Anda di halaman 1dari 8

Perilaku Disfungsional dalam Pengukuran Kinerja

Perusahaan

Patdono Suwignjo1
1
Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

E-mail: psuwignjo@yahoo.com

ABSTRAK
Sistem pengukuran kinerja adalah komponen penting dari sistem manajemen. Sayangnya, tingkat keberhasilan
implementasi sistem pengukuran kinerja relatif rendah. Bahkan dari pelaksanaan yang dikategorikan sebagai sukses,
hanya sedikit dari mereka yang efektif. Perilaku disfungsional adalah salah satu faktor yang membuat implementasi
dari sistem pengukuran kinerja tidak efektif. Makalah ini akan menguraikan perilaku disfungsional karyawan dalam
implementasi sistem pengukuran kinerja. Tiga contoh kasus perilaku disfungsional disajikan. Akhirnya, makalah ini
mencoba mengusulkan beberapa metode untuk mengurangi perilaku disfungsional. Tiga kasus menunjukkan bahwa
penyelarasan sistem insentif untuk kinerja (kinerja skema pembayaran terkait) dan takut tidak dapat memenuhi target
kinerja telah mendorong karyawan untuk berperilaku disfungsional. Kasus-kasus juga menunjukkan bahwa game
dan biasing adalah dua bentuk perilaku disfungsional yang dilakukan oleh karyawan. Untuk mengurangi perilaku
disfungsional diusulkan tiga metode, yaitu: mengurangi proporsi insentif diikat dengan kinerja, menerapkan KPI sesuai,
dan menggunakan tindakan pencegahan.

Kata kunci: perilaku disfungsional, bayar terkait, kinerja, pengukuran, sistem

ABSTRACT
Performance measurement system is a critical component of a management system. Unfortunately, the success rate of
performance measurement system implementation is relatively low. Even from the implementation categorized as success,
only few of them are effective. Dysfunctional behavior is one of the factors that makes the implementation of a performance
measurement system is ineffective. This paper will elaborate the dysfunctional behavior of employees in performance
measurement system implementation. Three examples of dysfunctional behavior cases are presented. Finally, the paper
tries to propose some methods for reducing dysfunctional behavior. The three cases show that the alignment of incentive
system to performance (performance related pay scheme) and the fear of unable to meet performance target have driven
employees to behave dysfunctionally. The cases also show that gaming and biasing are two forms of dysfunctional behaviour
practiced by employees. To reduce dysfunctional behavior the paper proposes three methods, namely: reducing the proportion
of incentives tied up to performance, implementing the appropriate KPIs, and utilizing counter measures.

Key words: dysfunctional behavior, related pay, performance, measurement, system

PENDAHULUAN secara akurat dan kegiatan monitoring, evaluasi,


Sudah menjadi suatu pemahaman yang umum dan pengendalian tidak bisa dilakukan secara
bahwa pengukuran kinerja adalah elemen yang efektif. Pada tataran taktis (implementasi sistem
sangat penting dalam praktek sistem manajemen pengukuran kinerja), Hrebiniak dan Joyce (1984)
modern, baik pada tataran yang strategis maupun menyatakan bahwa karyawan adalah calculative
yang taktis. Pada tataran yang strategis Kaplan receptor sehingga tanpa mengukur kinerja usaha-
dan Norton (1996) menyatakan bahwa perusahaan usaha yang dilakukan karyawan tidak akan fokus
menggunakan Balanced Scorecard sebagai strategic pada pencapaian sasaran perusahaan dan pada
management system untuk mengelola implementasi akhirnya nanti sasaran perusahaan sulit untuk
strategi dan untuk menilai apakah strategi yang dicapai.
sedang digunakan perlu diganti dengan strategi Peneliti lain yang sepaham dengan Hrebiniak dan
yang baru. Lah and Perry (2008) menyatakan, Joyce menyatakan hal yang senada, misalkan: "You
"measurement systems create the basis for effective get what you measure" (Dixon et al, 1990), "What gets
management.'' Tanpa peng ukuran kinerja, measured gets attention, particularly when rewards
perencanaan (penetapan target) tidak bisa dibuat are tied to the measures" (Eccles, 1991), dan "If you

128
cannot measure it, you cannot manage it" (Kaplan Dalam penelitian ini pertanyaan penelitian
and Norton, 1996). Akhirnya, secara agak berlebihan yang ingin dijawab adalah:"perilaku apa yang
Maskell (1991) menyatakan: "The measurement akan ditunjukkan oleh karyawan atau manajer
system—for good or ill—triggers virtually everything pada situasi di mana pemberian insentif sangat
that happens in an organization, both strategic and dikaitkan dengan kinerja?" Ada tiga studi kasus yang
tactical. This is because all the other organizational diamati dan semuanya berupa unit bisnis. Peneliti
systems are ultimately based on what the measurement bertindak sebagai observer. Data yang dikumpulkan
system is telling the other systems to do". adalah perilaku dari karyawan dan manajer
Meskipun para peneliti dan praktisi secara dalam menghadapi situasi di mana pemberian
umum setuju pentingnya pengukuran kinerja bagi insentif sangat dikaitkan dengan kinerja. Perilaku
perusahaan, tetapi pada kenyataannya keberhasilan yang ditunjukkan oleh karyawan dan manajer
implementasi sistem pengukuran kinerja tidak kemudian diklasifikasikan sebagai tindakan yang
menggembirakan. Pada tahapan perancangan dan disfungsional atau fungsional. Jika tindakan yang
implementasi, Neely and Bourne (1998) mendapatkan ditunjukan merugikan perusahaan, maka tindakan
bahwa 4 dari 7 implementasi sistem pengukuran tersebut diklasisifikasikan sebagai tindakan yang
kinerja gagal (tidak dilanjutkan) setelah 9 bulan. disfungsional.
Kegagalan tersebut disebabkan oleh: (i) kurangnya
komitmen top manajemen, (ii) problem dengan HASIL DAN PEMBAHASAN
teknologi informasi dan (iii) program kalah prioritas Perakitan Chasis Truk FM 115 L
dengan program lain. Dari implementasi yang
Penelitian dilakukan di perusahaan perakitan
berhasil pun ternyata hanya sedikit yang efektif,
mobil di Taman – Sidoarjo. Salah satu produk yang
hanya 51% pimpinan perusahaan yang puas dengan
dihasilkan adalah chasis truk type FM 115 L. Produk
sistem pengukuran kinerja yang mereka terapkan
ini adalah produk sampingan sehingga produksinya
dan hanya 15% pimpinan perusahaan yang sangat
relatif sangat kecil dibanding produk utama yaitu
puas dengan sistem pengukuran kinerja yang mereka
jenis minibus Colt. Proses perakitan dilakukan
terapkan. Bahkan para akuntan yang sudah terbiasa
pada suatu lintasan perakitan yang tidak begitu
dengan pengukuran dan pelaporan pengukuran
luas. Setiap saat hanya bisa dilakukan perakitan 1
kinerja perusahaan hanya 35% yang menyatakan
(satu) chasis truk. Lintasan perakitan dioperasikan
bahwa sistem pengukuran kinerja perusahaan
oleh 8 (delapan) operator dengan pembagian tugas
adalah efektif atau sangat efektif (Neely et al., 2002).
yang cukup fleksibel. Proses perakitan terdiri dari
Perancangan sistem pengukuran kinerja telah
aktivitas-aktivitas: perakitan frame, pemasangan
mendapat banyak perhatian dari para ahli, tetapi
roda, pemasangan kabel, pemasangan steering,
tidak banyak penelitian yang membahas mengenai
pemasangan lampu, pemasangan mesin, pengetesan,
perilaku disfungsional (dysfunctional behavior)
dan terakhir adalah line off. Dalam dua hari rata-rata
dalam implementasi sistem pengukuran kinerja
dapat menghasilkan 3 (tiga) chasis FM 115 L. Chasis
perusahaan sehingga kami akan menyampaikan tiga
yang sudah selesai dirakit dikirim ke perusahaan
kasus terjadinya perilaku disfungsional dan langkah-
karoseri. Setiap chasis yang dihasilkan, karyawan
langkah untuk mengurangi terjadinya perilaku
akan mendapatkan insentif di luar gaji pokok
disfungsional.
bulanan yang mereka dapatkan. Penghitungan
jumlah insentif pada suatu periode akan dihitung
METODE
berdasarkan jumlah chasis yang telah menyelesaikan
Penelitian dilakukan dengan menggunakan tahapan line off dan dikirim ke perusahaan karoseri.
metode case study research (Yin, 2003). Pemilihan Besar kecilnya gaji yang diterima oleh karyawan
metode penelitian case study research didasarkan tergantung pada jumlah chasis yang dihasilkan,
atas pertimbangan: (i) fenomena tidak dapat diteliti karena gaji pokok yang mereka terima relatif tetap.
di luar tempat terjadinya, (ii) fenomena yang diteliti Observasi lebih lanjut di lintasan perakitan chasis
kompleks, dan (iii) penelitian untuk menjawab truk FM 115 L didapatkan adanya beberapa chasis
pertanyaan "bagaimana" atau "mengapa". Penelitian truk yang diparkir di halaman pabrik dan tidak
dilakukan dengan tahap-tahapan sebagai berikut: kunjung dikirim ke perusahaan karoseri. Penjelasan
(a) perumusan pertanyaan penelitian yang ingin yang didapatkan dari karyawan menyatakan bahwa
dijawab, (b) penentuan unit yang akan diteliti, chasis truk tersebut adalah chasis yang sebetulnya
(c) penentuan data yang akan dikumpulkan, sudah dikirim ke perusahaan karoseri, tetapi
(d) pengumpulan data, (e) analisis data, (f)pembuatan dikembalikan karena adanya problem kualitas,
kesimpulan. misalkan adanya problem alignment chasis, problem

Suwignjo: Perilaku Disfungsional dalam Pengukuran Kinerja Perusahaan 129


steering, atau wiring yang tidak benar. Waktu untuk memperhatikan peluang dan kemampuan yang
perbaikan dari problem yang terjadi bervariasi mulai ada pada tahun 2007 kemudian ditetapkan target-
dari setengah hari (problem wiring atau steering) target kinerja tahun 2007, dengan menggunakan
sampai 3 hari (problem alignment). Wawancara lebih acuan kinerja bottom line utama EBITDA dan Laba
lanjut untuk mengetahui kenapa produk yang cacat Sebelum Pajak. Persetujuan Komisaris terhadap
dan dikirim kembali oleh perusahaan karoseri tidak usulan RKAP Direksi dilakukan melalui proses
segera diperbaiki, didapatkan jawaban yang cukup yang lama karena Komisaris beranggapan target-
mengejutkan. Ternyata karyawan tidak segera target RKAP belum dilakukan berdasarkan "best
memperbaiki produk yang cacat karena untuk effort" (masih banyak potensi yang disembunyikan).
perbaikan produk yang cacat tidak diberikan insentif Akhirnya Komisaris menyetujui usulan RKAP tahun
sehingga mereka lebih memprioritaskan pekerjaan 2007 dengan pertumbuhan target EBITDA dan Laba
yang bisa memberikan tambahan pendapatan, Sebelum Pajak lebih dari 30% dibandingkan tahun
yaitu melakukan perakitan chasis baru, daripada lalu. Target-target tersebut ternyata dapat dicapai
memperbaiki chasis yang cacat. Sebagai akibatnya dengan baik pada akhir tahun 2007.
perusahaan sering mendapatkan komplain dari
perusahaan karoseri akibat tidak responsifnya Overhaul Kiln
perusahaan dalam menangani komplain. Kasus ini terjadi di perusahaan semen yang ada
di Sulawesi Selatan terkait dengan pelaksanaan
Pembuatan Rencana Kegiatan dan Anggaran pekerjaan overhaul tahunan kiln. Kiln adalah bagian
Perusahaan dari pabrik semen yang paling kritis karena disini
PT. SG adalah sebuah BUMN yang berkantor terjadi proses pembakaran batu kapur dan tanah liat
pusat di Gresik dan bergerak di bidang persemenan. menjadi klinker. Selanjutnya klinker akan diproses
Setiap awal tahun, Direksi harus mengajukan di finish mill menjadi semen. Kiln beroperasi secara
Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan kontinyu dan biasanya menjadi bottle neck dari pabrik
(RKAP) ke Komisaris untuk disyahkan. RKAP pada semen. Agar kiln tidak rusak saat diperasikan maka
prinsipnya berisi target-target kinerja yang akan setiap tahun dilakukan overhaul.
dicapai, aktivitas-aktivitas penting apa yang akan Pekerjaan utama overhaul kiln adalah
dilakukan dan berapa anggaran yang dibutuhkan. penggantian fired brick (batu tahan api) yang
Pencapaian target RKAP akan menentukan kinerja melindungi shell kiln dari kontak langsung dengan
perusahaan dan selanjutnya akan menentukan semburan api hasil pembakaran batu bara dengan
besarnya bonus atau tantiem dari karyawan dan temperatur mencapai 1450 derajat celsius. Setelah
manajemen. Pembuatan target-target RKAP pada dipakai satu tahun batu tahan api akan aus sehingga
tahun 2005 dan tahun 2006 dilakukan dengan harus diganti dengan yang baru. Penggantian batu
jalan melakukan eskalasi (5 sampai 15 persen) dari tahan api adalah proses yang besar dan kompleks.
pencapaian tahun sebelumnya. Dua indikator bottom Selama ini proses overhaul dilakukan selama 30–35
line utama yang dijadikan pegangan adalah EBITDA hari.
dan Laba Sebelum Pajak. Indikator-indikator yang Pada tahun 2007 pemegang saham meminta
lain, misalnya jumlah penjualan, jumlah produksi, dilakukan "lompatan kinerja" pada perusahaan
dan biaya produksi akan menyesuaikan dengan tersebut. Pemegang saham beranggapan bahwa
indikator bottom line utama. kinerja perusahaan selama ini belum optimal dan
Pada tahun 2006 terjadi perubahan komposisi masih banyak perbaikan yang bisa dilakukan, salah
manajemen (Direksi dan Komisaris). Manajamen satunya adalah "hari operasi" kiln yang masih rendah
yang baru menempuh pendekatan yang berbeda (300 hari dalam satu tahun). Untuk itu pemegang
dengan manajemen yang lama dalam hal penyusunan saham meminta dilakukan terobosan dalam
RKAP. RKAP tahun 2007 tidak disusun dengan cara pengoperasian dan pemeliharaan kiln sehingga hari
melakukan eskalasi dari pencapaian kinerja tahun operasi kiln bisa ditingkatkan minimal menjadi 320
2006, tetapi disusun berdasarkan peluang, potensi hari dalam satu tahun. Salah satu usaha yang harus
dan kemampuan yang dimiliki perusahaan pada dilakukan untuk meningkatkan hari operasi kiln
periode 2007. Penyusunan RKAP dimulai dengan adalah dengan memperpendek waktu overhaul kiln.
melakukan kajian makroekonomi dan persemenan Untuk itu target waktu overhaul kiln diperpendek
di tingkat global, regional maupun lokal. Kemudian dari 30–35 hari, menjadi 24 hari. Penetapan target
evaluasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan overhaul kiln 24 hari ternyata memicu karyawan
maksimal dari fasilitas produksi, distribusi, bagian pemeliharaan untuk dapat menyelesaikan
dan sumberdaya manusia yang ada. Dengan waktu overhaul secepat mungkin agar dapat mencapai

130 Jurnal Teknik Industri, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009: 128–135
target 24 hari yang sebenarnya tanpa diikuti dengan paling penting adalah adanya pemberian reward
perbaikan sistem/metode overhaul yang lebih baik. dan punishment yang dikaitkan dengan kinerja
Akibatnya, target waktu overhaul dapat dicapai secara berlebihan. Jika pemberian insentif terlalu
tetapi kiln mengalami "red spot" (ada pemasangan dikaitkan dengan pengukuran kinerja maka hal
fired brick yang tidak benar) sehingga kiln harus ini akan mempengaruhi respon mereka terhadap
diperbaiki lagi setelah beroperasi 4 (empat) hari. pengukuran kinerja. Ada kelompok pekerja yang
Perbaikan masih harus sering dilakukan setelah itu, merespon pengukuran kinerja dengan usaha-usaha
sehingga target hari operasi per tahun tidak dapat yang dapat memaksimumkan pencapaian tujuan
dicapai. perusahaan sekaligus memaksimumkan pencapaian
Penggunaan sistem pengukuran kinerja dapat tujuan individu atau tim, tetapi ada juga kelompok
dibedakan menjadi dua, yaitu sistem pengukuran pekerja yang memaksimumkan pencapaian tujuan
kinerja untuk tujuan pemberian informasi individu dengan mengorbankan pencapaian tujuan
(informational measurement) dan pengukuran perusahaan. Sebagai contoh, suatu perusahaan
kinerja untuk tujuan pemberian reward dan memberikan insentif bagian pengiriman berdasarkan
punishment (motivational measurement). Pada pencapaian target kinerja "on time delivery". Untuk
sistem pengukuran kinerja untuk tujuan pemberian mencapai target kinerja tersebut bagian pengiriman
informasi, pengukuran kinerja digunakan sebagai mencatat barang yang keluar dari perusahaan
alat untuk menunjukkan pada area mana kinerja sebagai "on time delivery" tanpa peduli apakah
perusahaan masih belum bagus sehingga perlu barang tersebut diterima konsumen tepat waktu
dilakukan perbaikan. Untuk tujuan ini baik manajer atau tidak. Akibatnya meskipun bagian pengiriman
dan karyawan dapat menerima dengan baik, sehingga mendapatkan kinerja "on time delivery" yang bagus
tidak menimbulkan perilaku yang disfungsional. dan mendapatkan reward yang tinggi, tetapi belum
Pada situasi seperti ini sistem pengukuran kinerja tentu kastemer menerima pesanannya tepat waktu.
adalah kekuatan yang paling hebat dalam organisasi Kedua, perilaku disfungsional terjadi karena
(Spitzer, 2007). Kondisi yang terjadi akan sangat adanya ketakutan karyawan untuk mendapatkan
berbeda jika sistem pengukuran kinerja digunakan punishment jika pengukuran kinerja diterapkan.
untuk pemberian reward dan punishment. Hal ini terjadi terutama jika banyak karyawan yang
Pada situasi di mana pengukuran kinerja merasa akan mendapatkan punishment, bukannya
digunakan sebagai dasar pemberikan reward dan mendapatkan reward jika pengukuran kinerja
punishment, maka pada prinsipnya perusahaan dilakukan. Jika punishment yang akan diterima
mengatakan pada karyawannya secara implisit terasa sangat berat, misalkan sampai berakibat
maupun eksplisit: " jika kamu lakukan ini pemutusan hubungan kerja, maka karyawan akan
(perilaku) maka kamu akan dapat ini (reward atau berbuat apapun untuk dapat mencapai target
punishment)", karena perilaku tidak mudah untuk kinerja, meskipun hal tersebut akan mengorbankan
diamati dan diukur maka hal ini dioperasionalkan pencapaian tujuan perusahaan. Sebagai contoh,
melalui pengukuran kinerja perusahaan. Akibatnya seorang kepala bagian pemasaran suatu perusahaan
peng ukuran kinerja dijadikan cara untuk tidak dapat mencapai target kinerja "volume
mendapatkan reward atau menghindari punishment penjualan" selama triwulan pertama dan triwulan
dan semua orang akan berusaha untuk mencapai kedua sehingga ia tidak mendapatkan bonus dan
kinerja yang bagus. Fungsi pengukuran kinerja pimpinan akan mengevaluasi posisinya sebagai
sebagai pemberi informasi akan dikalahkan oleh kepala bagian pemasaran jika kinerjanya tidak
fungsi pengukuran kinerja sebagai dasar pemberian membaik pada triwulan ketiga dan triwulan keempat.
reward dan punishment. Banyak karyawan akan Karena ia ketakutan untuk tidak mendapatkan
menyikapi implementasi sistem pengukuran kinerja bonus atau bahkan kehilangan jabatannya, maka
dengan perilaku yang tidak sesuai dengan usaha- ia akan melakukan tindakan apa saja untuk
usaha untuk mencapai tujuan/sasaran perusahaan dapat mencapai target kinerjanya meskipun hal
jangka panjang. Perilaku seperti ini disebut tersebut dalam jangka panjang akan merugikan
perilaku disfungsional (dysfunctional behavior), perusahaan, misalkan dengan pemberian diskon
yaitu tindakan-tindakan individu atau tim dalam yang berlebihan.
menyikapi penerapan sistem pengukuran kinerja Ketiga, perilaku disfungsional terjadi karena
yang mengejar pencapaian tujuan individu atau adanya kesulitan untuk mengukur sesuatu yang
tujuan tim jangka pendek tetapi mengorbankan penting untuk diukur. Karena adanya tekanan
tujuan pencapaian perusahaan jangka panjang. yang kuat untuk dapat mencapai target kinerja
Ada beberapa penyebab terjadinya perilaku agar tidak mendapatkan punishment, karyawan
disfungsional (Spitzer, 2007). Pertama dan yang seringkali mengukur sesuatu yang mudah diukur

Suwignjo: Perilaku Disfungsional dalam Pengukuran Kinerja Perusahaan 131


secara kuantitatif, bukan mengukur sesuatu yang menggunakan prediksi yang paling rendah (pesimis)
memang penting untuk diukur. Mengkaitkan kinerja sebagai dasar penetapan target tahun depan agar
dengan reward dan punishment, menimbulkan kinerjanya tampak bagus; (3) Focusing: agak mirip
kebutuhan yang sangat kuat untuk dapat melakukan dengan biasing, melaporkan kinerja yang bagus
pengukuran secara kuantitatif guna menghindari dan menyembunyikan kinerja yang buruk. Contoh:
subjektivitas yang dapat memancing polemik. bagian pemasaran melaporkan market share yang
Akibatnya, baik karena ketidaktahuannya ataupun tumbuh tapi tidak melaporkan profit margin yang
karena kesengajaan, perusahaan (karyawan) turun; (4) Gaming: menyiasati aturan yang ada atau
seringkali mengukur pencapaian dari indikator menggunakan proses/rumus yang dapat membuat
kinerja yang tidak tepat. Contohnya, untuk kinerja tampak bagus, walaupun sebenarnya tidak
mengukur kinerja pelatihan yang dilakukan oleh bagus. Contoh: agar indikator kinerja biaya kantong
bagian SDM, perusahaan melakukannya dengan per ton semen rendah, bagian pemasaran lebih
menghitung prosentasi karyawan yang ditraining banyak menjual semen dalam bulk, meskipun profit
dan jumlah hari training per pegawai. Meskipun marginnya rendah; (5) Filtering: menahan laporan
menghitung prosentase karyawan yang ditraining kinerja yang dapat menunjukkan kinerja buruk
dan jumlah hari training per pegawai mudah dihitung karyawan. Contoh: tidak melaporkan kinerja bulan
secara kuantitatif sehingga cukup objektif, indikator Januari yang buruk, tetapi akan melaporkan kinerja
kinerja tersebut sama sekali tidak menunjukkan triwulan 1 setelah kinerja bulan Februari dan Maret
efektivitas training yang dilakukan. Indikator kinerja diperbaiki; (6) Illegal acts: melakukan manipulasi
peningkatan kompetensi lebih mampu menunjukkan data untuk membuat kinerja tampak bagus. Contoh:
efektivitas training, tetapi agak sulit untuk dilakukan memanipulasi data waktu setup mesin agar kinerja
pengukuran secara kuantitatif meskipun sebenarnya tampak bagus.
bisa dilakukan. Para ahli menyata kan bahwa perila ku
Keempat, perilaku disfungsional terjadi karena disfungsional dapat dijelaskan menggunakan
adanya keinginan karyawan agar kinerjanya "tampak expectancy theory dari Vroom (1964) seperti
bagus" meskipun sebenarnya "tidak bagus". Sekali ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini. Vroom
lagi hal ini terjadi karena ketidaktepatan dalam menyatakan bahwa karyawan, baik secara individu
mengkaitkan kinerja dengan reward dan punishment. maupun tim mau mengeluarkan usaha-usaha (yang
Tekanan yang sangat berat untuk selalu "tampak mengarah pada pencapaian tujuan perusahaan)
bagus" agar tetap bisa mendapatkan bonus/insentif karena mempunyai harapan akan terjadinya kinerja
dan tidak kehilangan jabatan/pekerjaan telah yang bagus bagi individual maupun tim.
mendorong karyawan melakukan usaha-usaha untuk
melakukan "manipulasi" agar kinerjanya tampak EFFORT
Effort

bagus. Sebagai contoh, suatu perusahaan petrokimia


memberikan insentif produksi triwulanan dengan
Effect
mengkaitkannya dengan pencapaian target jumlah LEAD TO (EXPECTANCY) No
lead to good
performance
produksi. Jika menjelang berakhirnya suatu triwulan
target jumlah produksi belum tercapai, maka bagian PERFORMANCE Yes

produksi akan mengoperasikan pabrik melebihi


kapasitas produksi normalnya. Dengan cara tersebut LEAD TO (INSTRUMENTALITY)
No Good performance
lead to reward ?
target jumlah produksi akan tercapai, insentif
produksi didapat, tetapi secara jangka panjang REWARD
Dysfunctional
Behavior
Yes

akan merusak pabrik karena dioperasikan melebihi


Reward will satisfy
kapasitas normalnya. No
employee need ?

Ada beberapa bentuk perilaku disfungsional LEAD TO (VALENCE)

yang bisa terjadi, seperti disampaikan Bimberg Yes

PERSONAL
et al. (1983) sebagai berikut: (1) Smoothing: SATISFACTION Functional Behavior

menaik-turunkan angka di laporan kinerja yang


sebenarnya tidak sesuai dengan kondisi riilnya. Gambar 1. Expectancy theory (Adaptasi dari Vroom,
Contohnya memasukkan biaya tahun ini ke biaya 1973)
tahun depan agar kinerja tahun ini kelihatan
bagus; (2) Biasing: cenderung menggunakan data Selanjutnya karyawan juga berharap bahwa
yang menguntungkan. Contoh: ada banyak prediksi kinerja yang baik pada gilirannya akan menghasilkan
yang dibuat oleh lembaga riset independen tentang reward yang positif. Jika mereka beranggapan
proyeksi pertumbuhan GDP tahun depan. Manajer (memperkirakan) jika usaha yang akan mereka

132 Jurnal Teknik Industri, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009: 128–135
keluarkan tidak akan menghasilkan kinerja yang kinerja secara berlebihan akan memicu perilaku
baik dan selanjutnya tidak menghasilkan reward yang disfungsional (Spitzer, 2007).
positif, maka mereka tidak akan mengeluarkan usaha Pada kasus pertama, perilaku disfungsional
yang mengarah pada pencapaian tujuan perusahaan. terjadi di perakitan chasis truk FM 115 L berupa
Sebaliknya mereka akan mengeluarkan usaha- pengabaian perbaikan chasis yang dikembalikan
usaha untuk mencapai kepentingan individual atau oleh perusahaan karoseri karena cacat. Hal
tim meskipun itu akan menggagalkan pencapaian ini dipicu oleh aturan pemberian insentif yang
perusahaan jangka panjang. Dengan demikian jika diterapkan perusahaan yaitu mengkaitkan insentif
karyawan diminta untuk mengimplementasikan sepenuhnya pada jumlah produksi chasis baru.
sistem pengukuran kinerja perusahaan, maka Akibatnya, untuk segera mendapatkan insentif
mereka akan memperkirakan apakah jika mereka yang maksimal, karyawan memprioritaskan
melakukan hal tersebut mereka akan mendapatkan pekerjaannya pada perakitan chasis baru dan
kinerja yang bagus. Jika jawabannya "tidak", mengabaikan perbaikan chasis yang cacat karena
maka mereka akan melakukan tindakan yang perbaikan chasis yang cacat tidak ada insentifnya.
disfungsional. Jika jawabannya adalah "ya", maka Pada kasus ini, karyawan melakukan gaming yaitu
mereka akan melanjutkan dengan pertanyaan: menyiasati aturan pemberian insentif dengan cara
"apakah jika mereka mendapatkan predikat kinerja mengabaikan pekerjaan perbaikan chasis yang
bagus, mereka akan mendapatkan reward yang cacat dan memprioritaskan pembuatan chasis yang
positif?". Jika jawabanya "tidak", maka mereka baru. Jika dikaji dengan teori ekspektansi seperti
akan melakukan tindakan yang disfungsional. ditunjukkan oleh Gambar 1, maka perilaku gaming
Jika jawabannya adalah "ya", maka mereka karyawan pada kasus pertama dapat dijelaskan
akan melanjutkan dengan pertanyaan: "apakah sebagai berikut. Pada dasarnya karyawan mau
reward yang didapat akan memuaskan karyawan mengeluarkan effort yang besar untuk menyelesaikan
(valence)?". Jika jawabannya "tidak" maka karyawan tugasnya dengan baik. Hal ini terbukti dari fakta
akan melakukan tindakan yang disfungsional. selalu dapat dicapainya target produksi dengan
Jika jawabannya adalah "ya" baru karyawan mau baik, yaitu dalam dua hari dapat menghasilkan
melakukan tindakan yang fungsional. tiga chasis. Karyawan juga beranggapan bahwa
Perilaku/tindakan disfungsional bisa berupa effort yang mereka keluarkan akan menghasilkan
tindakan penentangan pengukuran kinerja secara predikat kinerja bagus pada mereka. Akan tetapi
terbuka atau secara sembunyi-sembunyi (passive mereka beranggapan bahwa kinerja yang bagus tidak
resistance atau malicious compliance). Hal inilah yang selalu membawa konsekuensi reward yang bagus,
akan menyebabkan implementasi sistem pengukuran yaitu ketika mereka dapat memperbaiki chasis yang
kinerja tidak berlanjut atau tidak efektif meskipun dikirim kembali oleh perusahaan karoseri, maka
sudah terimplementasi. Teori lain yang sejalan tidak ada insentif untuk hal tersebut. Hal inilah
dengan teori ekspektansi Vroom dikemukakan oleh yang memicu perilaku disfungsional karyawan yaitu
Hrebiniak dan Joyce (1984) yang menyatakan bahwa mengabaikan tugas untuk memperbaiki chasis yang
karyawan pada dasarnya adalah calculative receptor. cacat dengan segera.
Jika mereka diminta untuk mengimplementasikan Perilaku disfungsional kasus pertama juga
sistem pengukuran kinerja perusahaan, maka mereka dapat dijelaskan dengan konsep calculative
akan melakukan kalkulasi alternatif tindakan yang receptor Hrebiniak dan Joice sebagai berikut. Ada
dapat mereka ambil. Dari masing-masing alternatif dua alternatif tindakan yang dapat diambil oleh
tindakan yang mereka dapat ambil, mereka akan karyawan terhadap chasis yang dikirim kembali oleh
menghitung untung-rugi nya bagi mereka (catatan: perusahaan karoseri, yaitu segera memperbaikinya
bisa jadi keuntungan yang mereka dapatkan akan atau menunda perbaikan sampai karyawan
mengorbankan kepentingan perusahaan) dan mempunyai waktu luang. Terhadap dua alternatif
mereka akan mengambil tindakan yang dapat tindakan tersebut karyawan akan menghitung
memaksimumkan benefit/cost. Mengkaitkan kinerja masing-masing benefit dan cost nya dengan mengacu
dengan reward (performance related pay) bukanlah pada aturan pemberian insentif yang diterapkan
konsep yang baru dalam manajemen. Performance perusahaan. Karena benefit/cost ratio alternatif
related pay sudah banyak diterapkan di banyak negara tindakan mengabaikan perbaikan chasis yang
(Procter et al., 1993; Perry et al., 2009; Lah dan Perry, cacat lebih besar dibandingkan alternatif tindakan
2008; OECD, 2005). Lebih lanjut dilaporkan bahwa memperbaikinya dengan segera, maka karyawan
ada implementasi performance related pay yang gagal memilih alternatif tindakan mengabaikan perbaikan
dan ada yang berhasil. Mengkaitkan reward dengan chasis yang cacat. Paling tidak ada dua cara yang bisa

Suwignjo: Perilaku Disfungsional dalam Pengukuran Kinerja Perusahaan 133


digunakan untuk memperbaiki kondisi ini. Pertama, demikian, peluang untuk melakukan biasing bisa
insentif tidak sepenuhnya dikaitkan dengan jumlah diminimalkan.
chasis baru yang dihasilkan, tetapi juga dikaitkan Pada kasus ketiga yaitu overhaul kiln, perilaku
dengan indikator kinerja yang lain misalkan jumlah disfungsional terjadi dalam bentuk menyelesaikan
produk cacat dan waktu respon terhadap chasis yang pekerjaan overhaul kiln secepatnya untuk dapat
dikembalikan oleh perusahaan karoseri. Dengan memenuhi target waktu overhaul kiln 24 hari dengan
demikian jika karyawan mengabaikan perbaikan mengabaikan kualitas overhaul. Perilaku ini terjadi
chasis yang cacat, maka insentif mereka akan karena karyawan ketakutan kinerjanya akan buruk
berkurang, sama halnya kalau mereka mengabaikan jika harus melakukan overhaul dengan cermat.
pembuatan chasis yang baru. Kedua, penundaan Menurut teori ekspektasi, karyawan tidak yakin jika
perbaikan chasis yang cacat bisa dihindari dengan effort yang dia lakukan (melakukan overhaul dengan
melakukan perencanaan, evaluasi, dan pengendalian cermat) akan menghasilkan kinerja yang bagus
yang baik terhadap unit perakitan chasis truk FM 115 (waktu overhaul 24 hari atau lebih kecil). Akibatnya
L. Dengan perencanaan, evaluasi dan pengendalian karyawan melakukan perilaku disfungsional dengan
produksi yang baik terhadap unit tersebut karyawan jalan melakukan gaming yang berdampak serius
tidak bisa mengabaikan tugas perbaikan chasis yang bagi perusahaan, yaitu hari operasi yang pendek
rusak dan memprioritaskan pembuatan chasis yang karena sering terjadi red spot. Perilaku disfungsional
baru. pelaksanaan overhaul kiln yang tidak cermat dapat
Pada kasus kedua yaitu pembuatan RKAP, dihindari dengan penggunaan indikator kinerja
perilaku disfungsional terjadi dalam bentuk yang tepat. Kasus ini terjadi karena pelaksanaan
penetapan target kinerja yang pesimis agar mudah pengukuran kinerja yang terlalu menekankan pada
dicapai sehingga bonus/tantiem yang didapat bisa pelaksanaan overhaul sehingga mengorbankan
maksimal. Perilaku disfungsional terjadi karena kinerja yang lebih besar yaitu hari operasi kiln.
adanya ketakutan untuk tidak dapat mencapai target Untuk menghindari hal ini pengukuran kinerja
yang menantang yang berakibat pada tidak maksimal seharusnya lebih ditekankan pada hal-hal yang lebih
bonus/tantiem yang akan didapat. Ketakutan ini komprehensif dari kiln misalnya overal equipment
memicu karyawan/manajer untuk melakukan productivity (OEP) dengan dua komponen utamanya
biasing yaitu menggunakan data yang pesimis dan adalah overal equipment effectiveness (OEE) dan Cost
menyembunyikan kemampuan perusahaan yang of Good Manufacture (COGM). Dengan cara seperti
sebenarnya. Perilaku disfungsional penetapan ini karyawan tidak bisa hanya memfokuskan pada
target yang rendah dapat dijelaskan dengan teori waktu overhaul.
ekspektansi sebagai berikut. Jika target ditetapkan
cukup menantang (stretching) maka karyawan/ SIMPULAN
manajer tidak yakin bahwa effort yang mereka B eberapa ha l dapat d i la k u k a n untu k
keluarkan akan menghasilkan kinerja bagus bagi mengurangi terjadinya perilaku disfungsional.
mereka. Akibatnya mereka ketakutan kinerjanya Pertama menghindari pengkaitan reward dengan
tidak akan bagus dan hal ini akan berakibat pada kinerja yang berlebihan. Jika reward sepenuhnya
penerimaan bonus/tantiem yang rendah. Dihadapkan dikaitkan dengan kinerja, maka karyawan akan
pada situasi ini maka karyawan/manajer melakukan melakukan cara apapun agar kinerjanya tampak
biasing yaitu menggunakan data peluang maupun bagus. Seringkali hal ini dilakukan dengan cara yang
potensi yang rendah/pesimis. merugikan perusahaan. Meskipun mengkaitkan
Untuk menghindari perilaku disfungsional reward dengan kinerja adalah penting, tetapi
biasing dalam penetapan target RK AP dapat proporsi reward yang dikaitkan dengan kinerja
dilakukan dengan memperbaiki proses penetapan sebaiknya tidak terlalu besar sehingga kehilangan
target seperti telah disampaikan sebelumnya. reward akibat kinerja yang tidak bagus tidak
Praktek penetapan target dengan melakukan sampai menjadi malapetaka bagi karyawan. Kedua,
eskalasi pencapaian tahun sebelumnya tidak lagi mengurangi perilaku disfungsional dapat dilakukan
dilakukan. Cara baru digunakan yaitu dengan dengan cara menggunakan indikator kinerja yang
melakukan kajian makroekonomi dan persemenan tepat sebagai dasar pemberian reward. Kasus ketiga
di tingkat global, regional, maupun lokal secara yaitu pelaksanaan overhaul kiln adalah contoh
objektif untuk mengetahui peluang yang ada dan penggunaan indikator kinerja yang tidak baik.
menghitung kemampuan maksimal dari fasilitas Penggunaan indikator kinerja yang terlalu sempit
produksi, distribusi, dan sumberdaya manusia yang (waktu overhaul) bisa memicu perilaku disfungsional
ada. Target RKAP kemudian ditetapkan berdasarkan yang merugikan kepentingan perusahaan yang lebih
peluang dan potensi yang dimiliki. Dengan cara luas. Indikator kinerja yang lebih komprehensif

134 Jurnal Teknik Industri, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009: 128–135
seperti OEP sebaiknya digunakan. Cara ketiga Daftar Pustaka
untuk mengurangi perilaku disfungsional adalah Dixon, J. R., Nanni, A. J., and Vollman, T. E., 1990. "The
pengelolaan implementasi pengukuran kinerja yang New Performance Challenge: Measuring Operations
baik. Penerapan sistem pengukuran kinera yang for World Class Competition", Dow Jones-Irwin,
baru pada hakekatnya adalah proses perubahan. Homewood, IL.
Agar berjalan dengan sukses, maka proses Eccles, R. G., 1991., "Performance Measurement Manifesto",
perubahan harus dikelola dengan baik. Salah Harvard Business Review, Vol. 69: 131–137.
satu contoh model yang dapat digunakan untuk Frederick R., 2001." The Loyalty Effect", Harvard Business
mengelola proses perubahan adalah CAP. Dalam School Press.
CAP, salah satu tahapan yang harus dilakukan Hrebiniak, L. G. and Joyce, W. F., 1984. "Implementing
Strategy", Macmillan, New York, NY.
adalah sosialisasi untuk mendapatkan komitmen dari
Kaplan, R. S. and Norton, D. P., 1996. "Translating Strategic
semua pihak yang terlibat. Dalam proses sosialisasi
into Action - The Balanced Scorecard", Harvard
dapat disampaikan akibat buruk dari perilaku Business School Press, Boston, Massachusetts.
disfungsional yang merugikan perusahaan yang Lah, T. J. and Perry, J. L., 2008."The Difusion of the Civil
pada akhirnya juga merugikan karyawan. Keempat Service Reform Act of 1978 in OECD Countries:
adalah penggunaan counter performance measures. A Tale of Two Paths to Reform", Review of Public
Dengan cara ini setiap indikator kinerja yang akan Personnel Administration, Vol. 28 No. 3: 282–299.
digunakan dan skema pemberian insentif yang Maskell, B. H., 1991. "Performance Measurement for
akan digunakan dilakukan pengujian apakah hal World Class Manufacturing: A Model for American
tersebut akan memicu perilaku disfungsional, jika Companies", Productivity Press, Cambridge, MA.
jawabannya adalah "ya" maka perlu ditambahkan Neely, A., Adams, C., and Kennerley, M., 2002. "The
counter performance measures/indicators untuk Performance Prism", Pearson Education Limited,
mencegah terjadinya perilaku disfungsional. London.
Neely, A., and Bourne, M., 2000. "Why Measurement
Initiatives Fail", Measuring Business Excellence,
Vol. 4 No. 4: 3–6.

Suwignjo: Perilaku Disfungsional dalam Pengukuran Kinerja Perusahaan 135

Anda mungkin juga menyukai