunak. Menurut Long, carpal tunnel syndrome disebabkan
oleh tekanan pada nervus median dari pergelangan tangan. Kondisi ini biasa terjadi pada usia
pertengahan, pada wanita gemuk kemungkinan terjadi akibat dari trauma atau pembengkakan yang
disebabkan oleh proses rheumatoid arthritis [1].
Carpal tunnel syndrome adalah salah satu dari 3 jenis penyakit yang tersering di dalam golongan
Cummulative Trauma Disorders (CTD) dengan prevalensi sebesar 40%, sedangkan CTD merupakan
penyebab lebih dari 50% penyakit akibat kerja pada anggota gerak atas. Sebagai salah satu dari 3 jenis
penyakit tersering di dalam golongan CTD pada ekstremitas atas, prevalensi STK besarnya 40%,
tendosinovitis yang terdiri dari trigger finger sebesar 32% dan De Quervan’s syndrome 12%, sedangkan
epicondilitis sebesar 20% [2].
Pada tahap awal gejala yang paling sering muncul di malam hari ketika tangan dalam kondisi
istirahat. Dengan perkembangan penyakit lebih lanjut, gejala-gejala juga akan muncul di siang hari,
terutama dengan kegiatan yang menggunakan gerakan pergelangan tangan yang berulang, seperti ketika
menggambar, menjepit, mengetik, mencuci atau gerakan memeras. Pada penyakit yang lebih lanjut,
gejalanya nyeri terjadi secara menetap.
Rasa nyeri ini terjadi akibat penyempitan pada terowongan karpal, baik akibat edema fasia pada
terowongan tersebut maupun akibat kelainan pada tulang-tulang kecil sehingga terjadi penekanan
terhadap nervus medianus dipergelangan tangan. Nyeri yang diakibatkan oleh kondisi carpal tunnel
syndrome timbul ketika jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan
rasa nyeri.
National Health Interview Study (NIHS) memperkirakan bahwa prevalensi CTS yang dilaporkan sendiri
diantara populasi dewasa adalah sebesar 1,55% (2,6 juta). CTS lebih sering mengenai wanita daripada
pria, dengan usia berkisar 25 – 64 tahun. Prevalensi tertinggi pada wanita usia >55 tahun. Biasanya antara
40 – 60 tahun. Prevalensi CTS dalam populasi umum telah diperkkirakan 5% untuk wanita dan 0,6%
untuk lakilaki. CTS adalah jenis neuropati jebakan yang paling sering ditemui. Sindroma CTS ini
uniletaral pada 42% kasus (29% kanan, 13% kiri) dab 58% bilateral [3].
Menurut data RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pada tahun 2012 ditemukan pada 15 kasus besar di
instalasi rehabilitasi medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pasien rawat jalan dengan kondisi Carpal tunnel
syndrome berada pada urutan ke 10 dengan jumlah penderita 281 dengan jumlah keseluruhan pasien pada
kasus besar di instalasi rehabilitasi medik RSUD Arifin Achmad pekanbaru 10.949. Resiko terjadinya carpal
tunnel syndrome 10% lebih banyak pada orang dewasa. Wanita
beresiko tiga kali lipat lebih banyak dari pada pria dan terbanyak terjadi pada usia 40-50 tahun.
Salah satu pelayanan kesehatan untuk menangai permasalahan gerak dan fungsi dalam pemeliharaan
dan peningkatan kualitas hidup manusia yaitu pelayanan fisioterapi. Pada kondisi nyeri yang diakibatkan
oleh kondisi carpal tunnel syndrome yaitu dengan memberikan neuromuscular taping. Neuromusculer
taping adalah salah satu metode terapi biomekanikal yang inovatif dengan stimulasi kompresi dan
dekompresi untuk menghasilkan efek yang positif pada sistem saraf, vaskuler
dan limfatik. Efek neuromuskuler taping pada level sensoris dapat menstimulasi kutaneus, otot, resepteor
sendi dan mengontrol nyeri [4].
Neuromuscular Taping (NMT) dengan aplikator tape menciptakan kekuatan eksentrik yang
diterapkan pada kulit dan berperan dalam mengatur sensorik dan system propioseptif. Neuromuscular
Taping (NMT) memodifikasi input sensorik yaitu diintegrasikan oleh system saraf pusat dan digunakan
untuk membantu proses eksekusi program motor yang dikenal dengan integrasi sensomotoris.
NeuroMuscular Taping (NMT) memiliki fungsi menormalkan fungsi otot, meningkatkan aliran limfik dan
pembuluh darah, mengurangi rasa sakit, menguatkan otot yang lemah, dan membantu postural dan
rileksasi otot yang terlalu sering digunakan [5].
Tinjauan Pustaka
1 Patofisiologi
Carpal Tunnel Syndrome adalah gejala neuropati kompresi dari N. medianus di tingkat pergelangan
tangan, ditandai dengan bukti peningkatan tekanan dalam terowongan karpal dan penurunan fungsi saraf
di tingkat itu. Carpal Tunnel Syndrome dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, kondisi, dan peristiwa.
Hal ini ditandai dengan adanya keluhan mati rasa, kesemutan, nyeri tangan dan lengan, dan disfungsi
otot. Kelainan ini tidak dibatasi oleh usia, jenis kelamin, etnis, atau pekerjaan melainkan disebabkan
karena penyakit sistemik, faktor mekanis dan penyakit lokal [6].
Carpal tunnel syndrome (CTS) adalah entrapment neuropathy (jebakan saraf) yang disebabkan oleh
kompresi saraf medianus saat melewati terowongan karpal pada pergelangan tangan. Kondisi ini
merupakan jebakan saraf yang paling umum, mencakup 90% dari semua neuropati. Gejala pertama dari
carpal tunnel syndrom termasuk nyeri, mati rasa dan parestesia. Gejala-gejala ini umumnya muncul,
dengan variabilitas tertentu, di ibu jari, telunjuk, jari tengah dan setengah radial (sisi ibu jari) dari jari
manis. Rasa sakit juga bisa menjalar ke lengan yang terkena, kelemahan tangan, penurunan koordinasi
motorik halus dan atrofi otot bagian tenar. Gejala sindroma ini biasanya dimulai dengan gejala sensorik
yaitu nyeri, kesemutan (parestesia), rasa tebal (numbness) dan rasa seperti terkena aliran listrik (tingling)
pada daerah yang dipersarafi oleh n.medianus.
Pada umumnya CTS terjadi secara kronis karena faktor mekanik dan faktor vaskuler. Faktoir mekanik
terjadi akibat terjadinya gerakan berulang oleh pergelangan tangan dengan kontraksi yang kuat sehingga
menimbulkan pembengkakan jaringan di sekeliling tendon bagian dalam terowongan karpal. Hal ini
menyebabkan tekanan pada nervus medianus. Sedangkan faktor vaskuler berupa tekanan yang kuat dan lama
serta berulang pada pergelangan tangan yang nantinya akan menyebabkan peningkatan tekanan intravaskuler,
sehingga aliran darah intravaskuler akan melambat dan merusak jaringan endotel. Hal ini akan menyebabkan
nyeri local pada pergelangan tangan. Beberapa faktor diketahui
menjadi resiko terhadap terjadinya CTS pada pekerja seperti gerakan berulang dengan kekuatan,
tekanan pada otot, getaran, suhu, postur yang tidak ergonomic dan lain-lain [7] [8].
Penyebab lain yang menyebabkan terjadinya kondisi CTS yaitu faktor mekanik, faktor non mekanik
dan faktor vaskuler, ketiga faktor ini memegang faktor penting dalam terjadinya carpal tunnel syndrome.
Pada umumnya carpal tunnel syndrome terjadi secara kronis dimana terjadi penebalan fleksor
retinakulum yang menyebabkan tekanan terhadap nervus medianus.
b. Pengukuran Nyeri
Salah satu pengukuran nyeri yaitu dengan menggunakan VAS, VAS (Visual Analogue Scale) adalah
suatu alat ukur yang digunakan untuk mengukur intensitas nyeri dimana nyeri diukur dengan
menggunakan garis lurus dengan ukuran 10 cm yang menggambarkan intensitas nyeri. Di ujung
sebelah kiri garis diberi tanda yang berarti “tidak nyeri” sedangkan di ujung sebelah kanan diberi
tanda “nyeri yang tidak tertahankan”.
Pasien memberi tanda di sepanjang garis tersebut sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakan, nyeri diukur
Prosedur administrasi dilakukan disini menyangkut: (1) Persiapan surat informed consent persetujuan
sampel mengikuti program penelitian dan memberikan informasi terkait pelaksanaan program penelitian,
(2) Mempersiapkan blangkoblangko dan alat pengukuran yaitu visual analogue scale (VAS) mengukur
tingkat nyeri. (3) Mengisi blangko-blangko penelitian untuk diisi identitas diri dan mengumpulkan
kembali.
2) Prosedur Pemilihan Sampel
Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik cluster sampling yaitu
pemilihan sampel mengacu pada kelompok dengan karakteristik tertentu yang telah ditetapkan yaitu
Kriteria Inklusi: (1) Karyawan dan Mahasiswa universitas abdurrab usia 18-30 tahun (2). Bersedia
menjadi subjek penelitian dari awal hingga akhir penelitian dan menyetujui dengan menandatangani
informed consent.; Kriteria Ekslusi: (1) Karyawan dan mahasiswa yang menolak berpartisipasi dalam
penelitian ini (2) Karyawan dan mahasiswa yang sudah mengikuti intervensi penanganan terhadap
keluhan nyeri akibat CTS namun nyeri masih dirasakan (3) Mengalami gangguan jantung (4) Sampel
tidak bersedia menjadi subjek penelitian; Kriteria Drop Out: (1) Peserta yang mengkonsumsi obat-obatan
yang mengandung penghilang rasa nyeri selama penelitian dilaksanakan (2) Peserta yang tidak mengikuti
kegiatan secara penuh sehingga tidak dapat mencukupi frekwensi latihan selama waktu penelitian yang
telah ditentukan (3) Saat penelitian, sampel mengalami penyakit yang menghambat proses intervensi
Tahap Pelaksanaan Penelitian Tahap pelaksanaan penelitian menyangkut: (1) Menyiapkan form
pengukuran. (2) Membuat jadwal pengambilan data. (3) Intervensi dilakukan selama 3 minggu dengan
intensitas pemasangan neuromuscular taping yaitu 2 kali seminggu pada setiap sampel. (4) Setelah
mendapatkan intervensi selanjutnya dilakukan evaluasi dengan mengukur perubahan tingkat nyeri.
Hasil dan Pembahasan
1 Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang telah dilakukan selama 3 minggu pemberian Neuromusculer Taping terhadap 5
orang sampel dengan kondisi Carpal Tunnel Syndrom didapatkan hasil pada masing-masing sampel
penelitian sebagai berikut: a. Deskripsi Sampel
Karakteristik subjek sampel penelitian yang termasuk data jenis kelamin, usia (tahun), berat bada (kg),
tingggi badan (m) dan berat badan (kg) dan Indeks Masa Tubuh. Keseluruhan data karakteristik sampel
diuji dengan Analisa deskriptif pada SPSS yang menunjukkan normalitas data sampel, ditunjukkan pada
tabel 1 berikut:
Tabel 1
Uji Normalitas Karakteristik Sampel
Uji Normalitas
Karakteristik Shapiro Wilk
Test P
Jenis Kelamin 0.006
Usia 0.046
Berat Badan (kg) 0.000
Tinggi Badan (m) 0.006
Kategori IMT 0.006
VAS Sebelum 0.314
VAS Sesudah 0.314
Berdasarkan tabel diatas karakteristik sampel menunjukkan bahwa data sampel berdistribusi normal.
b. Uji Beda Nilai Nyeri Sebelum dan Sesudah intervensi dengan alat ukur VAS
Distribusi data sampel berdasarkan nilai nyeri dengan menggunakan alat ukur Visual Analogue Scale
(VAS) sebelum dan setelah diberikan pemasangan Neuromusculer Taping diuji dengan Uji Non
Parametric paired sampel T-Test yang ditunjukkan pada tabel 2 berikut:
Tabel 2
Uji Beda Nilai Nyeri Sebelum dan Sesudah
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa nilai signifikasi yaitu 0,006 yang menunjukkan < 0.05 dan
bermakna ada pengaruh pemberian Neruromusculer taping terhadap perubahan tingkat nyeri VAS
penderita Carpal Tunnel Syndrom.
c. Perubahan Nilai Nyeri diukur dengan VAS Hasil perubahan nilai nyeri pada sampel penelitian
disajikan dalam grafik 1 berikut:
Grafik 1
Evaluasi Tingkat Nyeri Kelompok Sampel
Sebelum dan Sesudah
Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa seluruh sampel mengalami perubahan nilai nyeri setelah
pemberian Neuromusculer Taping yang diukur dengan alat ukur VAS. Seluruh sampel penelitian
mengalami penurunan nilai VAS yang bermanksa bahwa terjadi perubahan nilai nyeri menuju tidak
nyeri.
4.2 Pembahasan
Pengaruh Pemberian Neuromuscular Taping (NMT) pada Kondisi Carpal Tunnel Syndrome untuk
Mengurangi Nyeri
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah kumpulan gejala dan tanda akibat penekanan nervus
medianus yang ada di pergelangan tangan yang dapat menyebabkan parastesia/ kesemutan, nyeri, mati
rasa dan kelemahan pada distribusi nervus medianus pada tangan.
Beberapa faktor pekerjaan yang dapat mempengaruhi terjadinya CTS menurut Silverstein (1987),
adalah gerakan pergelangan atau jari tangan yang berulang, kontraksi yang kuat pada tendon, gerakan
pergelangan tangan yang menekuk ke bawah (flexi) atau menekuk ke atas (extensi), gerakan tangan saat
bekerja (gerakan menjepit) dan tekanan mekanik pada saraf medianus. Sedangkan menurut penelitian
yang dilakukan oleh Armstrong et al. (2008), perkembangan CTS dipengaruhi oleh empat faktor kontrol
yaitu jenis kelamin, usia, index massa tubuh (IMT) dan penyakit penyerta. CTS merupakan hasil dari
kombinasi kondisi kesehatan dan aktivitas fisik yang berulang yang dapat meningkatkan tekanan pada
saraf medianus
[9].
NeuroMuscular Taping (NMT) adalah aplikasi spesifik dari pita perekat elastis ke permukaan kulit
dengan teknik stimulasi eksentrik menghasilkan dekompresi dan dilatasi pada daerah yang tertutupi yang
digunakan untuk tujuan terapeutik. Dalam rehabilitasi, NMT diterapkan menggunakan protokol yang
dirancang untuk mengurangi sumbatan dari cairan tubuh, meningkatkan sirkulasi pembuluh darah dan
kelenjar getah,menurunkan kelebihan panas, dan memperbaiki homoestasis jaringan, mengurangi
peradangan dan hipersensitivitas reseptor nyeri [4].
Aplikasi eksentrik dari NeuroMuscular Taping (NMT) pada kulit akan meningkatkan fungsi dari
jaringan otot, tendon, pembuluh saraf, dan limfatik. NMT dengan teknik eksentrik akan mempengaruhi
fleksibilitas dan memperbaiki koordinasi gerakan pada pasien dengan koordinasi otot yang menurun.
Penerapan NMT mampu merangsang mechanoceptors yang ada di kulit.
9. Kesimpulan
Berdasarkan analisis penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
penerapan Neuromusculer taping pada kondisi Carpal Tunnel Syndrom dengan frekensi 2 kali dalam
seminggu selama 3 minggu memberikan pengaruh terhadap perubahan nilai nyeri pada sampel
penelitian.
REFERENSI
Lukman, Ns. & Ningsih, N. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Ganguan Sistem
Muskuloskeletal.
Jakarta : Salemba Medika.
Tana, Lusianawaty. 2004. Sindrom Terowongan Karpal pada Pekerja:
Pencegahan dan Pengobatannya. J Kedokter Trisakti. September-Desember 2003, Vol.22 No.3. Hal:
99 -104
American Academy of Othopaedic Surgeons. 2008. Clinical Practice Guideline on the Diagnosis of
Carpal Tunnel Syndrom. Rosemont: American Academy of Orthopaedic Surgeons.
Blow, David. 2012. Neuromuscular Taping
From Theory to Practice. Italy: Arti Grafiche Colombo
Bahrudin, M. 2011. Carpal Tunnel Syndrome(CTS). Jurnal Saintika Medika Universitas Muhammadiyah
Malang. 7(14), hal 78-87.
Prakoso, Tegar Dwi & Kurniawaty, Evi. 2017. Perempuan Berusia 65 tahun dengan Carpal Tunnel
Syndrom. J Medula Unila. Vol 7. No. 2. April 2017. Hal: 144 – 149.
Kurniawan, Bina. Faktor risiko kejadian carpal tunnel syndrome (CTS) pada wanita pemetik melati di
Desa Karangcengis, Purbalingga. J Promosi Kes Indon. 2008; 3(1):2-8.
Eka M. Diagnosis dan Terapi Syndrom terowongan karpal [internet]. Jakarta: Neurology Multiply;
2013 [diakse tanggal 21 Januari 2017]. Tersedia dari : http://neurology.multiply.com/.
Rohmah, Siti. 2016. Analisi Hubungan FaktorFaktor Indovidu dengan Carpal Tunnel
BAB III
PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
Lukman, Ns. & Ningsih, N. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Ganguan Sistem
Muskuloskeletal.
Jakarta : Salemba Medika.
Tana, Lusianawaty. 2004. Sindrom Terowongan Karpal pada Pekerja:
Pencegahan dan Pengobatannya. J Kedokter Trisakti. September-Desember 2003, Vol.22 No.3.
Hal: 99 -104
American Academy of Othopaedic Surgeons. 2008. Clinical Practice Guideline on the Diagnosis
of Carpal Tunnel Syndrom. Rosemont: American Academy of Orthopaedic Surgeons.
Blow, David. 2012. Neuromuscular Taping