Perusahaan
Patdono Suwignjo1
1
Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
E-mail: psuwignjo@yahoo.com
ABSTRAK
Sistem pengukuran kinerja adalah komponen penting dari sistem manajemen. Sayangnya, tingkat keberhasilan
implementasi sistem pengukuran kinerja relatif rendah. Bahkan dari pelaksanaan yang dikategorikan sebagai sukses,
hanya sedikit dari mereka yang efektif. Perilaku disfungsional adalah salah satu faktor yang membuat implementasi
dari sistem pengukuran kinerja tidak efektif. Makalah ini akan menguraikan perilaku disfungsional karyawan dalam
implementasi sistem pengukuran kinerja. Tiga contoh kasus perilaku disfungsional disajikan. Akhirnya, makalah ini
mencoba mengusulkan beberapa metode untuk mengurangi perilaku disfungsional. Tiga kasus menunjukkan bahwa
penyelarasan sistem insentif untuk kinerja (kinerja skema pembayaran terkait) dan takut tidak dapat memenuhi target
kinerja telah mendorong karyawan untuk berperilaku disfungsional. Kasus-kasus juga menunjukkan bahwa game
dan biasing adalah dua bentuk perilaku disfungsional yang dilakukan oleh karyawan. Untuk mengurangi perilaku
disfungsional diusulkan tiga metode, yaitu: mengurangi proporsi insentif diikat dengan kinerja, menerapkan KPI sesuai,
dan menggunakan tindakan pencegahan.
ABSTRACT
Performance measurement system is a critical component of a management system. Unfortunately, the success rate of
performance measurement system implementation is relatively low. Even from the implementation categorized as success,
only few of them are effective. Dysfunctional behavior is one of the factors that makes the implementation of a performance
measurement system is ineffective. This paper will elaborate the dysfunctional behavior of employees in performance
measurement system implementation. Three examples of dysfunctional behavior cases are presented. Finally, the paper
tries to propose some methods for reducing dysfunctional behavior. The three cases show that the alignment of incentive
system to performance (performance related pay scheme) and the fear of unable to meet performance target have driven
employees to behave dysfunctionally. The cases also show that gaming and biasing are two forms of dysfunctional behaviour
practiced by employees. To reduce dysfunctional behavior the paper proposes three methods, namely: reducing the proportion
of incentives tied up to performance, implementing the appropriate KPIs, and utilizing counter measures.
128
cannot measure it, you cannot manage it" (Kaplan Dalam penelitian ini pertanyaan penelitian
and Norton, 1996). Akhirnya, secara agak berlebihan yang ingin dijawab adalah:"perilaku apa yang
Maskell (1991) menyatakan: "The measurement akan ditunjukkan oleh karyawan atau manajer
system—for good or ill—triggers virtually everything pada situasi di mana pemberian insentif sangat
that happens in an organization, both strategic and dikaitkan dengan kinerja?" Ada tiga studi kasus yang
tactical. This is because all the other organizational diamati dan semuanya berupa unit bisnis. Peneliti
systems are ultimately based on what the measurement bertindak sebagai observer. Data yang dikumpulkan
system is telling the other systems to do". adalah perilaku dari karyawan dan manajer
Meskipun para peneliti dan praktisi secara dalam menghadapi situasi di mana pemberian
umum setuju pentingnya pengukuran kinerja bagi insentif sangat dikaitkan dengan kinerja. Perilaku
perusahaan, tetapi pada kenyataannya keberhasilan yang ditunjukkan oleh karyawan dan manajer
implementasi sistem pengukuran kinerja tidak kemudian diklasifikasikan sebagai tindakan yang
menggembirakan. Pada tahapan perancangan dan disfungsional atau fungsional. Jika tindakan yang
implementasi, Neely and Bourne (1998) mendapatkan ditunjukan merugikan perusahaan, maka tindakan
bahwa 4 dari 7 implementasi sistem pengukuran tersebut diklasisifikasikan sebagai tindakan yang
kinerja gagal (tidak dilanjutkan) setelah 9 bulan. disfungsional.
Kegagalan tersebut disebabkan oleh: (i) kurangnya
komitmen top manajemen, (ii) problem dengan HASIL DAN PEMBAHASAN
teknologi informasi dan (iii) program kalah prioritas Perakitan Chasis Truk FM 115 L
dengan program lain. Dari implementasi yang
Penelitian dilakukan di perusahaan perakitan
berhasil pun ternyata hanya sedikit yang efektif,
mobil di Taman – Sidoarjo. Salah satu produk yang
hanya 51% pimpinan perusahaan yang puas dengan
dihasilkan adalah chasis truk type FM 115 L. Produk
sistem pengukuran kinerja yang mereka terapkan
ini adalah produk sampingan sehingga produksinya
dan hanya 15% pimpinan perusahaan yang sangat
relatif sangat kecil dibanding produk utama yaitu
puas dengan sistem pengukuran kinerja yang mereka
jenis minibus Colt. Proses perakitan dilakukan
terapkan. Bahkan para akuntan yang sudah terbiasa
pada suatu lintasan perakitan yang tidak begitu
dengan pengukuran dan pelaporan pengukuran
luas. Setiap saat hanya bisa dilakukan perakitan 1
kinerja perusahaan hanya 35% yang menyatakan
(satu) chasis truk. Lintasan perakitan dioperasikan
bahwa sistem pengukuran kinerja perusahaan
oleh 8 (delapan) operator dengan pembagian tugas
adalah efektif atau sangat efektif (Neely et al., 2002).
yang cukup fleksibel. Proses perakitan terdiri dari
Perancangan sistem pengukuran kinerja telah
aktivitas-aktivitas: perakitan frame, pemasangan
mendapat banyak perhatian dari para ahli, tetapi
roda, pemasangan kabel, pemasangan steering,
tidak banyak penelitian yang membahas mengenai
pemasangan lampu, pemasangan mesin, pengetesan,
perilaku disfungsional (dysfunctional behavior)
dan terakhir adalah line off. Dalam dua hari rata-rata
dalam implementasi sistem pengukuran kinerja
dapat menghasilkan 3 (tiga) chasis FM 115 L. Chasis
perusahaan sehingga kami akan menyampaikan tiga
yang sudah selesai dirakit dikirim ke perusahaan
kasus terjadinya perilaku disfungsional dan langkah-
karoseri. Setiap chasis yang dihasilkan, karyawan
langkah untuk mengurangi terjadinya perilaku
akan mendapatkan insentif di luar gaji pokok
disfungsional.
bulanan yang mereka dapatkan. Penghitungan
jumlah insentif pada suatu periode akan dihitung
METODE
berdasarkan jumlah chasis yang telah menyelesaikan
Penelitian dilakukan dengan menggunakan tahapan line off dan dikirim ke perusahaan karoseri.
metode case study research (Yin, 2003). Pemilihan Besar kecilnya gaji yang diterima oleh karyawan
metode penelitian case study research didasarkan tergantung pada jumlah chasis yang dihasilkan,
atas pertimbangan: (i) fenomena tidak dapat diteliti karena gaji pokok yang mereka terima relatif tetap.
di luar tempat terjadinya, (ii) fenomena yang diteliti Observasi lebih lanjut di lintasan perakitan chasis
kompleks, dan (iii) penelitian untuk menjawab truk FM 115 L didapatkan adanya beberapa chasis
pertanyaan "bagaimana" atau "mengapa". Penelitian truk yang diparkir di halaman pabrik dan tidak
dilakukan dengan tahap-tahapan sebagai berikut: kunjung dikirim ke perusahaan karoseri. Penjelasan
(a) perumusan pertanyaan penelitian yang ingin yang didapatkan dari karyawan menyatakan bahwa
dijawab, (b) penentuan unit yang akan diteliti, chasis truk tersebut adalah chasis yang sebetulnya
(c) penentuan data yang akan dikumpulkan, sudah dikirim ke perusahaan karoseri, tetapi
(d) pengumpulan data, (e) analisis data, (f)pembuatan dikembalikan karena adanya problem kualitas,
kesimpulan. misalkan adanya problem alignment chasis, problem
130 Jurnal Teknik Industri, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009: 128–135
target 24 hari yang sebenarnya tanpa diikuti dengan paling penting adalah adanya pemberian reward
perbaikan sistem/metode overhaul yang lebih baik. dan punishment yang dikaitkan dengan kinerja
Akibatnya, target waktu overhaul dapat dicapai secara berlebihan. Jika pemberian insentif terlalu
tetapi kiln mengalami "red spot" (ada pemasangan dikaitkan dengan pengukuran kinerja maka hal
fired brick yang tidak benar) sehingga kiln harus ini akan mempengaruhi respon mereka terhadap
diperbaiki lagi setelah beroperasi 4 (empat) hari. pengukuran kinerja. Ada kelompok pekerja yang
Perbaikan masih harus sering dilakukan setelah itu, merespon pengukuran kinerja dengan usaha-usaha
sehingga target hari operasi per tahun tidak dapat yang dapat memaksimumkan pencapaian tujuan
dicapai. perusahaan sekaligus memaksimumkan pencapaian
Penggunaan sistem pengukuran kinerja dapat tujuan individu atau tim, tetapi ada juga kelompok
dibedakan menjadi dua, yaitu sistem pengukuran pekerja yang memaksimumkan pencapaian tujuan
kinerja untuk tujuan pemberian informasi individu dengan mengorbankan pencapaian tujuan
(informational measurement) dan pengukuran perusahaan. Sebagai contoh, suatu perusahaan
kinerja untuk tujuan pemberian reward dan memberikan insentif bagian pengiriman berdasarkan
punishment (motivational measurement). Pada pencapaian target kinerja "on time delivery". Untuk
sistem pengukuran kinerja untuk tujuan pemberian mencapai target kinerja tersebut bagian pengiriman
informasi, pengukuran kinerja digunakan sebagai mencatat barang yang keluar dari perusahaan
alat untuk menunjukkan pada area mana kinerja sebagai "on time delivery" tanpa peduli apakah
perusahaan masih belum bagus sehingga perlu barang tersebut diterima konsumen tepat waktu
dilakukan perbaikan. Untuk tujuan ini baik manajer atau tidak. Akibatnya meskipun bagian pengiriman
dan karyawan dapat menerima dengan baik, sehingga mendapatkan kinerja "on time delivery" yang bagus
tidak menimbulkan perilaku yang disfungsional. dan mendapatkan reward yang tinggi, tetapi belum
Pada situasi seperti ini sistem pengukuran kinerja tentu kastemer menerima pesanannya tepat waktu.
adalah kekuatan yang paling hebat dalam organisasi Kedua, perilaku disfungsional terjadi karena
(Spitzer, 2007). Kondisi yang terjadi akan sangat adanya ketakutan karyawan untuk mendapatkan
berbeda jika sistem pengukuran kinerja digunakan punishment jika pengukuran kinerja diterapkan.
untuk pemberian reward dan punishment. Hal ini terjadi terutama jika banyak karyawan yang
Pada situasi di mana pengukuran kinerja merasa akan mendapatkan punishment, bukannya
digunakan sebagai dasar pemberikan reward dan mendapatkan reward jika pengukuran kinerja
punishment, maka pada prinsipnya perusahaan dilakukan. Jika punishment yang akan diterima
mengatakan pada karyawannya secara implisit terasa sangat berat, misalkan sampai berakibat
maupun eksplisit: " jika kamu lakukan ini pemutusan hubungan kerja, maka karyawan akan
(perilaku) maka kamu akan dapat ini (reward atau berbuat apapun untuk dapat mencapai target
punishment)", karena perilaku tidak mudah untuk kinerja, meskipun hal tersebut akan mengorbankan
diamati dan diukur maka hal ini dioperasionalkan pencapaian tujuan perusahaan. Sebagai contoh,
melalui pengukuran kinerja perusahaan. Akibatnya seorang kepala bagian pemasaran suatu perusahaan
peng ukuran kinerja dijadikan cara untuk tidak dapat mencapai target kinerja "volume
mendapatkan reward atau menghindari punishment penjualan" selama triwulan pertama dan triwulan
dan semua orang akan berusaha untuk mencapai kedua sehingga ia tidak mendapatkan bonus dan
kinerja yang bagus. Fungsi pengukuran kinerja pimpinan akan mengevaluasi posisinya sebagai
sebagai pemberi informasi akan dikalahkan oleh kepala bagian pemasaran jika kinerjanya tidak
fungsi pengukuran kinerja sebagai dasar pemberian membaik pada triwulan ketiga dan triwulan keempat.
reward dan punishment. Banyak karyawan akan Karena ia ketakutan untuk tidak mendapatkan
menyikapi implementasi sistem pengukuran kinerja bonus atau bahkan kehilangan jabatannya, maka
dengan perilaku yang tidak sesuai dengan usaha- ia akan melakukan tindakan apa saja untuk
usaha untuk mencapai tujuan/sasaran perusahaan dapat mencapai target kinerjanya meskipun hal
jangka panjang. Perilaku seperti ini disebut tersebut dalam jangka panjang akan merugikan
perilaku disfungsional (dysfunctional behavior), perusahaan, misalkan dengan pemberian diskon
yaitu tindakan-tindakan individu atau tim dalam yang berlebihan.
menyikapi penerapan sistem pengukuran kinerja Ketiga, perilaku disfungsional terjadi karena
yang mengejar pencapaian tujuan individu atau adanya kesulitan untuk mengukur sesuatu yang
tujuan tim jangka pendek tetapi mengorbankan penting untuk diukur. Karena adanya tekanan
tujuan pencapaian perusahaan jangka panjang. yang kuat untuk dapat mencapai target kinerja
Ada beberapa penyebab terjadinya perilaku agar tidak mendapatkan punishment, karyawan
disfungsional (Spitzer, 2007). Pertama dan yang seringkali mengukur sesuatu yang mudah diukur
PERSONAL
et al. (1983) sebagai berikut: (1) Smoothing: SATISFACTION Functional Behavior
132 Jurnal Teknik Industri, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009: 128–135
keluarkan tidak akan menghasilkan kinerja yang kinerja secara berlebihan akan memicu perilaku
baik dan selanjutnya tidak menghasilkan reward yang disfungsional (Spitzer, 2007).
positif, maka mereka tidak akan mengeluarkan usaha Pada kasus pertama, perilaku disfungsional
yang mengarah pada pencapaian tujuan perusahaan. terjadi di perakitan chasis truk FM 115 L berupa
Sebaliknya mereka akan mengeluarkan usaha- pengabaian perbaikan chasis yang dikembalikan
usaha untuk mencapai kepentingan individual atau oleh perusahaan karoseri karena cacat. Hal
tim meskipun itu akan menggagalkan pencapaian ini dipicu oleh aturan pemberian insentif yang
perusahaan jangka panjang. Dengan demikian jika diterapkan perusahaan yaitu mengkaitkan insentif
karyawan diminta untuk mengimplementasikan sepenuhnya pada jumlah produksi chasis baru.
sistem pengukuran kinerja perusahaan, maka Akibatnya, untuk segera mendapatkan insentif
mereka akan memperkirakan apakah jika mereka yang maksimal, karyawan memprioritaskan
melakukan hal tersebut mereka akan mendapatkan pekerjaannya pada perakitan chasis baru dan
kinerja yang bagus. Jika jawabannya "tidak", mengabaikan perbaikan chasis yang cacat karena
maka mereka akan melakukan tindakan yang perbaikan chasis yang cacat tidak ada insentifnya.
disfungsional. Jika jawabannya adalah "ya", maka Pada kasus ini, karyawan melakukan gaming yaitu
mereka akan melanjutkan dengan pertanyaan: menyiasati aturan pemberian insentif dengan cara
"apakah jika mereka mendapatkan predikat kinerja mengabaikan pekerjaan perbaikan chasis yang
bagus, mereka akan mendapatkan reward yang cacat dan memprioritaskan pembuatan chasis yang
positif?". Jika jawabanya "tidak", maka mereka baru. Jika dikaji dengan teori ekspektansi seperti
akan melakukan tindakan yang disfungsional. ditunjukkan oleh Gambar 1, maka perilaku gaming
Jika jawabannya adalah "ya", maka mereka karyawan pada kasus pertama dapat dijelaskan
akan melanjutkan dengan pertanyaan: "apakah sebagai berikut. Pada dasarnya karyawan mau
reward yang didapat akan memuaskan karyawan mengeluarkan effort yang besar untuk menyelesaikan
(valence)?". Jika jawabannya "tidak" maka karyawan tugasnya dengan baik. Hal ini terbukti dari fakta
akan melakukan tindakan yang disfungsional. selalu dapat dicapainya target produksi dengan
Jika jawabannya adalah "ya" baru karyawan mau baik, yaitu dalam dua hari dapat menghasilkan
melakukan tindakan yang fungsional. tiga chasis. Karyawan juga beranggapan bahwa
Perilaku/tindakan disfungsional bisa berupa effort yang mereka keluarkan akan menghasilkan
tindakan penentangan pengukuran kinerja secara predikat kinerja bagus pada mereka. Akan tetapi
terbuka atau secara sembunyi-sembunyi (passive mereka beranggapan bahwa kinerja yang bagus tidak
resistance atau malicious compliance). Hal inilah yang selalu membawa konsekuensi reward yang bagus,
akan menyebabkan implementasi sistem pengukuran yaitu ketika mereka dapat memperbaiki chasis yang
kinerja tidak berlanjut atau tidak efektif meskipun dikirim kembali oleh perusahaan karoseri, maka
sudah terimplementasi. Teori lain yang sejalan tidak ada insentif untuk hal tersebut. Hal inilah
dengan teori ekspektansi Vroom dikemukakan oleh yang memicu perilaku disfungsional karyawan yaitu
Hrebiniak dan Joyce (1984) yang menyatakan bahwa mengabaikan tugas untuk memperbaiki chasis yang
karyawan pada dasarnya adalah calculative receptor. cacat dengan segera.
Jika mereka diminta untuk mengimplementasikan Perilaku disfungsional kasus pertama juga
sistem pengukuran kinerja perusahaan, maka mereka dapat dijelaskan dengan konsep calculative
akan melakukan kalkulasi alternatif tindakan yang receptor Hrebiniak dan Joice sebagai berikut. Ada
dapat mereka ambil. Dari masing-masing alternatif dua alternatif tindakan yang dapat diambil oleh
tindakan yang mereka dapat ambil, mereka akan karyawan terhadap chasis yang dikirim kembali oleh
menghitung untung-rugi nya bagi mereka (catatan: perusahaan karoseri, yaitu segera memperbaikinya
bisa jadi keuntungan yang mereka dapatkan akan atau menunda perbaikan sampai karyawan
mengorbankan kepentingan perusahaan) dan mempunyai waktu luang. Terhadap dua alternatif
mereka akan mengambil tindakan yang dapat tindakan tersebut karyawan akan menghitung
memaksimumkan benefit/cost. Mengkaitkan kinerja masing-masing benefit dan cost nya dengan mengacu
dengan reward (performance related pay) bukanlah pada aturan pemberian insentif yang diterapkan
konsep yang baru dalam manajemen. Performance perusahaan. Karena benefit/cost ratio alternatif
related pay sudah banyak diterapkan di banyak negara tindakan mengabaikan perbaikan chasis yang
(Procter et al., 1993; Perry et al., 2009; Lah dan Perry, cacat lebih besar dibandingkan alternatif tindakan
2008; OECD, 2005). Lebih lanjut dilaporkan bahwa memperbaikinya dengan segera, maka karyawan
ada implementasi performance related pay yang gagal memilih alternatif tindakan mengabaikan perbaikan
dan ada yang berhasil. Mengkaitkan reward dengan chasis yang cacat. Paling tidak ada dua cara yang bisa
134 Jurnal Teknik Industri, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009: 128–135
seperti OEP sebaiknya digunakan. Cara ketiga Daftar Pustaka
untuk mengurangi perilaku disfungsional adalah Dixon, J. R., Nanni, A. J., and Vollman, T. E., 1990. "The
pengelolaan implementasi pengukuran kinerja yang New Performance Challenge: Measuring Operations
baik. Penerapan sistem pengukuran kinera yang for World Class Competition", Dow Jones-Irwin,
baru pada hakekatnya adalah proses perubahan. Homewood, IL.
Agar berjalan dengan sukses, maka proses Eccles, R. G., 1991., "Performance Measurement Manifesto",
perubahan harus dikelola dengan baik. Salah Harvard Business Review, Vol. 69: 131–137.
satu contoh model yang dapat digunakan untuk Frederick R., 2001." The Loyalty Effect", Harvard Business
mengelola proses perubahan adalah CAP. Dalam School Press.
CAP, salah satu tahapan yang harus dilakukan Hrebiniak, L. G. and Joyce, W. F., 1984. "Implementing
Strategy", Macmillan, New York, NY.
adalah sosialisasi untuk mendapatkan komitmen dari
Kaplan, R. S. and Norton, D. P., 1996. "Translating Strategic
semua pihak yang terlibat. Dalam proses sosialisasi
into Action - The Balanced Scorecard", Harvard
dapat disampaikan akibat buruk dari perilaku Business School Press, Boston, Massachusetts.
disfungsional yang merugikan perusahaan yang Lah, T. J. and Perry, J. L., 2008."The Difusion of the Civil
pada akhirnya juga merugikan karyawan. Keempat Service Reform Act of 1978 in OECD Countries:
adalah penggunaan counter performance measures. A Tale of Two Paths to Reform", Review of Public
Dengan cara ini setiap indikator kinerja yang akan Personnel Administration, Vol. 28 No. 3: 282–299.
digunakan dan skema pemberian insentif yang Maskell, B. H., 1991. "Performance Measurement for
akan digunakan dilakukan pengujian apakah hal World Class Manufacturing: A Model for American
tersebut akan memicu perilaku disfungsional, jika Companies", Productivity Press, Cambridge, MA.
jawabannya adalah "ya" maka perlu ditambahkan Neely, A., Adams, C., and Kennerley, M., 2002. "The
counter performance measures/indicators untuk Performance Prism", Pearson Education Limited,
mencegah terjadinya perilaku disfungsional. London.
Neely, A., and Bourne, M., 2000. "Why Measurement
Initiatives Fail", Measuring Business Excellence,
Vol. 4 No. 4: 3–6.