Anda di halaman 1dari 5

Literasi Histori Medan Area

Akhir Desember, 1946. Amran Zamzami masih berusia 18 tahun saat berangkat dari Langsa
menuju Medan. Bukan sesuatu yang aneh bila perjalanannya sekedar jalan-jalan. Namun
nyatanya, Amran datang ke Medan hanya untuk satu tujuan: bertempur melawan tentara
Belanda.  
“Kami ingin segera menghabisi mereka. Ingin rasanya cepat-cepat menikam Belanda yang
bertahan di kota Medan,” tutur Amran kepada penulis Sugiono MP dalam Belajar dan
Berjuang.
Amran, pemuda Aceh kelahiran Kutabuloh, seorang pasukan TRI jebolan sekolah Kadet
Bireun. Dia merupakan satu dari sekian banyak pemuda Aceh yang ikut bertempur dalam
palagan Medan Area. Medan Area adalah pertahanan di mulut pertempuran di mana Belanda
terkepung di kota Medan.
Sejak Oktober 1945, kota Medan jatuh ke tangan musuh. Pasukan Sekutu yang terdiri
dari British-Indian Army dan pasukan Belanda, NICA telah mencaplok ibu kota Sumatera
Utara itu. Objek vital di Medan disegel dan ditandai sebagai “Fixed Boundaries Medan
Area”  untuk dijadikan basis militer. Dari sini kemudian dikenal istilah “Medan Area” yang
menjadi palagan pertempuran merebut kembali kota Medan.
Sekutu dan Belanda menjadikan gedung-gedung utama sebagai markas pasukannya. Tak
hanya itu, rumah-rumah penduduk Medan tak luput dari sasaran untuk kepentingan tertentu.
Demi keselamatan diri, warga sipil terpaksa eksodus dari kota Medan. Mereka mencari
tempat yang lebih aman ke pedalaman atau ke arah utara menuju Aceh.
“Penduduk kota itu berbondong-bondong meninggalkan tempat tinggalnya. Diantaranya
banyak yang mengungsi ke pedalaman Aceh melalui Tanah Karo dan terus ke Aceh Tengah
lewat Kutacane, Blangkejeren dan Takengon,” tulis Abdul Karim Jakobi dalam Aceh Daerah
Modal: Long March ke Medan Area.
Selain gelombang pengungsi yang silih berganti berdatangan, Di Aceh tersiar kabar
mengkhawatirkan. Muncul desas-desus tentara Belanda hendak merebut pusat pertambangan
minyak, Pangkalan Berandan di Langkat. Pangkalan Berandan adalah pintu gerbang menuju
Aceh. Tak ingin menunggu di tempat, pejuang Aceh lebih memilih untuk menjemput lawan.
Memasuki 1946, orang-orang Aceh mulai berdatangan ke Medan untuk bertempur. Setiba di
Medan, pejuang-pejuang Aceh tergabung ke dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA)
di bawah komando Mayor Teuku Cut Rachman, perwira TRI asal Meulaboh kemudian
Mayor Hasan Achmad.
Selain tentara profesional yang tergabung dalam TRI, ikut serta para veteran yang
menamakan diri Gerilyawan Muslimin. Mereka adalah gerilyawan Aceh dari dataran tinggi
Gayo. Di antara mereka, pada zamannya tenar sebagai “Pang”, jagoan yang telah bertempur
melawan Belanda sejak zaman kolonial akhir abad 20 sampai masa pendudukan Jepang. Dari
barisan laskar, turut pula Laskar Rakyat Mujahidin dan Laskar Rakyat Hizbullah.
Reputasi pejuang Aceh yang datang ke Medan cukup diperhitungkan. Mereka tergabung
dalam pasukan Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) yang terdiri dari sebelas batalion.
Selain dengan senjata ringan, pasukan ini dilengkapi dengan meriam-meriam 4 cm,
Penangkis Serangan Pantai (PSP), Penangkis Serangan Udara (PSU), mortir 2 dan 3 inci,
bom, dan granat.
Batalion terkuat berkedudukan di Kampung Lalang berdampingan dengan Pasukan Meriam
Nukum Sanany yang terkenal ampuh menggempur musuh. Pada 15 Januari 1947, kota Medan
digempur pasukan dari Aceh dengan lindungan tembakan meriam. Duel meriam berlangsung
selama satu jam.
“Pertahanan Kampung Lalang terkenal sekali kuatnya. Menurut Belanda, front tersebut
merupakan pertahanan Republik satu-satunya yang payah dihadapi di Medan Area,” tulis
Teuku Alibasyah Talsya dalam Modal Perjuangan Kemerdekaan: Perjuangan Kemerdekaan
di Aceh 1947-1948.
Yang lagi menakutkan, pasukan Aceh kadangkala bergerak dalam kelompok kecil di malam
hari. Mereka kerap menyambangi tangsi-tangsi tentara Belanda atau membuntuti patroli
musuh yang lengah. Dengan bermodal senjata tajam macam parang, klewang, atau rencong,
tak sedikit tentara Belanda yang jadi korban teror pasukan Aceh, kena tebas atau luka parah.
Selain menggunakan senjata tajam, pejuang aceh di Medan kerap bertempur dengan cara tak
lazim. Terhembuslah rumor, pasukan Aceh dibantu oleh “Kompi Pasukan Lebah”.
Pengerahan serangga bersengat ini dimobilisasi oleh Pang Lokop, pawang lebah asal
Takengon yang disebut-sebut memiliki ilmu tenaga dalam. Selain lebah, menurut Abdul
Karim Jakobi, para veteran Aceh suka bertempur dengan senjata tradisional dalam bentuk
panah beracun.  
Konon katanya, lebah-lebah gaib dari Aceh ini bisa terbang jarak jauh dari Gayo sampai ke
kota Medan. Mereka menyengat tentara Belanda hingga musuh pingsan, bahkan bisa
mematikan karena sengatnya sangat berbisa. Lebah-lebah itu digerakkan dengan mantera-
mantera.
Isu “pasukan lebah” itu cukup membesarkan moril pasukan Aceh di front Medan Barat. Akan
tetapi, sekali waktu pernah diinspeksi cara kerja lebah-lebah itu. Apa yang terjadi? Lebah-
lebah sama sekali tak bergerak.  Pang Lokop memberi keterangan bahwa anggota
kesatuannya itu “ngambek” karena kekurangan logistik berupa cabe merah. Maka dimintakan
dana dari markas untuk membeli makanan lebah tersebut berkilo-kilo.
“Setelah lebah-lebah itu puas makan, Pak Lokop mengomando dengan mantera-mantera
segala, binatang itu pun terbang ke sana ke mari menyengati Pak Lokop. Ternyata pasukan
lebah hanya isapan jempol,” kenang Amran Zamzami dalam Jihad Akbar di Medan Area.

Literasi Histori Pertempuran Ambarawa


Keputusan Konferensi Potsdam pada Juli 1945 yang membagi-bagi tugas kepada negara-
negara besar Sekutu membuat Inggris kebagian tugas mengendalikan wilayah Asia Tenggara.
Di wilayah tersebut, Inggris selain harus mengambilalih kekuasaan dari tangan Jepang,
melucuti senjata mereka dan memulangkan pasukan Jepang ke negerinya, adalah
membebaskan tawanan dan interniran Sekutu dan menjaga keamanan serta menegakkan
hukum.
Panglima Southeast Asia Command (SEAC) Laksamana Lord Louis Mountbatten lalu
membentuk Allied Forces Netherlands Indis (AFNEI) untuk menjalankan tugas di wilayah
bekas Hindia Belanda dan menunjuk Letjen Sir Philip Christison sebagai kepalanya.
Mountbatten juga membentuk sembilan tim penerjun yang akan bertugas sebagai advanced
team di Sumatra dan Jawa. Tim itu masing-masing berisi empat personil yang terdiri dari
komandan, petugas sinyal/komunikasi, dan dua personil medis. Mereka dilengkapi peralatan
medis, obat-obatan, dan bahan makanan. Dari merekalah informasi mengenai lapangan
berasal.
Pada 8 September 1945, tim pertama mendarat di pantai Batavia. Penerjunan mereka berjalan
bersama para penerjun pasukan Belanda, yang datang sebagai alat Netherlands Indies Civil
Administration (NICA). Civil Affairs Agreement yang ditandatangani kedua negara pada 24
Agustus 1945 membuat Belanda bisa membonceng Inggris.
Menurut sejarawan Universitas Diponegoro Supriya Priyanto kepada Historia, inti perjanjian
tersebut adalah “Inggris wajib mengembalikan wilayah kepada bekas koloninya.” Dengan
kata lain, Inggris harus membantu mewujudkan kembali penjajahan Belanda atas Indonesia.
Tim penerjun yang bertugas di Jawa Tengah tiba pada 18 September 1945. Mereka mendarat
di Magelang. Kota perbukitan itu diyakini sebagai tempat bagi banyak tawanan perang dan
interniran Sekutu berada. Tim tersebut lalu ke Jakarta guna memberikan pengarahan
mengenai Magelang, dan kembali lagi keesokannya. Menurut mereka, kerjasama dengan
Jepang sangat vital karena detail jumlah kamp dan interniran hanya mereka yang tahu.
Dengan bantuan Jepang, tim di Magelang membebaskan 773 tawanan dan interniran yang
ada. Mereka menginformasikan kepada markas SEAC di Colombo (Ceylon) bahwa karena
adanya penjarahan dari para “ekstrimis”, droping logistik hendaknya dihentikan.
Pada 20 Oktober 1945, sekira satu brigade pasukan Inggris dari Gurkha 3/10 mendarat di
Semarang. Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro menyambut hangat kedatangan mereka,
lalu mengadakan perundingan. Kepada Jenderal Bethel Wongsonegoro mengatakan pihak
Indonesia menjanjikan kerjasama seluas-luasnya asal pasukan Inggris tak mengusik
kedaulatan republik. Gubernur juga bersikeras untuk tak membiarkan Sekutu melucuti
persenjataan polisi republik.
Bersamaan dengan kedatangan Inggris, para pejuang di Semarang sedang mati-matian
merebut senjata dari pasukan Jepang. Insiden demi insiden terjadi. Pembunuhan 200 warga
sipil Jepang di Ambarawa memicu aksi balas dendam mereka di Semarang. “Sebagai balasan,
pasukan Jepang membunuh 2.000 orang Indonesia, maka Gurkha pun terjebak dalam sebuah
pertempuran pada saat kedatangannya,” tulis Richard McMillan dalam The British
Occupation of Indonesia, 1945-1946: Britain, The Netherlands
and the Indonesian Revolution.
Gurkha langsung mengambilalih lapangan udara di Semarang dan mendirikan markas di
sana. Rakyat Indonesia menyambut kedatangan mereka karena dianggap sebagai pembebas
dari Jepang.
Atas izin gubernur, satu datasemen Gurkha lalu bergerak ke Ambarawa dan Magelang.
“Ambarawa itu kan menjadi kamp interniran besar. Maka ke situ mereka begitu mendarat di
Semarang,” ujar Priyanto. Di sana, mereka membebaskan para tawanan dan interniran,
termasuk eks prajurit KNIL Belanda.
Namun, para eks tentara Belanda lalu melakukan provokasi-provokasi seperti mengenakan
seragam militer lengkap, menangkapi, dan bahkan menyiksa para pemuda pejuang Indonesia.
Hal itu memicu perlawanan. Panglima BKR Kedu Soesman, yang dibantu BKR Yogyakarta
pimpinan Oemar Slamet dan Laskar Rakyat Mataram serta kesatuan perjuangan lainnya, lalu
mengepung tangsi-tangsi pasukan Sekutu di Tuguran, Susteran, dan Hotel Montagne (kini di
seberang alun-alun). Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Panglima garnisun Inggris di Magelang Letkol Edwards, yang tiba pada akhir Oktober 1945,
mengadakan perundingan dengan penguasa setempat untuk menghentikan pertempuran.
Karena tak menghasilkan kesepakatan, Brigjen Bethel lalu mengambilalih. Dia berunding
dengan Presiden Sukarno yang sedang bersafari. Perundingan tanggal 2 November 1945 itu
selain menghasilkan kesepakatan gencatan senjata juga menghasilkan kesepakatan
pembentukan Contact Committee, yang bertugas memastikan kelancaran pembebasan
tawanan dan interniran Sekutu. Lima pemimpin Indonesia dan lima perwira Inggris masuk ke
dalam komite tersebut. Untuk itu, Inggris memberi bantuan senjata Lee & Field kepada
petugas Indonesia, sementara Indonesia menjamin suplai bensin dan makanan kepada
pasukan Inggris.
Pada 20 November 1945, evakuasi 2500 internir dari Magelang berjalan lancar. Sisa yang
masih ada menyusul dievakuasi keesokan harinya berbarengan dengan penarikan garnisun
Inggris di Magelang ke Ambarawa. Kecuali anak-anak, lansia, dan mereka yang sakit, para
interniran yang tak kebagian truk harus berjalan kaki ke Ambarawa. Meski dengan
pengawalan pasukan, keamanan mereka sangat rentan dari serangan para “ekstrimis”.
Jenderal Christison sampai menyamakan kondisi mereka dengan kondisi evakuasi warga
Inggris dari Kabul ke India pada 1842 yang hanya menyisakan seorang selamat sampai
tujuan.
Berbarengan dengan masa tegang di Magelang, pimpinan tentara bersidang dan memilih
Kolonel Soedirman (panglima BKR Banyumas) sebagai panglima TKR. Sambil menunggu
waktu pelantikan, dia kembali ke markasnya sambil menyusun strategi guna menghadapi
kemungkinan terburuk dari proses evakuasi tawanan Sekutu dari Magelang ke Ambarawa.
Soedirman memerintahkan komandan-komandan TKR di Jawa Tengah mengirim pasukannya
untuk memperkuat TKR di Ambarawa. “Yang terbanyak dari Banyumas, karena senjatanya
terlengkap,” ujar Priyanto. Soedirman juga membentuk Markas Pimpinan Pertempuran guna
menghindari kesalahan yang terjadi di Magelang di mana para pejuang Indonesia bertempur
tanpa koordinasi dan hierarki yang jelas. Soedirman menetapkan garis-garis besar operasi
penyerbuan Ambarawa, menunjuk Letkol Isdiman (panglima Resimen Purwokerto) sebagai
pemimpin koordinator pasukan penyerbu, membagi Ambarawa menjadi beberapa sektor, dan
menetapkan pukul 04.30 pagi tanggal 12 Desember 1945 sebagai waktu dimulainya ofensif.
Soedirman, menurut Tjokropranolo dalam Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman
Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia: Kisah Seorang Pengawal, berhasil
menghimpun sekitar 20 batalyon. Rasio persenjataan untuk pasukan reguler 1 senjata
berbanding 5 personil, sementara untuk laskar dan tentara pelajar rasionya 1:10.
Sementara itu di lapangan, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menganggap penarikan mundur
pasukan Inggris ke Ambarawa secara diam-diam pada malam 21 November 1945 menyalahi
kesepakatan –yang menetapkan garnisun Inggris tetap ditempatkan di Magelang. Bagi
mereka, mundurnya pasukan Inggris sebagai upaya melarikan diri. “Kecurigaannya begitu
besar rakyat kita di masa revolusi,” ujar Supriya Priyanto. Pasukan resimen Kedu Tengah di
bawah Letkol Sarbini, diikuti kesatuan-kesatuan lain seperti Yon Mayor Imam Androngi,
Yon Mayor Soeharto, Mayor Sardjono, langsung mengejar. Kontak senjata terjadi dan
memakan beberapa korban.
Di Ambarawa sendiri pertempuran sudah meletus pada 20 November 1945, yang menurut
pihak Indonesia dipicu oleh bombardir pesawat-pesawat AU Inggris (RAF) –sementara
menurut Inggris dipicu serangan-serangan oleh para prajurit Indonesia. Pejuang Indonesia
melakukan perlawanan dengan berondongan senapan mesin dan pemboman mortir. Mereka
mengepung pertahanan Inggris dan memblokir akses ke sana. Tembak-menembak terus
membesar.
Terdesaknya Inggris membuat mereka meminta bantuan ke Semarang. Bantuan dari
Semarang datang melalui pesawat-pesawat pembom, tank, dan artileri. Pada 26 November
1945, berondongan senapan mesin pesawat RAF menggugurkan Letkol Isdiman yang
bermarkas di Desa Kelurahan. Hal itu menambah kemarahan pihak Indonesia. “Orang-orang
Indonesia menuangkan bensin mengelilingi sebuah kamp interniran dan membakarnya;
mereka menembus pagar belakang kamp lain dan membunuh tentara, perempuan, dan anak-
anak Inggris,” tulis McMillan. Korban yang jatuh sangat banyak, dari kedua belah pihak.
Setelah TKR menguasai jalan Semarang-Ambarawa dan Yon Mayor A Yani merebut
lapangan udara Kalibanteng, pasukan Inggris dan interniran yang mereka bebaskan terjepit di
Ambarawa. Hubungan mereka dengan markas pusat di Semarang putus.
Keadaan itu membuat pasukan Indonesia leluasa melancarkan serangan Ambarawa yang
dimulai tepat jam 04.30 pagi tanggal 12 Desember. Setelah tembakan mitraliyur penanda
membuka serangan, pasukan Indonesia dari berbagai sektor di Ambarawa maju menyerang
posisi Inggris. “Mereka merayap mendekati kedudukan musuh sampai jarak 200 meter,” tulis
Dinas Sejarah TNI dalam Sudirman: Prajurit TNI Teladan. Gatot Subroto yang
menggantikan Isdiman, merangsek dari selatan kota. Mereka melancarkan gerilya kota.
Pasukan Inggris dan interniran yang mereka bawa terjepit.
Kontak senjata berlangsung terus-menerus selama empat hari dan memakan banyak korban.
Setelah empat hari terkepung, pasukan Inggris akhirnya memutuskan untuk menerobos jalur
ke Semarang. Mereka mundur sambil membawa interniran yang tersisa. Setelah mati-matian
menempuh perjalanan dari Ambarawa, mereka akhirnya tiba di Semarang dengan banyak
kerugian. “Inggris jadi kena getahnya,” tutup Priyanto, menjelaskan bagaimana pasukan
Inggris yang sudah bosan perang itu harus menanggung malu akibat ulah Belanda.

Anda mungkin juga menyukai