Anda di halaman 1dari 12

Allah itu Dekat

Tuesday, April 14, 2020


1:42 AM

-Sebuah Rekapitulasi Bahasan Grup Alumni SPI Bandung-


Senin, 13 April 2020

Ustadz Akmal:
Ini adalah persoalan yang sudah saya ulas di Twitter tadi pagi. Kali ini, saya mentadabburi sebuah ayat
dalam Al-Qur’an yang diletakkan dalam rangkaian ayat tentang Ramadhan. Ayat tersebut adalah:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat. Aku menjawab orang
yang berdoa ketika ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku)
dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-
Baqarah [2]: 186)

Penggalan awal ayat ini jelas merupakan seruan kepada yang menerima wahyu pertama kali, yaitu
Rasulullah saw. Karena itu, ayat ini menjawab pertanyaan orang-orang yang bertanya perihal Allah SWT
kepada beliau.

Menariknya, redaksi ayat ini bukan “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka jawablah, ‘Allah itu dekat’,” melainkan “…maka Aku dekat.” Frase “maka Aku dekat” menunjukkan
seolah-olah untuk pertanyaan yang satu ini Allah SWT sendirilah yang datang dan menjawabnya secara
langsung.

Tentu banyak pertanyaan tentang Allah SWT. Akan tetapi, Allah SWT sudah mengantisipasinya, dan
rupa-rupanya, jawaban yang dianggap memadai adalah “Aku dekat”. Kesan yang muncul adalah bahwa
sebenarnya jiwa manusia sudah mengenal Allah SWT, dan ini sejalan dengan kesaksian manusia
sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat ke-172 di Surat Al-A’raaf. Saya pun teringat ungkapan Buya
Hamka dalam buku Pelajaran Agama Islam yang kurang lebihnya menyatakan bahwa menjelaskan
keberadaan Allah SWT itu sebenarnya tak perlu, karena sudah teramat jelas. Yang pelik justru
melakukan hal sebaliknya, yaitu mengatakan bahwa Dia tak ada, sebab bukti-bukti keberadaan-Nya
begitu berlimpah. Ungkapan “Aku dekat” seolah menunjukkan bahwa kita hanya perlu bertanya kepada
jiwa kita yang murni jika benar-benar ingin mengenal Allah SWT.

Penggalan ayat berikutnya mengatakan, “Aku menjawab orang yang berdoa ketika ia berdoa kepada-
Ku”. Saya menggunakan istilah “menjawab” sebagai terjemahan yang lebih tepat untuk kata “ ijabah ”
ketimbang “mengabulkan”. Permintaan manusia memang belum tentu dikabulkan, dan itu bukan
pertanda kurangnya kasih sayang Allah SWT. Seringkali, manusia tidak tahu apa yang terbaik bagi
dirinya. Karena itu, selain dikabulkan, ada juga kemungkinan bahwa permintaan kita akan diganti
dengan yang lebih baik, atau diganti dengan pemberian di akhirat kelak, dan pilihan Allah SWT pastilah
lebih baik.

Ungkapan “…ketika ia berdoa kepada-Ku” menunjukkan bahwa Allah SWT senantiasa bersegera
menjawab doa manusia, (sekali lagi, menjawab bukan berarti mengabulkan) bahkan ia sudah dijawab
ketika manusia masih memanjatkan doanya. Hal ini bertemu pula dengan salah satu hadits Nabi saw:
Sesungguhnya Rabb-mu (Allah) Ta’ala adalah Maha Pemalu lagi Maha Mulia, Dia malu terhadap
hamba-Nya yang (berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia
menolaknya sehingga ia kembali dengan tangan hampa. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ibnu Hibban)

Penggalan akhir dari ayat ini, yaitu “Maka hendaklah mereka itu menjawab (seruan-Ku) dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran,” membawa kita kepada logika
yang menarik. Jadi, urutan logikanya adalah: (1) Allah SWT menjawab doa-doa manusia, dan kemudian
(2) hendaklah manusia menjawab seruan Allah SWT dan beriman kepada-Nya.

Jika kita berpikir dengan logika terbalik, kita akan mengatakan “Patuhi Allah SWT, agar Dia berkenan
menjawab doa-doamu!” Akan tetapi, logika Al-Qur’an tidak demikian. Al-Qur’an mengajarkan: Allah
SWT sudah lama menjawab doa-doa manusia, dan karenanya, hendaknya kita menjawab seruan Allah
SWT dan beriman kepada-Nya.

Benarlah apa yang telah dijelaskan oleh para ulama dan ditegaskan kembali oleh Prof. Al-Attas, yaitu
tentang konsep diin. Diin (agama) memang berkaitan erat dengan dayn (keberhutangan), sebab
perasaan berhutang itulah yang menjadi dasar kita dalam beragama. Untuk menyadari kewajiban kita
sebagai hamba, kita hanya perlu mengingat sebuah fakta bahwa sesungguhnya kita telah menerima
begitu banyak pemberian dari Allah SWT, dan karenanya, penghambaan itu menjadi sangat masuk akal.

Sebaliknya, jika tidak mengakui pemberian Allah SWT, atau dengan kata lain, tidak merasa berhutang
kepada-Nya, maka tak mungkin mengajarkan agama kepada orang yang demikian. Kepada orang-orang
yang tak tahu malu semacam ini, berlakulah hadits Rasulullah saw:

Sesungguhnya di antara ungkapan yang dikenal manusia dari ucapan kenabian terdahulu ialah: “Jika
engkau tidak malu, berbuatlah semaumu.” (HR. Bukhari)

TAMAT

-------
Teh Iffa:
izin bertanya ustadz, kalau misalnya seseorang itu ga ngeh bahwa doanya dijawab (mungkin karena
tidak dikabulkan seuai keinginannya) itu gimana ya penanganannya?

karena ada salah seorang kenalan saya (mengaku) jadi ateis krn hal tersebut

Alvin:
ada yg jadi ateis, ada yg malah mau bunuh diri karena merasa hidupnya masalah semua

Ustadz Akmal:
Manusia itu nggak adil. Satu permintaan tdk dikabulkan, langsung ateis. Padahal bejibun permintaannya
yg sudah dikabulkan, tapi tak menambah ketaatannya. Ya berlaku hadits yg terakhir tadi. Dia gak tahu
malu.

Menurut saya sih bohong bgt kalo ada org yg bilang permintaannya gak pernah dikabulkan.
Teh Iffa:
nah ini mungkin lebih ke nyadar atau ngganya ya ....

Sisi ketidakadilan manusia lainnya: ia melihat persoalan dari perspektifnya sendiri, pdhal ia hidup di
alam raya. Misalnya kita mau jalan2, tau2 hujan. Lalu kita ngambek sama Allah. Padahal yg pengen
nggak hujan ya segelintir aja, sementara petani, tanaman, binatang, semuanya lagi butuh hujan. Kita
pengen mendikte Allah. Itu aja.
Kang Raka:
ngeri juga ya jatuhnya

Teh Disa:
Muhun, kadang sy pribadi sering merasa. Manusia (termasuk juga saya) udah merasa sok tau ttg apa
yg baik dan tdk baik buat nya. Padagal sejatinya kita ini tidak tau kecuali hanyalah sedikiitt sekali.
Teh Diva:
Bener banget ini teh. Pas udah diujung2 baru nyadar maksud Allah ngasih kita di situasi yang kita
ngerasa ga nyaman sebelumnya. Malu sendiri huhu

Egi:
Ini kasusnya kayaknya mrip tmen saya dulu, dia ttp islam cuman akhirnya nyatain diri gamau berdoa
(bahkan shalat) soalnya toh apapun yg dia inginkan toh dapet jga asal ada usaha. Jd dia kyk menisbatkan
dirinya aja dlm smua pencapaiannya tnpa melibatkan cmpur tangan Allah.

Kalo disambungin sama materi ust @Akmal Sjafril barusan, ini bsa masuk bukti jawaban Allah bukan
stadz? Dimana ketika dia tidak meminta Allah pun sbnrnya sudah menjawab dgn dipenuhinya keinginan
dia?

Ustadz Akmal:
Itu cara berpikir qadriyyah sih, tp org qadriyyah pun masih shalat.

Makanya kebenaran tdk diukur dari hal2 materialistis. Banyak org kafir yg hidupnya lebih enak drpd
kita, apa kita mau katakan bahwa Allah menjawab doa2 mrk dan tdk menjawab doa2 kita? Kasih
sayang Allah SWT tdk semata ditentukan oleh pemberian-Nya di dunia.

Egi:
Mungkin ini masuk sama konsep rahman & rahim ya?

Artinya hampir sama tp maknanya ternyata punya maksud berlainan.

Ar Rahman sebagai kasih sayang Allah sebatas dunianya n semua makhluk Allah bsa dapat ini,
sedangkan ar Rahim mencakup kasih sayang Allah yg di tangguhkan di dunia tpi baru akan di berikan
di akhirat dan hanya utk org2 mukmin.
CMIIW @Lewinda Jotari (Jota) @SPI5_48_Kang Aul/Rozaq_Muhammad Aulia Rozaq yg pernah bahas
ini hehe

Ustadz Akmal:
Yup

Teh Jota:
Oiyaa beneer

-------
>> Menanggapi:
"Sebaliknya, jika tidak mengakui pemberian Allah SWT, atau dengan kata lain, tidak merasa berhutang
kepada-Nya, maka tak mungkin mengajarkan agama kepada orang yang demikian. Kepada orang-orang
yang tak tahu malu semacam ini, berlakulah hadits Rasulullah saw:"

Teh Disa:
Ustd izin bertanya terkait point ini.

Pada fase futur nya seseorang seringkali lalu ibadah2 berkurang atau semangat menunaikan nya pun
berkurang. Apakah hal ini bisa dikategorikan pula seseorang tsb sedang berada dalam fase tidak merasa
berhutang terhadap Allah?

Ustadz Akmal:
Ada hadits ttg futur.

Ingatlah setiap amalan itu ada masa semangatnya. Siapa yang semangatnya dalam koridor ajaranku,
maka ia sungguh beruntung. Namun siapa yang sampai futur (malas) hingga keluar dari ajaranku, maka
dialah yang binasa. (HR. Ahmad)

Jadi, selama futur-nya hanya terwujud dalam melemahnya amal, itu masih wajar. Tapi kalau sampe
melenceng dari jalan yg benar, alias sampe ke maksiat, itu baru cilaka.

Teh Disa:
Apakah malas nya seseorang dlm ibadah sunnah (wajib tetap dikerjakan), masih masuk dalam baras
koridor yg dimaksud ust?

Ustadz Akmal:
Ninggalin ibadah sunnah kan bukan maksiat.

--------
Teh Jota:
Pernah baca kutipan (lupa dr mana) yg blg bhwa kelemahan manusia sendiri lah yg bikin dirinya sulit
melihat adilnya Allah atas semua urusan manusia, karena semua diukur dgn bahagia ngganya dia.
Tapi bahagia jg beda ya pengertiannya klo worldviewnya beda 😅

Teh Iffa:
setuju teh. banyk liat juga contoh macam" definisi kebahagiaan dari berbagai orang. setelah ditelisik
ternyata akarnya dari worldview

------
>> Menanggapi:
"Jika kita berpikir dengan logika terbalik, kita akan mengatakan “Patuhi Allah SWT, agar Dia berkenan
menjawab doa-doamu!” Akan tetapi, logika Al-Qur’an tidak demikian. Al-Qur’an mengajarkan: Allah
SWT sudah lama menjawab doa-doa manusia, dan karenanya, hendaknya kita menjawab seruan Allah
SWT dan beriman kepada-Nya."

Teh Jota:
🥺🥺🥺

-----
Ustadz Akmal:
Oya ada ungkapan menarik dalam Shaidul Khathir karya Ibnul Jauzi. Menurut beliau, manusia memang
harus menikmati rizki yang Allah SWT berikan, alias tidak boleh menghindarinya terus. Sebab, manusia
susah bersyukur kalau tidak merasakan nikmat.

Ya ini berkaitan dengan urutan logika yg saya jelaskan. Sudah dikasi nikmat duluan aja manusia masih
gak taat. Apalagi kalau nggak dikasi nikmat.

-----
Teh Diva:
Ijin bertanya juga Ustad. Saya kenal salah seorang yang dulunya penyuka sesama jenis. Tapi sekarang
beliaunya udah hijrah. Awal2 dia ngerasa hidupnya lebih tenang, tapi makin kesini katanya dia pengen
ke kehidupan masa lalu nya. Saya udah coba sampaikan mungkin itu ujian hijrahnya dia. Tapi dia bilang
ke saya kalo saya ga ngerti apa yang dia rasain. Katanya dia udah sering berdo'a biar tetap dalam
ketaatan. Tapi perasaannya tetep ga tenang dan pengen kembali ke masa lalunya. Itu cara kasi
pengertiannya gimana ya Ustad? Saya takut nanti dia berprasangka kalo Allah ga jawab do'a dia.

Ustadz Akmal:
Orang kayak gitu perlu disadarkan bahwa bukan hanya dia yang setiap hari harus bertempur melawan
dirinya sendiri. Fa-alhamahaa fujuurahaa wa taqwaaha, qad aflaha man zakkaahaa, wa qad khaaba man
dassaahaa. Kita semua diilhamkan untuk dosa dan ketaqwaan tertentu. Semua orang punya
pertempurannya masing-masing.

Teh Jota:
🥺

Teh Diva:
Iya ya, Stadz. Saya pernah juga bilang ke dia tentang ini. Tapi dia selalu bilang kalo saya ga ngerti apa
yang dia rasain. Ujung2 nya saya diem aja. (sambil di do'a kan hehe)

Ustadz Akmal:
Ya kalo dalilnya "kamu gak ngerti apa yang saya rasain", well I guess the argument works both ways,
then…

Teh Diva:
Wah totally true, Stad. Alhamdulillah. Jazakallah khair Ustad, atas jawabannya

Egi:
Itu masuk tanda2 depressed ga si?? Biasanya org2 yg lg gt bakal sulit dikasi tau, bawaannya di ngrasa
idupnya duah paling berat, klo di beritau dgn cara dibandingin sma kisah2 beratnya ujian
rasulullah/para shahabat atau contoh lain dia bakal langsung nolak mentah2 soalnya dia ngrasa itu
bukan bgian dri dirinya.

Teh Diva:
Ya juga ya. Masuk nya ke kesehatan mental ya

Ustadz Akmal:
Menarik sih ini. Jadi kepikiran, mungkin terapi yg tepat bwt org2 yg 'tenggelam dalam pikirannya
sendiri' itu memang harus disuruh jalan2 sih biar melihat dunia, melihat nasib orang yg beda2, yg
mengalami ujian jauh lebih berat drpd yg kita alami dsb.

Egi:
Ini bsa jdi hikmah dr perintah sabar dan syukur.

Utamanya syukur, buat org yg memang sedang tidk mrasa mengalami ujian berat (dlm bhagia)
Allah perintahkan syukur, ini brrti ia disuruh untuk dapat melihat keadaan skitar, kyk melihat
orang krg bruntung di bawah kita (sesuai hadist Rasul yg perintahin melihat ke bawah dlm
perkara dunia, tp melihat ke org di atas kita dlm prkara ibadah, CMIIW lupa hadistnya hehe) ini
bisa jd terapi jga buat kita2 agar selalu merasa cukup dgn kondiai baik kita, dan dituntut tau jga
peka dgn penderitaan orang di bawah kita.

Ini perspektif kacamata iman nya, yg saya lihat bru efektif buay pencegahan sblm kena mental
desease gitu.

Tp penangannya saat kadung tenggelam dlm mental desease gt saya blm nemu treatment dlm
dlm kacamata agamanya...

Allahu a'lam. 😅
Kang Raka:
Berkah yang paling besar tuh ketika kita sedang punya masalah dan sadar bahwa ada
masalah... 😌

Teh Iffa:
ini banget sih wkwkwk

Ustadz Akmal:
Ini separuh dari yg dikatakan oleh Abu Zayd al Balkhi.

Menurut beliau, saat jiwa sdg sehat, kita harus banyak bersyukur, 'menyimpan memori' ttg
kesyukuran tsb, agar bisa menjadi penawar saat mengalami ujian.

Tapi ketika jiwa sudah menderita, maka terapi dari dalam tak bisa lagi. Ia harus menerima
nasihat dari luar. Untuk itu, ia jg harus membuka jiwanya untuk menerima nasihat.

Mirip seperti badan. Saat sehat, beri pasokan nutrisi yg baik, di-maintain dgn olahraga dsb.
Tapi ketika sakit, semua itu nggak cukup lagi. Ya terpaksa dikasi obat dari luar.

Egi:
MasyaaAllah, nah iya ust. Sebagian ust. yg pernah bahas ini, org yg jiwanya sudah menderita
memang baiknya langsung ditangani sama ahlinya (read psikiater) utamanya psikiater yg
sekaligus paham agama.

Syukron stadz..

Ustadz Akmal:
Tapi ini penting diketahui semua org (sebelum sakit), agar mereka mau menerima nasihat.
Kayak yg dibicarakan tadi, kan berabe kalau org dinasihati tapi malah nyahut, "Kamu gak
ngerti apa yg aku rasain!"

Maka, dari sekarang, sejak jiwa masih sehat, harus memelihara kerendahan hati agar mau
menerima nasihat.

Wulan :
🥺🥺

Teh Iffa:
krn sekarang rata-rata orang semacam dihimbau *? untuk mendengarkan saja tanpa
ngasih intervensi. makanya kalau dikasih masukan jdnya begitu hwhwhw
Ustadz Akmal:
Iya, ini banyak yg mengkritisi. Semakin mental illness dipelajari, kok semakin banyak
penderitanya wkwkwkwk Disinyalir ini gara2 terapi mental illness itu lebih banyak
memaklumi ketimbang menasihati, bahkan menasihati itu dianggap buruk.

Makanya soal nasihat ini saya bahas di podcast edisi2 awal saya.

Teh Iffa:
sebenernya buat tahap awal sih masih mungkin cuma tahap lanjutannya harus diisi
sama nasehat"

masalahnya banyak pasien yg ketika udah beres masa akut/awalnya malah kagak
terapi lagi, jadi weh gampang kambuh terus dengan stigma harus dibaik"in wwwww

Kang Juris:
menarik ust, ada referensinya kah yg memaklumi ketimbang menasihati di dunia
psikiater?

Sy jd teringat buku legendaris Dale Carnegie - How to Win Friends & Influence
People. Di buku itu jg ditulis terkait kalau mau mempengaruhi orang, jangan
mengkritisi. Mungkin framework "jangan ngejudge" ini sudah ada lebih lama dari yg
kita pikirkan ya 🤔

Ustadz Akmal:
Kan psikologi konservatif tdk dibangun atas dasar kebenaran agama. Jadi kalau
ada org homo ngaku depresi, maka depresinya yg dihilangkan. Ia diajak utk
'berdamai' dengan ke-homo-annya dan mengabaikan suara2 negatif. Akhirnya ya
gak beres2 masalahnya krn gak pensiun jd homo wkwkwkwk

Kang Raka:
😅
Sebagain gak mau nasehat karena takut dianggap nge judge…

Teh Iffa:
nah ini wwww
ga juga rak, di beberapa kalangan emang seolah olah nasehatin = ngejudge
Kang Raka:
Yaa karena ga bisa ngebedain
Padahal dari jama baheula juga tugas konselor teh ngasih nasehat

Ustadz Akmal:
namanya aja konselor
Council = konsili, sekumpulan org yg dimintai nasihat
Counsel = nasihat

Egi:
Akar katanya ttep sama brrti ya.

Cuman dilapangan skrg malah bergeser krena ngikutin kebutuhan


'pasar' 😅

Teh Iffa:
Wkwkwk

Kang Raka:
Mau menolak istilah konselor juga, pertemuannya tetep konsultasi 🤣

Kang Juris:
wah mantep nih, gmn ada komen kang raka dan kang andri? pengen sy jadiin
konten di review buku selanjutnya wqwqwqwqwq

Kang Raka:
"Anggapan" Sendiri sih yang bahayanya... Bikin orang ga bisa bertindak bener
🤣

Egi:
Ini menarik sih, kyknya klo bsa dikupas langsung sama ahlinya di sharing
selanjutnya nya :D
Titip dong
@Kang Raka @Kang Andri_Aliansi Ruang Riung

Kayaknya sudah terlalu malam, sebagian warga sini sudah mulai ngantuk 😅

Mungkin dr ust @Akmal Sjafril ada natijah pelengkap materi buat penutup.

Teh Iffa:
salah satu terapi pembantu yg dianjurkan (selain obat) memang behavioral therapy. nah di sini
biasanya sistemnya pasien" ngumpul salng sharing tentang strugglenya masing-masing. dan ini
sudah terbukti berengaruh signifikan buat pasien hehee

tapi awalannya biasanya dibesarin dulu hatinya sih. agak ribet memang kalau sudah masuk
mental disesase teh hwhwhw

Ustadz Akmal:
Betul. Tapi dari semua metode 'membesarkan hati' yg pernah saya eksplorasi, logika Al-Qur'an
yg kita bahas skrg ini adalah yg paling pas, yaitu dgn menunjukkan bahwa di samping 1-2
masalah yg ia rasakan, sebenarnya sudah banyak lho rizki dari Allah SWT yg sudah dia nikmati.
Efeknya jadi dua: hati bahagia, dan muncul adab yg baik kpd Allah, yakni perasaan berhutang.

Kalau hatinya dibesarkan dgn membesar-besarkan dirinya, malah kadang jd bumerang, karena
egonya yg dikasi makan.

Kang Raka:
Malah ngelunjak.
Parahnya

Teh Iffa:
memang ada ada saja kelakuan ningentachi wkwkwkwk

Teh Iffa:
iya stadz betul, biasanya sama konselornya juga pelan-pelan digiring ke arah mensyukuri
nikmat yg biasanya taken for granted. cuma kadang buat membangun relasi yg agak kuat ya
dibesarin hatinya pake yg cara kedua wkwk

Teh Diva:
Betul betul. Karna ga semua orang bisa siap sharing kan ya huhu

Teh Iffa:
iya www ada asesmennya kapan si pasien bisa mulai ikut ke sharing session itu

sayang kayaknya di indo sendiri kurang digalakan

Teh Jota:
Berdoa dan usaha beriringan toh?
Dia selama ini kegiatannya apa div dalam masa hijrahnya?

Teh Diva:
Dia katanya ikut kelompok ngaji teh Jo. Tapi sekarang udah ga lagi cenah

------
Alvin:
Ini materi boleh keluar grup ga? Wkwk

Ustadz Akmal:
Hoahemm
Ilmu gak ada berkahnya kalo gak disebar. Tapi bagusnya kita membiasakan utk bercerita ulang, bukan
copas.

Alvin:
alright sir, hatur nuhun juga kang buat materinya hari ini

-----
Teh Erlin:
MasyaAllah baru beres manjat tau2 udah pada ngilang 😅

Jadi inget perbedaan konsep terapi psikologi positif pake frame work barat dan Islam ustadz.
Guru saya pernah bilang, bedanya logika barat tuh memandang kalo semesta itu tak berdaya, makanya
perlu bantuan manusia. Sehingga babgun pertama psikologi tu memandang manusia dari potensi2
berpenyakitnya.

Beda dengan logika Islam yg menganggap semesta ada yang memberdayakan (Allah), maka tugas
manusia tau cara yang tepat untuk memberdayakannya.

Logika terbalik yg ustadz sampaikan sama persia dengan konsep terapi clien center yg di bangun dari
worldview Islam.

Maka, guru saya sebelum membahas terapi positif clien center, terlebih dulu membukanya dengan
workshop mendidik fitrah keimanan, biar para psikolog nya terpesona dulu sama Allah sebelum
menunjukkan kebenaran)

Kita harus mampu memperlihatkan pesona Islam, sehingga proses memahami untuk menggiring fikiran
positif tuh bukan membenarkan apa yang clien alami dari takdir yg dirasa tidak menyenangkan yang
Allah kasih, tapi memantik partisipasi clien untuk melihat dan memahami kemahadayaan Allah dalam
merencanakan tantangan hidup yang dia alami, mengenali potensi yang Allah titipkan pada tiap diri
sebagai potensi agar kita berdaya mengelola masalah.
Sehingga, manusia optimis bahwa sakitnya merupakan ujian tanda kasih sayang Allah yang dengan
sukarela harus dikelola sesuai SOP Allah.

Kemampuan seni menasehati inilah yg akhirnya membedakan memahami dan membenarkan.

Pantas, dulu ada ahli zina yg sukarela curhat blak2an sama Rasul namun akhirnya taubat perlahan.

Atau seorang perempuan yg curhat kalau dirinya punya penyakit suka ga sadar buka auratnya di
sembarang tempat.

Mereka berubah bukan atas dasar Rasul memahami latar belakang knp dia suka zina atau kenapa dia
suka buka2 aurat tanpa sadar, tapi rasul berhasil menjadikan kesalahan/kekurangannya sebagai bahan
untuk menunjukan keelokannya Islam.

Skill tinggi sih menasehati kemahadekatan Allah dengan hikmah tuh

Anda mungkin juga menyukai