Disusun Oleh:
Echa Twi Asvitya 21100116120032
Agus Nur Shidik 21100117120018
Adelia Gading Wanazizah 21100117130057
Anggita Krisna 21100117120021
Gracia Megasari 21100117120002
Hezron Christian Marbun 21100117140047
Immanuel Pratama B. 21100117120019
Kartika Lutfia Ariwibowo 21100117130043
KMS Moh. Kemas Shendy 21100117140059
Ricky Anggara 21100117130063
Safira Salsabila 21100117140043
Yosian Berkat 21100117140051
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
LATAR BELAKANG
Secara umum, letak geografis Indonesia berada pada pertemuan antara dua
samudera dan dua benua. Pertemuan antara benua dan samudera ini menyebabkan
Indonesia memiliki kondisi iklim tropis dengan 2 musim yaitu musim hujan dan
musim kemarau, yang secara langsung juga menyebabkan daerah Indonesia memiliki
cuaca yang selalu berubah-ubah. Dari pandangan geologi regionalnya, letak Indonesia
yang berada di pertemuan lempeng tektonik yaitu lempeng Asia, lempeng Australia,
lempeng Pasifik, dimana lempeng tersebut saling bertumbukan dan tak jarang bisa
menyebabkan beberapa fenomena alam seperti gempa bumi, gerakan tanah, tsunami,
dll. Posisi Indonesia yang secara geografis dan secara geologis tersebut
mengakibatkan Indonesia sangat berpotensi sekaligus rentan terhadap bencana alam.
Hampir semua provinsi di Indonesia pernah terjadi bencana alam. Salah satunya
adalah Provinsi Jawa Tengah. Karakteristik geologi maupun setting tektonik di
Provinsi Jawa Tengah mempunyai bentuk bervariasi yang terjadi karena tumbukan
lempeng sehingga terdapat beberapa gunung berapi di atasnya. Dampak dari
tumbukan lempeng tektonik adalah terjadinya pengangkatan dan pelipatan lapisan
geologi pembentuk pulau sehingga membentuk geomorfologi yang bervariasi seperti
dataran landai, perbukitan dan dataran tinggi. Kondisi geologi yang demikian menjadi
salah satu faktor pengontrol dari Provinsi Jawa Tengah berpotensi atas ancaman
bencana alam yang tinggi.
BAB II
1. Kedalaman maksimum material yang longsor ada 4 macam (Broms, 1975) yaitu:
longsor permukaan, longsor dangkal, longsor dalam dan longsor sangat dalam.
2. .Berkaitan dengan aktivitasnya (Gray and Leiser, 1982) yakni: aktif (luka dan
atau pecah / retak) dan istirahat / dorman (sangat lambat / sangat lama /
tersembunyi: hasil modiikasi proses pelapukan isik, erosi dan pertumbuhan
vegetasi).
3. Tipe gerakan
Ada 10-19 macam (U.S. Geological Survey, 2004; AGS, 2007) yakni: longsor
translasional (translational landslide / soil slide), longsor rotasional (rotational
landslide / soil slump), pergerakan blok (block slide / soil slide), runtuhan batu
(rockfall), rayapan tanah (Creep), robohan / runtuhan bahan atasan (topples),
aliran tanah (earthlow), aliran runtuhan (debris low), bahan rombakan (debris
avalanche), ambles / penurunan tanah (subsidence), longsoran kompleks /
komposit (complex slide) dan sebaran (lateral spread).
Gambar 1.1 Bentuk - Bentuk Longsor (Varnes & Cruden, 1996; USGS, 2004; BGS, 2013)
Pendekatan rekayasa
a. Penilaian pada struktur ruang dan pola ruang pada kawasan rawan bencana
longsor sesuai dengan tipologi serta tingkat kerawanan fisik alami dan tingkat
risiko.
b. Menjaga kesesuaian antara kegiatan pelaksanaan pemanfaatan ruang dengan
fungsi kawasan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayahnya.
Gambar 1.2 Ilustrasi pendekatan dalam penataan ruang kawasan rawan bencana longsor
Penetapan kawasan rawan bencana longsor dan zona berpotensi longsor
didasarkan pada hasil pengkajian terhadap daerah yang diindikasikan berpotensi
longsor atau lokasi yang diperkirakan akan terjadi longsor akibat proses alami.
Sedangkan pada tahap berikutnya dalam menetapkan tingkat kerawanan dan tingkat
risikonya di samping kajian fisik alami yang lebih detail, juga dilakukan kajian
berdasarkan aspek aktifitas manusianya.
a. Zona Tipe A
Zona berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng pegunungan,
lereng bukit, lereng perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng
lebih dari 40%, dengan ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaan laut.
b. Zona Tipe B
Zona berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki pegunungan, kaki
bukit, kaki perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng berkisar
antara 21% sampai dengan 40%, dengan ketinggian 500 meter sampai
dengan 2000 meter di atas permukaan laut.
c. Zona Tipe C
Zona berpotensi longsor pada daerah dataran tinggi, dataran rendah, dataran,
tebing sungai, atau lembah sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara
0% sampai dengan 20%, dengan ketinggian 0 sampai dengan 500 meter di
atas permukaan laut.
Penyelidikan geologi teknik, analisis kestabilan lereng, dan daya dukung tanah
Sistem perkuatan lereng untuk menambah gaya penahan gerakan tanah pada
lereng
- Tembok/Dinding Penahan
- Angkor
- Paku Batuan (Rock Bolt)
- Tiang Pancang
- Jaring Kawat Penahan Jatuhan Batuan
- Shotcrete
- Bronjong.
Meminimalkan pembebanan pada lereng
Penetapan batas beban yang dapat diterapkan dengan aman pada lereng
perlu dilakukan dengan menyelidiki struktur tanah/batuan pada lereng, sifat-
sifat keteknikan, serta melakukan analisis kestabilan lereng dan daya dukung.
Pembebanan pada lereng yang lebih curam dari 40% dapat meningkatkan gaya
penggerak pada lereng, meskipun pembebanan juga dapat berperan
menambah gaya penahan gerakan pada lereng yang lebih landai dari 40%.
Perlu dihindari bangunan konstruksi dengan beban > 2 ton/30cm2, kecuali
dilengkapi dengan teknologi perkuatan lereng dan pengendalian sistem
drainase lereng.
Jenis tanaman yang disarankan oleh Bank Dunia pada kawasan lindung
atau kawasan rawan bencana longsor yaitu akasia, pinus, mahoni, johar, jati,
kemiri, dan damar. Khusus untuk daerah berlereng curam di lembah dapat
ditanami bambu (Sitorus, S.R.P., 2006). Sementara polan penanaman yang
dapat dikembangkan pada daerah lereng pegunungan dan tebing yaitu tanaman
berakar dalam, bertajuk ringan, cabang mudah tumbuh dan mudah dipangkas
(misalnya lamtoro, pete, sonokeling, dan kaliandra), untuk di kaki lereng atau
di kaki bukit (mahoni), dan untuk daerah lembah dengan tanaman bambu
(Sujoko dalam Karnawati, 2006). Untuk dapat menguatkan tanah pada lereng
diantaranya adalah pohon kemiri, laban, dlingsem, mindi, johar, bungur,
banyan, mahoni, renghas, jati, kosambi, sonokeling, trengguli, tayuman, asam
jawa dan pilang (Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, 2001).
Penanaman pada lereng juga harus memperhatikan jarak dan pola tanam
yang tepat. Penanaman tanaman budidaya yang berjarak terlalu rapat dan lebat
pada lereng dengan kemiringan lebih dari 40%, dapat menambah pembebanan
pada lereng sehingga menambah gaya penggerak tanah pada lereng.
Perlu diterapkan sistem terasering dan drainase yang tepat pada lereng
Mitigasi merupakan sebuah langkah yang diambil secara independen dari situasi
darurat. Coppola (Kusumasari, 2014) menjelaskan bahwa ada dua jenis mitigasi yaitu:
Lokasi gerakan tanah di desa ini berada pada Kampung Sawangan, RT 01/RW
06, Desa Sirongge, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Gerakan tanah terjadi pada Hari Sabtu Malam tanggal 10 Februari 2018, setelah
terjadi hujan deras dan lama. Hujan yang intensitasnya deras dan durasinya lama itu
memicu terjadinya gerakan tanah pada daerah tersebut yang berdampak pada : 1 jalan
desa penghubung Kampung Sawangan dan Bantengan putus, 1 rumah rusak ringan,
10 rumah terancam, kebun, ladang dan sawah seluas 29.550 M² rusak
Gambar 1. Peta Situasi Gerakan Tanah di Kp. Bedahan, Desa Pringamba, Kecamatan Pandanarum (S
umber : Badan Geologi)
Secara umum, faktor penyebab gerakan tanah pada lokasi tersebut adalah
secara litologi batuan yang berupa Serpih dan Napal Formasi Rambatan bersifat rapuh
dan lembek jika jenuh air. Kemudian secara morfologinya daerah didominasi lereng
bukit yang curam dengan sifat tanah pelapukan yang sarang dan mudah luruh jika
terkena air, ditambah dengan buruknya sistem drainase pada lereng dengan adanya
perubahan tata guna lahan dari tanaman berakar dalam menjadi kebun campuran di
sekitar lokasi bencana. Dan dipicu oleh curah hujan dengan intensitas tinggi dan lama
yang turun sebelum gerakan tanah terjadi semakin memicu terjadinya gerakan tanah.
Gambar 2. Mahkota Longsoran di Kp. Sawangan, Desa Sirongge, Kecamatan Pandanarum, Kab.
Banjarnegara (Sumber : Badan Geologi)
DAFTAR PUSTAKA
DOGAMI., 2012. Landslide hazard in Oregon. www.OregonGeology.com
Hardiyatmo HC. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
USGS. 2011. Volcano Landslides and their Effects. Volcano Hazard Program.
http://volcanoes. usgs.gov/hazard/landslide/index.php
BGS., 2011.Landslide assessment. Natural Environment Research Council. Geo
Reports. Mam Tor Derbyshire UK.
Broms. 1975. dalam Hardiyatmo (2006) Penanganan Tanah Longsor & Erosi.
Yogyakarta: GM Univ.Press.
Couture R., 2011. Landslide Terminology Nationanal Technical Guidelines and Best
Practices on Landslides. Geological Survey of Canada Open File 6824, 2p
Cruden, DM & Varnes, DJ. 1996. Landslide types and processes. In Special Report
247: Landslides: Investigation and Mitigation, Transportation Research
Board, Washington D.C.
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2007. Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor : 22 /PRT/M/2007. Indonesia
Gray and Leiser. 1982. Geologic hazards ang soils. California Department of
Forestry and Fire Protection Vegetation Treatment Program. Draf
Environmental Impact Report.
Kocher, Susan. D and John W. LeBlance. 2006. Why Is My Forest The Way It Is:
Soil Erosion. Univ.of California Cooperative Extention.
Kusumasari, Bevaola. (2014). Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah
Lokal. Yogyakarta: Gava Media.
Priyono, 2014, Hubungan Klasifikasi Longsor, Klasifikasi Tanah Rawan Longsor
Dan Klasifikasi Tanah Pertanian Rawan Longsor. GEMA, hal 1602-1617 Th.
XXVII/49/Agustus 2014 - Januari 2015
Ramli, Soehatman. (2011). Manajemen Bencana (Disaster Management). Jakarta: PT
Dian Rakyat.