Analisis Kasus Ptun Perkara No. 145 G 20
Analisis Kasus Ptun Perkara No. 145 G 20
2. Gerakan Masyarakat Cinta Alma “Gema Alam”. Dalam hal ini diwakili
oleh Muhammad Juaini Warganegara Indonesia selaku Masyarakat Cinta
Alarn "Gema Alam" , beralamat di Lingkungan . Lauq Masjid, Kelurahan
pancor, Kecamatan Selong, Kabupaten Lombok Timur. Selanjutnya
PENGGUGAT I dan PENGGUGAT II dalam perkara ini memberikan
Kuasa kepada :
1
- PEBRI ROSMALIA, S.H,;
2
- MUHAMMAD'IMRAN ROSIAWAN S.H. Staf Bagian Hukum
Dan Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Sumbawa
Tergugat adalah:
- SUWARSONO.S.H,;
3
- SUSD1YARTO AGUS PRAPTONO, S.H.M.H;
4
Kesemuanya Warganegara Indonesia, pekerjaan Advokat pada Kantor
Advokat SOEMADIPRAJA & TAHER, beralamat di Wisma GKBI,
lantai 9, Jalan Jenderal Sudirman Jakarta Pusat 10201, berdasarkan Surat
No. 817/PD-MH/NNTA/III/2011 tanggal 19Agustus selanjutnya Pihak
Tergugat II Intervesi, berdasarkan Surat Kuasa Khusus 864/PD-
MH/NNT/XI/2011 tanggal 28 Nopember 2011 juga memberikan kuasa
kepada :
5
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan asas-
asas pemerintahan yang baik.
Berdasarkan bukti surat dan keterangan para saksi dan ahli yang diajukan
selama persidangan, terbukti dalam melaksanakan kewenangannya, Menteri
Negara Lingkungan Hidup sebagai tergugat tidak melanggar peraturan
perundangan yang berlaku maupun bertentangan dengan Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB). Dengan demikian Izin Dumpling Tailing ke
laut yang menjadi obyek sengketa tetap dinyatakan sah dan berlaku.
6
HAK GUGAT
Selain Penggugat diatas, terdapat pihak lain sebagai Penggugat Intervensi, yaitu:
7
Bung Karno No. 3, Kompleks Kemutar Teluk Center (KTC) Taliwang,
Kabupaten Sumbawa Barat.
8
c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran
dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.1
1. WALHI
9
fungsi lingkungan hidup. Hal ini dapat dibuktikan di dalam Pasal 5 angka 2
dari anggaran dasar WALHI bahwa WALHI secara jelas menyebutkan bahwa
salah satu maksud dan tujuan dari WALHI adalah “Meningkatkan kesadaran
masyarakat sebagai Pembina lingkungan dan terkendalinya pemanfaatn
sumberdaya secara bijaksana.” Sehingga, berdasarkan hal ini dapat dinyatakan
bahwa WALHI telah memenuhi syarat (b) yaitu merupakan organisasi
lingkungan hidup yang menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa
organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
hidup.
10
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-HI/2005 tentang Pengujian
UU No. 19 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan terhadap UUD 1945;
Selain itu, pengajuan gugatan oleh Penggugat ini juga ditujukan sebagai
pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup khususnya kawasan Teluk
Senunu sebagai akibat pembuangan tailing oleh PT Newmont.
2. GEMA ALAM
11
9). Namun, berdasarkan pertimbangan dari Majelis Hakim GEMA ALAM
bukanlah suatu badan hukum, sehingga tidak memenuhi syarat huruf (a) dari
Pasal 92 ayat (3) UU Lingkungan Hidup. Untuk menjadikan sebuah organisasi
berbadan hukum, organisasi tersebut harus didaftarakan di Kementeria Hukum
dan Hak Asasi Manusia. Namun, GEMA ALAM tidak melakukan hal
tersebut. Dan, berdasarkan Bukti Surat T.II-lnt-8, berupa Surat Keterangan
Ketua Pengadilan Negeri Selong Nomor: W25-U4/945/HK.02/IX/2011,
Perihal: Keterangan Resmi, tertanggal 28 September 2011, dinyatakan bahwa:
Perkumpulan "Gerakan Masyarakat Cinta Alam"; yang beralamat di Jalan
Pejangik Nomor 64. Pancor 83611, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat
sampai saat ini belum didaftarkan di Kepaniteraan Negeri Selong. Jadi,
berdasarkan pemaparan diatas GEMA ALAM tidak memenuhi syarat huruf
(a) yaitu merupakan organisasi lingkungan hidup yang berbadan hukum.
Syarat yang ketiga dari Pasal 92 ayat (3) UU Lingkungan hidup adalah
organisasi tersebut telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran
dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun. GEMA ALAM menyatakan bahwa
sejak berdirinya di tahun 2004, GEMA ALAM telah aktif melakukan kegiatan
pelestarian lingkungan di provinsi Nusa Tenggara Barat, diantaranya:
12
Semua hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai dokumentasi berupa
foto, laporan kegiatan, dan tulisan di berbagai media yang dapat dibuktikan.
Berdasarkan penjelasan diatas, GEMA ALAM telah memenuhi Pasal 92 ayat
(3) huruf (c) dari UU Lingkungan Hidup.
13
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.2
2
Ibid, Psl. 90
14
15
HUBUNGAN AMDAL, RISK ASSESSMENT, DAN
PRECAUTIONARY PRINCIPLE DALAM PUTUSAN NOMOR
145/G/2011/PTUN.JKT
16
menggunakan teknologi yang berpotensi besar mempengaruhi lingkungan hidup.
17
assessment. Prinsip kehati-hatian merupakan alat ilmiah yang penting untuk
mengurangi ancaman lingkungan. Dalam praktek pada umumnya, proses
penilaian resiko untuk lingkungan laut disederhanakan seideal mungkin, mereka
membandingkan Predicted No-Effect Concentration (PNEC) dengan Predicted
Enviromental Concentration (PEC) untuk menghasilkan rasio PNEC atau PEC
yang besarnya menentukan kebijakan berikutnya. Kerangka umum dalam risk
assessment terdiri dari identifikasi bahaya dan penilaian bersama dengan
peniliaian eksposur. Output dari kedua unsur ini kemudian digunakan sebagai
bahan untuk menentukan penilaian risiko secara komperhensif. Dengan cara
tersebut maka, ketidakpastian akan berkurang.3
Environmental Risk Assesment atau biasa disingkat ERA adalah suatu kajian
yang dilakukan terhadap resiko yang akan ditimbulkan dari suatu bentuk kegiatan
yang memiliki hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
3
D. Santilo, et. Al., “The Precautionary Principle: Protecting Against Failure of Scientific
Method and Risk Assesment”, Marine Pollution Bulletin, Vol. 36(12), 939-950 (1998).
4
Project Underground dan MiningWatch Canada, “STD Toolkit”, 2002
18
lingkungan hidup. Dalam melakukan ERA terdapat empat tahapan yang harus
dilakukan, yakni anatara lain:5
5
Andow, D.A. and C. Zwahlen. 2006. “Assessing Environmental Risks of Transgenik
Plants”. Ecology Letters, Vol. 9, No.2, February, pp. 196-214
6
Andri G. Wibisana, “The Development of Precautionary Principle in International and
Indonesia Environmental Law”, Asia Pacific Journal of Environmental Law 13, (2011), hlm. 20
19
Precautionary Principle dianggap telah berlaku berdasarkan proses dalam
pengambilan keputusan yang mana dampak jangka panjang telah lihat,
ketidakpastian telah diketahui dan diselesaikan solusinya, dan segala alternatif dan
solusi telah didiskusikan secara terbuka dan menimbang berbagai opini yang telah
disampaikan.7
7
Andri G. Wibisana, loc. Cit., hlm. 20
20
Dalam sengketa ini, penulis setuju dengan pendapat para ahli yang diajukan
oleh para penggugat yaitu Prof. Dr. Sonny Keraf yang menyatakan bahwa
sebelum Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan Izin Dumping Tailing harus
ada keterbukaan informasi yang melibatkan seluruh komponen yang terkait
khususnya peran masyarakat yang akan terkena dampak tersebut dan dalam
rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka sebelum
mengeluarkan suatu Izin yang menyangkut Lingkungan hidup harus
melaksanakan dan mematuhi Asas Tanggung Jawab Negara, Asas Kelestarian
Dan Kelanjutan, Asas Kehati-Hatian dan Asas Partisipatif. Apabila asas-asas
tersebut belum dipenuhi, maka izin tidak boleh diterbitkan, namun apabila sudah
dipenuhi barulah izin dapat diterbitkan. Apabila kita melihat putusan ini, kita
dapat melihat bahwa keputusan yang diambil oleh Menteri Lingkungan Hidup
tidak mengikutsertakan peran masyarakat, sehingga Menteri Lingkungan Hidup
tidak memenuhi Asas Tanggung Jawab Negara, yaitu tidak menjamin hak warga
Negara, dimana berdasarkan Pasal 2 UUPPLH yang dimaksud dengan asas
tanggung jawab Negara adalah:
b. negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat;
21
dijadikan nilai oleh Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengambil keputusan.
22
yang diterbitkan berdasarkan Dokumen AMDAL Proyek Tembaga-Emas Batu
Hijau yang dimuat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-
41/MENLH/10/1996 bertanggal 2 Oktober 1996. Dokumen AMDAL seharusnya
diperbaharui apabila akan melakukan pengembangan lokasi penambangan, baik
area maupun kapasitas produksinya. Berdasarkan berbagai ketentuan dan uraian di
atas, dapat diketahui bahwa Dokumen AMDAL Kegiatan Pertambangan
Tembaga-Emas di Batu Hijau Kecamatan jereweh - Kabupaten Sumbawa Provinsi
Nusa Te'nggara Barat harus dilakukan revisi, karena peraturan perundang-
undangan yang dijadikan acuan sudah tidak berlaku lagi serta adaanya
pengembangan lokasi penambangan PT. Newmont, baik area maupun kapasitas
produksinya. Dokumen Amdal tersebut masih didasarkan pada Peraturan
Perundang-undangan yang lama yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Menurut pendapat penulis, pendapat atau
pembelaan yang dinyatakan oleh pihak Tergugat tidak berkesinambungan dengan
suatu prinsip kehati-hatian atau Precautionary Principle. Tergugat mengatakan
bahwa dalam mengeluarkan Surat Keputusan tersebut telah disertai dengan
pertimbangan adanya AMDAL dalam pelaksanaan usaha PT Newmont tersebut,
namun AMDAL tersebut ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang ada
sebeneranya. Pihak tergugat mengaku telah melakukan perencanaan tersebut
secara hati-hati. Namun, bagaimana hal tersebut dapat terlaksana secara efektif
apabila AMDAL yang digunakan tersebut masih berdasar pada Peraturan
Perundang-undangan yang sudah tidak berlaku lagi. Hal tersebut membuyarkan
adanya suatu prinsip kehati-hatian yang disinggung oleh pihak tergugat. Selain
itu, dari kondisi sosial yang ada di daerah sekitar, telah muncul keberatan-
keberatan dari masyarakat sekitar yang merasa dirugikan akan adanya Izin
Dumping.
23
lingkungan sudah sangat rusak, maka Pengadilan dalam kasus ini harus memilih
dan berpedoman kepada prinsip hukum lingkungan yang dikenal dengan
pencegahan dini "Precautionary Principle", prinsip ke-15 yang terkandung
dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konferensi Rio tanggal 12 Juni
1992, United Nation Conference on Environment and Development walaupun,
prinsip ini belum rnasuk ke dalam perundang-undangan tetapi karena Indonesia
sebagai anggota dalam konferensi ini maka semangat dari prinsip ini dapat
dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek"
(Putusan PN Bandung No. 49/P.dtG/2003/PN.BDG).
24
lapangan yang terkait dengan titik koordinat pipa tailing yang berbeda antara
AMDAL dan obyek sengketa.
Bila dikaitkan dengan Kasus Mandalawangi, Kasus ini digugat oleh Penggugat
karena adanya kejadian longsor di kawasan gunung Mandalawangi sehingga
lingkungan hidup kawasan itu menjadi rusak dan menimbulkan kerugian warga
Gunung Mandalawangi. Penggugat menyatakan bahwa longsor yang menimpa
desa mereka berasal dari wilayah hutan yang berada dalam kekuasaan Perhutani,
dan akibatnya mereka meminta agar pihak Perhutani bertanggung jawab atas
strict liability atas kerugian yang terjadi. Pengggugat juga menggugat Pemerintah
agar bertanggungjawab karena telah melakukan perbuatan melawan hukum
dengan melalaikan kewajibannya untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan
Perhutani. Tergugat dalam hal ini mendalilkan bahwa kejadian longsor di Gunung
Mandalawangi merupakan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat
bencana alam, berupa curah hujan diatas normal. Namun seharusnya para pihak
tersebut menerapkan suatu prinsip Precautionary Principle dimana,
Ketidakpastian ilmiah tidak menjadi alasan tidak dilakukannya pencegahan
terhadap suatu resiko. Maka terlihat jelas bahwa pihak Tergugat tidak
menerapkan Precautionary Principle. Karena bencana alam merupakan suatu
peristiwa yang tidak ada kepastian kapan terjadinya namun seharusnya para pihak
tetap melakukan upaya untuk mencegah terjadinya suatu kerusakan dan
pencemaran yang sangat berat terhadap lingkungan.
25
yang diakibatkan oleh dimasukannya media ke laut baik secara langsung atau
tidak langsung, bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan manusia, bahan yang
berpotensi menimbulkan bahaya bagi makhluk hidup dan ekosistem laut, serta
bahan yang dapat mengganggu pemanfaatan laut. Negara memiliki kewajiban
untuk menghapuskan pencemaran laut dari sumber pencemaran di darat yang
diakibatkan oleh bahan-bahan, antara lain, senyawa organohalogen; merkuri dan
senyawa merkuri; cadmium dan senyawa cadmium; bahan sintetik yang bersifat
persisten; serta minyak dan hidrokarbon minyak yang bersifat persisten. Negara
juga memiliki kewajiban untuk secara progresif mengurangi kemungkinan
terjadinya pencemaran laut dari sumber pencemar di darat yang diakibatkan oleh
unsur/bahan dan senyawa, antara lain, zinc, selenium, timah, vanadium, tembaga,
arsenic, tiarium, cobalt, nikel, berilium, thallium, krom, molybdenum, boron,
tellurium, titanium, uranium, silver, sianida, dan timbal.
26
Hal-hal yang terjadi akibat tailing ini, yang dipermasalahkan oleh pihak
penggugat, menurut para tergugat bukanlah sepenuhnya salah tailing. Secara
ilmiah, keberadaan klorofil atau fitoplankton yang bersifat musiman turut
mengambil peran dalam menurunnya hasil tangkapan ikan. Hal ini bukan
disebabkan aktivitas akibat pelaksanaan tailing. Dan lagi, tidak ada akibat hukum
dan/atau fakta-fakta hukum menyangkut kerugian yang telah ditimbulkan akibat
tailing.
Selain itu hakim juga mempertimbangkan keterangan Ahli Prof. Dr. Ir.
Irwandy Arif, M.Sc./Dosen ITB/Ketua Perihimpunan Ahli Pertambangan
Indonesia, menyatakan bahwa, beberapa Negara di dunia juga melakukan
pembuangan/dumping tailing di bawah laut yaitu; Inggris, Perancis, Amerika
Serikat, Chili dan Norwegia. Sedangkan, Saksi Dra. Masnellyarti Hilman,
M.Sc./Deputi IV Kantor Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa,
"negara lain yang melakukan pembuangan/dumping tailing di bawah laut yaitu:
Kanada, Chili, Turki, Papua Nugini.
27
Hakim juga sependapat dengan keterangan Ahli Prof. Dr. Mangantar Daud
Silalahi, SHT Dosen Unpad /Ahli Hukum Lingkungan Laut menyatakan bahwa,
"Hukum positif di Indonesia maupun UNCLOS tidak melarang penempatan
pembuangan tailing di dasar laut". Bahwa setelah Majelis Hakim mencermati
ketentuan UNCLOS sebagaimana terdapat pada Bukti T.ll.lnt-20, T-10, P-25, P-
21A, P-21B maupun dari ketentuan lain ternyata tidak melarang penempatan
tailing di laut. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat diketahui yang dilarang
adalah pembuangan/tailing tanpa izin dari pihak yang berwenang sebagaimana
terdapat pada Pasal 210 ayat (1 dan (3) Unclos dan Pasal 18 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau
perusakan laut dengan dernikian, keterangan Ahli Dr. Alan Frendy
Koropitan/Dosen IPB. Bahkan hakim berpendapat bahwa keterangan Ahli bidang
Oseanografi yang menyatakan bahwa, "teknologi pembuangan tailing di bawah
laut merupakan pelanggaran teknologi yang tidak dapat diperkirakan sehingga
merupakan pelanggaran terhadap asas kehatihatian, harus dikesampingkan.
28
sering menyatakan bahwa STD dilegalkan di Amerika Serikat.Tetapi dalam
ketentuan dari Clean Water Act, tertulis bahwa STD dikecualikan dari pilihan
pembuangan dengan metode tailing.Walaupun beberapa perusahaan telah
mengajukan pengecualian terhadap peraturan tersebut, tidak ada permohonan atas
rencana pengaplikasian STD dari perusahaan pertambangan di Amerika Serikat
yang pernah disetujui.Sekarang tidak ada pertambangan yang beroperasi di
Amerika Serikat yang menggunakan STD.8
29
1. Kebocoran pipa;
4. Meningkatnya kekeruhan;
30
adalah salah satu prinsip hukum lingkungan yang dipakai saat ada ancaman yang
serius tanpa diharuskan ada bukti yang cukup. Sehingga kurangnya
bukti/kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda dilakukannya
tindakan pencegahan. Hal ini dapat digunakan untuk memutuskan apa yang
seharusnya diperbolehkan untuk terjadi di masa depan. Pelanggaran terhadap
prinsip kehati-hatian melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada aparat
tergugat tanpa bergantung pada ada tidaknya pembuktian dari para tergugat.10
Secara garis besar berdasarkan pembahasan yang sudah dalam topik ini
adalah Pihak penggugat menyatakan bahwa tailing di laut tidak aman, karena
resiko yang ditimbulkan tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan.
Sementara tergugat membantah pendapat tersebut, tergugat berpendapat bahwa
taling di laut cukup aman untuk digunakan sebagai cara pembuangan, terutama
bila dibandingkan dengan alternatif pembuangan dan pengolahan limbah
daratan.Setelah mendengarkan pernyataan dan pembelaan dari kedua pihak,
Hakim berpendapat bahwa tailing di laut cukup aman. Yang perlu diingat adalah
bahwa STD seharusnya yang menjadi pokok permasalahan disini adalah diterima
atau tidaknya STD ini di masyarakat, baik oleh pihak pemerintah atau local
community level. Sedangkan menurut pendapat penulis, STD ini sangat tidak
aman dengan pertimbangan yang didasarkan pada Precautionary Principles.
10
Hardjaloka L, ”Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius
Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004,” Jurnal
Yudisial (2 Agustus 2012), hal.134
31
HUBUNGAN UNCLOS DENGAN PEMBUANGAN TAILING DI
LAUT SERTA ISTILAH DUMPING DI DALAM PUTUSAN NO.
145/G/2011/PTUN.JKT.
32
Tidak termasuk dumping:
Dalam hal ini kegiatan yang dilakukan oleh PT Newmont merupakan perbuatan
yang termasuk dumping yaitu membuang limbah yang dilakukan dengan sengaja
ke dalam laut. Kesengajaan PT Newmont terbukti dari adanya permohonan izin
kepada Menteri Lingkungan Hidup untuk melakukan dumping. Sehingga
dumping dibahas dalam putusan ini.
33
1. Negara-negara harus mengambil segala tindakan yang perlu sesuai dengan
Konvensi, baik secara individual maupun secara bersama-sama menurut
keperluan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran
lingkungan laut yang disebabkan oleh setiap sumber dengan menggunakan
untuk keperluan ini cara-cara yang paling praktis yang ada pada mereka
dan sesuai dengan kemampuan mereka, selagi negara-negara ini harus
berusaha sungguh-sungguh untuk menyerasikan kebijaksanaan mereka
dalam hal ini.
34
Pencemaran dari instalasi-instalasi dan alat peralatan yang
digunakan dalam eksplorasi atau aksploitasi kekayaan alam dasar
laut dan tanah dibawahnya, khususnya tindakan-tindakan untuk
mencegah kecelakaan dan yang bertalian dengan keadaan darurat,
untuk menjamin keselamatan operasi laut, serta yang mengatur
disain, konstruksi, perlatan operasi dan tata instalasi-instalasi atau
peralatan tersebut.
Dalam hal ini kami setuju dengan Penggugat dimana tanggung jawab
Tergugat untuk meminimalisir terjadinya dumping seharusnya dilakukan. Serta
tidak setuju dengan Hakim dan Tergugat. Dumping memang tidak dilarang di
dalam UNCLOS, hanya saja negara memiliki tugas untuk meminimalisir
terjadinya dumping. Hal inilah yang tidak dilakukan oleh Tergugat. Berdasarkan
keterangan saksi yang ada di persidangan dapat diketahui bahwa terdapat dampak
yang merugikan dari kegiatan dumping yang dilakukan PT Newmont. Nelayan-
nelayan di lokasi tempat dilakukannya dumping menurun pendapatannya, karena
banyak ikan-ikan yang mati. Dari dampak yang ditimbulkan terlihat bahwa
35
dumpinh yang dilakukan membahayakan ekosistem di laut. Sehingga Tergugat
terbukti tidak menjalankan tanggung jawab yang seharusnya seperti yang terdapat
di dalam ketentuan Pasal 194 UNCLOS.
36
HUBUNGAN KASUS DENGAN PRINSIP UMUM
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI BIDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP BERDASARKAN UU NOMOR 32 TAHUN 2009
11
Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M., Penegakan Hukum Administrasi dalam
Perlindungan dan Pengelilaan Lingkungan Hidup, LTA S-1 Fakultas Hukum Universitas
Indoensia, 2014, hlm. 6.
37
Salah satu tugas dan kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah diatur secara jelas dalam Pasal 63 UU Lingkungan Hidup. Salah satu
tugas Pemerintah adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan
perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
12
Indonesia, op.cit., Penjelasan Pasal 2
13
Ibid., Psl. 71-74
38
Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota dapat mendelegasikan
kewenangannya dalam melakukan pengawasan dan penegakan hhukum
kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Pendelegasian ini sangat penting karena
pejabat/instansi teknis itulah yang melakukan tugas-tugas pengawasan di
lapangan secara rutin sehingga pendelegasian dapat mempercepat dan
mencegah birokratisasi yang bersifat menghambat dalam pelaksanaan
penegakan hukum administrasi.14
5. Sanksi Administratif17
a. Teguran tertulis;
14
Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M., op.cit., hlm.7.
15
Indonesia, op.cit., Psl. 73 dan 77.
16
Ibid.,
17
Ibid., Psl. 74 dan 76 ayat (2).
39
b. Paksaan pemerintah;
40
KEKELIRUAN PENEGAKAN ADMINISTRASI DALAM
HUKUM LINGKUNGAN BERDASARKAN PRINSIP
OTONOMI DAERAH DALAM KASUS NEWMONT BATU
HIJAU
41
Pasal 63 ayat (3) huruf I dan p:
42
Menjelang berakhirnya tenggang waktu pembuangan limbah PT Newmont
Nusa Tenggara, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat,
menurunkan tim khusus untuk memantau pembuangan tailing atau limbah
tambang PT Newmont Nusa Tenggara di palung laut Teluk Senunu. Tim tersebut
bertugas memastikan apakah PT Newmont Nusa Tenggara mematuhi kebijakan
Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat untuk tidak membuang tailing melebihi
jumlah maksimum selama rekomendasi perpanjangan izin tailing belum
dikeluarkan. Selain itu Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat, melalui
suratnya bernomor 660/114/BLHKSB/V/2011 telah menghimbau PT Newmont
Nusa Tenggara untuk tidak menempatkan tailingnya di teluk Senunu terhitung
mulai tanggal 9 Mei 2011, penghentian penempatan tailing itu dilakukan sampai
batas waktu yang tidak ditentukan. Dalam surat itu dijelaskan alasannya antara
lain, adanya aspirasi dari masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat dan elemen
pemerhati lingkungan yang menolak penempatan tailing PT Newmont Nusa
Tenggara di perairan Teluk Senunu. Penempatan tailing PT Newmont Nusa
Tenggara di Teluk Senunu sangat merugikan masyarakat dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumbawa Barat yang mana lokasi pembuangan tailing merupakan
wilayah laut yang menjadi kewenangan Kabupaten Sumbawa Barat yang
menerima dampak langsung dari pembuangan tersebut.
43
rekomendasi dari pemerintah kabupaten sebelum Kementerian Lingkungan Hidup
menerbitkan izin, dan penempatan tailing tersebut cukup meresahkan masyarakat
khususnya nelayan.
3. Di klausul izin yang berlaku selama 5 tahun itu juga disebutkan tentang
evaluasi per tahun.
44
pendahuluan) kepada Menteri Lingkungan Hidup dan PT Newmont Nusa
Tenggara. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat menganggap
kementerian terkait tidak menghargai hak dan kewenangan Pemerintah Daerah
dalam konteks otonomi daerah yang dibuktikan dengan terbitnya izin tailing tanpa
koordinasi dengan Pemerintah Daerah. Padahal sebelumnya bupati telah
mengirim surat ke Menteri yang menyatakan Kabupaten Sumbawa Barat menolak
memberi rekomendasi perpanjangan ijin dan meminta agar ijin tersebut tidak
diterbitkan.
45
Hidup, seharusnya berlaku asas "lex posteriori derogat legi priori" yang berarti
bahwa peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang lebih lama
dan "lex superiori derogat lex inferiori", yaitu peraturan yang lebih tinggi
.mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Bahwa Undang-Undang yang
lahir di era otonomi daerah seperti UU Minerba yang telah disebutkan diatas dan
UU Lingkungan Hidup menghendaki wewenang yang lebih besar pada
pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan di wilayahnya, atau setidak-
tidaknya mendapat bagian untuk dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
46
KERUSAKAN LINGKUNGAN DI MARINDUQUE, FILIPINA
OLEH PLACER DOME INC.18
Placer Dome Inc. adalah sebuah perusahaan pertambangan emas nomor tiga
terbesar di Amerika Utara dan nomor 5 terbesar di dunia yang berpusat di
Vancouver, British Columbia. Pada awal tahun 1956, Placer Dome, disusul oleh
Placer Development Limited, memulai pemetaan eksplorasi pengeboran di
Marinduque. Pada tahun 1964, Marcopper Mining Corporation turut terlibat.
Dalam 30 tahun penambangan dibawah manajemen Placer Dome, Penduduk
Marinduque mengalami berbagai bencana yang merugikan. Selama 16 tahun,
mulai dari tahun 1975 sampai 1991, Placer Dome menghasilkan sekitar 200 juta
ton limbah yang secara langsung dibuang ke perairan dangkal di teluk Calancan
dimana limbah tersebut menutupi koral, rumput laut dan dasar dari teluk seluas 80
km2. Tailing yang mengalirkan limbah hasil dari pertambangan ini juga
mengeluarkan kandungan logam di teluk dan dicurigai sebagai penyebab dari
terkontaminasinya anak-anak di sekitar teluk. Para penduduk desa Calancan, yang
telah melakukan protes akan dumping selama 16 tahun ini, tidak pernah sekalipun
dimintai izin dan diberi kompensasi akannya. Pada tahun 1991, sebuah bendungan
didirikan di sungai Mogpop. Pada tahun 1993, bendungan ini rusak. Steve Raid,
manajer dari Marcopper, menolak bertanggungjawab dan mengatakan bahwa hal
ini bukan merupakan akibat dari tailing. Selain itu terdapat dampak terkait
keanekaragaman hayati, diantaranya menghilangnya salah satu spesies kepiting
yaitu kepiting Bagtuk yang biasa dikonsumsi masyarakat sekitar. Dapat dilihat
bahwa kerusakan alam yang terjadi ini sangat mengancam keberlangsungan hidup
masyarakat Marinduque. Pada 24 Maret 1996, kebocoran tailing secara massive
kembali terjadi di Marcopper mine di sungai Boac dengan 3-4 juta ton metal dan
asam yang terkandung didalamnya. Dapat kita lihat bahwa manajemen lingkungan
bukanlah prioritas utama dari Marcopper. Karena jika demikian, tentunya bencana
ini tidak akan terjadi.
18
Poject Underground dan MiningWatch Canada, Project nderground STD Toolkit: Philipines
Case Studies, 2002.
47
Atas peristiwa ini kemudian CEO dari Placer Dome, John Wilson membuat
perjanjian tertulis kepada Presiden Filipina saat itu yaitu Fidel Ramos, dengan
pernyataan bahwa Placer Dome bertanggung jawab terhadap kerusakan yang
diderita oleh penduduk Marinduque dan kerugian tersebut akan dikompensasi
secara adil. Beberapa program yang akan dilakukan berkaitan dengan proses
rehabilitasi sungai dan laut yang terkena dampak. Pada bulan Maret 1997, setahun
setelah kebocoran, Placer Dome melepaskan diri dari Marcopper. Placer Dome
menyatakan bahwa ia akan membersihkan sungai dengan cara membuang tailing
nya ke lautan dengan menggunakan STD. Pada saat itu belum ada kesadaran yang
tinggi pada masyarakat Marinduque akan teknologi ini, namun hal ini di tolak
oleh masyarakat lokal yang peduli dengan potensi dampak yang akan terjadi pada
lautan.
48
yang mustahil jika tidak ada hal yang salah. Pada 14 Maret 2000, sebuah MOA
dibuat dan MOA tersebut mengharuskan masyarakat Marinduque melalui
pemerintahan provinsi, dengan konsultasi dengan badan provinsi, untuk memilih
para konsultan untuk memberikan padangan indpenden dan rekomendasi akhir
akan rencana yang akan dilakukan terhadap sungai. Placer Dome menyatakan
bahwa mereka tidak akan membayar pada penasehat independen yang dipilih oleh
masyarakat. Terdapat potensi yang tinggi bahwa asam, muatan logam dan
environmentally detrimental plume akan berkembang didalam lautan sekitar
tailings dan tempat sekitar tailings dalam pembuangan tailings. Oleh sebab itu
DENR meyakinkan masyarakat Marinduque bahwa STD tidak akan lagi dijadikan
pilihan dari pembuangan tailing di sungai Boac. Namun pada hari-hari terakhir
rezim Estrada, DENR menandatangani 200 Environmental Compliance
Certificates (ECC). Pada Desember 2001, tanpa peringatan apapun, Placer Dome
Technical Services menutup kantor mereka di Marinduque dan kantornya di
Manila dan menarik diri dari Filipina. Meninggalkan racun hasil pertambangan di
sungai Boac, dan ancaman akan 5 bekas pertambangan yang tidak stabil dan
kompensasi yang belum lunas kepada masyarakat Marinduque pada tahun 1996
silam.
49
Pada bulan Januari 2001 Presiden Estrada digulingkan oleh revolusi dan
beberapa bulan kemudian yaitu April 2001 proses besar-besaran terhadap MPSA
terjadi di Mindoro. Ditengan kericuhan Duta Besar Canada, Robert Collette
mengunjungi Mindoro bersama dengan Badan Investasi dalam rangka
menunjukkan dukungan kepada Crew. Di Akhir bulan April, Sekertaris
Kementrian Lingkungan Filipina, Heherson Alvarez memberikan memo kepada
Presiden Macapagal-Arroyo berisi rekomendasi pencabutan MPSA. Pada tanggal
16 Juli 2001 Jejerson Alvares secara resmi mencabut MPSA. Meskipun Duta
Besar Canada memprotes keputusan ini dan Aglubang/Crew mengajukan
permohonan resmi untuk mempertimbangkan lagi pencabutan izi ini secara
langsung kepada Presiden Macapagal-Arroyo, pencabutan MPSA oleh
Kementrian Lingkungan Filipina tetap dipertahankan oleh presiden pada tanggal 1
November 2001.
50
kementrian tersebut benar-benar serius menanggapi permasalahan lingkungan
yang dihadapi oleh Filipina pasca revolusi yang menggulingkan pemerintahan
Presiden Estrada. Selain itu terdapat bebrapa pejabat pemerintahan daerah yang
juga vokal dalam menyuarakan masalah ini dalam kasus Mindoro pejabat tersebut
adalah Gubernur Rodolfo G. Valencia dan wakil gubernur Bartolome Marasigan.
Selain peran dari para kelompok, instansi-instansi dan pejabat pemerintah, sistem
informasi dan pemberitaan yang baik juga mendukung pergerakan ini.
Keuntungan-keuntungan inilah yang seringkali tidak terdapat di dalam perjuangan
melawan kegiatan tidak ramah lingkungan di Indonesia dimambah pula dengan
adanya ketidakjelasan hukum terkait hukum lingkungan serta minimnya
pengetahuan atas masalah terkait oleh para pejabat penegak hukum.
Pada dasarnya, hal yang terjadi di Filipina ini hampir sama dengan yang
terjadi pada kasus PT Newmont ini. Kerusakan lingkungan yang terjadi di Filipina
ini diakibatkan oleh Pemerintah Pusatnya yang memberikan izin seenaknya tanpa
mempertimbangkan kondisi asli di wilayah tersebut. Kasus ini dapat memberikan
pelajaran kepada Pemerintah dari negara-negara yang ada di dunia bahwa
pemberian izin yang dapat mengurangi kualitas lingkungan harus dilakukan secara
hati-hati, khususnya kasus ini memberikan pencerahan mengenai bagaimana
seharusnya sikap yang diberikan oleh Pemerintah kepada pemberian izin
pembuangan tiling.
51
KESIMPULAN
Berikut adalah beberapa poin yang disimpulkan oleh penulis dari hasil
diskusi dan analisis terhadap putusan ini, yaitu:
- Harusnya ada kerjasama yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dalam memberikan izin dumping tiling ini;
- Kasus Marinduque seharusnya dapat dijadikan acuan agar kasus yang serupa
tidak terjadi lagi, khususunya di Indonesia.
52
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
United Nations, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS),
1982.
Jurnal
Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M., Penegakan Hukum Administrasi dalam
Perlindungan dan Pengelilaan Lingkungan Hidup, LTA S-1 Fakultas Hukum
Universitas Indoensia, 2014.
53
L, Hardjaloka. Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai
“Ius Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi Kajian Putusan Nomor
1794K/Pdt/2004. Jurnal Yudisial (2 Agustus 2012).
Project Underground and MiningWatch Canada, “STD Toolkit”, 2002.
Santillo, D., et al., The Precautionary Principle: Protecting Against Failures of Scientific
Method and Risk Assessment, Marine Poluution Bulltetin, Vol. 36(12). 1998.
54