Anda di halaman 1dari 4

PEMBERONTAKAN ORANG MAKASSAR DI PENGASINGAN

Daeng Mangalle, seorang pangeran Makassar rupanya terlibat dalam konspirasi Melayu,
Campa, Makassar dan orang-orang Islam lain di Ayuthia, yang berencana menyerang dan
menjarah istana kerajaan, lalu membunuh raja saat kembali dari perjalananya ke kota
Lopburi, dan mengubah agama saudara tiri Phra Narai sebelum memproklamirkanya
sebagai Raja Siam. Namun, raja telah mengetahui konspirasi tersebut dan segera
memperkuat pertahanan istananya dengan mendesak dukungan pasukan Prancis yang
berpusat di Bangkok, dan orang asing lain yang berdiam di kerajaannya. Orang Melayu
dan Campa dengan segera memohon pengampunan dari kerajaan dan sebagian besar
mendapatkannya dengan beberapa perkecualian. Ternyata masih perlu untuk memotong
kepala beberapa orang dan memamerkannya di atas tongkat untuk menjadi contoh bagi
penduduk. Hanya Daeng Mangalle yang menolak memohon pengampunan dari raja dengan
menyangkal bahwa dia yang memulai komplotan dan tidak ikut serta di dalamnya. la
juga menambahkan bahwa dengan gelarnya sebagai Pangeran Makassar, ia tidak mungkin
bertindak sebagai pengadu tapi lebih suka bertempur dengan teman-teman setanah
airnya, terbunuh secara terhormat dan membawa mati rahasia yang boleh jadi dia tahu
mengenai komplotan itu. Daeng Mangalle berujar pada raja: "Mengenai orang yang
telah menghadap Paduka, saya harus katakan bahwa saya tidak memercayainya sedikit
pun, karena sekarang ini Perdana Menteri ialah orang Prancis dan antara saya dan
dia ada saling benci dengan alasan perbedaan agama."

Akibatnya, selama satu bulan wilayah kampung Makassar dikepung oleh pasukan Siam,
tapi raja mulai kehilangan kesabaran dan akhirnya memutuskan menggunakan kekuatan
militer untuk memerangi masyarakat Makassar yang kepala batu itu.

Forbin yang memimpin garnisun Prancis di benteng Bangkok menerima perintah raja
untuk memblokir dua tempat keberangkatan perahu Makassar yang berniat meninggalkan
kerajaan Siam dan mengumpulkan kembali awak kapalnya. Muslihat yang disodorkan pada
Forbin adalah "Berpura-pura menggeledah kapal dengan alasan keadaan darurat yang
melanda negara, dan dengan dalih mencari orang yang dianggap buronan Siam, melucuti
dan menghentikan semua awak kapal, menurunkan mereka ke darat, membawa ke benteng,
dan memenjarakan mereka di sana." Seuntai rantai yang direntangkan melintasi sungai
mengharuskan satu delegasi yang terdiri dari enam orang Makassar datang
bermusyawarah dengan prajurit Prancis tapi mereka menolak keras badik mereka
dilucuti dan disita. Seorang perwira tua Portugis yang bergabung dalam pasukan
Prancis mengingatkan Forbin, "Orang-orang itu tidak dapat ditundukkan, oleh karena
itu kita harus membunuh mereka untuk menguasai mereka. Terus terang saja, jika Anda
sampai ketahuan ingin menangkap kapten yang berada dalam anjungan itu, dia dan
sedikit orang yang bersamanya akan membunuh kita semuanya dan tidak membiarkan
Seorang pun hidup.”

Prajurit Makassar sedang meluncurkan panah dengan sumpitan

Forbin mengira ia cukup dikawal dengan sepuluh prajurit Siam yang bersenjatakan
tombak dan sepuluh prajurit lainnya dengan bedil untuk memeriksa enam orang
Makassar yang hanya bersenjatakan badik. "Saya memerintahkan seorang pejabat Siam
untuk pergi menyampaikan kepada kapten Makassar bahwa saya merasa tersiksa karena
dapat perintah untuk menangkapnya, tapi ia akan dapat perlakuan baik dari Saya.”
Saat kata pertama terlontar dari mulut pejabat Siam itu, sambil mencampakkan topi
kain mereka ke tanah, keenam orang Makassar itu menghunus badik dan menyerbu
membabi-buta seperti kesurupan, membunuh seketika itu si pejabat Siam dan enam
orang rekannya yang ada dalam paviliun."

Forbin sendiri lolos dari maut. Empat orang Makassar terbunuh, sementara dua
lainnya terluka dan kapten mereka berhasil lolos. "Tuan Beauregard, kapten
berkebangsaan Prancis, ketika melihat bahwa kapten Makassar itu tertembak, beberapa
peluru dan sekarat, melarang sersannya untuk membunuhnya. la mendekati kapten itu
dan merampas badik-nya. Tapi Beauregard menarik sarungnya, bukan gagangnya dan
kapten Makassar yang nyaris mati itu masih punya cukup kekuatan menghunus badik dan
merobek perutnya."

Forbin memanggil bala bantuan pasukan yang terdiri atas empat puluh orang Portugis
yang dipimpin oleh seorang kapten berkebangsaan Inggris yang tanpa menunggu
perintah Forbin membawa pasukannya maju melawan orang-orang Makassar.

Seekor gajah Siam dikenakan pakaian perang

“Segera raja keempatpuluh tujuh orang Makassar yang sampai saat itu jongkok dengan
cara mereka, tiba-tiba bangkit dan dengan melingkari lengan kiri mereka dengan
sejenis kain selempang yang biasanya mereka lilitkan di pinggang atau di kepala,
mereka menerjang orang Portugis dengan badik di tangan, kepala menunduk, dan dengan
kekuatan besar menikam dan mencabik-cabik orang-orang Portugis, nyaris sebelum kami
sadar bahwa mereka sudah diserang. Dari situ, mereka mendesak ke arah pasukan yang
saya pimpin tanpa kehabisan napas, meski saya memiliki seribu lebih prajurit
bersenjatakan tombak dan bedil. Orang-orang mengerikan itu menyerang pasukan saya
sedemikian rupa sehingga semuanya terjungkal. Orang-orang Makassar itu bergerak
dengan menginjaki perut mereka dan membunuh semua yang dapat mereka jangkau, benar-
benar pembantaian yang mengerikan. Dalam keadaan yang kalang-kabut itu, mereka
mendesak kami hingga ke kaki tembok benteng baru. Enam di antara mereka, yang
paling nekat, mengejar pasukan yang kabur dan masuk ke dalam teluk buatan yang
menghadap sungai dekat tembok benteng kecil persegi empat. Mereka melewati benteng
di sisi lain dan menjadikan semua tempat itu pembantaian yang mengerikan, dengan
membunuh tanpa memandang usia dan jenis kelamin, wanita, anak-anak, dan semua yang
ada di hadapan mereka.”

Sementara itu, orang-orang Makassar yang merupakan bagian terbesar pasukan mereka
kembali ke kapal untuk mencari tombak dan perisai sekaligus menyalakan api di kapal
untuk menunjukkan ketetapan hati mereka untuk bertempur. Mereka menyusuri tepian
sungai, melempari rumah-rumah dengan api dan menebarkan teror di mana-mana. Enam
orang Makassar menyerang pagoda dan membunuh semua biarawan di sana, lalu
bersembunyi di balik rerumputan tinggi, di mana mereka dihalau dan dirubuhkan
dengan bedil. Dalam pertempuran itu saja, pasukan Eropa-Siam telah kehilangan 366
orang... belum lagi korban penduduk, sipil, sedangkan korban di pihak Makassar
hanya tujuhbelas orang. Selama tiga minggu orang-orang Makassar itu terkepung di
tengah hutan yang digenangi air pasang dan hanya keluar sebentar untuk mencari
makanan berupa sayuran dan buah-buahan di kebun di sekitarnya. Forbin berpikir
bahwa saatnya.sudah tiba memberikan pukulan terakhir, karena mereka mustahil bisa
merawat luka-luka mereka dan tentu sangat lemah. Hanva tersisa tujuhbelas orang
yang selamat. Forbin mengepung hutan dengan duaribu prajurit Siam. la mengusulkan
kepada orang Makassar itu untuk, menyerah, tapi mereka "Melompat ke dalam air,
dengan badik di mulut, mereka berenang untuk menyerang kami. Orang-orang Siam yang
mendapatkan keberanian dari pidato dan contoh yang saya tunjukkan, melepaskan
tembakan ke arah orang-orang yang putus asa itu, hingga tak ada satu pun yang
selamat. Demikianlah akhir petualangan menyedihkan, yang selama satu bulan membuat
saya luar biasa lelah, nyaris kehilangan nyawa serta menyebabkan saya membunuh
begitu banyak orang."

Sementara itu, 23 September 1686, di Ayuthia tigapuluh hingga empatpuluh orang


Makassar yang sudah jadi penduduk setempat diundang ke istana untuk bermusyawarah
tapi sekali lagi menolak menanggalkan badik mereka dan senjata lain sebelum
menghadap raja. Dengan mudah menduga niat pihak kerajaan, mereka pun menolak
dilucuti sebelum pembicaraan dimulai. Kapten mereka, Daeng Mangalle tetap saja
herpura-pura tidak bersalah dan tidak merasa perlu meminta pengampunan dari raja.
Karena sebelumnya telah diberitahu mengenai komplotan itu tapi tidik mengambil
bagian secara langsung di dalamnya, kapten itu hanya dituduh bersalah karena tidak
memberitahu raja. Kehormatan mencegahnya untuk bertindak sebagai pengadu dan
sebagai mata-mata terhadap teman-temannya seagamanya. Di malam 23 September, raja
memerintahkan beberapa ribu prajuritnya mengepung kampung Makassar di Ayuthia,
diperkuat dengan dua kapal perang, duapuluh dua kapal dayung dan enampuluhan kapal
kecil yang menyeberangi sungai. Melihat persiapan itu, orang-orang Makassar paham
bahwa serangan sudah dimulai. Semua tahu tidak ada kemungkinan lain untuk mereka
kecuali bertempur sampai mati dan banyak di antara mereka membunuh istri dan anak-
anak mereka sendiri agar terhindar dari penjara dan perbudakan. Tanda serangan
diberikan jam 4.30. serangan pertama gagal dan sebagian besar penyerang tewas.
Kapten Inggris, Coates, yang memimpin kapal perang Siam, setelah melemparkan bola-
bola api untuk membakar rumah-rumah, mengira telah herhasil menaklukkan semua
perlawanan dan mencoba mendarat dengan sekitar selusin orang Inggris dan seorang
perwira Prancis. Orang-orang Makassar menggali parit untuk berlindung dan keluar
dari situ untuk melancarkan serangan balasan. Coates mendapat hantaman di kepalanya
hingga terlempar ke air dan karena berat baju zirahnya, ia tenggelam. Sementara
itu, perwira Prancis tadi selamat karena bisa berenang. Bala bantuan dari orang-
orang, Makassar datang dan bergerombol di antara pepohonan bambu sebelum keluar
lagi untuk menggempur habis-habisan di bawah pengaruh, tulis Pastor Tachard,
gumpalan-gumpalan candu "yang membuat mereka mengamuk dan melenyapkan semua pikiran
dan keinginan lain kecuali membunuh atau dibunuh". Pasukan Siam sekali lagi harus
mundur dan menunggu bantuan baru dari empatratus orang. Pasukan Siam berjumlah
tigaribu prajurit yang didahului dengan delapanratus mousquetaires (prajurit
bersenjatakan bedil). Forbin menjelaskan suasana serangan dan taktik yang
diterapkan untuk gerak maju pasukan-pasukan itu.

Karena wilayah itu terendam sehingga orang terpaksa berjalan di dalam air setinggi
separuh tungkai, jenderal Siam suruh nuat raringan kisi-kisi yang terdiri dari
bilah-bilah kayu yang masing-masing dipasangi tiga paku sebagai ranjau ...
Peralatan ini, yang bergerak di depan pasukan, dibenamkan ke dalam air... Orang
Makassar seperti biasanya maju menyerang dengan kepala tertunduk dan tanpa melihat
di mana kaki berpijak, lantas sebagian besar terjebak hingga tidak bisa maju maupun
mundur. Kami lalu membunuhi banyak di antara mereka dalam keadaan berdiri dengan
berondongan bedil.

Kami terus menghalau musuh dari satu pemukiman ke pemukiman lain, setelah
membakarnya terlebih dahulu. Kami mendengar jerit mengerikan para wanita yang
terbakar dalam rumah mereka. Mengenai yang pria, mereka baru keluar pada saat
terakhir dan menyerang membabi-buta dengan senjata tajam guna bertempur sampai
mati. Daeng Mangalle sendiri terluka lima tusukan tombak dan setelah tangannya
tertembak, langsung menerjang menteri Siam, membunuh seorang Inggris yang berada di
sebelahnva dan rubuh tertembak oleh seorang Prancis. Putra sulung Daeng Mangalle
yang masih berusia 14 tahun ketika melihat ayahnya terkapar di tanah, melemparkan
senjatanya ke kaki menteri yang membiarkan anak itu hidup. Akhirnya pertempuran itu
berakhir jam tiga Siang dengan menyerahnya 22 orang Makassar dan 33 mayat prajurit
mereka dikumpulkan dari medan pertempuran. Selama dua atau tiga hari, kami memburu
mereka yang masih hidup. Orang-orang Siam tidak memberi ampun pada tawanan mereka.
Kebanyakan mereka disiksa dengan kejam: pasak ditancapkan menembus kuku, tangan
dibakar, pelipis dijepit dengan dua papan, sebelum di ikat di tiang untuk santapan
harimau. Tachard menambahkan bahwa orang-orang yang memegang senjata di tangan
mereka dipenggal dan kepalanya dipamerkan di depan rakyat jelata. Beberapa dari
mereka dikubur hingga leher, lalu mati setelah dicemooh dan dihina penonton yang
tidak punya belas-kasihan. Sementara anak-anak dan wanita, yang tidak terbunuh
dalam penyerangan atau terbakar dalam rumah, dijual sebagai budak.

Peristiwa dramatis itu membuat penduduk, terpana dan kagum akan perlawanan tak
terperikan dan gagah berani yang ditunjukkan oleh suatu masyarakat kecil yang
terdiri dari sekitar duaratus orang asal Makassar dan hanya bersenjatakan tombak
dan badik, berhadapan dengan tentara yang berjumlah ribuan prajurit Siam, dibantu
oleh empatpuluhan orang Prancis, beberapa orang Inggris, dan orang asing lainnya.
Selama pertempuran, tidak kurang daripada seribu orang Siam dan tujuhbelas orang
asing tewas.

(Sumber : Buku Orang Indonesia & Orang Prancis, dari abad XVI sampai dengan abad
XX, oleh Bernard Dorleans – 2006, halaman 113-121)

Anda mungkin juga menyukai