Anda di halaman 1dari 203

Hot Chocolate Love | i

Hot Chocolate Love


Penulis : Anissa ’Win’ Salsabila
Penyunting :Piu
Perancang sampul : Iyal
Penata letak : Puthut
Ilustrasi sampul : Fani
Penerbit : Puspa Swara, Anggota Ikapi

Redaksi :
Wisma Hijau
Jl. Mekarsari Raya No. 15, Cimanggis, Depok - 16952
Telp. (021) 8729060, 87701746
Faks. (021) 8712219, 8729059
Website: www.puspaswara.com
E-mail: info@puspaswara.com, swara@cbn.net.id

Pemasaran :
Jl. Gunung Sahari III/7
Jakarta - 10610
Telp. (021) 4204402, 4255354
Faks. (021) 4214821

Cetakan I - Jakarta, 2006

Buku ini dilindungi Undang-Undang Hak Cipta. Segala bentuk peng­ ganda­an,
reproduksi, atau penerjemahan, baik melalui media cetak maupun elek­tronik harus
seizin penerbit, kecuali untuk kutipan ilmiah.

E55/665/VIII/06

Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Salsabila, Anissa Win
Hot chocolate love/Anissa Win Salsabila
--Cet. 1-- Jakarta: Puspa Swara, 2006
x + 190 hlm.; 19 cm.

ISBN 979 24 4888 8

ii | Hot Chocolate Love


Kupersembahkan
Dengan Penuh Cinta Untuk :
Mama Titin, Papa Anto, Tita & Lia (My Sisters)
(Sebagai Kado Ultah Pernikahan Yang Ke-21)

Hot Chocolate Love | iii


Hot Chocolate Love :
Special Teenlit 4 U ...

Kata pertama yang ingin Win ucapkan setelah merampungkan


chicklit ini adalah ALHAMDULILLAH… Trims ya Allah…. Ternyata
bikin teenlit di tengah kuliah dan praktikum yang padat itu nggak
sesimpel yang Win pikirin. Ribet bo…!!! Rada susah n butuh waktu
sekian menit untuk mengubah gaya bahasa tulisan buat teenlit
setelah seharian ngerjain laporan n makalah yang seabreg. Tapi it’s
okey! Yang penting have fun aja ngerjainnya…
I do the best, n Allah do the rest!!!
Win suka baca sejak kecil, itu semua karena Mama lebih sering
ngasih Win cemilan berupa buku bacaan daripada cemilan yang
bener-bener bisa dimakan. Lagipula, Win emang suka sirik kalau
lihat Mama baca buku yang tebel-tebel, bawaannya mau tau aja!
Waktu Win baru bisa baca, Win suka banget baca majalah Bobo.
Dulu Win punya buku dongeng kesayangan, judulnya kalo gak
salah Kumpulan Dongeng Sebelum Tidur. Pokoknya buku itu keren
banget deh! Sayang, buku itu hilang waktu Win masih SD.
Beranjak remaja, Win jadi tambah kutu buku. Serius! Jangan
tanya tentang musik atau judul film sama Win. Win kuper soal itu!
Tapi coba kamu tanya tentang novel sastra atau sejenisnya, pokoknya

iv | Hot Chocolate Love


yang berbau tulisan deh... Gak nyombong (karena cuma soal buku
yang Win tahu), InsyaAllah Win ngerti tentang buku itu. Lama-lama
Win gatel juga buat nulis sendiri. Apalagi sekarang banyak banget
kita lihat chicklit ama teenlit yang bertumpuk-tumpuk di toko buku.
Wuuiih, terus terang Win jadi tertantang pengen bikin teenlit buat
muslimah! Bukannya apa-apa, Win cuma pengen supaya muslimah
kita ini punya bacaan yang seru, asyik, n gaul, tapi nggak melenceng
dari ajaran Islam yang indah ini. Setuju gak?
Ide tulisan ini udah lama Win buat. Bahan mentahnya dari
cerpen sembilan halaman yang kemudian terkubur di tengah file-file
komputer Win. Apalagi beberapa minggu belakangan, Win terobsesi
bikin novel tentang tsunami yang narasumbernya adalah teman
kuliah Win sendiri. Alhamdulillah, novel Win tentang tsunami udah
diterbitin, judulnya Lagu Cinta Lautan Duka. Pas bersih-bersih file,
eh, ketemu deh bakal chicklit yang sekarang ada di tanganmu ini.
Lagi-lagi, Alhamdulillah... Teenlit Choco-Latte-nya sekarang udah
masak n siap untuk dihidangkan dan dinikmati.
Perempuan itu unik. Dia seperti kristal berkilauan yang cantik dan
menjadi hiasan bagi siapa pun yang memilikinya. Ketika kristal itu
masih utuh, banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkannya.
Betapapun mahal harga kristal itu. Subhanallah! Tapi ketika kristal
itu retak sedikiiit aja (apalagi pecah), maka nggak akan ada seorang
pun yang sudi meliriknya. Itulah makanya, kadang Win ngerasa
prihatin sama perempuan sekarang (apalagi remaja) yang belum
menyadari akan keberadaan mereka sebagai perhiasan yang mahal
banget harganya.
Cinta dan persahabatan. Dua hal yang sering bikin (hampir)
semua cewek dihadapkan pada dua pilihan yang berat. Dua hal yang
bisa bikin cewek nangis, tertawa, dan bahagia.

Hot Chocolate Love | v


Friendship is like a puzzle. Each friend you have is a piece. Some
are on the border. Some are close to the center…
Choco-latte- adalah teenlit yang mengangkat kehidupan seorang
remaja smart, berbakat, cantik, en periang. Dyera mencari cinta. Di
tengah kegundahannya dalam mencari jati diri, ia juga dihadapkan
pada masalah yang hampir selalu menghinggapi kebanyakan remaja,
apalagi kalau bukan cinta. Cinta adalah hal yang fitrah. Dyera yang
lugu dan perjuangannya dalam mencari arjuna. Sahabat adalah satu
bagian yang tidak dapat dipisahkan darinya. Di tengah keriangan
dan keceriaan penuh warna seperti kebanyakan remaja lainnya,
Dyera dihadapkan pada pertempuran antara kata hati dan kata
sahabat-sahabatnya. Kejenakaan, keceriaan, air mata, dan nilai-
nilai pelajaran hidup adalah bumbu yang diramu sedemikian rupa
sehingga Choco-latte ini sangat nikmat jika dicicipi saat masih
panas di tengah dinginnya suasana hati.
Cinta seperti langit maha luas yang takkan habis jika kamu
pandangi hanya dengan sepasang mata milikmu. Choco-latte ini
adalah sebuah kisah tentang cinta yang Win coba menyajikannya
dengan ringan supaya kamu lebih enak ngebacanya.
Ehmm, pujian dan kritik nggak akan pernah lepas dari sebuah
karya. Pujian akan membantu meningkatkan rasa percaya diri
Win, sedangkan kritikan akan membantu Win meningkatkan mutu
tulisan. Karena itu, Win mengharapkan komentar dari pembaca
sekalian. So, Win tunggu yah komentar kalian! 

Terimakasih

Anissa ’Win’ Salsabila

vi | Hot Chocolate Love


Hot Chocolate Love
Thank's to
:

Hari-hari yang berat dan penuh tantangan di pulau orang akan


sangat menghambat pembuatan teenlit ini tanpa bantuan dan
motivasi dari mereka. Terima kasih yang tak terhingga buat :
~ Allah SWT, terima kasih untuk segala kesempatan dan inspirasi
yang KAU berikan pada Win. Tanpa campur tangan dan sabdaMU,
semua kesempatan ini adalah mimpi belaka... Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah...
~ Nabi Muhammad SAW, lelaki idaman setiap wanita, teladan
terindah di muka bumi. Tenteramlah engkau di sisi Tuhanmu
dengan nasyid yang dipersembahkan para malaikat khusus
buatmu...
~ Mama dan Papa, sepasang kekasih paling aneh di muka bumi.
Win persembahkan karya ini sebagai kado ultah pernikahan
yang ke-21. Terimakasih untuk seluruh pelajaran yang enggak
Win terima di sekolah maupun di kampus...
~ Tita & Lia, my sweet sista... Tengkyu buat semua tawa dan tangis
yang penuh kebersamaan. Mbak Tita jangan suka bikin nangis
Adek Lia yaah..
~ Abang & Shogun merah - B 7087 UF, trimong kase’h berayeuk
untuk semua waktu dan kesabarannya buat nungguin adek bikin
teenlit ini. Kapan-kapan keliling Sumatera berani gak?! Lon gala’
gata...

Hot Chocolate Love | vii


~ Keluarga besar Karbi Raharjo & Wiro Sandiko, matur nuwun
buat semua dukungan dan kehangatan kasih sayangnya. Buat
bude Mami dan bude Kartini, jangan bosen sama Win yah...
~ Keluarga besar dr. Adi Teruna Effendy & dr. Yekti Hartati, Mas
Adin & Mbak Debby, Win tunggu keponakannya yah... 
~ Lombok island, Ampenan city, & SMUN 2 Mataram, pulau kecil
yang ’Subhanallah’ banget!!! Tempat-tempat yang bersejarah
dan membentuk sebagian kepribadianku setelah aku merasa
dewasa...
~ Bogor, IPB, Fahutan, & Community of Forest Product Technology
41. Hatur nuwun buat hujan benerannya, hujan kritikannya,
hujan pujiannya, dan buat dukungan dari temen-temen semua
yang bikin Win terharu (beneran!). Thanx udah mau baca tulisan-
tulisan Win...
~ Bukan KAMU!!! Teen-ers yang udah baca karya Win. Thanx
banget yah... Ditunggu masukannya lho...

viii | Hot Chocolate Love


Daftar Isi

Special Teenlit 4 U ... | iv


Thank's to | vii
Gue, Dyera Alamanda… | 1
Hallo, Ini Fandy yah...?! | 15
Uups… Cowok Itu…!! | 25
Irvan Bilang Sayang | 43
Ketika Saatnya Memilih | 59
Arti Sebuah Dukungan | 75
Mom’s Love Story | 89
Hasan, Where Are You?? | 97
Afwan Ukhti, Saya Hasan… | 105
Begitu Banyak Kebetulan | 123
Rani, Maafin Gue… | 131
Pengakuan | 139
Ekspedisi Gunung Rinjani | 147
Pulang ... | 159
Sebuah Kehangatan Cinta dalam Secangkir Cokelat | 175

Hot Chocolate Love | ix


x | Hot Chocolate Love
Gue,
Dyera Alamanda…

Sepasang tongkat, kaki terbalut perban yang masih basah oleh


darah, kacamata silinder, dan tas ransel warna hitam berukuran
tanggung. Ia tampak begitu repot untuk membawa dirinya yang
cukup tambun. Nggak ada yang istimewa dari Irvan. Satu-satunya
alasan yang bikin kamu bakalan tertarik sama cowok ini adalah
keadaannya yang serba payah saat itu (kalau nggak bisa dibilang
cukup mengenaskan). And please…, kamu jangan pernah ngetawain
atau bahkan ngerasa kasihan sama aku setelah kamu tahu kalau
ternyata aku adalah pacarnya.
Kamu pasti tahu hal ini kalau kamu setidaknya sudah berumur
enam belas tahun, atau bahkan kurang dari itu, yaitu saat kamu mulai
merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Apa yang terbayang
di benakmu sebagai remaja berusia enam belas tahun kalau ditanya
tentang pacar ideal? Cakep, pinter, keren, atletis, terkenal, dan
seterusnya... dan seterusnya. Aku yakin, pasti bakalan ada seribu
satu macam kriteria di benakmu. Siapa sih yang nggak mau punya
pacar seorang ketua OSIS, pemain band, juara kelas, pemain basket,
artis, coverboy, dan seterusnya... dan seterusnya.

Hot Chocolate Love | 1


See..! Bahkan kamu tentu akan merasa sebagai cewek paling
berbahagia saat kamu berhasil merebut hati mereka, ya kan? Kamu
boleh aja bilang enggak, tapi kamu pasti nggak akan memungkiri
kalo kamu tentu pernah membayangkan –sekedar membayangkan,
nggak lebih- hal itu terjadi padamu. Kamu tentu akan merasa bahwa
tatapan iri yang terpancar dari mata cewek-cewek di sekitarmu saat
kamu berjalan dengan cowokmu -yang punya seribu satu macam
kelebihan itu- adalah tatapan mata yang akan membuatmu merasa
sebagai cewek yang menyandang predikat “Bukan Perempuan
Biasa”.
By the way, nggak semua cewek ternyata punya pandangan
seperti itu. Di belahan dunia mana pun, selalu saja ada cewek yang
menyandang predikat “Makhluk Aneh” predikat yang melekat
(mungkin) karena dia terlalu kuper, nggak fashionable, nggak ikutin
trend ini itu, dst…dst... Dan salah satu cewek yang disebut “Makhluk
Aneh” itu adalah aku. Me and my stupid brain. Itu kata yang paling
tepat yang pernah kudengar dari Gendis, sahabatku. Tepat? Yups,
tepat banget!!! Tapi aku nggak pernah marah untuk julukan yang
diberikannya padaku itu. Angry for what?
Hey, what happen with me sampai sahabat-sahabatku pun
memberi julukan yang begitu menakutkan buat didengar sama
“cewek normal” itu? OK, kamu pasti tau dong, kalau aku sangat
memenuhi kriteria sebagai “Makhluk Aneh” itu. Walaupun pada
awalnya kamu bisa bilang kalau aku ini cewek yang normal banget,
tapi pada akhirnya kamu pasti nggak bakal heran lagi kenapa aku
punya julukan itu. Pertama, aku cewek super aktif di sekolah. Aku
wakil ketua OSIS, sekretaris paskibra, pemimpin redaksi majalah
sekolah, gak pernah keluar dari tiga besar juara umum di sekolah,
pemain inti tim basket sekolah. Aku juga nggak pernah ketinggalan
dari yang namanya trend fashion. Normal banget kan? Aku nggak

2 | Hot Chocolate Love


mau bilang kalau aku cantik atau punya body proporsional dengan
tinggi 168 cm dan berat 54 kg. Buatku itu nggak penting karena
cantik itu sifatnya sangat relatif. Cuma… kadang aku sering bingung
kalo setiap ada undangan ulang tahun, selalu ada selusin cowok
dengan seribu satu kelebihan yang menawarkan diri buat nemenin
aku.
Dan dengan semua kelebihan yang kumiliki itu, tentunya nggak
susah dong buat ngedapetin satuuu aja cowok yang keren. Yeah, dan
ternyata aku memang memilih Irvan yang kemudian membuatku
diberi julukan sebagai ”Makhluk Aneh” sama temen-temenku.
Aku terlalu sempurna??? Ah, nggak juga. Dalam hal percintaan,
aku nggak terlalu beruntung. Aku belum pernah ngerasain cinta
pertama. Kata temen-temenku, aku terlalu konservatif. Aku kuno.
”Masa ciuman aja belum pernah? Payah!” itu komentar temen-
temenku. Tapi ya itulah aku. Jangankan dicium, dirangkul cowok aja
nggak pernah! Karena aku lebih percaya sama kata Mama. Karena
aku yakin, nggak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya.
Kata Mama, ciuman pertama itu hanya buat suami. Keperawanan
itu nggak cuma diukur dari sobeknya selaput dara, tapi juga dari
keperawanan anggota badan kita, pernah dijamah sama cowok atau
nggak. Huaaa, kok jadi serius gini sih?!
Yeah, aku ini manusia biasa. Fisik aja kayaknya bukan ukuran
kesempurnaan seseorang deh. Selain kurang beruntung dalam hal
percintaan, aku ini orangnya susah bilang ’enggak’. Aku gampang
terbawa suasana. Aku gampang percaya sama orang. Aku gampang
kasihan. Aku nggak tegaan. Aku ceroboh, suka terburu-buru. Dan
satu penyakit parah yang susaaaah banget dihilangin, aku pelupa!
Dua kali STNK motorku hilang gara-gara aku lupa naruh dimana.
Sekali dompetku hilang. Sekali aku telat dateng ujian sampai
setengah jam gara-gara aku lupa jadwal ujian. Pernah aku syok

Hot Chocolate Love | 3


berat waktu pulang sekolah dan enggak nemuin motorku di tempat
parkir. Dan setelah capek keliling sekolah buat nyari itu motor, aku
baru inget kalau ternyata memang hari itu aku nggak bawa motor.
Dan udah nggak terhitung berapa kali aku pernah pulang ke rumah
setelah sampai di sekolah hanya buat ngambil tugas yang ketinggalan
di meja belajar.
Ah iya, nama lengkapku Dyera Alamanda. Panggil aja Dee. Arti
namaku? Agak repot buat dijelasin, tapi nggak ada salahnya buat
ngejelasin sama kamu. Nama itu pemberian Papaku. Sejarahnya,
Dyera diambil dari nama ilmiah pohon jelutung (jangan sekali-kali
bilang Jeng Lutung!), Dyera costulata. Maksud Papa ngasih nama
itu, biar kulitku putih, biar hatiku putih bersih, biar gigiku juga putih.
Karena pohon jelutung itu, kayunya berwarna putih bersih (ssssttt...
yang sebenernya, kayu jelutung itu kuning keputih-putihan, dan itu
udah termasuk putih untuk ukuran warna kayu). Dan Alamanda,
diambil dari nama bunga Alamanda cathartica. Konon, waktu Mama
lagi hamil aku, Mama suka banget sama bunga itu. Satu hal yang
nggak bisa aku percaya adalah cerita aneh Papa. Katanya, aku dulu
susah lahir. Dokter udah mutusin buat operasi caesar. Antara sadar
dan enggak, Mama terus-terusan bilang ”Alamanda... Alamanda...”.
At least, setelah Papa bawain bunga alamanda buat Mama, ternyata
bayi itu langsung keluar tanpa menunggu sampai lima menit. Yeah,
akhirnya namaku jadi Dyera Alamanda. Bagus nggak??
Aku sekolah di SMU Metro Alam Jakarta Pusat, kelas dua.
Umurku enam belas tahun dan udah menstruasi sejak umur tiga
belas tahun. Udah tiga bulan belakangan ini aku menjabat sebagai
wakil ketua OSIS. Aku ikut ekskul paskibra. Dan inilah kegiatan yang
bener-bener menguras keringat, waktu, dan pikiranku. Totalitas.
Kekompakan dan persaudaraan. Paskibra sudah jadi bagian hidupku
selama hampir dua tahun belakangan ini. Emang melelahkan, tapi

4 | Hot Chocolate Love


kadang itu bikin aku bangga. Karena aku ngerasa jadi kelihatan
lebih tangguh aja dari cewek laen (narsis!).
Aku suka maen basket. Itu semua gara-gara Rani suka nitip
bola basketnya di rumahku. So, mau nggak mau, tanganku gatel
juga buat coba-coba masukin itu bola ke keranjang bajuku yang
kebetulan bentuknya bulat. Dan hobiku nge-drum, yang dulu bikin
Mama marah karena tutup panci suka penyot sendiri, sekarang
membuahkan hasil. Aku, Memey, Rani, sama Gendis bikin grup
band. Bukan buat cari duit, tapi cuma buat ngilangin stres.
Aku pemimpin redaksi majalah sekolah. Namanya Microsoft,
singkatan dari Media Creativitas, Komunikasi, dan Informasi (ya
ampun, pliiss, jangan bilang kalau nama dan kepanjangannya
itu terkesan ’maksa’ banget yah?!). Mungkin karena nilai Bahasa
Indonesia-ku selalu dapat sembilan. Dan aku pernah bikin satu
karya tulis yang masuk sepuluh besar tingkat nasional.
Aku selalu masuk tiga besar juara umum di sekolah. Dan ini
sebenernya bukan suatu kebanggaan. Cerita yang sebenernya
adalah, aku duduk di samping temen sekelasku yang so clever dan
nggak pernah turun dari tahta juara umum satu di sekolahku. Dan
cerita selanjutnya, kamu pasti udah bisa nebak dong?! Yeah, aku
nyontek dia! Eits, jangan mikirin yang jelek-jelek dulu dong... Itu
cuma berlaku buat pelajaran tertentu aja kok (khususnya pelajaran
PPKn). Selebihnya, aku berani suer, sisanya adalah hasil jerih
payahku sendiri. Sebenernya malu-maluin banget buat diceritain,
tapi memang aku bukan tipe orang yang suka bo’ong. Dan pliisss,
jangan bilang sama Mama en Papaku tentang hal ini. Karena mereka
bisa syok berat kalau sampai tahu.
Satu hal yang menambah lengkap kebahagiaanku adalah
keluargaku yang indah banget! Eh, bukan cuma pemandangan aja
lho yang bisa dibilang indah. Aku nggak tahu lagi harus gimana buat

Hot Chocolate Love | 5


ngungkapin kalau aku seneng banget punya Mama n Papa yang lucu
n nggak kalah ABG dari kita. Kupikir mereka dulu nggak sempat
pacaran sebelum nikah, tapi ternyata enggak juga tuh! Mereka
bahkan pacaran selama lima tahun (walaupun cuma lewat surat)
sebelum akhirnya mengikat janji di depan penghulu. Mamaku itu
cantik banget, sedangkan Papaku itu kalau dibilang cakep... ehm,
jauh! Tapi kalau Papa dibilang jelek, juga nggak jelek-jelek amat. Yah,
kalau wajah Papaku dinilai pakai angka antara 1 sampai 10, nilai Papa
sekitar 6,5-lah. Jadi, pas Mama nikah sama Papa, banyak banget tuh
fans Mama yang patah hati. Tapi syukurlah, anak-anak Mama sama
Papa terlahir sebagai tiga dara yang manis-manis dan imut.
Aku punya dua orang adek yang nggak pernah rela buat ngasih
aku waktu untuk tenang sebentaaaar aja! Yang pertama namanya
Icha, umurnya 14 tahun, SMP kelas tiga. Dan sebelnya, temen-
temenku selalu ngebandingin aku sama Icha. Aku inget kata Yudhi
waktu pertama kali ngeliat adikku, ” Ck...ck...ck... kalau adikmu
dilihat dari helm yang kacanya item aja udah keliatan cantik, gimana
kalau dilihat langsung ya?!” Yeah, emang sih, walau udah pakai
jilbab, Icha itu tetep kelihatan cantik... Tapi juteknya itu lho, bukan
main! Dan herannya, dia cuma jutek sama cowok-cowok doang
(termasuk sama temen-temen cowokku). Kadang aku heran sama
Icha, dia itu seleranya aneh. Dia lebih suka sama cowok-cowok alim
yang celananya dinaikin sampai atas mata kaki. Yang kalau jalan
selalu nunduk dan nggak pernah mau ngelihat cewek. Aneh kan?!
Nah, anggota tiga dara yang satu lagi namanya Shifa. Umurnya
masih dua setengah tahun, dan lagi seneng-senengnya belajar
ngomong. Dia ini sebenernya kado buat aku sama Icha, karena
kehadirannya emang nggak disangka-sangka. Udah gitu, Mama
sempat pendarahan hebat waktu ngelahirin Shifa. Pokoknya, Shifa
itu punya cerita sendiri deh! Mulai dari Mama yang sakit-sakitan

6 | Hot Chocolate Love


waktu mulai hamil, sampai terakhir ya pendarahan itu tadi. Heran,
mau bawa rejeki apa sih itu anak?!
Aku punya tiga sahabat yang sekelas denganku. Memey, Gendis,
dan Rani. Memey itu imut abis! Rambutnya lurus, badannya kurus,
mukanya tirus, hidungnya pesek, item manis, n setia kawan banget.
Aku punya hobi yang sama seperti dia, pecinta alam. Sejak aku ikut
ekspedisi ke gunung Gede Pangrango, aku jadi jatuh cinta sama
olahraga alam bebas itu. Walaupun Memey itu paling kurus diantara
kami berempat, tapi dialah yang paling kuat.
Ngomongin tentang Gendis berarti harus ngebayangin cewek
tomboy dengan rambut gondrong yang jago beladiri. Matanya sipit,
kulitnya putih bersih, dan kalau ketawa matanya nggak kelihatan.
Sahabatku ini gampang banget naik darah, tapi dia nggak akan
segan buat minta maaf kalau dia (ngerasa) bersalah. Walaupun
tomboy, tapi diantara kami berempat, Gendis adalah yang paling
pinter masak. Karena waktu SD dulu pernah jadi dokter kecil, dia
sabar banget ngurusin aku kalau pas lagi sakit.
Rani adalah atlet sejati! Dia adalah kapten tim basket cewek di
sekolah dan klubnya. Jangan tanya tentang pengalamannya masukin
bola ke keranjang, karena dia bisa keliling kota di Indonesia berkat
olahraga rebutan bola ini. Nggak cuma basket, Rani juga gesit maen
bulutangkis (walau untuk olahraga ini dia cuma jadi atlet tingkat
sekolah). Volley, tenis meja, sepak bola, kasti... Aduh, pokoknya dia
bisa semua deh!
Kami berempat punya basecamp. Kalau salah satu di antara kami
ada masalah atau lagi sedih, atau lagi pengen curhat, biasanya kami
berempat nginep di basecamp. Yang dibilang basecamp itu adalah
kamar berukuran 8x6 meter yang ada di rumah Memey. Semua yang
ada di dalam basecamp itu berisi pernak pernik kami berempat. Dan
biasanya basecamp itu selalu ramai setiap malam Minggu.

Hot Chocolate Love | 7


Aku sekolah di SMU Metro Alam yang keren banget. Kupikir, ini
satu-satunya sekolah keren yang ada di Jakarta. Yang aku suka dari
Metro Alam adalah kegiatan mendaki gunung yang diadakan tiap
tiga bulan sekali. Semua murid Metro Alam hukumnya wajib untuk
ikut kegiatan ini. Percaya atau enggak, tapi nilai jungle survival*
saat naik gunung bisa mempengaruhi nilai rapor di sekolahku.
Satu dari banyak hal yang aku suka dari sekolahku adalah
ruang kelas yang nyaman. Ruang kelas itu diatur sedemikian rupa
sampai-sampai kamu bakalan ngerasa seperti sedang berada di
tengah taman yang sejuk. Nggak ada white board atau spidol karena
di tengah kelas ada satu monitor berukuran 42 inchi yang biasa
digunakan sama guru buat ngejelasin pelajaran. Masing-masing
kelas berukuran 15x25 meter yang menampung sekitar 25 siswa di
dalamnya. Jumlah seluruh ruang yang ada di Metro Alam adalah
12 ruang kelas. Kelas satu terdiri dari tiga ruang kelas yang masing-
masing kelasnya diberi nama berdasar nama pohon. Kelas Santalum
album (cendana), kelas Swietenia (mahoni), dan kelas Tectona
grandis (jati). Sedangkan kelas dua yang juga terdiri dari tiga ruang
kelas, masing-masing kelasnya diberi nama berdasar nama gunung
atau puncak gunung. Kelas Mahameru, kelas Jayawijaya, dan kelas
Tambora. Kelas tiga yang juga memiliki tiga ruang kelas, diberi
nama berdasarkan nama benua. Kelas Afrika, kelas Eropa, dan kelas
Antartika. Waktu masih kelas satu, aku duduk di kelas Tectona
grandis. Sekarang, aku duduk di kelas Mahameru.
Dan semua kisah berawal dari sini...

8 | Hot Chocolate Love


SMA Metro Alam, Akhir Januari 2004
Rani punya HP baru. Nokia 6600. Sebelum keinginannya itu
diturutin sama nyokapnya, HP Rani cuma Sony Ericsson T100
yang umurnya udah lebih dari dua tahun. Sebenernya, nyokap Rani
belum mau beliin dia HP. Tapi berhubung sejak insiden HP Rani
berenang di bak mandi jadi bikin Rani susah dihubungi, mau nggak
mau Tante Siska (nama Nyokapnya Rani) harus ngerogoh kocek
buat beliin HP impian Rani. Dan pagi ini, dengan senyum kuda yang
bikin orang sirik, si Rani sok pura-pura nelpon di depan aku.
“Duuuh, kok nggak diangkat sih?!” katanya sambil menekan tiga
digit angka pada Hpnya. Rani meletakkan pantatnya tepat di depan
mejaku.
”Hah! Belum juga gue ngomong, udah ngomel-ngomel...” katanya
lagi dengan muka gusar. Diletakkannya HP yang masih gress itu di
depanku.
”Emang lo nelpon siapa Ran?” tanyaku yang penasaran pada tiga
digit angka yang ia tekan di HP-nya.
”Nelpon elo!” jawabnya singkat dengan senyum licik yang
mengembang.
”Trus? Kok bisa diomelin? Gue aja nggak nerima panggilan...”
tanyaku lagi.
”Awalnya sih nggak diomelin. Tapi pas gue udah nelpon tiga kali,
gue dimarahin” sahutnya sambil nyengir kuda.
”Maksud lo?!” tanyaku semakin tak mengerti.
”Maaf, pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan
ini” ujar Rani sambil menirukan ucapan operator.
”Yeee, itu mah bukan dimarahi kali!” balasku sambil menahan
senyum demi melihat gaya Rani ketika menirukan ucapan operator
itu.

Hot Chocolate Love | 9


”Iya, itu gue belum dimarahin! Pas gue nelpon elo untuk yang
ketiga kalinya, lo tau nggak apa kata operatornya?” tanya Rani.
“Ini orang... Dibilang nggak ada pulsa, kok bandel amat sih! Mbak,
saya cape nih ngomongnya, udah tiga kali diulang lho! Telponnya
dimatiin aja deh Mbak!” sambung Rani menirukan ucapan operator
tadi.
”Ha..ha..ha..ha... Mana mungkin Ran? Ya nggak mungkinlah
dia bilang gitu... Ada-ada aja sih lo...” sahutku tanpa mampu
membendung tawa.
”Bilang aja... lo mau pamer ama gue kalo elo sekarang udah
punya HP baru... Iya kan? Iya kan ?!” desakku pada Rani sambil
mencubit lengannya.
”Aduh,... Iya deh... Iya. Tapi jangan cubit gitu dong, geli nih... Ha..
Ha..Ha.. ampun... kapok..!” ujar Rani sambil tertawa menahan geli.
Aku berhenti mencubit lengannya. Lengan Rani banyak dagingnya,
jadi enak buat dicubit atau sekedar untuk latihan tinju.
”Dee, ini nomer baru gue. Lo catet aja yah, gue belum bisa
misscall. Semalem pulsanya abis buat ngecengin cowok” kata Rani
setelah aku puas mencubit lengannya.
”Hah? Sejak kapan ada cowok mau dikecengin sama elo? Emang
lo ngecengin siapa?” tanyaku penasaran.
”Heemm! Rahasia dulu dong... Nanti kalau Genza sama Meyza
udah dateng, baru gue kasih tau!” jawab Rani dengan lagak sok jadi
orang penting. Huh, mentang-mentang punya gebetan baru! Oya,
kami berempat punya panggilan sayang yang berbeda dari yang
lain. Namaku Dyera, dipanggil Deeza. Rani dipanggil Ranza. Memey
dipanggil Meyza. Dan Gendis dipanggil Genza.
”Meeeey...! Genzaaa....!” panggil Rani pada Memey dan Gendis
yang baru saja datang. ”Cepetan ke sini...” sambungnya sambil
melambaikan handphone barunya pada Memey dan Gendis.

10 | Hot Chocolate Love


”Iiih, pagi-pagi udah pamer!” balas Memey sambil meletakkan
tasnya.
”HP apaan sih? Bangga amat...” ujar Gendis sambil merebut
handphone baru itu dari tangan Rani.
”Aaaaa... Genza... balikin! Bisa berkarat tau!” sahut Rani sambil
berusaha merebut handphone barunya dari tangan Gendis.
”Apa? Berkarat? Hah, HP apaan bisa berkarat? Berarti HP elu
jelek nih...” kata Gendis sambil meletakkan HP itu di atas meja
dengan tatapan seolah tanpa minat. Rani segera mengulurkan
tangan dan merebutnya dengan kecepatan cahaya.
”Elo tuh yang jelek! Makanya gue nggak ngasih pinjem! Weeek...”
balas Rani dengan senyum kuda yang lagi-lagi membuat setiap
orang ingin mencubit kedua pipinya yang bulat itu.
”Udah deh... langsung aja ke pokok permasalahan. Ceritain
tentang kecengan elo dong...” pintaku pada Rani dengan tatapan
penuh harap. Diantara kami berempat, memang akulah yang paling
nggak bisa dibuat penasaran.
”Ehm...ehm.... Jadi sebenernya gini... Gue lagi pedekate sama
cowok. Anaknya lumayan cakep sih! Namanya Fandy, anak kelas
Antartika. Nah, sekarang gue mau minta bantuan salah satu dari
kalian...” jelas Rani.
”Bantuan apa sih Non...?” tanya Memey.
”Gue mau tahu, si Fandy itu bener-bener pengen gue jadi
pacarnya, atau emang dia cuma iseng en termasuk dalam tipe cowok
suka TP alias tebar pesona. So, gue minta tolong sama yang ngerasa
masih jomblo buat ngebantuin misi gue yang satu ini.” sahutnya
mantap sambil melirik penuh arti pada diriku.
Yah, Memey emang udah punya cowok, anak kelas Jayawijaya.
Namanya Widi Forestian. Ayah Widi adalah seorang peneliti yang
bekerja di bidang kehutanan. Sebuah kata Forestian yang terpajang

Hot Chocolate Love | 11


manis di belakang nama Widi selalu menarik buat dibahas kami
berempat. Hanya saja, Widi nggak pernah mau ngasih tahu asal-
usul namanya itu. Jadi kami cuma bisa menduga-duga. Mungkin
nama itu ada hubungannya sama pekerjaan Ayahnya. Dan Gendis,
dia emang nggak pernah ngejomblo gara-gara matanya yang sipit
itu. Banyak cowok yang naksir gara-gara mereka nggak bisa bedain
kapan Gendis ngedipin mata dan kapan dia merem. Berhubung
Gendis punya anugerah berupa mata sipit yang menipu dan
kebetulan wajahnya emang manis, jadi Gendis emang nggak pernah
jomblo. Cowoknya yang paling gress adalah Gandhi, anak kelas
Afrika. Mereka baru jadian dua bulan yang lalu. Tapi kayaknya
Gendis emang serius sama cowok pemalu yang satu ini. Dia bilang,
Gandhi beda sama cowok lain. Gandhi itu nggak neko-neko.
Dan sekarang, aku terpilih sebagai kambing hitam untuk
melancarkan misi Rani. Huaaa... aku ini kan nggak jelek-jelek amat
Ran!
”Okey, jadi gue minta elo buat ngedeketin Fandy. Lo nggak perlu
memperlihatkan wujud asli elo sama dia, karena itu akan sangat
berbahaya buat gue. Jangan-jangan, si Fandy malah naksir sama
elo! Nggak, itu nggak boleh terjadi. Modalnya cuma HP. Lo SMS dia,
bilang aja lo pengen kenalan. Yaaah, gimana caranya, lo tau sendiri
kan? Pokoknya gue percaya sama elo deh! Tenang, lo nggak perlu
beli pulsa buat misi ini. Seluruh dana yang elo keluarin, lo cuma
perlu ngajuin proposal ke gue. Dan uang akan mengalir deras ke
dalam kocek elo. Gimana Dee, elo setuju kan?” jelas Rani panjang
lebar dengan gaya bak seorang atasan memberi instruksi pada anak
buahnya.
”Heeemmm...”
”Dee... ayo dong, mau ya? Demi sahabatmu yang masih jomblo
sejak masuk sekolah kita tercinta ini…” pinta Rani dengan penuh

12 | Hot Chocolate Love


harap. Kali ini dia benar-benar melepaskan gaya pantomimnya. Aku
tahu itu. Dia benar-benar mengharapkan bantuanku. Ah, Rani…

When you are sad.....I will dry your tears.


When you are scared.....I will comfort your fears.
When you are worried.....I will give you hope.
When you are confused.....I will help you cope.
And when you are lost.....And can’t see the light,
I shall be your beacon.....Shining ever so bright.

“Iya deh… Demi Ranza, demi sahabat gue yang udah nggak tahan
jadi jomblo…” jawabku pada akhirnya.
Mata Rani berbinar demi mendengar jawabanku. Dia terlihat
bahagia sekali. Rani memelukku erat, sampai-sampai aku harus
napas pake mulut. Megap-megap kaya’ ikan mas koki di aquarium
rumahku. Untunglah, mungkin karena tahu detak jantungku udah
mulai lambat dan takut jantungku nggak berdenyut lagi sebelum
misinya berhasil, Rani segera melepaskanku.
”Dee, elo nggak kenapa-napa kan? Jangan pergi dulu Dee, misi
gue belum berjalan nih...” Rani panik dengan wajahnya yang lugu
tanpa dosa.
”Haah...haah...haah... Iyaa.. Gue juga belum pengen mati selama
nasi goreng buatan Nyokap gue masih enak...”
”Bagus kalau gitu! Nyokap lo emang nggak rugi punya anak sehat
kaya’ elo. Sekarang cepetan catet nomer HPnya Fandy gih, udah
mau masuk niiy...” kata Rani tak sabar. Hah, dasar itu anak! Segera
kukeluarkan handphone dari dalam tas, ”Bacain nomernya Ran...”
”Enol..delapan..satu..dua..enam..sembilan..satu..enam..empat...
lima..enam..”

Hot Chocolate Love | 13


14 | Hot Chocolate Love
Hallo,
Ini Fandy yah...?!

Huaaa…. Bisa nggak sih, sehari aja aku bangun tidur dengan
damai??? Kalau kemarin aku bangun gara-gara suara Shifa yang
lagi nangis, sekarang giliran Icha yang kaya’nya nggak bakal
bosen ngebangunin aku setiap jam setengah lima pagi. Hah?! Jam
setengah lima pagi? Ya ampun...! Emangnya dia nggak tahu ya,
kalau semalem aku baru tidur jam setengah tiga buat bikin proposal
acara paskibra?
”Mbak Dee... Bangun... Udah adzan tuh! Cepetan bangun…” ujar
Icha sambil menggoyang-goyang tubuhku agar aku bangun. Kalau
gini, lebih aman pura-pura nggak denger omongan dia aja.
“Mbaaak…” bisiknya pelan di telingaku. Cepat-cepat kututup
telingaku pakai bantal.
”Kalau ada suara azan subuh tapi nggak denger, itu berarti
kupingnya dikencingi sama setan loh! Mau?” bujuknya lagi. Huh,
itu anak nggak ada bosennya!
”Heeemmm... kamu duluan aja... nti aku nyusul...”
”Ya udah kalau gitu. Aku duluan Mbak...” balas Icha. Akhirnya...
nyerah juga tuh anak. Kudengar suara langkah kakinya semakin
menjauh meinggalkan tempat tidurku. Kulirik dari balik bantal,

Hot Chocolate Love | 15


Icha sedang membuka pintu kamarku dan hampir beranjak keluar
ketika...
”Masya Allah!! Kalajengking... Mbak Deeee...” pekik Icha tertahan
dan lari ke tempat tidurku.
”Mana?! Mana kalajengkingnya? Kamu nggak kenapa-napa
kan?” tanyaku. Bagaimana pun juga, naluriku sebagai seorang
kakak bekerja cepat demi ngelihat wajah adikku yang pucat dan
ketakutan.
”Kalajengkingnya di depan pintu Mbak...”
Aku langsung turun dari tempat tidur dengan gagah berani. Icha
di belakangku. Kuambil sapu di sudut kamar dan segera berjalan
ke arah pintu. Kalau masalah kalajengking atau ular, itu udah biasa
buatku. Karena pelajaran jungle survival-ku selalu dapat nilai
delapan atau lebih.
”Mana kalajengkingnya? Nggak ada tuh!” kataku setelah
memeriksa daerah di depan kamarku. Aku menoleh pada Icha, dan
kudapati seulas senyum yang maniiis sekali. 1-0. Satu – Kosong.
Aku kena tipu!! Itu pasti akal-akalan Icha supaya aku cepet bangun!
Bete...
”Mbak Dee sayang... Shalat yuk!” ajaknya dengan tatapan penuh
kemenangan sambil merangkulku.
Dan aku pasrah dalam pelukan adikku yang nggak pernah bosan
mengusikku di setiap pagi itu...

16 | Hot Chocolate Love


Drrrt... drrrt...

From : 08126916456
Gmna klw qt ktemuan aj? Lo skul dmna?
Replay? Yes
Lho?? SMS dari siapa ini? Ah iya, semalam kan aku udah
menjalankan misi Rani. Waks! Berarti Fandy ngebales SMS gue
nih… Ya ampun maaak, masa baru kenal semalem aja udah ngajakin
ketemuan? Gampang amat tuh cowok... Payah nih!
“Mbak Deeee… aku udah selesai mandi nih! Kalau mau mandi
cepetaaan..!” teriak Icha dari arah kamar mandi. Kali ini aku bener-
bener tutup telinga. Kulihat jam berbentuk masjid yang menghiasi
meja belajarku. Tenang… masih jam setengah enam. Kutekan
keypad HP-ku dan membalas sms Fandy.

To
: 08126916456
Gak maw ah! Hari ini gw sibuk. Kapan-kapan aja yah… 
Send? Yes

”Mbak Dee, cepetan mandi! Tuh liat, jam berapa sekarang?”
desak Icha. Kali ini, aku nggak mau dengerin apapun kata dia.
Nonsens. Aku ngantuk banget... Lagian Metro Alam kan masuk jam
delapan!
”Berangkat sama Papa aja ya Cha? Dee ngantuk buangedz nee...
Besok deh... Dee anterin kaya’ biasa.” kataku antara sadar dan
enggak. Icha sekolah di SMP Az-Zahra, SMP Islam paling ngetop
di Jakarta Pusat. Semua muridnya cewek. Satu kelas cuma terdiri
dari lima belas orang. Herannya, nggak ada tuh anak Az-Zahra

Hot Chocolate Love | 17


yang nggak pinter. Udah empat tahun belakangan, SMP Az-Zahra
selalu jadi SMP unggulan. Selain biayanya murah, pergaulan dan
akhlaknya terkontrol dengan baik. Dan satu lagi, semua muridnya
pake jilbab. Hah, nggak gerah tuh?!
Drrt... drrrt...
From
: 08126916456
Yawdah kalo sibuk. Tapi gw pengen ktemu elo. Lo tinggal bilang
nma skul elo, biar gw yg kesana nyari elo. Gmana?
Replay?

Hiks... baru sepuluh menit tidur, udah diganggu lagi... Ya Allah,


beri aku sedikit waktu untuk tidur nyenyak, satu jam aja ya Allah...
Dan sms-nya? Ya ampun, ngebet amat nih cowok?!

Yes
To
: 08126916456
Ehm... ada dech! Cari tau dunx! ;p
Send? Yes

Kalau aku tanggapin, pasti Fandy bakalan sms terus, dan


akhirnya aku nggak bisa tidur. Jadi... Sorry Ran, misi elo harus
ditunda dulu. Aku harus matiin HP dengan amat sangat terpaksa.
Ngantuk... zzzz...zzz....zzzz...
“Deeee..!! Tolong Mama sebentar dong Saaay...!” teriak Mama
dari dapur, SEPULUH MENIT setelah handphone aku matiin
dengan harapan biar aku bisa tidur dengan tenang. Huuuaaaaa.....
gimana ini?! Aku pengen tiduuur....

18 | Hot Chocolate Love


“Dee, tolong jagain Shifa bentar yah! Mama mau bikin sarapan
buat Papa sama Icha” pinta Mama sambil menggendong Shifa dan
meletakkannya di sampingku.
“Iya Ma...”
Aku jadi semakin lemas demi melihat bola mata Shifa yang
bening dan tersenyum ceria. Di tangannya tergenggam pensil warna
dan sehelai kertas. Mama segera meninggalkanku, menuju ke dapur,
dan meneruskan pekerjaannya dalam damai. Sementara aku??
“Di...Di... uyis...uyis...” rengek Shifa tak lama kemudian.
Maksudnya, Dee...nulis...nulis...
“Iya Sayang, Shifa mau nulis apa?”

SMU Metro Alam, 08.00 WMA (Waktu Metro Alam)


Pak Agung masuk ke kelas dengan penuh rasa percaya diri.
Kedua tangannya kerepotan membawa diktat kimia yang lumayan
tebal itu. Di bibirnya tersungging senyum manis. Seperti bermaksud
menebar jala untuk menjerat murid-muridnya dan menjadikan
salah satu diantaranya sebagai pendamping hidup. Ah, guruku
bujang, guruku sayang...
”Dee, gimana si Fandy?” bisik Rani di tengah pelajaran kimia.
“Tau..!”
“Dee... ayo dong ceritain!” desaknya lagi.
Kujawab desakan Rani itu dengan membulatkan kedua mataku
lebar-lebar. Kedua alisku bertaut dan bibirku melengkung ke bawah.
Aku lagi nggak mau diganggu. Aku paling suka pelajaran kimia, dan
kalau Rani menggangguku, mungkin karena dia lupa sama hal itu.
Drrrt...drrrt...

Hot Chocolate Love | 19


Busyet! Siapa lagi sih ini?! Kayaknya cuma sms, biarin aja deh!
Waktu berlalu. Bel istirahat berbunyi.
Rani menghampiriku dengan penuh rasa penasaran. Nggak
lama, Memey dan Gendis ikut bergabung. Dengan tatapan setajam
silet yang mereka tujukan padaku, aku udah tahu maksud mereka.
”Iya deeeh, gue cerita...” sahutku akhirnya.
Mereka masih belum membuka mulut. Dan itu tandanya, aku
nggak perlu banyak kata pengantar lagi karena mereka udah nggak
sabar. Aku lantas menceritakan pada mereka bagaimana aku mulai
SMS. Dan sampai SMS terakhir yang aku kirim buat Fandy tadi pagi.
”Kalau gue boleh ngambil kesimpulan nih ya, menurut gue, Fandy
itu gampang banget dikecengin. Masa baru semalem kenalan aja,
dan itu pun cuma lewat sms, Fandy udah ngajak gue janjian. Yang
bener aja....”
”Eits, jangan salah Dee. Penyelidikan baru berjalan 1 x 24 jam,
jadi nggak bisa seenaknya ngambil kesimpulan gitu dong!” sela
Gendis.
”Emang elo mau nyelidikin berapa lama Ndis?” tanya Memey.
”Yaaah, minimal 3x24 jam laaah!” sahut Gendis nggak mau
kalah.
”Semua sih terserah Deeza. Dia masih sanggup apa enggak...”
ujar Memey.
”Loh, kok gue?! Gue kan cuma anak buah. Bosnya kan Rani...
Kalau gue sih, fine-fine aja, asal duit proposal pengajuan dana gue
tetep dipenuhi sama bos Rani, hehehe..”
”Gimana tuh Ran? Jangan bengong aja...” kata Memey.
”Ehmmm, gimana kalau tambah sehari lagi?” pinta Rani sambil
matanya terus menatap ke arah kelas Antartika. Yeah, tentu saja...
Ada Fandy and the gank sedang duduk-duduk di kursi depan
kelasnya.

20 | Hot Chocolate Love


Drrrt... drrrt... drrrt... drrrt... drrrt...
Ups, ada telpon. Aku jadi lupa kalau tadi ada sms yang belum
sempat kubuka. Hey! Ini kan nomornya Fandy??!!!
”Ran... Rani.... Fandy nelpon gue nih, diangkat ga?”
”Angkat aja!! Angkat!!!” seru Rani bersemangat sambil sekali-
sekali memandang ke kelas Antartika di seberang. Ada Fandy
dan sebuah HP yang menempel di telinganya. Gendis dan Memey
menahan napas.
”Halo... Assalamu’alaikum...”
”Waalaikum salam... Ini Intan yah?” tanya suara dari seberang.
Intan? Hihihi... Emang cuma cowok yang bisa bo’ongin cewek?
Kena lo...!
”Ehm, iya... Ini Fandy yah?”
Sengaja kuaktifkan loudspeaker di HP-ku biar Rani, Gendis, dan
Memey bisa mendengar percakapan kami.
”Yups. Eh, kamu sekolah dimana sih?”
”Adaaaa ajah! Emang kenapa?”
”Nggak papa sih, kali aja kamu nggak keberatan kalau entar
pulang sekolah aku jemput. Kamu sibuk banget yah?”
Busyeeet! Ganas amat ni cowok! Mata Rani sampai hampir copot
karena kaget. Gendis dan Memey berusaha menenangkan Rani.
”Yaaaa lumayan sibuk sih. Kamu pasti lagi sibuk belajar buat
ujian kan?”
”Iya sih, tapi udah lumayan kok. Eh, besok malem Minggu ada
acara nggak?”
Hah?! Sekarang giliran Memey yang tersedak. Wajah Rani
memerah, sedangkan Gendis masih stay cool dan menyuruhku
untuk tetap meneruskan sandiwara itu.
“Ehhhm, nggak ada acara sih. Paling cuma nonton tivi di
rumah...”

Hot Chocolate Love | 21


“Mau jalan sama aku nggak?”
”Jalan? Jalan kemana? Lagian kalau aku jalan sama kamu,
emangnya nggak ada cewek yang cemburu tuh?”
”Ya ampun... tenang aja! Aku kan jomblo...”
”Emang nggak ada cewek yang lagi PDKT ma kamu? Lagian,
kenapa kamu milih aku? Kamu kan belum pernah ngeliat aku, kalau
aku jelek gimana?”
”Nggak ada tuh. Ngak ada cewek yang lagi PDKT ma aku. Kalau
aku pilih kamu, itu karena aku yakin kalau kamu pasti cantik. Suara
kamu aja udah bagus, apalagi orangnya...”
Huaaaaa.... dasar cowok gombal!! Sotoy!! Sok tau!! Kulihat mata
Rani mulai berkaca-kaca, sedangkan wajah Gendis udah merah
karena nahan marah. Memey geleng-geleng kepala sambil ngeliatin
Fandy yang nggak sadar kalau sedang diperhatiin dari jauh.
”Ehmm... gimana yah? Aku pikir-pikir lagi deh. Oya, udah dulu
ya, aku mau ngumpulin tugas nih. Assalamu’alaikum...”
”Okey.... daaa...” sahut suara dari seberang.
Huh, salamku gak dibalas!
Kupandangi sahabatku satu per satu... Rani dengan matanya
yang berkaca-kaca, Memey dengan wajah bengong penuh
ketidakpercayaan, dan Gendis dengan luapan amarahnya. Oh dear,
kayaknya ntar malem harus nginep di basecamp nih....
”Ran, sabar yah... Masih banyak cowok laen kok! Untung dia
belum jadi pacar elo, ya kan?” kata Memey.
Yeah, aku jadi inget kata Icha. ”Mbak Dee... semua cowok itu
penjahat kalau belum jadi suami kita. Se-alim apapun cowok,
dia pasti punya hawa nafsu. Makanya, jangan mau pacaran! Rugi
Mbak... Kali ini percaya ama Icha deh..” nasehatnya waktu itu dengan
gaya sok dewasa yang kubalas dengan sebuah cibiran. Kadang aku

22 | Hot Chocolate Love


mikir, yang dilahirin duluan itu siapa sih? Aku apa Icha? Heran....
Tuh anak kayaknya lebih banyak makan asam garam kehidupan
daripada aku!!!
Bel masuk berbunyi. Rani masuk kelas dengan lunglai, tapi nggak
lama kemudian dia udah ceria seperti biasa. Walau begitu, masalah
Fandy adalah hal paling menarik buat dibahas entar malem....

Hot Chocolate Love | 23


24 | Hot Chocolate Love
Uups…
Cowok Itu…!!

Sweet Home, 16.45 WSH (Waktu Sweet Home)


Fiuh... akhirnya nyampe rumah juga. Rumah lagi sepi. Mama,
Papa, sama Shifa pergi weekend ke Puncak sampai Minggu pagi.
Huh, serasa pengantin baru aja! Di rumah cuma ada aku sama Icha.
Sehari penuh kejutan udah berlalu. Dan besok hari Sabtu, Metro
Alam cuma masuk setengah hari, dari jam delapan sampai jam dua
belas. Nggak ada PR, pelajarannya juga nggak berat. Agama, PPKn,
Bahasa Inggris. Yup, buku pelajaran udah disiapin. Mandi dulu
ah.....
“Mbak Dee, ada SMS tuh!” kata Icha setelah aku selesai mandi.
“Dari siapa?”
“Nggak tau, barusan HP Mbak Dee bunyi”
“Yawdah, tengkyu yah!”
Kuhampiri handphone yang tergeletak di atas meja belajar.
Ada tiga sms yang belum terbaca. Ah iya, lagi-lagi aku lupa kalau
pas pelajaran kimia tadi ada sms yang belum sempat kubaca. Sms
pertama...

Hot Chocolate Love | 25


From : 08175781309
Haaai.. hallooow...
Ada orang nggak sih??
Kok sepi?
Uuupss.. ada cewek cakep rupanya! 
Replay? No

Siapa sih? Aku nggak pernah kenal nomor ini deh! Paling juga
orang iseng. Sms kedua…

From : My Best Rani


Dee, nti mlm jd nginep di basecamp kan?
Qt tunggu yach!
Replay? Yes

Oh iya, aku lupa kalau nanti malam mau nginep di basecamp.

To : My Best Rani
Ran, sori bgt. Mlm ini gw ga bisa nginep
di basecamp. Bonyok gw ke Puncak mpe hr
minggu. Gw cm ber-2 ma Icha. So, i must
stay at home and save all. C u 2morrow
Send? Yes

Sms ketiga…

From : 08175781309
Assalamu’alaikum mbaak..
Kok sms sy td pg ga dibls? Ga punya pulsa?

26 | Hot Chocolate Love


Kali ini hrs djwb ya Mbak, mnjawab salam
hukumnya wajib loh... :-P
Replay?

Uuhmm, siapa sih ini? Bales gak yah? Kayaknya orang baek-
baek. Ah, bales aja deh!

Yes
To : 08175781309
Waalaikumsalam...
Send? Yes

Dari kejauhan, kudengar suara adzan. Kulirik Icha yang sedang


sibuk mengerjakan tugasnya. Ehmm, saatnya Dyera beraksi!
"Icha, udah adzan nih. Shalat jamaah yuk!” kataku dengan wajah
semanis mungkin.
Kulihat wajah Icha yang tertegun pas denger aku ngajak shalat
Maghrib berjamaah. “Ya ampun Noon, jangan bengong gitu dong!
Cepetan wudhu!”
“Eh iya…. Iya… aku wudhu dulu yah” ” jawab Icha masih dengan
seribu tanda tanya dan keheranan yang membayang di kepalanya.

Drrrt…drrrt…
Hoooaaaahhhhmm… huuuh, jam berapa sih ini? Hah?! Baru jam
sepuluh malem?! Aku kira udah jam lima pagi. Perasaan aku tidur
udah lama banget! Siapa sih yang sms malem-malem gini?? Ow,
nomer yang sama kaya’ tadi, 08175781309.

Hot Chocolate Love | 27


”Met bobo, gudnite en switdrim...”

Hey, siapa sih ini? Aku kan paling nggak bisa dibuat
penasaran...

”Cuma mau bilang itu? Kamu siapa sih?”

Tiga menit kemudian...

”Ya. Cm maw blg itu. Kamu Mona kan?”

Hah? Mona?? Siapa lagi si Mona itu? Udah ganggu tidur, salah
sambung pula.. Huh!!

“Elo hrs tanggungjwb. Gue udh tidur dr td, en Cuma gara2 sms
elo yg ga pnting itu, gw jd bangun!!! En satu lg, GW BUKAN
MONA!”

“Klw gt aku minta maaf.Kamu msh ngantuk?”

“Nggak!!”

“Yawdah, kebetulan! Qta ngobrol yuk”

“Gw ga punya banyak pulsa”

“Yawdah, aku isiin pulsa dr sini. Tunggu sepuluh menit ya”

28 | Hot Chocolate Love


Hari ini hari Sabtu. Metro Alam selalu ramai saat jam istirahat.
Memey sama Rani pergi ke kantin. Aku sama Gendis duduk
berhadapan di kursi depan kelas.
”Ndis, gimana semalam? Jadi pada nginep di basecamp nih?”
“Yo’i. Gue rasa si Rani udah nggak terlalu sedih lagi... Elo sendiri
gimana?”
“Nah, ini nih yang gue mau ceritain. Semalem itu ada cowok yang
sms gue. Anaknya kocak abis deh! Nggak suka gombal kaya’ si Fandy
itu. Saking asyiknya sms-an, gue ampe nggak sadar kalo udah jam
dua belas malem. Gile bo, gue sms-an ampe dua jam!!”
“Emang namanya siapa?”
“Nah itu masalahnya… Gue belum tau namanya. Aneh kan?
Abiiiss, anaknya tuh asyik banget, sampai-sampai gue lupa nanya
nama dia”
“Trus, elo ngasih tau nama elo?” kali ini Gendis ngeliatin aku
dengan mata elangnya yang bikin aku agak takut.
“I… Iyaa… Abis, dia kira gue ini Mona, padahal bukan. Gue juga
nggak tau Mona itu siapa, jadi ya…”
“Udah…udah…” Gendis menyela dengan cepat. ”Elo bikin
kesalahan yang fatal. Gue yakin, elo pasti juga ngasih tau kalo elo
sekolah di Metro Alam, ya kan??!”
“…”
“Nggak usah dijawab. Gue yakin, cowok itu pasti orang suruhannya
Fandy buat nyelidikin siapa sebenernya cewek yang ngaku namanya
Intan. Jadi sekarang, lo siap-siap aja dicari ama Fandy…”
Oh My God!! Ya Allah, iya juga ya… Bener juga apa yang dibilang
Gendis. Kenapa aku nggak mikir sampai ke sana yah??
”Trus, gue sekarang harus gimana dong?”
Ooops, mata Gendis terpana melihat ke arah kanan. Dengan

Hot Chocolate Love | 29


setengah berbisik dia menjawab pertanyaanku, ”Ramalan gue nggak
meleset Dee...”
Pelan-pelan aku ikut menoleh ke kanan, oohh... kudapati tiga
orang cowok berbadan besar sedang berjalan menuju ke arahku.
Dan dua detik berikutnya, jantungku berdetak mungkin lebih dari
dua ratus kali per menit. Hampir copot!! Salah satu diantara mereka
adalah Fandy. Wajahnya nggak senyum sama sekali. Dan dari
kejauhan, matanya sudah menatapku lekat-lekat. Oh My God!!!
”Hai, bisa berdiri sebentar nggak?” kata Fandy setelah sampai di
depan kelasku.
”Saya...??”
”Iya!”
Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku tidak berani menatap
wajah cowok yang tingginya mungkin lima belas centimeter lebih
tinggi dari aku. 183 centimeter. Sekarang aku berdiri satu meter
di depannya. Dan bau parfumnya yang mahal mulai menjamah
hidungku.
”Jangan nunduk. Liat gue...”
Bismillah... kuangkat kepalaku perlahan-lahan sampai mataku
beradu pandang dengan matanya. Huh, mata yang dingin...
”Nah, gitu dong... Kenalin, nama gue Fandy” kata Fandy sambil
mengulurkan tangan kanannya padaku.
Kusambut uluran tangannya dengan ragu-ragu. Dan lagi-lagi
aku menunduk. Aku tidak tahu harus memperkenalkan diri sebagai
Intan atau sebagai Dyera.
”Gue bilang jangan nunduk Non... Entar cantiknya nggak
keliatan...”
Zzzztt...!! Aku merasa tersengat aliran listrik. Huh, nggak sopan
cowok ini!! Segera kutarik tanganku dari genggaman tangannya.
Kulihat Gendis berdiri dan mengepalkan kedua tangannya.

30 | Hot Chocolate Love


“Eh, elo jangan kurang ajar sama temen gue yah!! Dasar playboy
kampung...!” gertak Gendis pada Fandy.
Fandy cuma geleng-geleng kepala. ”Ck...ck...ck..., ada jagoan
juga rupanya di sini.” sahutnya dengan gaya meremehkan.
”Okey, entar gue ladenin. Tapi sekarang, kasi gue waktu buat
ngomong sama cewek yang kemaren ngaku-ngaku namanya Intan
ini, Okey?” kata Fandy dengan gaya yang benar-benar menyebalkan.
Fandy berpaling padaku dan meneruskan pembicaraannya,
“Sebagai hadiah keberhasilan gue karena udah ngebongkar
sandiwara elo, dan sebagai hukuman buat elo, dan karena emang
lo nggak malu-maluin buat diajak jalan, malem Minggu ini lo harus
mau jalan ama gue!”
“Nggak!! Gue nggak mau!!” jawabku tegas.
Hey, aku berani nolak!! Siapa yang ngomong barusan? Aku nggak
percaya kalau yang ngomong itu diriku sendiri.
“Okey kalo gitu. Tapi jangan salahin gue kalau sahabat elo yang
namanya Rani itu akan tetep gue bikin Ge-eR. Gimana?!”
Orang ini bener-bener nggak bisa dikasih hati! Aku nggak mau
jalan sama Fandy, tapi aku juga nggak mau sahabatku dipermainin
kayak gitu. Huh, mentang-mentang punya tampang cakep,
seenaknya mainin perasaan cewek!
“Kalau gue tetep nggak mau, gimana?”
“Nggak papa... Gue suka cewek keras kepala. Kita bisa nge-date
lain kali kok” jawab Fandy dengan mengedipkan sebelah matanya.
Ampun maaak...!!! kali ini aku harus ngakuin, kalau Fandy itu
bener-bener cakep. Tapi sikapnya? Huh, seratus delapan puluh
derajat dari tampangnya.
”Okey, gue balik dulu ke kelas. Kalau elo berubah pikiran, sms
gue aja” kata Fandy sambil membalikkan badannya dan beranjak
pergi meninggalkan aku sama Gendis yang setengah bengong.

Hot Chocolate Love | 31


Semua ini gara-gara cowok misterius tadi malem. Aku pikir dia
orang baek, eh nggak taunya.... Awas kamu yah!!!
Dari kejauhan tampak Memey dan Rani baru datang dari arah
kantin. Aku sama Gendis sepakat nggak akan ceritain peristiwa tadi
sama mereka. Pulang sekolah siang ini aku harus rapat mingguan
OSIS. Abis itu harus ngumpul buat koreksi anggota calon paskibra,
ke percetakan sebentar buat ngasih bahan majalah sekolah yang
mau dicetak, sore maen basket sama Rani buat persiapan turnamen
basket tingkat sekolah.

Sweet Home, 20.00 WSH


”Makanya Mbak, jadi orang nggak usah suka iseng. Sekarang tau
sendiri kan akibatnya...” kata Icha sambil memijit betisku ketika aku
selesai bercerita tentang kejadian di sekolah tadi siang.
Drrrt... drrrt...
Ada sms. Dari siapa nih? Jangan-jangan Fandy.... Huh, ternyata
dari cowok misterius yang nyebelin itu.

“Hi Dee... aku mau minta maaf,kmu psti marah sm aku kan? bls
pliz”

Ya! Aku marah!! Aku bener-bener nggak nyangka kalau ternyata
cowok yang asyik diajak ngobrol semalam itu tega ngebuka
sandiwaraku di depan Fandy. Gak bakal aku bales sms-nya. Tapi
sepuluh menit kemudian,
Drrrt...drrrt...
”Dee... aku bner2 minta maaf & ngerasa bersalah. Jgn diem aj
dong. Bls pliz”

32 | Hot Chocolate Love


Sepuluh menit kemudian...

”Dee... aku hrs gmna biar kmu maafin aku? Tolong, sms ini
dibalas ”

Lama-lama aku nggak tega juga ngebiarin cowok nyebelin itu.


Lagian aku juga risi kalau setiap sepuluh menit dia selalu sms yang
isinya sama.

”Kamu itu sbnernya siapa? Jelasin dengan sejelas2nya!!!”

Lima menit kemudian...

”Namaku Irvan. Klas Eropa Metro Alam. Kmrin Fandy minta tlg
sm aku bwt cari tau syp Intan itu sbnernya. Aku ga tau kalo
akhirnya ky gni. Aku bner2 nyesel”

”Ow gt. Elo bangga amat jd org suruhan?!!”

”Tserah kmu mau ngomong apa Dee. Aku gak akn skit hti. Aku
tau aku slh”

”Elo udah tau yg namanya Dyera itu orangnya kaya apa?”

”Ya. Aku merhatiin kmu dr klas Eropa waktu Fandy td nyamperin


kmu. Kmu ga pntas diperlakuin Fandy kaya td siang”
”Rese’ ih!! Gue kan blm taw elo kaya apa? En mslh td siang, elo
ga usah sok kasian sm gw!! Mending elo ajarin Fandy sopan
santun en gmna cara perlakuin cewe!! Pulsa gw abis”

Hot Chocolate Love | 33


Huh... jadi namanya Irvan. Anak kelas Eropa. Dan ternyata dia
udah ngeliat aku! Aku marah sama dia. Tapi nggak tau kenapa, aku
punya feeling kalau Irvan ini nggak rese’ seperti si Fandy itu.
”Mbak, sms-an sama siapa sih? Asyik banget??? Aku ngantuk
nih. Mijitnya udahan yah?” kata Icha dengan muka kusut.
”Ya ampuun... hehehe... Keasyikan dipijit nih, ampe lupa suruh
berhenti. Tengkyu yah, Adekku maniiss...”
”Tengkyu...tengkyu...! Pokoknya Mbak Dee utang mijitin aku
yah!”
”Iya deh, iyaaa.... Met bobo ya Non...”
Drrrt...drrrt...

”Hai Intan. Ni gw, Fandy. Bsok gw tunggu di Platinum MTA jam
1 siang. HARUS DATANG!!! Ga perlu bls”

”Cha, hari ini bisa temenin Mbak Dee ke Mal Taman Anggrek
ga?”
”Jam berapa Mbak? Hari ini Icha ada pengajian jam sembilan
pagi, trus habis dzuhur Icha ke panti asuhan. Mbak, tadi pagi
Papa telpon, katanya pulang agak sore. Sekitar jam empat gitu...”
jawabnya panjang lebar.
”Nggak jadi deh, aku ada janji jam satu di sana. Ya udah, entar
aku berangkat sendiri aja. Kamu hati-hati di jalan yah.”
”Mbak Dee, kapan-kapan ikut Icha pengajian yuk?? Asyik deh.”
”Kalau dateng pengajian harus pake jilbab nggak?”
”Alangkah baiknya kalau pake...”
”Nggak ah, kapan-kapan aja. Gerah...”
Yeah, berarti aku harus berani ambil resiko buat berangkat

34 | Hot Chocolate Love


sendirian. Buatku, nggak masalah jauh atau dekatnya kalau aku
harus berangkat dari Cempaka Putih ke Taman Anggrek dengan
naek bis. Aku cuma takut kalau Fandy macem-macem sama aku.
Ups, ngapain takut? Taman Anggrek kan rame. Emang aku mau
diapain sih sama Fandy? Nggak perlu takut Dee...
Aku berharap waktu bisa diperlambat. Tapi ternyata semakin
berharap, waktu semakin cepat berlari. Dan sekarang aku udah
nyampe di depan MTA. Aku jalan ngikutin kemana kaki melangkah.
Aku berharap supaya nggak cepet sampai di ’Platinum’. Tapi
kenyataannya sekarang aku udah berdiri di depan ’Platinum Cafe’.
Jam satu kurang seperempat. Masih kurang lima belas menit dari
waktu yang dijanjiin Fandy, dan aku belum ngeliat batang hidungnya.
Jam makan siang begini, ’Platinum’ emang rame banget. Aku agak
bingung, mau langsung pesen tempat duduk atau nungguin Fandy
dulu.
Belum sempat aku mikir lama, tiba-tiba aku merasa seseorang
merengkuh pundakku. Fandy berdiri di sampingku, tanpa menoleh
padaku sedikit pun. Aku hendak membuang tangannya dari bahuku.
Tapi ternyata tenagaku emang nggak seberapa besar dibanding
tenaganya. Tanpa ngomong sepatah kata pun, dia langsung
membawaku masuk ke ’Platinum’ dan mesen tempat duduk.
Ditariknya sebuah kursi ke belakang dan dia mempersilahkan aku
duduk dengan sopan. Bener-bener beda banget dari sikap kasarnya
kemarin. Yeah, mungkin Irvan udah kasih pelajaran sopan-santun
buat Fandy...
Aku dan Fandy duduk berhadapan. Seorang pelayan menyodorkan
daftar menu. Aku pesan sirloin steak sama blue sky Ice. Fandy milih
tenderloin steak sama capuccino. Sebagai pencuci mulut, aku milih
banana split, dan Fandy milih watermelon split. Dalam hati, aku
masih syok dan heran sama sikap Fandy hari ini.

Hot Chocolate Love | 35


”Sekarang tolong jelasin, apa maksud elo ngajak gue makan di
sini?”
”Gue cuma mau nagih hukuman elo aja. Ada yang salah?!” jawab
Fandy dengan tatapannya yang dingin.
”Kalau gitu, elo juga harus tepati janji elo buat nggak gangguin
Rani lagi!”
”Nggak segampang itu. Syaratnya, elo harus mau jadi istri gue.”
Zzztt...!! Lagi-lagi kepalaku seperti tersengat listrik. Permainan
apalagi ini??? Sampai kapan aku harus dalam belenggu cowok
playboy ini? Aku hampir marah, tapi makanan sudah datang. Aku
nggak enak kalau harus marah di depan pelayan.
”Gue harus pacaran sama playboy?!!” kataku setelah pelayan itu
pergi.
”Gue bukan playboy. Cewek-cewek itu aja yang kegatelan pengen
jadi pacar gue.” katanya sambil tersenyum, ”Dan gue nggak minta
elo pacaran sama gue. Gue-minta-elo-jadi-istri-gue. Paham???”
”Enggak!!!” jawabku ketus.
”Lo cewek pertama yang berani nolak ajakan gue buat jalan.
Itu berarti elo bukan cewek gampangan. Elo juga cantik, nggak
ngecewain buat dikenalin sama orang tua gue.” sambungnya sambil
makan dengan lahap.
“Maksud elo?”
“Tapi ada satu yang kurang dari seorang Dyera Alamanda
dengan wajah imutnya yang innocent.” katanya tanpa mengacuhkan
pertanyaanku barusan, “Elo nggak pake jilbab. Orang tua gue
emang agak sedikit kuno. Mereka minta supaya istri gue entar harus
pake jilbab. Jadi, habis makan kita pergi ke toko busana muslim
langganan nyokap gue."
”Maksud elo apa sih?”

36 | Hot Chocolate Love


Kali ini aku benar-benar marah. Fandy dan semua skenario di
balik itu bener-bener bikin aku pusing.
”Plis, sekali ini elo turutin gue. Gue janji nggak akan macem-
macem sama elo.” katanya memohon. Baru kali ini aku lihat Fandy
kelihatan lemah di depan cewek. Dia dan semua sikap kasarnya.
Bener-bener nggak bisa dipercaya kalau cowok kasar itu sekarang
mengemis di hadapanku untuk melakukan sesuatu yang mustahil
aku lakukan.
Istri? Dikenalin sama orang tua? Pake jilbab? Apa-apaan semua
ini??
”Sory, gue nggak bisa...”
”Intan... Pliiiss....” lagi-lagi dia memohon.
”Nama gue Dee... bukan Intan.”
”Whatever. Buat gue, Dee atau Intan itu sama aja.”
Penyakitku ’nggak berani bilang enggak’ kambuh lagi. Aku
cuma diem. Dan itu diartikan Fandy sebagai kata ’iya’. Keluar dari
’Platinum’, aku sengaja jalan di belakang Fandy. Siapa tahu bisa
melarikan diri...
Yup!! Ada counter ’Strawberry’ di depan. Pelan-pelan aku
membelok ke arah counter ‘Strawberry’ dan… Aman!!! Fandy nggak
sadar kalau aku udah nggak di belakangnya lagi.
“Selamat siang Kak. Ada yang bisa saya bantu?” kata seorang
SPG ’Strawberry’ padaku.
“Ehm… eh… iya. Saya mau cari ikat rambut bentuk strawberry
ada nggak yah?”
“Sayang, ikat rambut yang itu cocok buat kamu deh. Coba kita
lihat yuk…” kata Fandy tiba-tiba di sampingku sambil menunjuk ke
arah sebuah ikat rambut yang dipajang di sudut ruangan.
Oh my God!! Ketahuan lagi! SPG itu tersenyum ramah pada
Fandy dan membungkuskan ikat rambut itu buatku. Keluar dari toko

Hot Chocolate Love | 37


itu, Fandy nggak kasih kesempatan aku berjalan di belakangnya.
“Elo nggak bisa lari dari gue Dee...” katanya dengan senyum
penuh kemenangan. Sebelah tangannya menggenggam tanganku
erat-erat.
“Lepasin gue!!”
Fandy pura-pura nggak denger. Bahkan pegangan tangannya
semakin kuat.
“Lepasin gue, cowok nggak sopan!!!”
Aku hanya bisa pasrah diperlakuin seperti itu sepanjang
jalan sampai berakhir di tempat parkir mobil. Dan akhirnya dia
melepaskan tanganku setelah dia yakin kalau aku nggak bakal bisa
melarikan diri.
“Sekarang mau kemana?!!” tanyaku penuh amarah.
“Ke toko busana muslim, terus ke rumah gue.” jawab Fandy
sambil membukakan pintu mobil buatku.
“Gue-enggak-mau!! Terserah elo mau gimana, gue nggak
peduli. Gue-mau-pulang. Dan gue nggak butuh bantuan elo. Gue-
bisa-pulang-sendiri!!!” Kemarahanku meledak. Aku nggak tahan
diperlakuin seperti ini. Memangnya dia itu siapa???
“Gue-bilang-masuk-mobil.” kata Fandy pelan tapi tegas.
”Fandy..!” sebuah suara terdengar dari mobil yang diparkir
bersebelahan dengan Escudo merah milik Fandy. Seorang cowok
berbadan tambun keluar dari pintu mobilnya, dan dengan susah
payah mencoba berdiri dengan kedua tongkatnya. Sebuah kacamata
silinder menghiasi wajahnya yang bulat.
”Kamu nggak pantes maksa cewek di tempat seperti ini. Kalau
kamu emang mau kenalin dia sama orang tuamu, seharusnya kamu
minta tolong baek-baek sama cewek itu.” katanya pelan tapi tegas.
“Ow, elo mau jadi pahlawan di sini ya?” balas Fandy. Sambil
merenggut kerah baju cowok itu. Samar-samar aku dengar suara

38 | Hot Chocolate Love


Fandy berbisik di telinga cowok itu, “Elo nggak usah ikut campur
masalah gue. Mending sekarang elo pulang, biar kakimu cepet
sembuh.” katanya sambil kemudian mendorong tubuh cowok
tambun itu ke belakang.
Tubuh cowok itu limbung. Untung ada mobil di belakang
badannya, jadi dia nggak jatuh. Aku langsung lari ke arahnya. Aku
bantu dia berdiri dan mengucapkan terima kasih untuk bantuannya.
Aku mengantarkan dia menuju mobilnya yang cuma berjarak satu
mobil dari mobil Fandy.
“Makasih Dee...” kata cowok itu sambil tersenyum.
“Kamu tau namaku?”
”Ya, aku Irvan...”
Ooops...cowok itu..?!! Jadi ini yang namanya Irvan? Jadi ini,
cowok yang selama ini udah nemenin aku ngobrol, berdebat, dan
diskusi lewat sms-smsnya?
Belum hilang rasa kagetku, sebuah tangan menarikku dari mobil
Irvan, membawaku ke mobilnya, dan meninggalkan Mal Taman
Anggrek dengan perasaan tak menentu.
”Gue nggak maksa elo Dee. Kalau elo nggak bisa ke rumah
gue sekarang, kapan-kapan juga bisa.” kata Fandy pelan sambil
menatapku dengan tatapannya yang teduh.
”Kapan-kapan???”
”Yah, kapan pun elo siap...” katanya sambil memalingkan
wajahnya dan kemudian memasukkan sebuah kaset ke dalam tape
dalam mobil itu. Lagu nasyid! Aku nggak nyangka, cowok playboy
seperti Fandy masih suka dengerin lagu nasyid!!! Musik mengalun
menentramkan hati, sedikit mengurangi suasana beku diantara
kami berdua.
”Nggak akan pernah. Gue nggak akan pernah kenalan sama
orang tua elo.” jawabku pelan.

Hot Chocolate Love | 39


”Nggak mesti sekarang. Suatu saat nanti, entah kapan, tapi itu
pasti. Gue janji!” kata Fandy dengan penuh keyakinan.
”Elo siapa sih??! Tiba-tiba datang dalam kehidupan gue. Bersikap
nggak sopan, kasar, gombal!!! Dan sekarang maksa-maksa gue buat
ketemu sama orang tua elo! Emang elo siapa??? Gue-benci-sama-
elo, cowok-playboy!!!”
”Pertama, gue Fandy. Gue dateng dalam kehidupan seorang
Dyera Alamanda karena dia sendiri yang mulai. Dia ngaku-ngaku
punya nama Intan. Dan kalau gue nggak sopan sama dia, itu karena
selama ini gue udah muak sama sikap cewek-cewek yang suka
kecentilan di depan gue. Dan gue siapa??? Gue calon suaminya! Gue
bukan playboy, dan...”
“Cukup!!! Gue-bukan-cewek-yang-suka-kecentilan-di depan-
elo!!!”
“Emang… dia nggak pernah kecentilan di depan gue. Itu makanya
gue suka sama dia. Gue tau kalau cewek yang ngaku-ngaku namanya
Intan itu masih polos. Belum pernah pacaran, nggak kecentilan,
baek hati....”
”Gue bilang cukup, Fandy!!!” aku berteriak sambil menutup
telingaku. Aku benci kata-kata palsunya.
”Belum...” jawabnya datar.
”Ada satu hal yang kurang dari kamu Dee. Kamu cantik, tapi
kecantikanmu itu nggak kamu jaga dengan baik”
”Maksudmu?”
”Kecantikanmu adalah aurat, tubuhmu adalah aurat, kulitmu
yang putih adalah aurat. Gue ngerasa sayang aja, kalau setiap cowok
bisa menikmati semua kecantikanmu itu. Bisa ngelihat seenaknya.
Walau elo bukan tipe cewek centil, tapi kesannya jadi murah. Barang
obral. Seharusnya kamu jaga semua itu. Pakai baju yang tertutup,
mungkin itu lebih baik...” jelasnya panjang lebar.

40 | Hot Chocolate Love


Zzzzttt....!!! Aku tersengat listrik untuk ke sekian kalinya.
Cowok ini bener-bener penuh dengan hal-hal yang enggak terduga.
Tadi bersikap kasar, semenit kemudian jadi cowok sopan, sedetik
kemudian jadi orang alim. Bener-bener aneh!!!
Dan kata-katanya barusan, sama persis dengan nasehat yang
selalu diucapkan Icha...
”Thanks...” cuma kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
”Sory kalau kata-kata gue barusan agak dalem atau bikin elo
tersinggung. Tapi gue nggak akan menarik kata-kata itu. Gue nggak
seburuk yang elo pikir Dee. Selama ini gue nggak pernah pacaran.
Dan-gue-nggak-pernah-mau-pacaran. Dan yang perlu dicatet, gue
nggak pernah minta ke cewek-cewek itu buat ngefans sama gue. Dan
sory kalau gue udah kasar sama elo...” ujarnya pelan tanpa menoleh
padaku.
Kutatap cowok yang sedang konsentrasi menyetir mobil itu.
Jantungku berdesir... Subhanallah, tampan sekali dia. Semua yang
melekat pada fisiknya terlihat begitu sempurna. Pantas saja Rani
sampai tergila-gila sama dia. Ah, kalau saja dia nggak pernah bikin
aku kesel dengan semua sikapnya yang otoriter... Dan kata-katanya
barusan itu... Ah, aku jadi malu pada diriku sendiri...

Hot Chocolate Love | 41


42 | Hot Chocolate Love
Irvan
Bilang Sayang

Sebelumnya, aku selalu berpikir kalau Fandy itu cowok rese’ yang
suka mainin cewek. Tapi setelah kejadian kemarin siang? Entahlah…
Atau aku mulai suka sama Fandy??? Mungkin... Tapi Rani? Memey?
Gendis? Apa kata mereka kalau sampai mereka tau sahabatnya makan
temen sendiri... Gimana sama Rani? Perasaannya? Bukankah dia
tergila-gila sama Fandy? Dan Gendis? Ah, bisa-bisa semua tulangku
dipatahin sama dia. Memey? Aku nggak yakin bisa mengkhianati
sahabatku yang tulus itu...
Tiga sahabat dan satu orang cowok??? Ya ampun Dee... Berapa
lama sih kamu kenal sama Fandy? Berapa lama juga kamu kenal
sama sahabat-sahabatmu itu? Apa iya, segampang itu kamu lepasin
ketiga sahabatmu cuma demi satu cowok yang baru aja kamu
kenal??? ENGGAK!!! Whatever, sahabat-sahabatku jauh lebih
berarti buatku.
”Wooy... Jangan suka ngelamun Dee!” kata Rani mengagetkanku.
”Nih, selamat yah, elo masih jadi Queen of Chemistry. Nilai elo
paling tinggi tuh.” sambungnya sambil menyodorkan sebuah kertas
hasil ujian mid semester padaku.
”By the way, elo udah tahu yang namanya Irvan belum?” sela
Memey.
“Udah…”

Hot Chocolate Love | 43


“Kapan ketemunya? Kok nggak ngajak kita-kita sih?” kata Gendis
sewot.
Uuupss.. aku kelepasan! Bukankah kemarin aku ketemu Irvan
saat pergi bareng Fandy?!
”Kemarin pas ke supermarket gue ketemu dia.”
”Emang rumah dia di Cempaka Putih juga?” tanya Memey.
”Ya mene ketehe!! Mana gue tahu! Yang penting gue ketemu di
supermarket deket rumah gue. Bisa aja dia lagi ke rumah temennya
atau kebetulan lewat.”
”Idiiih... kok sewot sih jawabannya. Ceritain atuh Dee, gimana
bisa ketemu sama dia... Trus dia cakep apa enggak... Trus...” pinta
Rani sambil mengerjapkan matanya. Ini anak, bener-bener bikin
gemes! Akhirnya aku terpaksa mengarang cerita dan berharap
supaya mereka nggak ngerasa curiga sama cerita anehku itu.
”Jadi, yang namanya Irvan itu pake tongkat yah?” kali ini Gendis
angkat bicara.
”Iya. Elo tau orangnya?”
”Ya ampuuun, ya taulah! Kan pas dia kecelakaan kemarin itu,
gue sama Meyza yang nolong dia. Elo masih inget kan Mey?”
”O iya! Bener! Gue inget sekarang. Kasihan lho. Dia korban
tabrak lari. Pas cowok itu nyebrang jalan, tiba-tiba ada mobil dari
belakang. Mobil itu nggak sempat ngerem. Trus akhirnya cowok itu
jatuh dan mobilnya lari.” cerita Memey pada kami.
”Cowok itu namanya Irvan. Emang dia kecelakaan dimana?”
tanyaku.
”Di depan sekolah. Waktu itu gue mau nebeng sama mobilnya
Genza... Tapi udah ditunggu lama, enggak muncul-muncul juga.
Sekolah udah sepi, cuma ada beberapa orang. Salah satunya ya
Irvan itu tadi...” sambung Memey.

44 | Hot Chocolate Love


”Gue denger, Irvan itu pinter lho. Udah dua semester belakangan
ini kan dia selalu rangking satu di kelas Eropa. Dia itu pindahan
dari Bandung. Bokapnya baru dilantik jadi diplomat. Anak pertama
dari tiga bersaudara. Adeknya cewek semua.” jelas Gendis panjang
lebar.
”Elo tau dari mana Ndis?” tanya Rani.
Gendis tersenyum kambing. Dan matanya yang sipit itu
jadi tenggelam diantara kedua pipinya yang putih seperti salju.
”Ehhmm.. ehhmmm.... Gandhi gitu loooh...!” jawabnya dengan
senyum yang menyebalkan itu. ”Irvan kan sering ke rumah Gandhi.
Waktu kelas dua dulu Irvan sama Gandhi kan temen sekelas. Dan
sampai sekarang masih sering maen bareng...”

Tililililit... tililililit... tililililit....


”Dee, tolong angkat telponnya deh” kata Mama saat kami tengah
makan malam. Aku beranjak dari ruang makan menuju ruang
tengah.
”Ifa bi-sa...” kudengar suara Shifa.
”Nggak bisa Dek, telponnya kan di meja yang tinggi...” masih
terdengar suara Papa dari ruang tengah.
”Halo, Assalamu’alaikum...” kataku pada orang di seberang.
”Wa’alaikum salam... Bisa bicara dengan Dyera?” jawab orang
itu.
”Ya, saya sendiri. Ini siapa yah?”
“Oh Dee.. Ini aku, Irvan. Apa kabar? Udah lama kita nggak
pernah sms-an yah?”
”Hai Van. Kamu dapet nomor telpon rumahku dari siapa?”

Hot Chocolate Love | 45


”Dari Gandhi. By the way, gimana hari Minggu kemarin? Jadi ke
rumah Fandy? Sory, gue nggak bisa bantu apa-apa.”
Ah iya, aku jadi inget lagi sama peristiwa hari Minggu kemarin.
“Thanks Van, kamu udah berusaha bantuin aku. Aku nggak jadi ke
rumah Fandy kok. Tapi ngomong-ngomong, kamu tau kalau aku
sama Fandy ada di MTA dari mana?”
“Kemarin Fandy sempat bilang sama aku kalau mau ngajak kamu
jalan ke MTA. Aku kawatir aja kalau terjadi apa-apa sama kamu.”
”Emangnya kenapa Van?”
”Fandy itu kan udah terkenal playboy Dee. Kamu tau itu kan?”
”Iya aku tau. Tapi Fandy belum pernah pacaran kan?” aku
berbalik tanya pada Irvan.
”Emang sih... Dia itu dari keluarga agamis, mana mungkin
dikasih pacaran. Seminggu sekali juga pengajian. Dan kemarin itu
sebenernya Fandy ada pengajian. Tapi dia sengaja cari-cari alasan
biar nggak dateng dan bisa pergi ke MTA sama kamu. Itu makanya
aku tau kalau Fandy ke MTA sama kamu hari Minggu kemarin. Dia
kan minta tolong sama aku buat dicariin alasan...” jelasnya panjang
lebar.
”Ehmm... udah deh Van. Nggak baik ngomongin orang...” kataku
akhirnya.
”Dee, kita kan udah ketemu. Menurutmu... aku ini gimana?”
”Eh... anu... ehm...” aku nggak tahu harus bilang apa kalau
menghadapi pertanyaan seperti ini.
”Kenapa Dee? Aku jelek? Aku nggak cakep kaya’ Fandy? Aku
gendut? Aku pincang? Bilang aja Dee...”
”Eh, bukan gitu. Maaf ya, sebenernya aku lagi makan malam sama
keluarga. Ini aku udah dipanggil sama Papa buat ke meja makan
lagi. Jadi... kayaknya nggak bisa lama-lama deh... Maaf yah?!” aku
berusaha menutupi kegugupanku.

46 | Hot Chocolate Love


”Ow gitu... Ya udah deh. Met makan yah. Assalamu’alaikum...”
”Wa’alaikum salam...”
Aku kembali ke meja makan dan meneruskan makan malamku.
Tapi semua terasa hambar karena aku terus memikirkan Irvan.
Hmmm, pasti Gendis udah ngasih tau masalah ini sama Gandhi.
Dan pertanyaan Irvan barusan, gimana pendapatku tentang
dirinya.... Ya ampun! Aku nggak pernah terpikir kalau Irvan mau
tanya hal semacam itu sama aku. Aku tahu Irvan baik dan perhatian
sama aku. Sabar dan nggak playboy seperti Fandy. Aku tahu??? Ah,
enggak juga. Aku nggak tahu apa-apa tentang cowok itu. Semua
datang begitu saja dalam hidupku.
Dan tentang fisik Irvan? Aku nggak mau komentar kalau dia
tanyain hal itu lagi. Cukup aku tahu kalau dia emang nggak ganteng
kaya’ Fandy. Dan mungkin dia perlu sedikit diet buat ngecilin
badannya. Oh, tapi sepasang tongkat itu? Aku inget waktu Fandy
mendorong tubuhnya sampai hampir jatuh. Kasihan Irvan...
”Dee... masakan Mama nggak enak yah?” tanya Mama
membuyarkan lamunanku.
”Eh.... enggak kok. Enak ma!” kataku kemudian sambil makan
dengan tergesa-gesa.
”Hahahaha... makanya Mbak, jangan ngelamun melulu.
Kebanyakan pacar tuh Ma.” sahut Icha dengan nada provokasi.
”Emangnya cewek yang suka kentut gitu ada yang mau?” tanya
Papa menggoda.
”Ha-ha-ha-ha...” semua serentak menertawakanku. Bahkan
Shifa yang mulutnya penuh dengan nasipun ikut tertawa. Huh!!!
”Idih, ikut-ikutan ketawa.... Anak kecil aja sok tau!!” kataku
sambil mencubit paha Shifa pelan. Dan bukannya nangis, anak itu
malah semakin menertawakanku. Dasar bandel!!!

Hot Chocolate Love | 47


Nggak terasa waktu terus berlalu. Ujian Akhir Nasional udah di
depan mata. Emang bukan aku yang bakal menjalaninya, melainkan
anak kelas tiga, termasuk Fandy dan Irvan. ’Microsoft’ bulan ini
udah terbit. Besok udah bisa beredar di sekolah. Dan itu berarti aku
boleh berpangku tangan sekarang. Manajer pemasaran ’Microsoft’
namanya Iqbal. Jangan tanya tentang gimana langkah yang dia
ambil buat memasarkan majalah sekolah. Yang pasti, ’Microsoft’
selalu habis terjual tepat pada waktunya.
Drrrt...drrrt... Ada sms. Dari Irvan.

”Dee, pulang skul bs ktemuan bentar ga?”

Pulang sekolah ini aku harus latihan basket sama Rani. Tiga hari
lagi turnamen basket tingkat sekolah udah dimulai. Dan aku nggak
mungkin ninggalin latihan itu.

”Sory Van. Ga bs, aku lat basket. Udah ga pake tongkat lagi,
udah sembuh?”

Yeah, kulihat sejak dua hari yang lalu Irvan udah nggak pakai
tongkat lagi. Walau jalannya agak tertatih, tapi itu sudah jauh lebih
baik daripada saat dia masih pakai tongkat. Ini berarti kemajuan
yang bagus. Ya Allah, mudah-mudahan kakinya cepat sembuh...
”Dee, cepetan yuk. Udah ditunggu sama anak-anak...” kata
Rani.
Aku bergegas menuju ruang ganti dan mengenakan baju latihanku.
Celana sepanjang lutut, kaus lengan pendek. Ikat rambut berbentuk
’strawberry’ menghiasi kepalaku. Rambutku yang sepanjang bahu
ini cukup merepotkan kalau nggak diikat. Sunblock di seluruh muka
dan badan. Cuaca Jakarta memang panas bukan main. Sebenernya,

48 | Hot Chocolate Love


kami latihan di dalam gymnasium Metro Alam yang keren banget.
Sejuknya bukan main. Tapi itu kalau kami beruntung. Karena tim
basket cowok juga nggak mau panas-panasan latihan di bawah terik
matahari. Jadi, aku pakai sunblock buat antisipasi kalau kami harus
latihan basket di lapangan luar.
Waktu aku keluar dari ruang ganti, aku melihat sosok Fandy
dari kejauhan. Ah, mungkin lebih baik aku memutar jalan, biar
nggak ketemu sama dia. Tapi terlambat. Belokan terakhir menuju
gymnasium ada lima langkah di belakangku. Lorong sepanjang lima
puluh meter yang lebarnya empat meter ini terlalu kecil buatku
kalau harus ketemu sama Fandy. Aku masih inget sama sikapnya
yang nyebelin itu. Dan aku juga takut sama perasaanku sendiri,
antara benci dan... suka? Enggak Dee!
Fandy berjalan lima belas meter di depanku. Aku membalikkan
badan, berusaha menghindar dengan menuju belokan yang sekarang
delapan langkah di depanku.
”Dee...!”
Deg...deg... Itu suara Fandy memanggil namaku. Tapi aku terus
berjalan dan tidak mempedulikannya. Dengan setengah berlari,
aku masih mendengar teriakannya memanggil namaku. Fiuuhh....
akhirnya sampai di gymnasium juga. Kulihat anak-anak sudah pada
berkumpul dan membentuk lingkaran. Pemanasan udah dimulai.
”Sory, gue telat Ran.” kataku setengah berbisik ketika berdiri
di samping Rani dan mengikuti pemanasan yang baru dimulai itu.
Yups, gerakkan kepala. Kiri...kanan...kiri... uups! Tanpa sengaja
kulihat Fandy duduk manis di tribun yang sepi itu. Lagi-lagi dia
berhasil menemukanku. Dan lagi-lagi dia nggak menyerah. Ah, aku
jadi nyesel kenapa hari ini pakai ikat rambut ’strawberry’ pemberian
Fandy.

Hot Chocolate Love | 49


”Oke. Sekarang kita latihan rebound dulu. Dee, elo mulai duluan.”
kata Rani memberi instruksi padaku.
”Siap kapten!” kataku padanya. Aku selalu semangat kalau
Rani menyuruhku ini dan itu dalam permainan basket. Sore itu
adalah latihan terakhir sebelum pertandingan dimulai. Kami harus
menyimpan tenaga untuk tiga hari ke depan. Piala bergilir yang
udah jadi langganan SMU Metro Alam nggak boleh jatuh di tangan
sekolah lain. Latihan usai.
”Dee! Permainanmu tambah bagus aja. Gue bangga punya temen
kaya’ elo. Nggak sia-sia gue ngajarin elo... Siap-siap buat tiga hari
lagi yah!” kata Rani sambil membenahi perlengkapannya.
“Ehhmm... siapa dulu dong pelatihnya? Raniii...” kataku sambil
menepuk bahunya. Aku selalu mengagumi Rani saat turun ke
lapangan.
”Dee... ada Fandy di atas. Mau ngapain yah anak itu?” katanya
setengah berbisik padaku.
“Mana?” tanyaku pura-pura nggak tahu sambil mengedarkan
pandangan ke tribun dan menangkap sosoknya yang dingin sedang
memandangku. Aku segera memalingkan muka.
“Oooh.... itu. Mana kutahu? Lagi iseng kali...” kataku pura-pura
nggak tahu maksud kedatangannya. “Ran, elo masih suka sama
Fandy?”
“Iya. Gue masih suka sama dia. Tapi cukup kita berdua aja yang
tahu ya?! Gue nggak mau Gendis sama Memey tahu kalau gue
masih suka sama Fandy. Mereka pasti nggak setuju habis-habisan.”
katanya pelan. Kulihat wajahnya agak pucat.
”Elo kenapa Ran???” tanyaku khawatir.
”Eh... anu... Nggak kenapa-napa kok...” jawab Rani sambil
memegangi kepalanya.
”Ran, jangan bohong sama gue!! Elo kenapa???”

50 | Hot Chocolate Love


”Gue... Gue...” Rani mencoba menjawab pertanyaanku tapi...
“Aduh Dee... kepala gue sakit... Sakiiiit....” Rani merintih
kesakitan sambil mencoba membuka kotak obat dari dalam
tasnya. Dikeluarkannya sebuah tablet berwarna putih, kemudian
diminumnya. Perlahan-lahan, keadaan Rani membaik.
”Elo kenapa Ran??? Cerita sama gue...” pintaku.
”Gue... gue... Ah, udahlah... Gue cuma sedikit nggak enak badan
kok!” jawabnya sambil cepat-cepat berdiri. Aku tahu, ada sesuatu
yang disembunyiin Rani dariku.
”Jangan menyiksa diri terus-terusan. Ini cuma saran gue...”
”Elo tenang aja fren... Gue nggak papa kok...” katanya sambil
berjalan ke arah pintu keluar gymnasium, seolah-olah tidak terjadi
apa-apa pada dirinya. ”Elo pulang sama siapa?” sambungnya.
”Dijemput Papa. Jam lima. Yaaah, masih dua puluh menit lagi.
Gue sholat dulu deh…”
”Haha... kasian deh loe! Ya udah, gue duluan ya...” kata Rani
sambil menghambur meninggalkan aku jauh di belakangnya.
Ah Rani… Kamu tadi kenapa sih? Kamu sakit??? Sakit apa? Atau
obat berwarna putih itu… Narkoba??? Ah, enggak! Rani bukan tipe
orang yang suka macam-macam. Segera kubuang jauh-jauh pikiran
buruk itu. Aku segera berjalan menuju mushalla. Sepi sekali. Waktu
aku wudhu, kudengar suara gemericik air dari tempat wudhu pria.
Ketika aku masuk mushalla dan selesai mengenakan mukena, aku
mendengar suara yang sudah nggak asing lagi dari balik kain hijab.
”Kalau bisa shalat jamaah, lebih baik berjamaah. Kamu rela...
kalau aku jadi imam shalat Ashar kamu Dee?” suara Fandy terdengar
begitu santun di telingaku.
”Iya...” sahutku lirih. Hampir tidak terdengar malah.
”Alhamdulillah... Makasih Dee.”

Hot Chocolate Love | 51


Tak lama kemudian kudengar suara takbir yang begitu merdu.
”Allahu akbar...” Dan aku menikmati suara yang merdu itu. Entah
kenapa, aku jadi lupa kalau pernah benci sama Fandy. Shalatku
lebih khusyu’ dari biasanya. Dan aku begitu menikmati shalat Ashar
yang syahdu ini...
Setelah mengucapkan salam dua kali, aku berdzikir sejenak. Ini
adalah hal yang sering diingatkan Icha padaku. Dan aku teringat
pada Rani. Ya Allah, sebenarnya Rani sakit apa? Baru kali ini kulihat
dia tampak begitu kepayahan. Yah, baru kali ini!!! Pasti ada sesuatu
yang disembunyiin Rani dariku...
Ketika aku selesai mengenakan sepatu dan keluar dari mushalla,
Fandy udah berdiri di depan pagar. Entah kenapa, rasa benci itu
menyergap kembali. Aku melaluinya begitu saja.
”Dee!!! Udah lebih dari seratus menit gue nungguin elo sampai
selesai latihan. Dan elo sekarang seenaknya mau pulang? Nggak
bisa!” katanya sambil menarik lenganku.
”Tolong ya, jangan kasar sama cewek.” jawabku dingin tanpa
menatap matanya.
”Sory...” katanya sambil melepaskan genggamannya pada
lenganku.
”Ada yang perlu dibicarain lagi?” kataku sambil terus berjalan.
Fandy mengikuti langkahku dan berjalan sejajar denganku.
”Tentang tawaran gue waktu itu...”
“Tawaran yang mana?” jawabku tak acuh sambil melihat jam
tanganku. Jam lima kurang lima menit.
“Jadi calon istri gue…” katanya mantap sambil menatap
mataku.
Drrrt...drrrt...drrrt.... Papa telpon.
“Assalamu’alaikum Pa...”

52 | Hot Chocolate Love


“Waalaikum salam. Mbak Dee, Papa lagi di bengkel nih. Mobilnya
mogok, nggak tau kenapa. Pulang pakai bis dulu ya Mbak. Soalnya
Papa nggak tahu pulang jam berapa...” jawab suara dari seberang.
“Iya Pa. Papa pulangnya hati-hati di jalan yah. Sabar ya Pa,
malem ini Mama masak ayam bumbu bali kesukaan Papa lho.”
“Kamu juga sabar ya. Papa bawa pizza lho. Udah ya,
assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam.”
Aku bergegas pergi tanpa mempedulikan Fandy. Agak susah
nyari bis kosong. Sore-sore begini, bis pasti sesak sama orang-
orang yang baru pulang dari kantor. Sebuah tangan menarik
lenganku dengan keras, membawaku ke tempat parkir mobil. Dan
memaksaku masuk ke dalam mobilnya. Suara mesin menderu dan
melesat meninggalkan Metro Alam yang sepi di sore hari. Lagi-lagi
musik nasyid mengalun pelan dalam mobil itu.
”Yang enggak sopan itu elo Dee. Gue ngomong nggak diperhatiin.
Tiba-tiba ngeloyor pergi nggak pamit. Nggak sopan!” katanya
menyalahkanku.
”Gue harap, ini terakhir kalinya gue satu mobil sama elo.” ujarku
ketus.
”Dasar keras kepala. Gue enggak rela kalau elo harus naek bis
sore-sore begini. Dan ini bukan terakhir kalinya elo satu mobil sama
gue. Ini adalah awal kebersamaan kita. Catet itu!!!”
Apa dia bilang?? Awal kebersamaan??! Hiii... aku nggak bisa
ngebayangin harus hidup bareng monster kaya’ dia...
”Gue capek berantem terus sama elo. Pliis, lepasin gue Fan,
berhenti ngejar-ngejar gue kaya’ gini...”
“Dee, gue nggak pengen elo jadi pacar gue. Gue nggak minta itu.
Gue cuma pengen ngenalin elo sama orang tua gue sebagai calon
istri gue. Apa sih susahnya?”

Hot Chocolate Love | 53


“Okey. Dan setelah itu?”
“Gue nggak akan ganggu elo lagi! Gue janji!!”
“Kenapa mesti gue sih Fan?”
“Karena gue yakin, elo bakal jadi istri gue. Karena elo adalah
jawaban dari doa gue selama ini...”
“Maksud lo?”
“Terlalu jauh kalau gue bilang sekarang Dee. Yang jelas, gue
pengen setelah lulus SMA, orang tua gue nggak pusing atau khawatir
gue bakal macem-macem sama cewek. Karena dengan begitu, gue
bisa kuliah dimana pun yang gue suka. Dan mereka nggak khawatir
sama pergaulan gue. Mereka pikir, bekal agama yang mereka kasih
selama ini masih kurang buat gue... Padahal gue bukan anak kecil
lagi Dee. Gue bisa mikir mana yang baek dan mana yang buruk...”
jelasnya panjang lebar.
“Nggak tau deh Fan. Gue nggak janji bisa ngelakuin itu semua
buat elo setelah elo bikin Ge-eR sahabat gue, setelah elo bersikap
kasar sama gue, setelah gue denger cerita miring tentang elo yang
playboy... Gue nggak tau Fan...”
Cowok itu memukul stir mobilnya. Mengerem mobil sampai
benar-benar berhenti. Kepalanya menunduk dan tertelungkup pada
stir mobil itu. Aku nggak tau harus bilang apa. Tapi memang begitu
keadaannya. Aku nggak yakin bisa ngelakuin semua yang dia minta
itu. Aku masih SMA. Dan Istri??? Oh, itu masih sangat jauh buatku.
Dan acara perkenalan sama orang tua dari cowok yang udah bikin
aku kesel selama ini?? Fandy, maafin gue....
Aku nggak tau harus ngapain. Tanganku hampir menyentuh
pundaknya untuk menenangkannya, tapi kemudian kudengar suara
Fandy, ”Jangan sentuh gue Dee. Gue nggak mau dan nggak pernah
disentuh sama cewek dalam keadaan seperti ini.” katanya tanpa

54 | Hot Chocolate Love


menatapku sambil menyalakan mesin mobilnya. Sekali lagi, Fandy,
maafin gue...

Sweet Home, 21.30 WSH


”Cha, kenapa sih kamu nggak mau pacaran???” tanyaku pada
Icha saat kami beranjak tidur.
”Hah?? Tumben tanya gituan?” jawabnya sambil setengah
tertawa kecil.
”Aku serius Cha... Kenapa kamu nggak mau pacaran? Aku kasih
pilihannya deh! A. Karena Icha ngerasa masih kecil. B. Karena Icha
kolot. C. Karena Icha jelek dan nggak ada yang naksir....”
”Iiiihh... Mbak Dee rese’ deh! Bukan gitu Mbak... Ngapain sih
pacaran? Coba, ada manfaatnya nggak?” dia berbalik tanya padaku.
”Tergantung orangnya. Kalau buat aku yang juga belum pernah
pacaran, aku nggak tahu. Tapi kalau naksir cowok... itu bikin aku
lebih semangat belajar.”
”Hah?? Bikin semangat belajar? Misalnya Papa janjiin mobil
baru buat Mbak Dee kalau Mbak Dee bisa rangking satu, semangat
nggak belajarnya?” tanyanya lagi.
”Yo’i!! So pasti dong. Bahkan aku bakal lebih semangat
belajar dibanding waktu aku naksir cowok itu...” jawabku sambil
membayangkan mobil impianku selama ini. Honda jazz item
metalik...
”Hahahaha... Itu-namanya-Mbak-Dee-cewek-matre!! Hahaha...”
kata Icha terbahak-bahak. Huh, rese! Kulempar sebuah bantal ke
arah tempat tidurnya.
”Okey..okey.. sekarang Icha serius. Itu berarti, pacaran atau
naksir cowok bukan satu-satunya hal yang bisa ningkatin semangat

Hot Chocolate Love | 55


belajar kan?” katanya mulai serius.
”Mbak tau sendiri kan, sekarang ini jamannya pergaulan bebas.
Hiii.. serem deh! Aku cuma nggak mau terseret arus aja sih. Lagian,
pacaran itu nggak ada untungnya. Lihat sendiri kan, orang udah
pacaran bertahun-tahun masih bisa putus juga. Setelah nikah, masih
cerai juga. Naudzubillah...” katanya sambil bergidik.
Iya juga ya... Bener kata Adikku ini. Aduh, lagi-lagi aku ngerasa
nggak pede jadi Kakaknya...
”Satu lagi Mbak... Kalau orang tua kita berhasil mengantarkan
anak gadisnya dengan selamat sampai dia menikah, itu berarti
satu kunci pintu surga udah ada di tangan mereka. Maksud Icha
’selamat’. Itu artinya anak gadisnya masih perawan, belum dijamah,
masih suci. Dan kalau Mbak Dee sayang sama Mama Papa, pasti
Mbak Dee nggak pengen mereka masuk neraka. Iya kan???” jelasnya
panjang lebar.
”Seandainya ada cowok yang ngenalin aku sama orang tuanya
sebagai calon istrinya, dan setelah itu dia janji nggak bakal ganggu
aku lagi... Apa mungkin, cowok itu jadi suami aku nanti?” tanyaku
lagi.
”Wah, bagus itu Mbak. Itu berarti dia cowok baek-baek. Itu
berarti dia ngejaga kesucian Mbak Dee. Nggak mau ngerusak Mbak
Dee. Itu baru namanya calon suami idaman. Apalagi kalau cakep.
Hehehe...”
”Emang, ada yang mau ngenalin Mbak Dee sama keluarganya?”
sambung Icha mulai usil.
”Gue bilang kan kalau seandainya!!!!”
”Huuuu.... dasar galak!!” katanya bersungut.
Drrrt...drrrt... Ada SMS. Dari Irvan.

56 | Hot Chocolate Love


”Dee, sbnernya aku suka sama kamu. Aku sayang kamu.
Aku nggak mau kehilangan kamu. Kamu mau jadi pacarku? Ga
perlu dibalas skrg...”

Dzzztt....!! Akhir-akhir ini pasti tekanan darahku sering naik.


Irvan-Bilang-Sayang. Dan itu nggak pernah terbersit dalam
pikiranku. Aku nggak pernah berpikir akan menjalin hubungan
sama dia, selain karena aku merasa berutang budi sama dia karena
udah ngebantu aku di tempat parkir MTA beberapa waktu yang lalu.
Dan sekarang??? Entahlah, tapi setidaknya aku mikir-mikir dulu.
Dan kurasa itu perlu untuk menghindari Fandy. Mungkin Fandy
nggak akan maksa-maksa aku kaya’ tadi seandainya aku punya
pacar. Pacar??? Oh no!!
”Icha... udah tidur belum??”
”Hmmm... belum terlalu!! Masih bisa denger kok. Kenapa??”
katanya setengah sadar.
”Seandainya aku pacaran, tapi aku bisa jaga diri, dan janji nggak
akan macam-macam. Menurutmu gimana?”
”Ehhmmm... Ciuman nggak?” tanyanya masih setengah sadar.
”Enggak!! Aku janji nggak akan ciuman!”
”Pelukan nggak??”
Aku membayangkan tubuh Irvan yang tambun itu memeluk
tubuhku. Huaaa, enggak banget deh!
”Aku janji nggak akan pelukan!”
”Dia pegang-pegang pipi Mbak Dee nggak? Atau pegang tubuh
Mbak Dee yang lain?”
Huh, dasar Icha bawel. Mana mungkin aku mau digituin sama
cowok! Enak aja, emang aku ini barang obral?? Dilihat boleh,
dipegang jangan!

Hot Chocolate Love | 57


”Aku enggak mau digituin Cha...”
”Pegangan tangan nggak? Sering berduaan nggak?”
”Aduuuuh, kamu ini! Langsung aja deh!” kataku nggak sabar.
”Emang terlalu banyak pertimbangan Mbak. Tapi kalau Mbak
Dee yakin bisa menahan diri, ya terserah Mbak Dee. Pokoknya, Icha
udah ngasih gambaran sama Mbak Dee...” jelasnya setelah seluruh
nyawanya kembali.

58 | Hot Chocolate Love


Ketika
Saatnya Memilih

“Gue ditembak sama Irvan…” kataku pada Memey, Gendis, dan


Rani saat sedang makan di kantin keesokan harinya.
”Haaah....????!!” mereka serentak kaget dengan gaya masing-
masing. ”Uhuk...uhuk...” Memey tersedak. Dan Gendis cepat-cepat
mengeluarkan tisu dari saku bajunya.
”Trus...trus...??!! Elo nerima dia?” tanya Rani nggak sabar.
“Belum. Gue belum ngejawab...” kataku pelan.
“Aduuuuhh. Aduh Dee, mending kamu nggak usah terima deh.
Kamu itu cantik, yang naksir kamu itu banyak. Kamu bisa milih
siapa aja, asal jangan dia...” pinta Memey setelah agak tenang.
“Emangnya dia kenapa Mey?” tanyaku padanya.
“Dia kaan... Dia kan... Udah deh, elo ngaku aja kalau sebenernya
ada udang di balik batu seandainya elo mau nerima dia jadi pacar
lo?!” katanya lagi.
”Mey, namanya cinta itu nggak pandang fisik. Mungkin emang
Irvan nggak cakep kaya’ Widi, tapi siapa yang tahu kalau mungkin
ternyata hatinya baik dan lebih pas sama Deeza. Ada seribu bintang
di langit, tapi cuma satu yang sinarnya mampu menembus hati kita
Mey... Siapa tahu emang Deeza bener-bener nemuin soulmate-nya
pada diri Irvan...” jelas Gendis panjang lebar pada Memey.
”Ciieee... sejak kapan elo jadi bijaksana gini Ndis?” tanya Rani

Hot Chocolate Love | 59


pada Gendis sambil masih menunjukkan wajah keheranannya pada
Gendis.
Aku menangkap sorot mata penuh harap dari tempat duduk
di sudut kantin yang hampir luput dari pandangan orang-orang.
Aku melihat Irvan duduk sendiri di bangkunya. Dan aku bertemu
pandang dengannya. Seulas senyum menghiasi bibirnya saat mataku
beradu dengan matanya. Aku pura-pura nggak ngelihat.
”Kalau menurut gue Dee, mending elo pikir-pikir lagi deh. Semua
terserah elo sih. Kalau elo ngerasa nyaman sama dia... silahkan
terima dia jadi pacar elo. Gue sih fine-fine aja, selama elo nggak
jadian sama Fandy...” kata Rani menyumbangkan pendapatnya.
Aku hampir tersedak mendengar kata-kata terakhirnya. Fandy...
Huh, lagi-lagi bayangan cowok itu berkelebat di otakku. ”Gue nggak
seburuk yang elo bayangin Dee...” kata-kata Fandy tempo hari masih
terngiang jelas di telingaku.
”Dee... jangan malah ngelamun dong...” kata Gendis
menghamburkan semua ingatanku pada peristiwa setelah latihan
basket kemarin.
”Gue perhatiin, akhir-akhir ini elo sering ngelamun Dee. Kenapa?
Pasti ada sesuatu yang elo sembunyiin dari kita...” kata Rani sambil
menatapku tajam. Ah, bukannya kamu yang sembunyiin tentang
sakitmu sama aku Ran???
Tapi aku hanya menunduk. Aku takut kalau sampai Rani tahu
apa yang udah susah payah aku sembunyiin selama ini. Aku harus
berpikir keras untuk menutupi hal itu.
”Gue bingung fren... Gue nggak pengen pacaran sama Irvan. Tapi
di sisi lain, gue harus jadian sama dia...”
”Kenapa harus?? Elo diancam sama Irvan?” tanya Gendis cepat.
“Karena... karena... ya karena gue nggak pengen nilai UAN dia

60 | Hot Chocolate Love


jelek gara-gara mikirin gue!!!” kataku terbata-bata. Padahal bukan
itu keadaan yang sebenernya. Kenyataannya, aku harus pacaran
sama Irvan untuk menghindar dari Fandy.
“Ya ampun Dee... Kamu baek banget sih...” komentar Rani.
”Gue nggak setuju. Itu namanya elo nyiksa diri sendiri. Elo juga
berhak bahagia Dee. Ngapain elo pacaran sama dia cuma karena
alasan itu?” kata Memey menolak alasanku.
”Tiap orang punya cara pandang dan cara berpikir masing-
masing. Elo nggak bisa maksa Deeza buat nolak atau buat nerima
Irvan. Elo cuma berhak ngasih masukan. Dan selanjutnya, biar
Dee sendiri yang nentuin. Karena dia yang bakal ngejalanin...” ujar
Gendis sedikit menenangkan hatiku.
Semua menyerahkan keputusan akhir padaku. Dan aku semakin
bingung harus nerima atau nolak Irvan.

Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Hari ini aku pengen ke


studio musik. Aku pengen main drum sepuas hatiku. Aku pengen
ngelupain sejenak semua masalah tentang Fandy atau Irvan. Dan
aku udah nelpon studio musik ”Diasitas” buat nge-booking salah
satu studionya jam tiga nanti.
Masih ada waktu dua jam. Mobilku terpaksa dipakai Papa karena
mobil Papa yang mogok kemarin masih nginep di bengkel. Dan aku
ngerasa beruntung nggak bawa mobil. Masih ada cukup waktu buat
ke sekret majalah sekolah. Siapa tahu ada Iqbal di sana. Aku perlu
denger laporan dia tentang pemasaran ‘Microsoft’ minggu ini.
“Sekret rame banget... ada apa Jo?” tanyaku pada Johan,
anak kelas Swietenia, karikaturis handal yang pernah dipunyai
’Microsoft’.

Hot Chocolate Love | 61


“Eh Mbak Dee... Anu Mbak, pada sibuk masang kabel internet.
Makasih ya Mbak... Berkat Mbak Dee, proposal kita diterima sama
Kepala Sekolah...” kata Johan.
“Waaah, yang bener?! Kok gue nggak dikasih tau sih! Kalian
semua tega ya sama gue!!!” kataku sambil berbinar menatap
tiga komputer dengan sebuah modem dan saluran telepon yang
terpasang rapi di sekret.
“Bukan gitu Mbak... Rencananya, kita mau ngasih kejutan sama
Mbak Dee besok. Ini kan masih diberesin, belum rapi... Lagian
belum bisa dipakai...” sambung Vina, anak kelas Tectona grandis,
reporter paling rajin bulan ini.
“Lho, kenapa belum bisa dipakai?” tanyaku heran.
”Kan, belum diresmiin sama pimred...” jawab mereka serempak.
”Ah, kalian ini bisa-bisa aja...” kataku gembira tanpa bisa
menutupi kebahagiaan karena kekompakan ini.
”Mbak, diresmiin sekarang aja deh. Tanggung nih!!!” desak
Nyoman sambil merapikan letak kabel yang berserakan di lantai,
anak kelas Santalum album, kepala divisi pemasaran.
”Iya Mbak...! Setuju!!!” sahut yang lain serentak.
”Ya udah deh...” kataku kemudian sambil memberikan sedikit kata
pengantar sebagai peresmian internet baru di sekret ’Microsoft’.
Ah, nggak terasa udah jam dua kurang seperempat. Dengan
berat hati aku harus meninggalkan sekret ’Microsoft’ yang penuh
kehangatan ini. Perjalanan dari Metro Alam menuju Diasitas cuma
butuh waktu lima belas menit. Yang lama adalah nunggu bis yang
searah ke studio musik ‘Diasitas’.
“Dee!!!” kudengar suara seseorang memanggilku.
”Eh, Irvan... Apa kabar?” tanyaku.
”Seperti yang kamu lihat Dee. Lebih baek dari hari kemarin kan?”
jawabnya riang.

62 | Hot Chocolate Love


”Yups!! Kakinya udah baekan?” tanyaku sambil memperhatikan
kakinya yang masih terbalut perban.
Irvan menganggukkan kepala.
”Mau kemana Dee?” tanyanya sejurus kemudian.
”Oh, aku mau ke studio musik sebentar. Biasalah, ngelepas
stres...”
”Stres kenapa?”
”Stres mikirin jawaban buat permintaan kamu tadi malam...”
jawabku tanpa basa-basi.
”Lho, gitu aja kok dibuat stres sih...” sahutnya sambil mengikuti
langkahku pelan-pelan. ”Mau aku anterin nggak?” sambung Irvan.
Aku melihat jam di tanganku. Jam dua siang. Masih ada waktu
satu jam. Aku rasa nggak perlu dianterin deh. Hampir saja aku
bilang ’enggak’ ketika tanpa sengaja aku melihat Fandy berdiri di
samping mobilnya, di depan pintu gerbang, sambil menatapku dari
kejauhan.
”Ehhmmm... boleh deh!”
”Okey!!” jawabnya dengan senang sambil berjalan lebih cepat
menuju tempat parkir mobil.
Mobil Irvan berpapasan dengan mobil Fandy di depan. Dan aku
bukan nggak tahu kalau Fandy sengaja nungguin aku. Tapi aku
nggak mau kejadian kemarin terulang lagi... Dan kupikir, ini adalah
langkah yang lebih aman buatku untuk sampai ke studio musik...
”Udah bisa ngasih jawabannya Dee??” tanya Irvan memecah
kesunyian diantara kami berdua.
”Jawaban??? Eh... belum Van...” jawabku jujur.
”Nggak papa kok Dee. Aku akan sabar nunggu jawaban kamu...”
katanya sambil berusaha memegang tangan kananku. Aku cepat-
cepat menarik tanganku. Apa-apaan ini? Belum jadi pacar aja udah
berani pegang tanganku...

Hot Chocolate Love | 63


”Oh, maaf Dee. Maaf, aku nggak bermaksud...” kata Irvan
begitu sadar kalau aku nggak suka dipegang-pegang. Ah, jadi inget
pembicaraan sama Icha tadi malem...
Studio Diasitas udah di depan mata. Dan sekarang kami bener-
bener berhenti di depan pintu gerbangnya.
”Makasih ya Van, udah repot-repot nganterin aku...” kataku
sambil tersenyum dan membuka pintu mobil untuk keluar.
”Mau dijemput?” tanya Irvan.
”Nggak usah deh. Makasih ya...”
”Ya udah. Jaga diri baik-baik ya Dee.. Bye...”
Ah, studio yang kurindukan! Udah lebih dari dua bulan aku nggak
pernah ke sini lagi. Apalagi Memey, Gendis, sama Rani tambah
sibuk sama kegiatannya masing-masing. Kedatanganku disambut
Mbak Ina.
”Kemana aja Non, nggak pernah keliatan nih. Sombong yah...”
kata Mbak Ina sambil memberikan kunci studio nomor sembilan
padaku.
”Belum sempat aja Mbak. Lagi sibuk-sibuknya nih. Aku masuk
dulu ya Mbak!”
Naah, ini dia studio favoritku. Dan drum itu... Aku udah kangen!!!
Segera kulepas tas punggungku, kuhidupkan AC, dan kemudian
kunyalakan walkman. Aku menggebuk drum mengiringi lagu yang
ada dalam walkman itu. Aku memukul drum itu sepuasnya. Aku mau
ngelupain semuanya. Aku mau ngelupain Irvan. Ngelupain Fandy.
Ah, betapa nikmatnya mengikuti alunan musik sambil menggebuk
drum yang udah lebih dua bulan nggak pernah aku lakuin ini.
Begitu lagu selesai, bayangan tangan Irvan yang hendak
memegang tanganku kembali berkelebat. Ah, belum pacaran aja
udah berani megang tangan... Fandy yang playboy aja nggak pernah

64 | Hot Chocolate Love


gitu sama aku... Fandy??!! Kenapa nama itu harus muncul lagi??
Kenapa aku mesti ngebandingin sikap Irvan sama sikap Fandy?!
Kedua hatiku saling bergulat. Kedua hatiku saling bertentangan
satu sama lain. ”Elo munafik!!! Elo tuh sebenernya suka sama
Fandy!”
”Nggak boleh!! Elo egois. Gimana sama perasaan Rani? Nggak!
Dyera bukan orang yang suka makan temen!”kata hati yang satunya
lagi.
Dan aku semakin kencang memainkan drum. Aku memukul
semakin keras. Mataku terpejam. Dan aku nggak mau denger
perdebatan apapun tentang Fandy.
”Elo suka sama Fandy!”
”Enggak! Elo nggak boleh suka sama dia!”
”Tapi elo suka.”
”Enggak boleh!”
”Suka!”
”Enggak!”
”Diieeeeeem!!!! Semua dieeem!!!” Aku melempar kedua stick
drum itu ke arah tembok. Nafasku terengah-engah. Emosiku
memuncak. Air mataku mengalir panas melewati kedua pelupuk
mataku.
“Gue-SUKA-elo- Faaan.... Gue-SUKA-elo!!!” teriakku pada
diriku sendiri. Aku tidak sanggup untuk terus menerus berbohong
pada hatiku sendiri. Aku memang mulai menyukai Fandy. Yah, aku
mengakuinya. Aku tidak bisa berbohong lagi pada hatiku...
Air mataku semakin deras membanjiri pipi. Dan sebuah handuk
terlempar tepat mengenai mukaku. Aku kaget bukan main! Siapa
orang yang udah masuk ke studio-ku dan nggak sopan ngelempar
handuk gitu aja???

Hot Chocolate Love | 65


Sedetik kemudian jantungku benar-benar berhenti berdenyut
selama beberapa detik. Aku hampir mati kaku!!! Kamu tau, siapa
yang ada di depanku?? F-a-n-d-y!!!
Aduh maaak, mau ditaruh mana mukaku ini seandainya dia
sampai tau kalau aku suka sama dia.
“Ngapain lo ke sini?” tanyaku di sela-sela isak yang sulit
kuhentikan ini.
”Ngejagain elo!!” katanya tak acuh, dan lagi-lagi tanpa menatap
mataku. ”Jadi, elo udah mulai suka sama Irvan???” sambungnya
dingin. Kali ini dia menatap mataku tajam.
Bodoh!! Gue suka sama elo, tau!
”Kalau iya, emang kenapa?” tanyaku ketus.
”Jaga diri baek-baek. Gue nggak mau calon istri gue dijamah
sama cowok laen. Dan kalau sampai gue ngeliat Irvan berani nyentuh
kulit elo, gue nggak akan mikir dua kali buat ngasih dia pelajaran.”
”Apa-apaan sih Fan?? Sekali lagi gue bilang, gue-bukan-calon-
istri-elo!!!”
“Irvan udah nembak elo? Elo udah nerima dia?” tanya Fandy
seperti tidak mendengar ucapanku barusan.
“Iya. Dan gue udah nerima dia. Elo liat kan, gue tadi ke sini
dianter sama Irvan?” jawabku dengan senyum penuh kemenangan.
“Bohong! Elo belum kasih jawaban sama dia. Itu kenyataan yang
sebenernya” ujarnya pelan.
“Ngapain sih elo ngikutin gue jalan sama Irvan??!”
”Elo nggak boleh pacaran sama Irvan!”
”Gue mau pacaran sama Irvan! Karena gue nggak mau terus-
terusan diteror sama elo!!! Ngerti??!!!” teriakku kesal sambil berlari
menuju pintu keluar studio. Tapi lagi-lagi dia menarik lenganku
dengan kasar. ”Elo mau pulang?” tanya Fandy dingin.

66 | Hot Chocolate Love


”Iya!”
”Sekarang???”
”Iya!”
”Sebelum keluar, ambil tasmu dulu!! Gue nggak sudi ngebawain tas
jelek itu!” kata Fandy sambil melepaskan lenganku. Aku mengambil
tas kesayanganku itu dan mengenakannya di punggungku. Huh,
enak saja dia menghina tas kesayanganku ini!
”Buka pintunya!!” kali ini aku yang memerintah dia. Dia membuka
pintu perlahan dan kemudian mengucinya kembali. Setelahnya,
kuserahkan kunci itu pada petugas jaga dan tak lupa aku menitip
salam buat Mbak Ina.
Keluar dari studio, Fandy langsung menarik lenganku. ”Pulang
sama gue!” katanya sambil terus berjalan. Kali ini aku mau berontak,
tapi entah kenapa semua badanku lemas. Aku baru inget kalau aku
belum minum sejak tadi. Padahal tenagaku terkuras habis untuk
menggebuk drum dan melepaskan semua emosiku.
”Fan... gue... haus...” kataku pelan sambil bersandar pada badan
mobil. Rasanya susah sekali buat ngeluarin suara.
”Dee...!!! Elo kenapa Dee..?!!” tanya Fandy panik sambil
mengguncang-guncang tubuhku. Dia mengeluarkan sebotol air
minuman dari dalam tasnya dengan tergesa-gesa.
”Minum Dee...” katanya setelah membuka tutup botol minuman
itu.
Glek... Glek... Glek... Aku minum dengan rakus. Aku benar-benar
haus. Dan setelah tiga perempat botol berpindah ke dalam perutku,
aku merasa agak lebih baikan.
”Dee, elo nggak papa kan??!!” tanya Fandy dengan harap-harap
cemas.
Duuuuutt... sebuah suara tak diundang menjawab pertanyaan

Hot Chocolate Love | 67


Fandy. Ah, kenapa angin itu keluar di saat-saat seperti ini?
Memalukan!!!
”Hah, suara apa tuh barusan?! Huahahahahahaha...” suara tawa
Fandy membahana. Dan sedetik kemudian, aku ikut tertawa. Aku
menertawai diriku sendiri yang tampak begitu konyol di depan
Fandy... Kali ini, aku memukul lengannya. Aku membencinya, tapi
aku juga suka padanya. Cowok nyebelin yang tanpa kusadari selalu
kuharapkan kehadirannya...
Dan kehangatan mengalir begitu saja diantara derai tawa...
Kehangatan diantara dingin matanya yang sangat jarang menatap
mataku... Kehangatan diantara sikapnya yang lebih sering kasar
padaku... Ah Fandy...

”Dee, gue punya berita baru buat elo!!” kata Gendis padaku saat
jam istirahat.
”Berita apaan?” tanya Rani.
”Dee... kamu tau nggak? Ternyata, Irvan itu hebat banget lho!!
Semalem waktu Gandhi maen ke rumahku, dia banyak cerita tentang
Irvan. Elo inget nggak sama pidato Kepala Sekolah waktu upacara
dua minggu yang lalu?” tanyanya penuh teka-teki padaku.
”Langsung aja Ndis. Langsung aja...” celetuk Memey penuh
antusias.
”Waktu itu, Kepsek bilang kalau dia bangga sama salah satu
muridnya yang berhasil merebut medali emas lomba ’web design &
animasi’ tingkat nasional kan?! Dan kamu tau nggak, siapa orang
yang dimaksud sama Kepsek itu?” tanya Gendis sambil menggantung
jawabannya.
”Pasti ... Irvan!!!” tebak Rani sama Memey serentak.

68 | Hot Chocolate Love


”Bener Dee!!! Hebat kan?! Udah gitu, Irvan itu kandidat kuat
calon penerima beasiswa ke Oxford University!! Elo tau Oxford
kan??!!” kata Gendis dengan penuh semangat.
”Waaa....” cuma kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
”Dan tau nggak, siapa saingan terberatnya?!” tanya Gendis, lagi-
lagi penuh dengan teka-teki.
”Ya mene ketehe!! Kasih tahu dong cepetan!!” pintaku kini
dengan antusias.
”Fandy!!!” kata Gendis sambil mengecilkan suaranya dan melirik
ke arah Rani dengan tatapan mata usil.
”Hah??!” kami bertiga serempak tersentak kaget.
”Waah, Fandy hebat banget yah!” puji Rani sambil matanya
menerawang ke langit-langit kelas.
”Terima aja Dee!! Irvan keren tuh!!” kata Memey penuh
semangat.
”Yeeee, katanya kemarin tolak aja. Sekarang terima aja! Yang
bener yang mana nih?” sela Rani.
Aku membayangkan Irvan jadi mahasiswa Oxford University...
Irvan sedang mengenakan jas almamaternya yang keren itu... Dan
dengan gelar mahasiswa Oxford University itu, dia pasti jauh lebih
ganteng dari Fandy!!!
Drrrt...drrrt... Ada sms. Dari Irvan

”Dee,ntar pulang bareng yah? Aku tunggu di depan


perpustakaan pulang sekolah.”

Aku tidak membuang waktu lagi untuk membalas SMS Irvan.

”Sip!”

Hot Chocolate Love | 69


”Siapa yang sms Dee..?” tanya Rani penasaran.
Aku menjawabnya dengan senyum penuh arti. Dan anak-anak
sepakat untuk mengartikan senyumanku itu sebagai ’Senyum
Kambing’.
”Irvan!!” kataku setelah mereka semua memandangku dengan
wajah yang sudah tertutup oleh ribuan tanda tanya.
”Gue entar mau pulang bareng sama dia. Dan setelah gue denger
cerita Gendis barusan, kaya’nya gue udah nemuin jawabannya
deh!”
“Elo nerima dia?” tanya Memey.
“Iya!!!” jawabku mantap. Aku terbuai oleh kepintarannya. Dan
aku selalu mengagumi setiap cowok yang pinter. Dan aku lebih
mementingkan intelektualitas dari sekedar fisik seseorang. Dan
Fandy?! Lupain aja dech!! Toh, dia juga nggak pernah minta aku
jadi pacarnya. Selama ini dia minta aku jadi istrinya. Dan itu hal
mustahil yang nggak bakal bisa aku wujudkan...
Bel masuk berbunyi. Aku nggak sabar nunggu jam pulang
sekolah tiba. Dan setelah bergulat dengan waktu yang terasa begitu
lambat, akhirnya saat yang kutunggu-tunggu itu datang juga. Aku
mengayunkan langkah menuju perpustakaan dengan ringan. Dan
kutemui sosok Irvan sudah menungguku di sana.
”Sory baru dateng. Udah lama Van??” tanyaku padanya.
”Enggak. Aku juga barusan nyampe sini kok! Pulang yuk...”
ajaknya.
”Kamu keliatan riang banget hari ini?” tanya Irvan setelah kami
berada dalam mobil.
”Ehmmm....Iya. Karena aku udah nemuin jawaban buat
permintaan kamu malem itu!”
”Jadi???” tanya Irvan sambil harap-harap cemas.
”Aku terima permintaan kamu....”

70 | Hot Chocolate Love


Irvan cuma bengong. Dia nggak bisa ngomong apa-apa.
Speechless! Dan beberapa detik kemudian dia baru bisa meluapkan
kegembiraannya. Aku melihat sinar kebahagiaan dari balik
matanya.
”Tapi Van, ada syaratnya!” lanjutku kemudian.
”Apa?”
”Pertama, kamu nggak boleh pegang-pegang aku. Kedua, kamu
nggak boleh peluk aku. Ketiga, kamu nggak boleh cium aku. Dan
yang keempat, kamu harus bisa ngebuktiin kalau kamu emang
bener-bener sayang sama aku!” jelasku panjang lebar.
”Ngebuktiin gimana maksudmu?” tanya Irvan dengan wajah
bingung.
”Caranya.... Kalau kamu emang sayang sama aku, kamu
harus serius belajar dan nilai UAN rata-rata kamu minimal 8,5...
Gimana?”
”Aduuuuh... Syarat yang itu berat banget Dee...” keluh Irvan.
”Aku nggak mau tahu. Masa sih, calon mahasiswa Oxford nggak
bisa dapet nilai segitu?” tantangku padanya.
”Lho?! Kamu tahu kalau aku mau masuk Oxford dari siapa?”
tanyanya penuh rasa heran.
”Ehhhmmm... Ada dech!! Mau tau aja urusan cewek!”
Irvan memandangku dengan tatapan aneh. Sejurus kemudian
dia tersenyum simpul. “Kamu itu lucu ya Dee... Aku suka cewek
ceria kaya’ kamu...” katanya sambil menatapku dengan tatapan geli.
Dan aku cuma tersenyum.
Aku juga suka punya cowok pinter kaya’ kamu Van...

Hot Chocolate Love | 71


Drrrt...Drrrt...Drrrt... Ada telpon. Dari Gendis. Tumben...
”Assalamu’alaikum Ndiz?” sapaku pada orang di seberang.
”Dee, elo dimana? Gue di rumah sakit PMI nih. Rani tiba-tiba
pingsan. Elo ke sini dong?! Temenin gue, trus kasih tahu Memey
yah?! Gue udah nelpon ke rumahnya, tapi nggak ada yang ngangkat.
Cepetan ya Dee?!!” kata Gendis dengan nada panik.
Tut...tut... Telpon udah dimatiin sebelum aku sempat ngomong
lebih banyak. Aku baru saja sampai di rumah. Tapi cepat-cepat
kukeluarkan Corolla hitam dari garasi. Sambil terus memikirkan
apa yang terjadi sama Rani, akhirnya aku tiba juga di rumah sakit
PMI.
Rani tergolek lemah di pembaringan. Sebuah selang oksigen
terpasang pada kedua hidungnya, botol infus tergantung di sisi
kanan tempat tidurnya. Ah Rani, kasihan kamu...
“Udah lama Ndis?” tanyaku setengah berbisik pada Gendis, takut
suaraku membangunkan Rani yang sedang tidur.
“Udah dua jam...” jawab Gendis.
“Kata dokter kenapa?” tanyaku lagi.
”Belum tahu. Tapi dilihat dari obat yang ada di dalam tas Rani,
itu sepertinya obat buat pengidap...”
Tangan Rani bergerak, ia merintih dalam tidurnya. Pembicaraanku
dan Gendis tidak jadi diteruskan.
”Sakiiit.... uuuhh... aduuuh...” rintih Rani sambil berusaha
memegang kepalanya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Gendis
berusaha menenangkan Rani. Beberapa menit kemudian, Rani
kembali tertidur. Dan tak lama setelah itu, Tante Siska datang
bersama Om Surya. Jakarta hampir malam. Aku dan Gendis pamit
pulang. Di dalam benakku, ada sejuta tanda tanya tentang penyakit
Rani...

72 | Hot Chocolate Love


Seharusnya malam ini aku bisa tidur nyenyak seperti malam
kemarin. Karena hari ini aku resmi jadian sama Irvan. Dan
seharusnya aku senang dengan hal itu. Tapi ternyata nggak seperti
yang aku bayangin. Sedangkan Icha udah tidur dari tadi. Sedangkan
jam dinding udah berdentang dua belas kali. Ah...
Fandy... lagi-lagi cowok itu. Entah kenapa, seolah-olah ada
yang kurang dengan hari ini. Yah!!! Aku nggak ketemu Fandy. Hari
ini aku sama sekali nggak melihat sosoknya. Dan tanpa kusadari,
aku merindukan semua tentang dia. Cara bicaranya, ceramah-
ceramahnya, dan matanya...
Ah, mata itu... Mata yang menyimpan kehangatan di balik
tatapannya yang beku. Mata yang jarang menatapku, yang selalu
mengalihkan pandangannya ketika mata kami saling beradu...
Kenapa??? Kenapa dia sangat jarang memandangku saat kamu
berbicara?! Entahlah...
Fandy dan semua perhatian yang tersembunyi di balik sikap
kasarnya. Dan seandainya dia memang benar playboy seperti yang
dikatakan orang selama ini, kenapa dia menyuruhku menggunakan
jilbab? Kenapa dia nggak pernah pacaran? Kenapa dia bermaksud
mengenalkanku pada kedua orang tuanya? Dan kalau memang
benar dia playboy, kenapa dia nggak pernah berbuat macem-macem
sama aku? Kenapa waktu itu dia menepis tanganku saat hampir
menyentuh bahunya???
Aku nggak ngerti apa yang sedang terjadi pada diriku. Apa aku
sedang jatuh cinta sama Fandy?? Trus, kalau emang aku suka sama
Fandy, kenapa aku malah menerima permintaan Irvan buat jadi
pacarnya?? Aku jadi ragu... Apa yang sebenernya aku harapkan dari
hubunganku sama Irvan? Aku nggak pernah sayang sama dia. Aku
nggak pernah membayangkan jadi pacarnya. Atau... karena Irvan

Hot Chocolate Love | 73


pinter?! Ehhmmm... kalau dipikir-pikir... enggak juga sih! Karena
Fandy juga pinter...
Fandy??? Ya!! Ini alasan yang tepat! Aku pacaran sama Irvan
buat menghindar dari Fandy! Karena aku nggak suka sama sikap
kasarnya. Karena aku nggak mau dikenalin sama orang tuanya.
Karena aku belum mikirin buat jadi istri... Istri??!! Ya ampun... Apa
Fandy nggak tahu kalau aku ini masih kelas dua SMA? Dan Rani?!
Apa iya, aku ini tega melukai perasaannya?! Sahabatku...
Tapi... tapi aku nggak bisa kabur dari rasa suka ini. Yang datang
nggak diundang. Dan aku nggak tahu pasti, kapan rasa suka itu
bakal pergi...
Fandy dan nasehat-nasehat bijaknya. Dan suara yang merdu saat
mengimami shalat Ashar-ku waktu itu? Suara yang entah kenapa
selalu ingin kudengar kembali. Suara merdu yang membantu
shalatku menjadi lebih khusyu’. Yang membuatku lupa bahwa aku
pernah benci padanya...
Ah, sudahlah... Biar Allah yang mengaturnya lewat waktu yang
terus berjalan dan mengantar kita pada jawaban-Nya...
Dan Rani??? Oh, sahabatku.... Ada apa denganmu? Aku benar-
benar nggak habis pikir sama kejadian yang menimpa Rani hari ini.
Bukankah selama ini Rani sehat-sehat saja? Dia nggak pernah sakit.
Dia selalu tampil energik. Lagipula, Rani itu atlet basket. Kapten tim
yang terkenal kuat dan nggak kenal kata lelah. Tapi hari ini???
Apa tadi yang hendak dikatakan Gendis??? Pembicaraan kami
yang sempat terputus ketika Rani merintih kesakitan... Ah, semua
itu semakin membuatku tidak ingin memejamkan mata sedetik pun
malam ini...

74 | Hot Chocolate Love


Arti
Sebuah Dukungan

Kejutan!!! Rani masuk sekolah hari ini! Yah, setelah kemarin


sempat dirawat di rumah sakit... Dan sekarang dia udah masuk
sekolah seperti biasa. Kaget kan?!
“Dee, udah siap buat pertandingan nanti sore kan?” tanya Rani
padaku saat pulang sekolah. Dia berbicara seperti tidak pernah
terjadi apa-apa sebelumnya.
“Yups. Tenang aja Ran. Gue cuma perlu tidur sebentar. Soalnya
tadi malem gue baru tidur jam satu. Masih sedikit ngantuk nih…”
“Ya udah deh. Pokoknya semangat ya fren!! Aku pulang duluan...
Oya, jam empat, langsung ngumpul di gymnasium yah!!” kata Rani
sambil melambaikan tangannya.
”Tunggu Ran...!!” teriakku sambil berlari mengejarnya.
”Ran, kamu kemarin kenapa sih? Bikin kita jadi khawatir....
Cerita dong Ran...” pintaku pada Rani.
”Gue nggak kenapa-napa Dee...” elak Rani.
”Ran, kemarin itu elo masuk rumah sakit. Pakai selang oksigen.
Diinfus. Merintih kesakitan. Dan sekarang elo bilang itu nggak
kenapa-napa???” desakku.
”Yang penting gue sekarang udah sehat kan?” kata Rani lagi.
”Iya! Baru kemarin kamu masuk rumah sakit, dan sekarang
kamu udah keluar, trus masih mau main basket lagi seolah-olah
nggak terjadi apa-apa... Ini bukan yang pertama Ran. Dua hari

Hot Chocolate Love | 75


yang lalu kamu juga begitu kan? Tiba-tiba sakit, tapi tiba-tiba juga
langsung sembuh seperti nggak pernah terjadi apa-apa... Kamu
kenapa Ran??” tanyaku terus mendesak.
”Udah deh... Gue juga perlu istirahat. Nanti, suatu saat elo juga
tau...” jawab Rani penuh teka-teki. Ia bergegas menuju gerbang. Di
depan gerbang sekolah, sopir pribadinya sudah menunggu.
Aku segera menuju ke tempat parkir sambil menahan rasa
penasaran. Corolla hitam juga sudah menungguku. Setelah berhari-
hari nginep di bengkel, akhirnya mobil Papa udah bisa dipakai lagi.
Jadi aku bisa bawa mobilku lagi ke sekolah.
Kulayangkan pandanganku ke seluruh sudut tempat parkir. Ah,
aku jadi ingat Fandy. Udah sejak kemarin aku nggak ngelihat dia...
Hari ini jalanan agak lebih padat dari biasanya. Kulihat jam di
pergelangan tanganku. Jam satu lewat lima belas menit. Ah, kenapa
mesti macet begini? Seharusnya aku sudah ada di rumah sejak jam
satu tadi. Dan kalau masih macet seperti ini, aku nggak yakin bisa
sampai di rumah jam setengah dua. Padahal aku butuh tidur siang
agar staminaku cukup bagus untuk pertandingan nanti sore.
Aku mulai ngantuk. Dan jalanan masih macet. Aku sedang
mencari kaset kesayanganku di dashboard ketika sebuah tangan
mengetuk jendela mobilku dengan keras. Dua orang dalam sepeda
motor. Dan orang yang dibonceng adalah orang yang mengetuk kaca
jendela mobilku. Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi ketika orang
yang dibonceng itu membuka helmnya, wajahnya sudah tak asing
lagi buatku. Aha, itu kan Johan!
”Mbak Dee, bukain jendelanya!!” kata Johan sambil menunjuk
kaca jendela mobilku.
”Johan! Ngapain kamu di sini?” tanyaku setelah jendela itu
kubuka.
”Mbak, entar sore mau tanding basket yah?”

76 | Hot Chocolate Love


”Iya. Kamu wajib nonton yah! Bilangin sama anak-anak Microsoft
yang lain. Jalanan macet nih, bete gue...”
”Mbak, biar dianterin sama temenku aja. Mobilnya biar aku yang
bawa. Soalnya di depan macet banget. Ada kecelakaan. Nanti bisa
telat lho!”
Kulihat jam di pergelangan tanganku. Ah, lima belas menit
terbuang sia-sia. Mobilku masih belum bergerak satu meter pun
dari tempatku lima belas menit yang lalu.
”Tapi Jo... temenmu itu siapa? Nggak ah, aku nggak mau!”
”Udah Mbak, cepetan. Temenku baek kok. Suer!! Mbak Dee masa
nggak percaya sama aku sih?” ujar Johan dengan muka masam.
”Ya udah deh...” jawabku dengan berat hati. Bukannya aku nggak
percaya sama Johan... Kami udah sering bekerja satu tim dan aku
tahu betul siapa dia. Johan baik dan jujur, bahkan kadang dia terlalu
lugu. Dan Johan juga sering nganterin bahan mading ke rumahku.
Jadi dia nggak mungkin salah rumah waktu nganterin mobilku. Tapi
temennya itu... Aku nggak tahu siapa dia, karena wajahnya tertutup
sama helm.
”Ati-ati ya Jo... Aku tunggu di rumah” kataku pada Johan setelah
dia duduk di depan kemudi mobilku.
”Tenang Mbak. Percaya sama Johan ya!” kata Johan tulus. Dan
aku yang kini berada di kursi depan sebelah kiri, membuka pintu
dengan hati-hati dan berjalan menuju motor yang ada di samping
mobilku itu.
Honda Tiger dan seorang pengemudi yang tidak kukenal. Dia
mengulurkan sebuah helm kepadaku. Untunglah baju seragam Metro
Alam adalah stelan baju lengan panjang dan celana kain panjang
berwarna cokelat muda, sehingga aku bisa duduk dengan lebih leluasa.
Satu-satunya yang bikin hatiku agak lega adalah karena pengemudi itu
juga menggunakan seragam yang sama dengan aku dan Johan.

Hot Chocolate Love | 77


”Udah siap?” tanya orang itu. Hey, suaranya udah nggak asing!
“Iya, aku udah siap.” jawabku sambil menekan rasa penasaran.
“Duduknya bisa mundur sedikit lagi nggak? Jangan terlalu deket
maksudku...” sahut orang itu.
”Oh, iya...” jawabku pendek. Aku memperbaiki posisi dudukku
seperti yang diminta olehnya. Padahal, saat pertama kali duduk
pun, aku udah menjaga jarak dengannya.
”Pegangan besi di belakang bisa? Gue mau ngebut nih...” ujar
cowok itu sambil menancapkan gasnya.
Huh, siapa juga yang mau pegangan sama dia? Dasar Ge-
eR!! Lelaki di depanku ini lincah sekali mencari jalan diantara
kemancetan. Dan setelah sepuluh menit, akhirnya kami menemui
jalan yang lapang.
Angin berhembus mengeringkan keringat yang sejak tadi
mengalir deras. Motor berpacu lebih kencang. Dan aroma parfum
yang udah nggak asing lagi terasa menggelitik hidungku. Nggak
salah lagi, ini pasti Fandy...
Ah, seketika itu juga jantungku berdetak lebih cepat. Namun
detak jantung itu berdetak teratur. Dan berirama. Detak jantung itu
memainkan musik dan mengiringi lagu cinta yang dinyanyikan oleh
hati. Dalam sunyi itu, aku lebih dapat merasakan bahwa sebenarnya
aku merasa lega ketika bertemu kembali dengannya.
Jam dua kurang seperempat. Motor berhenti dengan lembut.
Aku membuka pintu gerbang rumahku. Fandy membuka helmnya.
Menuntun motornya ke sudut taman yang rimbun di halaman
depan. Wajahnya yang putih menjadi kemerahan oleh sengatan terik
matahari. Dan sejauh ini, belum ada diantara kami yang mencoba
membuka pembicaraan. Bahkan dia tidak menoleh padaku. Tapi
aku cukup tahu diri untuk berterima kasih padanya yang hanya
dijawab dengan satu patah kata. “Iya”.

78 | Hot Chocolate Love


Kupersilahkan dia untuk masuk ke ruang tamu. Siang-siang
seperti ini, Icha pasti belum pulang sekolah. Dan itu berarti, Fandy
selamat dari sikap jutek Icha. Yah, begitulah... Temen-temen
cowokku nggak pernah luput dari pengamatan Icha. Kuucapkan
salam pada seisi rumah, “Assalamu’alaikuuum....” Tak lama
kemudian kudengar suara jawaban Mama dari arah ruang tengah,
”Wa’alaikum salam...”
“Silakan duduk Fan... Aku masuk dulu sebentar yah!”
Dan ketika aku berjalan melewati ruang tengah menuju kamar,
Mama menahan langkahku dengan sebuah pertanyaan bernada
curiga.
“Cowok di depan itu siapa Dee?” tanya Mama sambil menatapku
tajam saat aku mencium kedua tangannya. Memang begitulah
kebiasaan di keluargaku, selalu mencium tangan Mama Papa
sebelum berangkat dan setelah pulang dari bepergian.
“Ooohh itu... Namanya Fandy, Ma. Temen sekolah...” jawabku
sambil kemudian kuceritakan kejadian yang sesungguhnya sampai
akhirnya Fandy bisa mengantarku ke rumah.
“Ya udah, sekarang temenmu itu kamu bikinin minuman dulu
gih...” perintah Mama.
“Iya Ma, aku ganti baju dulu ya...” jawabku sambil meninggalkan
ruang tengah dan menuju kamar.
“Di... itu sa-pa?” tanya Shifa yang berjalan mengikuti dari
belakang. Entah mengapa, Shifa tidak pernah mau memanggilku
‘Mbak Dee’. Satu-satunya orang yang dipanggil Mbak adalah Icha.
Huh, pilih kasih!!!
“Mas Fandy... Temen sekolahku... Kenapa Fa?” jawabku sambil
memdudukkan tubuh Shifa di atas tempat tidurku.
“Di... Boleh maen ya?” tanya Shifa dengan sorot matanya yang
bening.

Hot Chocolate Love | 79


”Ya udah... Kamu ke ruang tamu aja. Jangan nakal ya!” jawabku
lagi.
”Diii... tu-yun!” pinta Shifa.
Kuturunkan tubuh bocah itu dari tempat tidur. Kudengar langkah
kaki kecilnya berjalan menuju ruang tamu diiringi sebait lagu yang
baru dihafalnya dari Mama.

”Matahayi bey-si-nay
Di waktu pagi ha-yi
Bu-yung bu-yung bey-ki-cau
Tam-bin bey-nyanyi nyanyi”

Setelah ganti baju dan cuci kaki, aku segera ke dapur dan
membuatkan minuman untuk Fandy. Dan ketika aku berjalan
menuju ruang tamu, aku merasakan suasana yang lebih semarak
di ruang tamu siang itu. Suara tawa Mama dan Fandy berderai di
sela ocehan Shifa. Heran... nggak biasanya Mama cepet akrab sama
temenku yang baru pertama kali kubawa ke rumah??! Dan ketika
aku telah sampai di ruang tamu, kudapati Mama sedang asyik
mengobrol dengan Fandy.
”Di...Di... Ifa duduk si-ni...” kata Shifa sambil melambaikan kedua
tangannya. Kulihat Shifa duduk dengan damai dalam pangkuan
Fandy sambil memainkan arloji di tangan cowok itu.
“Ya udah deh Fan. Tante masuk dulu ya, masih banyak kerjaan
nih... Kapan-kapan kalau ada waktu maen ke sini aja...” sahut Mama
dengan senyum yang masih tersisa di bibirnya. Wow, surprise!
Fandy ngomong apa aja sih??
“Iya Tante... Insya Allah...”
Setelah Mama masuk, kupersilakan Fandy untuk minum. Dan
kurang dari sepuluh hitungan, seluruh isi gelas sudah tandas. Ah,

80 | Hot Chocolate Love


Fandy pasti kehausan sejak tadi. Kasihan...
“Di... Di... temen Ifa dan-ten ya...” kata Shifa sambil menarik
kedua pipi Fandy. Kedua alis mata Fandy saling bertaut.
“Shifa bilang apa Dee?” tanya Fandy dengan wajah penasaran.
”Eh, anu... Shifa bilang kalau kamu itu... anu... kamu ganteng...”
jawabku sambil menahan hawa panas yang tiba-tiba menjalar di
sekitar pipiku. Ya Allah, semoga Fandy tidak tahu kalau pipiku
mungkin sudah memerah...
“Fan, mau dibikinin minuman lagi?” kataku berusaha
mengalihkan perhatian.
”Kalau kamu ngantuk, tidur aja dulu...” kata Fandy tanpa
mengacuhkan pertanyaanku.
”Kamu ngomong sama aku?”
”Iya!”
”Trus... kamu sendirian??”
”Ada Shifa kok!” jawabnya sambil terus bermain dengan Shifa.
Dan lagi-lagi ia tidak pernah menatap mataku.
”Ah, nggak usah deh. Gue temenin elo aja...” jawabku nggak enak
sama Fandy.
”Elo tidur sekarang atau gue pulang sekarang???” tanya Fandy
tegas. Kali ini, matanya sekilas menatap mataku.
”Kalau gue milih nggak tidur dan nemenin elo... gimana?!”
”Okey. Gue pamit...” kata Fandy sambil kemudian membujuk
Shifa yang masih ingin bermain dengannya. Huh, sikap keras kepala
Fandy keluar lagi deh! Uhm, seandainya dia tahu kalau aku ingin
bersamanya lebih lama...
”Tunggu Fan...!!!”
”Kenapa lagi? Gue nggak mau ganggu jam tidur siang elo.” kata
Fandy sambil sekilas menatapku ketika hampir meninggalkan teras
rumah.

Hot Chocolate Love | 81


”Fan, gue mau ngasih tau...” jawabku pelan. Aku tidak yakin bisa
mengutarakan apa yang sebenarnya ingin kukatakan. Dan Fandy
hanya diam. Menunggu kata keluar dari mulutku...
“Fan, kemarin... gue udah jadian sama Irvan...” kataku akhirnya.
Aku tidak berani menatap wajahnya.
Seketika itu Fandy membalikkan tubuhnya dan membelakangiku.
Tapi aku masih mendengar nafasnya yang menderu. Aku menunggu
dan mengharapkan sebuah kalimat darinya. Aku ingin Fandy
memarahiku. Aku ingin Fandy tetap mempertahankan aku. Aku
ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa sesungguhnya Fandy
benar-benar mengharapkanku... Tapi setelah sekian menit berlalu,
ternyata aku hanya bisa menyaksikan sosok tubuhnya itu beranjak
pergi meninggalkan halaman rumahku. Diam... Hanya diam yang
dilakukan Fandy... Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dan
entah mengapa aku jadi menyesal karena telah melukai hatinya...
Luka??? Entahlah... Hanya saja, perasaanku mengatakan bahwa
perasaan Fandy telah terluka olehku...
Ah, seandainya saja kita berada dalam satu waktu yang tepat
Fan...

Suasana gymnasium sore ini begitu ramai. Seluruh tempat


duduk di tribun telah dipenuhi oleh sorak-sorai suara suporter dari
SMA Metro Alam dan SMA Pelita Harapan. Di satu kubu, tampak
suporter Metro Alam yang seluruhnya berbaju biru dengan berbagai
spanduk penyemangat. Di kubu lain, suporter Pelita Harapan yang
dominan dengan warna hijau sedang meneriakkan yel-yel mereka.
Riuh rendah yel-yel itu kemudian saling bersahutan dengan yel-yel
Metro Alam.

82 | Hot Chocolate Love


Aku melayangkan pandangan ke arah tribun suporter Metro
Alam. Kulihat Memey dan Gendis berdiri di tribun paling depan
dan sedang memimpin yel-yel Metro Alam dengan semangat. Di
barisan atas, kulihat Johan dan anak-anak ‘Microsoft’ sedang sibuk
menempel spanduk. Ah senangnya, ternyata mereka datang juga...
Perhatianku beralih ke arah lapangan. Hey, itu Irvan!!! Entah
bagaimana caranya, Irvan bisa duduk di barisan official itu. Yang
jelas, saat ini kulihat Irvan sedang asyik mengobrol dengan guru
olahraga sekaligus manajer tim kami, Pak Probo.
”Dee, kita pemanasan dulu yuk!” kata Rani kepadaku dan pada
dua belas pemain yang lain untuk melakukan pemanasan. Keringat
mengalir deras diantara wajah-wajah yang tegang. Ditambah lagi
suara riuh suporter yang entah kenapa semakin membuat kami
bertambah tegang. Sambil terus melakukan pemanasan, Rani
tak henti-hentinya mengingatkan pada kami agar jangan tegang.
Pertandingan ini bukan pertandingan pertama bagi tim kami. Tapi
entah kenapa, perasaan tegang seperti ini selalu datang di setiap
awal pertandingan. Hey, Rani benar-benar hebat!!! Dia benar-benar
nggak kelihatan sakit! Dan Rani memang benar-benar terlihat sehat
hari ini. Full energy!!!
Aku melirik ke arah pemain Pelita Harapan. Kulihat formasi
mereka sudah banyak berubah. Wajah-wajah pemain lama lebih
banyak duduk di bangku official. Sedangkan pemain baru sedang
bersiap melakukan latihan rebound di pinggir arena. Kalau dilihat
dari postur tubuhnya, pemain Pelita Harapan lebih unggul dari
pemain Metro Alam. Tubuh mereka lebih tinggi dan terlihat kokoh.
Ah, semakin ciut saja nyaliku...
”Okey semua. Sebelum kita mulai pertandingan, mari kita
berdoa sejenak agar diberi kelancaran dan kemudahan sehingga
kita dapat memenangkan pertandingan ini dan memberikan yang

Hot Chocolate Love | 83


terbaik untuk almamater kita...” kata Rani memimpin doa setelah
usai pemanasan.
Pemain pertama yang akan turun adalah Rani, Maya, Meta, Novi,
dan aku. Kami berjalan menuju ke tengah lapangan untuk bersiap-
siap. Gemuruh suara tepuk tangan dari suporter Metro Alam pun
membahana memenuhi udara sore di gymnasium.
Dan peluit tanda pertandingan dimulai telah ditiup...
Pemain Pelita Harapan menguasai bola pertama. Rani
memerintahkan dengan isyarat tangan agar kami membentuk
formasi ’defend’ atau bertahan. Ketika salah seorang pemain Pelita
Harapan memegang bola di depanku dan sudah mengambil ancang-
ancang untuk memasukkan bola ke ring, entah kenapa aku malah
menurunkan kedua tanganku dari posisi hand’s up. Aku sempat
mendengar teriakan panik dari Maya, ”Hand’s up Deeee...!!!” Tapi
terlambat. Bola terlanjur ditembakkan ke arah ring. Dan.... masuk!!!
Dua point pertama untuk Pelita Harapan. Sorak-sorai suporter Pelita
Harapan menguasai gymnasium. Dan itu sebenarnya tidak perlu
terjadi kalau saja aku bisa lebih gigih mempertahankan daerahku.
Ah, kenapa sih aku ini??!
Kini bola berada di pihak kami. Rani menggiring bola menuju
ke pertahanan lawan. Formasi menyerang telah dibentuk. Rani
melemparkan bola ke arah Novi. Novi membawa bola masuk
lebih dalam lagi dan kemudian melemparkannya kepadaku. Dan
sekarang aku berlari menuju sayap kanan, mencari posisi mudah
untuk menembakkan bola ke arah ring. Tapi aku lupa kalau aku
tidak terlalu mahir bermain di wilayah ’wing’.
Selama ini, seranganku selalu lebih tajam kalau kulakukan dari
daerah ’three second’. Dan itulah kelebihan yang selama ini kumiliki.
Dengan gerakan kurang dari tiga detik, aku selalu bisa menjebol ring
lawan. Namun sekarang, entah kenapa aku malah bermain sayap

84 | Hot Chocolate Love


kanan. Dan benar saja... keberuntungan tidak berpihak kepadaku.
Bola berhasil direbut pihak lawan. Samar kudengar gemuruh
kekecewaan dari suporter Metro Alam. Hey...!!! Ada apa denganmu
hari ini Dee??!
Dan serangan pemain Pelita Harapan berlangsung sangat cepat.
Sebelum pemain kami sempat kembali ke wilayah pertahanan,
mereka sudah berhasil menjebol ring kami dari batas garis ’three
point’. Oh damn!!! Tiga poin bertambah untuk tim Pelita Harapan.
Dan sorak-sorai suporter Pelita Harapan terdengar semakin keras
saja.
Rani mulai gusar. Dan permainanku tidak juga membaik.
Padahal saat latihan terakhir, aku bermain sangat bagus dan
mendapat pujian darinya. Sampai sepuluh menit berlalu dan waktu
istirahat telah tiba, poin Metro Alam masih tertinggal jauh dari poin
Pelita Harapan. 18-5. Damn!!! Itu poin yang sangat memalukan!
Dan sebagian besar poin yang dicetak oleh pemain Pelita Harapan
adalah karena keteledoranku.
”Dee, kamu kenapa sih?” tanya Rani sambil menahan marahnya
padaku. ”Kalau sampai lima menit ke depan kamu masih belum
bisa bikin poin, aku terpaksa keluarin kamu Dee...” lanjut Rani
tanpa memberi kesempatan padaku untuk membela diri. Aku
mengerti sekali pada perasaan Rani. Selama ini, dia sudah banyak
menghabiskan waktu untuk latihan demi menghadapi turnamen
basket kali ini. Dan aku??? Setelah latihan berat yang dilalui selama
ini, aku lantas memberi kesempatan begitu saja pada pihak lawan
untuk mencetak angka dengan leluasa. Oh Dee... Aku sendiri tidak
tahu, apa yang sedang terjadi dengan diriku saat ini...
Irvan menghampiriku. Diberikannya sehelai handuk padaku.
Dan di saat seluruh pemain sudah kehilangan kepercayaan padaku,
Irvan dengan sabar berusaha menenangkanku hingga akhirnya

Hot Chocolate Love | 85


peluit tanda dimulainya babak kedua kembali ditiup. Ah Irvan, baik
sekali kamu...
Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju ke tengah lapangan.
Seluruh rasa percaya diriku menguap entah kemana. Kulayangkan
pandanganku ke arah tribun dimana terdapat suporter Metro Alam
berada. Wajah-wajah mereka tampak begitu seram di mataku. Ah,
aku takut mengecewakan mereka...
”Dee!! Jangan jadi cewek lemah dong!!!” Aku menangkap teriakan
seseorang dari arah tribun, di tengah suara gemuruh yang berisik.
Aku tidak akan mempedulikan teriakan itu kalau saja suaranya
masih asing di telingaku. Tapi suara ini sudah tidak asing buatku.
Dan seketika, aku menoleh ke arah datangnya suara itu.
Fandy berdiri sambil mengibarkan bendera berlambang majalah
’Microsoft’ sambil menatapku dengan penuh harap. Ah, bendera
itu... Lambang itu... Lambang yang kubuat sketsanya bersama Johan
saat Microsoft sedang mengalami masa-masa sulit. Bendera yang
kemudian membangkitkan semangatku, dan kini membuahkan hasil
dengan kemajuan yang sangat pesat. Ah, perjuanganku bersama
’Microsoft’ selama hampir dua tahun belakangan...
Seketika itu juga timbul semangat yang menggelora dari
dalam diriku. Kini aku berdiri di lapangan sebagai Dee yang utuh.
Semangatku telah kembali seperti semula. Dan pada menit pertama
ketika pertandingan dimulai, Rani menatapku dengan tatapan yang
seolah-olah berkata, ”Waktumu cuma empat menit Dee... Lakukan
sekarang atau kamu terpaksa keluar!” Aku menganggukkan kepala.
Kubalas tatapan Rani dengan tatapanku yang seolah berkata, ”Okey
Ran. Inilah saatnya gue ngebuktiin...!”
Rani mendapat umpan dari Meta. Dia membawa bola menuju
sayap kiri. Rani mencoba menerobos benteng pertahanan lawan,
namun sepertinya benteng itu terlalu kokoh untuk dilewati.

86 | Hot Chocolate Love


Dilemparkannya bola itu ke arah Novi. Namun Novi juga tidak
dapat melakukan serangan karena jaraknya terlalu jauh dengan
ring. Bola dilempar pada Maya, dan.... lepas!! Yah, bola itu lepas
dari genggaman tangan Maya!!! Dan sepersekian detik kemudian,
bola itu kini melayang tepat di atas kepalaku. Aha! Tidak akan kusia-
siakan kesempatan ini...
Kuambil bola itu tepat ketika tangan lawan hampir
mendapatkannya. Kini aku tepat berada di depan lawan. Jarak
kami mungkin tidak sampai tiga puluh centimeter. Dan aku tidak
mungkin terus menerobos ke dalam area ’three second’ kalau orang
itu masih ada di depanku. Aku segera memutar akal sementara
waktu terus berjalan. Aku sengaja membuat gerakan tipuan dengan
meloncat tinggi dan seolah-olah hendak memasukan bola ke dalam
ring. Dan... berhasil!! Ketika orang di depanku itu meloncat, aku
segera menerobos ke daerah ’three second’. Sedikit mengangkat
kaki, dan.... Yeah!! Dua poin untuk Metro Alam. Tepuk tangan
bergemuruh... Senyum terkembang dari bibir Rani. Ketegangan
memudar dari wajah para pemain Metro Alam yang lain.
Permainanku telah kembali. Aku telah menemukan diriku sebagai
pemain lapangan. Sehingga dalam sepuluh menit babak kedua
pertandingan itu, setidaknya aku telah mencetak delapan poin. Dan
ketika peluit dibunyikan sebagai tanda bahwa pertandingan babak
kedua usai, kami telah menyamakan posisi dengan angka yang
diperoleh SMA Pelita Harapan. 27-27.
Pertandingan selanjutnya semakin seru. Kedua kubu silih
berganti memimpin perolehan angka. Namun permainanku kini
telah stabil. Semua bermain sesuai dengan porsinya masing-
masing. Kami tidak bermain dengan terburu-buru. Dan itu
membawa keuntungan tersendiri buat tim kami. Ketika pihak lawan
sudah kelelahan, kami mengubah gaya permainan pada menit-

Hot Chocolate Love | 87


menit terakhir. Kami bermain cepat dan agresif. Pada mulanya,
pihak lawan masih mencoba menghimpun kekuatan dan berusaha
menahan serangan kami. Tapi bagaimanapun juga, stamina mereka
telah banyak terkuras di awal-awal pertandingan. Dan ketika peluit
tanda pertandingan berakhir ditiup oleh wasit, kemenangan berada
di tangan SMA Metro Alam. 47-43.
Ah, bahagianya... Aku lega luar biasa... Suara sorak-sorai suporter
Metro Alam membahana memenuhi ruangan. Senyum tak henti-
hentinya terkembang dari bibir para pemain. Kemenangan yang
cukup berkesan setelah kami hampir putus asa pada akhir babak
pertama. Aku melihat ke arah tribun. Bendera berlambang majalah
‘Microsoft’ masih melambai dengan gagah. Tapi tidak kulihat ada
Fandy di sana. Ah, kemana anak itu...
Rani mengacak-acak rambutku. ”Kamu tadi kenapa sih Dee?
Bikin aku khawatir aja...” katanya kini sambil tersenyum. Belum
sempat aku menjawab pertanyaannya, Irvan telah datang padaku.
”Selamat ya Dee...” kata Irvan dengan wajah gembira.
”Makasih ya Van... Tanpa semangat dari kamu, aku nggak yakin
masih punya nyali buat masuk ke lapangan lagi.” jawabku dengan
tulus.
”Van... Dee... Gue duluan yah!!!” kata Rani pada kami berdua
setelah ia selesai merapikan isi tasnya. Tidak ada yang aneh pada
diri Rani hari ini. Setelah bermain habis-habisan, dia tetap sehat.
Yah, tetap sehat! Rani tetap sehat!!! Lantas... yang kemarin itu Rani
kenapa???

88 | Hot Chocolate Love


Mom’s
Love Story

Sweet Home, 19.05 WSH


“Gimana basketnya Dee? Menang nggak?” tanya Mama ketika aku
telah selesai mandi. Papa, Icha, dan Shifa sedang asyik menonton
tivi di ruang tengah.
”Menang sih menang Ma... Tapi mainku hari ini jelek... Nggak tau
deh kenapa...” jawabku sambil tiduran di atas sofa di dalam ruang
kerja Mama. Yeah, Mamaku itu orangnya nggak mau kalah sama
Papa. Kalau Papa punya ruang kerja, Mama juga pengen punya
ruang kerja. Mamaku itu nggak pernah bisa nganggur. Selalu ada
yang dia kerjakan. Selain aktif nulis di berbagai media cetak, Mama
juga jadi pengurus salah satu LSM bidang kehutanan. Itu makanya,
Mama mendukung banget waktu aku milih sekolah di SMA Metro
Alam yang notabene agak berbau jungle gitu.
”Eh Dee, Fandy itu cowok kamu yah?” tanya Mama tiba-tiba.
”Idiiiih... Mama jangan sok maha tahu gitu deh! Enggak kok, dia
cuma temen sekolah...” jawabku sambil melihat-lihat majalah yang
tergeletak begitu saja di dekat sofa.
”Siapa yang sok maha tahu?! Karena Mama nggak tahu, makanya
Mama nanya...”

Hot Chocolate Love | 89


”Ngetik apaan Ma?” tanyaku penasaran pada Mama yang serius
di depan komputer.
”Makalah seminar. Dampak limbah industri hasil hutan terhadap
kualitas air dan tanah di lingkungan sekitar industri. Keren nggak
judulnya?”
”Ya keren laaaah... Siapa dulu dong... Mama gitu loh!!” jawabku
sambil menggoda Mama. Ya, beginilah aku dan Mama. Nggak ada
kata lain yang cocok buat Mama selain sebutan ’Ibu Gaul’.
Mama itu pinter masak dan pinter dandan. Bukan wanita karier
tapi wanita aktif dan berjiwa muda. Papa selalu memuji masakan
Mama. Dan memang pada kenyataannya Mama itu koki yang hebat.
Dua jempol buat masakan Mama. Suer!!! Selain cantik, Mama juga
pinter dandan. Pinter membawakan diri. Intinya, Mama itu nggak
pernah salah kostum dan selalu membuat Papa merasa sebagai
lelaki paling ganteng saat berdiri di samping Mama.
Mama berjiwa muda. Selain sebagai ibu, Mama adalah sahabat
yang paling baik, paling bijak, dan paling pengertian. Aku selalu
lebih leluasa kalau membicarakan masalah pribadi sama Mama.
Mama selalu tahu, kapan saatnya menempatkan diri sebagai ibu
yang dihormati dan kapan saatnya menempatkan diri sebagai
sahabat yang enak diajak curhat.
Satu hal (dari sekian banyak hal) yang bikin aku salut sama
Mama. Mama itu nggak pernah lupa sama tugasnya sebagai istri
(Ehm...ehm... pembicaraan wanita dewasa nih). Walau Mama sibuk,
tapi Mama selalu sempat masak buat Papa. Selalu punya waktu buat
dengerin curhat anak-anaknya. Dan selalu punya waktu buat ngaji.
Yeah, jangan heran kalau suara Icha bagus, itu karena titisan dari
suara Mama yang oke punya.
Pokoknya, kalau aku nanti udah jadi ibu (aduh, lagi-lagi
pembicaraan wanita dewasa nih!), aku pengen jadi ibu seperti

90 | Hot Chocolate Love


Mama. Pokoknya, Mama itu keren deh!!!
”Ma, cerita tentang Papa dong...”
“Cerita apaan sih?”
“Waktu Mama pacaran dulu sama Papa...” kataku sambil beranjak
menuju lemari kaca yang diletakan di sudut ruangan.
”Mama kan nggak pacaran sama Papa kamu. Cuma sahabat pena
doang.” elak Mama.
”Iyaa... sahabat pena, tapi selama lima tahun kan??? Ngomongin
apa aja tuh?”
”Ya banyak. Papa kamu itu kan dewasa. Banyak kasih nasehat
buat Mama. Itu makanya Mama suka sama Papa...” jawab Mama
sambil menghentikan aktivitas mengetiknya. Matanya menerawang
ke langit-langit kamar dan menembus lorong waktu untuk kembali
pada masa delapan belas tahun silam. Mama tersenyum sendiri...
”Contohnya nasehat tentang apa Ma?”
”Emmm... apa ya??? Ah, ini dia! Mama inget sama salah satu
nasehat Papa Dee. Bercerminlah dan lihatlah wajahmu. Kalau
cantik, jangan dirusak dengan perbuatan buruk. Kalau wajahmu
buruk, jangan ditambah lagi dengan perbuatan buruk...”
”Dee, kamu belum pernah pacaran ya?” sambung Mama.
”Belum. Emang kenapa Ma?” jawabku dengan balik bertanya
pada Mama.
”Dee... Mama cuma pesen sama kamu, jaga diri kamu bak-baik.
Jangan gampang percaya sama cowok. Maksud Mama, jangan
mudah percaya sama penampilannya, jangan mudah tertipu. Kadang
yang kita anggap buruk, ternyata malah itulah yang terbaik buat
kita. Jangan pernah menduga dalamnya laut dengan kail sejengkal.
Mama nggak pernah bosen ngomong kaya’ gini sampai kamu nanti
udah punya suami. Ngerti???!” jawab Mama dengan puluhan tanda
seru di wajahnya.

Hot Chocolate Love | 91


”Iya Mamaku sayang...” jawabku sambil memeluk bahu Mama
dari belakang. Mama melanjutkan ceritanya...
“Papa itu kakak tingkat Mama waktu masih mahasiswa. Papa itu
rohis taat. Dan Mama... boro-boro rohis! Pake jilbab juga enggak...!!
Waktu itu Mama bikin cerpen, judulnya Jenggot Warisan. Idenya
itu karena Mama ngelihat cowok-cowok yang punya jenggot.
Trus Mama bikin cerpen tentang jenggot itu. Dan setelah dimuat
di majalah kampus, ada surat dateng dari seorang yang namanya
Ahmad. Dan itu Papa kamu...”
“Trus Ma, Papa bilang apa?”
“Yaa gitu deh... Menurut dia, mungkin isi cerpen Mama itu agak
menyinggung Papa yang juga punya jenggot. Tapi Mama nggak
bermaksud gitu kok. Awalnya, Mama sempat kesel juga sama Papa
kamu. Mama sering diskusi dan berdebat sama Papa kamu tentang
banyak hal lewat surat. Dan selalu Mama yang kalah. Teori-teori
Mama selalu dipatahkan mentah-mentah sama Papa. Dan sejak saat
itu, Papa jadi sahabat pena Mama. Suka ngasih nasehat, trus ujung-
ujungnya.... Papa kamu naksir juga sama Mama...”
”Trus, Papa nyatain kalau suka sama Mama?”
”Huuu... boro-boro Dee!!! Papa kamu itu malah maksa-maksa
Mama pake jilbab. Trus maksa-maksa Mama buat diajak ke
rumahnya buat dikenalin sama orang tuanya...”
Dzzzzttt!!! Persis! Sama persis! Cerita Mama sama persis dengan
ceritaku sama Fandy!
”Trus Ma???” tanyaku nggak sabar.
”Ya mana Mama mau?! Malahan, Mama cari pacar laen. Biar
Papa kamu itu pergi ngejauhin Mama. Abis, Mama serem sih...”
Ini... Dan bagian ini...??? Sama persis!!! Mama sedang
menceritakan sebagian episode hidupku selama lebih dari dua bulan
belakangan ini.

92 | Hot Chocolate Love


”Bukannya bisa ngelupain Papa, malahan Mama ngerasa semakin
yakin kalau Papa kamu itu bener-bener serius sama Mama. Suer
Dee...! Mama malah tambah mantep kalau Papa kamu itu cowok
yang paling baik buat Mama...”
Ah, bagian ini hampir mirip. Tapi ada bedanya sama aku. Aku
mulai ngerasa sayang kok sama Irvan....
”Akhirnya, Mama mulai pake jilbab. Mama memperdalam
agama. Dan setahun kemudian, Papa kamu ngelamar Mama... Trus,
tiga bulan setelah itu, Mama nikah sama Papa... Aduh Dee... Indah
banget....” kata Mama dengan matanya yang berkaca-kaca. Ah, itu
pastilah air mata haru...
”Waktu ngelamar itu, Mama baru tahu kalau Papa itu romantis...
Coba kamu lihat kertas yang Mama tempel di kaca itu...” perintah
Mama sambil menunjuk ke arah kaca yang dimaksud.
Mana mungkin aku menolak kedatanganmu, semen­
tara namamu telah datang sebelum aku menarik nafas
pertamaku...
”Hah, romantis??? Enggak ah, biasa aja tuh Ma...” sahutku
setelah membaca kalimat itu.
”Baca lagi deh...!!!” kata Mama. Dan setelah kubaca berkali-kali,
aku tetap menganggap kata-kata itu sebagai kata-kata yang sangat
biasa.
Mana mungkin aku menolak kedatanganmu...
”Itu ungkapan kalau sebenernya Papa jatuh cinta sama Mama.
Papa yang rohis itu, mana mungkin mau pakai kata-kata vulgar
seperti ’cinta’, ’sayang’, ’kekasihku’...” jelas Mama kepadaku.
Yah, masuk akal juga. Papa sengaja menulis kata-kata yang
menurutnya vulgar itu ke dalam kata-kata yang jauh lebih sederhana,
tapi bermakna jauh lebih dalam dan membekas.

Hot Chocolate Love | 93


Sementara namamu telah datang sebelum aku menarik
nafas pertamaku...
“Dan kata-kata yang ini Dee... bisa bikin Mama nangis terharu
lho waktu pertama kali ngebacanya!”
“Emang artinya apaan Ma?”
“Itu artinya, Mama emang diciptakan Allah dari sebuah tulang
rusuk Papa kamu Dee...” jawab Mama sambil tersenyum penuh arti
padaku.
“Kamu ngerti maksud Mama kan? Masa pimred Microsoft nggak
tau sih? Kalau nggak tau artinya, mending nggak usah jadi pimred
aja deh...” sambung Mama.
Aku berpikir keras. Teramat keras.
Sementara namamu telah datang... Ah, ini gampang...
bisa diartikan juga: Sementara Dyera Alamanda telah datang...
Sebelum aku menarik nafas pertamaku... Menarik
nafas pertama... Ah, kapankah manusia dikatakan menarik nafas
pertamanya? Apakah sejak manusia itu bisa menghitung? Ataukah
sejak manusia itu menyadari bahwa dia hidup dari setiap tarikan
nafasnya? Apakah itu yang disebut sebagai nafas pertama? Ah, tentu
tidak adil kalau begitu perhitungannya. Tentu akan sangat subjektif
jadinya....
Dan kalau itu yang disebut sebagai nafas pertama, bisa saja orang
mati saat menarik nafas pertamanya, karena dia baru menyadari
bahwa ia hidup dari tarikan saat malaikat maut telah mencekik
lehernya dan menutup semua lubang yang memungkinkan udara
bisa masuk ke dalam tubuhnya....
Lantas, kapankah manusia dikatakan menarik nafas
pertamanya??? Kupikir, manusia itu menarik nafas pertamanya
ketika ia baru terlahir di dunia... Atau bisa juga ketika Allah telah

94 | Hot Chocolate Love


meniupkan ruh ke dalam jasad berumur empat bulan yang masih
meringkuk di dalam perut bunda... Yah, nafas pertama adalah ketika
Allah telah meniupkan kehidupan ke dalam rahim bunda... pada
buah cinta yang dikandung di dalam perutnya... Yah, ketemu!!! Dan
itulah nafas yang pertama kali dihembuskan manusia...
Sebelum aku menarik nafas pertamaku = Sebelum
ditiupkannya ruh kepadaku.. Pasti itu artinya... Aku yakin!!! Yah, aku
telah menemukan artinya...!!! Dan benar kata Mama. Dalam. Kata-
kata Papa itu bermakna sangat dalam... Ah, Papa... Romantisme
yang dibungkus dalam kata sederhana namun menimbulkan kesan
begitu dalam dan tidak vulgar. Sama sekali tidak gombal...!!!

Mana mungkin aku menolak kedatanganmu,


sementara namamu telah datang sebelum aku menarik
nafas pertamaku...

Mana mungkin Ahmad menolak kedatangan Allysa, sementara


nama Allysa telah dicatat dalam lauhul mahfudz sebelum
ditiupkannya ruh pada jasad Ahmad...
Mana mungkin Affandy menolak kedatangan Dyera, sementara
nama Dyera telah ditulis dalam kitab kehidupan Affandy sebelum
ditiupkan ruh ke dalam tubuh Affandy...

Hot Chocolate Love | 95


96 | Hot Chocolate Love
Hasan,
Where Are You??

”Mbak Dee, jangan suka ngelamun ih...!” kata Icha saat masuk
kamar dan melihatku lagi bengong.
”Hah??? Siapa yang ngelamun? Aku lagi mikir ya Non...”
“Mikir apaan sih Mbak?”
“Aduh Cha, sebenernya aku mau cerita sama kamu. Tapi kalau
diceritain dari awal, terlalu panjang ceritanya. Aku nggak tau harus
mulai dari mana...”
“Ya udah, terserah Mbak Dee aja. Kalau emang belum kepingin
cerita ya nggak papa. Nanti kalau udah mood buat cerita, aku siap
jadi pendengar yang baik kok...” jawab Icha bijak. Ichaaa... kenapa
sih kamu dewasa banget?!
”Cha, kamu nggak pengen curhat sama aku? Jelek-jelek begini kan
aku juga Kakak kamu Cha. Aku duluan lahir daripada kamu. Yaa...
siapa tau aku bisa bantu kamu?!” tanyaku mencoba menawarkan
bantuan pada Icha.
”Ah iya. Ada Mbak... Aku bukan mau curhat, tapi mau cerita...”
”Ya udah, cerita aja...”
“Ustadzah Rima punya anak cowok cakep Mbak. Kalau nggak
salah, namanya Hasan. Icha sama temen-temen yang lain pernah
ketemu sama Hasan. Cuma sekali, pas Hasan jemput Bu Rima
dari pengajian. Dan emang cakep Mbak!” cerita Icha dengan mata
berbinar-binar.
”Cieee... Trus kamu naksir sama Hasan ya?”

Hot Chocolate Love | 97


”Enggak! Aku lanjutin yah ceritanya. Bu Rima itu sering banget
cerita tentang Hasan. Hasan itu anak terakhir dari lima bersaudara.
Semua kakaknya udah nikah. Setelah denger cerita Bu Rima, aku
bisa ngambil kesimpulan kalau Hasan itu tipe cowok idaman setiap
wanita. Udah cakep, pinter, sholeh lagi! Kurang apa coba Mbak??”
jelas Icha terlalu panjang dan terlalu lebar, sehingga membuat aku
bingung dan tidak mengerti pada arah pembicaraannya.
”Bu Rima itu siapa?”
”Guru ngajiku Mbak... Kalau selama ini aku sering pengajian hari
Minggu, ya itulah... Aku ngaji sama Bu Rima...”
”Trus, maksud kamu nyeritain tentang Hasan sama aku?”
”Nah, maksudku nih Mbak... Daripada Mbak Dee pacaran sama
cowok yang enggak jelas, mendingan Mbak Dee ikut pengajian aja
sama aku. Siapa tau bisa ketemu sama Hasan... Aku yakin deh,
Mbak Dee bakalan jatuh cinta pada pandangan pertama...” bujuk
Icha dengan penuh keyakinan.
”Udah deeeeh... Nggak usah sok yakin gitu deeeeeh....” jawabku
sewot. Siapa bilang Irvan itu cowok nggak jelas? Rese ih...
”Aku berani taruhan Mbak!” tantang Icha.
”Taruhan apa?”
”Taruhan... Kalau Mbak Dee bakalan langsung suka sama Hasan
begitu ketemu sama dia...” jawab Icha, lagi-lagi dengan keyakinannya
yang bulat.
”Kalau aku nggak suka, gimana?”
”Icha bakalan traktir Mbak Dee selama seminggu. Nurutin semua
perintah Mbak Dee selama sebulan. Dan nggak akan jutekin temen
cowok Mbak Dee selama dua bulan! Gimana?”
Busyet! Yakin banget ini anak??!
”Okey! Aku terima tawaran kamu. Aku pegang kata-katamu...”
jawabku pada akhirnya.

98 | Hot Chocolate Love


”Sekarang, jelasin aturan mainnya!” sambungku kemudian.
”Gampang... Mbak Dee Cuma perlu ikutin pengajian besok
hari Minggu.” kata Icha sambil menjentikkan ibu jari dengan jari
kelingkingnya.
”Kalau hari Minggu besok aku nggak ketemu sama Hasan?”
”Yaaaa... itu resiko Mbak Dee. Itu berarti Mbak Dee harus ikut
pengajian Minggu depannya lagi sampai Mbak Dee ketemu sama
Hasan. Gimana?”
Yah, daripada Icha harus ngejutekin setiap temen cowokku yang
datang. Gimana kalau Irvan main ke rumahku? Gimana kalau Fandy
datang lagi ke sini? Okey deh, apapun persyaratannya, semua ini
aku lakukan demi Fandy... Eh, salah. Buat Irvan juga...
Siapa tahu Hasan emang bener-bener cakep, pinter, sholeh? Ah,
boleh juga tuh... Menang taruhan atau kalah taruhan, toh aku juga
nggak rugi. Untung malah...

Kompetisi basket antar SMA se-Jabotabek masih terus


berlangsung. Kemenangan demi kemenangan yang diraih SMA
Metro Alam dalam tiga kali pertandingan selama seminggu ini
adalah hasil kerja keras tim dan karena campur tangan Yang Di Atas.
Babak penyisihan dilalui dengan mulus. Semifinal menghadang di
depan mata.
Hari Minggu ini aku harus memenuhi janjiku pada Icha. Aku
ikut pengajian. Jujur, agak sedikit ribet juga untuk memakai jilbab.
Tapi Icha sabar sekali mengajariku bagaimana memakai jilbab yang
mudah dan cepat.
“Nah, udah selesai! Tuh kaaan, Mbak Dee jauh lebih cantik kalau
pakai jilbab... Coba ngaca deh!” ujar Icha dengan mata berbinar.

Hot Chocolate Love | 99


Aku bercermin. Aku berdiri di depan cermin. Aku melihat
bayangan seorang gadis yang dipantulkan oleh cermin itu. Bukan.
Itu pasti bukan aku! Aku ini cewek yang sedikit tomboy, sedangkan
cewek yang ada dalam cermin itu bener-bener feminin. Cewek di
dalam cermin itu terlihat anggun dengan balutan rok berwarna hijau
lumut dan atasan berwarna senada dengan rok itu. Sehelai kain
terpasang rapi membingkai wajah gadis itu. Satu kata yang pantas
diucapkan untuk gadis yang baru kukenal itu (tanpa bermaksud
narsis): cantik! Wajahnya kelihatan lebih bersinar. Dan pasti itu
bukan aku!
“Tuh kaan, Mbak Dee lebih cantik kalau pakai jilbab...” ujar Icha
mengulang perkataannya tadi.
“Eh... iya ya. Ah, kamu bisa aja deh. Udah ah, berangkat yuk...”
kataku pada Icha sambil menyembunyikan pipiku yang memerah.
”Eit, tunggu dulu... Niatnya apa dulu nih... Mau ngaji apa mau
ketemu sama Hasan?” tanya Icha menggodaku.
”Dua-duanya! Ayo cepetan...” ajakku sambil menarik sebelah
tangannya. Uups, tapi terlambat. Kulihat senyum Mama
mengembang dari ujung ruang tamu. Mama sedang menyapu.
”Papaaaa... sini deh cepetan! Ada orang baru di rumah. Mau
kenalan nggaaaak?’ teriak Mama pada Papa yang ada di ujung
halaman. Papa sedang mencuci mobilnya.
”Ih Mama apaan sih?” tanyaku sambil pura-pura cemberut.
”Cantik amat kamu Dee...” puji Mama.
”Mbak Dee Cantik yah. miyip Mama sa-ma Mbak Cha...” celoteh
Shifa yang ikut-ikutan menuju ke ruang tamu. Padahal seluruh
tubuhnya basah karena ’membantu’ Papa mencuci mobil.
”Hah??? Apa kamu bilang?” tanyaku setengah tidak percaya
pada apa yang diucapkan Shifa. Dia memanggilku dengan sebutan
’Mbak’.

100 | Hot Chocolate Love


”Mbak Dee...” ulang bocah itu.
Yeah, jadi aku nggak salah dengar! Shifa benar-benar
memanggilku dengan sebutan ”Mbak”. Ah senangnya...
”Pa, anak kita dua-duanya cantik yah...” kata Mama pada Papa
setelah Papa berdiri di depan pintu ruang tamu. Mama dan Papa
memandangi aku dan Icha bergantian dengan tatapan penuh haru.
”Alhamdulillah ya Allah... Anak Papa yang satu ini udah dapet
hidayah buat menutup aurat... Padahal selama ini kan paling susah
kalau disuruh pakai jilbab...” kata Papa sambil mengelus kepalaku.
Setelah itu Papa membuka dompet, mengeluarkan beberapa lembar
uang seratus ribu, dan menyerahkannya padaku.
”Nih, buat beli seragam sekolah yang baru. Buat beli jilbab sama
baju secukupnya...” kata Papa dengan entengnya. Aduh, bagaimana
ini? Mereka semua mengira bahwa aku sudah memutuskan memakai
jilbab. Kulihat Icha tersenyum padaku. Huh, aku tahu arti senyum
itu. Senyum kambing.
”Mama... Papa... Insyaallah, suatu saat nanti, Dee janji pakai
jilbab... Tapi belum sekarang yah... Dee cuma mau pengajian kok...”
kataku akhirnya dengan senyum yang sengaja kubuat semanis
mungkin.

Kedatanganku disambut dengan ramah oleh Bu Rima. Pengajian


kali ini diadakan di rumah Bu Rima. Rumahnya sangat luas dan
asri. Suasananya sangat enak, membuat kita nyaman berlama-lama
di dalam rumah itu. Ada sembilan orang perempuan yang mengaji
bersama kami. Kami membahas banyak hal, seperti masalah akidah,
kehidupan sehari-hari, dan masih banyak lagi hal menarik yang kami
bicarakan. Ah, ternyata ikut pengajian Bu Rima nggak seperti yang aku
bayangin selama ini. Bener-bener asyik dan nggak bikin ngantuk.

Hot Chocolate Love | 101


Tidak jauh dari tempat kami berkumpul, ada sebuah kain
pembatas yang disebut hijab. Di sebelah kami tampaknya juga
mengaji beberapa orang lelaki. Sesekali kudengar pekikan “Allahu
Akbar!!” dari mereka. Mendengarnya, benar-benar menggetarkan
hati dan jiwa.
”Cha, Hasan mana?” bisikku pada Icha saat Bu Rima masuk ke
dalam rumah.
“Sabar bentar dong Mbak! Mungkin lagi di belakang... Aku juga
nggak tahu. Soalnya ini kan pengajian di rumah Bu Rima. Kalau
pengajiannya di masjid, biasanya Hasan yang selalu jemput Bu
Rima...” jawab Icha dengan wajah tanpa dosa.
”Cha, aku kebelet pipis nih... Gimana dong?” bisikku lagi.
”Huh, Mbak Dee ini... Ya udah, nanti aku bilangin sama Bu
Rima...” kata Icha dengan wajah masam. Yeeee, siapa suruh ngajak
aku ke pengajian??
”Bu Rima, Kakak saya permisi mau ke belakang sebentar...” kata
Icha pada Bu Rima.
”Oh iya, silahkan Nak. Ikuti saja jalan di pintu itu, nanti belok
kiri ya...” jelas Bu Rima padaku.
”Iya Bu. Terima kasih...” kataku sambil berjalan menuju arah
yang ditunjukkan Bu Rima tadi. Wah, luas juga ya rumahnya. Mau
ke kamar mandi aja terasa jauh. Nah, ini dia... kamar mandinya.
Fiuh, akhirnya... Alhamdulillah... Lega deh! Aku bergegas keluar
dari kamar mandi. Eits, nanti dulu. Ada cermin... Ngaca dulu aaah...
Yups, jilbabnya masih rapi. Nggak tahu kenapa, aku jadi suka sama
cewek berjilbab di dalam cermin setiap kali aku bercermin. Rasa-
rasanya aku masih belum percaya kalau aku bisa kelihatan feminin
seperti ini.
Kubuka pintu kamar mandi. Menoleh ke kiri dan ke kanan, dan
kembali lagi ke tempat pengajian. Dengan langkah yang teramat

102 | Hot Chocolate Love


ringan, aku mengayunkan kaki menuju ke ruang depan. Ooo...ooo...
siapakah itu??? Di depanku ada cowok yang juga sedang berjalan
menuju ke arahku. Mungkin dia mau ke kamar mandi juga. Tapi...
tapi...
Yah! Nggak salah lagi! Itu Fandy!!! Dan ketika kami berpapasan,
kami sama-sama kaget. Ya Allah, betapa kecilnya dunia ini... Aku
bertemu Fandy di tempat pengajian Icha! Fandy yang playboy itu
mengaji??! Ah, yang benar saja...
Aku melihat sorot mata penuh ketidakpercayaan di mata Fandy
saat melihatku. Dan aku rasa, dia juga menangkap mimik wajahku
yang tidak bisa menyembunyikan rasa kaget ini. Selama beberapa
detik kami cuma bisa saling terdiam. Kaget!
”Ngapain kamu di sini?” tanya Fandy lebih dulu.
”Ngaji! Emang kamu sendiri ngapain?”
”Mau pipis” jawab Fandy sekenanya sambil pergi begitu saja
meninggalkanku. Huh, dasar nggak sopan!
Aha, ketahuan sekarang! Pantesan lagaknya sok alim... Ternyata
dia ikut pengajian toh... Ah, pantes... Pantes waktu itu dia nyuruh aku
nutup aurat. Pantes waktu itu dia nggak mau kupegang bahunya...
Oh, jadi selama ini Fandy itu selalu ikut pengajian. Nggak
nyangka... Tapi salut deh! Oya, pantes aja dia ikut ngaji. Pasti dia
disuruh sama orang tuanya buat ikut pengajian. Bukannya kata
Irvan, keluarganya Fandy itu agamis?! Ya...ya... aku tau sekarang...
Ah, sudahlah... Ngapain lagi mikirin Fandy? Mending aku balik
lagi ke depan daripada bengong begini. Pasti Icha udah nunggu
nih.
”Mari kita akhiri majelis ini dengan istighfar sebanyak-banyaknya,
doa kifaratul majelis, dan membaca hamdallah. Wassalamu’alakim
warahmatullahi wabarakatuh...” tutup Bu Rima mengakhiri pengajian­
nya tak lama setelah aku kembali dari kamar mandi.

Hot Chocolate Love | 103


”Silakan dicicipi hidangannya...” kata Bu Rima kemudian.
”Cha, mana Hasan?” bisikku lagi-lagi pada Icha. Jangan-jangan
aku dikibulin lagi sama anak ini...
”Icha juga nggak tau Mbak...” jawab Icha dengan muka putus
asa.
”Kamu nggak bohongin aku kan?”
”Ya enggaklah... Ngapain juga bohongin Kakak sendiri” jawab
Icha, kali ini dengan wajah gondok.
”Trus, kalau nggak ketemu gimana?”
”Ya udah... Minggu depan ikut pengajian Bu Rima lagi... Gitu aja
kok repot...” jawab Icha sekenanya. Huh, dasar tidak bertanggung
jawab.
Sampai kami pulang dari rumah Bu Rima, aku masih belum tahu
yang namanya Hasan. Cowok yang konon kata Icha adalah cowok
idaman setiap cewek. Cakep, pinter, sholeh lagi! Hasan, where are
you?
Sebenernya sih, aku nggak terlalu minat sama cowok yang
namanya Hasan itu. Tapi karena taruhan yang menggiurkan itu...
Ah, enggak juga sih. Mungkin juga Hasan adalah jawaban dari
doaku selama ini? Mungkin dia adalah tepian yang bisa dijadikan
sandaran dan tempat berbagi buatku? Mungkin dia adalah orang
yang bisa mengajakku pada jalan kebenaran, menuntunku pada
jalan menuju surga???
Yeah, jelek-jelek begini, mulai sekarang aku bertekad untuk
mencari apa yang namanya hidayah seperti yang Icha bilang waktu
itu... Dan siapa tahu, hidayah itu bisa datang lewat cowok bernama
Hasan yang konon kata Icha adalah idaman setiap wanita... Ah, jadi
penasaran nih... Hasan, where are you?

104 | Hot Chocolate Love


Afwan Ukhti,
Saya Hasan…

Ini adalah pertandingan semifinal. Satu langkah yang


menentukan apakah tim Metro Alam berhak masuk final atau tidak.
Rani benar-benar menekankan pada kami untuk tetap menjaga
stamina. Bahkan Pak Probo yang selama ini jarang ikut latihan, kali
ini menyempatkan diri dan meluangkan waktunya untuk menemani
kami berlatih di gymnasium. Satu hal yang tidak disangka adalah,
Pak Probo menyumbangkan satu formasi baru yang selama ini tidak
pernah terpikirkan oleh kami.
“Dee, jaga gaya permainan kamu yah! Satu koreksi buat kamu.
Jangan pernah takut sama lawan kalau kamu bawa bola. Jangan
takut bikin pelanggaran. Saat kamu bawa bola, itu berarti kamu
adalah raja. Kamu harus lebih berani menyerang. Ngerti?” tanya
Pak Probo setelah menjelaskan panjang lebar.
Sore itu, kemenangan berhasil kami raih dengan gemilang.
Formasi baru dari Pak Probo benar-benar jitu. Syaratnya, stamina
kami harus lebih kuat dari biasanya karena formasi ini cukup
menguras tenaga. Dan dengan masuknya tim Metro Alam ke babak
final yang akan diadakan dua hari lagi, itu berarti kami punya
kesempatan untuk tetap mempertahankan piala bergilir yang sudah
tiga tahun belakangan ini selalu di tangan SMA Metro Alam.
”Ranzaaaa...., Deezaaa....!!!” teriak Memey dan Gendis dari arah
tribun pada kami. Ah senangnya punya sahabat seperti mereka ini...

Hot Chocolate Love | 105


Aku benar-benar tidak mau kehilangan sahabat sebaik mereka.
”Dee, pulang ini kita berempat makan malam bareng yuk?!” ajak
Rani.
”Wah, boleh tuh!!!” jawabku dengan semangat.
”Tapi, Irvan gimana Dee? Mau ikut juga? Kalau dia mau, ajak
aja...”
”Hari ini Irvan nggak bisa nonton basket Ran. Dia lagi belajar,
minggu depan kan udah UAN...”
”O iya yah... Aku sampai lupa!!” jawab Rani sambil menepuk
dahinya.
Senang sekali malam ini bisa berkumpul bersama mereka bertiga
setelah lebih dari dua minggu kami nggak pernah nginep di basecamp
lagi. Kami sengaja memesan pizza ukuran besar, membuat popcorn,
dan menghabiskan setengah botol sirup semangka kesukaan kami.
Dan ketika pizza telah diantarkan ke basecamp, kami yang kelaparan
ini segera menyerbunya.
”Mey, gimana kabar Widi?” tanya Gendis pada Memey sambil
menghabiskan pizza-nya.
”As far as now, semua oke-oke aja. Elo sendiri gimana?” Memey
berbalik tanya pada Gendis.
“Gue sih adem-adem aja sama Gandhi. Elo sama Irvan gimana
Dee?” tanya Gendis memutar pertanyaan padaku.
“Hah? Gue? Ehmm.. gue sama Irvan... Yah, gue mulai sayang
sama Irvan fren...”
”Trus?” tanya Memey.
”Udah, segitu aja...” jawabku.
”Lho kok? Cuma segitu? Masa’ sih pasangan baru nggak punya
cerita?” tanya Rani dengan kedipan mata usil yang cuma kami
berempat yang tahu maksudnya.

106 | Hot Chocolate Love


”Iya Dee.. Ceritain first kiss kamu dooong...” kata Memey
memprovokasi.
”First kiss???” mataku membulat demi mendengar pertanyaan
itu.
”Iyaaa... Santai aja atuh Dee... Nggak usah pakai acara malu-malu
segala deh...” sahut Gendis sambil tersenyum penuh arti. Huaaa,
apa-apaan sih mereka ini???
”Gue nggak pernah ciuman sama Irvan...” jawabku pada
akhirnya.
”Hah? Yang bener Dee?” tanya Memey tanpa bisa
menyembunyikan keheranannya.
”Emang, berapa lama sih elo pacaran sama Irvan?” tanya
Gendis.
”Dua bulan.” jawabku pendek.
”Ya ampyuuun... Pacaran dua bulan dan elo belum pernah
ciuman?” tanya Rani. Huh, jomblo yang satu ini ikut-ikutan juga!
”Ah, Deeza kuno nih!” kata Memey.
”Iya, masa dua bulan pacaran belum pernah ciuman? Gue
aja, yang pacaran sama cowok pendiam kaya’ Gandhi aja pernah
ciuman...” sambung Gendis.
”Gue yang jomblo aja udah pernah ciuman... Masa’ elo kalah
sama gue sih?” kata Rani dengan bangga.
Aduh, mereka ini... Nggak seharusnya mereka menyerangku saat
sedang berkumpul seperti ini dong! Lagian ngomongin ciuman...
Nggak penting amat sih! Segera terlintas di otakku semua nasehat
Mama, ceramah Papa, dan obrolan-obrolanku dengan Icha. Ciuman?
Uuh, enggak banget deh!
Yah, inilah saatnya aku melawan pendapat mereka yang satu
ini.

Hot Chocolate Love | 107


”All of you fren... Attention pliiiss...” ujarku meminta perhatian
mereka. ”Bukannya apa-apa fren... Gue enggak mau aja ciuman
sama cowok yang belum tentu jadi suami gue. Kasihan suami
gue entar dong, cuma dapet sisa… Dapet barang second, nggak
bergaransi…” jawabku dengan penuh percaya diri. Yah, beginilah
memang… Kadang-kadang kami suka mendiskusikan satu hal yang
kami anggap menarik.
”Ya ampun Dee... Elo lugu banget yah??! Emang elo punya
jaminan kalau suami elo itu juga nggak pernah ciuman sama cewek
lain? Sama mantan pacarnya mungkin...” kata Memey sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
”Iya Dee... Cape-cape elo jaga diri, gimana kalau ternyata suami
elo udah pernah ciuman sama cewek laen?” tanya Gendis dengan
tatapan penuh rasa prihatin padaku.
”Dee, hari gini... di Jakarta masih ada cewek kaya’ elo... Gue salut
sama elo!” kata Rani sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.
”Okey.. okey... Gue jawab satu persatu ya. Emang sih, gue nggak
punya jaminan kalau suamiku entar juga nggak pernah ciuman
sama cewek laen. Tapi gue nggak pernah lupa sama kata nyokap
gue. Laki-laki yang baek hanya buat cewek yang baek-baek… Kalau
elo ngejaga apa yang elo punya, Insya Allah elo juga ngedapetin
yang sama terjaganya. Hukum aksi reaksi. Sigma aksi sama dengan
sigma reaksi. Berbanding lurus kan?!” jawabku sambil meminum
sirup semangka yang hampir habis itu. Haus!!!
“Nah, yang kedua… Kalau seandainya suami gue emang udah
pernah ciuman sama cewek laen atau sama pacarnya yang dulu.
Yah, gue sih pasrah aja. Itu urusan suami gue sama Yang Di Atas. Itu
tanggung jawab dia sama Yang Ngasih Hidup. Gue cuma ngejaga apa
yang gue punya. Soalnya gue nggak sanggup kalau disuruh tanggung
jawab di akhirat. Gue nggak peduli dan nggak mau tau apa suami

108 | Hot Chocolate Love


gue itu pernah ciuman sama cewek laen apa enggak. Gampang aja
kan? Take it easy, fren!”
Mereka bertiga mengangguk-anggukkan kepala.
”Keep your mine Dee!” celetuk Memey dengan nada pekik
kemerdekaan sambil mengangkat sebelah tangannya yang terkepal.
”Ck..ck..ck.. ternyata di Jakarta masih ada juga cewek kaya’ elo
Dee... Langka!!” ujar Rani mengulangi kata-katanya yang tadi.
”Ehm... sekarang gimana nih sama joker kita?” tanya Gendis
pada Rani. Jomblo keren.
”Gue... Aduh, sory fren... Gue masih sayang sama Fandy. Gue
masih suka sama dia. Gue masih berharap suatu saat dia bakal
berpaling ke gue...” jawab Rani pelan. Penuh perasaan.
Ah Rani... Perasaannya sama seperti perasaanku. Bedanya,
perasaanku ini kututup rapat-rapat dalam hati. Bedanya lagi,
perasaanku ini tidak boleh aku katakan karena akan melukai
perasaan salah satu sahabat terbaikku. Tidak boleh seorang pun
tahu kalau aku suka sama Fandy. Suka? Ah, jangan Dee!!!

Hari ini hari Rabu. Lima hari lagi kelas tiga menghadapi UAN.
Minggu ini aku nggak mau dianter pulang sama Irvan. Aku pengen
Irvan konsentrasi belajar.
Drrrt...drrrt... HP-ku bergetar saat pelajaran jungle survival.
Dari Irvan.

”Lagi ngpain Dee?? Bete nih, bljar mulu. Van lagi BT pangkat
dua. Butuh Tatih Tayang...  ”

Hah, ngomong apaan sih? Tumben sms-nya agak rese’ kaya’


begini. Nggak biasanya... Apa mungkin karena stres belajar melulu

Hot Chocolate Love | 109


yah? Nggak tahu juga sih... Tapi aku rasa nggak ada salahnya ngasih
semangat lewat sms...

”Aduh kaciaan... Thayank sabar yach! Inget janji Van


sama Dee kan? Minimal 8,5 lho. Klw cape, istirahat dulu. Nti
disambung lagi bljarnya. Met bljar ya thayank...”

Langsung kuhapus sms-ku barusan dari kotak outbox. Ih, geuleuh


kalau inget sms-ku barusan...
”Dee, coba jelaskan lagi... Rumput mana yang bisa dimakan secara
langsung tanpa dimasak dan kapan saat yang tepat buat makan
rumput itu!” kata Pak Dede, guru besar ilmu jungle survival yang
selalu pakai sepatu boot dan stelan baju lapang saat mengajar.
”Rumput yang bisa dimakan tanpa dimasak adalah rumput yang
tidak bergetah, tidak berbulu, dan tidak mengeluarkan bau yang
tajam. Saat yang tepat untuk makan rumput itu adalah pagi-pagi
sekali. Karena antara jam delapan sampai jam sepuluh, binatang
tanah sudah mulai keluar dari dalam tanah...” jawabku dengan
cepat.
”Okey, kita lanjutkan materi selanjutnya” kata Pak Dede
kemudian.
Fiuh, selamat...

”Fren, ada yang mau ikut ke Rinjani nggak?” tanya Memey


padaku dan Gendis saat jam istirahat. Rani tampak sibuk berurusan
dengan Pak Probo. Kaya’nya ada sesuatu yang penting banget deh!
Hey, ke Rinjani? Ah, pasti ini acara MAPALA. Metro Alam Pecinta
Alam. Memey kan salah satu pengurusnya...

110 | Hot Chocolate Love


”Kapan?” tanya Gendis bersemangat.
”Pas anak kelas tiga lagi pada UAN. Kan ada libur seminggu tuh,
gimana? Pada mau ikut nggak?”
”Yaaah... Meyza... Gue sebenernya pengen banget mau ikut ke
gunung Rinjani. Tapi gue nggak bisa, soalnya gue nggak mungkin
ninggalin Gandhi pas dia lagi ujian. Bisa-bisa si Gandhi malah nggak
bisa belajar gara-gara mikirin gue...” kata Gendis dengan wajah
penuh kekecewaan.
”Elo Dee?” tanya Memey kemudian.
”Gue? Eh, nggak tau tuh kalau gue... Entar kalau jadi gue kasih
kabar deh.”
”Ya udah, tapi cepetan yah! Soalnya mau dimasukin datanya
nih...” kata Memey. Dari jauh kulihat Rani datang tergopoh-gopoh
dengan wajah masam. Pasti ada sesuatu nih!
”Dee, payah nih!!!” kata Rani begitu sampai di kelas.
”Apanya yang payah?” sambung Gendis.
”Pertandingan basket diundur sampai habis UAN. Bayangin Dee,
masa’ diundur sampai lebih dari sepuluh hari sih?” kata Rani sambil
bersungut-sungut.
”Hah? Kok bisa Ran? Alasannya kenapa?”
”Katanya sih untuk menghormati pelajar yang sedang UAN.
Nggak tau juga sih Dee, ada banyak versi alasan sih. Tapi intinya
tetep sama, pertandingan diundur sampai abis UAN.” lanjut Rani.
”O gitu... Ya udah Ran, ambil sisi baiknya aja. Kita kan jadi
punya lebih banyak waktu buat persiapan...” kataku mencoba
menenangkan Rani.
”Iya Ran... Mendingan ikut ekspedisi anak Mapala ke Rinjani”
ajak Memey.
”Hah? Naek gunung? Ogah ah... Nggak mau...”

Hot Chocolate Love | 111


Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Memey segera
menghambur dari kelas menuju sekret Mapala. Gendis menuju
gymnasium untuk latihan karate. Aku dan Rani langsung ke sekret
Basket. Di sana sudah berkumpul semua anak basket, bahkan
Pak Probo sudah ada di sana. Kami mengadakan rapat sebentar
membicarakan jadwal pertandingan yang diundur.
”Dee, pulang sama siapa?” tanya Rani padaku setelah selesai
rapat.
”Naek bis nih Ran. Mobil gue dibawa sama Icha. Tadi pagi dia
bilang mau pulang agak malem...”
“O gitu. Pulang sama gue aja Dee. Ngomong-ngomong Icha
ngapain pulang malem?”
“Mau ke rumah guru ngajinya sebentar. Katanya sih, ada acara di
rumah guru ngajinya itu…”
“Acara apaan? Gurunya cewek apa cowok? Kok malem-malem
sih?” tanya Rani ingin tahu. Yah, Rani memang takjub banget waktu
ketemu sama Icha pertama kali. Udah cantik, kalem, nggak neko-
neko, ramah lagi. Beda banget deh sama kakaknya!
“Gurunya cewek, anaknya aja udah pada gede. Paling-paling
latihan baca Qur’an, Icha kan kepilih buat lomba MTQ di Banjarmasin
minggu depan”
“Dee, coba liat ke depan deh. Mata gue yang salah apa gue yang
lagi mimpi…” kata Rani sambil mencubit lengannya sendiri. Aku
segera melihat ke depan. Hey, itu kan Fandy!! Ngapain dia datang ke
sekolah? Bukannya anak kelas tiga udah mulai libur minggu tenang
dan seharusnya dia ada di rumah buat belajar?
“Fandy senyum sama gue Dee…” kata Rani sambil mengerjapkan
matanya tidak percaya. Yah, Fandy memang sedang berjalan ke arah
kami.
“Apa mungkin Fandy udah berubah pikiran Dee? Aduh, gue udah

112 | Hot Chocolate Love


rapi belum?” tanya Rani padaku sambil merapikan rambutnya.
“Wah, bisa juga tuh Ran. Gue dukung deh...” jawabku seadanya.
Terus terang, jantungku sendiri juga deg-degan. Bukannya apa-apa,
selain aku seneng karena bisa ngelihat Fandy, aku juga takut kalau
Fandy ternyata.... Ah sudahlah, yang jelas perasaanku nggak enak
nih...
”Hai Rani...” sapa Fandy saat kami berpapasan dengannya. Ups,
bukan berpapasan karena kelihatannya Fandy memang sengaja
ingin bertemu dengan kami. Kami? Entahlah... Bisa aja Fandy cuma
pengen ketemu sama Rani...
”Hai Fan...” jawab Rani dengan senyum termanis yang pernah
dia miliki.
”Mau pulang?” tanya Fandy pada Rani.
“Eh..Iya!” sahut Rani.
“Ehmm... maaf... Aku pulang duluan ya Ran, ada urusan nih!”
kataku pada Rani. Aku tidak ingin mengganggu mereka berdua...
”Iya Dee. Ati-ati yah!” jawab Rani cepat sambil mengulurkan
kunci mobilnya padaku. Satu hal yang aku ketahui benar, itu adalah
isyarat Rani agar aku pulang dengan mobilnya supaya dia bisa
pulang sama Fandy.
“Ups, sory Rani... Kuncinya nggak perlu dikasih Dyera, biar aku
yang nganterin dia pulang...” kata Fandy sambil menahan kunci
mobil Rani sebelum aku sempat mengambil dari tangannya.
“Lho kenapa?” tanya Rani dengan wajah kaget. ”Kamu tau kalau
nama temenku ini Dyera?” tanya Rani semakin heran. Oh my God!
Ini benar-benar diluar skenario. Ini benar-benar kejadian yang tidak
diduga!
Kulihat dengan ekor mataku, Fandy tersenyum pada Rani sambil
mengembalikan kunci mobil itu pada Rani.

Hot Chocolate Love | 113


”Namanya Dyera Alamanda. Anak pertama dari tiga bersaudara.
Adiknya namanya Icha kelas tiga SMP Az-Zhara, satu lagi namanya
Shifa umurnya masih dua setengah tahun. Rumahnya di Cempaka
Putih. Cat pagarnya warna hijau muda. Mobilnya yang sering dipakai
ke sekolah Corolla hitam. Papanya kerja di perusahaan tambang.
Mamanya aktivis sekaligus penulis...”
Hah, dari mana Fandy tau semua itu? Dari mana dia tahu tentang
diriku sampai sejauh itu? Bukankah selama ini aku nggak pernah
cerita sama dia? Hawa panas menyeruak begitu saja di telingaku.
Apa yang harus kubilang nanti sama Rani?
“Dieeeem!!!” kataku akhirnya pada Fandy. Kulihat Rani
menatapku tajam. Tidak pernah selama ini aku ditatapnya
seperti saat ini. Seakan-akan bola api membakar matanya hingga
mengepulkan asap yang keluar dari rongga hidung dan telinganya.
”Apa-apaan ini Dee?!!!” tanya Rani dengan ribuan tanda seru di
wajahnya.
”Ran... gue...” Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Aku
takut kalau harus kehilangan sahabatku ini cuma gara-gara cowok
yang namanya Fandy, yang sekarang lagi pasang wajah kebingungan
itu.
”Udah deh! Elo tuh ya Dee... Gue nggak nyangka, ternyata ada
juga kanibal kaya’ elo. Makan temen sendiri! Penghianat! Musang
berbulu domba!!!” kata Rani dengan nada penuh kemarahan. Yah,
Rani benar-benar marah! Dan ini semua gara-gara aku. Gara-gara
aku!! Emang nggak bisa dimaafin... Hawa panas membakar mataku,
mengeluarkan tetes embun penyesalan yang sangat dalam... Ah
Rani, nggak seharusnya aku ngecewain kamu...
”Ran... Maafin gue Ran! Gue nggak bermaksud apa-apa. Nggak
ada apa-apa antara gue sama Fandy. Dan gue emang nggak pernah
ngapa-ngapain sama dia. Ceritanya panjang Ran... Dengerin gue

114 | Hot Chocolate Love


dulu... please...” pintaku dengan berderai air mata dan mengejarnya
menuju arah tempat parkir mobil.
“Gue nggak sudi dengerin apapun yang dibilang sama
pembohong! Minggir lo!” usir Rani sambil mendorong tubuhku.
Aku hampir saja terjatuh dari tangga kalau saja tangan Fandy tidak
cepat meraih pundakku.
“Lepasin gue!” kataku padaku Fandy. Aku masih berusaha
mengejar Rani. Tapi Rani sudah berada dalam mobil. Mesin sudah
dinyalakan. Ah, Rani nggak boleh bawa mobil dalam keadaan
marah! Aku takut terjadi apa-apa sama Rani. Sakitnya yang
begitu mendadak beberapa hari lalu? Oh, tidak! Aku tidak boleh
membiarkan Rani pergi sendirian. Kuketuk kaca jendelanya. Tapi
jangankan dibuka, menoleh saja tidak. Dinyalakannya musik dalam
mobil itu keras-keras. Tanpa kuduga, dia menancapkan gas saat aku
masih di samping mobilnya itu. Tubuhku terjerembab ke depan dan
Rani pergi meninggalkanku begitu saja bersama asap hitam yang
mengepul dari knalpot mobilnya. Aku tidak sanggup lagi menahan
tangis yang maha dahsyat ini.
Fandy mengulurkan tangannya padaku.
”Nggak perlu!”
Aku segera berdiri. Betapa pun sebenarnya aku suka pada lelaki
yang kini berhadapan denganku ini, tapi aku akan tetap memilih
sahabatku. Fandy menahan lenganku dengan pelan.
”Apa lagi? Lo nggak usah pura-pura dan pasang tampang menyesal
kaya’ gitu! Lo emang pengen bikin persahabatan gue hancur kan?
Iya kan??!!! Bilang IYA!!!” teriakku padanya. Aku benar-benar
putus asa. Selama ini, Rani tidak pernah marah sampai seperti itu
padaku. Dan Memey sama Gendis pasti akan membela Rani kalau
tahu duduk permasalahannya. Oh, dengan apa aku bisa membuat
persahabatan kami agar kembali seperti dulu? Agar persahabatan

Hot Chocolate Love | 115


kami kembali seperti satu jam yang lalu, sebelum cowok rese’ ini
datang...
”Aku bener-bener nggak tau Dee... Aku pikir, Rani udah tau
semua tentang kita...”
”Apa??? Semua tentang kita? Emang selama ini ada apa dengan
kita Fan?” tanyaku sambil berurai air mata. Cowok emang nggak
pernah berpikir pakai perasaan.
”Maafin aku Dee... Pukul aku kalau emang itu bisa bikin kamu
lebih lega.” kata Fandy dengan penuh rasa bersalah.
Buuuk!!! Sebuah pukulan kulayangkan tepat pada ulu hatinya.
Ini adalah sedikit ilmu yang kupelajari dari Gendis yang jago karate
itu. Tubuh Fandy terhuyung ke belakang. Aku melihat dia merintih
kesakitan.
”Jangan mengeluh! Itu kan yang kamu minta Fan?” kataku
akhirnya.
”Terserah kamu Dee...” jawab Fandy pelan sambil mencoba
bangkit berdiri.
Aku segera meninggalkan tempat parkir. Fandy mengejarku
dengan sisa tenaganya. Aku tahu, bahwa dipukul pada ulu hati bisa
membuat seseorang menjadi lemah. Dan aku sebenarnya tidak ingin
melakukan hal anarkis seperti ini pada Fandy. Tapi setelah kejadian
barusan? Maafin aku Fan...
Dugaanku salah. Fandy lebih gesit berlari mendahuluiku.
”Kamu ikut aku sekarang!” kata Fandy.
”Ngapain? Mau balas dendam?”
Tapi Fandy tidak menjawab pertanyaanku. Lagi-lagi dia berhasil
memaksaku untuk masuk ke mobilnya tanpa perlawanan yang
berarti. Tenaganya terlalu kuat jika dibanding usahaku untuk
memberontak.

116 | Hot Chocolate Love


”Aku memang sengaja ke sekolah buat jemput kamu Dee...” kata
Fandy setelah dia mulai tenang.
”Buat apa?” tanyaku sambil menyusut air mata dengan tisu.
”Nanti kamu juga tau kok Dee...” jawab Fandy penuh dengan
teka-teki.
”Udah makan siang?” sambungnya.
”Nggak perlu. Gue nggak laper!”
”Dee, jangan pake elo-gue lagi yah. Kita coba dengan aku-kamu,
gimana?” tanya Fandy dengan halus. Tumben bisa ngomong halus?
Biasanya selalu galak atau ngomong dengan nada memerintah. Satu-
satunya yang nggak berubah, Fandy hampir tidak pernah menatap
mataku.
”Jangan berusaha mengalihkan perhatian Fan. Gue nggak tau
harus gimana supaya temen-temen gue nggak marah sama gue...”
sahutku pelan. Lagi-lagi air mata menitik dari kedua sudut mataku.
Aku benar-benar terpukul dengan kejadian barusan.
”Udah Dee... Jangan nangis lagi... Kita makan siang dulu yah!”
kata Fandy sambil menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah
makan.
”Dee, aku mau minta tolong untuk terakhir kalinya sama kamu.
Dan aku janji, aku bakal bantuin kamu dengan cara apapun supaya
kamu bisa baekan lagi sama Rani...” pinta Fandy setelah kami
memesan makanan.
”Bener?”
”Janji!” kata Fandy dengan sungguh-sungguh.
”Okey. Sekarang kamu minta tolong apa?”
”Aku udah janji sama orang tuaku buat ngenalin calon istriku.
Please Dee... Aku minta tolong sama kamu untuk satu hal ini...”
”Fan, aku heran... Kenapa sih kamu masih juga minta hal yang
sama? Kamu tau kan kalau aku udah punya pacar?”

Hot Chocolate Love | 117


”Yah, aku tau... Tapi aku lebih tau kalau sebenernya kamu jadian
sama Irvan cuma buat menghindar dari aku. Kamu sebenernya suka
sama aku Dee. Kamu ngelakuin semua itu supaya sahabat kamu
nggak terluka, iya kan? Jangan bohongin perasaan kamu sendiri
Dee... Kamu bisa bilang enggak di depan aku, tapi kamu nggak bisa
bilang enggak sama hati kamu sendiri...” kata Fandy panjang lebar.
”Iya Fan. Kamu benar...” jawabku pelan. Aku menunduk. Aku
tidak berani menatap matanya.
”Alhamdulillah, berarti aku nggak bertindak zalim sama
kamu...”
”Maksudmu?”
”Yah, itu berarti aku nggak maksa sesuatu yang enggak kamu
sukai kan? Kamu mau aku kenalin sama orang tuaku kan?”
”Tapi Fan... Gimana sama Irvan? Gimana sama Rani? Kamu
nggak pernah mikirin perasaan mereka...”
”Nggak semua masalah bisa diselesaiin dengan perasaan Dee...”
jawab Fandy mencoba membela diri.
”Trus, kalau kamu udah ngenalin aku sama orang tua kamu? Aku
bakal jadi istri kamu?”
”Insyaallah... Kalau kamu nggak keberatan...” kata Fandy sambil
menatap mataku. Huh, dia menatapku di saat aku tidak ingin ditatap
olehnya...
”Keberatan!”
”Kenapa?”
”Aku nggak pengen cepet-cepet nikah!”
”Itu bukan berarti kamu nggak mau jadi istri aku kan?”
”Eh... gimana ya? Nggak tau deh...”
”Aku nggak akan maksa kamu kok Dee... Aku cuma pengen orang
tuaku tau kalau aku udah punya calon pendamping hidup.”
”Tapi kalau nanti aku nggak jadi istri kamu?”

118 | Hot Chocolate Love


”Insyaallah jadi...”
”Kalau enggak?”
”Insyaallah jadi...”
”Aku bilang kan, seandainya enggak... gimana?”
”Ya itu terserah kamu. Gimana nanti aja deh...”
”Nah gitu dong. Berarti kita tetep nggak ada ikatan apa-apa
yah!”
”Iya.”
”Berarti aku masih boleh pacaran sama Irvan kan?”
”Kalau Irvan masih mau sama kamu...”
”Maksudmu?”
”Memangnya di dunia ini cuma ada satu cewek? Masih banyak kok
yang lebih pas buat Irvan daripada kamu!” jawab Fandy seenaknya.

Kukenakan jilbab berwarna kuning kecokelatan itu di kamar


mandi sebuah mall. Baju dan rok berwarna senada membalut
seluruh tubuhku. Selera Fandy buat milih baju boleh juga...
Ah, lagi-lagi aku masih saja merasa belum mengenal diriku saat
bercermin. Sungguh beda dengan Dyera yang sehari-hari dibalut
celana jeans dan t-shirt lengan pendek. Dyera yang sekarang, jauh
terlihat lebih anggun.
Aku segera keluar dari kamar mandi setelah semuanya beres.
Fandy sudah menungguku di luar.
“Udah yuk Fan...” kataku sambil melihat ke kanan dan ke kiri.
Malu kalau sampai ketahuan sama anak SMA Metro Alam.
“Subhanallah...” gumam Fandy pelan sambil kemudian
mengalihkan pandangan matanya ke arah lain setelah sekilas
menatapku.

Hot Chocolate Love | 119


”Kamu udah nelpon rumah?” tanya Fandy kemudian.
”Udah. Aku bilang sama Mama kalau aku lagi ngebantuin temen
yang kesusahan...”
”Fan, ngomong-ngomong kamu tau dari mana semua tentang
aku? Bukannya selama ini aku nggak pernah cerita sama kamu?”
tanyaku setelah kami berada dalam mobil.
”Masa’ aku nggak tahu semua tentang calon istriku sih Dee??
Kalau gitu sama aja dengan milih kucing dalam karung dong...”
”Iya... tapi kamu tahu semua itu dari siapa?”
”Dari Icha...” jawabnya sambil tersenyum.
”Icha? Kamu kenal Icha?”
”Iya, dia murid Bu Rima kan? Dia sering ngaji di rumah Bu Rima
kan?”
”Iya! Kok kamu tau?”
”Kamu lupa ya... Aku kan juga ngaji sama Bu Rima...”
”Tapi kan...”
”Iya... Aku ini anaknya Bu Rima itu Dee...”
Dzzztt!!! Apa? Aku nggak salah dengar kan? Pasti Fandy sedang
bersandiwara dan menggodaku...!
”Bukannya anak Bu Rima udah pada nikah semua? Bukannya
anak Bu Rima yang terakhir namanya Hasan?” tanyaku mencoba
membongkar sandiwaranya.
”Oh, jadi kamu udah tau yang namanya Hasan?”
”Eh, tau sih belum. Tapi Icha pernah cerita tentang Hasan”
”Trus?”
” Kata Icha, yang namanya Hasan itu cakep, pinter, sholeh, tipe
cowok idaman... Dan itu nggak mungkin kamu Fan...”
”Ooh gitu...”
”Iya, gitu! Nah, ketahuan bohong kan?”

120 | Hot Chocolate Love


”Afwan ukhti, aku ini Hasan yang dimaksud Icha...”
Dzzzztt!! Aku seperti kena petir. Untung ada jilbab ini. Coba
kalau enggak, pasti rambutku udah berdiri semua!
”.....” Aku speechless.
”Bukannya kamu udah tau kalau nama lengkapku Affandy
Hasan?” tanya Fandy memecah kesunyian. Oh damn!!! Aku bahkan
nggak tahu nama lengkap Fandy.
”Jadi... jadi... Hasan itu kamu?”
”Iya.”

Hot Chocolate Love | 121


122 | Hot Chocolate Love
Begitu Banyak
Kebetulan

Oh My God! Ya Allah, bagaimana ini? Yah, Fandy nggak bohong.


Nggak salah lagi, aku hafal betul jalan menuju rumah Bu Rima. Dan
jalan yang kami lalui benar-benar sama dengan yang seharusnya
aku lalui jika hendak ke rumah Bu Rima.
Escudo merah berhenti tepat di depan pagar rumah Bu Rima.
Aku tidak melihat sedikit pun keraguan di mata Fandy.
”Fan... aku takut...” kataku tanpa bisa menyembunyikan
perasaanku.
Fandy mengurungkan niatnya untuk membuka pintu. Ditatapnya
sekali lagi mataku. Entah kenapa, tatapan matanya kali ini seolah
memberiku kekuatan. Dengan matanya, seolah-olah Fandy hendak
berkata, ”Afwan ukhti... Seandainya kamu halal buatku Dee, pasti
aku udah pegang tangan kamu dan memberi semangat. Aku pasti
menggandengmu saat berjalan di sampingku. Menguatkanmu saat
bertemu dengan orang tuaku... Tapi kita belum halal Dee...”
Fandy mengalihkan pandangan matanya. Kali ini dia tidak lagi
mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil. Aku keluar dari
Escudo merah, namun seolah-olah kakiku tidak sanggup menjejak
di atas tanah. Tapi mengingat tatapan teduh Fandy barusan, entah
mengapa kepercayaan diriku seperti pulih kembali.
”Assalamu’alaikum...” salam Fandy ketika memasuki rumahnya.
Aku bersembunyi di balik tubuhnya yang kokoh itu.

Hot Chocolate Love | 123


”Waalaikum salam...” sahut suara dari dalam rumah. Deg... deg...
deg... Jantungku berdegup kencang sekali.
Fandy mengajakku masuk ke ruang makan. Yah, memang ini
waktunya makan malam.
”Dee...” ujar Fandy pelan sambil memintaku masuk ke ruang
makan. Aduh, kenapa aku jadi bengong begini ya? Aku sedang
membayangkan bagaimana reaksi Bu Rima begitu tahu kalau
ternyata calon istri Affandy adalah Kakaknya Icha. Aduh...
bagaimana ini? Ehm... ehm... Tarik nafas panjang... Keluarin pelan-
pelan... Yah, tenang begitu atuh Dee...
Aku masih bersembunyi di balik tubuh Fandy sampai dia
memperkenalkanku pada kedua orang tuanya.
”Mi, Abi... Kenalin, ini Dyera... Panggil aja Dee... Insya Allah,
akhwat ini calon istri Fandy...” kata Fandy dengan sopan pada kedua
orang tuanya. Deg... deg... deg...
Aku mengangkat kepalaku perlahan-lahan. Ketika aku mencoba
memandang wajah orang yang disebut Abi dan Umi oleh Fandy itu,
kudapati mereka sedang tersenyum ke arahku. Dan begitu melihat
wajahku, seketika itu juga Bu Rima langsung berkata, ”Subhanallah...
Selamat datang Nak... Kakaknya Icha kan?” kata Bu Rima sambil
tersenyum. Aku membalas senyum itu sambil menganggukkan kepala.
”Silakan duduk Nak...” kata suami Bu Rima padaku. Ah, lelaki
berjenggot yang terlihat berwibawa ini pasti Ayahnya Fandy. Hey,
perasaan aku pernah ketemu sama Bapak ini deh! Tapi dimana ya?
Aduuuh... kenapa nggak ingat ya? Ah, sudahlah... Mungkin aku
memang pernah ketemu sama orang yang kebetulan mirip sama
Ayahnya Fandy...
”Dee... udah makan belum?” sambung ayah Fandy.
”Belum Abi...” jawabku dengan memanggilnya Abi. Yah,
begitulah yang diajarkan Fandy padaku agar memanggil Ayah dan

124 | Hot Chocolate Love


Ibunya dengan sebutan Abi dan Umi.
”Ayuk makan... Dee suka makan apa?” sambung Bu Rima.
”Saya suka makan apa aja kok Mi, yang penting halal...” jawabku
sambil tersenyum. Ah, aku sudah mulai bisa menyesuaikan diri
dengan mereka...
”Wah, bagus itu! Tapi Hasan kalau makan suka agak milih-milih
lho, kamu siap?” tanya ayah Fandy padaku sambil menyendok kuah
sup yang masih panas itu. Hasan? Ah iya, bukankah Hasan adalah
nama panggilan Fandy di rumah?
”Insya Allah Bi...” Tenang... Kalau urusan masak memasak,
keahlianku sudah diakui seluruh keluarga besar Mama sama Papa.
Suasana malam itu sungguh hangat. Ketegangan yang mula-mula
aku rasakan, kini sudah mencair karena kedua orang tua Fandy yang
enak diajak ngobrol. Saking asyiknya ngobrol, kami sampai tidak
menyadari ketika ada seseorang yang datang.
”Aduh, maaf Om.... Tante... Aku telat datang ya?! Jalanan
macet...” kata seseorang yang dengan tergopoh-gopoh berjalan
menuju ke arah kami. Aku melihat ke arah orang itu dan.... Dzzztt!!!
Jantungku hampir copot untuk kedua kalinya saat aku tahu siapa
yang datang!
”Eh Irvan.... Iya nih... kamu telat! Kita udah hampir selesai makan
kamu baru datang...” kata ayah Fandy hangat. Aku memandang
tajam ke arah Fandy. Kulihat sorot matanya yang dingin itu tidak
menjelaskan apa-apa padaku.
”Hai Dee!” sapa Irvan dengan ramah padaku. Ada apa ini?
Bukannya marah, Irvan malah menyapaku dengan hangat. Atau...
Irvan sedang menutupi kemarahannya di depan Fandy dan kedua
orang tuanya? Yah, kurasa itu alasan yang tepat...
”Wah, kebetulan... Udah saling kenal Dee?” tanya Bu Rima
padaku. Hey, kebetulan?!!

Hot Chocolate Love | 125


”Eh... iya... Udah Umi...” jawabku agak tergagap.
”Irvan itu anaknya adik laki-laki saya... Jadi, Irvan itu saudara
sepupu Hasan...” jelas ayah Fandy. Ooo... jadi mereka ini saudara
sepupu toh? Kok Irvan nggak pernah cerita sama aku sih?
”Gimana Om... Disetujui nggak jadi calon menantu?” tanya Irvan
dengan santainya.
”Yaaah, itu sih tergantung yang bakal ngejalanin... Kalau Abi sih,
oke-oke aja... Yang penting calon istri Hasan ini wanita salehah, dari
keluarga baik-baik... Ya nggak Dee?” tanya ayah Fandy.
”Eh, iya... Abi bisa aja...”
”Apalagi kalau cantik begini ya Tante?!” sahut Irvan lagi.
”Ya itu rejekinya Hasan, jangan sirik atuh Van...” jawab Bu Rima
sambil bercanda pada Irvan.
Ting tong... ting tong...
”Ah, sepertinya tamu yang kita tunggu-tunggu udah datang
nih...” kata Ayah Fandy sambil beranjak dari tempat duduknya.
”Tunggu sebentar ya Dee... Umi sama Abi ke depan dulu...” kata
Bu Rima. ”Apa-apaan semua ini?!” tanyaku pada Fandy dan Irvan
setelah Ayah dan Ibu Fandy meninggalkan ruang makan.
”Kamu belum bilang Fan?” Irvan balik bertanya pada Fandy.
Fandy hanya menggelengkan kepala.
”Maaf Dee... Aku lupa ngasih tau kamu...” kata Fandy meminta
maaf dengan wajah penuh penyesalan.
”Mari masuk Bu...” kudengar suara Bu Rima yang sepertinya
mendekat ke arah ruang makan.
”Aduh, sekali lagi maaf lho Pak Arsyad... Ini yang paling kecil
pakai acara rewel segala, jadi berangkatnya agak telat...” suara
seorang laki-laki yang rasanya sudah sangat kukenal.
”Ah nggak papa Pak Ahmad... Maklum anak kecil...” jawab suara
yang satunya. Pak Ahmad??!! Hey, bukankah itu nama Papa? Oooh,

126 | Hot Chocolate Love


kebetulan seperti apa lagi ini?
Dan benar saja... Dengan tatapan berkunang-kunang, aku
menangkap wajah Icha, Shifa, yang kemudian diikuti oleh Mama
dan Papa. Oh Dee... jangan pingsan... Yah, kamu harus kuat Dee!
Jangan terlihat syok begitu di depan mereka. Jangan sampai
kelihatan lemah di depan mereka!
”Udah lama ya Dee??” tanya Papa padaku.
”Maaf ya Dee... Shifa nakal nih!” sambung Mama. Icha tersenyum
simpul. Huh, aku benci sama dia! Mereka harus menjelaskan
semuanya padaku!!!
Aku tidak tahu harus bagaimana menempatkan diri dalam posisi
seperti ini. Ah, aku ingin menangis saja. Aku jadi ingat sama kejadian
tadi siang. Kemarahan sahabat-sahabatku, sementara di sini aku
diperkenalkan sebagai calon istri Fandy. Dan kedatangan Mama
Papa kemari? Pasti ini bukan hal main-main karena orang tuaku
dan orang tua Fandy sampai meluangkan waktu khusus untuk acara
ini. Dan begitu banyak kebetulan yang terjadi di sini? Ah, entahlah...
Semua kejadian beruntun yang terjadi sejak aku pulang sampai detik
ini benar-beanr membuatku bingung...
Pertemuan dua keluarga yang penuh kehangatan ini tanpa terasa
harus berakhir karena malam yang semakin larut. Shifa sudah
sejak tadi terbuai mimpi. Ah, alangkah enaknya kalau saja aku bisa
kembali lagi menjadi bocah seperti dia. Inti dari pertemuan malam
ini adalah saling memperkenalkan diri. Dan tentang rencana ke
depan, itu semua diserahkan padaku dan Fandy sebagai pihak yang
akan menjalani. Orang tua Fandy dan orang tuaku sepakat untuk
bertemu kembali satu bulan ke depan. Karena bagaimana pun harus
ada titik temu dalam masalah ini.
”Benar Pak Arsyad, jangan sampai nanti anak-anak kita malah
terlena dalam keadaan seperti ini. Harus ada kejelasan yang pasti.

Hot Chocolate Love | 127


Yah, biarlah anak-anak yang menentukan jadi atau tidaknya. Kita ini
kan hanya bertugas menjaga mereka sampai gerbang pernikahan.
Kehidupan selanjutnya biar mereka yang menentukan...” kata Papa
panjang lebar.
”Saya setuju dengan Pak Ahmad. Kita ini cuma bisa berencana.
Biar Allah yang bekerja dengan caranya sendiri. Kalau Dyera sama
Fandy mau melanjutkan sekolah dulu, itu juga terserah mereka.
Yang penting mereka konsisten sama komitmen yang sudah mereka
buat.” sambung Pak Arsyad, Ayah Fandy.
Ah, pembicaraan apa ini? Aku benar-benar-benar tidak
mengerti!
”Bu Allysa, kami juga minta maaf lho... Seharusnya kami
yang datang ke rumah Dyera karena kami yang bermaksud ingin
berkenalan. Tapi Fandy terus mendesak supaya diadakan di
rumah ini saja. Sekali lagi kami minta maaf...” ujar Bu Rima pada
Mamaku.
”Ah nggak papa... Sekalian jalan-jalan Bu. Fandy sudah sering
ke rumah Dyera kok. Kapan-kapan kalau ada waktu, main-main ke
rumah kami ya Bu...” jawab Mama.

Aku pulang ke rumah bersama Mama dan Papa tanpa sempat


mendengar penjelasan dari Fandy dan Irvan.
”Cha, apa-apaan sih ini semua?” tanyaku pada Icha setelah sampai
di rumah. ”Bukannya Mbak Dee seharusnya merasa senang?” tanya
Icha dengan senyum tulusnya. Ah, aku sedang tidak membutuhkan
senyuman itu.
”Jelasin semuanya sama aku!” Kali ini aku tidak menahan
perasaanku.

128 | Hot Chocolate Love


”Okey. Aku akan ngejelasin sejauh yang aku tahu.” kata Icha
sambil membersihkan wajahnya di depan cermin.
”Sebenernya, waktu Mbak Dee kemarin pergi ke pengajian...
Itu aku disuruh Mama supaya aku ngajak Mbak Dee ke rumah Bu
Rima. Semua ceritaku tentang Hasan itu memang benar Mbak. Bu
Rima memang sering cerita tentang Hasan sama kami. Tapi taruhan
yang aku buat sama Mbak Dee, itu semata-mata supaya Mbak Dee
mau datang pengajian. Dan itu semua aku lakuin atas permintaan
Mama sama Bu Rima. Aku cuma tahu sejauh itu Mbak. Dan tentang
pertemuan keluarga tadi malam, aku baru dikasih tahu Mama sore
tadi. Awalnya aku memang berniat ke rumah Bu Rima buat ngasih
kabar kalau aku lulus seleksi MTQ ke Sumatera Barat...” jelas Icha
panjang lebar.
Dzzzt..!!! Jadi...? Semua kejadian ini sudah direncanakan sejak
awal? Ah, aku semakin tidak mengerti... Aku harus tanya sama
Mama. Yah, sekarang! Saat ini juga...
”Ma, jadi semua ini udah direncanain sama Mama yah?” tanyaku
langsung pada Mama yang lagi-lagi sedang mengetik di ruang
kerjanya. Ah, sebenarnya aku tidak ingin mengganggu Mama karena
malam telah larut. Tapi semua yang terjadi hari ini adalah sebuah
misteri yang harus segera terkuak olehku.
”Aduh Dee... Mama lagi sibuk nih. Besok aja kamu tanya sama
Fandy yah... Please...” kata Mama padaku. Ah, luruh juga hatiku
demi mendengar permintaan Mama barusan. Aku meninggalkan
ruang kerja Mama dengan langkah gontai. Kulihat Papa sudah
tertidur bersama Shifa di kamarnya. Ah, pasti Papa juga lelah
mencari nafkah seharian. Lantas aku? Pada siapa aku harus mencari
jawaban atas teka-teki hari ini?
Aku kembali ke kamar tepat saat HP-ku berbunyi. Kulihat layar
handphone. Fandy meneleponku.

Hot Chocolate Love | 129


”Halo, Assalamu’alaikum.” kataku pada orang di seberang.
”Dee... belum tidur?” tanya Fandy.
”Gue cape Fan... Gue cape nyari jawaban teka teki hari ini...!”
“Dee... maafin aku. Semua akan aku jelasin besok. Itu juga kalau
kamu nggak keberatan.”
”Dan Rani...” kataku lirih.
”Aku janji akan bantu kamu!”
”Jelasin semua sama Rani!”
”Sebelum itu, aku jelasin dulu sama kamu Dee!” jawab Fandy
tegas.
”Kapan?”
”Besok, pulang sekolah!”
”Aku nggak mau ketemu kamu di sekolah.”
”Irvan yang akan jemput kamu.”
”Makasih buat kadonya yang indah Fan... Besok adalah hari
terberatku di Metro Alam... Dan mungkin juga untuk hari-hari
selanjutnya.” kataku sambil menahan air mata.
”Sabar ya Dee...”
”Kalau aku boleh ngomong, ini semua salah kamu!” kataku
padanya. Kumatikan HP-ku. Kutenggelamkan kepalaku di balik
bantal. Aku menangis sejadi-jadinya...

Fandy ternyata adalah Hasan. Bu Rima ternyata adalah ibu


Fandy. Kemunculan Irvan di rumah Fandy. Irvan yang ternyata
saudara sepupu Fandy. Kedatangan Mama dan Papa di rumah
Fandy... Ah, terlalu banyak kebetulan yang terjadi hari ini... Hey,
kebetulan??? Kurasa tidak!

130 | Hot Chocolate Love


Rani,
Maafin Gue…

Metro Alam pagi ini seolah menjelma menjadi kamp pembantain


buatku. Ruang kelas masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang
baru datang. Kali ini aku memilih duduk di sudut ruangan sebelah
kiri. Aku tidak ingin terlihat oleh siapa pun di sana. Setelah
mengumpulkan tugas jungle survival di locker Pak Dede, aku segera
menuju ke depan kelas. Aku duduk di kursi yang dibuat dari batang
pohon yang masih utuh.
Ah, itu dia Memey datang.
“Hai Mey...” sapaku pelan ketika Memey sudah sampai di depan
kelas.
”Tumben, pagi-pagi udah lemes Dee...” tanya Memey
keheranan.
”Rani belum cerita sama elo?”
”Cerita apaan?”
Fiuh... aku benar-benar tidak ingin menceritakan hal ini sama
Memey. Aku takut dia juga akan memihak Rani dalam hal ini. Aku
takut mereka meninggalkanku.
”Mey, gue ikut ke Rinjani yah!” kataku mengalihkan perhatian.
Yah, kupikir aku perlu refreshing. Aku perlu menenangkan pikiran
dalam keadaan seperti ini.
”Gud morning semuanya...!!!” sapa Gendis dengan ceria. ”Loh,

Hot Chocolate Love | 131


kok pada diem sih?” tanya Gendis karena tidak mendapat jawaban
dari kami.
Tidak lama kemudian Rani datang. Dan ketika melewatiku, dia
memalingkan wajahnya. Bahkan Memey dan Gendis yang tidak tahu
apa-apa juga tidak disapa olehnya.
”Hey... hey...! Ada apa ini? Pagi-pagi kok suasananya udah
panas!” tanya Gendis keheranan.
“Tanya aja sama dia!” jawab Rani singkat. Memey dan Gendis
segera berpaling ke arahku.
”Ada apa ini Dee?” tanya Memey kemudian.
Bel tanda masuk berbunyi sebelum aku sempat menjelaskan
semuanya. Suasana pagi itu memang lain dari biasanya. Rani yang
selama ini jarang duduk di depan, sekarang memilih duduk di
kursi paling depan. Sedangkan aku yang selama ini jarang duduk
di belakang, sekarang aku memilih duduk di sudut ruangan sebelah
kiri. Memey dan Gendis terpaksa menyimpan rasa penasarannya
sampai jam istirahat tiba.

Tidak ada satu pun pelajaran hari ini yang masuk ke otakku. Aku
sibuk memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk meminta maaf
pada Rani. Setahuku, selama ini Rani jarang sekali marah. Sebagai
seorang atlet, jiwa sportif memang sudah melekat erat pada dirinya.
Dia juga bukan tipe orang yang sensitif. Dan baru sekarang aku
melihat Rani benar-benar marah.
Aku tidak tahu harus mulai dari mana supaya Rani mau
mendengar penjelasanku. Ah, seandainya saja waktu itu aku menolak
membantu Rani buat ngerjain Fandy... Seandainya saja aku lebih
berani untuk berkata tidak... Ah, memang penyesalan selalu datang
di belakang... Tidak disebut penyesalan kalau datangnya di depan...

132 | Hot Chocolate Love


Dan karena rasa itu selalu datang belakangan, maka rasa itu disebut
penyesalan... Ah, seandainya saja aku sudah menyadarinya sejak
awal...
Bel tanda istirahat berbunyi. Memey segera menghambur ke
kursiku, sedangkan Gendis menuju ke kursi Rani. Memey mendengar
cerita dariku, sedangkan Gendis mendengar cerita dari Rani. Dari
tempat dudukku di sudut ruangan, aku bisa melihat Rani mulai
mencucurkan air matanya. Ia bercerita sambil sesekali memegangi
kepalanya. Raut wajahnya seperti sedang menahan rasa sakit...
Aku tidak tahu apakah aku harus menangis atau tidak. Rasa-
rasanya, air mata saja tidak akan sanggup untuk menunjukkan rasa
penyesalanku. Kuceritakan semua kisah itu mulai dari awal sampai
akhir. Mulai dari kesepakatan kami berempat untuk mencari tahu
siapa Fandy sebenarnya sampai kejadian tadi malam. Sesungguhnya
aku tidak yakin, apakah kejadian tadi malam (yang juga masih
menjadi misteri buatku itu) harus aku ceritakan atau tidak. Satu-
satunya hal yang tidak berani dan mungkin tidak akan pernah aku
ceritakan pada mereka adalah mengenai rasa yang mulai tumbuh
pada diriku terhadap Fandy. Cukup... cukup aku saja yang tahu!
”Gue ngerti banget sama perasaan elo Dee...” kata Memey
akhirnya, setelah mendengar semua ceritaku.
”Gue ngerti elo... Selama kita sahabatan, gue tahu kalau elo bukan
tipe cewek rese’ yang suka ngerebut gebetan temen elo sendiri.
Sebenernya nggak bisa dibilang ngerebut juga sih Dee... Karena
bagaimana pun, Fandy bukan pacar Rani. Dan Fandy berhak naksir
cewek mana pun. Itu haknya Fandy. Dan nggak ada orang yang bisa
ngelarang dia. Tapi apa yang elo sembunyiin selama ini juga nggak
bisa dibilang bener Dee... Gue ngerti maksud elo itu baik. Tapi elo
nggak fair. Seandainya elo ceritain hal ini sejak awal, nggak akan
begini jadinya kan? Dan tentang Rani, gue rasa wajar kalau dia

Hot Chocolate Love | 133


kaget. Kalau gue jadi Rani, mungkin gue juga bakal begitu karena
gue nggak tau duduk persoalan yang sebenernya... Agak susah juga
Dee... Apalagi, selama ini Rani jarang marah... Gue rasa, kalau Rani
marah sampai kaya’ begini, berarti dia emang bener-bener terluka
perasaannya...” komentar Memey sangat panjang dan sangat lebar.
Memey menghela nafas panjang. Ditatapnya ke arah depan, melihat
Rani yang tengah menangis tersedu-sedu di bahu Gendis.
“Gue saranin, elo minta maaf sama Rani...” kata Memey sambil
menatapku penuh iba. Kami berdua berjalan menuju ke tempat
duduk Rani di depan. Dan aku masih saja terdiam ketika telah
berdiri di depan meja Rani. Memey memberi isyarat padaku agar
segera meminta maaf pada Rani.
”Ran... maafin gue...” ujarku lirih.
Rani tidak menjawab permintaan maafku. Melihatku saja tidak.
Ah sahabatku... Aku benar-benar nggak ingin berada dalam posisi
seperti ini... Aku nggak mau kehilangan sahabat cuma gara-gara
masalah cowok. Cowok? Ah, aku nggak mau menyebut kata ’calon
suami’ saat ini...
Bel tanda masuk kelas berbunyi. Aku terpaksa kembali lagi ke
tempat dudukku. Rani menyeka air matanya. Dari tempat dudukku
yang terletak di sudut ruangan, pandanganku tidak bisa begitu saja
kualihkan dari sosok Rani yang terlihat jelas duduk di depan. Hampir
setiap menit, setelah aku memperhatikan Pak Agung yang sibuk
menjelaskan rumus kimia, aku pasti melayangkan pandanganku
pada Rani. Ah, sahabatku... Jangan pernah tinggalkan aku dalam
keadaan seperti ini...
Kuambil sehelai kertas dari dari dalam tas. Bagaimana pun dan
sebesar apapun kemarahan Rani, aku harus minta maaf padanya.
Kutulis surat buat Rani.

134 | Hot Chocolate Love


”Rani, sahabatku...
Jangan dulu dibuang kertas ini sebelum elo ngebaca semuanya.
Please... Anggaplah ini permintaan terakhir gue sebagai sahabat
elo (Itu juga kalau elo tega mutusin persahabatan kita cuma gara-
gara cowok).
Ran, lo inget nggak waktu kita berempat lagi mandangin
bintang dari lantai tujuh menara Metro Alam? Gue yakin pasti elo
nggak akan lupa. Waktu itu hari terakhir ”Welcome to The Jungle”
di Metro Alam. Kita baru kenal. Kita berempat masih sama-sama
baru di SMA ini.
Inget nggak waktu itu gue cubit pipi elo sampai merah, trus
elo nangis karena kesakitan. Inget nggak waktu itu elo bisa
diem karena apa? Karena waktu itu elo nemuin dan ngerampas
COKELAT di dalam tas gue. Dan ternyata elo nggak marah lagi
sama gue waktu itu...
Inget nggak waktu bola basket kesayangan elo gue ilangin?
Gue jahat ya Ran? Waktu itu elo marah besar sama gue ya?
Sampai-sampai gue mau dikeluarin dari tim basket. Huh, nggak
profesional! Dan elo inget nggak, gimana sampai elo nggak
marahan lagi ama gue? Karena gue kasih satu-satunya COKELAT
yang baru dibeliin Bokap gue dari Prancis yang harganya sepuluh
kali lipat dari harga bola basket elo itu. Wah, elo rakus juga yah!
Semua dimakan sendiri, lupa sama gue...
Inget juga nggak, waktu kita berdua dapet bingkisan karena
menang lomba makan kerupuk? Elo ngerebut hadiah gue dan gue
nggak mau ngasih hadiah gue sama elo. Dan setelah bingkisan itu
kita buka bareng, elo masih inget nggak apa isinya? Yah! lagi-lagi
COKELAT Ran!
Maharani, sahabatku...

Hot Chocolate Love | 135


Balik lagi ke lantai tujuh Menara Metro Alam yuk! Inget kata
Gendis nggak? Persahabatan seperti bulan, awalnya bulan sabit,
lama-lama menjadi bulan purnama. Kapan purnama itu tiba Ran?
Kalau sebelum bundar, kita udah membelah lagi jadi sabit...
Kejadian kemarin dan semua yang ada di balik itu Ran... Demi
Allah (gue sebenernya paling takut sama kata-kata ini...), gue sama
sekali nggak ada maksud jahat sama elo. Gue nggak bermaksud
nusuk elo dari belakang. Gue nggak bermaksud apapun! Mungkin
elo nggak tahu cerita lengkapnya, tapi gue udah cerita sama
Memey.
Sejarah adalah sesuatu yang tidak terduga. Gue yakin elo
nggak akan pernah ngelupain kenangan-kenangan indah dalam
persahabatan kita. Jujur, gue nangis Ran... Gue sedih... Gue nggak
tau gimana supaya elo mau baekan lagi ama gue... Apa iya, musim
kemarau setahun, hilang karena hujan sehari? Karena nila setitik,
rusak susu sebelanga... (Ah, gue terbawa suasana pelajaran
bahasa Indonesia nih!)
Tanpa bermaksud menjual air mata, kalau gue boleh jujur...
Gue sedih banget Ran... Elo tuh sahabat yang selama ini gue
banggain... Yang selalu gue kagumi waktu di lapangan basket...
Matahari mungkin bisa mengeringkan air laut, tapi
mengeringkan air mata? Enggak Ran...
Maharani, sahabatku...
Sekali lagi, maafin gue ya Ran... Mungkin gue nggak pinter
bikin kata-kata yang bisa meluluhkan hati elo. Gue cuma punya
hati yang tulus, gue nggak pengen persahabatan kita hancur
karena masalah ini.
With love
Dee

136 | Hot Chocolate Love


Ah, nggak terasa air mataku menetes. Aduh, gue cengeng banget ya?
Kulipat kertas itu menjadi dua bagian.
Bel tanda pulang berbunyi. Tanpa membuang waktu, aku
bergegas menuju bangku Rani. Kuulurkan surat itu padanya. Jujur,
aku takut Rani menolak atau bahkan merobek surat itu... Syukurlah,
Rani menerima surat itu...
Tapi... apa Rani mau maafin aku? Entahlah... kali ini aku nggak
berani mikirin jawabannya...

Hot Chocolate Love | 137


138 | Hot Chocolate Love
Pengakuan

Irvan ternyata benar-benar menjemputku siang ini. Aku tidak


tahu apakah Irvan marah padaku atau aku yang seharusnya marah
padanya. Aku tidak tahu dimana posisi Irvan dalam masalah ini.
”Fandy mana?” tanyaku setelah berada dalam mobil Irvan.
”Dia nunggu di Wajan Bekas. Gimana sekolahmu hari ini Dee?”
tanya Irvan padaku. Ah, Wajan Bekas... Itu kan tempat makan
favoritku! Warung Jajan Barbeku ’n Pasta... Wajan Bekas. Makanan
di sana enak-enak. Bahkan Papa juga sering mengajakku makan di
sana kalau kebetulan sedang menjemputku dari sekolah.
”Hari penuh air mata Van...” jawabku pelan.
”Sebenernya ada apa sih Van?” sambungku kemudian.
”Dee... sabar bentar yah...? Aku takut salah ngomong nih...”
Aku menarik nafas panjang. Skenario tadi malam pasti Fandy
yang ngatur. Huh, jadi... dalang di balik ini semua adalah Fandy!
”Kamu nggak belajar Van?”
”Udah... masa’ seharian belajar melulu sih Dee? Aku kan jadi BT
pangkat dua...” kata Irvan menggodaku. Ah, BT pangkat dua... Aku
ingat kata-kata itu... Butuh Tatih Tayang... Butuh Kasih Sayang...
Hihi... Irvan bisa aja deh!
”Van, kita masih pacaran nggak sih?”
”Emang kamu masih mau sama aku?”
”Maksudmu?”

Hot Chocolate Love | 139


”Setelah semua kebohonganku, setelah kamu tau kalau ternyata
aku ini saudara sepupu Fandy...” tanya Irvan sambil menaikkan
sebelah alisnya. Hahaha... Irvan ini lucu banget! Wajahnya yang
bulat itu jadi semakin lucu ketika dia menaikkan sebelah alisnya.
Kata nenek moyang, kalau kalau kamu bisa menaikkan sebelah alis
saja, itu berarti kamu orangnya kejam! Nah lo...!!!
”Kalau aku tetep mau jadi pacar kamu?” tanyaku kemudian.
”Ehhmmm... aku yang nggak mau jadi pacar kamu!” jawab Irvan
sambil meleletkan lidahnya. Huh!
”Kenapa?” tanyaku lagi.
”Entar juga kamu tau jawabannya...” jawab Irvan, kali ini dengan
serius.
Irvan memarkir mobilnya di halaman parkir Wajan Bekas. Dari
kejauhan, kulihat Fandy sudah menunggu di meja paling ujung. Meja
yang paling dekat dengan taman. Meja yang paling sejuk karena
banyak kena angin... Ah, Fandy... Dalam keadaan seperti apapun dia
selalu terlihat tampan... Wajahnya yang putih cenderung kuning itu
seperti memancarkan aura. Bersih dan terawat...
”Hai Dee...” sapa Fandy ketika aku dan Irvan sudah sampai di
meja itu. Semua meja di Wajan Bekas adalah meja lesehan.
”Hai...” jawabku singkat. Suasana hening menyeruak. Tidak
ada seorang pun diantara kami yang berinisiatif untuk memulai
pembicaraan sampai makanan yang kami pesan akhirnya datang.
”Aku udah siap dengerin Fan...” kataku akhirnya.
”Aku mulai dari mana Dee?” tanya Fandy sambil menegakkan
kepalanya setelah sejak tadi kuperhatikan dia menundukkan
kepalanya, sibuk memainkan ujung jempol jari kakinya.
“Dari awal...”
“Bismillah... mudah-mudahan kamu nggak salah ngartiin ya
Dee...” kata Fandy memulai ceritanya.

140 | Hot Chocolate Love


“Sebelum itu, kamu harus tau kalau aku bener-bener ngerasa
terganggu sama cewek-cewek yang suka ngejar-ngejar aku. Mereka
ngikutin kemana pun aku pergi. Aku ini bukan artis Dee... Aku juga
bukan bintang basket, bukan pemain band, bukan ketua OSIS, dan
masih banyak cowok lain yang lebih tajir dari gue... Entah kenapa,
cewek-cewek itu masih aja suka gangguin aku Dee. Dan aku nggak
suka sama keadaan seperti ini...” Fandy menghentikan ceritanya
untuk minum sebentar.
“Sejak aku baru masuk SMA Metro Alam, aku sering merasa
terganggu sama cewek Dee. Aku risih sama sikap mereka yang
sering bermanja-manja di dekatku. Puncaknya adalah seminggu
sebelum kamu sms aku. Aku hampir nggak bisa belajar karena tiap
menit telepon di rumahku berdering. Setiap kali aku angkat, pasti
langsung dimatiin. Begitu terus selama hampir dua jam! Aku yakin,
ini pasti teror dari cewek yang aku tolak siang sebelum itu....” lagi-
lagi Fandy memotong ceritanya untuk minum.
“Kamu percaya sama yang namanya do’a kan Dee?” tanya Fandy
kemudian.
“Iya...”
“Seminggu sebelum kamu pertama kali sms aku, aku minta
sama Allah supaya aku dijauhkan dari gangguan cewek-cewek itu.
Tiap waktu dhuha, aku selalu shalat di Mushalla. Aku nggak pernah
ninggalin yang namanya shalat sunnah. Aku ingin Allah bener-bener
mendengar doaku. Dalam seminggu itu, shalat sunnah seolah-olah
jadi hal wajib buatku. Mulai dari shalat tahiyatul masjid sampai
shalat tasbih. Shalat tahajjud nggak pernah aku tinggalin...”
”Trus?”
”Alhamdulillah, gangguan cewek-cewek itu benar-benar hilang
setelah tiga hari bermunajat sama Allah. Pada dasarnya, manusia itu
nggak pernah puas. Setelah gangguan cewek-cewek itu hilang, aku

Hot Chocolate Love | 141


nambah doaku sama Allah. Aku minta supaya Allah menunjukkan
jodoh yang terbaik buatku.... Apalagi Abi sama Umi terus-terusan
ngelarang aku kuliah di tempat yang jauh karena takut nggak bisa
ngawasin pergaulanku. Aku pernah ceritain ini sama kamu kan
Dee?” tanya Fandy.
”Iya...” jawabku singkat. Aku melirik ke arah Irvan yang sedang
asyik menghabiskan makanannya. Huh, kalau udah lihat makanan,
Irvan bisa lupa segalanya.
”Seminggu setelah aku berdoa sama Allah, dan setelah gangguan
semua cewek itu hilang, entah kenapa ada satu sms dari kamu...
Kupikir Allah marah sama aku yang nggak tahu diri ini. Kupikir
Allah nggak mau dengar doaku lagi dan cewek-cewek itu mulai
menggangguku. Tapi aku terus berdoa sampai aku tahu siapa
kamu...”
”Maksud kamu?”
”Aku minta tolong Irvan buat nyari tau, siapa cewek yang ngaku-
ngaku namanya Intan itu. Entah kenapa, aku ngerasa seneng banget
waktu aku tau kalau ternyata Intan itu kamu Dee...”
”Emangnya kamu udah tau aku sebelumnya?” tanyaku heran.
”Kamu cewek yang berani ngelawan aku waktu ospek, inget?”
Ingatanku kembali pada masa ’Welcome to The Jungle’ SMA
Metro Alam. Ah iya, waktu itu aku melawan seorang senior yang
menyuruhku makan cacing mentah-mentah. Aku lebih milih
nangkap lima kecoa di gudang Metro Alam dari pada harus makan
cacing. Oh... jadi... senior yang galak itu namanya Fandy to?
”Iya...” jawabku singkat.
”Habis itu, aku langsung nyari tau siapa nama kamu...”
”Ooooo....” cuma kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
”Aku nggak nyangka cewek imut kaya’ kamu berani nangkap
lima kecoa...” ujar Fandy sambil tersenyum sendiri. Huh, dia pikir...

142 | Hot Chocolate Love


aku ini cewek penakut apa?!!
”Kamu juga salah satu dari empat cewek yang kabur ke menara
Metro Alam waktu malam terakhir ospek, bener kan?” lagi-lagi
Fandy mengingatkanku pada masa-masa indah hampir dua tahun
silam.
”Dan kamu adalah cewek yang kebagian masak kaki kambing
sebagai hukuman karena malam itu udah melarikan diri kan?”
”Iya...” Aku ingat. Memey kebagian masak nasi, sedangkan
Gendis sama Mona kebagian ngerebus Malari, Makanan Ala Rimba,
yang terdiri dari ubi, pisang, singkong, sama jagung. Dan aku yang
ketahuan sebagai dalang pelarian diri itu, harus masak kaki kambing
yang belum dikuliti. Huh!!!
”Kamu tau nggak, siapa aja senior yang nungguin kalian kerja?
Yang ngebantuin kamu ngulitin kaki kambing sampai bersih,
sedangkan kamu sibuk bikin bumbu... Kamu tahu siapa dia?”
”Kamu???” jawabku ragu.
”Iya. Dan setelah kamu selesai masak kaki kambing itu, panitia
rebutan ngicipin masakan kamu. Nggak ada seorang pun dari
mereka yang nggak muji masakan kamu...” jelas Fandy membuatku
tersipu.
”Kamu juga cewek yang membela diri waktu dipojokin habis-
habisan saat dialog pemilihan ketua OSIS itu kan?” lanjut Fandy.
”Ah, iya bener! Aku suka sama gaya kamu Dee! Sensitif dan
berani! Salut deh!” sela Irvan sambil mengunyah makanannya.
”Dan setelah Irvan berhasil tau kalau Intan itu Dyera, aku
langsung datang ke kelasmu. Aku pikir, ini adalah jawaban dari
semua doaku selama ini. Waktu aku datang ke kelasmu waktu itu,
sebenernya aku pengen kenal kamu lebih jauh. Tapi waktu itu kamu
lagi nggak sendiri, dan aku ini sebenernya pemalu. Makanya aku
minta ditemenin sama dua orang temen kelasku...”

Hot Chocolate Love | 143


”Trus, kenapa waktu itu kamu kasar sama aku?”
”Itu di luar skenario Dee... Setelah aku ketemu kamu dan ngelihat
kamu dari dekat, entah kenapa aku nggak bisa ngomong lagi. Dan
waktu itu aku bener-bener nyesel udah berbuat kasar sama cewek
yang selama ini pengen aku kenal lebih jauh...” jelas Fandy.
“Iya, terus Fandy cerita sama aku Dee.” sambung Irvan yang
telah menyelesaikan makannya. “Dan sebenernya, aku yang PDKT
selama ini sama kamu. Aku yang nembak kamu, aku yang jadi pacar
kamu selama ini... Itu adalah bagian dari skenario yang dibuat sama
Fandy...”
Dzzzt..!!! Jadi? Jadi selama ini, semua kata sayang, semua
perhatian yang diberikan Irvan buatku adalah palsu? Seenaknya
aja mereka permainin perasaan cewek! Bener-bener nggak bisa
dimaafkan.
Irvan cepat-cepat menambahkan, ”Jangan marah dulu Dee...
Fandy pengen menyelidiki tentang jati diri calon istrinya itu.
Makanya, aku disuruh jadi pacarnya. Biar dia bisa tahu, bagaimana
kamu itu sebenernya. Dan waktu aku cerita tentang perjanjian kita
waktu baru jadian itu, Fandy senang bukan main Dee...” lanjut
Irvan.
“Iya. Aku jadi semakin yakin kalau kamu itu adalah jawaban dari
semua doaku Dee... Jaman sekarang ini, susah buat nyari calon istri
yang benar-benar baik. Tapi Allah Maha Adil, laki-laki yang baik
hanya untuk wanita baik-baik...” sambung Fandy.
“Dan waktu aku nganter kamu pulang naik motor itu... Kamu
inget?”
”Iya...”
”Waktu kamu ke belakang dan lagi bikin minuman buat aku, aku
ngobrol banyak sama Mama kamu. Dari situ aku tahu kalau kamu
punya adik yang namanya Icha yang tiap Minggu ngaji sama Umi.

144 | Hot Chocolate Love


Dan Mama kamu juga kaget waktu aku bilang kalau aku ini anaknya
Bu Rima...”
Ah iya!! Pantesan Mama langsung akrab sama Fandy. Jadi karena
Fandy itu anak Bu Rima toh? Tapi... kenapa Mama nggak pernah
cerita hal ini sama aku ya?
”Kamu pasti pernah lihat Abi sebelumnya?!” tebak Fandy.
”Ah iya! Bener! Itu yang aku mau tanyain sama kamu malam
itu... Perasaan, aku pernah lihat Abi kamu, tapi kapan... aku nggak
inget...” sahutku.
”Abi kita Dee...” ralat Fandy.
”Belum tentu!” sanggahku.
”Abi itu, dulu dosen Papa...”
”Dosen Papaku!” aku menyela.
”Iya, itu maksudku. Dosen Papa kamu...” kata Fandy akhirnya.
”Dan Abi pernah beberapa kali ke rumah kamu untuk suatu proyek.
Jadi, keluarga kamu pasti udah nggak asing lagi sama keluargaku.”
ujar Fandy.
”Kebetulan juga, Papa kamu dulu tergabung dalam Dewan
Keluarga Musholla yang waktu itu diketuai Abi. Papa kamu sering
diskusi sama Abi. Dan mereka punya banyak persamaan persepsi,
termasuk masalah pernikahan anak.” jelasnya padaku.
”Trus, aku dijodohin sama kamu?!!”
”Enggak. Bahkan waktu ketemu lagi, mereka sama sekali nggak
tahu kalau ternyata kita ini sudah saling kenal. Abi baru tau kalau
kamu itu anak Pak Ahmad ya waktu aku bilang sama Abi kalau aku
pengen kenalan sama keluarga kamu.”
”Kapan kamu ngomong sama Papaku? Kamu nggak takut ditolak
sama orang tuaku?” tanyaku heran. Berani amat cowok ini!
”Orang tuamu punya persepsi yang sama dalam urusan mendidik
anak Dee. Karena orang tua kamu punya latar belakang yang nggak

Hot Chocolate Love | 145


jauh beda sama orang tuaku. Mereka sama-sama nggak mau
anaknya terjerumus dalam pergaulan bebas. Itu makanya, pas aku
bilang sama Papa kamu kalau aku pengen kenal kamu lebih jauh,
Papa kamu setuju-setuju aja. Asal dalam batas yang halal.” terang
Fandy dengan sabar padaku.
”Iya... tapi kapan kamu ke rumahku?”
”Aku yang ke kantor Papa kamu.” jawab Fandy tenang.
Dzzzzttt!! Jadi, Fandy nggak main-main nih?
“Umi pengen tahu yang namanya Dyera. Akhirnya Umi minta
tolong Icha lewat Mama kamu supaya ngajak kamu datang ke
pengajian. Dan waktu Umi pertama ngelihat kamu, entah kenapa,
Umi juga langsung suka sama kamu...” jelas Fandy.
”Sebentar lagi aku ujian Dee. Aku nggak mau kepikiran kamu
terus. Itu makanya, aku mutusin buat mempertemukan keluarga
kita.” lanjutnya.
”Tadi malam?” tanyaku.
”Iya...”
”Sekarang, semua udah jelas kan Dee?” tanya Fandy pada
akhirnya. Yah, sangat jelas malah.
”Aku tunggu jawaban kamu Dee, kamu bersedia nggak jadi
istriku?” tanya Fandy kemudian.
”Jawabannya sebulan lagi aja ya Fan, saat keluarga kita ketemu
lagi...” jawabku akhirnya.
Ah, aku benar-benar bingung. Aku ini masih SMA, kelas dua lagi!
Berpikir untuk jadi seorang istri adalah hal yang sama sekali belum
terpikirkan olehku. Yeah, walaupun Fandy bilang kasih kebebasan
tentang waktu menikah, itu tetap saja masih tidak terjangkau oleh
pikiranku. Dan sahabatku marah sama aku karena masalah ini... Ah,
entahlah... Aku benar-benar bingung...

146 | Hot Chocolate Love


Ekspedisi
Gunung Rinjani

Rani masih juga belum bisa memaafkan aku. Walaupun


kemarahannya sudah mulai reda, dia masih tetap tidak mau
menyapaku saat kami berempat sedang berkumpul. Dan hari ini
adalah hari Sabtu. Aku sudah mempersiapkan barang-barang yang
akan kubawa dalam pendakian ke Gunung Rinjani. Mama dan
Papa berpesan agar aku berhati-hati. Icha mengingatkanku agar
menyempatkan diri untuk mengaji walau hanya sebentar.
Pagi ini aku berangkat ke sekolah. Semua yang akan ikut
pendakian ke Gunung Rinjani harus berkumpul sebelum jam
sembilan. Surat dispensasi ke kelas sudah diurus panitia.
”Dee, udah siap semua kan? Ada webing nggak? Matras? Sleeping
bag? Vedpless? Golok?” tanya Memey sambil memeriksa isi cariel
bag milikku begitu aku sampai di sekolah.
”Gunung Rinjani itu di pulau Lombok kan Mey?” tanyaku
memastikan keberadaan pulau Lombok.
”Iya. Kalau naek kapal, kita dari pelabuhan Ketapang di Surabaya,
nyebrang ke pelabuhan Gilimanuk di Bali. Dari Gilimanuk, kita jalan
ke pelabuhan Padangbai-Bali. Dari pelabuhan Padangbai inilah
kita baru nyebrang ke pelabuhan Lembar di pulau Lombok...” jelas
Memey panjang lebar.
”Jadi intinya, dengan ongkos satu juta lima ratus yang kita bayar
kemarin, kita ke Lombok pake jalur darat-laut atau jalur udara?”

Hot Chocolate Love | 147


tanyaku pada Memey.
”Berhubung ada alumni yang baek, kita boleh lega karena kita
naek pesawat...”
”Cihuuyy!!”
”Berangkat jam berapa?” tanyaku lagi.
”Jam setengah satu dari Soekarno-Hatta, kita nyampe di Lombok
mungkin Maghrib. Soalnya transit dulu di Juanda. Inget ya, jam di
Lombok satu jam lebih cepat dari jam di Jakarta.” jelas Memey.
”Yang ikut berapa orang sih Mey?”
”Sekitar empat puluh orang, ditambah alumni dua puluh orang...”
jawab Memey.
Ah, pulau Lombok. Aku pernah mendengar nama pulau ini
karena terkenal eksotik. Kalau nggak salah inget, nama suku aslinya
suku Sasak. Terkenal juga dengan mutiaranya. Mutiara Lombok.
Dan tiga Gili yang terkenal indah itu, Gili Trawangan, Gili Air, Gili
Meno... Aduh, jadi nggak sabar nih pengen ke Lombok! Oya, pantai
Senggigi, Kerandangan, sate bulayak, pelecing... Aduh, seperti apa
sih pulau itu?

Perjalanan terasa menyenangkan. Tanpa terasa, kami sudah


sampai di bandara Selaparang. Malam membayang di langit kota
Ampenan. Bis yang kami sewa tiba tepat pada waktunya. Saat kami
keluar dari bandara, kami dapat langsung segera naik bus itu untuk
menuju wisma yang telah dipesan.
Menyusuri jalan Udayana dengan taman kota yang tertata apik
di sepanjang jalan itu, kami menikmati setiap geliat aktivitas yang
terjadi di sepanjang jalan Udayana. Di trotoar sepanjang jalan itu,
para pedagang sibuk menggelar dagangannya. Beberapa diantara
mereka bahkan sedang sibuk melayani pembeli. Aku membaca salah

148 | Hot Chocolate Love


satu tulisan pada salah satu gerobak pedagang itu. ”Sate Bulayak”.
”Mey!! Liat deh! Itu kan sate bulayak yang terkenal itu! Aduh,
nggak sabar pengen tahu rasanya nih!” kataku pada Memey.
”Tenang Dee, nanti kita punya waktu khusus buat jalan-jalan
keliling pulau Lombok, Otrey?!” sahut Memey menenangkanku.
Di sisi sepanjang jalan itu ada taman. Pada setiap petak tamannya
terdapat beberapa kursi yang panjangnya kira-kira satu meter
(untuk duduk dua orang nih...) yang terbuat dari beton. Gedung
DPRD berdiri dengan gagah di sebelah kanan jalan. Sedangkan di
perempatan besar setelah itu, Gedung Bank Indonesia berdiri kokoh
di sebelah kiri jalan.
Pada perempatan itu, bis kami berjalan terus sampai pada
perempatan yang kedua. Di situlah bis kami belok ke kanan.
Mengikuti arus, kami melihat bagian belakang gedung Universitas
Mataram. Satu-satunya perguruan tinggi negeri di pulau itu. Pada
lampu merah berikutnya, kami berhenti tepat di depan Wisma
Forester yang dibangun oleh salah satu alumni SMA Metro Alam
yang sekarang bekerja di Departemen Kehutanan.
Malam pertama di pulau Lombok, aku, Memey, dan beberapa
teman kami langsung tertidur pulas. Bukan... bukan karena
kelelahan. Tapi karena tidak sabar bermimpi indah tentang Gunung
Rinjani dan pulau Lombok...

Dari enam puluh orang yang pergi ke Gunung Rinjani, kami


dibagi dalam enam kelompok. Aku tidak sekelompok dengan
Memey. Kelompokku terdiri dari sepuluh orang. Empat orang senior
dan sisanya dari siswa Metro Alam sendiri. Dari sepuluh orang
itu, ceweknya cuma empat orang, dan sisanya (termasuk alumni)
cowok.

Hot Chocolate Love | 149


Keempat cewek itu adalah Maya, Khaleda, Fathima, dan aku
sendiri. Maya adalah partnerku dalam tim basket Metro Alam, anak
kelas Tambora. Sedangkan Khaleda Thalib dan Fathima Thalib
adalah saudara kembar keturunan Arab yang berbeda satu sama
lain. Mereka pindahan dari Kairo. Ayah mereka yang duta besar
itu sudah memasuki masa pensiun. Baik Khaleda maupun Fathima
nggak pernah mau dipanggil tanpa nama Thalib di belakang nama
mereka. Khaleda Thalib duduk di kelas Jayawijaya, aktif di ekskul
panahan yang setiap tahun selalu menyumbang prestasi. Sedangkan
Fathima Thalib di kelas Tambora, aktif di kerohanian Islam.
Keduanya memakai jilbab, tetapi Khaleda Thalib cenderung lebih
tomboy. Sedangkan Fathima Thalib lebih feminin.
”Ada dua alternatif dalam pendakian ini. Bisa lewat jalur Senaru,
bisa juga lewat jalur Sembalun Lawang...” kata Kak Didi, salah satu
alumni yang masuk dalam kelompokku.
”Resikonya Bang?” tanya Alfian, anak kelas Tectona grandis.
”Kalau dari Senaru, jalannya lebih pendek dan lebih terjal. Kita
bisa mencapai puncak dalam waktu kurang lebih dua belas jam. Itu
juga kalau kalian sudah terbiasa lewat jalur Senaru. Resikonya, bisa
aja waktu pendakian dari Senaru ini jadi lebih lama karena jalannya
yang terjal. Sedangkan kalau berangkat dari desa Sembalun, jalurnya
lebih panjang, tapi cenderung mudah dilewati. Butuh waktu sekitar
enam belas jam untuk sampai ke puncak.” jelas Kak Didi menanggapi
pertanyaan Alfian.
Setelah berdiskusi, akhirnya kami memutuskan untuk melewati
jalur Sembalun. Pertimbangannya adalah karena jalurnya cenderung
lebih aman dan ada banyak selter di sepanjang jalur itu.
Dengan menggunakan angkutan umum, kami menuju ke desa
Sembalun. Hari masih siang ketika kami sampai di desa Sembalun.
Setelah beristirahat sebentar, kami menentukan waktu pendakian.

150 | Hot Chocolate Love


Pendakian akan dimulai setelah shalat Ashar dengan harapan agar
kami bisa mencapai puncak tepat saat Sunrise. Tepat saat matahari
terbit dari ufuk Timur...
Kami bersepuluh melakukan shalat Dzuhur berjamaah. Kak
Chandra menjadi imam dalam shalat itu.
”Dee, punya minuman nggak?” tanya Maya setelah selesai
shalat.
”Ada, kamu mau?”
”Iya dong. Gue haus banget nih...” sahut Maya.
Aku mengeluarkan sebotol air mineral berukuran 1,5 liter. Masih
utuh.
”Dee, masak yuk!” ajak Fathima Thalib setelah menyelesaikan
shalat Dzuhurnya. Dikeluarkannya satu bungkusan berisi ikan
asin dan beras. Kami harus makan untuk mempersiapkan stamina
saat mendaki nanti. Kulihat Kak Didi dan yang lain sedang sibuk
membuat sambal.
”Iya Dee!! Kamu kan pinter masak! Kamu bikin sambelnya aja
deh!” kata Kak Zul padaku. Akhirnya memang aku membuatkan
sambal untuk mereka, sedangkan Thalib bersaudara memasak ikan
asin. Maya mendapat bagian menanak nasi. Enam lelaki dalam
kelompok kami sedang sibuk mencari kayu bakar. Sebagian dari
mereka membelah kayu bakar itu menjadi bagian yang lebih kecil
dan menyimpannya untuk pendakian.
Makan dengan kebersamaan ini terasa sangat nikmat. Yang satu
berbagi dengan lainnya. Dan tanpa terasa, tiba juga saat pendakian.
Perjalanan dari desa Sembalun menuju ke selter I selama empat
jam pertama diwarnai oleh canda tawa dan celotehan khas remaja.
Aku benar-benar menikmati suasana seperti ini. Ketika jalanan
menyempit, kami berjalan satu persatu, berselang seling. Yang
putra melindungi yang putri.

Hot Chocolate Love | 151


Shalat Maghrib dan shalat Isya’ kami gabung dalam satu waktu.
Karena kami tiba di selter I tepat saat adzan Isya’ dikumandangkan
oleh kelompok pendaki lain yang telah lebih dulu sampai di selter
itu. Entah kenapa, saat berdzikir dalam suasana yang hening seperti
ini, perasaanku selalu merindukan suara merdu Fandy seperti saat
mengimami shalat Ashar-ku waktu itu.
Kami melanjutkan kembali perjalanan menuju selter II setelah
berhenti di selter I selama kurang lebih setengah jam. Senter
tergenggam di tangan kami masing-masing. Kak Gani yang berdiri
paling depan menggunakan senter paling besar untuk menerangi
jalan. Saat ini aku berdiri pada ketinggian antara 1000-2000
meter di atas permukaan laut. Walaupun hari sudah gelap, tapi
aku masih bisa melihat beberapa jenis tumbuhan pada ketinggian
ini. Tumbuhan dari jenis Dysoxylum dan Pterospermum banyak
tumbuh di sepanjang jalur yang kulewati. Pembicaraan diantara
kami sudah jauh berkurang. Pembicaraan hanya seputar pada
peringatan agar lebih berhati-hati jika Kak Gani yang berada paling
depan itu menemukan sebuah rintangan. Beberapa pohon besar
yang tumbang cukup merepotkan juga. Kami mencapai selter II
dalam waktu empat puluh lima menit.
Kami tidak berhenti di selter II, kami terus melanjutkan
perjalanan ke Jembatan Bolong. Jam di tanganku menunjukkan
pukul 19.30 WIB. Ini berarti pukul 20.30 WITA. Posisi Kak Gani
digantikan oleh Kak Didi. Berulang kali dia mengingatkan pada
kami untuk tidak mengosongkan pikiran.
”Perjalanan kita baru sepertiga jarak tempuh. Sekarang kita
berdiri sekitar seribu dua ratus meter di atas permukaan laut. Masih
ada dua ribu empat ratus dua puluh enam meter lagi jarak yang
harus kita tempuh...” kata Kak Didi.

152 | Hot Chocolate Love


Sesekali ada juga batu kecil yang tiba-tiba terlempar ke arah
kami, entah dari mana asalnya. Kalau sudah begitu, aku hanya bisa
ber-istighfar dan semakin memperkuat dzikirku pada Allah. Kami
menempuh rute Jembatan Bolong-Persimpangan-Bukit Penyesalan
selama tiga jam. Setelah itu, kami beristirahat sebentar untuk
melepas lelah.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 23.35 WITA. Angin
dingin berhembus kuat, hampir saja menerbangkan penutup
kepalaku. Seketika itu juga, rasa dingin menggelitik telingaku.
Menyusup perlahan-lahan menuju gendang telinga yang kemudian
menimbulkan rasa nyeri yang teramat sangat.
Cemara gunung menjulang tinggi, berjajar rapi membentuk
gugusan sendiri di bagian barat tubuh Rinjani. Begitu tingginya
sampai-sampai pucuk pohon itu seperti menusuk atap langit.
Cahaya bulan separuh menyelinap melalui pucuk pohon cemara.
Siluet yang tergambar pada langit malam, jutaan lentera kecil yang
menggantung di langit, cemara tinggi yang melambaikan tubuhnya,
dan bulan separuh. Semua teratur sesuai dengan porsinya...
Lansekap alam yang penuh misteri... Hanya DIA yang sanggup
mengatur ini semua...
Subhanallah...
Sesekali suara musang yang terbawa oleh angin dari bukit
tertangkap oleh telinga kami. Kudengar suara Khaleda Thalib yang
sesekali menimpali Fathima Thalib dalam melantunkan puji-pujian
pada Allah dalam bahasa Arab.
Menurut Kak Didi, kami sekarang berada pada ketinggian
sekitar dua ribu seratus meter di atas permukaan laut. Para lelaki
sibuk menyalakan kayu bakar. Sedangkan angin malam terus
bertiup kencang menerpa wajahku, menggerinyutkan setiap urat
di sekitar mata dan telingaku. Nyeri. Aku khawatir akan terserang

Hot Chocolate Love | 153


hipothermia, merasa kedinginan yang teramat sangat karena
pengaruh perubahan suhu dan kerapatan udara.
Fathima Thalib menyadari keadaanku yang mulai memucat.
Diambilnya selembar kain berbentuk segi empat yang kemudian
dilipatnya menjadi bentuk segitiga. Dililitkannya kain itu menutup
seluruh rambut dan telinga serta leherku. Ah, tentu saja Thalib
bersaudara tidak merasakan kedinginan... Mereka kan pakai jilbab!
Rasa dingin yang menusuk perlahan-lahan mulai berkurang,
digantikan oleh hangat yang disebabkan oleh kain yang menutupi
seluruh bagian kepalaku, kecuali wajah tentunya. Setelah beristirahat
selama satu jam, kami melanjutkan perjalanan lagi.
Bukit Penyesalan-shelter III-Plawangan II-Puncak Rinjani. Rute
itu kami tempuh dalam waktu lima jam. Dan sekarang kami berada
seratus meter di bawah puncak Rinjani. Dengan sisa tenaga, kami
bersusah payah mendaki puncak itu. Beberapa kali, asap tebal tiba-
tiba menyelimuti sekitar kami, sehingga kami tidak dapat melihat
apapun kecuali teman yang tepat berada di samping kami.
Berdzikir dan melantunkan doa pada Allah adalah obat mujarab
untuk mengatasi kondisi seperti ini. Dan setelah hampir satu jam
kami berada pada ketinggian seratus meter di bawah puncak Rinjani
itu, akhirnya kami dapat juga mencapai puncak itu.
Yah...! Inilah puncak Rinjani!!! Puncak tertinggi kedua di
Indonesia setelah puncak Jayawijaya, 3.726 meter di atas permukaan
laut!!! Dan aku berhasil mencapai puncaknya!!! Hey... aku senaaaang
sekali...!!!
Kelap-kelip lampu kota Mataram, tampak seperti ribuan semut
yang membawa lentera. Para lelaki bergegas mendirikan tenda. Jam
tanganku menunjukkan pukul 04.38 WITA. Aku sempat tertidur
sebentar sampai Maya membangunkanku untuk shalat Shubuh.
Beberapa kelompok juga telah mencapai puncak Rinjani. Khaleda

154 | Hot Chocolate Love


Thalib menceritakan perjalanannya pada anggota kelompok lain. Di
sudut lain, Fathima Thalib sibuk memasak air dan membuatkan teh
hangat untuk kami.

Matahari menampakkan tubuhnya dari ufuk Timur. Menawarkan


saat-saat indah yang sangat sayang untuk dilewatkan. Aku
mengagumi keindahan yang menyegarkan mata itu. Lagi-lagi hanya
kata ”Subhanallah” yang dapat kuucapkan...
Dan semua kenangan tentang Fandy menyeruak begitu saja
bersama terbitnya matahari di pulau Lombok... Yah, dengan jarak,
orang dapat menimbang dan menakar. Dengan jarak, orang dapat
saling merindu... Dan aku merasa begitu rindu pada Fandy!
Hampir tiga bulan aku mencoba mengenali Fandy dan Irvan
dalam waktu yang bersamaan. Tiga bulan adalah waktu yang singkat
untuk dapat memahami seseorang lebih jauh. Namun di sisi lain,
tiga bulan adalah waktu yang sangat lama untuk sebuah perasaan
yang baru pertama kali ini kurasakan dalam hidupku. Begitu banyak
hal yang terjadi dalam tiga bulan belakangan. Mulai dari aku yang
ketahuan ngerjain Fandy sampai akhirnya pada kejadian beberapa
malam yang lalu. Semua terjadi begitu saja. Dan ini benar-benar
membuatku harus me-riview kembali sebagian perjalanan hidupku
dalam tiga bulan belakangan.
Saat-saat seperti ini adalah bagian dimana aku betul-betul tidak
mengerti akan diriku sendiri. Tidak mengerti perasaanku. Tidak
mengetahui apa yang sebenarnya aku inginkan. Tidak tahu apa yang
harus aku lakukan. Aku seperti berada pada perlimaan jalan atau
bahkan lebih. Ada sekian banyak jalan yang ditawarkan, sedangkan
aku tidak tahu kemana aku akan melangkah. Aku tidak tahu tujuan
akhir yang akan kucapai.

Hot Chocolate Love | 155


Setiap pertanyaan dalam diriku selalu timbul tenggelam bagai
diterjang gelombang. Setiap pertanyaan yang tidak mampu kujawab
akan melahirkan pertanyaan lain yang terus membungakan
pertanyaan. Ah, untuk mencari jawaban itu terkadang aku harus
kembali ke belakang. Aku harus kembali ke masa yang dipenuhi
ketidakpastian yang menyakitkan. Dan aku paling benci untuk
melihat kembali ke belakang. Bertemu kembali dengan kesalahan-
kesalahan yang tidak dapat diperbaiki. Dan jika aku menatap ke
belakang, itu berarti bahwa aku harus bertemu dengan kegelapan.
Tapi selalu ada sesuatu yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran
manusia. Pada kegelapan masa lampau, di tengah gelombang
masalah yang menggunung, pada saat kita merasa tidak mampu
untuk terus berjalan ke depan karena tidak memiliki setitik cahaya,
justru puncak gelombang memberikan sedikit sinar.
Yah, justru puncak gelombang memberikan sedikit sinar. Kalau
saja... Kalau saja aku dapat melihatnya... Karena gelombang hidup
itu solah-olah seperti mau berkata bahwa tidak semua masalah
akan menjadi ancaman. Di puncak kegelapan akan ada cahaya...
Ya, sekecil apapun cahaya, dia akan tampak lebih terang jika di
sekelilingmu adalah kegelapan!!!
Aku membutuhkan seseorang yang dapat kuajak berbagi.
Aku membutuhkan tepian yang dengannya barangkali aku dapat
membagikan perasaanku. Bukankah hidup ini sebenarnya tidak
terlalu sulit kalau kita tidak sendiri? Seseorang yang berada di
samping kita. Siapa pun dia asal dapat menjadi teman untuk berbagi,
sangat penting artinya.
Fathima Thalib mendekat ke arahku sambil membawakan
segelas teh panas.
”Ngelamun aja Dee?” sapa Fathima Thalib.

156 | Hot Chocolate Love


”Bukan Fath. Gue nggak lagi ngelamun. Gue lagi mikir...” jawabku
jujur.
”Bisa kubantu Dee?”
”Yah, aku memang butuh bantuanmu...”
Tanya dan jawab kemudian mengalir begitu saja antara aku dan
Fathima Thalib. Sesekali aku mengangguk dan mengakui kebenaran
yang dikatakannya. Dan waktu pun terus bergulir. Embun pagi
di pucuk rumputan meluruh, diterpa sinar matahari yang mulai
menghangat. Dingin tidak selamanya menusuk tulang. Ada kalanya,
dalam dingin manusia dapat menemukan satu kehangatan hanya
dari sehelai kain yang membelai kepalanya.
Ah, rasanya malas sekali melepas kain yang telah dililitkan
Fathima semalam. Karena selain untuk melindungi dari dingin,
ternyata aku juga memerlukannya untuk berlindung dari matahari
yang mulai menyengat. Lebih dari itu, pembicaraanku dengan
Fathima Thalib barusan telah menimbulkan kesadaran baru dalam
hatiku. Kesadaran yang selama ini tak tersentuh olehku. Padahal
cahaya itu begitu dekat denganku.
Dan nanti, ketika aku pulang, aku tidak akan ragu lagi untuk
melangkah.... Aduh, Fath... terimakasih untuk semua waktu dan
diskusi kita di puncak Rinjani... Memang, kadang-kadang kesadaran
juga datang ketika kita sedang jauh dari keramaian...

Hot Chocolate Love | 157


158 | Hot Chocolate Love
Pulang ...

Dengan berat hati, kutinggalkan pulau Lombok dan gunung


Rinjani. Empat hari adalah waktu yang sangat singkat untuk dapat
menjelajahi pulau tersebut. Aku berjanji, suatu saat nanti akan
kembali lagi berkunjung ke pulau itu.
Rasanya baru lima menit yang lalu pesawat lepas landas
dari bandara Selaparang ketika aku harus membuyarkan semua
kenangan selama empat hari itu di pulau Lombok. Transit sebentar
di Juanda. Lagi-lagi dalam perjalanan dari Surabaya ke Jakarta,
ingatanku tidak bisa lepas dari percakapanku dengan Fathima
Thalib di puncak gunung Rinjani.
Entah mengapa, keyakinan itu tiba-tiba mencengkeram hatiku
kuat-kuat. Dan ketika kesadaran itu tumbuh, tidak ada seorang pun
yang dapat menghalangiku untuk mewujudkannya.
Soekarno-Hatta tidak pernah sepi. Termasuk ketika Mama dan
Papa menjemputku sore itu. Kupeluk erat-erat tubuh Mama. Air
mata mengalir dari sudut mata. Melepas rindu. Ah, cengeng sekali
aku ini...
”Icha mana Pa?” tanyaku pada Papa.
”Ke Banjarmasin. Kamu lupa ya?” Papa berbalik tanya padaku.
Ah iya...!! Dia kan harus ikut MTQ di Banjarmasin.
”Di... Ma-ma sa-ma Papa pa-ca-yan ya?!” tanya Shifa dalam
perjalanan menuju rumah.

Hot Chocolate Love | 159


“Kata siapa Mama sama Papa pacaran? Siapa yang ngajarin
kamu Fa?” tanyaku heran.
”Ifa liat di ti-vi kok Di...” kata Shifa mencoba membela diri.
Walaupun masih berumur dua setengah tahun, tapi Shifa sudah
bisa membaca dan hafal surat Yassin. Yah, kuakui kalau Shifa itu
jauh lebih cerdas dari aku dan Icha. Aku dulu baru bisa membaca
waktu berumur empat tahun, sedangkan Icha bisa membaca waktu
berumur tiga setengah tahun.
“Emang di tivi ada Mama Papa?” aku bertanya pada Shifa.
“Bukan di-tu Di... Soalnya, Mama Papa itu suka sun-sun pipi itu
lho... Kaya’ paca-yan di tivi...” jelas Shifa dengan sok maha tahu.
Aku tidak bisa menahan tawa setelah mendengar penjelasannya.
“Hahahaha... Sok tau ah lo!!” kataku sambil memainkan rambut
Shifa yang ikal. Sebuah pukulan mendarat di atas hidungku. Shifa
marah. Tak lama kemudian, Mama sibuk mendiamkan tangisnya
sambil berulang kali memarahiku. Dan aku menikmati suasana
ini...

Setelah mandi dan shalat Isya’, aku tidak bisa lagi menahan
rasa kantuk. Aku tertidur sampai keesokan harinya. Aku terbangun
karena mendengar suara adzan Shubuh. Aneh, rasanya ada yang
kurang di pagi ini. Tapi apa ya? Aku segera mengambil air wudhu
dan menjalankan shalat Shubuh, berdzikir, dan mengaji sebentar.
Ah iya, aku ingat sekarang!!! Nggak ada lagi yang mengusik tidurku
di pagi hari. Nggak ada lagi yang maksa-maksa aku bangun pagi buat
shalat Shubuh. Nggak ada Icha yang selama ini nggak pernah capek
buat ngingetin ini dan itu. Ah, sedang apa anak itu di sana ya?
Hari ini hari Sabtu. Untung pagi ini aku denger suara adzan

160 | Hot Chocolate Love


Shubuh. Coba kalau enggak? Aku pasti udah ketinggalan shalat itu...
Aduh Cha... Cepetan pulang dooong... Aku kangen kamu nih... Ada
banyak hal yang pengen aku omongin. Tapi Icha baru berangkat dua
hari yang lalu. Mungkin hari Rabu dia baru bisa pulang.
Dan pagi ini aku mendapat sms dari Novi, anak basket.

”Dee, nti jam sepuluh ke gym. Latihan bwt tanding hari


senin. Kasih tau yg laen.”

Aneh... biasanya Rani yang selalu sms aku kalau ada latihan
begini??!!! Ah, pasti Rani masih marah sama aku... 
Aku belum bisa meninggalkan kebiasaan lama. Rasa kantuk lagi-
lagi menyergapku. Dan ketika aku bangun, jam berbentuk masjid di
meja belajarku sudah menunjukkan pukul 08.38 WSH. Ya ampun!!!
Aku harus latihan basket jam sepuluh!!!
”Ma, nggak bangunin aku ya?” tanyaku saat mau ke kamar mandi
pada Mama yang sedang mengajari Shifa membaca Iqra.
”Yeee... Sampai capek nih Mama teriak-teriak ngebangunin
kamu, bukannya bangun malah ngorok...” ujar Mama.
”Di ini!!! Ma-yah-ma-yaaah aja tiap pagi!!!” kata Shifa. Aku
mendekat padanya. Gemas. Kucium kedua pipinya dengan paksa
karena anak itu paling benci kalau dicium sama aku. Kasar,
katanya.
“Siapa yang marah neng??? Nggak boleh marah-marah sama
orang tua, dosa tau!” kataku sambil berjalan meninggalkannya.
Jam sembilan lewat lima puluh menit. Gymnasium masih sepi
ketika aku sampai di tempat itu. Hanya ada Novi dan empat orang
lainnya.
”Hai Nov..., Rani mana?” sapaku pada Novi, kapten unggulan
kedua setelah Rani.

Hot Chocolate Love | 161


Dia tidak menjawabku. Tapi sejurus kemudian, dia melemparkan
bola basket dengan cepat ke arahku. Aku masih sempat
menangkapnya walau gerakan Novi sangat cepat dan tiba-tiba.
Novi mendekat ke arahku. ”Elo tahu nggak? Rani lagi di rumah
sakit sekarang! Selama elo sama Memey pergi ke Rinjani, tiap hari
dari pagi sampai sore Rani latihan terus di gym...” katanya dingin.
Dzzzzt!!! Satu juta volt aliran listrik seperti hendak
menghanguskan jantungku! Kenapa Gendis nggak ngasih tau aku
sama Memey?
”Gue cuma mau nerusin pesen Rani buat elo. Kalau elo emang
sahabat dia, permainan elo harus bagus. Dia cuma mau maafin
elo kalau SMA Metro Alam bisa menang. Dan kalau elo bisa cetak
sepuluh poin buat Metro Alam...” sambung Novi.
Kemenangan Metro Alam? Sepuluh poin? Apa maksud ini
semua???
“Nov, Rani sekarang dimana?” tanyaku panik.
“Di rumah sakit Darmais...” jawab Novi pelan sambil
menundukkan kepalanya. Ah, siapa yang nggak sedih... Rani,
sahabatku, kapten tim basketku,... Kami semua merindukan kamu
Ran...
Aku segera berlari dari gymnasium. Kutinggalkan latihan yang
seharusnya kujalani pagi ini. Kutancapkan gas, dan Corolla hitamku
pun melesat menuju ke tempat dimana Rani berada...
***
”Rani..., Rani kenapa Ndis?” tanyaku pada Gendis begitu tiba di
depan ruang VIP tempat Rani dirawat.
”Sory, gue belum ngasih tahu elo Dee... Gue pikir, elo sama
Memey pasti capek baru pulang dari Rinjani. Barusan gue sms
Memey, mungkin sebentar lagi dia datang...” jawab Gendis dengan
muka sayu. Ah, pasti Gendis sudah berhari-hari menunggui Rani.

162 | Hot Chocolate Love


“Rani kenapa?” tanyaku lagi.
“Dia... dia kanker otak Dee...” jawab Gendis lirih. Sangat lirih...
Dzzzztt!!! Rani? Atlet kebangganku? Temanku yang selalu ceria?
Kanker otak? Oh, benar-benar tidak dapat kupercaya...!
“Tapi Ndis...”
“Dee... selama ini Rani terlalu pandai menyembunyikan hal itu
di depan kita... Kamu masih inget waktu kita berempat melarikan
diri di puncak menara Metro Alam waktu itu? Yah, malam setelah
itu, Rani diberitahu dokter kalau dia punya kelainan di otaknya...”
jelas Gendis padaku.
“Kamu tahu dari siapa?” tanyaku lagi.
”Tante Siska...”
”Dan sekarang?”
”Kelainan itu ternyata kanker Dee... Bahkan sampai sekarang,
Rani nggak tahu kalau dia kena kanker! Selama ini, Rani cuma tahu
kalau dia punya kelainan di otak. Dia nggak pernah tahu kalau dia
mengidap kanker otak...” kata Gendis sambil menahan air mata.
Aku bergegas menuju ke kamarnya. Kulihat tubuhnya begitu
lemah. Sebuah mesin pemantau denyut jantung terpasang tidak jauh
dari tempat tidurnya. Oh, begitu parahnyakah? Rani, sahabatku...
Dan kemarahanmu waktu itu? Adakah maafmu yang tulus buatku
Ran...?
Rani menatapku. Dengan isyarat mata, dia seperti menyuruhku
untuk mendekat. Aku berjalan menuju ke arahnya. Kusentuh
tangannya perlahan.
”Ran, cepet sembuh ya Sayang?” kataku pelan.
Rani tidak menjawab ucapanku. Bagaimana bisa menjawab,
kalau mulut dan hidungnya tertutup oleh alat bantu pernapasan.
Tapi dari sorot matanya, aku menangkap isyarat bahwa dia tidak
lagi marah kepadaku.

Hot Chocolate Love | 163


”Nanti kalau kamu udah sembuh, kita kumpul-kumpul di
basecamp lagi ya?” bujukku.
Rani mengangguk lemah. Matanya bergerak-gerak ke kiri. Seperti
ingin menunjukkan sesuatu padaku. Ke kiri. Di sebelah kiri Rani ada
sebuah laci. Tanganku membuka laci itu. Kutemukan secarik kertas
yang terlipat rapi. Kutunjukkan kertas itu pada Rani.
”Ini Ran?” tanyaku.
Lagi-lagi Rani mengangguk lemah. Sorot matanya seperti
menyuruhku untuk membacanya.

”Dyera, sahabat manisku...


Gue udah maafin elo sejak gue terima surat dari elo. Gue nggak
sebodoh itu buat ngelepas sahabat gue, cuma gara-gara cowok.
Dee, gue ikhlas, apapun yang terjadi antara elo sama Fandy.
Firasat gue bilang, kalau gue punya takdir yang lain...
Gue belum tahu, firasat itu bener atau enggak. Tapi gue pikir,
nggak ada salahnya nulis surat buat elo...
Dee, gue minta sama elo, karena gue yakin elo nggak bakal
ngecewain gue... Gue minta, pertandingan final basket nanti,
kita jadi juara Dee... Kita harus juara!!! Dan gue minta, elo bawa
piala itu buat gue!!! Bikin gue bangga Dee!!! Bertahun-tahun gue
hidup sama bola, dan sekarang gue mau lihat hasil jerih payah
gue ngelatih elo selama ini... Elo harus bisa!!! Dan cetak sepuluh
poin buat gue, itu sebagai tanda persahabatan kita kembali seperti
dulu,OK?
Kali ini, gue nggak mau denger kata ’kalah’ ya Dee...
Dyera, sahabatku yang lugu...
Saat ini, gue lagi duduk di teras rumah, di samping bunga
mawar yang pernah kita tanam berempat di halaman rumah
gue. Bunganya hampir layu, mungkin karena gue sering lupa

164 | Hot Chocolate Love


menyirami. Entah karena letaknya di sudut taman (yang bikin
luput dari perhatian) atau karena memang sudah saatnya bunga
itu untuk layu...
Gue dulu pernah takut untuk mati muda. Tapi sejak malam
kita kembali dari puncak menara Metro Alam, sepertinya gue jadi
selangkah lebih dekat sama yang namanya ’mati muda’ itu.
Elo pernah nanya, gue ini sakit apa...
Gue punya kelainan otak. Itu jawabannya. Dan itu jawaban
orang tua gue. Mereka menutupi sesuatu dari gue. Kenyataan
sebenernya, gue kena KANKER OTAK Dee...
Sedih? Pasti!!! Elo jangan tanya itu... Gue udah tahu itu sejak
awal. Malam, pulang dari puncak menara Metro Alam, gue nggak
sengaja denger pembicaraan orang tua gue di dalam kamar. Gue
syok Dee... Gue nggak pernah ngerasa sakit, dan tiba-tiba gue
divonis kanker otak !!!
Itu makanya, gue selalu maksa elo latihan basket. Gue selalu
keras dalam tim. Gue selalu nggak kenal kompromi dalam
latihan.
At least, gue udah maafin elo. Jaga Fandy baik-baik. Bawa
piala kemenangan itu buat gue, dan jangan pernah lupain gue.
Dyera, Gendis, Memey... See yaa. 

Yours

Maharani

Aku tak bisa membendung air mata. Kupalingkan wajahku,


menghindari tatapan Rani. Tapi tangan lemahnya berusaha
menggapaiku. Siapa yang tega melihatmu dalam keadaan seperti
ini Ran? Kamu bener-bener sok maha tahu! Nggak ada yang pergi!

Hot Chocolate Love | 165


kamu nggak akan pernah pergi! kamu bakalan sembuh. Semua akan
kembali seperti dulu Ran... Kamu terlalu membesar-besarkan hal
ini...
Rani menutup matanya. Sepertinya dia lelah. Ia ingin tidur
sejenak. Kubisikkan sebuah janji di telinganya, semoga ia bisa tidur
nyenyak setelah mendengarnya, ”Tunggu gue Ran. Piala itu akan
gue bawa buat elo! Gue janji!”
Setelahnya, Gendis memasangkan earphone di telinga Rani.
Murottal. Ayat-ayat suci Al-Qur’an terdengar mengalun merdu.
Rani tersenyum dalam tidurnya.

Senin, 17 Mei 2004. Suara sorak-sorai suporter Metro Alam


memenuhi gymnasium. SMA kami mendapat kehormatan untuk
menggelar pertandingan final di gymnasium. SMA Az-Zahra adalah
lawan kami kali ini. Berbeda jauh dengan pemain Metro Alam,
semua pemain dari SMA Az-Zahra berjilbab. Yeah, kamu pasti
masih inget sama SMP Az-Zahra tempat Icha sekolah kan? SMA
Az-Zahra ini masih satu yayasan sama SMP Az-Zahra. Jadi semua
peraturan yang ada di SMA itu sama persis dengan peraturan yang
ada di sekolah Icha.
Di tempat lain, Gendis dan Memey sedang menunggui Rani. Ah,
tidak ada kompromi untuk memenuhi permintaan sahabatku itu!
Kemenangan Metro Alam dan sepuluh poin!!! Tunggu Ran, aku
akan bawakan piala itu buatmu...
Peluit tanda pertandingan babak pertama dimulai. Sepuluh poin
untuk Metro Alam. Aku masih ingat permintaan Rani dua hari yang
lalu. Aku mengejar kemana pun bola berada. Dan entah kenapa, aku
selalu gagal mendapatkannya. Novi tidak memberiku kesempatan
untuk mendapatkan bola itu! Hey, Novi! Ada apa dengan anak itu?

166 | Hot Chocolate Love


Aku harus menghadapi dua pertandingan besar dalam waktu
bersamaan. Di satu sisi, aku bermain dalam tim untuk mempertahan­
kan gelar juara bertahan SMA Metro Alam. Di sisi lain, aku
harus bertanding melawan Novi yang entah kenapa tidak pernah
memberikan kesempatan padaku untuk mendapatkan bola. Dan ini
adalah pertandingan paling sulit yang pernah kualami...
Sampai babak pertama berakhir, aku masih belum bisa mencetak
poin untuk Metro Alam. Untuk sementara, Metro Alam memimpin
hasil pertandingan, 18-15. Novi memandangku dengan tatapan
meremehkan, membuat darahku mendidih dan hampir saja tidak
bisa menahan emosi. Yah, emosi memang mudah sekali naik dalam
keadaan seperti ini. Untunglah aku ingat obat mujarab yang diajarkan
Papa padaku saat hendak marah. Aku menarik napas panjang dan
ber-istighfar... Astaghfirullah... Ada apa dengan anak itu? Kenapa
dia malah menghalangiku untuk mencetak sepuluh poin? Apa dia
punya maksud tertentu? Ah, entahlah...
Babak kedua dimulai. SMA Az-Zahra mengubah gaya permainan
mereka. Dan kami sempat dibuat kewalahan pada menit-menit awal
pertandingan babak kedua dimulai. Az-Zahra berhasil menyamakan
perolehan angka pada tiga menit pertama. 21-21.
Kesempatan Metro Alam untuk melakukan serangan balik.
Maya memberi umpan pada Angel. Angel berhasil mengecoh lawan
di depannya, dibawanya bola itu masuk lebih dalam lagi. Angel
melempar bola pada Meta. Aku masuk ke daerah three poin. Dan
Meta melemparkannya padaku. Aku hampir saja menangkap bola itu
ketika sebuah tangan dengan cepat mematahkan harapanku. Novi
meraih bola itu dan memasukkan bola dengan begitu mudahnya
dalam waktu kurang dari tiga detik. Damn!!! Aku kehilangan
kesempatan lagi. Peluit ditiup wasit. Babak kedua berakhir dengan
Az-Zahra yang sementara ini memimpin perolehan angka. 30-24.

Hot Chocolate Love | 167


Novi menghampiriku. ”Kalau elo emang bener-bener sahabatnya
Rani, gue yakin... elo pasti bisa cetak sepuluh poin itu Dee...” Dan
belum sempat aku menjawabnya, Novi sudah pergi begitu saja
meninggalkanku. Aneh!!!
Babak ketiga dimulai. Aku tidak mau kehilangan kesempatan
lagi untuk mencetak poin. Novi membawa bola menuju ring lawan.
Sampai di tengah lapangan, Novi memberi umpan pada Meta.
Meta membawa bola menuju sayap kanan. Lawan di depan Meta
tampaknya agak sulit dilewati. Meta melempar kembali bola itu ke
arah Maya. Dan aku tidak mau tinggal diam. Bola itu melambung
terlalu tinggi ketika melewati kepalaku. Tapi aku tetap mencoba
melompat dan berharap agar tanganku bisa menangkap bola itu.
Dan... Yah!!! Aku mendapatkan bola itu! Aku tidak mungkin masuk
lagi ke daerah three second karena posisiku sangat tanggung.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk melakukan serangan dari
garis three point. Bismillah... Kulepaskan bola itu. Bola melambung,
mengenai bibir ring, dan... Yah!!! Aku berhasil mencetak tiga poin
untuk Metro Alam!!!
Selanjutnya, aku lebih semangat lagi mengejar bola. Babak
keempat adalah babak penentuan. Jarak perolehan nilai Metro Alam
dan Az-Zahra hanya berbeda tipis. Dan aku harus mengumpulkan dua
poin lagi untuk mencapai sepuluh poin seperti yang kujanjikan pada
Rani. Pertandingan babak ke empat sudah berjalan selama delapan
menit. Perolehan angka Metro Alam telah jauh meninggalkan Az-
Zahra. 47-40. Rasanya agak sulit mengumpulkan tujuh poin dalam
dua menit terakhir. Apalagi tim kami sengaja mengulur-ulur waktu,
sehingga kesempatan Az-Zahra untuk melakukan serangan balasan
semakin sempit.
Tapi dalam waktu dua menit ini, aku harus berhasil mencetak
dua poin untuk Metro Alam. Gerakan rebound Maya sangat bagus.

168 | Hot Chocolate Love


Dia berhasil mematahkan serangan Az-Zahra. Meta menerima
bola dari Maya, meneruskan bola itu ke tangan Angel. Dan Angel
mempercayakan pada Novi untuk melakukan serangan akhir. Yah,
empat puluh detik lagi pertandingan antara Metro Alam dan Az-
Zahra akan berakhir. Tapi tidak antara aku dan Novi. Bola dari
Meta mendarat dengan mulus di tangan Novi. Dengan satu gerakan
Novi melepaskan bola ke arah ring. Novi berada di daerah garis
three point, sedangkan aku berdiri di sayap kanan. Sangat mustahil
bagiku untuk merebut dari tangan Novi, karena itu terlalu jauh
buatku. Lagipula akan terlihat aneh jika sesama pemain dalam satu
tim saling memperebutkan bola.
Aku sudah putus asa. Bola telah dilemparkan ke arah ring, dan
aku tidak mungkin lagi melakukan serangan dalam waktu kurang
dari dua puluh detik ke depan. Aku teringat janjiku pada Rani...
Namun sesuatu yang tidak terduga terjadi pada detik-detik akhir.
Bola yang dilempar Novi itu hanya berhasil menyentuh ring, dan
segera memantul ke arah sayap kanan. Dan dalam sekejap mata,
bola itu kini sudah berada di tanganku. Sepuluh detik terakhir. Dan
aku mencoba menerobos pertahanan lawan. Aku berkelit dari sayap
kanan dan menuju daerah three second. Masuk tidaknya bola yang
kubawa ini ke dalam ring, memang tidak akan mempengaruhi hasil
akhir pertandingan yang sudah bisa dipastikan kemenangan Metro
Alam dari Az-Zahra. Tapi masuk tidaknya bola yang kubawa ini ke
dalam ring, adalah penentuan apakah aku bisa memenuhi permintaan
Rani atau tidak. Dan aku tidak ingin mengecewakannya...
Lima detik terakhir. Kudengar suporter Metro Alam mulai
menghitung mundur sisa waktu itu.
Lima... empat...
Kulepaskan bola ke arah ring, bola melambung, membentur
kotak segi empat.

Hot Chocolate Love | 169


Tiga... dua...
Dan... Yah!!!
Satuuuuu...
Masuk!!!
Horeee!!!!
Kudengar sorak sorai suporter membahana memenuhi
gymnasium. Keharuan menyeruak begitu saja di tengah para pemain
Metro Alam. Kami bersalaman dengan pemain Az-Zahra.
Di tengah air mata haru karena kemenangan yag kami raih, ada
satu keharuan yang hanya bisa dirasakan olehku. Aku menangis
sendirian. Aku teringat pada Rani yang sedang berjuang melawan
penyakitnya. Novi berjalan ke arahku. Aku menatapnya dengan
ragu.
”Selamat Dee... Elo emang bener-bener sahabat!!!” kata Novi
sambil mengulurkan kedua tangannya padaku. Kusambut uluran
tangannya.
”Sorry Dee, elo pasti heran, kenapa gue selalu berusaha matahin
serangan elo. Yah, karena itulah pesan Rani buat gue. Gue harus
menghalangi elo Dee. Dengan cara apapun. Rani pengen tahu,
seberapa jauh kemampuan elo Dee... Nggak ada maksud apa-apa,
kecuali supaya elo lebih menghargai hasil dari kerja keras Dee... Itu
kata Rani.” jelas Novi panjang lebar.
Air mataku lagi-lagi luruh... ”Makasih Nov.” cuma itu yang bisa
kukatakan. Rani masih berusaha memberiku pelajaran berharga
lewat tangan orang lain. Rani masih memikirkanku di saat dia
sedang berjuang melawan penyakitnya.
Kupeluk piala kemenangan itu erat-erat. Tidak lagi kubuang
waktuku untuk segera menuju rumah sakit Darmais. Sambil
membawa salam dari anak-anak basket buat Rani, aku melarikan
Corolla hitamku menuju tempat dimana Rani berada.

170 | Hot Chocolate Love


Hening... Suasana di kamar Rani begitu hening. Hanya ada
Memey dan Gendis di tempat itu. Tante Siska dan Om Surya sedang
menebus obat di apotek. Rani tertidur. Piala itu kuletakkan pada
meja di samping tempat tidurnya. Dan ketika aku hendak beranjak
menjauh dari pembaringannya, kulihat tangan Rani bergerak-
gerak.
Memey dan Gendis segera menghampiri Rani.
”Ran, gue bawa piala ini buat elo!” kataku sambil memindahkan
piala itu pada ranjang Rani. Tangan Rani meraih piala itu.
Dipeluknya erat-erat. Sebelah tangannya membelai piala itu dengan
penuh perasaan. Sorot matanya seolah berkata, ”Thanks Dee... Gue
bangga sama elo.”
Tangan Rani memegang tangan Gendis. Memey meletakkan
tangannya diantara kedua tangan Rani dan Gendis. Aku pun
merengkuh semua tangan itu. Rani tersenyum lewat matanya. Ayat-
ayat suci Al-Qur’an masih terus mengalun pada kedua telinga Rani.
Kami berempat berbicara lewat mata. Kehangatan terpancar
bersama kebersamaan yang hadir dalam sunyi. Dengan bahasa
mata, kami menceritakan apa yang tidak dapat dikatakan melalui
bahasa bibir. Cerita mengalir deras, diiringi air mata yang luruh.
Betapa indahnya persahabatan seperti ini...
Hampir lima belas menit berlalu tanpa kata. Hawa dingin
menyelinap, menjalar di antara tangan kami berempat. Lama-lama,
dingin itu semakin pekat...
Gendis dan Memey saling berpandangan. Kulihat mata Rani
tertutup. Di sudut bibirnya tersungging sebuah senyum. Suara alat
pemantau jantung tidak lagi berirama, yang terdengar hanya bunyi
panjang tanpa irama.
Tante Siska dan Om Surya baru tiba. Mereka berdiri mematung
di depan pintu demi mendengar alat pemantau jantung Rani yang

Hot Chocolate Love | 171


tidak lagi berirama. Tapi Rani memang harus pulang...
Rani harus pulang ke rumahnya yang baru. Rani mesti kembali.
Tidak bisa tidak. Begitu pun dengan aku, kamu, atau pun dengan
mereka... Dunia ini hanya sementara, sedang akhirat itu kekal
adanya...
”Innalillahi wa inna ilaihi raji’un...” ucap kami bertiga. Tangis
tak dapat kami bendung. Hati siapa takkan pedih ketika kehilangan
salah satu sahabat terbaiknya. Rani harus ‘kembali’, seperti burung-
burung yang terbang kembali ke sarangnya ketika hari telah senja.
Ia pergi mendahului kami. Meninggalkan sejuta kenangan yang
takkan pernah tergantikan.
Ah Rani, padahal baru kemarin kamu berikan surat ini buatku...

”Gue capai Dee... Hari semakin sore...


Kenapa burung-burung itu kembali pulang ke sarangnya? Apa
karena ’kembali’ itu adalah pasti?
Dyera, sahabatku yang manis...
Bagaimana puncak di gunung Rinjani? Indah-kah? Bagaimana
dengan ilalang di sana? Tumbuh suburkah? Atau malah mengering?
Halaman rumah sakit sore ini, rasanya beda dari hari-hari biasa...
Di sini, daun-daun banyak yang gugur...
Mungkin hampir usai masanya. Hampir usai. Mungkin senja
ini sudah dekat dengan saatnya bagiku untuk menggenapkan
tidur panjang. Semua orang akan mati bukan?
Nanti, sering-seringlah berkunjung ke rumah gue. Walau
mungkin gue sudah pindah di rumah yang jauh lebih kecil, tapi
gue bakal tetep rindu sama kalian. Jangan lupa sama gue ya...
Terakhir, sebelum gue bener-bener kalah sama penyakit ini,
gue cuma pengen bilang: gue bahagia pernah punya sahabat
seperti kalian bertiga...

172 | Hot Chocolate Love


Satu hal yang perlu dicatet, gue boleh kalah, tapi gue nggak
akan nyerah sama penyakit ini. Gue nggak mau mati sebagai
pecundang. Mati??? Ah, ada-ada aja... Gue nggak akan pernah
mati kan Dee? Gue selalu hidup dalam hati kalian bertiga bukan?
Seandainya besok gue harus pergi, nanti malam gue akan
coba menghemat nafas ini sampai besok pagi, saat elo membawa
kemenangan itu buat gue...”

Hot Chocolate Love | 173


174 | Hot Chocolate Love
Hot Chocolate Love :
Sebuah Kehangatan Cinta dalam Secangkir Cokelat

”Cerita sebenarnya tidak pernah akan berakhir. Sama


seperti kehidupan itu sendiri. Karena kehidupan adalah
sebuah kitab penuh cerita. Setelah manusia mati pun,
cerita akan tetap ada. Karena aku, kamu, atau pun dia
hanyalah salah satu pemain dalam cerita itu... Maka
ketika telah tiba saatnya bagi kita untuk mengakhiri
kehidupan, akan tersibak kembali layar yang sempat
tertutup. Dan pemain-pemain baru pun bermunculan
dengan cerita yang mereka bawakan masing-masing...”

Jakarta, April 2009


Tanah merah, prasasti hitam. Rumput hijau tumbuh rapi di
sekitarnya. Nama Maharani masih jelas terbaca walau hampir lima
tahun berlalu sejak peristiwa itu. Aku dan seorang lelaki bersimpuh
di depan gundukan tanah itu. Mengirimkan doa untuk Rani.
Memohonkan ampun pada Allah atas segala kesalahan yang pernah
diperbuatnya.
Aku dan lelaki itu masih setia mengunjungi rumah Rani. Rumah
terakhirnya setelah persinggahan yang melelahkan di dunia yang
fana ini. Langit senja membawa mendung. Kami meninggalkan
rumah Rani. Gerimis runtuh dari atap langit. Dari kaca mobil,

Hot Chocolate Love | 175


masih sempat kulihat rumah Rani basah oleh siraman air hujan. Ah,
betapa manusia itu lemah dan tidak berdaya...

Villa Eldorado, Puncak, 13 April 2009


Sebuah rumah sederhana berlantai dua seluas lima ratus meter
persegi. Aku berdiri seorang diri di atas teras yang sengaja dibangun
di lantai dua. Pemandangan terlihat lebih indah dari tempat yang
tinggi. Karena dari tempat yang lebih tinggi, aku dapat melihat
sesuatu yang sebelumnya tidak kuketahui. Keperbaiki letak jilbabku.
Aku sekarang bekerja sebagai public relation sebuah stasiun televisi
setelah beberapa bulan silam lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia.
Ingatanku kembali pada lima tahun sebelum saat ini. Aku dan
pembicaraan yang membekas begitu dalam dengan Fathima Thalib
di puncak Rinjani. Ah, bagaimana mungkin aku bisa melupakan
pembicaraan itu? Pembicaraan yang menumbuhkan suatu
kesadaran bagiku. Pembicaraan yang membuka tirai hidayah dalam
hatiku. Pembicaraan yang mengubah kegelapan menjadi terang
yang benderang.
”Kenapa kamu pakai jilbab Fath?” tanyaku pada Fathima saat
kami berada di puncak Gunung Rinjani, lima tahun yang lalu.
”Untuk menjaga kehormatanku Dee...” jawab Fathima singkat.
”Tapi kan gerah Fath... Panas!” sanggahku.
”Tapi pasti lebih panas api neraka. Ya kan Dee?” ujar Fath dengan
senyumnya yang manis.
”Jilbab ini melindungi kepalamu dari panas matahari saat di
dunia, dan akan melindungimu dari panas api neraka saat di akhirat.
Jilbab ini menghangatkanmu di saat kedinginan di dunia, dan akan

176 | Hot Chocolate Love


menghangatkan jiwamu saat dibangkitkan dari kubur di akhirat.
Jilbab ini menutup auratmu saat di dunia, dan akan menutup aibmu
saat di akhirat. Jilbab ini membedakanmu dengan wanita kafir saat
di dunia, dan akan menunjukkan jalanmu menuju kumpulan umat
Nabi Muhammad saat di akhirat. Jilbab ini menjaga kehormatanmu
sebagai wanita saat di dunia, dan akan menjunjung kehormatanmu
sebagai wanita penghuni surga dari kaum Muhammad...” jelas Fath
panjang lebar.
Setelah pembicaraan itu, masih lima tahun yang lalu, aku
tertegun dan tidak sanggup berkata apapun juga. Kurasa, tidak ada
yang salah dengan penjelasan Fathima Thalib.
Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih pada
Fathima Thalib. Aku juga tidak tahu bagaimana harus membalas
seluruh budi baiknya. Sejak kepulanganku dari Rinjani, sebuah
tekad telah membulat dalam jiwaku. Yah, aku menutup seluruh
auratku. Dan ini tidak bisa tidak. Bahkan ketika salah satu agency
model meminangku untuk menjadi salah satu modelnya, aku
menolak mentah-mentah tawaran itu. Dan karenanya, aku semakin
memperdalam agamaku. Banyak bertanya pada Mama dan Papa.
Dan betapa keras tangisku ketika mengetahui bahwa selama ini aku
hidup diantara orang-orang yang begitu peduli padaku. Ah, betapa
aku merasa bodoh ketika mengetahui bahwa aku cukup terlambat
ketika menyadari hal itu.
Mama dan Papa tidak pernah memaksaku untuk mengikuti
mereka. Mama dan Papa membiarkan aku menemukan kebenaran
itu dengan sendirinya. Dan ketika kebenaran itu telah kudapat, aku
sungguh berjanji tidak akan melepaskannya kembali.
Secangkir cokelat panas menebarkan aroma penuh kenikmatan.
Uap mengepul dari dalam cangkir, menandakan bahwa cokelat
itu baru dibuat dan masih panas. Kurapatkan sweater biru muda

Hot Chocolate Love | 177


kesayanganku. Seorang lelaki merengkuh pundakku dari belakang.
Membenamkan kepalaku di dadanya yang bidang. Tubuhku
merapat ke tubuhnya. Di teras villa pertama yang kami beli dari
hasil jerih payah selama ini, kami menikmati pemandangan Bogor
yang eksotik.
Puncak masih sama seperti dulu. Dingin. Berkabut. Romantis.
Bukit-bukit kecil masih tetap hijau. Masjid At-Ta’awun masih
kokoh berdiri, seperti batu candi yang tidak lekang dimakan
zaman. Pangkalan terjun payung yang tak jauh dari masjid itu,
bisa dipastikan tidak pernah sepi pengunjung. Aroma jagung bakar
sesekali menggelitik hidung. Sejuknya air memerahkan kulit,
seolah hendak menembuskan dinginnya hingga ke sumsum tulang.
Matahari mengintip malu dari balik selimut awan yang tebal.
Drrrt...drrrt... Ada sms. Dari Memey.

”Aduw fren... sorry dory tuty fruty... gw ga bs nemenin elo ke
Puncak! Takut ganggu!! Nti aja klw honey moon di Lombok, gw
ikut yah! Cepetan punya momongan ya, kpn nyusul gw nih?”

Yeah, Memey memang sudah momongan. Diantara kami berempat,
memang dia yang paling duluan menikah. Dan kamu tahu siapa
suaminya?? Bukan... bukan Widi. Tapi Kak Didi. Kamu masih inget kan
sama alumni yang namanya Kak Didi, yang waktu itu satu kelompok
denganku saat pendakian gunung Rinjani? Yups! Benar! Kamu nggak
salah... Kak Didi itulah yang kini menjadi suami Memey.
Masih ingat sama Gendis? Yeah, jago karate yang rambutnya
gondrong itu sekarang sudah pindah ke Kairo, meneruskan
kuliahnya di Al-Azhar University. Manusia memang tidak akan
pernah tau apa yang terjadi esok hari. Pun ketika akhirnya Gendis
memilih untuk merantau ke negeri Cleopatra itu. Ah, entah kenapa

178 | Hot Chocolate Love


aku jadi begitu rindu pada Gendis. Kubuka lagi sms yang kemarin
dikirimnya buatku.

”Assalamu’alaikum ukhti
Kaifa haaluq? Afwan ya, ane gak bisa datang ke pernikahan
kalian. Ane doain aja, semoga jd klwrga sakinah, mawaddah,
warrahmah. Amiiin... Miz u fren!!!”

Gendis dan Gandhi... Itu adalah cerita lama. Gendis sekarang
jauh berbeda dengan Gendis yang dulu. Sejak lulus SMA, dia mulai
berjilbab. Entah kesadaran dari mana, tapi dia memang sungguh-
sungguh dalam hal ini. Gandhi adalah bagian dari kisah Gendis
di masa lampau. Sekarang, akhwat yang bernama Gendis itu
akan menyusulku. Alhamdulillah, seorang lelaki Mesir bernama
Abdurrahman El-Azhary telah melamarnya. Tiga minggu lagi,
Gendis kembali ke Indonesia untuk melangsungkan pernikahan
mereka di tanah air.
”Sayang, lagi baca SMS siapa sih?” tanya lelaki di sampingku
itu. Pertanyaan yang sesungguhnya tidak memerlukan jawaban
karena kami membacanya bersama-sama. Mata Fandy yang bening
itu mengisyaratkan sesuatu dimana hanya kami berdua yang tahu
artinya. Ingatanku kembali pada empat puluh delapan jam yang
lalu. Di sebuah masjid sederhana di bilangan Cempaka Putih.
”Saya terima nikahnya, Dyera Alamanda binti Ahmad Fauzi
dengan mas kawin seperangkat alat shalat. Tunai.” kata Fandy
dengan lancar.
Fandy membelai kepalaku. ”Sayang, kenapa sih kamu dulu kasar
banget sama aku...?” tanyaku pada Fandy.
”Aduh Dee... maafin aku ya Sayang. Aku bersikap seperti itu
karena aku takut terbawa suasana. Aku nggak mau bersikap lembut

Hot Chocolate Love | 179


sama kamu bukan karena aku nggak sayang sama kamu, tapi karena
aku berusaha menjaga diri Dee...” jawab Fandy.
Yah, kecantikan seorang wanita memang tidak diciptakan
untuk dikagumi oleh banyak lelaki, melainkan diciptakan untuk
menyenangkan hati suaminya.
Lagi-lagi aroma cokelat panas menggelitik hidung. Ah tidak,
cokelat itu tidak lagi panas. Hangat. Yah, cokelat hangat. Cokelat
hangat yang menemaniku kembali pada satu ingatan lagi. Pada lima
tahun silam, yang semakin membuatku enggan untuk beranjak dari
pelukan Fandy.

Kenangan tentang Fandy selalu dapat kumulai dari mana


saja, tanpa mudah bagiku untuk menghentikannya. Seperti suatu
kenangan yang kumulai dari sini:
Langit sore di Jakarta berwarna kemerahan. Senja meng­
gantungkan setitik harapan di hati Fandy sore itu. Dan inilah hari
yang ditunggu-tunggu olehnya. Hari dimana aku berjanji untuk
menjawab pertanyaannya di Wajan Bekas waktu itu, ”Aku tunggu
jawaban kamu Dee, kamu bersedia nggak jadi istriku?”
Dan malam ketika keluargaku berkumpul dengan keluarganya,
dengan keyakinan yang bulat dan keberanian yang entah datang
dari mana, aku menjawab pertanyaan Fandy....
”Perjalanan kita masih panjang Fan... Aku bukan tidak bersedia
menjadi istrimu. Bukan berarti pula aku meragukan semua usaha dan
kesungguhanmu... Allah Maha membolak-balikkan hati manusia.
Jadi... biarkan saja semua berjalan sesuai dengan fitrahnya. Kalau
memang kita berjodoh Fan, suatu saat nanti kita pasti bertemu
kembali. Dengan perasaan yang sama utuhnya seperti perasaan yang
sama-sama kita alami saat ini...” Dan kulihat Fandy begitu terpukul

180 | Hot Chocolate Love


saat itu. Namun kedua orang tua kami tidak mau ikut campur dalam
masalah yang terjadi diantara anak-anak mereka.
Dan malam itu, ketika Fandy mengantarku pulang ke
rumah bersama Icha dan Shifa, aku memberanikan diri untuk
mengungkapkan perasaan hatiku padanya.
”Fan, bohong kalau gue bilang nggak sayang sama elo. Bohong
kalau gue nggak ada perasaan sama elo. Gue berharap, nanti kalau
suatu saat kita ketemu lagi, perasaan kita masih sama-sama seperti
ini ya Fan?! Gue nunggu elo Fan. Sampai nanti saat yang tepat itu
datang, kita bersama-sama bikin sejarah baru dalam lembaran
itu...”
Fandy menatap mataku dengan tajam. Seolah ingin mencari
kebenaran dalam kata-kataku barusan. Tidak lama, hanya beberapa
detik. Dan ketika dia telah menemukan sebuah janji diantara air
mataku yang hampir luruh, dia segera memalingkan wajahnya.
Pandangan matanya yang tajam seperti menyihirku menjadi batu.
Tahukah Fandy, kalau seonggok batu itu kini sedang menangis? Yah,
Fandy tahu. Tapi dia tidak mendiamkanku, karena dia sendiripun
tidak mampu mendiamkan hatinya yang sedang gaduh.
Aku masih ingat, betapa aku menangis sejadi-jadinya malam itu
setelah kepulangan Fandy. Seketika, aku teringat pada kisah Laila
Majnun dari jazirah Arab yang terkenal itu. Tapi aku bukan Laila
yang kemudian mati perlahan karena memikirkan cintanya, dan
Fandy bukanlah Qais yang kemudian menjadi gila karena cintanya.
Aku dan Fandy tidaklah seperti Laila dan Qais yang Majnun, karena
gerimis air mata itu malah menyalakan kobaran api semangat
dalam hidupku, melahirkan benteng tangguh yang tak terobohkan
oleh badai. Oleh perpisahan itu, jiwa kami jadi membaja... Kokoh...
seperti prasasti purba yang menuliskan sejarah cinta yang tak lekang
oleh masa.

Hot Chocolate Love | 181


Setelah itu, Fandy melanjutkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran
Harvard University, sedangkan Irvan lolos seleksi sebagai mahasiswa
Fakultas Teknik Oxford University. Aku sendiri sibuk dengan
kuliahku di Fakultas Komunikasi Universitas Indonesia. Lebih dari
lima tahun aku tak pernah bertemu dengan Fandy. Satu-satunya
yang menjadi pengobat rindu adalah suratnya yang selalu datang
tiga minggu sekali.
Aku sering juga chatting atau kadang kirim email buat Fandy.
Dari situ aku tahu, kalau Fandy masih menyimpan rasa sayangnya
buatku dan menutup hatinya untuk gadis lain. Ah, inikah yang
dinamakan rindu itu?
Aku baru merasakan kesyahduan rindu ketika aku bertemu
dengan Fandy setelah lebih dari lima tahun tidak bertemu. Fandy
memang sudah berjanji untuk tidak pulang ke rumah tanpa
membawa gelar sarjananya. Dan aku tahu bahwa saat pertemuan
kami sudah dekat ketika menerima sebuah email yang dia kirim
tepat satu minggu sebelum kepulangannya.

”Assalamu’alaikum ukhti...
Ini adalah email terakhir yang aku kirim buatmu. Aku tidak
akan menghubungimu kembali sampai aku pulang ke Indonesia.
Wisuda hari ini sangat mengharukan buatku. Tidak ada Umi,
tidak pula dengan Abi. Tidak ada seorangpun yang mendampingi
Affandy Hassan ketika ia dinobatkan sebagai mahasiswa pertama
dari Indonesia yang lulus dari Fakultas Kedokteran Harvard
University dengan nilai tertinggi. Nilaiku tertinggi Dee...! Bahkan
Robert, mahasiswa dari Perancis yang sekamar denganku, yang
selama lima tahun ini menganggapku sebagai saingannya, harus
mengakui keunggulanku dalam hal ini.

182 | Hot Chocolate Love


Ah, sudahlah Dee. Bukan itu yang ingin kukatakan kepadamu.
Aku akan pulang ke Indonesia. Tidakkah kamu senang men­
dengarnya?
Aku ingin segera menyeberangi lautan dan melompati
gumpalan awan, menembus batas antara jarak dan rindu untuk
segera bertemu denganmu.
Wassalam...”

Kamu tahu? Sekedar meloncat dari kursi kemudian berteriak


kegirangan tidaklah cukup untuk menggambarkan kebahagiaanku
saat itu. Melewati waktu satu minggu serasa lebih lama dari lima
tahun. Aku tidak sabar untuk segera bertemu dengan Fandy, lelaki
yang berani memintaku menjadi istrinya ketika aku masih duduk
di bangku kelas dua SMA. Hingga tibalah hari ke tujuh sejak aku
menerima email Fandy waktu itu...
Aku masih setia dengan Corolla hitamku saat aku mengajak
Icha menuju bandara Soekarno-Hatta. Terminal kedatangan begitu
ramai hari itu. Ditengah keramaian dan pelukan hangat orang-orang
yang melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu dengan orang
yang dikasihinya, aku masih mencari-cari sosok Fandy. Berkali-kali
Icha mengingatkanku agar lebih tenang. Tapi, bagaimana mungkin
aku bisa tenang, setelah lebih dari lima tahun berlalu dan saat-saat
yang sudah lama kutunggu itu kini berada di depan mata?
Seraut wajah bening melemparkan senyum padaku. Dia sangat
berbeda dengan lima tahun yang lalu. Aku tak menyangka akan
bertemu dengannya dalam keadaan seperti ini. Seraut wajah bening
itu, kini berdiri di hadapanku. Dia memelukku erat sekali. Mencium
kedua pipiku berkali-kali sambil terus menerus mengungkapkan
kerinduannya.

Hot Chocolate Love | 183


”Ya ampun Dee... Jangan bengong gitu dong ngeliat aku...!”,
katanya sambil menepuk pipiku pelan. Dia tidak kasar lagi seperti
dulu, bahkan kini menjadi jauh lebih lembut.
Aku yang beberapa detik lalu hanya terdiam dan tidak bisa
berkata sepatah katapun, kini seperti terbangun dari mimpi.
Kupegang kedua pipi milik wajah bening itu.
”Gendiiiss!! Kok kamu ada di sini sih? Kamu pakai jilbab juga?
Kamu jahat! Kamu udah ngilang sejak perpisahan waktu SMA,
nggak pernah kasih kabar padahal udah aku hubungin berkali-kali.
Jahat!”, kataku pada akhirnya. Yah, aku malah bertemu dengan
Gendis saat aku menunggu kedatangan Fandy. Sungguh sebuah
kebetulan yang tidak disangka-sangka sebelumnya! Kami mencari
tempat duduk, bercerita panjang lebar dan bahkan aku hampir lupa
pada tujuan awalku.
Aku senang sekali bertemu sahabat lamaku yang sudah
menghilang lebih dari empat tahun. Aku sedang tertawa lebar
ketika aku menyadari ada seseorang yang sepertinya sedang
memperhatikanku dari kejauhan. Kukedipkan mataku berulang-
ulang untuk meyakinkan penglihatanku. Aku berharap agar aku
tidak salah lihat kali ini. Seorang laki-laki. Dia berdiri sekitar
tujuh meter, berseberangan dengan tempat dudukku. Lelaki itu
mengedipkan sebelah matanya padaku, tersenyum, kemudian
melambaikan sebelah tangannya padaku.
Yah... Tidak salah lagi! Itu Fandy! Fandy...
Tidak banyak yang berubah darinya. Dia masih setampan dulu,
karena jika dia sedikit saja lebih tampan dari waktu SMA, tentu
akan ada lebih banyak gadis yang patah hati karenanya. Dia lebih
tinggi beberapa sentimeter dari lima tahun yang lalu. Dan tentu
saja kelihatan lebih dewasa. Tubuhnya lebih berisi dan sangat cocok

184 | Hot Chocolate Love


dengan jaket hitam yang dikenakannya saat itu. Dan dia benar-benar
keren! Wajahnya lebih bersih dari lima tahun yang lalu, ditambah
dengan bulu-bulu halus yang tumbuh di dagunya. Macho!!
Aku juga perempuan biasa. Yang walaupun sudah mengenakan
jilbab, tapi masih saja menilai Fandy dari segi fisiknya. Tapi apa aku
salah kalau aku mengagumi lelaki yang sebentar lagi akan menjadi
suamiku itu? Eehhmm...
Fandy berjalan ke arahku. Dan ketika dia telah berdiri satu
meter di depanku, aku belum juga berdiri. Aku masih saja duduk di
tempatku. Sampai Fandy akhirnya berbicara padaku.
”Hai, bisa berdiri sebentar nggak?” kata Fandy setelah sampai
di depan tempat dudukku. Ah, kata-kata Fandy barusan.... aku jadi
ingat waktu pertama kali bertemu Fandy di depan kelas. Uhm, tapi
Fandy nggak galak seperti dulu. Bahkan senyumnya yang jenaka
segera mengembang dari sudut bibirnya. Yups, aku tahu maksudnya.
Dia pasti juga sedang mengingat saat itu. Saat kami pertama kali
bertatap muka.
”Saya...??” jawabku dengan pura-pura takut. Yah, aku sedang
mengulang kata-kataku saat pertama kali bertemu dengannya
dulu.
”Iya!” balas fandy, pura-pura galak.
Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku pura-pura tidak berani
menatap wajah cowok yang tingginya kini sudah lebih dari lima
belas centimeter dariku. Lebih dari 183 cm, mungkin sekitar 186 cm.
Sekarang aku berdiri satu meter di depannya. Dan bau parfumnya
yang mahal (bau parfum yang benar-benar sama seperti lebih dari
lima tahun lalu) mulai menjamah hidungku.
”Jangan nunduk. Liat gue...” kata Fandy lagi, masih pura-pura
galak. Uhm, kok dia masih ingat yah?

Hot Chocolate Love | 185


Bismillah... kuangkat kepalaku perlahan-lahan sampai mataku
beradu pandang dengan matanya. Huh, mata yang dingin...
”Nah, gitu dong... kenalin, nama gue Fandy” kata Fandy sambil
mengulurkan tangan kanannya padaku. Iiih, ini kan jadi sama
seperti waktu aku pertama kali kenal sama dia dulu? Okey, kulayani
sandiwaramu!
Kusambut uluran tangannya dengan (pura-pura) ragu. Dan
aku pura-pura menunduk lagi. Kalau dulu, aku tidak tahu harus
memperkenalkan diri sebagai Intan atau sebagai Dyera. Ehm, tapi
sekarang, aku tidak tahu harus memperkenalkan diri sebagai Dyera
atau sebagai calon istrinya... 
”Gue bilang jangan nunduk non... entar cantiknya nggak
keliatan...”, kata Fandy. Tapi nada suaranya tidak galak seperti dulu
lagi, bahkan dia kini mengatakannya sambil menahan senyum.
Aku melirik ke arah Gendis. ”Ndis, nggak mau nonjok dia lagi?”
tanyaku pada Gendis, karena jika hal ini terjadi lima tahun yang
lalu, pasti Gendis udah siap-siap bertarung dengan Fandy. Gendis
menjawabnya dengan tawa kecil.
Aku tidak bisa melanjutkan sandiwara ini lagi. Akupun ikut
tertawa. Aku bahagia sekali hari ini. Aku bertemu dengan sahabatku
yang sekian lama menghilang. Dan aku bertemu kembali dengan
Fandy, dengan perasaan yang masih sama utuhnya seperti ketika
dia meninggalkanku waktu itu...
Aku dan Fandy tidak berniat mengulur waktu lagi hanya untuk
sekedar berbagi. Kami harus segera menebus waktu yang sempat
terbuang oleh perpisahan selama lebih dari lima tahun ini. Fandy
tidak membuang waktu untuk segera melamarku, dan akupun tidak
berniat untuk memperpanjang pedih yang sekian lama tersimpan
bersama kerinduan padanya.

186 | Hot Chocolate Love


Yah... benar... Dengan jarak seseorang dapat menimbang dan
menakar. Dengan jarak, seseorang dapat saling merindu...
Jarak diantara aku dan Fandy adalah bentangan kerinduan tempat
kami membangun jembatan hati menuju pertemuan setelah lebih
dari lima puluh purnama tidak bersua. Perbedaan diantara aku dan
Fandy adalah warna pelangi yang indah yang menandakan bahwa
aku dan dia adalah satu.

”Sayang, masih inget nggak, waktu pertama kali kamu pakai


jilbab?” tanya Fandy membuyarkan lamunanku.
”Kenapa? Aku cantik yah?”
”Iya... Sampai-sampai aku nggak tahu harus ngomong apa...”
kata Fandy sambil menyeruput cokelat hangatnya. Nikmat...
Kusodorkan sebuah diary berwarna cokelat padanya. ”Sayang,
dibaca dong...” kataku padanya. Dan pagi yang dingin menjadi
hangat karena kami membaca diary itu bersama-sama. Membuka
luka yang dulu terasa pedih, namun begitu indah untuk dikenang
kembali.

”Aku membutuhkan kata untuk kurangkai agar dia tahu


segala isi hatiku. Aku membutuhkan aroma wewangian untuk
kukirim lewat angin, agar dia dapat membaui aroma cintaku. Aku
mendambakan sebuah gelombang yang dahsyat, agar aku dapat
segera terdampar di pulaunya. Aku juga membutuhkan tanah untuk
menanam benih cinta yang sempat ia titipkan padaku sebelum ia
pergi. Dan aku harus merasakan kepedihan yang teramat sangat,
karena aku membutuhkan tetes-tetes embun penderitaan untuk
mengobati dahaga rindunya.”

Hot Chocolate Love | 187


Fandy menatapku lekat-lekat. Dia tidak lagi membaca tulisanku,
bahkan diary itu diletakkannya di atas meja. Dipeluknya tubuhku
erat-erat. Aku menikmati kehangatan dalam dadanya yang bidang
itu. Kurasakan kecupannya yang hangat di keningku. Ketika cinta
tidak harus saling memiliki adalah suatu pilihan pahit, sedangkan
kamu tetap menjaga perjanjian yang suci, maka percayalah, akan
datang suatu waktu dimana cinta itu akan kembali kepadamu...
Kami memasuki rumah. Fandy menuntunku ke pancuran di
samping kamar mandi yang digunakan khusus untuk wudhu. Waktu
Dhuha telah tiba. Kami menunaikan shalat sunah dua rakaat. Setelah
berdzikir beberapa lama, dia membalikkan badannya, mengulurkan
tangan kanannya padaku. Kucium dengan takzim tangan kanan
suamiku itu. Kulipat mukena yang baru saja kugunakan.
Fandy tersenyum penuh arti padaku. Dan aku mengerti
maksudnya. Kututup pintu dan jendela rapat-rapat, meyakinkan
kalau kamu tidak sedang mengintip kamar kami berdua. Sebelum
cerita ini harus diakhiri oleh Badan Sensor Teenlit, kukatakan sekali
lagi padamu :
Ketika cinta tidak harus saling memiliki adalah suatu pilihan
pahit, sedangkan kamu tetap menjaga perjanjian yang suci, maka
percayalah, akan datang suatu waktu dimana cinta itu akan kembali
kepadamu...
See you... 
.

188 | Hot Chocolate Love


Encyclopedia of Choco-Latte

Afwan : Maaf
Akhwat : Wanita/saudara wanita
Basecamp : Markas, tempat berkumpul
Geuleuh : Enggak banget
Hijab : Kain pembatas yang membatasi antara
tempat untuk laki-laki dan perempuan
Jungle survival : Cara bertahan hidup di dalam hutan
Kaifa haaluq : Apa kabar?
Mene Ketehe : Mana kutahu
Narsis : Membanggakan diri sendiri
Rebound : Mengambil bola dari ring
Senyum kambing : Senyum yang hanya memperlihatkan
deretan enam gigi di bagian atas saja
Senyum kuda : Senyum yang memperlihatkan delapan
gigi di depan, empat gigi atas dan empat
gigi bawah
Sotoy : Sok tahu
Stelan baju lapang : Baju dan celana yang banyak kantong
di samping kiri kanannya, biasanya
digunakan untuk turun ke lapangan
Ukhti : Panggilan untuk perempuan muslim,
seperti ’Mbak’
Welcome to the jungle : ‘Selamat datang di rimba’, nama acara
ospek di SMA Metro Alam

Hot Chocolate Love | 189


Isi Waktu Luangmudengan
membaca novel-novel remaja
terbitan puspa swara

190 | Hot Chocolate Love

Anda mungkin juga menyukai