Sultan Hasanuddin merupakan salah satu raja dari timur yang populer berkat kegigihannya
melawan Belanda pada masa penjajahan. Perjuangan besarnya yang membuat Belanda
kewalahan adalah menolak monopoli perdagangan yang dilakukan oleh Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC).Selama masa kepemimpinannya, Sultan Hasanuddin juga
telah berhasil menggagalkan rencana Belanda untuk menguasai Kerajaan Islam Gowa. Tidak
hanya itu, dia bahkan menyatukan kerajaan-kerajaan kecil untuk bersatu memerangi
penjajah.Kegigihan Sultan Hasanudin ini membuatnya mendapatkan julukan De Haantjes
van Het Osten dari Belanda yang artinya Ayam Jantan dari Timur.Berikut ini dipaparkan
mengenai biografi singkat dan riwayat perjuangan dari Sultan Hasanuddin.
Berdasarkan daftar raja-raja Gowa yang dimuat dalam buku Islamisasi Kerajaan
Gowa Abad XVI sampai Abad XVII yang ditulis oleh Ahmad M. Sewang, Sultan
Hasanuddin merupakan Raja Gowa ke-16, atau Sultan Gowa ke-3 sejak kerajaan ini
mulai memeluk Islam.
Hasanuddin lahir di Gowa pada 12 Januari 1631 dengan nama Muhammad Bakir I
Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Dia adalah putra mahkota
Sultan Malik as-Said atau Malikulsaid (1639–1653) dengan I Sabbe To’mo Lakuntu.
Kakek Hasanuddin, Sultan Alauddin (1593–1639) adalah Raja Gowa pertama yang
memeluk agama Islam.
Jiwa kepemimpinannya sudah menonjol sejak kecil. Selain dikenal sebagai sosok
yang cerdas, dia juga pandai berdagang. Inilah yang menyebabkannya memiliki
jaringan dagang yang bagus hingga Makassar, bahkan dengan orang
asing.Hasanuddin kecil mendapatkan pendidikan keagamaan di Masjid Bontoala.
Sejak kecil, dia sering diajak ayahnya untuk menghadiri pertemuan penting dengan
harapan bisa menyerap ilmu diplomasi dan strategi perang. Beberapa kali dia
dipercaya menjadi delegasi untuk mengirimkan pesan ke berbagai kerajaan. Ketika
memasuki usia 21 tahun, Hasanuddin diamanatkan jabatan urusan pertahanan Gowa.
Ada dua versi sejarah yang menjelaskan pengangkatannya menjadi raja, yaitu saat dia
berusia 24 tahun atau pada 1655 dan saat dia berusia 22 tahun atau pada 1653.
Terlepas dari perbedaan tahun, Sultan Malikussaid telah berwasiat supaya
kerajaannya diteruskan oleh Hasanuddin. Selain dari ayahnya, dia memperoleh
bimbingan mengenai pemerintahan melalui Mangkubumi Kesultanan Gowa, Karaeng
Pattingaloang. Sultan Hasanuddin merupakan guru dari Arung Palakka, salah satu
Sultan Bone yang kelak akan berkongsi dengan Belanda untuk menjatuhkan
Kesultanan Gowa.Seperti yang dicatat dalam buku Peristiwa Tahun-Tahun
Bersejarah Daerah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV (1985), Sultan Malikusaid
wafat pada 6 November 1653. Hasanuddin pun naik takhta sebagai raja baru dan
langsung membawa kerajaan mencapai puncak kejayaan, termasuk menguasai jalur
perdagangan utama di Nusantara bagian timur. Namun, masa-masa keemasan itu mulai
terancam sejak orang-orang Belanda berbendera VOC menyambangi Sulawesi bagian selatan pada
pertengahan abad ke-17. VOC tergiur ingin menguasai perdagangan di kawasan yang sangat
strategis tersebut. Belanda berharap kebijakan Sultan Hasanuddin lebih lunak daripada mendiang
ayahnya.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sagimun Mulus Dumadi dalam buku
berjudul Sultan Hasanuddin Menentang VOC (1986), Hasanuddin memberikan izin
kepada tiga orang Belanda untuk tinggal di Somba Opu, ibu kota Kesultanan Gowa
saat itu.Ternyata, kebaikan hati sang sultan disalahgunakan. Orang-orang Belanda
tersebut tertangkap basah telah mengirimkan surat ke Batavia. Dalam surat itu
disebutkan bahwa pihak VOC diminta melakukan persiapan untuk melancarkan
serangan ke Kesultanan Gowa pada tahun berikutnya. Terang saja Sultan Hasanuddin
murka dan merasa kecolongan. Dia kemudian bergegas memerintahkan pembangunan
benteng-benteng pertahanan untuk mengantisipasi serbuan pasukan Belanda yang
kemungkinan besar akan segera datang.
Sultan Buton menerima baik kedatangan Arung Palakka beserta pengikutnya dan
bersedia memberikan perlindungan kepada mereka. Arung Palakka di kemudian hari
memutuskan berangkat ke Batavia untuk membangun kerja sama dengan Kompeni
Belanda dalam upaya membebaskan Bone dan Soppeng dari
Kekuasaan Makassar.
Pihak Kompeni Belanda menerima baik tawaran kerja sama ini dan menempatkan
pengikut Arung Palakka untuk bermukim di Muara Angke. Tiga tahun kemudian,
Arung Palakka bersama Kompeni Belanda sudah siap menghadapi Makassar sebagai
musuh bersama mereka dengan kepentingan yang berbeda. Arung Palakka memerangi
Makassar karena ingin membebaskan Bone dari kekuasaan Makassar, sedangkan
Kompeni Belanda menyerang Makassar dalam rangka ingin mengokohkan dirinya
sebagai penguasa tunggal atas perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Nusantara.
Sesuai rencana, pada 24 November 1666, Cornelis Speelman dan Arung Palakka
berlayar menuju Makassar dari Batavia siap menyerang Makassar. Pasukan Speelman
ini terdiri atas 21 kapal dan 1.870 orang prajurit (818 pelaut Belanda, 578 tentara
Belanda, dan 395 pasukan pribumi). Pasukan utama pribumi berasal dari Ambon di
bawah pimpinan Kapten Joncker dan dari Bugis Bone di bawah pimpinan Arung
Palakka.
Kebijakan Sultan Hasanuddin ini belum mampu membuat Bone kembali percaya
kepada Sultan Hasanuddin. Setelah diangkat kembali sebagai Raja Bone, La
Maddrameng berkata kepada rakyat Bone bahwa dia menjadi raja hanyalah untuk
sementara waktu, yaitu sampai datangnya Arung Palakka untuk menggantikannya.
Dalam situasi seperti ini, berangkatlah Speelman dan Arung Palakka bersama
pasukannya dari wilayah Buton dan siap melakukan perang terbuka dengan Sultan
Hasanuddin dan Karaeng Karunrung. Tanggal 19 Juni 1667, mereka semua berlayar
menuju Makassar dengan tujuan yang sudah bulat, yaitu meruntuhkan kejayaan
Makassar.
Beberapa sejarawan ada yang menafsirkan jika Belanda tidak dibantu dengan pasuka
arung palakka ,
mereka tidak akan mampu mengalahkan Kesultanan Makassar saat itu. Hal ini
dikarenakan Makassar memiliki angkatan laut yang sangat tangguh.