Anda di halaman 1dari 9

Sabtu, 04 Juni 2011

Hakikat Do'a
Doa adalah intinya ibadah. (HR. Tirmidzi) Doa adalah senjata seorang mukmin dan tiang (pilar) agama serta cahaya langit dan bumi. (HR. Abu Yala) Oleh : Aa Gym Alhamdulillaahirabbil aalamiin. Allahuma shalli ala Muhammad waala aalihi washahbihii ajmaiiin. Jika ada sebuah pertanyaan, kenapa ALLAH tidak mengabulkan atau mengijabah doa? Sudah begitu jelekkah ummat Islam sehingga doanya tidak dikabulkan? Sebetulnya berbeda urusannya, antara kita berdoa dengan dikabulkannya doa tersebut. Karena kita diperintah berdoa oleh ALLAH, sedangkan mengabulkan itu adalah kehendak ALLAH. Sesuai dengan kebijakan, kearifan dan janji-NYA. Bukankah kita tidak berdoa saja ternyata lebih banyak diberi? bukankah kita tidak berdoa untuk meminta nafas, tapi buktinya kita selalu bernafas. Kita tidak berdoa untuk minta makan, namun, bukankah sampai saat ini kita makan terus? Banyak yang tidak kita minta, namun telah diberikan oleh ALLAH SWT. Bahkan yang tidak berdoa juga sama-sama diberi oleh ALLAH rejeki. Yang meminta jodoh ada yang belum mendapatkan jodohnya. Namun, yang tidak minta malah ada yang lebih dari satu. Yang tidak minta anak ada yang dikarunia banyak anak, namun ada yang telah meminta ternyata belum diberi oleh ALLAH. Jadi doa itu tidak selalu identik dengan harus terwujud apa yang kita inginkan, karena apa yang kita inginkan belum yang terbaik untuk diri kita. ALLAH lah yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita. Kita berdoa itu, PERTAMA, sebagai ibadah. Seperti pada hadits pembuka di atas.. Doa adalah inti dari ibadah. Bagi kita, berdoa akan dikabul atau tidak, Insya ALLAH tetap jadi amal soleh. Karena apa yang kita minta belum tentu yang terbaik dan belum tentu manfaat. Maka, kita dikaruniakan bisa berdoa saja itu sudah rejeki. Doa itu merupakan dzikir. Doa itu ibadah. Berdoa itu tidak mudah, karena tidak semua orang bisa berdoa. Lalu yang KEDUA, bentuk ijabahnya doa itu tidak harus sesuai keinginan. Karena sekali lagi keinginan kita, apa yang kita inginkan belum tentu manfaat untuk kita dan belum tentu yang terbaik untuk kita. Hanya ALLAH yang Maha Tahu yang terbaik untuk setiap hambaNYA. Kehidupan ini hanya dimenangkan oleh orang yang kuat iman. Karena kalau kita beriman kepada ALLAH, saat diberi nikmat lalu kita bersyukur, Insya ALLAH jadi kebaikan. Diberikan musibah lalu kita bersabar, Insya ALLAH merupakan kebaikan pula. Tidak ada yang kerugian bagi orang beriman. Naik pangkat, berhasil dapat untung besar, semuanya tidak identik dengan ijabahnya doa. Bahkan bisa jadi merupakan fitnah. Maka, yang harus kita lakukan kini adalah terus-menerus berdoa. Karena doa adalah dzikir kepada ALLAH. Terserah ALLAH akan dikabulkan seperti apa, karena memang segalanya milik Dia. Yang penting kita terus istiqomah untuk memperbaiki diri. Terus istiqomah untuk berbuat yang lebih baik. Kemenangan itu adalah bagi orang yang bertaqwa, Audzubillaahi minasyaithoonirrojiim, Inna Akramakum indallaahi Atqaakum (Orang yang menang adalah orang yang kokoh iman dan berusaha sekuat tenaga untuk taat kepada ALLAH SWT). Wallahu alam.

Saat Bicara dan Saat Menahan Diri


8 09 2008

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam. (H.R. Bukhari-Muslim) Apa yang akan terjadi apabila orang yang sedang dilanda emosi kita debat atau lebih halus dari itu, kita nasihati? Alih-alih meredakannya, yang lebih mungkin terjadi adalah ibarat menyiramkan bensin ke api. Bukannya mereda, amarahnya malah akan semakin membara dan membakar segala-gala. Mengapa demikian? Orang yang sedang marah jelas cenderung tidak siap menerima nasihat atau mendengar pendapat yang berseberangan dengan apa-apa yang menjadi unekuneknya. Mentalnya saat itu tentu lebih disiapkan untuk memuaskan segala yang sedang bergolak di dalam dadanya. Adapun tindakan yang paling pantas kita lakukan dalam keadaan demikian adalah berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan diri. Ya, kalaupun harus berucap, maka ucapan seperti, Ya, saya maklum atau Saya dapat memahami perasaan Anda akan jauh lebih maslahat dan dapat sangat efektif meredakan emosinya ketimbang nasihat atau kata-kata kebenaran yang salah pasang. Dengan demikian, dalam ikhtiar membermutukan lisan, setelah faktor keikhlasan sebagai kata kunci utama (baca Lisan yang Bermutu), faktor tujuan dan apa yang dikatakan harus sesuai kenyataan, sesungguhnya ada satu lagi faktor yang jangan sekali-kali diabaikan, yakni waktu atau momentum yang tepat. Artinya, kita harus pandai-pandai memilih dan memilah waktu dan kondisi, sehingga sesuai dengan keadaan yang membutuhkannya. Pendek kata, pilihlah kata-kata terbaik, waktu terbaik, dan tempat terbaik agar kata-kata kita membawa hasil terbaik pula. Ketahuilah, sebelum berkata-kata, sesungguhnya kata-kata itu tawanan kita. Akan tetapi, sesudah telontar dari lisan, justru kitalah yang ditawan oleh kata-kata sendiri. Buktinya? Betapa banyak orang yang sengsara, menanggung malu, terbebani batinnya, bahkan membuat nyawanya melayang gara-gara kata-kata yang salah ucap, yang keluar dari mulutnya sendiri. Begitu banyak contoh nyata dalam kejadian sehari-hari yang bisa membuktikan semua ini. Mungkin suatu ketika kita baca di koran berita tentang beberapa pelajar SMA yang terlibat pergaulan bebas dengan sesama teman sebayanya. Biasanya mulut ini begitu gatal untuk segera berkomentar, Mareka sebenarnya adalah korban-korban dari ketidakbecusan para orang tuanya dalam mendidik anak-anaknya sendiri. Atau, kadang-kadang ketika berkumpul bersama teman-teman, tidak bisa tidak, kita sering dengan sadar dan bahkan dinikmati, terjebak dalam perbuatan ghibah, mengumbar-umbar aib dan keburukan orang

lain, teman, atau bahkan beberapa sikap dan periaku orang tua sendiri yang dalam penilaian hawa nafsu kita, tidak kita sukai. Nah, bila kita acap atau kerap kali senang menggelincirkan lisan ini ke dalam perbuatanperbuatan demikian, pertanyaan yang harus segera diajukan terhadap diri sendiri adalah, mestikah saya berbicara? Haruskah saya mengomentari masalah ini? Mengapa saya harus ikut-ikutan memberikan penilaian, padahal kita mungkin tidak tahu permasalahan yang sebenarnya? Subhanallah! Siapa pun yang ingin memiliki lisan yang bermutu serta kata-kata yang mengandung kekuatan dahsyat untuk mengubah orang lain menjadi lebih baik, satu hal yang harus direnungkan, yakni bahwa kekuatan terbesar dari kata-kata kita adalah harus membuat orang senantiasa mendapatkan manfaat dari apa pun yang kita ucapkan. Kalau hanya bicara, padahal kita sendiri tidak tahu akan membawa manfaat atau tidak, sebaiknya diam saja. Falyaqul khairan aw liyaskut! demikian sabda Rasulullah saw. Hendaklah berkata yang baik atau diam! Berkata itu bagus dan boleh boleh saja, namun diam itu jauh lebih bagus kalau toh kata-kata yang kita ucapkan akan tidak membawa manfaat. Kalaupun kita memandang perlu untuk berkata-kata-kata, sebaiknya berikan yang terbaik kepada orang yang mendengarkannya, kata-kata yang paling indah, paling tulus, paling bersih dari segala niat, dan motivasi yang tidak lurus. Karenanya, usahakanlah kata-kata yang keluar dari lisan ini kita kemas sedemikian rupa sehingga membawa manfaat dan maslahat baik bagi diri sendiri maupun bagi jalan hidup serta tumbuhnya motivasi, kehendak, ataupun tekad seseorang. Hanya empat hal dari kata-kata yang paling tinggi nilai dan mutu-nya, yang seyogianya keluar dari lisan kita. Pertama, ketika mendapat karunia nikmat, suruhlah lisan ini bersyukur kepada Allah. Kedua, ketika ditimpa ditimpa musibah, segera suruh mulut ini untuk bersabar, inna lillaahi wa inna ilayhi raaji`uun. Ketiga, ketika mendapat taufik dari Allah berupa kemampuan beribadah yang lebih baik daripada yang bisa dilakukan orang lain, suruh mulut ini berkata bahwa semua kemampuan ibadah kita adalah semata-mata berkat karunia dari Allah Azza wa Jalla. Keempat, ketika kita tergelincir berbuat dosa, lekas-lekas suruh lisan ini ber-istighfar memohon ampunan kepada Allah. Dan selebihnya adalah sikap hati-hati setiap kali lisan kita hendak berkata-kata. Hendaknya kita tidak membiarkan mulut ini sembarang berbunyi. Daripada berakibat sengsara, lebih baik menahan diri. Sebab, jangankan menyampaikan nasihat, bukankah untuk bertanya saja dalam ajaran Islam demikian tinggi adabnya. Misalnya, terhadap seseorang yang kita tahu suka melaksanakan saum sunnah, kita bertanya, Mas, Anda sedang saum? Padahal di sekelingnya sedang banyak orang. Ini kan pertanyaan yang berat. Betapa tidak? Kalau orang tersebut menjawab, Ya, saya saum, hatinya mungkin bisa tergores-gores karena kekhawatirannya berbuat riya. Kalau ia menjawab tidak saum, berarti dusta dan itu dosa sekaligus bisa menghilangkan pahala saumnya. Kalau memilih diam saja, bisa-bisa dianggap sombong. Demikian pula kalau hendak berdiplomasi saja, minimal ia akan kerepotan untuk mencari kata-kata yang tepat. Ini berarti pertanyaan kita membebani batin orang dan sekaligus mubazir.

Oleh sebab itu, tidak heran kalau para ulama dan orang-orang yang saleh serta berkedudukan di sisi Allah sangat hemat dengan kata-kata. Kendati, mungkin ilmunya sangat luas, pemahamannya begitu dalam dan jembar, hafal seluruh surat Alquran dan ribuan hadis Nabi, telah menyusun berpuluh-puluh kitab yang monumental, ibadahnya begitu dahsyat, sementara akhlaknya pun demikian cemerlang. Semua itu karena mereka sangat yakin bahwa kesia-siaan dalam berkata-kata pastilah akan mengundang setan dan niscaya pula akan menyeretnya ke dalam jurang neraka Saqar (Q.S. Mudatstsir: 45). Walhasil, marilah kita tata lisan yang cuma satu-satunya ini. Percayalah, diam itu emas. Orang yang sanggup memelihara lisannya akan lebih kuat wibawanya daripada orang yang gemar menghambur-hamburkan kata-kata, tetapi kosong makna. Berusahalah senantiasa agar kata-kata yang kita ucapkan benar-benar bersih dari penambahan-penambahan dan rekayasa yang tiada artinya. Ukurlah selalu, di mana, kapan, dan dengan siapa kita berbicara agar setiap kata yang terucap benar-benar bermutu dan tinggi maknanya. Mudah-mudahan Allah Yang Maha Menyaksikan segala-gala senantiasa menolong kita agar selalu sadar bahwa rahasia kekuatan lisan yang bisa menggugah dan mengubah orang lain itu, berawal dari hati yang tulus ikhlas. Tidak rindu apa pun dari yang kita katakan, kecuali rindu kemuliaan bagi yang mendengarkannya, rindu demi senantiasa mulia dan tegaknya agama Allah, serta rindu agar segala yang kita ucapkan menjadi ladang amal saleh untuk bekal kepulangan kita ke akhirat kelak. Insya Allah!

Komentar : Tinggalkan sebuah Komentar Kategori : Tausyiah Aa Gym

Sumpah dan Amanah


8 09 2008

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah ia mengkhianatinya (HR. Bukhari dan Muslim). Entah kenapa setiap mendengar kata Demi Allah, jiwa ini selalu bergetar. Tidak mengherankan, karena sumpah adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan, apalagi garansinya dikaitkan dengan nama Allah Yang Mahaagung. Sayangnya, kita masih melihat orang yang begitu mudah mengucapkan sumpah, dan begitu mudah pula mengkhianatinya. Demikian pula yang terjadi di negara kita, seorang pejabat terlihat begitu mudah melakukan penyelewengan padahal sebelum diamanahi suatu tugas ia disumpah terlebih dulu. Sebuah sumpah bisa mengandung banyak konsekuensi. Karena itu, kegigihan untuk memenuhi janji adalah sebuah kehormatan.

Sebaliknya kegagalan memenuhi janji dengan disengaja tentunya menunjukkan tanda kemunafikan kita. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati di dalam berjanji dan bersumpah. Sumpah yang tergolong berat adalah sumpah jabatan. Kita sering mendengar bagaimana para pejabat disumpah untuk tidak menerima apapun yang tidak sah berkaitan dengan jabatannya. Bila ia tidak serius mengamalkan sumpahnya tersebut, maka ia dikategorikan seorang pengkhianat. Hal lain adalah sumpah yang sering diucapkan tatkala pernikahan. Karena itu, berjuanglah sekuat tenaga untuk menjaga kualitas akad kita tersebut. Begitu pula dengan iklan. Sumpah yang diucapkan bisa dikategorikan palsu tatkala apa yang didengungkan tidak sesuai dengan kualitas produk sebenarnya. Bila kita menjadi pelakunya, kita sesungguhnya telah menipu pembeli dan sekali-kali untung yang diperoleh tidak akan berkah. Saudaraku, alangkah baiknya apabila kita tidak mudah mengobral sumpah dan janji, karena semua itu harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dalam sebuah Hadisnya Rasulullah SAW mengungkapkan tiga ciri orang munafik. Pertama, bila berbicara selalu dusta. Kedua, kalau berjanji selalu mengingkari. Dan ketiga, kalau diberi amanat ia khianat. Kalau kita ingin tahu siapa diri kita, caranya mudah sekali! Berapa banyak dusta yang keluar dari mulut kita, berapa banyak tipu muslihat yang keluar dari mulut kita. Hati-hati saudaraku jangan sampai kita menjadi seorang pendusta. Berkaitan dengan ciri kemunafikan yang pertama. Kita harus berhati-hati terhadap dusta termasuk yang kecil sekalipun. Jangan sampai untuk bergurau saja kita berdusta, untuk menceritakan film saja kita berdusta agar terlihat lebih seru. Atau sedang ceramah, supaya kita terihat lebih pandai. Di dalam kita anu disebutkan Padahal kita tidak tahu isi kitab tersebut. Saudaraku hindarilah dusta sekecil apapun, walau hanya pada anak kecil. Jagalah diri kita dari sikap munafik. Karena sekali saja orang mengetahui kita berdusta, akan sangat sulit sekali untuk mengembalikan kepercayaan dan citra diri kita. Kedua berkaitan dengan janji. Bertanyalah selalu pada diri sebelum berjanji. Sanggupkah saya memenuhi janji ini? Siapkah saya menanggung konsekuensi dari janji yang diucapkan? Kita harus berhati-hati kala berjanji. Manakala sedang berhutang dan belum sanggup membayar, ungkapkanlah keadaan kita yang sebenarnya dan siap menaggungung risiko. Jangan sampai kita berjanji dan terus berjanji tanpa bisa melunasi. Begitu pula saat kita dilanda asmara. Biasanya, orang yang sedang dilanda asmara sering mengobral janji. Sahabat, walaupun diungkapkan dengan nada bergurau, janji tetaplah janji. Kita harus berusaha menepatinya walaupun kita harus mengorbankan banyak hal. Teladanilah Rasulullah SAW. Beliau pernah menunggu orang hingga tiga hari lamanya hanya untuk menepati sebuah janji. Ciri orang munafik yang ketiga adalah khianat tatkala diberi amanat. Amanat di sini cakupannya sangat luas. Anak adalah amanat bagi orang tua. Istri adalah amanat bagi suami. Begitu pula dengan ilmu, kekayaan, maupun jabatan dan kekuasaan. Semuanya adalah amanat yang harus dijaga dan ditunaikan dengan baik. Suatu kali seseorang pernah menasihati saya, Aa, jangan sampai tergiur oleh kekuasaan, karena kekuasaan itu manis sekali rasanya tapi menghancurkan. Kalau orang sudah duduk dalam singgasana kekuasaan, ia akan susah turun karena empuknya kursi kekuasaan itu. Bagaimana tidak, ia dilayani dan dihormati secara duniawi. Karena itu, tidak semua orang bisa keluar dari lingkaran kekuasaan.

Kekuasaan yang tidak terkendali biasanya akan berujung pada terbukanya aib diri. Betapa banyak orang yang sebelum berkuasa namanya dikenal baik, tapi setelah berkuasa ia dikutuk banyak orang karena tidak amanat. Saudaraku, hati-hatilah dengan yang namanya amanat kekuasaan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang buruk. Yang buruk adalah tipu daya kekuasaan yang akan membuat orang terlena dan menjadi tidak amanat. Inilah yang membuat orang mengutuk dan mencaci seorang penguasa. Walaupun demikian, banyak orang yang derajatnya semakin baik setelah ia berkuasa. Lihatlah bagaimana para khalifah pengganti Rasulullah SAW dan juga Umar bin Abdul Aziz. Walau mereka berkuasa hanya sebentar, tapi namanya tetap harum hingga sekarang. Apa kuncinya? Mereka mengemban kekuasaan dengan sikap amanat. Sayangnya, sekarang timbul kecenderungan semakin lama seseorang berkuasa, maka ia akan semakin dikutuk dan dibenci. Karena itu, bila kita mendapatkan sebuah jabatan dalam level apapun kita jangan berbangga hati dulu, karena jabatan bisa menghinakan. Kita layak berbangga bahkan sujud syukur tatkala kita mampu menjalankan kekuasaan dengan amanat. Wallahu alam bish-shawab.

Komentar : Tinggalkan sebuah Komentar Kategori : Tausyiah Aa Gym

Pemimpin Sejati
8 09 2008

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar Saudaraku yang baik. Rahasia kekuatan pemimpin adalah suri tauladan. Ketika Rasul mengajak jihad, beliau itu bertempur paling depan, bersedekah paling ringan dan hidup paling bersahaja. Ketika Rasul menyuruh bertahajud, kakinya sampai bengkak karena salat. Ketika Rasul menyuruh sahum, sampai perutnya diganjal dengan batu. Ketika Rasul menyuruh orang berakhlak mulia, beliaulah yang akhlaknya paling mulia. Untuk mewujudkannya diperlukan kesadaran hati untuk melakukannya terlebih dahulu. Dalam konteks di atas, dijelaskan bahwa Rasulullah sebelum memerintahkan untuk jihad, maka dia memimpin jihad, sebelum dia memerintahkan sedekah maka dia terlebih dahulu bersedekah, sebelum dia memerintahkan salat dan puasa dia lebih dahulu melakukannya. Dengan demikian jika suatu negara atau bangsa bahkan agama, mengharapkan masyarakat juga adanya perubahan kearah yang lebih baik, maka salah satunya pigur pemimpin yang berakhlak mulia atau yang bisa menjadi suri tauladan pada masyarakatnya. Seorang pemimpin yang dimuliakan orang lain, belum tentu hal tersebut sebagai tanda kemuliaan. Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dan menjadi pelayan bagi kaumnya. Demikian Sabda Nabi. Seorang pemimpin sejati, mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak, dia bekerja lebih keras, dia berpikir lebih kuat, lebih lama dan lebih mendalam dibanding orang yang dipimpinnya. Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Nabi.

Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin suatu kaum yakni pemimpin yang melayani dengan tulus kaumnya. Inilah yang senantiasa akan bersemayam cinta di hati orang-orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang karirnya akan selalu mulia dan terhormat adalah pemimpin yang bersyukur. Siapakah pemimpin yang bersyukur ? yakni pemimpin yang sadar bahwa kepemimpinan bukan tanda kemuliaan, tapi kepemimpinan adalah amanah dari Alloh.Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang menjadikan dirinya kuburan bagi aib orang lain, bukan orang yang sering membeberkan kekurangan orang yang dipimpinnya. Semakin banyak membeberkan rahasia dan kekurangan orang lain, semakin jatuh pula kredibilitasnya. Pemimpin yang amanah bisa dilihat dari kehati-hatiannya berjanji, sedikit janjinya, tetapi selalu ditepati. Pemimpin yang amanah akan bertanggung jawab terhadap perkara sekecil apapun. Setiap berkata benar-benar tidak ada keraguan, tidak meremehkan waktu walau sedetikpun. Seorang pemimpin yang bersyukur selalu berjuang agar dirinya menjadi suri tauladan. Seorang pemimpin yang bersyukur akan berjuang sekuat tenaga untuk membuat orang yang dipimpinnya mengenal Alloh dan mengenal kebenaran. Pemimpin yang bersyukur tidak hanya sukses di kantor, tapi juga harus sukses di rumah. Tidak sedikit para pemimpin yang mampu mengatur sistem, kantor, atau perusahaan dengan baik, tetapi tidak berhasil membangun keluarganya dengan baik. Seorang pemimpin yang bersyukur akan memfasilitasi orang-orang yang dipimpinnya agar bisa hidup taat dalam kebenaran. Pemimpin sejati berkorban lahir bathin, siang dan malam untuk membuat orang yang dipimpinnya benar-benar memiliki kemuliaan dan kesejahteraan, tidak hanya untuk urusan dunia tapi juga untuk urusan akherat.Wallahu alam

Komentar : Tinggalkan sebuah Komentar Kategori : Tausyiah Aa Gym

Membiasakan Sholat Berjamaah


5 09 2008

Oleh : Abdullah Gymnastiar Allah SWT menekankan hamba-Nya untuk shalat berjamaah. Dalam firman-Nya Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah bersama orang-orang yang ruku. Anjuran Allah tersebut bukan hanya mendirikan shalat, tapi juga anjuran shalat berjamaah dengan sarana masjid. Allah memberikan perumpamaan bagi yang datang ke masjid lebih awal, sebelum adzan berkumandang, dengan matahari. Bagi yang menuju ke masjid dalam keadaan adzan dengan bulan, dan yang datang ke masjid setelah adzan dengan bintang. Jika dilihat dari segi cahayanya, tentu sinar matahari lebih bercahaya daripada bulan atau bintang. Namun, tak sedikit yang menyadarinya sehingga nyaman shalat sendiri.

Enggan melangkahkan kaki ke masjid bisa jadi karena penyakit malas. Malas mengayunkan kaki pergi ke masjid. Malas menanggalkan aktivitas yang dirasa lebih penting. Malas kelihatan hebat, bisa menaklukan jutaan orang. Padahal malas tak ubahnya seperti tripleks yang mudah rapuh kena hujan dan panas, serta mudah didobrak. Malas hanya dapat dikalahkan dengan melawannya. Ingat, dobrakan itu hanya di awal saja. Pada awal mungkin kita merasa kesulitan pergi ke masjid, tetapi setelah satu kaki diayunkan, itu awal keberhasilan menaklukan malas. Begituhalnya ketika adzan berkumadang dalam keadaan bekerja. Keinginan untuk meneruskan pekerjaan begitu menggebu. Terasa sayang jika harus di jeda. Namun, jika seketika kita sanggup menghentikannya, kita telah berhasil memenuhi panggilan-Nya. Penyebab lain, karena tidak tahu keutamaan berjamaah. Padahal dengan berjamaah akan terjalin keharmonisan, tersadarkan akan eksistensi sebagai hamba. Ketika dalam shaf yang sama bersama hamba Allah yang lain, dengan niat, tujuan yang disembah sama. Dengan begitu semakin sadar akan hamba Allah. Bila mau hitung-hitungan pahala, pahala berjamaah dua puluh tujuh derajat lebih besar daripada shalat sendiri. Subhanallah. Untuk itu saudaraku, mari kita prioritaskan shalat berjamaah di masjid dengan tepat waktu. Jangan manjakan diri dengan kemalasan karena sesunguhnya malas itu datangnya dari setan yang sekali terkelabui, terjerat selamanya. Wallahu alam bishawab.

Komentar : Tinggalkan sebuah Komentar Kategori : Tausyiah Aa Gym

Sudah Mantapkah Keyakinanmu


21 08 2008

Sudah Mantapkah Keyakinanmu?Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

Saudaraku, Tiada Tuhan selain Allah yang menjamin segenap makhluk yang yakin dengan jaminan-Nya. Tidak ada satupun penghalang jaminan Allah, kecuali suuzhan dari makhluk itu sendiri. Memang, Dia sesuai dengan sangkaan hamba-Nya. Seorang hamba yang sangat yakin akan pertolongan-Nya, maka dengan keyakinannya itulah Allah akan menolongnya. Seorang hamba yang yakin doanya akan diijabah, maka tidak ada keraguan sama sekali, Allah pun akan mengijabah doa-doanya seorang hamba yang yakin Allah akan membebaskannya dari kesempitan dan kesulitan yang sedang dihadapinya, dan begitu bulat keyakinannya itu maka Allah pun akan membebaskannya dari segala kesempitan dan kesulitan. Dan apabila hamba-hambaKu bertanya tentang Aku Maka (Jawablah) Bahwa Aku Adalah Dekat (QS. Al-Baqarah [2]: 186).

Sebaliknya kalau seorang hamba ragu-ragu terhadap pertolongan Allah, tetapi lebih yakin dengan kemampuan dirinya sendiri atau dengan pertolonan makhluk-makhluk, maka jangan salahkan siapa pun kalau hidup ini akan diliputi kekecewaan. Mengapa? Karena Allah telah menjelaskan Anaa indazhanni abdibi. Aku- firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi- sesuai dengan persangkaan hamba-Ku! Dengan demikian, siapapun yang ingin hidupnnya selalu dibela, dilindungi, dimudahkan urusannya, dan dikabulkan doa-doanya oleh Allah tetapi tidak pernah bersungguhsungguh meningkatkan mutu keyakinannya kepada Allah Azza Wa Jalla, maka tampaknya semua keinginan itu tak lebih hanya angan-angan belaka. Padahal justru keyakinan yang semakin mantap kepada Allah inilah kekayaan termahal, yang akan membuat hidup kita sepelik, sesulit dan serumit apapun, akan mudah ditemukam jalan keluarnya. Sehebat apapun berkecamuknya urusan dan masalah, sama sekali tidak akan sampai mengaduk-aduk kalbu kita. Seberat apapun beban yang kita pikul, tidak akan membuat kita roboh. Sungguh keyakinan kepada Allah tidak bisa tidak akan membuat semua urusan akan menjadi lebih mudah dan lebih ringan. Karena, Allah lah satu-satunya zat maha pengurus segala urusan. Dialah yang akan menjamin segala urusan kita. Semoga Allah menolong kita menjadi orang yang selalu rindu bisa mengenal Allah dengan baik dan diberi karunia keyakinan yang mantap. Wallahualam

Komentar : Tinggalkan sebuah Komentar Kategori : Tausyiah Aa Gym

Anda mungkin juga menyukai