Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH GEOLOGI TATA LINGKUNGAN

GERAKAN TANAH DAN MITIGASINYA

Disusun Oleh:
Echa Twi Asvitya 21100116120032
Agus Nur Shidik 21100117120018
Adelia Gading Wanazizah 21100117130057
Anggita Krisna 21100117120021
Gracia Megasari 21100117120002
Hezron Christian Marbun 21100117140047
Immanuel Pratama B. 21100117120019
Kartika Lutfia Ariwibowo 21100117130043
KMS Moh. Kemas Shendy 21100117140059
Ricky Anggara 21100117130063
Safira Salsabila 21100117140043
Yosian Berkat 21100117140051

DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
MARET 2020
DAFTAR ISI

BAB I LATAR BELAKANG

BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Longsor

2.2 Klasifikasi Longsor

2.3 Penyebab Longsoran

2.4 Perencanaan Tata Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor

2.5 Rekayasa Teknik Penanggulangan Longsor di Kawasan


Rawan Bencana Longsor

2.6 Mitigasi Gerakan Tanah

2.7 Studi Kasus

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

LATAR BELAKANG

Secara umum, letak geografis Indonesia berada pada pertemuan antara dua
samudera dan dua benua. Pertemuan antara benua dan samudera ini menyebabkan
Indonesia memiliki kondisi iklim tropis dengan 2 musim yaitu musim hujan dan
musim kemarau, yang secara langsung juga menyebabkan daerah Indonesia memiliki
cuaca yang selalu berubah-ubah. Dari pandangan geologi regionalnya, letak Indonesia
yang berada di pertemuan lempeng tektonik yaitu lempeng Asia, lempeng Australia,
lempeng Pasifik, dimana lempeng tersebut saling bertumbukan dan tak jarang bisa
menyebabkan beberapa fenomena alam seperti gempa bumi, gerakan tanah, tsunami,
dll. Posisi Indonesia yang secara geografis dan secara geologis tersebut
mengakibatkan Indonesia sangat berpotensi sekaligus rentan terhadap bencana alam.
Hampir semua provinsi di Indonesia pernah terjadi bencana alam. Salah satunya
adalah Provinsi Jawa Tengah. Karakteristik geologi maupun setting tektonik di
Provinsi Jawa Tengah mempunyai bentuk bervariasi yang terjadi karena tumbukan
lempeng sehingga terdapat beberapa gunung berapi di atasnya. Dampak dari
tumbukan lempeng tektonik adalah terjadinya pengangkatan dan pelipatan lapisan
geologi pembentuk pulau sehingga membentuk geomorfologi yang bervariasi seperti
dataran landai, perbukitan dan dataran tinggi. Kondisi geologi yang demikian menjadi
salah satu faktor pengontrol dari Provinsi Jawa Tengah berpotensi atas ancaman
bencana alam yang tinggi.
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Longsor

Longsor merupakan perpindahan massa tanah ke daerah yang lebih rendah,


sehingga dapat menyebabkan terbentuknya suatu lapisan baru akibat dari timbunan
hasil longsoran dengan karakteristik sifat isik tanah yang berbeda dari sebelumnya.
Kocher and John (2006) menyatakan pada tanah terjadi kombinasi dua faktor yaitu
kehilangan tanah dan ada kekuatan isik yang dapat mengangkut tanah ke lokasi baru.
Partikel tanah akan hancur akibat dari pukulan air hujan bila penutupan lahan
berkurang lalu diangkut suatu kekuatan isik ke lokasi Longsoran merupakan salah
satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya menuruni
atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng
tersebut (Couture, 2011; Geoscience Australia, 2011). Sehingga longsoran dapat
dikatakan sebagai gerakan massa tanah pembentuk lereng (Bappenas, 2013).

Longsoran adalah gerakan massa tanah/batuan yang mempunyai kecepatan


bervariasi dari cepat sampai lambat. Yang termasuk longsoran berkecepatan tinggi
adalah jatuhan (fall), longsoran (landslide) dan robohan (topples), sedangkan
longsoran yang berkecepatan lambat adalah creep (rayapan). Longsoran (landslides)
dengan bentuk endapan (deposits) dan bedrock oleh BGS (2011) dinyatakan dapat
menyebabkan pengurangan perembesan air (terjadi penyumbatan) dan cenderung
merusak bentuk tanah. Endapan deposits dapat berupa: alluvium, head deposits;
sedangkan bedrock dapat berupa: mam tor beds, shale grit, millstone grit group, bee
low limestone formation dan bee low formation, bowland shale formation, faults, dan
mineral veins.

Selanjutnya DOGAMI (2012) menyatakan, bahwa bahaya longsoran umumnya


di cekungan, dipengaruhi oleh kejatuhan air hujan, kecepatan mencairnya hujan salju,
pembekuan atau pencairan es, gempa bumi, aliran letusan gunung berapi, manusia.
Khusus aliran longsoran gunung berapi dapat menimbulkan penyebarluasan bahan
gunung berapi kesegala arah, aliran lahar, ombak / gelombang dan tsunami lautan,
penimbunan batu di pedesaan, anak sungai menjadi danau, pembentukan kawah atau
lubang yang curam (USGS, 2011).
2.2 Klasifikasi Longsor

Mengacu pada literatur yang didapat, maka pengklasifikasian longsor


intisarinya berdasarkan:

1. Kedalaman maksimum material yang longsor ada 4 macam (Broms, 1975) yaitu:
longsor permukaan, longsor dangkal, longsor dalam dan longsor sangat dalam.

Tabel 1.1 Klasifikasi Longsoran menurut Broms (1975)


No. Tipe Kedalaman (m)
1. Longsoran Permukaan (surface slide) <1,5
2. Longsoran dangkal (shallow slides) 1,5 – 5,0
3. Longsoran dalam (deep slides) 5,0 – 20
4. Longsoran sangat dalam (very deep slides) >20

2. .Berkaitan dengan aktivitasnya (Gray and Leiser, 1982) yakni: aktif (luka dan
atau pecah / retak) dan istirahat / dorman (sangat lambat / sangat lama /
tersembunyi: hasil modiikasi proses pelapukan isik, erosi dan pertumbuhan
vegetasi).

3. Tipe gerakan
Ada 10-19 macam (U.S. Geological Survey, 2004; AGS, 2007) yakni: longsor
translasional (translational landslide / soil slide), longsor rotasional (rotational
landslide / soil slump), pergerakan blok (block slide / soil slide), runtuhan batu
(rockfall), rayapan tanah (Creep), robohan / runtuhan bahan atasan (topples),
aliran tanah (earthlow), aliran runtuhan (debris low), bahan rombakan (debris
avalanche), ambles / penurunan tanah (subsidence), longsoran kompleks /
komposit (complex slide) dan sebaran (lateral spread).
Gambar 1.1 Bentuk - Bentuk Longsor (Varnes & Cruden, 1996; USGS, 2004; BGS, 2013)

4. Karakteristik (jenis) gerakan massa tanah pembentuk lereng longsor


Ada 8 macam (Hardiyatmo, 2006), yakni: jatuhan / runtuhan (fall), aliran
(low), longsoran (slide), robohan (topples), sebaran (spread), lorotan /
luncuran / nendatan (slump), rayapan (creep) dan ambles / penurunan tanah
(subsidence), lebih lanjut berkait perihal gerakan tanah berupa longsoran
(landslides) berbentuk endapan (deposits) dan bedrock oleh BGS (2011)
dinyatakan dapat menyebabkan pengurangan perembesan air (terjadi
penyumbatan) dan cenderung merusak bentuk tanah..

2.3 Penyebab Longsoran

Hardiyatmo (2006) menyatakan faktor penyebab terjadinya longsor antara lain:


1)topografi, 2).iklim, 3).perubahan cuaca, 4).kondisi geologi dan hidrologi, 5).
perbuatan ulah mausia, diantara faktor tersebut dapat bekerja sama atau hanya
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas lereng yang berakibat
menjadikan peristiwa tanah longsor. Berikut ini secara jelas terjadinya tanah longsor
oleh faktor:
a. Aktivitas yang disebabkan manusia
1. terjadinya penambahan beban pada lereng akibat pendirian banyaknya
bangunan, drainase jelek (tambahan beban oleh air yang masuk ke pori-pori
tanah maupun yang menggenangi permukaan tanah akibat banyak saluran
tersumbat).
2. Penggalian atau pemotongan tanah pada kaki lereng
3. penggalian tanah yang dapat mempertajam kemiringan lereng.
4. perubahan posisi muka air secara cepat (rapid drawdown) pada bendungan,
sungai, sarana / prasarana drainase yang belum baik dan lain-lain.
5. Penggunaan tanah tidak sesuai kemampuannya (pembukaan hutan /
perladangan, pengalihan status tanah pertanian menjadi tanah non pertanian
yang tidak terkendali)
6. Bahkan menurut Rathna (2008) dipicu adanya kelembagaan pemerintah dan
masyarakat yang belum stabil.
b. Peristiwa Alam
1. Penambahan beban dinamis oleh tumbuh-tumbuhan yang tertiup angin dan
lain-lain
2. Kenaikan tekanan lateral oleh air / hujan lebat (air yang mengisi retakan akan
mendorong tanah ke arah lateral)
3. penurunan tahanan geser tanah pembentuk lereng akibat kenaikan kadar air,
kenaikan tekanan air pori, tekanan rembesan oleh genangan air di dalam
tanah, tanah pada lereng mengandung lempung monmorilonit serta sebagian
warna putih
4. adanya getaran / gempa bumi
5. bahkan dipicu adanya efek pemanasan global.

2.4 Perencanaan Tata Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor

Dalam penataan ruang kawasan rawan bencana longsor digunakan dua


pendekatan yaitu pendekatan rekayasa dan pendekatan penataan ruang.

 Pendekatan rekayasa

Pendekatan rekayasa dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan pada aspekaspek


rekayasa geologi dan rekayasa teknik sipil.
a. Rekayasa geologi yaitu melalui kegiatan pengamatan yang berkaitan dengan
struktur, jenis batuan, geomorfologi, topografi, geohidrologi dan sejarah
hidrologi yang dilengkapi dengan kajian geologi (SNI 03-1962-1990) atau
kajian yang didasarkan pada kriteria fisik alami dan kriteria aktifitas manusia.
b. Rekayasa teknik sipil yaitu melalui kegiatan perhitungan kemantapan lereng
dengan hampiran mekanika tanah/batuan dan kemungkinan suatu lereng akan
bergerak di masa yang akan datang.

 Pendekatan penataan ruang

Pendekatan penataan ruang dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan pada


aspek-aspek penggunaan ruang yang didasarkan pada perlindungan terhadap
keseimbangan ekosistem dan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat, yang
dilakukan secara harmonis, yaitu:

a. Penilaian pada struktur ruang dan pola ruang pada kawasan rawan bencana
longsor sesuai dengan tipologi serta tingkat kerawanan fisik alami dan tingkat
risiko.
b. Menjaga kesesuaian antara kegiatan pelaksanaan pemanfaatan ruang dengan
fungsi kawasan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayahnya.

Gambar 1.2 Ilustrasi pendekatan dalam penataan ruang kawasan rawan bencana longsor
Penetapan kawasan rawan bencana longsor dan zona berpotensi longsor
didasarkan pada hasil pengkajian terhadap daerah yang diindikasikan berpotensi
longsor atau lokasi yang diperkirakan akan terjadi longsor akibat proses alami.
Sedangkan pada tahap berikutnya dalam menetapkan tingkat kerawanan dan tingkat
risikonya di samping kajian fisik alami yang lebih detail, juga dilakukan kajian
berdasarkan aspek aktifitas manusianya.

Pengkajian untuk menetapkan apakah suatu kawasan dinyatakan rawan terhadap


bencana longsor dilakukan sekurang-kurangnya dengan menerapkan 3 (tiga) disiplin
ilmu atau bidang studi yang berbeda. Geologi, teknik sipil, dan pertanian adalah
disiplin yang paling sesuai untuk kepentingan ini. Ahli geologi mengkaji struktur
tanah, jenis batuan, dan tata air tanah (makro), ahli teknik sipil mengkaji kelerengan
dan kemantapan tanah (mikro), sedangkan ahli pertanian mengkaji jenis tutupan lahan
atau vegetasi.

Kajian-kajian tersebut saling melengkapi dalam penetapan kawasan rawan


bencana longsor sesuai Tata Cara Perencanaan Penanggulangan Longsoran (SNI 03-
1962-1990), Tata Cara Pemetaan Geologi Teknik Lapangan (SNI 032849-1992), dan
Tata Cara Pembuatan Peta Kemiringan Lereng (SNI 03-39771995).

Kawasan rawan bencana longsor dibedakan atas zona-zona berdasarkan


karakter dan kondisi fisik alaminya sehingga pada setiap zona akan berbeda dalam
penentuan struktur ruang dan pola ruangnya serta jenis dan intensitas kegiatan yang
dibolehkan, dibolehkan dengan persyaratan, atau yang dilarangnya. Zona berpotensi
longsor adalah daerah/kawasan yang rawan terhadap bencana longsor dengan kondisi
terrain dan kondisi geologi yang sangat peka terhadap gangguan luar, baik yang
bersifat alami maupun aktifitas manusia sebagai faktor pemicu gerakan tanah,
sehingga berpotensi terjadinya longsor. Berdasarkan hidrogeomorfologinya dibedakan
menjadi tiga tipe zona (sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1.3) sebagai berikut:
Gambar 1.3 Tipologi zona berpotensi longsor berdasarkan hasil kajian hidrogeomorfologi

a. Zona Tipe A
Zona berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng pegunungan,
lereng bukit, lereng perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng
lebih dari 40%, dengan ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaan laut.
b. Zona Tipe B
Zona berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki pegunungan, kaki
bukit, kaki perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng berkisar
antara 21% sampai dengan 40%, dengan ketinggian 500 meter sampai
dengan 2000 meter di atas permukaan laut.
c. Zona Tipe C
Zona berpotensi longsor pada daerah dataran tinggi, dataran rendah, dataran,
tebing sungai, atau lembah sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara
0% sampai dengan 20%, dengan ketinggian 0 sampai dengan 500 meter di
atas permukaan laut.

2.5 Rekayasa Teknik Penanggulangan Longsor di Kawasan Rawan Bencana


Longsor

Rekayasa Teknik memuat uraian terkait dengan langkah tindak untuk


mendukung pengendalian pemanfaatan ruang secara optimal, dengan memasukan
terapan teknologi yang sesuai untuk wilayah masing-masing. Bentuk rekayasa teknik
disampaikan dalam bentuk umum, dan pedoman spesifik dan detail dapat diperoleh
dari Pedoman maupun Petunjuk Teknis, secara khusus pada Keputusan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 378/KPTS/1987 Lampiran Nomor 1 tentang Petunjuk
Perencanaan Penanggulangan Longsoran. Sehubungan dengan arahan pemanfaatan
yang telah ditetapkan sebelumnya, secara umum rekayasa teknik yang disampaikan
meliputi beberapa aspek sebagai berikut:

 Penyelidikan geologi teknik, analisis kestabilan lereng, dan daya dukung tanah

Dengan pelaksanaan kegiatan ini, lebih lanjut zona-zona kritis


(berpotensi longsor) dalam kawasan tersebut serta daya dukung kawasan dapat
diketahui, sehingga upaya antisipasi risiko dalam pemanfaatan ruang pada
kawasan tersebut dapat dilakukan. Terkait dengan analisis kestabilan lereng
yang akan dimanfaatkan sebagai kawasan budi daya, perlu dimasukan faktor
keamanan, seperti yang disajikan pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Faktor keamanan minimum kemantapan lereng

 Sistem drainase yang tepat pada lereng

Tujuan dari pengaturan sistem drainase adalah untuk menghindari air


hujan banyak meresap masuk dan terkumpul pada lereng yang rawan longsor.
Dengan demikian perlu dibuat drainase permukaan yang mengalirkan air
limpasan hujan menjauh dari lereng rawan bencana longsor, dan drainase
bawah permukaan yang berfungsi untuk menguras atau mengalirkan air hujan
yang meresap masuk ke lereng.

 Sistem perkuatan lereng untuk menambah gaya penahan gerakan tanah pada
lereng

Perkuatan kestabilan lereng dapat dilakukan, dengan menggunakan salah


satu atau kombinasi dari beberapa konstruksi berikut ini:

- Tembok/Dinding Penahan
- Angkor
- Paku Batuan (Rock Bolt)
- Tiang Pancang
- Jaring Kawat Penahan Jatuhan Batuan
- Shotcrete
- Bronjong.
 Meminimalkan pembebanan pada lereng

Penetapan batas beban yang dapat diterapkan dengan aman pada lereng
perlu dilakukan dengan menyelidiki struktur tanah/batuan pada lereng, sifat-
sifat keteknikan, serta melakukan analisis kestabilan lereng dan daya dukung.
Pembebanan pada lereng yang lebih curam dari 40% dapat meningkatkan gaya
penggerak pada lereng, meskipun pembebanan juga dapat berperan
menambah gaya penahan gerakan pada lereng yang lebih landai dari 40%.
Perlu dihindari bangunan konstruksi dengan beban > 2 ton/30cm2, kecuali
dilengkapi dengan teknologi perkuatan lereng dan pengendalian sistem
drainase lereng.

 Memperkecil kemiringan lereng

Upaya memperkecil kemiringan lereng dilakukan untuk meminimalkan


pengaruh gaya-gaya penggerak dan sekaligus meningkatkan pengaruh gaya
penahan gerakan pada lereng.

 Mengupas material gembur (yang tidak stabil) pada lereng


Pengupasan material dapat memperkecil beban pada lereng, yang berarti
meminimalkan besarnya gaya penggerak pada lereng, dan efektif diterapkan
pada lereng yang lebih curam dari 40%.

 Mengosongkan lereng dari kegiatan manusia

Apabila gejala awal terjadinya gerakan tanah/longsoran telah muncul,


terutama pada saat hujan lebat atau hujan tidak lebat tetapi berlangsung terus
menerus mulai pagi hingga siang dan sore/malam, segera kosongkan lereng
dari kegiatan manusia. Meskipun hujan telah reda, selama satu atau dua hari,
jangan kembali terlebih dahulu ke lereng yang sudah mulai menunjukkan
gejala akan longsor.

 Penanaman vegetasi dengan jenis dan pola tanam yang tepat

Kawasan dengan tingkat kerawanan tinggi dan mengalami


penggundulan hutan, dapat diupayakan untuk ditanami kembali, dengan jenis
tanaman budidaya yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Disarankan untuk
tidak dipilih jenis tanaman yang tidak terlalu berat dan berakar tunggang.

Jenis tanaman yang disarankan oleh Bank Dunia pada kawasan lindung
atau kawasan rawan bencana longsor yaitu akasia, pinus, mahoni, johar, jati,
kemiri, dan damar. Khusus untuk daerah berlereng curam di lembah dapat
ditanami bambu (Sitorus, S.R.P., 2006). Sementara polan penanaman yang
dapat dikembangkan pada daerah lereng pegunungan dan tebing yaitu tanaman
berakar dalam, bertajuk ringan, cabang mudah tumbuh dan mudah dipangkas
(misalnya lamtoro, pete, sonokeling, dan kaliandra), untuk di kaki lereng atau
di kaki bukit (mahoni), dan untuk daerah lembah dengan tanaman bambu
(Sujoko dalam Karnawati, 2006). Untuk dapat menguatkan tanah pada lereng
diantaranya adalah pohon kemiri, laban, dlingsem, mindi, johar, bungur,
banyan, mahoni, renghas, jati, kosambi, sonokeling, trengguli, tayuman, asam
jawa dan pilang (Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, 2001).

Penanaman pada lereng juga harus memperhatikan jarak dan pola tanam
yang tepat. Penanaman tanaman budidaya yang berjarak terlalu rapat dan lebat
pada lereng dengan kemiringan lebih dari 40%, dapat menambah pembebanan
pada lereng sehingga menambah gaya penggerak tanah pada lereng.
 Perlu diterapkan sistem terasering dan drainase yang tepat pada lereng

Pengaturan sistem terasering bertujuan untuk melandaikan lereng,


sedangkan sistem drainase berfungsi untuk mengontrol air agar tidak membuat
jenuh massar tanah pada lereng. Hal ini mengingat kondisi air yang berlebihan
pada lereng akan mengakibatkan peningkatan bobot massa pada lereng, atau
tekanan air pori yang dapat memicu terjadinya longsoran. Sistem drainase
dapat berupa drainase permukaan untuk mengalirkan air limpasan hujan
menjauhi lereng, dan drainase bawah permukaan untuk mengurangi kenaikan
tekanan air pori dalam tanah.

 Mengosongkan lereng dari kegiatan manusia

Apabila gejala awal terjadinya gerakan tanah/longsoran telah muncul,


terutama pada saat hujan lebat atau hujan tidak lebat tetapi berlangsung terus
menerus mulai pagi hingga siang dan sore/malam, segera kosongkan lereng
dari kegiatan manusia. Meskipun hujan telah reda, selama satu atau dua hari,
jangan kembali terlebih dahulu ke lereng yang sudah mulai menunjukkan
gejala akan longsor.

2.6 Mitigasi Gerakan Tanah

Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana menjelaskan bahwa bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 Bab IV Pasal 18 tentang Penanggulangan


Bencana, maka dibentuklah suatu badan pada tingkat kabupaten/kota yang memiliki
beberapa tugas, salah satu 3 tugasnya adalah memberikan pedoman dan pengarahan
penanggulangan bencana. Upaya yang dilakukan oleh BPBD dimulai dari tahap pra
bencana, tanggap darurat, dan yang terakhir tahap pemulihan atau tahap pasca
bencana. Tahap pra bencana sendiri terdiri atas tiga kegiatan, salah satunya adalah
mitigasi bencana. Mitigasi bencana merupakan upaya yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya bencana atau jika memungkinkan dengan meniadakan bahaya.
1. Pra Bencana Pra bencana merupakan tahapan bencana pada kondisi sebelum
kejadian meliputi: a. Pencegahan dan Mitigasi: merupakan tindakan yang
diambil sebelum bencana terjadi dengan tujuan untuk mengurangi atau
menghilangkan dampak bencana terhadap masyarakat dan lingkungan. b.
Kesiapsiagaan: merencanakan tindakan untuk merespon jika terjadi bencana.
Kesiapsiagaan berkaitan dengan kegiatan dan langkah-langkah yang diambil
sebelum terjadinya bencana untuk memastikan adanya respon yang efektif
terhadap dampak bahaya, termasuk dikeluarkannya peringatan dini secara tepat
waktu dan efektif.
2. Saat Bencana Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah
saat bencana berlangsung atau terjadi. Kegiatan yang dilakukan adalah tanggap
darurat atau respon.
3. Pasca Bencana Tahapan yang dilakukan setelah bencana terjadi dan setelah
proses tanggap darurat dilewati (Ramli, 2011), antara lain: a. Rehabilitasi,
merupakan kegiatan perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat. b. Rekonstruksi, yaitu pembangunan kembali semua
sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada
tingkat 5 pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum
dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek
kehidupan.

Mitigasi merupakan sebuah langkah yang diambil secara independen dari situasi
darurat. Coppola (Kusumasari, 2014) menjelaskan bahwa ada dua jenis mitigasi yaitu:

1. Mitigasi struktural, didefinisikan sebagai usaha pengurangan risiko yang


dilakukan melalui pembangunan atau perubahan lingkungan fisik melalui
penerapan solusi yang dirancang. Upaya ini mencakup ketahanan konstruksi,
langkahlangkah pengaturan, dan kode bangunan, relokasi, modifikasi struktur,
konstruksi tempat tinggal masyarakat, konstruksi pembatas atau sistem
pendeteksi, modifikasi fisik, sistem pemulihan, dan penanggulangan
infrastruktur untuk keselamatan hidup.
2. Mitigasi non struktural, meliputi pengurangan kemungkinan atau konsekuensi
risiko melalui modifikasi proses-proses perilaku manusia atau alam, tanpa
membutuhkan penggunaan struktur yang dirancang. Di dalam teknik ini
terdapat langkahlangkah regulasi, program pendidikan, dan kesadaran
masyarakat, modifikasi fisik non struktural, modifikasi perilaku, serta
pengendalian lingkungan.

2.7 Studi Kasus

Gerakan Tanah/Longsor daerah Kampung Sawangan, Desa Sirongge, Kecamatan


Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara (Sumber : Badan Geologi Indonesia)

Lokasi gerakan tanah di desa ini berada pada Kampung Sawangan, RT 01/RW
06, Desa Sirongge, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Gerakan tanah terjadi pada Hari Sabtu Malam tanggal 10 Februari 2018, setelah
terjadi hujan deras dan lama. Hujan yang intensitasnya deras dan durasinya lama itu
memicu terjadinya gerakan tanah pada daerah tersebut yang berdampak pada : 1 jalan
desa penghubung Kampung Sawangan dan Bantengan putus, 1 rumah rusak ringan,
10 rumah terancam, kebun, ladang dan sawah seluas 29.550 M² rusak

  Secara morfologi daerah bencana memilki ketinggian 850-1000 m dpl


merupakan morfologi perbukitan bergelombang dengan relief sedang hingga kasar
dengan puncak Bukit pada ketinggian 1308 m dpl, kemiringan lereng antara 20° –
35°. dan berdasarkan Peta Geologi Lembar Banjarnegara dan pekalongan, Jawa
(W.H. Condon, dkk, P3G, 1996) batuan penyusun daerah merupakan Formasi
Rambatan (Tmr) yang terdiri dari serpih, napal dan batupasir gampingan. Formasi
Rambatan ini diterobos oleh intrusi diorite. Berdasarkan hasil pemeriksaan di lokasi,
daerah bencana tersusun atas tanah pelapukan cukup tebal berupa lempung pasiran,
coklat tua, plastisitas sedang, permeabilitas tinggi, gembur dan mudah menyerap air.
Di bawah tanah pelapukan terdapat serpih dan batu lempung. Tataguna lahan pada
lokasi tersebut berupa kebun campuran, pemukiman dan sawah berada di bagian
tengah dan bawah daerah longsoran serta jalan desa pada lereng bagian tengah daerah
longsoran. Rembesan air muncul pada tekuk lereng dan alur sungai yang bersumber
dari perbukitan di sebelah timur laut dari lokasi gerakan tanah. Alur sungai Bantengan
berada dibagian bawah lereng dengan debit yang cukup besar.
Berdasarkan Peta Prakiraan Potensi Terjadi Gerakan Tanah pada Bulan Februari
2018 di Kabupaten Banjarnegara (Badan Geologi), daerah bencana terletak pada zona
potensi terjadi gerakan tanah tinggi, artinya daerah ini mempunyai potensi tinggi
untuk terjadi gerakan tanah. Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan
di atas normal, sedangkan gerakan tanah lama maupun baru dapat aktif kembali. Jenis
gerakan tanah yang terjadi di lokasi ini berupa longsoran dengan arah longsoran
relatif ke arah baratdaya, karena kandungan airnya melimpah berubah menjadi aliran
bahan rombakan. Mahkota longsor memiliki lebar 95 meter, tinggi 10 meter dan
panjang landaan ±440 meter. Pada bagian tepi tubuh longsoran  masih banyak
terdapat retakan dengan lebar 5-10 cm. Material longsoran mencapai Sungai
Bantengan sehinga patut untuk diwaspadai penyumbatan material longsoran tersebut
agar tidak terjadi banjir bandang.

Gambar 1. Peta Situasi Gerakan Tanah di Kp. Bedahan, Desa Pringamba, Kecamatan Pandanarum (S
umber : Badan Geologi)

  Secara umum, faktor penyebab gerakan tanah pada lokasi tersebut adalah
secara litologi batuan yang berupa Serpih dan Napal Formasi Rambatan bersifat rapuh
dan lembek jika jenuh air. Kemudian secara morfologinya daerah didominasi lereng
bukit yang curam dengan sifat tanah pelapukan yang sarang dan mudah luruh jika
terkena air, ditambah dengan buruknya sistem drainase pada lereng dengan adanya
perubahan tata guna lahan dari tanaman berakar dalam menjadi kebun campuran  di
sekitar lokasi bencana. Dan dipicu oleh curah hujan dengan intensitas tinggi dan lama
yang turun sebelum gerakan tanah terjadi semakin memicu terjadinya gerakan tanah.

Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan, maka direkomendasikan sebagai


berikut: Rumah milik beberapa warga sebaiknya dilakukan relokasi mandiri atau
melandaikan timbunan material longsoran yang ada disamping atau didepan rumah.
Hal ini dilakukan agar jika terjadi pergerakan tidak kearah rumah warga atau
mengurangi gaya dorong dari material longsoran Jika retakan dan amblesan pada area
11 rumah tersebut berkembang intensif, sebaiknya 11 rumah tersebut direlokasi.
Genangan dan aliran air di area longsoran tersebut sebaiknya dialirkan agar tidak
terjadi genangan di area longsoran. Masyarakat agar mewaspadai alur air jika tiba-tiba
berhenti atau tidak mengalir karena akan menimbulkan dorongan yang besar pada
area longsoran. Sungai Bantengan masih mengalir walaupun terjadi penyempitan
akibat material longsor, namun perlu diantisipasi jika Sungai Bantengan terjadi
pembendungan agar segera dibuka untuk menghindari terjadinya banjir bandang. Tipe
gerakan tanah yang masih mungkin terjadi adalah gerakan tanah lambat sehingga ada
tanda-tanda sebelum terjadi longsoran. Masyarakat sekitar diharapkan waspada
terutama saat dan setelah turun hujan karena masih berpotensi terjadi longsor susulan;

Penataan dan pengendalian air permukaan dengan membuat permanen irigasi


diatas lereng dan pembuatan saluran drainase di sepanjang jalan desa; Perlu kontrol di
lereng bagian atas maupun bawah, pada saat musim hujan jika retakan semakin
bertambah lebar atau ada tanda tanda retakan tanah, segera diisi dengan tanah liat dan
dipadatkan, jika masih terjadi retakan semakin lebar segera laporkan ke pihak
berwenang;

Gambar 2. Mahkota Longsoran di Kp. Sawangan, Desa Sirongge, Kecamatan Pandanarum, Kab.
Banjarnegara (Sumber : Badan Geologi)
DAFTAR PUSTAKA
DOGAMI., 2012. Landslide hazard in Oregon. www.OregonGeology.com
Hardiyatmo HC. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
USGS. 2011. Volcano Landslides and their Effects. Volcano Hazard Program.
http://volcanoes. usgs.gov/hazard/landslide/index.php
BGS., 2011.Landslide assessment. Natural Environment Research Council. Geo
Reports. Mam Tor Derbyshire UK.
Broms. 1975. dalam Hardiyatmo (2006) Penanganan Tanah Longsor & Erosi.
Yogyakarta: GM Univ.Press.
Couture R., 2011. Landslide Terminology Nationanal Technical Guidelines and Best
Practices on Landslides. Geological Survey of Canada Open File 6824, 2p
Cruden, DM & Varnes, DJ. 1996. Landslide types and processes. In Special Report
247: Landslides: Investigation and Mitigation, Transportation Research
Board, Washington D.C.
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2007. Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor : 22 /PRT/M/2007. Indonesia
Gray and Leiser. 1982. Geologic hazards ang soils. California Department of
Forestry and Fire Protection Vegetation Treatment Program. Draf
Environmental Impact Report.
Kocher, Susan. D and John W. LeBlance. 2006. Why Is My Forest The Way It Is:
Soil Erosion. Univ.of California Cooperative Extention.
Kusumasari, Bevaola. (2014). Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah
Lokal. Yogyakarta: Gava Media.
Priyono, 2014, Hubungan Klasifikasi Longsor, Klasifikasi Tanah Rawan Longsor
Dan Klasifikasi Tanah Pertanian Rawan Longsor. GEMA, hal 1602-1617 Th.
XXVII/49/Agustus 2014 - Januari 2015
Ramli, Soehatman. (2011). Manajemen Bencana (Disaster Management). Jakarta: PT
Dian Rakyat.

Anda mungkin juga menyukai